Tumgik
#Etika Mengkritik Penguasa
yaudahgituaja · 10 months
Text
Al-Ghazali dan 5 Etika Mengkritik Penguasa di Era Digital
Ya Udah Gitu Aja – Salah satu ajaran penting dalam Islam yang tidak boleh ditinggalkan oleh umat Islam adalah saling mengingatkan atau saling menasihati kepada sesama, termasuk juga kepada para pemimpin (pemerintah). Dalam karyanya “Ihya’ Ulum al-Din” (Revival of the Religious Sciences), Al-Ghazali mengajarkan bahwa niat adalah faktor penting dalam segala tindakan, termasuk dalam mengkritik…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
faithsilmi · 5 years
Text
Ruang Kampus
Kesalahan terbesar kita dalam melihat pasar, terjadi ketika mengira bahwa Pasar adalah tentang uang. Padahal, ia adalah tentang ruang.
Kita ini hanya sebuah perpustakaan. Siapa diri kita, ditentukan dari apa saja referensi yang tersusun dalam “rak” di kepala dan hati kita. Kita menjadi manusia yang lebih baru, ketika referensi kita bertambah. Itu saja sebenarnya. Membentuk diri adalah perkara memperkaya referensi. Itu menentukan sikap kita, emosi kita, cara pandang kita, keberpihakan kita.
Referensi tadi, didapat melalui interaksi. Membaca, tak lain adalah interaksi kita dengan buku. Berdagang menjadi interaksi penjual dan pembeli. Beribadah, ialah interaksi dengan Pencipta. Dan berpikir, adalah interaksi kita dengan diri kita sendiri.
Setiap interaksi, selalu membutuhkan ruang. Sholat, membutuhkan masjid sebagai ruang interaksi. Belajar, membutuhkan sekolah sebagai ruangnya. Perang, perlu medan sebagai tempatnya. Komunikasi, membutuhkan media. Siapa saja yang memahami ruang, maka ia bisa menguasai interaksi di dalamnya. Dan siapa saja yang menguasai interaksi, maka ia bisa mempengaruhi manusia.
Memahami ruang itu penting. Setiap ruang, memiliki makna. Dan setiap budaya, mempunyai maknanya sendiri terhadap ruang dan cara menyusun ruang. Kita bisa melihat, keraton Jawa, pasti memiliki alun-alun di depannya. Dan di antara itu, terletak sebuah masjid. Lalu, tak jauh dari sana, terdapat pasar. Itu semua adalah metodologi orang Jawa, dalam menyusun ruang-ruang: keraton, masjid, alun-alun dan pasar. Pengelolaan ruang, menentukan bagaimana manusia akan terbentuk.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah mengkritik pandangan Ekonomi Modern yang menjunjung tinggi efisiensi dan pemenuhan self-interested. Ekonomi yang didasari atas ego diri sendiri, perilaku ekonomi yang terpisah dari moral dan etika. Dan sebagai ruang ekonomi, pasar turut memberi referensi dan membentuk diri kita.
Pasar modern, swalayan, mal dan semacamnya, akan mempengaruhi sikap kita, emosi kita, cara pandang kita dan keberpihakan kita. Ia hanya menyajikan kita pengalaman yang serba praktis dan serba mudah. Akibatnya, kita akan terbiasa menyelesaikan masalah yang sepraktis dan semudah mungkin bagi diri sendiri. Ia bersifat terpusat, kaku, semua telah ditentukan harganya, tanpa tawar. Alhasil, kita akan terbentuk menjadi tak kompromis, sewenang-wenang, self-interested. Kita menjadi berpihak pada elit, berpikir seperti elit, dan bertindak untuk menjadi elit.
Sedang pasar tradisional, menyajikan kita pengalaman yang serba rumit, banyak teka-teki, banyak interaksi, banyak konflik dan masalah. Ini membentuk kita untuk terbiasa menyelesaikan permasalahan secara komprehensif dan mengakar. Ia membawa kita pada proses penuh tawar-menawar, menanyakan harga dan membentuk kesepakatan. Semua serba cair dan demokratis. Alhasil, kita menjadi lebih kompromis, mencari jalan tengah dari setiap permasalahan, saling untung. Kita menjadi serba dekat, berpihak kepada akar rumput, dan selalu ingin menjadi mereka.
Ini pun belum termasuk bagaimana pasar digital membentuk kita.
Membaca pasar sebagai ruang, artinya memahami bahwa pasar adalah tentang jejaring interaksi, yang saling mempertukarkan keuntungan. Dan seperti di ruang-ruang lain, masalah utamanya adalah pada tidak seimbangnya pembagian keuntungan dalam proses interaksinya. Ada pihak yang paling diuntungkan dan juga dirugikan.
Rerata pasar, membentuk rantai yang hanya mengutungkan segelintir orang. Jangan mengira hanya pasar modern saja, ini juga berlaku pada pasar tradisional. Pasar akhirnya menjadi sebatas etalase. Sedang kasirnya, ada di tangan satu mata rantai yang disebut tengkulak. Ia menjadi makelar distribusi, yang menekan harga di hulu dan meninggikan harga di hilir. Na’asnya, mereka kerap berkongsi dengan penguasa dan mengatur harga. Produsen dan konsumen dirugikan.
Maka, ide mengajak orang untuk pergi ke pasar bisa menjadi ide yang tidak tepat. Ia keliru, apabila hanya dimaksudkan untuk menambah omset bagi para pedagang. Cara itu hanya akan menyentuh permukaan, tidak menyelesaikan apapun dan malah memperkuat carut marut dengan semakin menguntungkan tengkulak. Sebuah cara yang lahir karena melihat pasar sebagai uang, bukan ruang. Lebih keliru lagi apabila diusung untuk membesarkan keuntungan pribadi, seperti mencari harga yang lebih murah.
Ide megajak orang ke pasar ini, harus dimaknai ulang, dilakukan re-orientasi. Setidaknya, ada dua hal yang bisa dilihat dari pasar: sebagai ruang belajar untuk membentuk diri dan karakter; dan sebagai ruang yang harus dipahami secara radikal permasalahannya, sehingga kelak bisa diperbaiki.
Bermain ke pasar, akan membentuk orang-orang yang ketika memegang kuasa, tidak akan menggusur seenaknya. Orang yang tidak berkoar tentang meninggikan produksi sawit, tapi abai pada proses pembakaran hutan untuk membuka lahan sawit. Orang yang lebih mengutamakan adanya pangan, daripada bandara. Orang-orang semacam Soekarno, yang belajar dari semua. Ia yang pergi ke sawah, untuk bertemu dengan Pak Marhaen, saling belajar dan menghasilkan Marhaenisme. Bukan pergi ke sawah untuk sekadar berfoto seolah swasembada.
Lagi, pergi ke pasar akan membentuk pemahaman kita tentang masalah akar rumput. Sehingga, ketika kita memiliki kemampuan, paham dan mempunyai akses, kita bisa ubah kondisi itu. Atau ketika bisa bersuara, kita bisa teriakkan kencang-kencang ke semua orang. Atau ketika tidak juga bisa, kita benci itu di dalam hati dan menjadi sikap kita selamanya.
Uang bisa membantu, tapi tak menyelesaikan masalah. Orang menjadi miskin bukan karena tak punya uang saja, tapi karena dimiskinkan. Jika orang kaya ingin memberi solusi dari hartanya, ia cuma akan menjadi pion solusi, bukan pemain caturnya. Perlu sistem yang dibentuk dari kepahaman akar rumput dan wawasan luas. Perlu sekelompok orang yang sadar, paham dan mau. Ayo tebak, di ruang mana seharusnya interaksi antar orang-orang semacam itu dibentuk?
Jawabannya bisa dilihat di dua kata pertama esai ini. Hehe~
3 notes · View notes
rmolid · 4 years
Text
0 notes
60b3r · 4 years
Text
Refleksi Kritis Setahun Pagebluk #7: Politik
Menurut filsuf Swiss-Jerman Han Byung-chul, fenomena penanganan COVID-19 yang lebih baik memang diperlihatkan oleh banyak negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter namun juga didukung dengan kepercayaan publik yang tinggi, misalnya di Vietnam. Sedangkan di negara-negara demokrasi dengan populasi manusia tinggi seperti Brazil dan India, koalisi pemerintah yang rapuh seringkali mengeluarkan blunder dan akhirnya dinilai masyarakat gagal membendung kenaikan angka kasus COVID-19. Teknologi Big Data dan kecerdasan buatan telah dimanfaatkan untuk melakukan visualisasi penularan virus dalam cluster-cluster tertentu dan dianggap berperan besar dalam mendukung usaha pencegahan penularan COVID-19 di negara-negara dengan kekuasaan sentralistik seperti Taiwan dan Singapura. Implementasi teknologi pengintaian digital yang masif juga berkontribusi dalam upaya penanganan pandemi, meskipun dalam praktiknya privasi data masyarakat menjadi pertimbangan yang dikesampingkan demi kestabilan sosial dan politik.
Tumblr media
Robert Nozick, dalam kritiknya terhadap Rawls di buku “Anarchy, State and Utopia” membayangkan suatu kelompok masyarakat bebas akan cenderung menyusun bentuk negara minimalistik yang hanya diperlukan untuk mempertahankan diri dan perlindungan hak-hak pribadi, tak lebih dan tak kurang. Markus Gabriel berpendapat, pembatasan yang diterapkan banyak pemerintahan di seluruh dunia sudah termasuk pelanggaran atas hak-hak sipil. Karena pembatasan tersebut sangat berdampak kepada semua lini kehidupan manusia, maka setiap lini kehidupan sepatutnya wajib dihargai ketika menentukan kebijakan untuk melakukan pembatasan atau tidak. Jadi semestinya pembuatan kebijakan itu harus melibatkan pakar etika, sosial, hukum, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan filsuf teologi sehingga pemerintah benar-benar mampu menerapkan respons yang tepat atas kebijakan yang hendak dibuatnya itu. Beberapa aktivis dan pengamat politik di seluruh dunia telah merilis pernyataan sikap bahwa pembatasan-pembatasan yang terburu-buru merupakan tindakan inkonstitusional yang melawan hukum.
Tumblr media
Ahli virologi dari Universitas Bonn, Henrik Streeck, menyatakan bahwa pendekatan terbaik dalam menghadapi krisis pandemi ini mungkin telah dilakukan oleh Swedia, yang sejak awal menolak untuk melakukan lockdown. Pemerintah Swedia tetap menyuarakan anjuran-anjuran kepada warganya untuk menjaga jarak, memakai masker, dan menjaga kebersihan; namun tanpa menegakkan kekarantinaan massal ataupun denda-denda yang dibukukan dalam peraturan-peraturan yang mengikat. Masyarakat Swedia tetap melakukan kegiatan seperti biasa, dan angka kasus COVID-19 ternyata tidak jauh beda dengan di Jerman, Perancis, maupun Inggris yang memilih untuk menerapkan kebijakan lockdown kota yang ketat seperti yang disyaratkan oleh Michel Foucault dalam konsep biopolitics and biopower.
Tumblr media
Pada umumnya, kebanyakan masyarakat di negara-negara Asia cenderung memiliki kepercayaan yang lebih terhadap pemerintah negaranya karena negara sukses memberikan jaminan keamanan—atau paling tidak, rasa aman semu—kepada rakyatnya. Dengan adanya krisis pandemi, kekuatan partai penguasa di negara-negara dengan indeks demokrasi dan liberalisme rendah seperti Republik Rakyat Tiongkok sepertinya kian mendapat justifikasi dan bisa saja menjadi semakin kokoh pasca pandemi. Kekhawatiran terhadap kegagalan sistem politik Barat dalam menangani krisis pandemi dianggap oleh banyak ahli dan pengamat politik sebagai titik balik kebangkitan Asia dan permulaan perpindahan tatanan dunia yang kian bergeser ke Timur. Meskipun telah mendapat banyak serangan oleh para ahli epidemiologi, Han Byung-chul juga tetap mengkritik respons negara-negara liberal di Eropa yang gagal menangkal penyebaran pandemi dengan melaksanakan cara-cara kuno—yang menurutnya tidak berarti di zaman globalisasi, seperti penutupan perbatasan dan karantina besar-besaran.
0 notes
parlamenjalanan · 7 years
Text
Politik kampus
Kampus merupakan sebagai salah satu center of intellectuality memberikan ruang bagi berkembangnya berbagai ranah pemikiran, isu–isu nasional hingga internasional selalu saja menjadi garapan yang menarik di kampus–kampus seantero dunia. Mahasiswa selalu memainkan peran atau menjadi pemain sentral di negara manapun, yaitu sebagai the universal opposition anti terhadap pemerintahan rezim apapun yang berkuasa di negara tersebut. Mewaspadi ancaman yang akan ditimbulkan oleh masyarakat intelektual kota ini, para pemimpin negara kerap kali akan melakukan gerakan–gerakan restruktuisasi politiknya hingga jauh menjangkau kedalam kampus. Di Indonesia praktik restruktuisasi politik di contohkan dan di pertontonkan oleh rezim orde baru pimpinan “bapak pembangunan” Soeharto tiga puluh lima tahun yang lampau tepatnya pada tahun 1974 lewat SK menteri P dan K No 028/U/1974 tentang NKK (normalisasi kehidupan kampus) dan BKK (badan koordinasi kemahasiswaan) sekarang senat / BEM, dimana isi keputusan ini sangat membelenggu langkah gerak mahasiswa yang sejatinya pergerakan mahasiswa harus senantiasa bergerak dan merambah, menjalar, mengembangkan nalar intelektualitas sejatinya, namun dalam konteks NKK-BKK semua kegiatan mahasiswa kala itu harus seluruhnya melalui persetujuan pihak pimpinan perguruan tinggi / rektorat yang pada dasarnya pada waktu itu mereka adalah antek–antek penguasa, dan pergerakan mahasiswa harus sesuai dengan cita–cita kepala negara yang tentunya ini sangat jelas bertentangan dengan idealnya mahasiswa yang selalu menempatkan dirinya menjadi oposisi kritis pada pemerintahan yang sedang berkuasa, dampak yang paling terlihat adalah mahasiswa kehilangan ruang politiknya yang bebas dan kreatif, melainkan hanya sebatas teori dan konsep diruang kelas. Namun saat ini permasalahan kampus terus saja berkembang ditengah–tengah pasang surut kondisi sosial politik negeri ini, namun ironis justru permasalahan yang berkembang di kampus hanya permasalahan yang sama sekali tidak menunjukan kekuatan bersama sebuah kelompok mahasiswa yang besar, yang mengusung isu bersama dan ideologi menjadi oposisi penuh bagi pemerintah, sebagaimana warisan yang diberikan oleh pergerakan mahasiswa terdahulu yang seharusnya menjadi bahan kerjaan mahasiswa saat ini, sekarang yang berlangsung hanyalah pertarungan antar mahasiswa sendiri, tidak ada lagi teriakan “satu komando, satu perjuangan, rakyat (mahasiswa) bersatu tak bisa dikalahkan” justru diperalat oleh sekat–sekat dasar ideologi, atas dasar fanatisme sempit kelompok, kamu bukan kelompokku, maka kamu musuhku, kamu tidak sealiran denganku kamu salah, yang melahirkan tradisi politik kotor dan amoral, yang saat ini justru mahasiswa menjadi boneka atau malah robot kepentingan oknum tertentu yang haus akan kekuasaan, bahkan bisa jadi mahasiswa adalah pionir bagi pemerintahan yang sedang berkuasa, alamat kemunduran gerakan kampus. Indikas ini pun terlihat dari gaya hidup hedonisme anak muda yang dibawa oleh budaya barat, membuat mata dan hati tertutup untuk masalah rakyat, dan lebih penting mengatur jadwal bersenang–senang pacaran, mumpung masih muda katanya??? ketimbang memikirkan kelanjutan atas kemajuan bangsa dan negaranya sendiri. Mencermati geliat gerakan mahasiswa di tataran politik nasional delapanbelas tahun pascareformasi bisa dikatakan minim partisipasi. Apalagi untuk urusan berkecimpung di dunia politik praktis, sangat kurang minat. Kenyataan ini diperlihatkan dari banyaknya “golongan tua” yang masih dominan di dunia politik. Tersebutlah nama-nama lawas seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Amien Rais, Sutiyoso, atau Wiranto. Notabene kesemuanya telah berusia diatas 40 tahun. Tak ada satupun muncul nama baru dari golongan muda yang maju ke kancah perpolitikan nasional. Fenomena ini tentu lahir bukan tanpa sebab. Ketertarikan mahasiswa kontemporer saat ini cenderung kearah market oriented yaitu orientasi yang lebih membawa dampak profit and benefit bagi si mahasiswa itu sendiri. Lain kata, mahasiswa saat ini lebih berpikir soal untung-ruginya ia mengikuti sebuah kegiatan. Tentu saja hal ini amat kontras dengan tipe gerakan politik mahasiswa pada angkatan pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Dimana arah pergerakan mahasiswa waktu itu lebih bersifat nation problem oriented dengan melibatkan massa rakyat. Meski begitu, saat ini masih terdapat kelompok mahasiswa yang memiliki interest terhadap kajian politik. Mereka ini sebenarnya merupakan kelompok termarjinalisasi dari kaum mahasiswa itu sendiri. Mereka yang peduli ini “bertahan” dan membuktikan “eksistensi” didalam bentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti BEM, Dewan Kemahasiswaan, kelompok studi yang berorientasi kepada kegiatan politik. Isu-isu yang diusung biasanya merupakan isu lokal atau paling banter isu hari peringatan saja yang bersifat seremonial. Jarak memengaruhi minat individu atau kelompok untuk mengangkat sebuah isu. Isu yang diangkat harusnya mengenai kebijakan-kebijakan kampus. Seperti absensi 75%, naiknya SPP dari tahun ke tahun yang tidak sepadan dengan fasilitas kampus atau problem ketidakberesan birokrasi kampus. Selain itu, Gerakan mahasiswa saat ini memiliki kecenderungan memperjuangkan vested interest-nya masing-masing. Misalnya, BEM di sebuah fakultas memperjuangkan kepentingan prokernya yang jauh dari marwah lembaganya.Akhirnya malah kesan eksklusif yang justru didapat. Dampaknya tenaga dan pemikiran kritis mahasiswa kekinian hanya habis tersedot untuk mengurusi prokernya . Akibatnya individu atau anggota organisasi kemahasiswaan tersebut terisolasi pengetahuannya tentang perkembangan politiDisini gerakan mahasiswa perlu atur taktik dan strategi. Problem ini bisa diatasi dengan cara melakukan pembagian tugas antaranggota didalam organisasi tersebut. Pembagian berdasarkan urusan internal dan eksternal organisasi. Bagian internal mengurusi soal problem mahasiswa dan kampus Sedangkan bagian eksternal bermain pada tataran menjalin relasi dengan organisasi kemahasiswaan ekstra-universitas. Juga membahas isu-isu yang bersifat nation problem oriented. Konon, akhir-akhir ini ada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa pergeseran paradigma yang terjadi dalam tubuh para aktivis mahasiswa semakin hari semakin riskan. Dunia kampus, yang sejatinya harus tumbuh dan berkembang di dalamnya tradisi intelektualisme, ternyata hanyalah omong kosong belaka. Demi mendapatkan kekuasan sektarian, kebohongan demi kebohongan mereka lontarkan seirama dengan umbaran janji-janji palsu yang menjijikkan. Mereka tidak menyadari, atau pura-pura tidak tahu-manahu perihal implikasi logis yang diakibatkan dari keculasan mereka. Lihatlah, begitu banyak para aktivis yang sering menyalahgunakan organisasi dan sering memanfaatkan kader yang masih botak-botak untuk memenuhi kepentingan “perut” mereka. Padahal dalam dataran idealitas, kader seharusnya tidak dijadikan tunggangan dan kemudian ditinggalkan ketika “kepuasan” telah digenggam, melainkan diberdayakan dan selalu diupayakan menuju kematangan-kematangan dan penyempurnaan-peneyempurnaan, baik secara intelektualitas maupun emosionalitas. Barangkali karena mereka, para aktivis “kacangan” itu terlalu ahli dalam manajemen isu, sehingga mereka lupa dan terjerat ke dalam jurang oportunisme dan pragmatisme buta. Contoh yang sangat riil dapat kita temukan di kampus kita. Ketika pesta pemilu raya digelar, disadari atau tidak, muncul dan berkembang istilah yang disebut dengan bad campaign dan back campaign. Trem yang pertama adalah kampanye politik yang dimaksudkan untuk mengkritik lawan politik dan mengungkap segala kelemahan-kelemahannya. Term yang kedua diistilahkan sebagai kampanye politik dengan menjelek-jelekkan, bahkan memfitnah lawan politik demi membunuh karakter lawan politiknya. Sesungguhnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Karenanya, dalam politik ada ”aturan main” dan etika yang harus didindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam perspektif Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner dari India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”, sebagaimana yang pernah dikatakan Plato bahwa politik adalah seni mempegaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan. Tetapi, antara idelitas dengan realitas memang cenderung berdiri secara diametris. Kerja-kerja politik yang idelanya selalu bersih dari ”kelicikan-kelicikan” dan ”keculasan-keculasan” ternyata banyak menuai kendala. Sehingga tidak heran jika kemudian ada ”justifikasi publik” bahwa politik itu memang kotor, tidak pernah bersih. Kalau jujur dan bersih itu bukan politik. Begitu mungkin kilah mereka. salam kemuliaan.
0 notes