Tumgik
#Karakteristik Risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam
belajarislamonline · 6 years
Link
(Khashaishu Risalati Muhammadin)
Risalah yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri yang berbeda dengan risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu.
Karakteristik dan keistimewaan tersebut diantaranya adalah:
Pertama, Sang Pembawa risalah adalah khatamul anbiya (penutup para nabi)
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta’ala,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Ahzab, 33: 40).
Tidak ada lagi nabi setelah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, kecuali para pembohong yang mengaku-ngaku menjadi nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengkonfirmasi tentang hal ini dengan sabdanya,
وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya akan datang pada umatku tiga puluh pembohong, semuanya mengaku sebagai nabi, padahal akulah penutup para nabi (khaatamun nabiyyin), tak ada lagi nabi setelahku.” (HR. Abu Daud)
Kedua, risalah yang dibawanya adalah nasikhur risalah (penghapus risalah sebelumnya)
Maksudnya adalah bahwa risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi satu-satunya risalah yang wajib dianut dan diamalkan sampai akhir zaman. Adapun risalah para nabi sebelumnya, terutama berkenaan syariat-syariat tertentu, telah terhapus oleh syariat Islam dan tidak berlaku lagi.
Telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau sangat marah ketika melihat Umar bin Khatthab memegang lembaran yang di dalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ أَلَمِ آتِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً ؟ لَوْ كَانَ مُوسَى أَخِي حَيًّا مَا وَسِعَهُ إلاَّ اتِّبَاعِي .
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya).
Ketiga, risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mushaddiqan lil anbiya (membenarkan para nabi)
Maksudnya adalah membenarkan bahwa Allah Ta’ala telah mengutus rasul-rasul kepada umat-umat dahulu, dan Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada mereka, seperti Taurat, Injil dan sebagainya. Allah Ta’ala berfirman,
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإِنْجِيلَ
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.” (QS. Ali Imran, 3 : 3)
Al Qur’an adalah pentazkiyah (yang merekomendasi) kitab-kitab sebelumnya, apa saja berita yang dibenarkannya maka berita itu diterima dan apa saja berita yang ditolaknya, maka berita itu tertolak. Ia menjadi barometer untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang ada di tangan ahlul kitab.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. Al-Maidah, 5: 48)
Al-Qur’an menolak sebagian berita yang ada di kitab-kitab terdahulu karena kitab-kitab tersebut telah tercampuri oleh perkataan-perkataa manusia.
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ
“…..Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya semula, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu, (Muhammad) akan selalu melihat kekhianatan dari mereka, kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat)……..”. (QS. Al Maidah, 5: 13)
Keempat, risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keistimewaan karena menjadi mukammilur risalah (penyempurna risalah sebelumnya)
Berkenaan dengan hal ini dalam sebuah hadits diriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلاَ وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpamaanku dengan perumpamaan para nabi sebelumku adalah seumpama seseorang yang membangun sebuah rumah; di mana ia menjadikan rumah itu indah dan sempurna. Namun terdapat satu sisi dari rumah tersebut yang belum disempurnakan (batu batanya). Sehingga hal ini menjadikan manusia menjadi heran dan bertanya-tanya, mengapa sisi ini tidak disempurnakan? Dan akulah batu bata terakhir itu (yang menyempurnakan bangunannya), dan aku adalah penutup para nabi.” (HR. Bukhari)
Kelima, risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keistimewaan karena ditujukan kepada kaafatan linnas (seluruh umat manusia). Bukan hanya untuk suku bangsa tertentu saja sebagaimana risalah para nabi sebelumnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba, 34 : 28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya…” (HR. Bukhari)
Keenam, risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah risalah rahmatan lil ‘alamin (yang menjadi rahmat bagi semesta alam).
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya, 21 : 107)
Kehadiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kemanfaatan bagi seluruh umat manusia. Risalah dan syariat yang dibawanya menjadi jalan bagi manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)
Risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan dengan hikmah dan pelajaran yang indah; diiringi kebaikan dan keadilan, kemudahan dan kelembutan.
Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
“Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam: ‘Agama bagaimanakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau menjawab: “Agama yang lurus lagi toleran.” (HR. Ahmad no. 2017, Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 287, dan Abd bin Humaid no. 569. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairih)
Dan dari jalur Aisyah dengan lafal,
إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
“Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lurus lagi toleran.” (HR. Ahmad no. 24855. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini kuat dan sanadnya hasan)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا ، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
“Mudahkan dan jangan dipersulit, berikan kabar gembira dan jangan dibuat lari”. (HR. Bukhari)
Al-Huda dan Dinil Haq
Inilah keistimewaan risalatul Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah al-huda (petunjuk) dan dinil haq (agama yang benar). Risalah Islam adalah pengganti agama-agama dan syariat yang telah dibawa oleh para Rasul sebelumnya, mengoreksi kesalahan dan kekeliruan akidah agama dan kepercayaan yang dianut manusia yang tidak berdasarkan agama, serta untuk menetapkan hukum-hukum yang berlaku bagi manusia sesuai dengan perkembangan zaman, perbedaan keadaan dan tempat. Hal ini juga berarti dengan datangnya agama Islam yang dibawa Muhammad itu, maka agama-agama yang lain tidak diakui lagi sebagai agama yang sah di sisi Allah.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. As-Shaff, 61: 9)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath, 48 : 28)
Inilah ad-da’wah (dakwah) yang diemban Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau diutus oleh Allah Ta’ala kepada seluruh umat manusia agar menjadi syahidan (saksi) terhadap orang-orang (umat) yang pernah mendapat risalahnya;
Menjadi basyiran (pembawa kabar gembira) bagi orang-orang yang membenarkan risalahnya dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang dibawanya bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga;
Menjadi nadziran (pemberi peringatan) kepada mereka yang mengingkari risalahnya, bahwa mereka akan diazab dengan siksa api neraka;
Menjadi da’iyan ilallah (penyeru ke jalan Allah) agar manusia mengakui keesaan Allah dan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan agar mereka beribadat kepada-Nya dengan tulus ikhlas;
Dan menjadi sirajan munira (cahaya yang menerangi) laksana sebuah lampu yang terang benderang yang dapat mengeluarkan mereka dari kegelapan dan kekafiran kepada cahaya keimanan dan menyinari jalan-jalan yang akan ditempuh oleh orang-orang yang beriman agar mereka berbahagia di dunia dan di akhirat.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab, 33: 45-46)
Wallahu A’lam.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/07/06/karakteristik-risalah-muhammad-shalallahu-alaihi-wa-sallam/
0 notes
whitehoed · 4 years
Text
KARAKTERISTIK RISALAH MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
KARAKTERISTIK RISALAH MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
(Khashaishu Risalati Muhammadin)
Risalah yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki karakteristik dan keistimewaan tersendiri yang berbeda dengan risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu.
Karakteristik dan keistimewaan tersebut diantaranya adalah:
Pertama, Sang Pembawa risalah adalah khatamul anbiya (penutup para nabi)
Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta’ala,
م…
View On WordPress
0 notes
belajarislamonline · 7 years
Link
Oleh: M. Indra Kurniawan
Risalah Islam memiliki sifat khas yang membedakannya dengan ajaran yang lain,
Pertama, karakteristik rabbaniyah (ketuhanan).
Yang dimaksud rabbaniyyah disini adalah meliputi dua kriteria: (1) Rabbaniyah ghayah (tujuan) dan wijhah (orientasi), (2) Rabbaniyyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (pedoman).
Yang dimaksud rabbaniyah ghayah (tujuan) dan wijhah (orientasi), adalah bahwa sifat khas Islam itu menggiring manusia kepada satu ghayah (tujuan) dan satu wijhah (orientasi), yaitu Allah Rabbul ‘Alamin. Islam mengarahkan manusia agar menjadikan Allah Ta’ala sebagai tujuan akhir dan sasarannya, puncak cita-citanya, sehingga akhir dari usaha dan kerja keras mereka dalam kehidupannya di alam fana ini adalah Allah Ta’ala.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq, 84: 6)
Manusia di dunia ini baik disadarinya atau tidak adalah dalam perjalanan kepada Tuhannya. Dan tidak dapat tidak, dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan-Nya dari perbuatannya yang buruk maupun yang baik.
Ajaran Islam memang memiliki tujuan dan sasaran yang bersifat sosial kemasyarakatan. Namun semuanya itu adalah dalam rangka memenuhi sasaran yang lebih besar, yaitu keridhoan Allah Ta’ala dan pahala kebaikan dari-Nya.
Dalam Islam ada tasyri (hukum) dan muamalah untuk mengatur kehidupan manusia sehingga dapat merasakan kebahagiaan; ini pun berada dalam kerangka mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk beribadah kepada-Nya serta berusaha untuk meraih ridha-Nya.
Dalam Islam ada jihad dan perang melawan musuh, tetapi tujuannya adalah sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal, 8: 39)
Jadi, segala yang ada dalam Islam -berupa syariat (aturan/hukum), taujih (arahan), dan irsyad (bimbingan)- semata-mata dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia supaya menjadi hamba yang mukhlis (murni mengabdi) kepada Allah Ta’ala, bukan kepada selain-Nya.
*****
Berikutnya, yang dimaksud rabbaniyyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (pedoman) adalah bahwa Islam memiliki sifat khas menggiring manusia kepada satu mashdar dan satu minhaj, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl, 16: 89)
Posisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mashdar dan manhaj ini tidak lebih hanyalah:
Membaca dan menghafalnya.
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى
“Kami akan membacakan (Al Quraan) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” (QS. Al-A’la, 87: 6)
Menyampaikan dan berdakwah.
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5: 67)
Mentafsirkan dan menjelaskannya.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl, 16: 44)
Oleh karena itu, hanya Islamlah satu-satunya agama yang manhaj-nya bersumber dari kalimatullah. Adapun ajaran lain sumbernya adalah akal pikiran, filsafat, atau penafsiran menyimpang atau tambahan terhadap ajaran agama hingga merubah prinsip-prinsipnya.
Al-Qur’an adalah mashdar dan manhaj yang terjaga keasliannya, sebagaimana diproklamirkan oleh Allah Ta’ala sendiri,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr, 15: 9)
Secara umum, risalah Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah ini akan terjaga sampai akhir zaman. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ ، وَانْتِحَالِ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَأْوِيلِ الْجَاهِلِينَ
“Ilmu ini akan dibawa dan dipelihara oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka akan membersihkannya dari tahrif (penyimpangan) kaum ekstrem, manipulasi kaum sesat, dan penafsiran kaum yang jahil.” (HR. Malik)
Kedua, karakteristik syumuliyah (menyeluruh/universal).
Pembahasan mengenai karakteristik syumuliyah ini sudah kita bahas di materi syumuliyatul Islam sebelumnya. Kesimpulannya bahwa ajaran Islam itu bersifat syumuliyatuz-zaman (mencakup seluruh dimensi waktu), syumuliyatul minhaj (mencakup seluruh pedoman kehidupan), dan syumuliyatul makan (mencakup seluruh dimensi ruang).
Sebagai tambahan, Syaikh Yusuf Qaradhawy dalam bukunya Al-Khashaisul Ammah Lil Islam menyebutkan bahwa risalah Islam juga mencakup seluruh sisi kemanusiaan (insaniyyah). Maksudnya, Islam itu adalah risalah bagi akal, ruh, jasad, kemauan, instink maupun naluri.
“Islam tidak memisahkan manusia dalam dua bagian sebagaimana dilakukan agama-agama lain: bagian ruhani diarahkan oleh agama dan ditujukan ke tempat ibadah…bagian yang lain adalah sisi material di mana agama dan para pemukanya tidak mempunyai kekuasaan apa pun di sana. Bagian ini adalah untuk kehidupan, untuk dunia politik, masyarakat dan negara…”[1]
Karakteristik syumuliyah juga terlihat dari cakupan risalah Islam yang menyertai manusia dengan taujih dan syariat sejak manusia itu bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan sampai masa tua.
Syariat Islam dikatakan menyeluruh karena mencakup tata aturan bagi individu dalam ibadah dan hubungannya dengan Tuhan, mencakup perilakunya, mencakup apa saja yang berhubungan dengan masalah keluarga, yaitu masalah pernikahan, talak, nafkah, penyusuan, warisan.
Mencakup pula hubungan dengan moneter dan bisnis serta apa saja yang berkaitan dengan tukar menukar harta benda.
Mencakup apa saja yang berkaitan dengan kriminalitas berikut kadar hukumannya, seperti hudud, dan qishash.
Mencakup apa saja yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyat, dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah. Dan mencakup apa saja yang dapat mengatur hubungan antar negara, baik ketika damai maupun saat perang antara kaum muslimin dan selain mereka.
Syaikh Yusuf Qaradhawy juga menyebutkan tentang syumuliyah iltizam. Menurut beliau, syumul yang menjadi ciri khas Islam ini harus diimbangi dengan syumul dari sisi iltizam (komitmen) kaum muslimin. Yakni komitmen dengan Islam secara total. Maka seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagian ajaran dan hukum Islam, dan mencampakkkan bagian yang lain, baik itu karena kesengajaan atau kemalasan. Karena ajaran Islam itu satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah.
Al-Qur’an telah mencela Bani Israil lantaran mereka memilah-milah hukum-hukum agama karena menuruti hawa nafsu. Mereka melaksanakan sebagian hukum-hukum itu yang dipandang menyenangkan, dan meninggalkan yang dianggap berat. Allah Ta’ala sangat mencela mereka melalui firman-Nya,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. tulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al-Baqarah, 85 -86)
Ketiga, karakteristik al-ijabiyyah (membangun sikap positif).
Ajaran Islam mendorong umatnya bersikap positif. Diantara wujud karakter al-ijabiyyah ini adalah Islam menolak sikap dan pemikiran pesimisme, yaitu menganggap bahwa segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah buruk atau jahat. Penganut paham ini akan melihat bahwa hidup selalu berisi kejahatan, sekalipun secara nyata selalu ada kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian, gambaran hidup yang ditampilkan para pesimis ini adalah kehidupan suram dan tiada harapan. Perasaan sedih, kemurungan, putus asa, absurditas, sakit, dan kematian, dipandang sebagai bersifat dasariah.
Menolak Pesimisme
Sedangkan ajaran Islam menanamkan sikap positif kepada jiwa manusia dalam menghadapi kondisi dan situasi apa pun. Hal ini tergambar dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim dari Shuhaib)
Berkenaan dengan kesabaran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa kesabaran dapat menghapuskan dosa,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya”. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Islam memiliki pandangan yang unik tentang kematian dan kehidupan, kesedihan dan kegembiraan, kesakitan dan kesehatan, dimana semuanya dipandang dengan pandangan positif sebagai ujian dalam kehidupan yang akan membawa kepada kebaikan jika disikapi dengan sikap yang tepat menurut tuntunan Sang Pencipta Kehidupan, Allah Ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk, 67: 1-2).
Islam selalu mengajarkan sikap optimisme meski dalam realita yang paling buruk sekalipun.
Salah satu contohnya adalah  ia menegaskan bahwa kebenaran itu akan unggul pada akhirnya dan akan mampu mengalahkan kebatilan. Banyak sekali hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan tentang akan senantiasa eksisnya para pejuang dan orang-orang yang komitmen kepada kebenaran, di antaranya adalah dua hadits berikut,
قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ “
Telah berkata Humaid bin ‘Abdirrahman: Aku pernah mendengar Mu’awiyyah saat berkhutbah berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya. Sesungguhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allah-lah yang memberi. Dan umat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allah (hari Kiamat)” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 71)
لاَ تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِى يُقَاتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ قَاهِرِينَ لِعَدُوِّهِمْ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok kecil dari ummatku yang berperang di atas perintah Allah, mereka berjaya atas musuh mereka, orang-orang yang menentang mereka tidak akan bisa membahayakan mereka sampai hari kiamat dan mereka tetap teguh dalam kondisi seperti itu” (HR. Muslim)
Mengomentari hadits-hadits tentang hal ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وَيَحْتَمِلُ أَنَّ هَذِهِ الط��ّائِفَةَ مُفَرَّقَةً بَيْنَ أَنْوَاعِ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُمْ شُجْعَانٌ مُقَاتِلُونَ وَمِنْهُمْ فُقَهَاءُ وَمِنْهُمْ مُحَدِّثُونَ وَمِنْهُمْ زُهَّادٌ وَآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَناَهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَمِنْهُمْ أَهْلُ أَنْوَاعٍ أُخْرَى مِنَ الْخَيْرِ وَلاَ يَلْزَمُ أَنْ يَكُونُوا مُجْتَمِعِيْنَ، بَلْ قَدْ يَكُونُونَ مُتَفَرَّقِيْنَ فِي أَقْطَارِ اْلأَرْضِ
“Kelompok ini kemungkinan adalah kelompok yang tersebar di antara kaum muminin. Di antara mereka adalah para pemberani yang berperang (di jalan Allah), fuqahaa’, ahli hadits, orang-orang yang zuhud, orang yang menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan para pelaku kebaikan yang lainnya. Tidaklah mengharuskan mereka berkumpul pada tempat yang sama, bahkan mungkin mereka tersebar di berbagai penjuru negeri” (Syarh Shahih Muslim, 13/67 – Maktabah Syamilah).
Menghargai Kebaikan
Karakteristik al-ijabiyah juga mencakup sifat khas Islam yang selalu memandang positif dan menghargai nilai-nilai kebaikan dan keadilan dari siapa pun datangnya. Misalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memuji peristiwa Hilful Fudhul (Perjanjian Kebajikan) yang pernah diadakan pada masa sebelum Islam di rumah Abdullah bin Jad’an at-Taimi.
Hilful Fudhul adalah sebuah pertemuan yang membicarakan tentang tidak adanya kehakiman dan undang-undang yang melindungi kepentingan segenap penduduk Mekah dan sekitarnya, terutama untuk melindungi kaum lemah dan golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat.[2]
Mengenai peristiwa itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدعَانَ حِلْفًا مَا اُحِبُّ أَنَّ لِى حُمْرَ النِّعَمِ. وَلَوِادَّعَى بِهِ فىِ الْاِسْلاَمِ لَأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an sebuah perjanjian, yang aku tidak suka menggantinya dengan unta merah (guna menyalahi perjanjian itu). Seandainya aku diajak kepada perjanjian itu di masa Islam, sungguh aku akan menyambutnya.”[3]
Islam mengajarkan sikap positif berupa penghargaan terhadap orang yang memiliki jasa, meski terhadap seorang musyrik sekalipun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melupakan jasa Muth’am bin Adi yang pernah memberikan ijarah (jaminan keamanan) kepada beliau sewaktu beliau pulang dari Thaif menuju Makkah, dimana hal ini menurut Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban (penulis buku Manhaj Haraki) merupakan tamparan keras bagi Quraisy dan menyinggung perasaannya.[4]
Sebelum pemberian ijarah itu, Muth’am bin Adi juga menjadi salah seorang tokoh Quraisy yang mendukung penghapusan boikot kepada kaum muslimin, selain Hisyam bin Amer bin al-Harits, Zuhair bin Umayyah bin al-Mughirah, dan Zam’ah bin al-Aswad. Di dalam sirah terungkap, Muth’am inilah yang berusaha menyobek naskah pemboikotan yang tergantung di Ka’bah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai dan selalu mengenang jasa baik Muth’am bin Adi, sehingga beliau pernah bersabda di Badar ketika kaum muslimin berhasil menawan 70 orang pemuka Quraisy, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.”[5]
Keempat, karakteristik at-tawazun (proporsional). 
Islam mengarahkan agar kehidupan ini berjalan secara proporsional. Memperhatikan seluruh aspek kehidupannya secara seimbang, lahir dan batin, jasmani dan rohani, serta material dan spiritual dalam kerangka ibadah meraih akhirat.
Dalam mencapai tujuan akhirat, Islam bukanlah agama yang memisahkan antara urusan batin, rohani, atau spiritual, dengan urusan lahir, jasmani, dan material. Islam tidak menerima sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memperhatikan satu aspek, dan membuang aspek yang lainnya. Islam memandang dua aspek ini adalah satu kesatuan yang harus ditempatkan secara proporsional dalam tujuan meraih akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashshash, 28: 77)
Ayat ini mengarahkan agar orang yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkannya di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan di akhirat.
Ayat ini juga mengarahkan manusia tidak meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman dan pakaian serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah Ta’ala, dan dalam kerangka ibadah kepada-Nya.
Sikap tawazzun tergambar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى »  رواه البخاري
Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: ‘Di mana posisi kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.’ Salah satu mereka berkata: ‘Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa selamanya.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.’ Lalu datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda: ‘Kaliankah yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari)
Kelima, karakteristik al-waqi’iyyah (sesuai dengan realita).
Ajaran Islam selalu sejalan dengan realita, situasi, dan kondisi manusia. Hal ini karena agama ini turun dari Allah Ta’ala yang memahami realita, situasi, dan kondisi yang dilalui oleh seluruh ciptaan-Nya.
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk, 67: 14)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’am, 6: 59)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid, 57: 22).
Islam datang dengan sistem aqidah yang waqi’iyyah, yang mengungkapkan serangkaian hakikat keimanan dengan ayat-ayat qauliyah dan kauniyah; mengajak manusia berfikir menggunakan akalnya. Aqidah Islam bukan kepercayaan-kepercayaan tanpa dasar seperti kisah-kisah Yunani atau hikayat-hikayat Romawi atau yang lainnya.
Ibadah yang ditetapkan Islam pun berkarakter waqi’iyyah sesuai fitrah manusia yang memerlukan ittishal (kontak) dengan Allah Ta’ala. Ibadah ritual di dalam Islam mampu melegakan kehausan ruhani, memberikan kepuasan fitrah dan mengisi kekosongan jiwa dengan memperhatikan kemampuan manusia yang terbatas, sehingga tidak membebani dengan sesuatu yang memberatkan,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj, 22: 78)
Dalam peribadatan, Islam memperhatikan realita manusia yang memiliki kehidupan keluarga, sosial dan ekonomi; memahami watak manusia yang memiliki rasa bosan, maka ibadah dalam Islam begitu variatif, ada ibadah badaniyah (shalat, puasa) dan ada ibadah maliyah (zakat, infaq, sedekah), ada pula gabungan keduanya (badaniyah dan maliyah) seperti haji dan umroh.
Islam memperhatikan kondisi-kondisi khusus, seperti perjalanan, sakit, dan sejenisnya. Sehingga ada rukhshah (keringanan-keringanan) dalam beribadah: shalat bagi orang sakit boleh sambil duduk atau berbaring, tayamum jika tidak ada air atau ada kondisi terluka, boleh berbuka shaum bagi orang sakit atau bepergian, mengqashar shalat bagi musafir, dll.
Semua ini merupakan kemudahan dari Allah Ta’ala yang memahami realitas dan kondisi manusia. Ketika memberikan keringanan dalam ibadah puasa, Allah Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 185)
Dalam hal akhlak, Islam menggariskan aturan akhlak yang waqi’iyyah. Sebagai contoh: Islam memang menyuruh memberi maaf, bersabar dan mengampuni pelaku kejahatan, tetapi juga memperbolehkan membalas dengan balasan yang adil sesuai koridor syariat.
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syura, 42: 40)
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl, 16: 126)
Waqi’iyyah Islam dalam akhlak terlihat pula dari diakuinya realita manusia yang bisa berbuat salah. Oleh karena itu ahli takwa di dalam Islam bukanlah mereka yang suci dari segala noda dan dosa. Allah Ta’ala mensifati salah satu ciri orang yang bertakwa dengan firman-Nya,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3: 135)
Salah satu contoh lain waqi’iyyah dalam akhlak adalah bahwa Islam memperhatikan situasi dan kondisi khusus -misalnya perang-. Sehingga dalam kondisi tersebut seorang muslim diperbolehkan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kondisi damai seperti menghancurkan bangunan, membakar pohon, dan sejenisnya. Begitupula diperbolehkan melakukan tipu muslihat untuk mengacaukan strategi dan taktik musuh.
Karakteristik waqi’iyyah pun terlihat dalam aspek syariat Islam secara umum. Islam tidak mengharamkan sesuatu yang betul-betul dibutuhkan manusia dalam kehidupannya atau dicenderungi oleh fitrahnya. Contoh: Islam tidak mengharamkan perhiasan dan hal-hal yang baik dengan syarat: ekonomis, seimbang, dan tidak berlebihan.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf, 7: 31-32)
Islam juga memperhatikan fitrah manusia yang senang dengan permainan yang baik yang tidak melanggar syariat dan adab Islam. Guna menyegarkan suasana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak Aisyah berlomba lari sebagaimana diungkapkan hadits berikut,
عن عائشة أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرِهِ ، وَهِيَ جَارِيَةٌ قَالَتْ : لَمْ أَحْمِلِ اللَّحْمَ ، وَلَمْ أَبْدَنْ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ،  فَتَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعاَلَيْ أُسَابِقُكِ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلِي ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ ، خَرَجْتُ مَعَهُ فِي سَفَرٍ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ أُسَابِقُكِ ، وَنَسِيْتُ الَّذِي كَانَ ، وَقَدْ حَمِلْتُ اللَّحْمَ ، وَبَدَنْتُ ، فَقُلْتُ : كَيْفَ أُسَابِقُكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأنَا عَلَى هَذِهِ الْحَالِ ؟ فَقَالَ : لَتَفْعَلَنَّ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ ، وَ قَالَ : هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ
Dari Aisyah bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersafar, dan tatkala itu ia masih gadis remaja (Aisyah berkata, “Aku tidak gemuk.”), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah ke depan”, lalu merekapun maju ke depan. Kemudian beliau berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, maka aku pun berlomba dengannya dan aku mengalahkannya. Tatkala di kemudian hari aku bersafar bersama beliau lalu beliau berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah maju ke depan”, kemudian ia berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, dan aku telah lupa perlombaan yang dulu dan tatkala itu aku sudah gemuk. Maka akupun berkata, “Bagaimana aku bisa mengalahkanmu wahai Rasulullah sedangkan kondisiku sekarang seperti ini?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau akan berlomba denganku”, maka akupun berlomba dengannya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku, kemudian beliaupun tertawa dan berkata, “Ini untuk kekalahanku yang dulu” (Syaikh Al-Albani berkata, “Dikeluarkan oleh Al-Humaidi di Musnadnya, Abu Dawud, An-Nasai, At-Thobroni dan isnadnya shahih sebagaimana perkataan Al-Iroqi dalam takhrij Al-Ihya’” [Adabuz Zifaf, hal 204])
Islam juga membolehkan hiburan yang baik terutama saat walimah sebagaimana dijelaskan beberapa hadits. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari [no. 5162], al-Hakim [II/183-184], al-Baihaqi [VII/288] dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [no. 2267]).
Diperbolehkan pula hiburan saat hari raya berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ فِي يَوْمِ بُعَاثٍ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari ‘Aisyah ia berkata; “Abu Bakar masuk ke dalam rumahku sementara di sisiku ada dua anak gadis Anshar. Keduanya melagukan nyanyian yang biasa dinyanyikan kaum Anshar pada hari raya Bu’ats.” ‘Aisyah melanjutkan; ‘Dan keduanya bukanlah penyanyi.’ Abu Bakar berkata; ‘Apakah ada seruling setan di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam! ‘ Waktu itu sedang hari raya ‘Iedul Fitri, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.’ (HR. Ibnu Majah No.1888).
Selain itu ada pula keterangan hadits yang memperbolehkan nyanyian dan musik pada momen lain selain pernikahan dan hari raya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْلَمُ اللَّهُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ
Dari Anas bin Malik berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, ‘Kami gadis-gadis Bani Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad’.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka.” (Hadits Ibnu Majah No.1889)
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ  يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا  يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا
Dari As-Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata “Wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. (Aisyah) berkata, “Tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “Wanita ini adalah penyanyi dari Bani Fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi (Sunan Al Kubra An-Nasa’iy 8/184 No. 8911).
Waqi’iyyah syariat Islam juga terlihat dari diperhitungkannya keadaan darurat yang sewaktu-waktu menimpa manusia. Oleh karena itu Islam memberikan rukhshah untuk memakan makanan haram sesuai kadar kebutuhannya ketika dalam kondisi darurat.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah, 2: 173)
Masih banyak lagi contoh-contoh di dalam syariat yang membuktikan bahwa risalah Islam itu waqi’iyyah. Kesimpulannya prinsip-prinsip syariat yang berkaitan dengan karakteristik waqi’iyyah ini diantaranya adalah: (1) bahwa Islam memudahkan dan menghilangkan kesulitan, sebagaimana sudah diulas sebelumnya. (2) Islam pun memperhatikan tahapan masa sehingga penerapan ajarannya menjadi kokoh; contoh mengenai prinsip kebertahapan ini diungkapkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخ��مْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ رواه البخاري
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (Al-Qur’an) adalah surat Al-Mufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.’ Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘Bal As Saa’atu Mau’iduhum Was Saa’atu Adhaa Wa Amarr.(QS. Al-Qamar: 46).’ Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali aku berada di sisi beliau.” (HR. Bukhari).
(3) Memperhitungkan situasi darurat, sehingga dapat turun nilai ideal menuju realita yang lebih rendah.
Keenam, karakteristik al-‘adalah (keadilan).
Al-‘Adalah (keadilan) adalah salah satu sifat khas Islam yang terpenting. Sinonim kata al-‘adalah adalah al-istiqamah, yang berarti lurus atau tegak. Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl. Lawan dari adil adalah aniaya.
Kata adil menurut bahasa adalah sesuatu yang tegak di dalam jiwa sebagai kejujuran dan ketulusan. Ia juga berarti imbang, pertengahan; tidak berlebihan dan juga tidak mengabaikan. Begitulah karakteristik risalah Islam. Ia mengikat manusia dengan nilai-nilai kejujuran dan ketulusan; tegak di atas kebenaran. Tidak aniaya, seimbang, dan pertengahan.
Bahkan tidaklah Allah Ta’ala mengutus rasul-rasul-Nya, tidak pula menurunkan kitab-kitab-Nya, dan tidaklah membebani umat manusia dengan berbagai syariat kecuali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid, 57: 25)
Keadilan ini wajib ditegakkan oleh para Rasul dan pengikut-pengikutnya dalam masyarakat, yaitu keadilan penguasa terhadap rakyatnya, keadilan suami sebagai kepala rumah tangga, keadilan pemimpin atas yang dipimpinnya dan sebagainya, sehingga seluruh anggota masyarakat sama kedudukannya dalam hukum, sikap dan perlakuan.
Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli dalam  Syarh Ushul Al-Isyrin menyebutkan bahwa Islam telah menjadikan sistem keadilan sebagai syiarnya. Keadilan adalah indentitasnya dalam setiap aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat baik, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang kekejian, kamungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl, 16: 90)
Ibnu Mas’ud berkata, “Ayat di atas merupakan ayat yang paling lengkap mewadahi kebaikan yang harus dilaksanakan dan keburukan yang harus ditinggalkan. Seruannya bersifat umum bagi umat manusia seluruhnya dengan menggunakan kata perintah (ya’muru) bukan sekadar anjuran.”
Diantara tugas pokok Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bersikap adil di antara umat manusia. Allah telah memerintahkannya untuk menjelaskan hal itu kepada umatnya agar mereka belajar dan meneladani beliau karena beliau adalah teladan bagi seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfiman,
وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
“Dan katakan, ‘Aku beriman kepada semua kitab yang Allah turunkan dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.’” (QS. Asy-Syura, 42: 15)
Keadilan yang diserukan Islam adalah keadilan mutlak yang berlaku umum. Allah Ta’ala berfiman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa, 4: 58).
Permusuhan yang terjadi di antara umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan atau melakukan kezaliman atau meninggalkan sikap adil.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebecianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan..” (QS. Al-Ma’idah, 5: 8)
Selanjutnya, Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli menyatakan bahwa keadilan yang dituntut oleh Islam adalah keadilan yang menyeluruh. Ia adil dalam hukum,
“Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa, 4: 58)
Ia adil dalam peradilan, menyamakan antara pihak-pihak yang berperkara walaupun berbeda kedudukannya dan kelasnya. Di samping itu ia juga adil dalam pembagian hak dan kewajiban; adil dalam menetapkan hudud dan qishas; adil di antara istri-istri jika mereka lebih dari satu; adil dalam ucapan, persaksian, dan penulisan; dan adil di antara kelompok-kelompok muslim jika terjadi perselisihan pendapat di antara mereka,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aianya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujurat, 49: 9)
Sampai disini kutipan dari Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli.[6]
Contoh penegakkan keadilan di dalam Islam disebutkan dalam nash-nash berikut,
Berbuat adil dalam beribadah.
Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhikyallahu anhuma riwayat al-Bukhâri dan Muslim :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رضي الله عنها ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ   صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ» ، فَشَدَّدْتُ، فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ: «فَصُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَلاَ تَزِدْ عَلَيْهِ» ، قُلْتُ: وَمَا كَانَ صِيَامُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ؟ قَالَ: «نِصْفَ الدَّهْرِ» ، فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita  bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?” Saya menjawab, “Benar, wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan tidurlah! karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun”. Kemudian saya meminta tambahan, lalu Beliau menambahkannya. Saya mengatakan, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya merasa diriku memiliki kemampuan”. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh Dawud Alaihissallam dan jangan engkau tambah lebih dari itu”. Saya bertanya, “Bagaimanakah cara puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang tahun).  Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia berkata, “Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (HR. Bukhari)
Berbuat adil dalam penegakan hukum.
Rasulullah shalallahu wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا ضَلَّ مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Wahai manusia, bahwasanya kesesatan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka apabila orang mulia mencuri, mereka mengabaikannya, dan apabila orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah binti Muhammad mencuri, maka Muhammad akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).
Berbuat adil kepada non muslim yang bersikap damai.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Menilik sebagian karakteristik risalah Islam ini, dapatlah kita simpulkan: Al-Islamu huwa minhajul hayah; Islam adalah pedoman hidup.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Khashaisul Ammah Lil Islam, Terjemah Rofi’ Munawwar, hal. 120 – 121
[2] Lihat: Kelengkapan Tarikh Muhammad Jilid 1, KH. Moenawar Chalil, hal. 78-79
[3] Dinukil Ibnu Katsir dalam al Bidayah (2/315), dan sanadnya shahih. Lihat kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130.
[4] Lihat Manhaj Haraki, Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban.
[5] Lihat: Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif.
[6] Syarh Ushul Al-Isyrin, Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli.
Filed under: Aqidah Tagged: karakteristik Islam Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2svKHp1
0 notes
belajarislamonline · 7 years
Photo
Tumblr media
Khashaishul Islam (Karakteristik Islam)
Oleh: M. Indra Kurniawan
Risalah Islam memiliki sifat khas yang membedakannya dengan ajaran yang lain,
Pertama, karakteristik rabbaniyah (ketuhanan).
Yang dimaksud rabbaniyyah disini adalah meliputi dua kriteria: (1) Rabbaniyah ghayah (tujuan) dan wijhah (orientasi), (2) Rabbaniyyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (pedoman).
Yang dimaksud rabbaniyah ghayah (tujuan) dan wijhah (orientasi), adalah bahwa sifat khas Islam itu menggiring manusia kepada satu ghayah (tujuan) dan satu wijhah (orientasi), yaitu Allah Rabbul ‘Alamin. Islam mengarahkan manusia agar menjadikan Allah Ta’ala sebagai tujuan akhir dan sasarannya, puncak cita-citanya, sehingga akhir dari usaha dan kerja keras mereka dalam kehidupannya di alam fana ini adalah Allah Ta’ala.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq, 84: 6)
Manusia di dunia ini baik disadarinya atau tidak adalah dalam perjalanan kepada Tuhannya. Dan tidak dapat tidak, dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan-Nya dari perbuatannya yang buruk maupun yang baik.
Ajaran Islam memang memiliki tujuan dan sasaran yang bersifat sosial kemasyarakatan. Namun semuanya itu adalah dalam rangka memenuhi sasaran yang lebih besar, yaitu keridhoan Allah Ta’ala dan pahala kebaikan dari-Nya.
Dalam Islam ada tasyri (hukum) dan muamalah untuk mengatur kehidupan manusia sehingga dapat merasakan kebahagiaan; ini pun berada dalam kerangka mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk beribadah kepada-Nya serta berusaha untuk meraih ridha-Nya.
Dalam Islam ada jihad dan perang melawan musuh, tetapi tujuannya adalah sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal, 8: 39)
Jadi, segala yang ada dalam Islam -berupa syariat (aturan/hukum), taujih (arahan), dan irsyad (bimbingan)- semata-mata dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia supaya menjadi hamba yang mukhlis (murni mengabdi) kepada Allah Ta’ala, bukan kepada selain-Nya.
*****
Berikutnya, yang dimaksud rabbaniyyah mashdar (sumber hukum) dan manhaj (pedoman) adalah bahwa Islam memiliki sifat khas menggiring manusia kepada satu mashdar dan satu minhaj, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
وَنَز��َلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl, 16: 89)
Posisi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mashdar dan manhaj ini tidak lebih hanyalah:
Membaca dan menghafalnya.
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى
“Kami akan membacakan (Al Quraan) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” (QS. Al-A’la, 87: 6)
Menyampaikan dan berdakwah.
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah, 5: 67)
Mentafsirkan dan menjelaskannya.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl, 16: 44)
Oleh karena itu, hanya Islamlah satu-satunya agama yang manhaj-nya bersumber dari kalimatullah. Adapun ajaran lain sumbernya adalah akal pikiran, filsafat, atau penafsiran menyimpang atau tambahan terhadap ajaran agama hingga merubah prinsip-prinsipnya.
Al-Qur’an adalah mashdar dan manhaj yang terjaga keasliannya, sebagaimana diproklamirkan oleh Allah Ta’ala sendiri,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr, 15: 9)
Secara umum, risalah Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan sunnah ini akan terjaga sampai akhir zaman. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ ، يَنْفُونَ عَنْهُ تَحْرِيفَ الْغَالِينَ ، وَانْتِحَالِ الْمُبْطِلِينَ ، وَتَأْوِيلِ الْجَاهِلِينَ
“Ilmu ini akan dibawa dan dipelihara oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka akan membersihkannya dari tahrif (penyimpangan) kaum ekstrem, manipulasi kaum sesat, dan penafsiran kaum yang jahil.” (HR. Malik)
Kedua, karakteristik syumuliyah (menyeluruh/universal).
Pembahasan mengenai karakteristik syumuliyah ini sudah kita bahas di materi syumuliyatul Islam sebelumnya. Kesimpulannya bahwa ajaran Islam itu bersifat syumuliyatuz-zaman (mencakup seluruh dimensi waktu), syumuliyatul minhaj (mencakup seluruh pedoman kehidupan), dan syumuliyatul makan (mencakup seluruh dimensi ruang).
Sebagai tambahan, Syaikh Yusuf Qaradhawy dalam bukunya Al-Khashaisul Ammah Lil Islam menyebutkan bahwa risalah Islam juga mencakup seluruh sisi kemanusiaan (insaniyyah). Maksudnya, Islam itu adalah risalah bagi akal, ruh, jasad, kemauan, instink maupun naluri.
“Islam tidak memisahkan manusia dalam dua bagian sebagaimana dilakukan agama-agama lain: bagian ruhani diarahkan oleh agama dan ditujukan ke tempat ibadah…bagian yang lain adalah sisi material di mana agama dan para pemukanya tidak mempunyai kekuasaan apa pun di sana. Bagian ini adalah untuk kehidupan, untuk dunia politik, masyarakat dan negara…”[1]
Karakteristik syumuliyah juga terlihat dari cakupan risalah Islam yang menyertai manusia dengan taujih dan syariat sejak manusia itu bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan sampai masa tua.
Syariat Islam dikatakan menyeluruh karena mencakup tata aturan bagi individu dalam ibadah dan hubungannya dengan Tuhan, mencakup perilakunya, mencakup apa saja yang berhubungan dengan masalah keluarga, yaitu masalah pernikahan, talak, nafkah, penyusuan, warisan.
Mencakup pula hubungan dengan moneter dan bisnis serta apa saja yang berkaitan dengan tukar menukar harta benda.
Mencakup apa saja yang berkaitan dengan kriminalitas berikut kadar hukumannya, seperti hudud, dan qishash.
Mencakup apa saja yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap rakyat, dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah. Dan mencakup apa saja yang dapat mengatur hubungan antar negara, baik ketika damai maupun saat perang antara kaum muslimin dan selain mereka.
Syaikh Yusuf Qaradhawy juga menyebutkan tentang syumuliyah iltizam. Menurut beliau, syumul yang menjadi ciri khas Islam ini harus diimbangi dengan syumul dari sisi iltizam (komitmen) kaum muslimin. Yakni komitmen dengan Islam secara total. Maka seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagian ajaran dan hukum Islam, dan mencampakkkan bagian yang lain, baik itu karena kesengajaan atau kemalasan. Karena ajaran Islam itu satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah.
Al-Qur’an telah mencela Bani Israil lantaran mereka memilah-milah hukum-hukum agama karena menuruti hawa nafsu. Mereka melaksanakan sebagian hukum-hukum itu yang dipandang menyenangkan, dan meninggalkan yang dianggap berat. Allah Ta’ala sangat mencela mereka melalui firman-Nya,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. tulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al-Baqarah, 85 -86)
Ketiga, karakteristik al-ijabiyyah (membangun sikap positif).
Ajaran Islam mendorong umatnya bersikap positif. Diantara wujud karakter al-ijabiyyah ini adalah Islam menolak sikap dan pemikiran pesimisme, yaitu menganggap bahwa segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah buruk atau jahat. Penganut paham ini akan melihat bahwa hidup selalu berisi kejahatan, sekalipun secara nyata selalu ada kebaikan dan kejahatan. Dengan demikian, gambaran hidup yang ditampilkan para pesimis ini adalah kehidupan suram dan tiada harapan. Perasaan sedih, kemurungan, putus asa, absurditas, sakit, dan kematian, dipandang sebagai bersifat dasariah.
Menolak Pesimisme
Sedangkan ajaran Islam menanamkan sikap positif kepada jiwa manusia dalam menghadapi kondisi dan situasi apa pun. Hal ini tergambar dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim dari Shuhaib)
Berkenaan dengan kesabaran, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa kesabaran dapat menghapuskan dosa,
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya”. (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Islam memiliki pandangan yang unik tentang kematian dan kehidupan, kesedihan dan kegembiraan, kesakitan dan kesehatan, dimana semuanya dipandang dengan pandangan positif sebagai ujian dalam kehidupan yang akan membawa kepada kebaikan jika disikapi dengan sikap yang tepat menurut tuntunan Sang Pencipta Kehidupan, Allah Ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk, 67: 1-2).
Islam selalu mengajarkan sikap optimisme meski dalam realita yang paling buruk sekalipun.
Salah satu contohnya adalah  ia menegaskan bahwa kebenaran itu akan unggul pada akhirnya dan akan mampu mengalahkan kebatilan. Banyak sekali hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan tentang akan senantiasa eksisnya para pejuang dan orang-orang yang komitmen kepada kebenaran, di antaranya adalah dua hadits berikut,
قَالَ حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ خَطِيبًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ “
Telah berkata Humaid bin ‘Abdirrahman: Aku pernah mendengar Mu’awiyyah saat berkhutbah berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan, maka Dia akan menjadikannya faham tentang agamanya. Sesungguhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allah-lah yang memberi. Dan umat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allah (hari Kiamat)” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 71)
لاَ تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِى يُقَاتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ قَاهِرِينَ لِعَدُوِّهِمْ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Akan senantiasa ada sekelompok kecil dari ummatku yang berperang di atas perintah Allah, mereka berjaya atas musuh mereka, orang-orang yang menentang mereka tidak akan bisa membahayakan mereka sampai hari kiamat dan mereka tetap teguh dalam kondisi seperti itu” (HR. Muslim)
Mengomentari hadits-hadits tentang hal ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وَيَحْتَمِلُ أَنَّ هَذِهِ الطَّائِفَةَ مُفَرَّقَةً بَيْنَ أَنْوَاعِ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُمْ شُجْعَانٌ مُقَاتِلُونَ وَمِنْهُمْ فُقَهَاءُ وَمِنْهُمْ مُحَدِّثُونَ وَمِنْهُمْ زُهَّادٌ وَآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَناَهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَمِنْهُمْ أَهْلُ أَنْوَاعٍ أُخْرَى مِنَ الْخَيْرِ وَلاَ يَلْزَمُ أَنْ يَكُونُوا مُجْتَمِعِيْنَ، بَلْ قَدْ يَكُونُونَ مُتَفَرَّقِيْنَ فِي أَقْطَارِ اْلأَرْضِ
“Kelompok ini kemungkinan adalah kelompok yang tersebar di antara kaum muminin. Di antara mereka adalah para pemberani yang berperang (di jalan Allah), fuqahaa’, ahli hadits, orang-orang yang zuhud, orang yang menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan para pelaku kebaikan yang lainnya. Tidaklah mengharuskan mereka berkumpul pada tempat yang sama, bahkan mungkin mereka tersebar di berbagai penjuru negeri” (Syarh Shahih Muslim, 13/67 – Maktabah Syamilah).
Menghargai Kebaikan
Karakteristik al-ijabiyah juga mencakup sifat khas Islam yang selalu memandang positif dan menghargai nilai-nilai kebaikan dan keadilan dari siapa pun datangnya. Misalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memuji peristiwa Hilful Fudhul (Perjanjian Kebajikan) yang pernah diadakan pada masa sebelum Islam di rumah Abdullah bin Jad’an at-Taimi.
Hilful Fudhul adalah sebuah pertemuan yang membicarakan tentang tidak adanya kehakiman dan undang-undang yang melindungi kepentingan segenap penduduk Mekah dan sekitarnya, terutama untuk melindungi kaum lemah dan golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat.[2]
Mengenai peristiwa itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ شَهِدْتُ فِى دَارِ عَبْدِ اللهِ بْنِ جُدعَانَ حِلْفًا مَا اُحِبُّ أَنَّ لِى حُمْرَ النِّعَمِ. وَلَوِادَّعَى بِهِ فىِ الْاِسْلاَمِ لَأَجَبْتُ
“Sesungguhnya aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud’an sebuah perjanjian, yang aku tidak suka menggantinya dengan unta merah (guna menyalahi perjanjian itu). Seandainya aku diajak kepada perjanjian itu di masa Islam, sungguh aku akan menyambutnya.”[3]
Islam mengajarkan sikap positif berupa penghargaan terhadap orang yang memiliki jasa, meski terhadap seorang musyrik sekalipun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melupakan jasa Muth’am bin Adi yang pernah memberikan ijarah (jaminan keamanan) kepada beliau sewaktu beliau pulang dari Thaif menuju Makkah, dimana hal ini menurut Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban (penulis buku Manhaj Haraki) merupakan tamparan keras bagi Quraisy dan menyinggung perasaannya.[4]
Sebelum pemberian ijarah itu, Muth’am bin Adi juga menjadi salah seorang tokoh Quraisy yang mendukung penghapusan boikot kepada kaum muslimin, selain Hisyam bin Amer bin al-Harits, Zuhair bin Umayyah bin al-Mughirah, dan Zam’ah bin al-Aswad. Di dalam sirah terungkap, Muth’am inilah yang berusaha menyobek naskah pemboikotan yang tergantung di Ka’bah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat menghargai dan selalu mengenang jasa baik Muth’am bin Adi, sehingga beliau pernah bersabda di Badar ketika kaum muslimin berhasil menawan 70 orang pemuka Quraisy, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.”[5]
Keempat, karakteristik at-tawazun (proporsional). 
Islam mengarahkan agar kehidupan ini berjalan secara proporsional. Memperhatikan seluruh aspek kehidupannya secara seimbang, lahir dan batin, jasmani dan rohani, serta material dan spiritual dalam kerangka ibadah meraih akhirat.
Dalam mencapai tujuan akhirat, Islam bukanlah agama yang memisahkan antara urusan batin, rohani, atau spiritual, dengan urusan lahir, jasmani, dan material. Islam tidak menerima sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memperhatikan satu aspek, dan membuang aspek yang lainnya. Islam memandang dua aspek ini adalah satu kesatuan yang harus ditempatkan secara proporsional dalam tujuan meraih akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashshash, 28: 77)
Ayat ini mengarahkan agar orang yang dianugerahi oleh Allah Ta’ala kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkannya di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan di akhirat.
Ayat ini juga mengarahkan manusia tidak meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman dan pakaian serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah Ta’ala, dan dalam kerangka ibadah kepada-Nya.
Sikap tawazzun tergambar dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى »  رواه البخاري
Anas bin Malik r.a. berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat sedikit). Mereka berkata: ‘Di mana posisi kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.’ Salah satu mereka berkata: ‘Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa selamanya.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah menikah.’ Lalu datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda: ‘Kaliankah yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari)
Kelima, karakteristik al-waqi’iyyah (sesuai dengan realita).
Ajaran Islam selalu sejalan dengan realita, situasi, dan kondisi manusia. Hal ini karena agama ini turun dari Allah Ta’ala yang memahami realita, situasi, dan kondisi yang dilalui oleh seluruh ciptaan-Nya.
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk, 67: 14)
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al-An’am, 6: 59)
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid, 57: 22).
Islam datang dengan sistem aqidah yang waqi’iyyah, yang mengungkapkan serangkaian hakikat keimanan dengan ayat-ayat qauliyah dan kauniyah; mengajak manusia berfikir menggunakan akalnya. Aqidah Islam bukan kepercayaan-kepercayaan tanpa dasar seperti kisah-kisah Yunani atau hikayat-hikayat Romawi atau yang lainnya.
Ibadah yang ditetapkan Islam pun berkarakter waqi’iyyah sesuai fitrah manusia yang memerlukan ittishal (kontak) dengan Allah Ta’ala. Ibadah ritual di dalam Islam mampu melegakan kehausan ruhani, memberikan kepuasan fitrah dan mengisi kekosongan jiwa dengan memperhatikan kemampuan manusia yang terbatas, sehingga tidak membebani dengan sesuatu yang memberatkan,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj, 22: 78)
Dalam peribadatan, Islam memperhatikan realita manusia yang memiliki kehidupan keluarga, sosial dan ekonomi; memahami watak manusia yang memiliki rasa bosan, maka ibadah dalam Islam begitu variatif, ada ibadah badaniyah (shalat, puasa) dan ada ibadah maliyah (zakat, infaq, sedekah), ada pula gabungan keduanya (badaniyah dan maliyah) seperti haji dan umroh.
Islam memperhatikan kondisi-kondisi khusus, seperti perjalanan, sakit, dan sejenisnya. Sehingga ada rukhshah (keringanan-keringanan) dalam beribadah: shalat bagi orang sakit boleh sambil duduk atau berbaring, tayamum jika tidak ada air atau ada kondisi terluka, boleh berbuka shaum bagi orang sakit atau bepergian, mengqashar shalat bagi musafir, dll.
Semua ini merupakan kemudahan dari Allah Ta’ala yang memahami realitas dan kondisi manusia. Ketika memberikan keringanan dalam ibadah puasa, Allah Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 185)
Dalam hal akhlak, Islam menggariskan aturan akhlak yang waqi’iyyah. Sebagai contoh: Islam memang menyuruh memberi maaf, bersabar dan mengampuni pelaku kejahatan, tetapi juga memperbolehkan membalas dengan balasan yang adil sesuai koridor syariat.
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syura, 42: 40)
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl, 16: 126)
Waqi’iyyah Islam dalam akhlak terlihat pula dari diakuinya realita manusia yang bisa berbuat salah. Oleh karena itu ahli takwa di dalam Islam bukanlah mereka yang suci dari segala noda dan dosa. Allah Ta’ala mensifati salah satu ciri orang yang bertakwa dengan firman-Nya,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3: 135)
Salah satu contoh lain waqi’iyyah dalam akhlak adalah bahwa Islam memperhatikan situasi dan kondisi khusus -misalnya perang-. Sehingga dalam kondisi tersebut seorang muslim diperbolehkan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kondisi damai seperti menghancurkan bangunan, membakar pohon, dan sejenisnya. Begitupula diperbolehkan melakukan tipu muslihat untuk mengacaukan strategi dan taktik musuh.
Karakteristik waqi’iyyah pun terlihat dalam aspek syariat Islam secara umum. Islam tidak mengharamkan sesuatu yang betul-betul dibutuhkan manusia dalam kehidupannya atau dicenderungi oleh fitrahnya. Contoh: Islam tidak mengharamkan perhiasan dan hal-hal yang baik dengan syarat: ekonomis, seimbang, dan tidak berlebihan.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf, 7: 31-32)
Islam juga memperhatikan fitrah manusia yang senang dengan permainan yang baik yang tidak melanggar syariat dan adab Islam. Guna menyegarkan suasana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak Aisyah berlomba lari sebagaimana diungkapkan hadits berikut,
عن عائشة أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرِهِ ، وَهِيَ جَارِيَةٌ قَالَتْ : لَمْ أَحْمِلِ اللَّحْمَ ، وَلَمْ أَبْدَنْ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ،  فَتَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعاَلَيْ أُسَابِقُكِ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلِي ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ ، خَرَجْتُ مَعَهُ فِي سَفَرٍ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ أُسَابِقُكِ ، وَنَسِيْتُ الَّذِي كَانَ ، وَقَدْ حَمِلْتُ اللَّحْمَ ، وَبَدَنْتُ ، فَقُلْتُ : كَيْفَ أُسَابِقُكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأنَا عَلَى هَذِهِ الْحَالِ ؟ فَقَالَ : لَتَفْعَلَنَّ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ ، وَ قَالَ : هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ
Dari Aisyah bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersafar, dan tatkala itu ia masih gadis remaja (Aisyah berkata, “Aku tidak gemuk.”), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah ke depan”, lalu merekapun maju ke depan. Kemudian beliau berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, maka aku pun berlomba dengannya dan aku mengalahkannya. Tatkala di kemudian hari aku bersafar bersama beliau lalu beliau berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah maju ke depan”, kemudian ia berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, dan aku telah lupa perlombaan yang dulu dan tatkala itu aku sudah gemuk. Maka akupun berkata, “Bagaimana aku bisa mengalahkanmu wahai Rasulullah sedangkan kondisiku sekarang seperti ini?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau akan berlomba denganku”, maka akupun berlomba dengannya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku, kemudian beliaupun tertawa dan berkata, “Ini untuk kekalahanku yang dulu” (Syaikh Al-Albani berkata, “Dikeluarkan oleh Al-Humaidi di Musnadnya, Abu Dawud, An-Nasai, At-Thobroni dan isnadnya shahih sebagaimana perkataan Al-Iroqi dalam takhrij Al-Ihya’” [Adabuz Zifaf, hal 204])
Islam juga membolehkan hiburan yang baik terutama saat walimah sebagaimana dijelaskan beberapa hadits. Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا عَائِشَةُ، مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ؟ فَإِنَّ اْلأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari [no. 5162], al-Hakim [II/183-184], al-Baihaqi [VII/288] dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [no. 2267]).
Diperbolehkan pula hiburan saat hari raya berdasarkan hadits berikut,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ الْأَنْصَارُ فِي يَوْمِ بُعَاثٍ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدِ الْفِطْرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari ‘Aisyah ia berkata; “Abu Bakar masuk ke dalam rumahku sementara di sisiku ada dua anak gadis Anshar. Keduanya melagukan nyanyian yang biasa dinyanyikan kaum Anshar pada hari raya Bu’ats.” ‘Aisyah melanjutkan; ‘Dan keduanya bukanlah penyanyi.’ Abu Bakar berkata; ‘Apakah ada seruling setan di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam! ‘ Waktu itu sedang hari raya ‘Iedul Fitri, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.’ (HR. Ibnu Majah No.1888).
Selain itu ada pula keterangan hadits yang memperbolehkan nyanyian dan musik pada momen lain selain pernikahan dan hari raya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِينَةِ فَإِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفِّهِنَّ وَيَتَغَنَّيْنَ وَيَقُلْنَ نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْلَمُ اللَّهُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ
Dari Anas bin Malik berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sebagian kota Madinah dan menemukan gadis-gadis yang sedang menabuh rebana sambil bernyanyi dan bersenandung, ‘Kami gadis-gadis Bani Najjar, alangkah indahnya punya tetangga Muhammad’.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah mengetahui, sungguh aku mencintai mereka.” (Hadits Ibnu Majah No.1889)
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ  يَا عَائِشَةُ تَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ قَالَتْ لا  يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي فُلانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ فَغَنَّتْهَا
Dari As-Saa’ib bin Yaziid bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata “Wahai Aisyah apakah engkau mengenal wanita ini?”. (Aisyah) berkata, “Tidak wahai Nabi Allah”. Beliau berkata “Wanita ini adalah penyanyi dari Bani Fulan, sukakah engkau jika ia menyanyi untukmu” maka ia menyanyi (Sunan Al Kubra An-Nasa’iy 8/184 No. 8911).
Waqi’iyyah syariat Islam juga terlihat dari diperhitungkannya keadaan darurat yang sewaktu-waktu menimpa manusia. Oleh karena itu Islam memberikan rukhshah untuk memakan makanan haram sesuai kadar kebutuhannya ketika dalam kondisi darurat.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah, 2: 173)
Masih banyak lagi contoh-contoh di dalam syariat yang membuktikan bahwa risalah Islam itu waqi’iyyah. Kesimpulannya prinsip-prinsip syariat yang berkaitan dengan karakteristik waqi’iyyah ini diantaranya adalah: (1) bahwa Islam memudahkan dan menghilangkan kesulitan, sebagaimana sudah diulas sebelumnya. (2) Islam pun memperhatikan tahapan masa sehingga penerapan ajarannya menjadi kokoh; contoh mengenai prinsip kebertahapan ini diungkapkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنْ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الْإِسْلَامِ نَزَلَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا لَقَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلْ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ وَمَا نَزَلَتْ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالنِّسَاءِ إِلَّا وَأَنَا عِنْدَهُ رواه البخاري
“Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya (Al-Qur’an) adalah surat Al-Mufashshal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, ‘Janganlah kalian minum khamer.’ Niscaya mereka akan mengatakan, ‘Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamer selama-lamanya.’ Dan sekiranya juga yang pertamakali turun adalah ayat, “Janganlah kalian berzina..’ niscaya mereka akan berkomentar, ‘Kami tidak akan meniggalkan zina selama-lamanya.’ Ayat yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah yang pada saat itu aku masih anak-anak adalah: ‘Bal As Saa’atu Mau’iduhum Was Saa’atu Adhaa Wa Amarr.(QS. Al-Qamar: 46).’ Dan tidaklah surat Al Baqarah dan An Nisa` kecuali aku berada di sisi beliau.” (HR. Bukhari).
(3) Memperhitungkan situasi darurat, sehingga dapat turun nilai ideal menuju realita yang lebih rendah.
Keenam, karakteristik al-‘adalah (keadilan).
Al-‘Adalah (keadilan) adalah salah satu sifat khas Islam yang terpenting. Sinonim kata al-‘adalah adalah al-istiqamah, yang berarti lurus atau tegak. Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl. Lawan dari adil adalah aniaya.
Kata adil menurut bahasa adalah sesuatu yang tegak di dalam jiwa sebagai kejujuran dan ketulusan. Ia juga berarti imbang, pertengahan; tidak berlebihan dan juga tidak mengabaikan. Begitulah karakteristik risalah Islam. Ia mengikat manusia dengan nilai-nilai kejujuran dan ketulusan; tegak di atas kebenaran. Tidak aniaya, seimbang, dan pertengahan.
Bahkan tidaklah Allah Ta’ala mengutus rasul-rasul-Nya, tidak pula menurunkan kitab-kitab-Nya, dan tidaklah membebani umat manusia dengan berbagai syariat kecuali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid, 57: 25)
Keadilan ini wajib ditegakkan oleh para Rasul dan pengikut-pengikutnya dalam masyarakat, yaitu keadilan penguasa terhadap rakyatnya, keadilan suami sebagai kepala rumah tangga, keadilan pemimpin atas yang dipimpinnya dan sebagainya, sehingga seluruh anggota masyarakat sama kedudukannya dalam hukum, sikap dan perlakuan.
Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli dalam  Syarh Ushul Al-Isyrin menyebutkan bahwa Islam telah menjadikan sistem keadilan sebagai syiarnya. Keadilan adalah indentitasnya dalam setiap aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat baik, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang kekejian, kamungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl, 16: 90)
Ibnu Mas’ud berkata, “Ayat di atas merupakan ayat yang paling lengkap mewadahi kebaikan yang harus dilaksanakan dan keburukan yang harus ditinggalkan. Seruannya bersifat umum bagi umat manusia seluruhnya dengan menggunakan kata perintah (ya’muru) bukan sekadar anjuran.”
Diantara tugas pokok Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bersikap adil di antara umat manusia. Allah telah memerintahkannya untuk menjelaskan hal itu kepada umatnya agar mereka belajar dan meneladani beliau karena beliau adalah teladan bagi seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfiman,
وَقُلْ آمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
“Dan katakan, ‘Aku beriman kepada semua kitab yang Allah turunkan dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.’” (QS. Asy-Syura, 42: 15)
Keadilan yang diserukan Islam adalah keadilan mutlak yang berlaku umum. Allah Ta’ala berfiman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa, 4: 58).
Permusuhan yang terjadi di antara umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan atau melakukan kezaliman atau meninggalkan sikap adil.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebecianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan..” (QS. Al-Ma’idah, 5: 8)
Selanjutnya, Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli menyatakan bahwa keadilan yang dituntut oleh Islam adalah keadilan yang menyeluruh. Ia adil dalam hukum,
“Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa, 4: 58)
Ia adil dalam peradilan, menyamakan antara pihak-pihak yang berperkara walaupun berbeda kedudukannya dan kelasnya. Di samping itu ia juga adil dalam pembagian hak dan kewajiban; adil dalam menetapkan hudud dan qishas; adil di antara istri-istri jika mereka lebih dari satu; adil dalam ucapan, persaksian, dan penulisan; dan adil di antara kelompok-kelompok muslim jika terjadi perselisihan pendapat di antara mereka,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aianya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujurat, 49: 9)
Sampai disini kutipan dari Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli.[6]
Contoh penegakkan keadilan di dalam Islam disebutkan dalam nash-nash berikut,
Berbuat adil dalam beribadah.
Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhikyallahu anhuma riwayat al-Bukhâri dan Muslim :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رضي الله عنها ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ   صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ» ، فَشَدَّدْتُ، فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ: «فَصُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَلاَ تَزِدْ عَلَيْهِ» ، قُلْتُ: وَمَا كَانَ صِيَامُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ؟ قَالَ: «نِصْفَ الدَّهْرِ» ، فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita  bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?” Saya menjawab, “Benar, wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan tidurlah! karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun”. Kemudian saya meminta tambahan, lalu Beliau menambahkannya. Saya mengatakan, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya merasa diriku memiliki kemampuan”. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh Dawud Alaihissallam dan jangan engkau tambah lebih dari itu”. Saya bertanya, “Bagaimanakah cara puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang tahun).  Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia berkata, “Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (HR. Bukhari)
Berbuat adil dalam penegakan hukum.
Rasulullah shalallahu wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا ضَلَّ مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Wahai manusia, bahwasanya kesesatan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka apabila orang mulia mencuri, mereka mengabaikannya, dan apabila orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah binti Muhammad mencuri, maka Muhammad akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).
Berbuat adil kepada non muslim yang bersikap damai.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)
Masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.
Menilik sebagian karakteristik risalah Islam ini, dapatlah kita simpulkan: Al-Islamu huwa minhajul hayah; Islam adalah pedoman hidup.
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Khashaisul Ammah Lil Islam, Terjemah Rofi’ Munawwar, hal. 120 – 121
[2] Lihat: Kelengkapan Tarikh Muhammad Jilid 1, KH. Moenawar Chalil, hal. 78-79
[3] Dinukil Ibnu Katsir dalam al Bidayah (2/315), dan sanadnya shahih. Lihat kitab as Sirah an Nabawiyah fi al Mashadir al Ashliyah, hlm. 130.
[4] Lihat Manhaj Haraki, Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadban.
[5] Lihat: Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif.
[6] Syarh Ushul Al-Isyrin, Syaikh Abdullah bin Qasim Al Wasyli.
Filed under: Aqidah Tagged: karakteristik Islam Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2svKHp1
0 notes