𝗠𝗘𝗥𝗔𝗖𝗜𝗞 𝗙𝗢𝗥𝗠𝗨𝗟𝗔 𝗥𝗔𝗛𝗔𝗦𝗜𝗔 ✍️
Apa yang ada dibenak kita ketika mendengar istilah “lidah burung” atau “Buah Berkulit Merah”?
Sejenak otak kita menakar, geleng-geleng kepala, mata melotot dan pada akhirnya kedua bahu ikut terangkat sebagai tanda bahwa istilah tersebut terlalu asing dalam kosakata terutama bagi generasi milineal yang lahir diabad digital seperti saat ini.
Sama seperti kebanyakan, kita pasti kehilangan petunjuk, sejak kapan istilah itu pernah digunakan, sehingga rasanya begitu hambar ditelinga dan di dalam perbendaharaan kosakata kita.
Namun, respon yang berbeda akan terjadi ketika istilah itu diperjelas, bahwa yang dimaksud dengan “lidah burung” adalah Cengkeh sedangkan “Buah Berkulit Merah” adalah Pala, seketika ingatan kita bercumbu dengan kenangan masa lalu, menyuburkan nostalgia tentang buah penghasil bahan rempah dan obat herbal, komoditi primadona yang paling diburu bangsa luar kala itu.
Ah. Cengkeh dan Pala semerbak aroma khasnya merupakan komoditas yang sudah cukup familier, di ingatan kita, di hidung kita, hingga keharumannya seperti yang pernah digambarkan Herodotus jauh di abad ke-5 SM, penulis yang juga ahli geografi dan sejarawan Yunani kuno itu, menuturkan bahwa : “seluruh negeri semerbak karena wanginya, dan menguarkan bau yang amat manis”.
Sayangnya, wangi-harum bau Cengkeh dan Pala tidak sewangi dengan harganya, tidak seharum dihati khalayak ramai, banyak di antara kita seolah enggan ambil peduli atas sejumlah soal yang dihadapi oleh Petani Cengkeh dan Pala. Entah karena jenuh, atau pura-pura lupa.
Memang menolak lupa di tengah standar hidup yang carut-marut, hanya akan menyita kita untuk menikung sejenak dari fakta yang tertuang dalam narasi-narasi yang meyakinkan nalar tapi syarat dengan muslihat dan intrik.
Ruang publik akhirnya hanya disesaki oleh sejumlah obrolan sesuai term yang telah dipesan, Isu tentang Pemanasan Global (Global Warning), Perubahan Cuaca (Climate Change), Perdagangan Obat Terlarang (Drug Trafficking), Kelangkaan Minyak Kelapa, Masa-Jabat, Revisi-UU, Kasus mesum yang diduga pelakunya adalah salah satu Artis terkenal, Skandal seks para Pejabat, atau sekedar membahas fenomena gunung bawah laut.
Isu-isu tersebut seolah mendapat perhatian lebih dari berbagai kalangan, sebaliknya, isu tentang kesejahteraan rakyat sunyi menyentuh ruang publik, kalaupun ada tidak lebih dari sekedar menyentuh kulit, terlebih kajian tentang nasib Petani Cengkeh dan Pala. Padahal kontribusi dari dua komoditi itu telah memperkenalkan identitas kita, daya tariknya membuat galeon-galeon Portu-Spanyol datang menjamah di sekitar pesisir pantai kita.
Tercatat Tahun 1512, di bawah pimpinan Francisco Serrao untuk pertama kalinya Portugis berlabuh di Ternate, sembilan tahun kemudian, tepatnya di Tahun 1521 kapal Trinidad dan Victoria asal Spanyol dipimpin langsung oleh Juan Sebastian Elcano melego jangkar didermaga Tidore.
Atas kontribusi kedua komoditi ini, banyak negara dunia saling bertikai, dari pesona Cengkeh dan Pala, sisi kebiadaban, proses de-humanisasi mencapai kata total menyetubuhi kisah hidup para leluhur kita. Penyiksaan dan kekerasan terus diadu tari oleh mereka penghuni benua berambut pirang.
Drama ini terus hidup dan diabadikan dalam hikayat dan sejarah.
“Maloko Kie Raha" atau Dunia berdirinya empat gunung, seketika menjadi populer dimata bangsa Eropa, naik Tahta menjadi kawasan yang paling diburu, diincar kala itu, karena wangi yang ditebarkan kawasan ini, mampu memicu bukan hanya adrenalin melainkan taruhan jiwa dan raga.
Mereka dengan penuh gairah menjahit dari satu samudera ke benua yang lain guna memperoleh bahan mentah, mencari “formula-rahasia” yang paling dibutuhkah oleh bangsanya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun sebagai sarana perdagangan mereka.
Terlepas sebagai alasan sekedar untuk kepentingan bisnis atau untuk survive di benua asal mereka, yang jelas ekspedisi itu sekaligus menunjukkan kejayaan kaum tirani-hipokrit disimpang empat jalur koloninya. Siapa yang dig-daya dialah yang pantas memperoleh banyak hasil.
Politik perkoncoaan terus dipraktikkan guna memuluskan rencana-rencana mereka. Penuh tipu dan adu domba. Tak heran, ada pameo jaman penjajahan : “Warga asing berpangku kaki, bangsa pribumi berbanting tulang”.
Ironis.
Cengkeh, Pala yang dibanderol ketat nafsu serakah para penjajah itu, tanpa diduga telah menggelorakan api juang bangsa pribumi. Endingnya, dengan segala keterpaksaan bani berkulit kasar itu harus angkat jangkar di seluruh wilayah perairan kita. Kembali menuju kampung benua mereka.
Mereka boleh saja pulang dengan kekalahan, namun tidak dengan kekejaman yang mereka tinggalkan. Kenangannya terus diingat. Abadi dalam catatan sejarah bangsa kita. Jika dahulu, Cengkeh dan Pala adalah satu dari sekian banyak alibi para penjajah menjadi tamu tak diundang, lantas bagaimana situasinya setelah bangsa ini merdeka?
ERA KEMERDEKAAN
Tak ada perasaan yang paling mewakili bagi Petani Cengkeh dan Pala kecuali rasa kecewa, di mana komoditi sakti dari jaman separuh purba, yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi pemiliknya, yang masih disemai, dirawat dan dipelihara agar terus subur hingga saat ini, ternyata masih bernasib pilu, meski proklamasi telah diucapkan dengan lantang oleh Bung Karno kala itu.
Hampir seluruh Petani tak terkecuali Petani Cengkeh dan Pala, sejak dahulu hingga memasuki alam merdeka kondisinya tetap mengharu-biru.
Lihatlah. Betapa pun hebatnya Soekarno, tokoh proklamator yang disegani oleh pemimpin-pemimpin dunia, dikenal sebagai “Penyambung Lidah Rakyat”, garis komando kepemimpinan nasional pasca kemerdekaan di bawah tampuk kekuasaan “Putra Sang Fajar” itu, sayangnya terlanjur dikelola, dikelilingi oleh kaum muda radikal kerakyatan yang lemah lagi rapuh, sehingga memberi cukup ruang terhadap ampas feodalisme untuk bermetamorfosis menjadi Borjuasi Nasional (Baca : Kapitalis Lokal), yang mapan lagi kuat.
Harga komoditi ini pun jatuh-bangun tanpa kuasa untuk bertahan. Orde lelaki paruh baya yang biasa disebut the great seducer (Perayu Terhebat) itu runtuh berganti Mandataris-Supersemar.
Lain Soekarno lain pula Soeharto.
Dahulu, di era sebelum reformasi, ditangan penguasa Orde Baru, memang tak dapat disangkal, atau mungkin karena secara kebetulan, Soeharto adalah "Bapak Pembangunan Bangsa", sekaligus pelaksana swasembada pangan, sehingga Cengkeh dan Pala sedikit diberi reward, naik status dari lokal menjadi "Komoditi Nasional".
Wajah Petani Cengkeh dan Pala seketika berubah sumringah, berseri-seri, ada senyum puas atas pajak-keringat yang selama ini dicucurkan mendapat ganjaran yang setimpal.
Istilah Cengkeh 80 adalah yang paling populer untuk mendeskripsikan masa jaya Petani Cengkeh waktu itu, namun kegembiraan dan kebahagiaan berlangsung tidak lebih dari tiga purnama, sebelum mencapai ketidakpastiaan yang terus berkepanjangan.
Dari ketidakpastiaan ini, kita dapat saja mendikte, jika Petani sedang resah, Petani kian gelisah, Petani pasti sedang marah dengan seabrek soal yang melilitnya.
Situasi ini, jika terus dibiarkan dan tidak diarifi dengan baik, besar kemungkinan apa yang dahulu Babullah, Nuku dan Khairun pernah lakukan akan terulang kembali.
Lalu apa dasar yang menjadi sebab ketidakpastiaan ini?
Satu dari sekian banyak soal dapat diduga sebagai-sebab ketidakpastiaan harga Cengkeh dan Pala adalah status “Komoditi Nasional yang sengaja di Lokalkan”.
Fluktuatifnya harga kedua komoditi tersebut dilahirkan prematur dari rahim ini, yang dalam mantra “Dibawah Bendera Revolusi”nya Bung Karno lebih sering memakai istilah “stelsel-kapitalis”.
Sebuah genre yang telah diabadikan sebagai aturan, sebagai gaya pergaulan hidup, sebagai patokan dan acuan, sebagai hukum, di mana negara hanya menjadi seperangkat alat pelengkap dari kebijakan yang telah ada. Hukum pasar selebihnya ditentukan oleh mereka yang bermodal.
Tak mengherankan apabila term kriminologi-kritis kemudian meredusir kata “kebijakan” dengan ungkapan : Kebijakan itu sesungguhnya kejahatan yang diformalkan. Meminjam istilah Nuseir Yassin atau yang lebih akrab dikenal dengan Nas Daily, seorang blogger vidio berkebangsaan Palestina-Israel : Ada sosialisme untuk orang kaya dan kapitalisme bagi orang miskin.
Adi-kuasa, rakyat jelata bisa apa.
Jauh, kita harus tetap eling pada fakta yang ada, sadar bahwa Cengkeh dan Pala tidak sekedar komoditi semata, ia dapat melampaui jati diri, sebuah identitas, barangkali juga sebagai penanda kaum minoritas yang terus berjuang hidup di atas bumi yang kaya namun rakyatnya sengsara.
Cengkeh dan Pala adalah perkara nasional yang tak dapat ditawar pada tingkat lokal. Ini persoalan jati-diri. Persoalan identitas, pertempuran ideologi antara politik berduel ekonomi.
Diperlukan adanya keseriusan, dibutuhkan sentuhan tangan dingin dari mereka yang memegang kekuasaan. Meramunya, meraciknya yang pada akhirnya ada regulasi yang berpihak pada kepentingan Petani, pemodal-kelas-kakap hingga tengkulak-lokal bermata sipit yang sesuka hati menekan harga harus terus diawasi, bila nakal perlu untuk ditertibkan. Memang saat ini, harga kedua komoditi agak sedikit membawa senyum, entah kedepan.
Negara harus serius terus ambil bagian, tidak hanya menentukan urusan harga, melainkan bagaimana sehingga Petani dapat memperoleh keahlian sendiri untuk mengolah Cengkeh dan Pala menjadi industri yang mandiri, tidak hanya sekedar panen-jual layaknya aktivitas yang selama ini dilakukan, melainkan juga harus dibekali sampai ditahap produksi. Membuka pasar bagi usaha Petani. Bukankah Cengkeh dan Pala masih terus diminati baik domestik maupun dalam kancah internasional? Bukankah alam kita berlimpah dalam ketersediaan bahan baku?
Petani harus mampu mendorong parlemen agar status komoditi Cengkeh dan Pala dirumuskan dalam agenda nasional dan patut dijadikan skala prioritas.
Apa pun itu, segalanya berpulang pada semangat dan keteguhan para Petani. Mustahil harapan itu dapat diwujudkan apabila kekuatan Petani dan seluruh komponen anak bangsa bergerak sporadis.
Petani harus terorganisir secara sistematis, mampu melumpuhkan kesadaran ekonomisnya, berupaya melahirkan kesadaran politiknya, kesadaran untuk berjuang dan memperjuangkan identitasnya. Di sini sikap kepeloporan menjadi harga mati bagi Petani apabila ingin mewujudkan impian di masa nanti.
Seperti kata St. Agustinus 345-430 : "Masa kini sebagaimana kita alami saat ini, Masa lalu sebagaimana kini, dan Masa depan sebagai harapan masa kini". Masa depan adalah konsekuensi logis dari cara kelola kita di masa kini.
JAYALAH PAK TANI ✊️
Meracik Formula Rahasia sama seperti Menjahit Jalur Rempah ☯
#Coretantetelawas
#Motivasi #Inspirasi #Quotes #Katabijak #Nasihat #kehidupan #sajak #puisi
Picture by Pinterest
0 notes
The first circumnavigation 1519-1522
None other than Ferdinand Magellan is credited with the first circumnavigation of the globe. However, it was not Magellan who accomplished this, it was Juan Sebastián de Elcano.
Juan Sebastián de Elcano (x)
In fact, Magellan set out with 5 ships (Trinidad, San Antonio, Concepcion, Victoria and the Santiago) on 20 September 1519 to reach the Spice Islands, the Moluccas, which today belong to Indonesia. The plan was to buy the spices on the spot and not to buy them expensively from the Portuguese. There was still no talk of sailing around the world. He set out with 245 men from 10 different nations. There was still no talk about Elcano. He was born in 1486/87 in Spain and had originally been a merchant captain who had joined the Spanish navy 10 years before the expedition in order to escape a punishment that awaited him because he had illegally sold his ship abroad. He was part of the crew of the Concepcion and was in charge of navigation, whether as an officer or a boatswain is unclear.
Ferdinand Magellan discovering the sea passage, which would later become known as the Straits of Magellan, in November, 1520, the orginal was painted by Oswald Walters Brierly (1817-1894) (x)
In December 1519, the small fleet found itself on the coast of Brazil due to a gross navigational error. Magellan slowly felt his way along the coast until a mutiny broke out on 1 April. The officers of the San Antonio, Concepcion and Victoria rebelled against wintering and demanded an immediate return. The mutiny was put down by Magellan, but one captain was hanged, one was abandoned and the third had already died during the mutiny. On 22 May, the Santiago was lost. It took a long and nerve-wracking time, but on 28 November 1520, three ships reached the Pacific Ocean after crossing what is now known as the Strait of Magellan. The fourth ship, the San Antonio, experienced another mutiny and in the meantime had turned back towards Spain.
This is a painting of the mutiny to overthrow Magellan. - Stefano Bianchetti (x)
The journey continued for the other three and they reached the Mariana Islands on 6 March 1521. There the men hoped to find food and water, but were attacked by the natives. Only with the last of his strength did Magellan manage to retrieve his belongings and plunder the natives. Supplied with food, the Spaniards arrived on the 16th. March, the Spaniards reached the Philippines. Now wiser from their previous experiences, they looked for an uninhabited island from where they made friends with the natives of one of the islands. Sufficiently supplied with food and water, they went to the island of Cebu where Magellan died because of a promise to support the ruler in an invasion against the neighbouring island.
In the following weeks, many Europeans died of diseases and injuries, so that the Concepcion had to be abandoned. The Victoria and the Trinidad went to Borneo. There Elcano became captain and leader of the expedition. On 6 November they finally reached the Spice Islands and bought what they needed and tried to sail back across the Pacific. The Trinidad, which was too badly damaged, had to be repaired first and was then to return home alone.
Oceanic voyages of Ferdinand Magellan and his crew, 1519–22
Elcano tried his luck through Portuguese waters, but scurvy , which was a big problem in this expedition, struck again and Elcano had to sail to the Cape Verde Islands. His disguise of being a Spaniard off course worked until the Portuguese found the spices. Elcano was lucky to escape with 20 men, but he had to leave 13 behind, who ended up in prison. Elcano arrived back in Spain on 6 September. The Trinidad never made it, because she was attacked by the Portuguese and her crew was put in prison. Out of her 54 men crew, only 4 made it back to Spain.
Elcano became rich from the share of spices which were sold and was also knighted. However, he did not enjoy this for long, because he died somewhere in the Central Pacific in 1526 during another expedition to the Spice Islands, where he was the chief navigator.
76 notes
·
View notes