Tumgik
#RSSMix.com Mix ID 8295974
belajarislamonline · 6 years
Photo
Tumblr media
Mengenal Madzhab Imam Abu Hanifah (Bag. 2)
Fase dan Periodeisasi Sejarah Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi pertama kali muncul pada abad kedua Hijriyah, tepatnya pada tahu 120 Hijriyah saat Abu Hanifah menduduki jabatan mufti dan pengajar menggantikan gurunya, Hammad bin Sulaiman.[1]
Abu Hanifah memiliki murid-murid dan pengikut yang  selalu menghadiri halaqahnya, membukukan pendapat-pendapatnya, dan menyebarkannya. Diantara mereka itu  ada dua orang pengikutnya yang memiliki andil yang cukup besar, yaitu Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshori  dan Muhammad bin Al-Hasan.
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshori  
Abu Yusuf adalah orang yang pertama kali menulis kitab-kitab dalam madzhab Abu Hanifah. Ia membukukan pendapat-pendapat dan riwayatnya di sela-sela karangannya; seperti kitab Al-Atsar yang diriwayatkan dari Abu Hanifah, Ikhtilaf Ibni Abi Laila yang di dalamnya ia mengunggulkan pendapat gurunya atas rivalnya Ibnu Abi Laila, dan Ar-Raddu ‘ala Siyar Al-Auza’i  yang  di dalamnya juga mengunggulkan madzhab dan gurunya.[2]
Abu Yusuf memegang tampuk jabatan hakim pada pemerintahan Abbasiyah selama 16 tahun, dan urusan pemilihan para hakim dan penempatan mereka di seluruh wilayah pemerintahan Daulah Abbasiyah diserahkan kepadanya, yang mana biasanya ia tidak menunjuk seseorang kecuali yang bermadzhab Hanafi. Hal itu memberikan pengaruh besar pada penyebaran fiqih Abu Hanifah dan pendapatnya di penjuru-penjuru wilayah kekhalifahan Islam.[3]
Muhammad bin Al-Hasan
Ia adalah periwayat aktif madzhab Hanafi yang menyebarkan ilmu Abu Hanifah melalui karya-karyanya yang sangat banyak, dimana ia membukukan enam kitab dasar madzhab Hanafi, yang dikenal dengan kitab-kitab Zhahiru ar-Riwayah. Ini adalah kitab-kitab referensi pertama dalam fiqih Hanafi, terdiri dari: Al-Mabshuth ‘al-Ashlu’, Az-Ziyadat, Al-Jami’ as-Shaghir, Al-Jami’ al-Kabir, As-Siyar as-Shaghir, dan As-Siyar al-Kabir.[4]
Fase dan periodeisasi madzhab Hanafi dari pertumbuhan hingga saat ini terbagi dalam tiga fase:
Pertama, pembentukan dan pertumbuhan madzhab (120 – 204 H).
Fase ini dimulai sejak masa Imam Abu Hanifah hingga wafatnya Al-Hasan bin Ziyad al-Lu’luiy (wafat 204 H), salah satu dari murid senior.
Fase ini adalah fase pembentukan dan berdirinya madzhab, peletakan dasar dan penegakan pondasi yang diatasnya bisa ditentukan kesimpulan hukum, juga penjabaran cabang-cabangnya, yang kesemuanya telah sempurna di tangan Abu Hanifah sendiri dan atas pengawasannya dengan partisipasi dari murid-murid seniornya, dimana Abu Hanifah rahimahullah memiliki metode yang unik, yaitu dengan cara dialog dan debat dalam masalah-masalah fiqih hingga sebuah pendapat menjadi matang dan menjadi kesimpulan hukum, dan saat itulah beliau memerintahkan Abu Yusuf untuk membukukannya.[5] Dan bukan hanya Abu Yusuf saja yang membukukan pendapat yang dipilih, bahkan ada sepuluh orang dalam halaqah Abu Hanifah yang bertugas membukukannya, yang paling menonjol adalah empat tokoh besar: Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Hudzail, Al-Hasan bin Ziyad.[6]
Al-Muwaffaq Ibnu al-Makki menjelaskan metode Abu Hanifah ketika mengajar pengikutnya: “Abu Hanifah meletakkan madzhabnya  dengan metode syuro di antara mereka, tidak otoriter tanpa melibatkan mereka…maka beliau melontarkan kepada mereka masalah demi masalah, menggulirkannya, mendengar pendapat dari sisi mereka dan menyampaikan pendapatnya, dan membuka wacana debat dengan mereka sebulan atau lebih hingga muncul  satu pendapat terkuat dalam masalah tersebut, lalu Al-Qadhi Abu Yusuf meletakkannya dalam dasar-dasar madzhab, hingga semua dasar menjadi sempurna.”[7]
Maka, murid-murid Abu Hanifah berpartisipasi dalam mendirikan bangunan fiqih, dan tidak hanya menjadi pendengar semata.
Bahkan para pengikut tersebut—terutama Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan—mengembangkan dan merevisi madzhab setelah wafatnya Abu Hanifah. Mereka merevisi pendapat-pendapat yang menjadi rujukan mereka pada masa guru mereka, mngulasnya dan menganalisis ulang berdasarkan dalil-dalil baru, perubahan dan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, karena itulah kita mendapati Abu Yusuf dan Muhammad seringkali tak memakai pendapat yang menjadi sandaran Abu hanifah ketika mereka menelaah pendapat-pendapat ahli ilmu yang ada di Hijaz (Makkah dan Madinah).[8]
Mereka berijtihad dan tetap berafiliasi pada Imam mereka karena tetap bersandar pada kaidah-kaidahnya dan berjalan di atas metodenya dalam berijtihad. Pendapat-pendapat mereka dibukukan bersama dengan pendapat Abu Hanifah, dan seluruhnya terhitung sebagai satu madzhab bagi para pengikut madzhab Hanafi.
Kedua, fase perluasan, perkembangan, dan penyebaran (204 – 710 H).
Fase ini dimulai dari wafatnya Imam Al-Hasan bin Ziyad (204 H), dan berakhir dengan wafatnya Imam Hafidzuddin Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi, pengarang kitab matan yang terkenal Kanzu ad-Daqaiq. Ini berarti fase ini dimulai pada permulaan abad ketiga hingga akhir abad ketujuh Hijriyah.[9]
Pada permulaan fase ini muncul tingkatan masyayikh atau ulama senior madzhab yang mengerahkan daya upaya yang optimal untuk merevisi madzhab, menentukan batasan istilah-istilahnya, dan penjelasan dasar tarjih dan takhrij. Kitab-kitab Zhahiru ar-Riwayah karya Muhammad bin Al-Hasan menjadi representasi awal dari madzhab dan juru bicara bagi buah pikir dan pendapat-pendapatnya.[10]
Pada fase ini munculah kitab-kitab matan atau ringkasan, seperti Mukhtashar At-Thahawi (wafat 321 H), Al-Kharkhi (wafat 340 H), Al-Qaduri (wafat 428 H), dan Bidayatul Mubtadi’ karangan Al-Marghinani (wafat 593 H), dan lain-lain.
Muncul pula kitab-kitab syarah yang membahas permasalahan dengan panjang lebar seperti Al-Mabsuth karya As-Sarakhshiy (wafat 490 H), Badai’u as-Shanai karya Al-Kasani (wafat 587 H), Al-Hidayah karya Al-Marghinani, dan lain sebagainya.
Muncul pula kitab-kitab fatwa dan tanggapan atas berbagai peristiwa dan tragedi seperti kitab Nawazil karya As-Samarqandi (wafat 373/375 H), dan fatwa-fatwa Al-Halwani (wafat 448 H), fatwa-fatwa As-Shadru as-Syahid (wafat 536 H), fatwa-fatwa Al-Qadlikhan (wafat 592 H), dan karya-karya lainnya.
Pada abad keempat Hijriyah muncul karangan jenis lain dari pengikut madzhab Hanafi, yang dikenal dengan at-ta’shil al-haditsiy (peneguhan fondasi pemahaman hadits) menurut madzhab, sebagaimana diisyaratkan dalam kitab-kitab karya Imam At-Thahawi seperti Syarh Ma’ani al-Atsar dan Musykilul Atsar.
Muncul pula dua madrasah ushul menurut pengikut madzhab Hanafi, yaitu:
Madrasah al-Iraqiyyin, yang dipimpin oleh Abul Hasan al-Kharkhi, sebagai perluasan dari metode Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang terdahulu.
Madrasah Masyayikh Samarqan, dipimpin oleh Abu Manshur al-Maturidi yang memiliki ciri khas mengaitkan masalah ushul fiqh dengan masalah aqidah, yang menyebabkan terjadinya perbedaan karakteristik dengan madrasah Iraqiyyin.
Ketiga, fase kemapanan (710 H hingga sekarang).
Fase ini bermula dari wafatnya Imam An-Nasafi (wafat 710 H), atau dari permulaan abad kedelapan Hijriyah hingga zaman kontemporer kita saat ini.
Pada fase ini menggejala kemandegan fiqih dan stagnansi. Para pengikut madzhab mencukupkan diri dengan pendapat dan perkataan fiqih orang-orang terdahulu; atau sekedar penjelasan catatan, komentar , dan bantahan.
Gambaran kejumudan pada fase ini diantaranya adalah keaadaan seorang mujtahid yang sampai pada martabat ijtihad tidak punya keleluasaan untuk keluar dari pendapat madzhab kecuali mendesak, meskipun dengan ijtihadnya ia menemukan kesimpulan yang lebih kuat dalilnya dari seluruh pendapat madzhab.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Akhbar Abi Hanifah wa Ashabihi, hal 22; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Abi Hanifah, hal. 102.
[2] Lihat: Tarikh al-Madzhab al-Islamiyah, Abu Zahrah, hal. 363; Tarikh al-Fiqh al-Islami, Muhammad Ali as-Sayis, hal. 108.
[3] Lihat: Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Abi Hanifah, hal. 87; Tarikh al-Fiqh al-Islami, Ilyas Dardur, hal. 421.
[4] Tarikh al-Madzhab al-Islamiyah, hal. 263, 264; Al-Madkhal ila Madzhab al-Imam Abi Hanifah, hal. 103.
[5] Lihat: Al-Madzhab inda al-Hanafiyah, hal. 48; al-Madkhal li Dirasati as-Syari’ah al-Islamiyah, Abdul Karim Zaidan, hal. 157.
[6] Manaqib al-Imamul A’dzam, hal. 48
[7] Manaqib al-Imamul A’dzam, 2/133.
[8] Lihat: Al-Madzhab inda al-Hanafiyah, hal. 49; Tarikh al-Fiqh al-Islami, Muhammad Ali as-Sayis, hal. 110.
[9] Al-Madzhab inda al-Hanafiyah, hal. 49 dan 50.
[10] Al-Madzhab inda al-Hanafiyah, hal. 62.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/02/14/mengenal-madzhab-imam-abu-hanifah-bag-2/
11 notes · View notes
belajarislamonline · 5 years
Photo
Tumblr media
Tentang Makna Kata “Fitri” dalam “Idul Fitri”
Kita sering sekali menerjemahkan kata "Fitri" sebagai "Suci". Sehingga, ada film berjudul "Cinta Fitri" atau "Cinta yang Suci". Bahkan banyak anak perempuan yang diberi nama Fitri atau Fitriyah dengan pemahaman "anak perempuan yang suci". Padahal, kata fitri itu sebenarnya berarti "pecah".
The post Tentang Makna Kata “Fitri” dalam “Idul Fitri” appeared first on dakwatuna.com.
Baca selengkapnya di: https://www.dakwatuna.com/2019/06/03/95673/tentang-makna-kata-fitri-dalam-idul-fitri/
1 note · View note
belajarislamonline · 6 years
Photo
Tumblr media
Tadabbur Al-Qur’an Surat ‘Abasa (Bag. 1)
Asbabun Nuzul
Latar belakang turunnya surat ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummul Mu’minin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berikut ini:
أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ الأَعْمَى أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرْشِدْنِي، وَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الآخَرِ وَيَقُوْلُ أَتَرَى بِمَا أَقُوْلُ بَأْسًا فَيَقُوْلُ لاَ فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
“Diturunkan ‘Abasa wa Tawallaa’ berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : ‘Wahai Rasulullah berilah saya bimbingan’. Sedangkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu ada salah seorang pembesar kaum musyrikin. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki pembesar musyrikin tersebut, lalu beliau berkata: ‘Apakah menurutmu apa yang aku sampaikan kepadamu ini baik?”, maka lelaki pembesar musyrikin itu menjawab: ‘Tidak’. Tentang peristiwa inilah turun surat ‘Abasa.” (HR At-Tirmidzi no 2651)
Disebutkan pula oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya riwayat berikut ini,
بَيْنَا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَاجِي عُتْبَة بْن رَبِيعَة وَأَبَا جَهْل بْن هِشَام وَالْعَبَّاس بْن عَبْد الْمُطَّلِب , وَكَانَ يَتَصَدَّى لَهُمْ كَثِيرًا , وَيَحْرِص عَلَيْهِمْ أَنْ يُؤْمِنُوا , فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَجُل أَعْمَى , يُقَال لَهُ عَبْد اللَّه بْن أُمّ مَكْتُوم , يَمْشِي وَهُوَ يُنَاجِيهِمْ , فَجَعَلَ عَبْد اللَّه يَسْتَقْرِئ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آيَة مِنْ الْقُرْآن , وَقَالَ : يَا رَسُول اللَّه , عَلِّمْنِي مِمَّا عَلَّمَك اللَّه , فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَعَبَسَ فِي وَجْهه وَتَوَلَّى , وَكَرِهَ كَلَامه , وَأَقْبَلَ عَلَى الْآخَرِينَ ; فَلَمَّا قَضَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَأَخَذَ يَنْقَلِب إِلَى أَهْله , أَمْسَكَ اللَّه بَعْض بَصَره , ثُمَّ خَفَقَ بِرَأْسِهِ , ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّه :  عَبَسَ وَتَوَلَّى أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى وَمَا يُدْرِيك لَعَلَّهُ يَزَّكَّى أَوْ يَذَّكَّر فَتَنْفَعهُ الذِّكْرَى
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara dengan Utaibah ibnu Rabi’ah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, saat itu beliau melayani mereka dan sangat menginginkan mereka beriman. Lalu tiba-tiba datanglah seorang lelaki buta bernama Ibnu Ummi Maktum, saat itu nabi sedang serius berbicara dengan mereka. Lalu Abdullah ibnu Ummi Maktum meminta agar diajari suatu ayat dari Al-Qur’an dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan bermuka masam terhadapnya serta tidak menyukai permintaannya, bahkan beliau kembali melayani pembicaraan dengan para tokoh myusyrikin. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari pembicaraan dengan para tokoh musyrik itu dan hendak pulang ke rumah keluarganya, maka Allah menahan sebagian dari pandangan beliau dan menjadikan kepala beliau tertunduk, lalu turunlah kepadanya firman Allah yang menegur sikapnya itu: ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya?’ (‘Abasa: 1-4)” [1]
Ibnu Katsir meriwayatkan, bukan saja Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang membawakan riwayat ini, bahkan ada pula riwayat dari Urwah bin Zubair, Mujahid, Abu Malik dan Qatadah, dan Adh-Dhaahak dan Ibnu Zaid dan lain-lain; bahwa yang bermuka masam itu memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dan orang buta itu memang Ibnu Ummi Maktum.
Ibnu Ummi Maktum adalah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal. Satu-satunya orang buta yang turut hijrah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Satu-satunya orang buta yang dua-tiga kali diangkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi wakilnya jadi Imam di Madinah jika beliau bepergian.
Ibunda Ibnu Ummi Maktum tak lain adalah saudara kandung dari ibu yang melahirkan Khadijah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah di Madinah, ia pun menjadi salah seorang muadzin yang diangkat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping Bilal.
قَالَ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: “إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ”. وَهُوَ الْأَعْمَى الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ: (عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى) وَكَانَ يُؤَذِّنُ مَعَ بِلَالٍ. قَالَ سَالِمٌ: وَكَانَ رَجُلا ضريرَ الْبَصَرِ، فَلَمْ يَكْ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ-حِينَ يَنْظُرُونَ إِلَى بُزُوغِ الْفَجْرِ-: أذَّن
Berkata Salim ibnu Abdullah dari Abdullah ibnu Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Bilal azan di malam hari, maka makan dan minumlah kamu hingga kamu mendengar seruan azan Ibnu Ummi Maktum.’ Dia adalah seorang laki-laki buta yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya: ‘Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. (‘Abasa: 1-2)’. Tersebutlah pula bahwa dia menjadi juru azan bersama Bilal.’” Salim melanjutkan, “Bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang laki-laki buta, maka dia belum menyerukan suara azannya sebelum orang-orang berkata kepadanya saat mereka melihat cahaya fajar subuh, ‘Adzanlah!’”
Tadabbur Ayat 1 – 4
عَبَسَ وَتَوَلَّى(١) أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى(٢) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(٣) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(٤)
“(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) karena telah datang seorang buta kepadanya. (3) tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (QS. ‘Abasa, 80: 1 – 4)
‘Abasa secara bahasa artinya, جَمَعَ جِلْدَ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَجِلْدَ جَبْهَتِهِ “mengumpulkan kulit yang ada diantara dua mata dan kulit dahi”, yaitu mengerutkan dahi dan bermuka masam.[2]
Syaikh ‘Utsaimin berkata, “Nabipun berpaling darinya dan bermuka masam karena berharap para pembesar musyrikin masuk Islam. Seakan-akan beliau khawatir bahwasanya para pembesar tersebut akan merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau berpaling dari para pembesar tersebut dan mengarahkan wajahnya kepada sahabat yang buta itu. Hal ini sebagaimana perkataan kaum Nuh:
وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami” (QS Huud : 27).
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat bermuka masam dan berpaling dari sahabat yang buta tersebut, beliau memperhatikan dua hal ini :
Pertama, berharap para pembesar tersebut masuk Islam. Kedua, agar mereka tidak merendahkan dan menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau menoleh ke orang buta tersebut yang di mata mereka adalah orang hina.
Tentunya tidak diragukan bahwa ini adalah ijtihad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan merendahkan Ibnu Ummi Maktum. Karena kita mengetahui bahwasanya tidak ada yang menyibukkan Nabi kecuali agar tersebar dakwah Al-Haq di antara hamba-hamba Allah, dan seluruh manusia di sisi beliau adalah sama, bahkan orang yang lebih semangat kepada Islam maka lebih beliau cintai. Inilah yang kita yakini pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”[3]
Berkenaan awal ayat ini Al-Alusi menjelaskan, “Allah tidak suka mengarahkan pernyataan yang keras langsung terarahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi Allah menggunakan uslub/pola kata ganti orang ketiga. Karena sifat “bermuka masam” dan “berpaling” adalah sikap yang keras. Ini merupakan bentuk pemuliaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” [4]
Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya, Qur’an Surat ‘Abasa ini adalah teguran halus guna menyempurnakan langkah-langkah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala mengajarkan kepada rasul-Nya bahwa tugasnya adalah menyampaikan ayat-ayat-Nya kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Siapa saja yang menginginkan agar dirinya suci dan bersih dari segala dosa; serta ingin memperoleh pelajaran untuk dirinya sehingga ia dapat menahan dirinya dari hal-hal yang diharamkan; maka haruslah disambut dan diperhatikan, serta lebih berhak untuk disikapi dengan lemah lembut. Tidak peduli apakah mereka itu kaum pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda.
Menurut As-Suyuthi, surat ini menunjukkan motivasi untuk menyambut orang-orang miskin terutama di majelis ilmu serta memenuhi kebutuhan dan hajat mereka dan tidak mengutamakan orang-orang kaya atas mereka.
Tadabbur Ayat 5 – 10
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى(٥) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى(٦) وَمَا عَلَيْكَ أَلا يَزَّكَّى(٧) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى(٨) وَهُوَ يَخْشَى(٩) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى(١٠
“(5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6) Maka kamu melayaninya, (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8) dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) sedang ia takut kepada (Allah), (10) Maka kamu mengabaikannya.” (QS. ‘Abasa, 80: 5 – 10)
Melalui ayat-ayat ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah Ta’ala tidak menilai seorang manusia karena banyaknya harta atau tingginya jabatan. Sesungguhnya yang dipandang dan dinilai oleh Allah Ta’ala dari seorang manusia adalah ketakwaannya.
Maka, bagi seorang da’i khususnya dan umat Islam umumnya, hendaknya memiliki sikap dan cara pandang yang berbeda dengan kebanyakan manusia. Sikap dan cara pandang mereka harus dibangun di atas fondasi nilai-nilai ilahiyah.
Seorang da’i, tentu saja sangat mendambakan keberhasilan dakwah; seruannya disambut  oleh banyak orang terutama oleh kalangan terpandang yang akan berpengaruh bagi kejayaan dakwah yang diembannya. Namun, perlu diingat, tugas utama seorang da’i hanyalah mengajak; ia sama sekali tidak akan dicela apalagi dihukum oleh sebab penolakan-penolakan sebagian manusia terhadap  dakwahnya. Urusan keberhasilan dan kejayaan dakwah adalah urusan ghaib yang ada di tangan Allah Ta’ala. Jadi, janganlah karena memikirkan capaian-capaian ‘kejayaan dan keberhasilan’ dakwah, mereka kemudian lupa terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya yang utama.
Sebuah kaidah yang mahsyur menyebutkan,
لاَ يُتْرَكُ أَمْرٌ مَعْلُوْمٌ لِأَمْرٍ مَوْهُوْمٍ، وَلاَ مَصْلَحَةٌ مُتَحَقِّقَةٌ لِمَصْلَحَةٍ مُتَوَهِّمَةٌ
“Perkara yang jelas tidaklah ditinggalkan karena perkara yang belum jelas, dan maslahat yang memang terwujud tidaklah ditinggalkan karena maslahat yang masih dikira-kira.”
Tadabbur Ayat 11 – 16
كَلا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (١١) فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ (١٢) فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (١٣) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ  (١٤) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (١٥) كِرَامٍ بَرَرَةٍ  (١٦
“(11) Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan, (12) maka barang siapa menghendaki, tentulah dia akan memerhatikannya, (13) di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), (14) yang ditinggikan dan disucikan, (15) di tangan para utusan (malaikat), (16) yang mulia lagi berbakti.”
كَلا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ
Allah Ta’ala mengingatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar jangan mengulangi sikapnya yang kurang tepat dalam berdakwah. Karena sesungguhnya Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya adalah nasihat atau petuah kepada seluruh manusia. Mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkannya tanpa dibedakan antara orang yang terhormat dan orang biasa.
فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ
Nasihat atau petuah (Al-Qur’an) ini sangat jelas, maka jika seseorang mau merenungi dan memahami makna yang terkandung di dalamnya serta mau menyadari dan mengamalkan apa yang diperintahkannya, tentu ia benar-benar akan mampu melakukannya. Tidak ada sesuatu apa pun yang bisa menghalang-halangi seseorang untuk menerimanya sebagai hidayah, kecuali perasaan ingkar dan takabur yang telah berurat dan berakar dalam hatinya yang kelam.[5]
Dimanakah letak Al-Qur’an ini berada ? { فِي صُحُفٍ } yaitu dalam lembaran lembaran malaikat { مُكَرَّمَةٍ } yang dimuliakan, dan bukanlah dalam lembaran-lebaran biasa. { مَرْفُوعَةٍ } yang ditinggikan kedudukan dan derajatnya { مُطَهَّرَةٍ } dan disucikan dari perkataan buruk seperti kebohongan dan kebathilan, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah perkataan yang benar dan suci, tidak ada keraguan didalamnya, kebenaran yang hakiki, tiada kebohongan didalamnya, dan tiada pula hal-hal yang tdak bermanfaat bagi pembacanya, itulah sebaik-baiknya perkataan, Al-Qur’an yang agung kedudukannya dan suci dari segala kebathilan; Allah berfirman,
{ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ }
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fusshilat 41: 42)[6]
بِأَيْدِي سَفَرَةٍ
Safarah bentuk tunggalnya safir, diambil dari perkataan orang-orang Arab safara bainal qaumi, artinya mengangkat seseorang sebagai perantara dalam memperbaiki kerusakan yang melanda suatu kaum.
Kata safarah disebutkan oleh seorang penyair dalam salah satu bait syairnya:
فَمَا اَدْعُ السَّفَارَةَ بَيْنَ قَوْمِى ÷ وَلاَ اَمْشِى بِغَشٍّ اِنْ مَشَيْتُ
“Aku tidak pernah mengutus seorang perantara kepada kaumku (yakni selalu mendengarkan secara langsung pengaduan mereka, red.); dan aku tidak pernah curang/menipu ketika aku berjalan melaksanakan sesuatu.”
Yang dimaksud dengan perantara/utusan atau duta dalam ayat ini adalah para malaikat dan nabi. Mereka adalah perantara antara Allah dan makhluk-Nya dalam menjelaskan apa-apa yang dkehendaki oleh-Nya.
Peringatan, nasihat, dan petuah Al-Qur’an diturunkan dengan perantaraan malaikat kepada para nabi, lalu merekalah yang menyampaikannya kepada umat manusia. [7]
كِرَامٍ بَرَرَةٍ
Ciri khas para malaikat adalah tidak pernah melakukan perbuatan dosa barang sedikitpun sebagaimana diterangkan oleh Allah,
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“…tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim, 66: 6)
Mereka pun dimuliakan di sisi Allah sebagaimana difimankan oleh-Nya,
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ
“Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan.” (QS. Al-Anbiya, 21: 26)[8]
Pensifatan kepada para malaikat sebagai safarah (utusan), kiramin (mulia), dan bararah (berbakti) disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَؤُهُ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ”.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Orang yang membaca Al-Qur’an, sedangkan dia pandai membacanya (kelak akan dihimpunkan) bersama-sama dengan para malaikat safarah yang mulia lagi berbakti. Adapun orang yang membacanya, sedangkan dia melakukannya dengan berat, baginya dua pahala.” (HR. Ahmad)
(Bersambung)
[1]  Lihat Tafsir At-Thabary di http://www.alro7.net/ayaq.php?langg=arabic&aya=2&sourid=80
[2]  Lihat: https://firanda.com/1024-10-faedah-dari-10-ayat-surat-abasa.html
[3]  Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[4]  Ruhul Ma’ani, Al-Alusi.
[5]  Lihat: Tafsir Al-Maraghy, hal. 72
[6] Tafsir as-Sa’di , Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, dikutip dari https://tafsirweb.com/12086-surat-abasa-ayat-14.html
[7] Tafsir Al-Maraghy, hal. 70 – 72.
[8] Ibid, hal. 73
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2019/03/19/tadabbur-al-quran-surat-abasa-bag-1/
1 note · View note
belajarislamonline · 6 years
Photo
Tumblr media
Lembaran Emas Kisah Puteri Solehah Diterjemahkan oleh : Dr. Ahmad Asri Lubis, MA Si ayah berkisah, sudah sepuluh tahun saya tinggal di kota Damam, Saudi Arabia. Allah memberiku anugerah seorang puteri bernama Yasmin. Sebelumnya telah lahir putera tunggal kami, Ahmad yang lebih tua lapan tahun. Di bandar Damam saya bekerja dalam lapangan kejuruteraan. Saya seorang jurutera. Ahamdulillah, saya memiliki kelulusan … Baca selengkapnya di: https://manhajuna.com/lembaran-emas-kisah-puteri-solehah/
1 note · View note
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Surat Ar Rahman (audio)
Kasih Manusia, Sering Bermusim… Kasih Allah, Tiada Bertepi…
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Kita sebagai manusia sering terpedaya pada kasih sayang dan janji manusia. Sebaliknya meragukan kasih sayang Allah dan kebenaran janji-Nya. Al-Qur’an Surat Ar-Rahman adalah bukti Cinta Kasih Allah sebagai Sang Pencipta. Di dalamnya terkandung makna yang amat dalam akan keagungan Ciptaan-Nya. Simak bacaan merdunya oleh KH. Munir Hasan, Lc., M.HI.
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/surat-ar-rahman-audio.html
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Saudi dan Ikhwan: Dari Kemesraan Hingga Perseteruan (Bag. 14)
Jihad Afghan dan ‘Kebangkitan’ Saudi
1980, pasca tentara merah Uni Soviet menyerang Afghanistan, Raja Khalid bin Abdul Aziz mengeluarkan ‘titah kerajaan’ kepada Salman bin Abdul Aziz (yang saat itu menjabat sebagai gubernur Riyadh) untuk membentuk dan mengetuai Komite Pengumpulan Donasi bagi mujahidin Afghanistan. Beberapa waktu kemudian, President of Youth Welfare, Pangeran Faisal bin Fahd juga mengumumkan kenaikan tiket pertandingan olahraga sebesar 1 riyal yang akan diperuntukkan bagi para Mujahidin Afghanistan.
Tumblr media
Sementara itu, maskapai Saudi Airline memberikan diskon tiket pesawat sampai 70% untuk para ‘relawan Saudi’ yang ingin berangkat ke Afghanistan baik untuk sekedar memberikan bantuan ataupun terjun langsung dalam medan perang. Saat itu, ajakan berdonasi bagi jihad di Afghanistan memenuhi koran-koran Saudi. Sebagaimana para da’i-da’i Shahwah (kebangkitan Islam) Saudi dan gerakan Islam gencar memotivasi dan memobilisasi para pemuda dari masjid-masjid untuk ikut andil dalam jihad dengan restu dari para ulama Kerajaan Saudi Arabia dan tentu saja juga restu dari USA. Saat itu, kata ‘jihad’ identik dengan kemuliaan dan kebebasan, sebab musuh yang diperangi oleh AS dan Saudi adalah Komunisme.
20 atau 30 tahun kemudian, kata jihad mulai identik dengan terorisme. Jika dulunya jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan adalah fardhu ‘ain, maka perlawanan terhadap Amerika yang kemudian juga menyerang Afghanistan dan Irak dianggap sebagai ‘fitnah’ yang harus dijauhi. Saudi melarang dan mengancam akan mempidanakan setiap warganya yang keluar ‘berjihad’ baik ke Afghanistan, Irak ataupun Suriah.
Selain dukungan resmi dari Kerajaan Saudi Arabia dan USA, jihad kontra Uni Soviet di Afghanistan tak bisa dipisahkan dari Ikhwan dan gerakan Shahwah. Hubungan IM dan Mujahidin Afghanistan terbentuk melalui para da’i Afghanistan yang belajar di Al-Alzhar seperti Syaikh Abdu Rabb Rasul Sayyaf dan lain-lain. Nama-nama seperti Abdul Mun’im Abul Futuh, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani, Dr. Ahmad Al-Malath, Hamid Abu Nashr hingga Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan lain-lain adalah tokoh-tokoh penting Ikhwan yang ikut memberikan andil dalam jihad di Afghanistan baik dalam menyalurkan bantuan, mendamaikan para mujahidin hingga turut berkecimpung dalam perang. Umar At-Tilmisani, Mursyid IM ketiga sering berkordinasi dengan para utusan Mujahidin Afghanistan di Kairo.
Tumblr media
Beliau mengutus Ustad Kamaluddin As-Sananiri (suami Aminah Qutb) pada tahun 1980 ke Pakistan untuk meninjau jihad dan kebutuhan para mujahidin. Dalam perjalanan pulang dari Pakistan ke Mesir, As-Sananiri singgah berhaji di Arab Saudi dan bertemu dengan Syeikh Abdullah Azzam dan berkomitmen untuk memobilisasi para pemuda untuk berjihad. Namun, begitu sampai ke Mesir, As-Sananiri langsung dipenjara dan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya.
Berbicara tentang jihad Afghan, Syaikh Abdullah Azzam adalah ikonnya. Dalam mukaddimah risalah fatwa jihadnya Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-muslimin Ahamm Furudh Al-A’yan, Syaikh Azzam menjelaskan bahwa fatwa jihadnya disetujui oleh para ulama Saudi saat itu terutama Syaikh bin Baz. Bahkan Syaikh bin Baz ikut berfatwa di Masjid bin Laden Jeddah dan Masjid Al-Kabir Riyadh bahwa jihad dengan jiwa adalah fardhu ‘ain. Diantara mereka yang menyetujui fatwa jihad Syaikh Abdullah Azzam di Afghanistan adalah: Syaikh Muhammad Ibnu Sholih Ibnu Utsaimin, Al-Allamah Syaikh Abdu Ar-Razaq Afifi (Na’ib Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibar Ulama Kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Hasan Ayyub (lulusan Al-Azhar dan dosen King Abdul Aziz Jeddah), Syaikh Muhammad Al-Asal (lulusan Al-Azhar dan dosen di Al-Imam University Riyadh), Syaikh Abdullah Nasih ‘Ulwan (ulama asal Aleppo yang mengajar di King Abdul Aziz University Jeddah), Syaikh Sa’id Hawwa, Muhaddis Mesir Syaikh Muhammad Najib Al-Muthi’i, Dr. Hussein Hamid Hassan (anggota di Persatuan Ulama Muslim Internasional) dan lain-lain.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menyetujui dicetaknya kitab Ayat Ar-Rahman Fi Jihad Al-Afghan karya Syaikh Abdullah Azzam sebagaimana dijelaskan dalam mukaddimah cetakan pertama.[2]
Lulus dari Universitas Damaskus tahun 1966, Syaikh Abdullah Azzam melanjutkan studinya di Al-Azhar As-Syarif baik magister maupun doktoral. Beliau lulus dan mendapatkan Ph.D dalam bidang Ushul Fiqih tahun 1973. Latar belakang dan kapasitas keilmuan yang mumpuni menjadikan Syaikh Abdullah Azzam ikon jihad yang faqih dan ushuliy dimana sikap-sikap dan fatwanya selalu didasarkan pada pertimbangan maslahat dan mafshadat. Sepanjang jalan jihadnya, beliau tak pernah bosan menyatukan para mujahidin dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda serta sangat berhati-hati dalam masalah takfir terutama pengkafiran terhadap penguasa. Berbeda halnya dengan Osama bin Laden yang tidak punya basic keilmuan yang kuat, diperparah dengan masuknya para jihadis takfiri dari Mesir, Saudi dan lain-lain yang menyebabkan sebagian mujahidin Afghan Arab pasca meninggalnya Syaikh Abdullah Azzam kemudian lebih identik dengan radikal dan teroris.
Bersamaan dengan meletusnya perang Afghanistan, gerakan Shahwah Islamiyyah yang dipelopori oleh para da’i-da’i muda revolusioner Saudi seperti Salman Al-Audah dan Safar Al-Hawali booming pada tahun 1980-an dan didukung oleh penguasa, terutama oleh Raja Fahd yang menganggap bahwa gerakan Shahwah adalah gerakan pencerahan yang diberkati (video pujian Raja Fahd terhadap Shahwah Islamiyyah bertebaran di YouTube). Bahkan Syaikh Utsaimin mengarang kitab As-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith Wa Taujihat untuk menuntun para pemuda yang bersemangat menyongsong kebangkitan Islam Saudi.
Oleh sebagian pengamat, dukungan penguasa Kerajaan Saudi Arabia untuk gerakan Shahwah yang revolusioner dianggap hanya sebagai gerakan tandingan dan wadah untuk ‘memuaskan dahaga’ para pemuda agamis Saudi yang terpengaruh dengan revolusi Iran yang Syi’ah. Jadi, Kerajaan Saudi Arabia melihat perlunya mendukungnya kebangkitan Islam yang juga memiliki ruh revolusioner dari kalangan Sunni sekalian mengarahkan mereka untuk terjun dalam medan jihad di Afghanistan. Dan sebagaimana telah kita ketahui, kemesraan itu hanya berlangsung sesaat, sebab gerakan Shahwah kemudian menjadi pengkritik kebijakan Kerajaan Saudi Arabia yang meminta bantuan Kuffar Amerika untuk menghalau Saddam Husein yang menyerang Kuwait dan mengancam Saudi. As-Shahwah sebagai gerakan pencerahan yang terberkati pun kini dianggap sebagai ‘ideologi impor yang radikal’ oleh Alu Su’ud.
Para mujahidin Afghan Arab, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Shahwah Islamiyyah adalah contoh paling mencolok dari gerakan keagamaan yang disupport sedemikian rupa oleh Kerajaan Saudi Arabia dengan dana minyaknya yang melimpah namun kemudian divonis sebagai teroris radikal ketika tak lagi dibutuhkan dan tak lagi sesuai dengan keinginan Kerajaan Saudi Arabia. Hal yang sama terjadi untuk Saddam Husein ‘Asadussunnah’, Sang Singa Ahlussunah (gelar untuk Saddam yang disupport Saudi saat menyerang Iran) yang kemudian divonis kafir oleh Grand Mufti Saudi sendiri. Pameran jihad pun digelar di Universitas Al-Imam Muhammad bin Su’ud Riyadh tahun 1991 (4-6 Sya’ban 1411 Hijriyah) dibawah pengawasan rektor Jami’ah Al-Imam Dr. Abdul Muhsin At-Turky. Pameran jihad kali ini bukan lagi kontra Soviet, tapi kontra Pemerintahan Pemberontak Saddam Husein yang wajib dilawan. Fatwapun dikeluarkan dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an bahwa siapa saja yang mati saat berperang melawan Irak maka ia mati syahid.[3]
Saat masih menjadi Menteri luar negeri era Obama, Hillary Clinton mengakui bahwa para Mujahidin Afghanistan yang saat itu mereka perangi sejatinya dibesarkan oleh AS dan Saudi sendiri. Benar memang, pasca syahidnya Syaikh Abdullah Azzam sebagian mujahidin Arab berubah menjadi radikal dan teroris dikarenakan dangkal dan kakunya pemahaman keislaman mereka sendiri. Akan tetapi, ‘terorisme negara’ yang menolak kepulangan mereka dan seenaknya ‘memperkosa’ teks-teks agama demi kelanggengan kekuasaannya adalah juga salah satu sebab penting merebaknya radikalisme. Syaikh Salman Al-Audah mungkin adalah salah satu contoh ulama moderat yang menyeru kepada reformasi namun tetap dianggap berbahaya oleh Saudi. Padahal, ketimbang pengaruh Syaikh Muhammad Surur dan Islam Saudi yang konservatif, Syeikh Salman Al-Audah dikemudian hari lebih mewarisi kemoderatan pemikiran Syaikh Abu Ghuddah dan Syaikh Al-Qaradhawi.
Dalam wawancara dengan Jeffrey Goldberg, jurnalis dan pemimpin redaksi majalah The Atlantic Amerika, Muhammad bin Salman mengakui Saudi adalah donatur penting terhadap Ikhwanul Muslimin. Ia juga mengatakan bisa jadi suatu hari nanti, Saudi akan kembali berkoalisi dan meminta bantuan Ikhwanul Muslimin jika dibutuhkan. Apakah nantinya label teroris yang dicap di muka Ikhwanul Muslimin akan diganti dengan gelar ‘Gerakan Pencerahan’? Bagaimana nantinya tanggapan para pemuka agama KSA yang hari ini memvonis Ikhwanul Muslimin  sebagai khawarij? Apakah gelar Khawarij akan diganti dengan ‘Ikhwan mujahidin mukhlisin’ sebagaimana dulu Raja Faishal pernah menggelarinya? Sampai kapan Alu Su’ud akan terus ‘mempolitisasi agama’ lalu mencampakkannya ketika tak lagi dibutuhkan? Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Ad-Difa’ ‘An Aradhi Al-Muslimin, Abdullah Azzam, Halaman 2, cet: Mimbar At-Tauhid Wa Al-Jihad.
[2] Ayaturrahman Fi Jihad Al-Afghan, Abdullah Azzam, Halaman 23, cetakan ke lima, Al-Mujtama’ Jeddah tahun 1985.
[3] Daurul Ulama Wa Du’ah Fi ‘Amaliyati Rad’ Al-Ghuzaa, Ubaid Abdurrahman Al-Harbiy, Halaman 24-25, cet: Maktabah Al-Obeikan Jeddah.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2021/01/21/saudi-dan-ikhwanul-muslimin-6/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Perhatian Rasulullah SAW Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat (Bagian ke-1)
Tanda-tanda hari Kiamat termasuk salah satu topik yang mendapat perhatian besar dari Rasulullah SAW dalam sunnah beliau. Hal ini tampak jelas dalam berbagai riwayat yang bersumber dari beliau. Berikut ini adalah riwayat-riwayat yang menunjukkan betapa besarnya perhatian beliau dan para sahabatnya terhadap tanda-tanda hari Kiamat.
Konten Perhatian Rasulullah SAW Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat (Bagian ke-1) ditampilkan dari Syahida.com.
Baca selengkapnya di: https://www.syahida.com/2020/10/18/6028/perhatian-rasulullah-saw-terhadap-tanda-tanda-hari-kiamat-bagian-ke-1/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Pelajaran Etika dari Pelajaran Hidup Umar ibnu al-Khaththab
Pelajaran etika terhadap sains dari paparan di atas ialah sains digunakan bukan untuk membunuh atau menyiksa manusia. Di dalam al-Quran, manusia memiliki empat istilah yang unik, yakni an-Naas (gerak atau tampak), al-Basyar (materi dan sifat atau kualitasnya, seperti melihat, memakan, berjalan, memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sempurna atau seimbang segala unsurnya), al-Insi (golongan atau kelompok), al-Insaan (dibebani tanggung jawab, pengemban amanah, dan khalifah di bumi), dan total 361 kali disebut dalam al-Quran.
The post Pelajaran Etika dari Pelajaran Hidup Umar ibnu al-Khaththab appeared first on dakwatuna.com.
Baca selengkapnya di: https://www.dakwatuna.com/2020/10/16/96052/pelajaran-etika-dari-pelajaran-hidup-umar-ibnu-al-khaththab/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah
Ada perbedaan mendasar antara orang yang “mau” dan “siap” menikah. Siswa yang masih duduk di bangku SMA pun mau menikah, tapi pasti dia belum siap. Dikatakan belum siap, tidak selalu karena faktor usia. Banyak orang yang sudah cukup usia, dianggap siap menikah, nyatanya tidak demikian.
The post Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah appeared first on dakwatuna.com.
Baca selengkapnya di: https://www.dakwatuna.com/2020/10/12/96050/bukan-mau-tapi-siap-inilah-4-hal-yang-wajib-dilakukan-muslimah-sebelum-menikah/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Perhatian Al-Quran Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat
Adapun tanda-tanda peristiwa yang membicarakan dekatnya hari Kiamat, maka ayat-ayat tersebut terkesan membicarakan secara sekilas. Meskipun demikian dalam berbagai ayat masalah tanda-tanda ini sangat ditekankan karena masalah pertanda dekatnya hari Kiamat ini merupakan hal yang sangat agung dan perlu untuk mendapatkan perhatian
Konten Perhatian Al-Quran Terhadap Tanda-Tanda Hari Kiamat ditampilkan dari Syahida.com.
Baca selengkapnya di: https://www.syahida.com/2020/10/11/6018/perhatian-al-quran-terhadap-tanda-tanda-hari-kiamat/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Musibah Pasti Membawa Hikmah
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung berbulan-bulan ini adalah ujian yang sangat berat bagi banyak orang. Bayangkan berapa banyak orang kehilangan pekerjaan atau setidaknya berkurang pendapatannya karena penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan guna menghentikan penyebaran virus, padahal sebelum terjadi pandemi pun tanda-tanda menyulitnya keadaan ekonomi sudah terlihat.
The post Musibah Pasti Membawa Hikmah appeared first on dakwatuna.com.
Baca selengkapnya di: https://www.dakwatuna.com/2020/10/05/96046/musibah-pasti-membawa-hikmah/
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Metode dan Prinsip Dakwah
Metode dan Prinsip Dakwah.
Tumblr media
Idrus Abidin.
Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali
Tumblr media
). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.
Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung
Tumblr media
. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.
Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :
1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.
2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.
3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya
Tumblr media Tumblr media
. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).
Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/metode-dan-prinsip-dakwah.html
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Metode dan Prinsip Dakwah
Metode dan Prinsip Dakwah.
Tumblr media
Idrus Abidin.
Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali
Tumblr media
). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.
Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung
Tumblr media
. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.
Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :
1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.
2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.
3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya
Tumblr media Tumblr media
. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).
Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/metode-dan-prinsip-dakwah.html
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Metode dan Prinsip Dakwah
Metode dan Prinsip Dakwah.
Tumblr media
Idrus Abidin.
Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali
Tumblr media
). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.
Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung
Tumblr media
. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.
Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :
1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.
2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.
3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya
Tumblr media Tumblr media
. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).
Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/metode-dan-prinsip-dakwah.html
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Metode dan Prinsip Dakwah
Metode dan Prinsip Dakwah.
Tumblr media
Idrus Abidin.
Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali
Tumblr media
). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.
Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung
Tumblr media
. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.
Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :
1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.
2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.
3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya
Tumblr media Tumblr media
. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).
Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/metode-dan-prinsip-dakwah.html
0 notes
belajarislamonline · 4 years
Photo
Tumblr media
Metode dan Prinsip Dakwah
Metode dan Prinsip Dakwah.
Tumblr media
Idrus Abidin.
Dakwah adalah sebuah aktifitas yang bertumpu pada keahlian mendialogkan pesan-pesan keislaman kepada audiens dengan memperhatikan situasi, kondisi, tempat, budaya dan adat istiadat yang melingkupi. Dakwah paling utama dan mendasar adalah ajakan secara persuasif melalui sikap dan etika mulia, berlapiskan kasih sayang; dengan berharap masyarakat di sekitar kita mendapatkan tularan kebaikan langit yang membumi. Idealisme benar yang merealitas. Moderat tanpa terperosok dalam kubangan kebablasan. Menyelesaikan masalah tanpa masalah (Pegadaian kali
Tumblr media
). Toleran tanpa ikut arus serba boleh (ibahiyah). Tegas tanpa kehilangan nuansa kelembutan. Itulah kategori dakwah persuasif (dakwah bi al-hal). Stoknya adalah konsistensi dalam kebaikan dalam rentang waktu yang panjang. Efeknya kadang lebih besar daripada dakwah lisan karena pesona keindahan akhlak itu begitu menarik di mata umumnya masyarakat. Terutama di lingkungan keluarga dekat dan keluarga besar, dakwah persuasif ini jauh lebih tepat dan sangat efektif. Akhlak mulia menunjukkan sikap jujur terhadap diri sendiri sehingga sangat potensial melipatgandakan kepercayaan orang-orang sekitar kepada kita. Kita eksis sebabnya karena kita mampu beternak kepercayaan dari lingkungan sekitar kita. Itulah hasil dari sikap cekatan kita membangun self leadership pada diri kita masing-masing sebagai da’i.
Dakwah lisan beda lagi. Mubaligh harus bisa menyesuaikan diri dengan audiens dalam penggunaan retorika “bahasa”. Secanggih apapun keilmuan seorang alim, dalam komunikasi dakwah, tidak akan dianggap berhasil tanpa keahlian lain berupa kompetensi menyederhanakan pesan. Di sinilah dibedakan antara seorang da’i murni (muballigh) dengan alim ulama ahli ilmu. Masyarakat awan tentu tidak memiliki keahlian membedakan keduanya. Karena bagi mereka alim dan da’i itu yang penting pintar mengemas pesan-pesan keagamaan; apalagi kalau lucunya tak kepalang tanggung
Tumblr media
. Akhirnya, alim ulama ahli ilmu (Mufti) kadang tidak dikategorikan sebagai da’i atau muballig oleh awamers karena ketidakmampuan para alim ulama itu menyesuaikan diri dengan selera umum. Akhirnya, segala persoalan ditanyakan kepada da’i yang kadang susah dibedakan dengan peserta stand up komedi yang bernuansa “dakwah” itu. Jika da’inya tidak mengerti batasan (kelemahan) diri, jawaban ngaur bin serampangan itu pasti diobral di layar-layar Tv Nasional. Jadinya, gampang jadi objek tertawaan dan lelucon oleh alim ulama. Bahkan, dalam kadar tertentu, sang da’i bisa dianggap “menipu” ummat. Karena popularitas mendahului kapasitas. Isi tas lebih prioritas daripada kontinyuitas dalam memerangi ilmu yang masih pas-pasan.
Setidaknya dakwah lisan tidak keluar dari kategori berikut :
1. Dakwah Hikmah : yaitu pesan keislaman yang disampaikan kepada masyarakat umum yang serba awam dengan masalah keislaman dan mereka pun menerima pesan tersebut tanpa penolakan karena fitrah mereka yang masih bersih. Walaupun realitas diri mereka masih jauh dari pesan-pesan dakwah yang disampaikan.
2. Dakwah dengan nasehat yang baik (mauidzah Hasanah). Yaitu pesan dakwah yang disampaikan kepada kelompok tertentu yang sebenarnya sudah mengerti yang benar. Hanya saja, hawa nafsu dan rasionalitas Iblis menyeretnya kepada dosa, maksiat dan penyimpangan. Agar kembali kepada kebenaran dengan mentalak tiga kemaksiatan itu, sang da’i berusaha menyampaikan pesan dakwah dengan nasehat yang menyentuh. Sehingga yang bersangkutan menyesal hatinya. Beristigfar lisannya. Menahan fisiknya dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki sikapnya dengan kebenaran yang telah ia kenal sebelumnya. Bahkan, supaya tidak mudah lagi terbawa arus banjir maksiat, ia menempatkan diri dalam kerumunan orang-orang taat. Jadi, dakwah versi ini, merubah sikap seseorang atau sekelompok masyarakat tanpa mengungkit kesalahan apalagi nyinyir terhadapnya. Kegiatan ini tidak lebih dari sikap saling menasehati karena adanya kesamaan level antara penasehat dan objek dakwah. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh da’i yang berbeda haluan Mazhab akidah dan pilihan rel fiqih. Tentunya selama mereka masih berada pada frekwensi yang sama; Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Tak perlu debat dengan maksud agar otot-otot keilmuan tampil berseliweran disertai makian, bumbu-bumbu nyiyiran, sikap merendahkan hingga senyum kemenangan terhadap lawan yang membisu dan tampak terpojok di depan ranah publik.
3. Debat dengan cara yang baik. Fokus kepada kebenaran; bukan untuk kemenangan apalagi berharap tumpukan ketenaran. Dakwah versi ini hanya bersifat defensif (bertahan dan menangkis tuduhan dan serangan verbal peradaban/Mazhab lain). Sebaiknya kita menghindari dakwah opensif dengan metode dialektik seperti ini. Terutama kalau kita belum terlatih dan belum punya pemetaan intelektual keilmuan yang cukup dalam. Keahlian dalam komparasi antara beragam pendapat berbeda dan sikap saling menghargai mutlak di sini. Karena kalau tidak, hasilnya hanya pertengkaran, cerai berai dan sikap cuek yang tentunya terlarang dalam konsep keislaman kita. Namun demikian, metode dakwah ini tetap dibutuhkan untuk mendialogkan perbedaan yang ada. Tetapi harus sesuai koridor (dhawabith) yang telah dirumuskan oleh ulama kita dalam etika berbeda pendapat (adabul ikhtilaf wa adabul jadal wal munazharah). Tentu kalau etika berbeda pendapatan beda lagi babnya
Tumblr media Tumblr media
. Setidaknya, itulah yang saya pahami dari firman Allah berikut :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (mauizah hasanah). Dan, debat serta bantahlah mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl : 125).
Lalu, gimane menurut lhu-lhu pade bro-bro ?
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/metode-dan-prinsip-dakwah.html
0 notes