Tumgik
#TUGASWRITINGCAREERCLASS
putriutamidewi · 2 years
Text
MISI RAHASIA ANDINI
"Aku antar sampai sini ya, Ma. Nanti kalau 15 menit acara mau selesai, langsung telpon aku. Ini aku pergi dulu ke tempat temen kantor cabang. Kebetulan diajak meet up di cafe dekat sini."
"Oke, Paa. Aku sama adek masuk kedalam dulu ya. Hati-hati dijalan Paa!" Andini mencium punggung tangan suaminya, lalu melambaikan tangannya seiring mobil berputar balik.
Andini berjalan 10 langkah ke arah gedung bertingkat 3 yang bertuliskan Jurusan Desain UTC.  Malam itu gedung tempat kuliahnya dulu terlihat lebih menawan. Danau sebelah kampus, dihiasi lampu LED kecil bak resto yang menawarkan intimate dinner. Ada kapal kano kecil yang bisa dipakai untuk menyusuri danau jurusan itu. Seketika memori semasa kuliah terekam ulang. Dulu Andini dan teman sekelompoknya pernah membuat kapal kano berukuran 1x3 meter menggunakan metode modelisasi manual. Benar-benar manual menggunakan tangan. Setiap mengerjakan tugas kapal itu, teman Andini memutar lagu Dewa19. Ya pada tahun 2000 an itu grup Dewa19 memang lagi hits banget.
"ANDINI! HEY Andini Tyas Utari!" Teriak seorang wanita bertubuh gempal, rambut panjang terurai rapi, matanya bersinar indah, meski bukan body goals kebanyakan orang, entah mengapa wanita itu terlihat cantik dan menarik, ia berlari sambil menggendong anak, kurang lebih anaknya sepantaran dengan anak Andini.
"Farah!! Ya Ampun, tambah cantik aja! Ayo masuk bareng!"
"Hayu, Udah lama ya nggak ketemu! Aku penasaran sama kabarmu."
Memasuki selasar gedung yang bertulisan "Temu Alumni Angkatan 2005" mereka disambut oleh panitia yang merupakan mahasiswa baru di tahun 2018. Mereka dipersilahkan untuk duduk di meja bundar dengan 1 kursi yang sudah terisi teman angkatan Andini. Ia sontak berdiri ketika Farah dan Andini menghampiri.
"Farah, Andini! Sini duduk sini, Gimana kabarnya? eh ya ampun tau gitu anakku aku ajak kesini juga," Sapa Nia.
"Baik Ni, kamu apa kabar?" Balas Farah
"Alhamdulillah, baik juga. Eh kamu di Yogya kan Din? berarti nginep ya nanti?" Tanya Nia pada Andini
"Iya, nih Ni. Aku nginep di rumah mertua." Jawab Andini
"Oiya, Lupa. Kamu kan dulu jadian sama mas jurusan sebelah gara-gara proyek kompetisi bareng jurusan sebelah! Masnya asli sini kan ya"
"Hahahah, iyaa. Masih inget aja kamu Ni"
"Kamu gimana sekarang Ni? Kesibukannya apa?" tanya Farah
"Aku sekarang lagi running bisnis online Fa. Agak jauh sama bidang jurusan kita. Dan kamu tau faktanya setelah kita lulus itu kupikir bakalan semakin mudah ya hidup. Ternyata enggak. Kita masih perlu belajar lagi. Kupikir kalau aku lulus aku bisa langsung menjadi desainer produk. Tapi  pada kenyataannya setelah aku apply dan kerja di perusahaan manufaktur aku nggak enjoy menjalaninya. Dan coba deh gais, kalo kalian amati. Berapa persen alumni dari angkatan kita yang menjadi desainer produk? 2% ? Sebagian besar pada switch career. Untuk saat ini aku ibu rumah tangga, Running bisnis baju piyama, sama ngurus anak dan suami. Jangan kira kerja dari rumah malah tambah enak! justru nggak habis-habis masalahnya. Yang paling bikin aku bahagia adalah, aku masih ada pemasukan yang lumayan disamping nafkah suami. Kalo kamu gimana Fa, Ndin sekarang?
"Aku sekarang masih kerja di Pt. P,Ni. Ya masih sama, Cuman naik satu tingkat jadi senior desainer aja. Anakku tak titipin ke daycare dekat kantor, jadi ya gitu. Pinter-pinter gimana delegasi aja. Ini masih mending sudah bisa dititipin. Dulu waktu dia masih bayi aku kudu ambil cuti, sama minta mamaku buat tinggal sama aku dulu buat bantu. Susah jadi single mother,Ni"
"Kalo kamu Ndin?" tanya Nia
"Aku fulltime ibu rumah tangga, Ni. Suamiku sebelum nikah udah bilang, kalau aku harus resign. Katanya dia ga mau aku kerja, dia punya prinsip suami harus memuliakan istri, mencukupi kebutuhannya, sampai tidak memperbolehkan istrinya untuk bekerja biar dirumah saja mengurus anak dan rumah." terang Andini
"Waaaaa, so sweet" respon Farah dan Nia kompak.
"Hebat kamu Ndin. Kamu bisa legowo dan rela melepas pekerjaan demi keluarga. Kalau kamu nggak resign waktu itu mana mungkin aku bisa gantikan posisimu di kantor. Ni, Andin ini sempet satu kantor sama aku dulu. Dia karyawan ideal. Kerjaannya bagus dan rapi, sering dapat promosi naik pangkat. Terus dia bukan karyawan yang dibenci karyawan lain, justru semua pengen deket sama Andini karena dia ga pelit ilmu. Cuman aku benar-benar kaget sewaktu acara syukuran di kantor, Andini pamitan resign. Jujur Ndin, kamu nyesel ga ambil keputusan ini." tanya Farah
Andini tersenyum, belum sempat menjawab, perhatian mereka bertiga teralihkan ke suara MC yang membuka acara.Suasana menjadi riuh. Tak lama kemudian acara dibuka dengan suara alunan musik dari band mahasiswa.
Sepanjang acara dibuka, pikiran Andini berkecamuk. Sesekali ia melihat anaknya dan anak Farah bermain di spot playground yang disediakan dan didampingi panitia. Pikirannya terngiang pertanyaan Farah. Apa dia benar-benar bahagia dengan keputusan menuruti suaminya?
***
Tangis bayi pecah, Andini tebangun kaget. Anaknya haus. Kemudian ia bergegas menggendong anaknya sembari menyambar dispenser susu di dapur.
“Jam 8 baru bangun kamu?” bentak ibu mertua Andini Andini gelagapan, belum sempat menjawab ia disambar lagi. “Kamu ini ya! Udah bangun siang, nggak kerja, cuman ngurus anak aja masih nggak becus! suamimu pergi ke kantor cabang juga nggak tau kan? ya iya lah masih ngebo” Anak andini menyedot botol susu dengan lahap, dan andini masih kaget atas perkataan ibu mertuanya. “Maaf ya bu, Andini lagi capek. Karena tau ada kemungkinan kesiangan, baju dan perlengkapan mas buat dibawa ke kantor juga sudah tak siapin dari malem, bu. Andini engga lalai kan sama suami? Lalu soal enggak kerja, ini atas permintaan mas. Apa mas nggak nyampein ke Ibu?”
“Ada apa ini pagi-pagi ribut?” tanya Ayah mertua Andini. Semuanya terdiam. Ibu mertua Andini melengos dan pergi keluar rumah sambil menyambar keranjang belanja. “Ada apa nak, coba sini cerita,” pinta Ayah mertua Andini dengan lembut. Keduanya duduk di meja dapur, kemudian Andini menceritakan apa yang terjadi. “Ya, dulu memang ibu mertuamu dulu adalah seorang wanita karir. Suamimu waktu kecil kami titipkan ke tempat neneknya. Kami terlalu sibuk bekerja sehingga tiba masa ia TK, dia dibully karena diasuh nenek. Dia dibully katanya dibuang orangtuanya. Waktu itu hanya dia saja yang setiap acara sekolah selalu didampingi nenek. Ketidakhadiran kami malah menciptakan luka untuk anak. Dari situ aku meminta agar ibu mertuamu berhenti bekerja dan mengurus rumah secara penuh. Tentu terjadi pertengkaran yang hebat. Aku tegaskan lagi kepadanya, Apa guna karir gemilang namun seharusnya bertanggung jawab atas anak, malah menjadi lalai. Mungkin ini alasan Masmu melarangmu untuk berhenti bekerja selepas menikah, Nak”
Ibu mertua tiba-tiba masuk kedalam dengan wajah masam. Ia mengambil dompet yang tertinggal di meja dapur. Ternyata ia mendengar semua perkataan suaminya.
“Menyesal aku mas nuruti kamu dulu! Kalau aku tidak menuruti katamu, aku udah naik pangkat jadi wakil direktur!”
Tangis bayi pecah lagi, Anak Andini kegerahan. Sudah waktunya dia dimandikan. Andini pamit ke belakang, untuk memandikan anaknya. Sembari memandikan anaknya, ia merenung. Apa iya berhenti bekerja adalah keputusan yang terbaik? Farah temanku juga menyayangkanku resign, ia ibu bekerja juga sambil mengurus anaknya, mana kerjanya di industri manufaktur tempat kerjaku dulu. Kalau aku tidak resign mungkin aku juga di posisinya sekarang.. Nia juga, dia running bisnis online sambil mengurus anak juga. Sejujurnya aku lebih iri pada Nia. Mana tadi pedes dan nyakitin banget omongan ibu mertua.
***
“Mas, Aku tadi diceritain sama bapak. Bapak cerita kalo kamu dulu dibully waktu TK. Gara-gara dititipin ke Nenek. Itu beneran, Mas?”
Suami Andini memutar setir, dan mengambil jalan putar bali. Jalan yang seharusnya dia belok. Malah terlewat. Kali ini mobil menuju jalan tol Surabaya - Solo.
“Ya, itu juga salah satu alasanku Ma jadi punya prinsip ini. Aku nggak ngebolehin kamu bekerja karena takut anak kita mengalami masa yang buruk seperti aku dulu. Lagian ya Ma, Menurutku “Harta Termahal” keluarga adalah anak. Dan masa depan keluarga adalah masa depan anak. Ini mutlak. Terus kalo ada tanggapan, Istri berpendidikan tinggi apa nggak sayang dirumah aja? So, what …. ?? Justru karena istri yang pintar itulah, yang akan mencerdaskan anak. Masa istri pintar malah untuk membangun usaha orang lain, sementara anak kita dididik dan disayangi oleh orang yang bukan orang tuanya. Itu pilihan yang bodoh, Ma ! Bagiku apakah istri bekerja atau tidak bukanlah pilihan yang sulit. Konsekuensinya sudah sangat jelas. Istri jangan bekerja, jika sudah (akan) hamil, sampai anak tamat SMP atau SMA. Karena uang dan kecukupan finansial bisa  menyusul, tapi masa atau usia emas anak, tidak bisa diulang dan juga tidak bisa ditunda.”
Andini tidak membalas omongan suaminya. Dia sibuk membenarkan posisi duduk anaknya yang sedari tadi banyak tingkah. Sesekali ia melihat jendela mobil. Lampu merah menyala, di seberang ada cafe yang terlihat dipenuhi kawula muda menghadap laptop masing-masing Jaman sekarang, teknologi semakin maju. Pasti ada pekerjaan yang fleksibel baik secara pengerjaan maupun tenggat waktunya. Pendapatanku hanya dari suami, sangat jauh bila dibandingkan sewaktu aku bekerja dulu. Bukannya aku merasa kurang, namun.. Jujur saja, aku merasa tidak bervalue saat ini, Aku perlu mengupgrade diri. Mungkin banyak yang berkata bahwa aku dibayar pahala. Namun entah mengapa aku juga merasa butuh reward berupa materi, Aku ingin bisa seperti Nia Ataupun Farah. Aku harus mencoba bekerja tanpa melalaikan kewajibanku mengurus anak, batin Andini.
Lampu hijau menyala, mobil melintasi zebra cross perlahan. Anak Andini menangis, diraihnya lah sebotol susu yang tinggal seperempat, kemudian ia minumkan ke anaknya,”Bismillahirrahmanirrahim.” Dia pandangi wajah anaknya, yang dia namai Naila Malika Putri yang berarti perempuan yang sukses menjadi ratu. Dengan harapan semoga anaknya menjadi seorang anak perempuan yang sukses sebagaimana seorang ratu diharapkan dia memberi manfaat kepada masyarakat yang banyak. Dan tentunya seperti karakter pemimpin pada umumnya, diperlukan pribadi yang tegas, dan sigap mengambil keputusan. Tidak seperti Andini yang selalu penurut, banyak bimbangnya dan susah mengambil keputusan sendiri. Andini tidak ingin anaknya seperti dia. 
***
“Berangkat dulu ya, Ma. Ada client minta ketemu lebih pagi di kantor. Baik-baik ya Ma. Pamit dulu” “Hati-hati ya,” Andini mencium punggung tangan suaminya.
“Adik, masih tidur?”
“Masih, pules banget.”
“Hati-hati di rumah yaa, kalau ada apa-apa langsung telpon. Berangkat dulu Ma.”
Kesempatan, batin Andini.Ia melihat mobil suaminya menjauh dari pandangannya. Andini bergegas masuk kedalam. Dia langsung meraih vacuum cleaner, ember serta alat pel. Ia mengerjakan segala pekerjaan bersih-bersih rumah dengan cepat. Cepat sekali.
Rumah yang hanya terdengar suara vacuum cleaner terpecah oleh suara tangisan bayi. Saatnya memandikan anakku. “Haloo, adek sudah bangun? Mandi dulu yuk sama mama.” Andini menggendong anaknya menggunakan selendang, lalu bergegas menyiapkan air dan bak mandi untuk anaknya. 
Seperti rutinitas bayi pada umumnya, bangun, mandi, makan, main sebentar, mengantuk dan tidur lagi.
Andini mencuri waktu ketika anaknya tidur. Dia membuka laptop dan lekas meriset pekerjaan apa yang fleksibel serta yang sedang on-demand. Dia juga mengumpulkan portofolio terbaru selepas resign. Barangkali masih bisa terpakai untuk melamar kerja. Kali ini dia membuka akun media sosialnya. Dia memilih jenis platform ini karena persebaran informasi lebih cepat disini.
Matanya berhenti pada suatu konten video yang lewat di beranda akunnya. “Dibuka Program Affiliasi Sefi. Marketplace terbesar abad ini. Cukup copy-paste-share link ini anda akan mendapatkan komisi setiap penjualan dari klik link Anda. Chuan dari rumah, mudah bukan? Gabung sekarang!”
Ini iklan heboh banget. 
Andini mencoba menghubungi Customer Service terkait.
“Halo, selamat siang. Saya tertarik untuk ikut program afiliasi di toko kakak. Boleh minta tolong teknisnya kak?”
“Halo, selamat siang. Sebelumnya dengan ibu siapa ini?”
“Andini ya kak”
“Baik, ibu Andini untuk bergabung menjadi affiliator di toko kami melalui marketplace Sefi cukup mudah. Ibu bisa buat akun di marketplace Sefi dulu. Lalu silahkan isi formulir untuk mendaftar sebagai affiliator. Kemudian ibu tinggal copy-paste  link produk kami ke semua sosial media ibu. Atau ibu bisa buat konten di TicTaec lalu untuk link produknya bisa pakai link Tictaec Shop dari kami. Cukup jelas ibu?”
“Cukup jelas kak, Lalu bagaimana dengan pembagian komisinya kak?”
“Baik untuk pembagian komisi, kami hanya bisa mengikuti sistem dari marketplace ya kak, nanti akan diinfokan lagi. Sudah jelas ibu? Kalau sudah kami akhiri sesinya.”
“Sudah kak, Terimakasih”
Belum sempat meraih laptop lagi, Heningnya rumah terpecah dengan tangis anak Andini. Anaknya terbangun. Lagi-lagi Andini terdistraksi. Kalo gini caranya gimana orang-orang bisa membagi waktu ya.. Sulit aku harus bekerja sambil momong anak, batin Andini
***
tek tek tek tek tek. Dari luar terdengar suara pagar di ketuk-ketuk.
“Paket,” suara lantang kurir yang dinanti menyapa.
“Iyaaa, Sebentar pak.”
“Ibu Andini, Bener ya bu ini paketnya.”
“Iyaa, bener. Makasih banyak pak.”
Produk sample sudah datang, saatnya Andini membuat konten promosi. Produk sampelnya berupa baju anak. Ya Andini mencoba menjadi affiliator produk baju anak. Seperti biasa Andini mencuri waktu dikala anaknya tidur. Bermodalkan ilmu mata kuliah photografi, Andini lekas memulai membuat konten promosi. Dia tata alas foto, ada beberapa aksesoris seperti bunga kering, pinus, kenari kening, dan beberapa properti foto lainnya. Lalu ia letakkan produknya dengan komposisi yang cantik. Semuanya di tata sedemikian rupa di dekat kaca kamarnya. Kebetulan matahari sedang bersahabat. Cerah. Dan hasil foto serta video mentah produknya cukup bagus.
Hanya perlu sedikit keterampilan editing foto dan video melalui handphonenya. Dan jadilah sebuah konten promosi yang aesthetic. Andini menghasilkan 5 konten video dan foto sekali take. Dan seperti biasanya belum sempat memencet tombol post dan tag link produk, susana heningnya rumah terpecah dengan suara tangis anaknya. Anaknya bangun. Kini fokus Andin kembali ke mode ibu rumah tangga.
Begitulah keseharian Andini dalam mencuri waktu, dan tibalah waktu ia rekap bulanan. Astaga, satu bulan ngonten. fyp ada 3, tapi total pemasukan 17 ribu aja? Ternyata menjadi affiliator cukup susah. Aku rindu pekerjaanku yang dulu.
Andini membuka folder lain. Ia temukan portofolio yang sudah dikumpulkan bulan lalu. Apa aku coba apply pekerjaan yang setipe kayak dulu ya?
Andini mencari-cari di platform pencari pekerjaan. Lalu dari sekian lowongan kerja yang tersedia. Tidak ada yang menurutnya cocok. Mungkin Andini akan melanjutkan esok harinya.
***
Masih berlanjut dengan aktivitas yang sama, Andini mencari-cari pekerjaan yang sekiranya tidak jauh dengan pekerjaannya dulu di industri manufaktur. Hari ini dia menemukan lowongan pekerjaan remote sebagai konsultan desain produk. COCOK! Tak pikir panjang hari itu ia memasukkan portofolio dan mengisi formulir pendaftaran onlinenya.
Untuk Apply pekerjaan ini dia tidak berharap banyak. Andini terlihat mau menyerah. Kantung matanya menggembung dan sedikit menghitam. Nampaknya dia benar-benar lelah. Mungkin kali ini adalah terakhir kalinya dia apply pekerjaan. Mengurus rumah, mengurus anak yang masih 14 bulan, serta mengerjakan pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan tidaklah mudah. 
Aku butuh untuk mendelegasikan pekerjaan lain, mungkin.. menyewa suster? tapi jelas sangat beresiko ketahuan sama suamiku. Bagaimana kalau di cafe yang ada penitipan anaknya? hmmm tapi kalau suami mendadak pulang lebih cepat dan mendapati tidak ada orang dirumah? Kalau aku alasan sekali mungkin diterima, bagaimana jika 4x mendapati rumah kosong? Aduh, pusing! susah!
***
Suara vacuum cleaner berhenti, lampu rumah juga ikut mati, kini rumahnya hening kembali, anaknya tidur, tv mati dan ternyata ia dapati kabar ada pemadaman bergilir. Heningnya rumah, terpecah oleh suara dering handphonenya. 
“Assalamualaikum, maaf ini dengan siapa?”
“Selamat siang ibu Andini, saya HR dari CV.X mengabarkan kalau ibu lolos tahap seleksi administrasi untuk posisi  konsultan desain produk di perusahaan kami. Apakah ibu berkenan untuk melakukan sesi wawancara besok pukul 10.00 secara virtual?”
“Ah, iya. Bisa pak.”
“Baik untuk detailnya kami kirimkan lewat email saja ya ibu.”
“Baik”
“Ada yang ingin ditanyakan dulu ibu? kalau tidak ada saya akhiri.”
“Cukup pak, insyaAllah sudah jelas.”
“Baik saya akhiri ya bu, sampai jumpa di sesi interview besok.”
Alhamdulillah
Alhamdulillah
Alhamdulillah
Andini mengucap syukur dengan sangat tulus. Kini dia fokus untuk mempersiapkan interview besok pagi.
Ia menyiapkan plan A dan B. Plan A, dia akan menyiapkan interview di rumah. jikapun anaknya bangun ia akan meminta keringanan untuk interview dengan menggendong anaknya. 
Plan B, jika listrik rumah mati, dan sinyal handphone tidak begitu baik, Andini akan pergi ke cafe yang ada penitipan anaknya. Kalaupun suaminya pulang lebih awal, ia tinggal bilang saja bosen di rumah sendiri.
Dan tibalah hari interview. Listrik rumah mati (lagi). Plan B dijalankan. Ia bergegas membawa anaknya ke tempat cafe yang ada penitipan anaknya. 
Andini tiba di cafe 20 menit sebelum interview dimulai. Ia amati bagian playground dan penitipan anak. Sebenarnya ini bukan cafe biasa. Cafe playground dan workspace serta perpustakaan. Cafe ini sangat untuk dikunjungi keluarga. Andini mengamati betul-betul apakah ada yang berbahaya di sekitaran maupun didalam playground. Ada seluncuran kecil, dan tidak terlalu tinggi. Disebelah seluncuran ada replika rumah pohon mini.
“Permisi bu, ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf kak, ini kalau saya titipkan di playground akan ada yang menjaga nggak ya?”
“Kebetulan staff kami sudah ada yang datang bu. Jadi bisa di titipkan yaa.”
“Ibu tinggal saya pandu untuk prosedur selanjutnya.”
Andini kemudian mengikuti arahan pegawai cafe tersebut.
***
Selama interview, semua berjalan lancar. Dan Andini tiba dirumah sebelum suaminya pulang ke rumah. Hari itu tergolong lancar, anaknya pun tidak rewel. Sekarang tinggal menunggu kabar apakah akan diterima atau tidaknya.
***
Satu minggu berlalu, dia belum mendapati kabar apapun. Hari ini Andini beraktifitas seperti biasa. Mengurus rumah dan anak. Kali ini pekerjaan rumah selesai, dan anak Andini tidak tidur siang di jam biasanya. Sewaktu ia bermain bersama anaknya di ruang tengah, Handphone miliknya berbunyi. 
“Halo, Selamat siang.”
“Selamat siang ibu Andini, Saya HR dr CV.X bu. Mau mengabarkan kalau ibu di terima sebagai konsultan desainer produk. Untuk kontrak kerja sudah kami emailkan ya bu. Boleh di cek dulu, apabila ada yang ingin ditanyakan terkait kontrak silahkan kontak via whatsapp ya bu.”
“Baik, Pak. Akan saya cek terlebih dahulu. Terimakasih banyak pak.”
Andini menyambar anaknya lalu mengangkat tinggi-tinggi. Andini kegirangan. Sangat kegirangan. Akhirnya setelah penantian lama. Besok sudah mulai bekerja. Aku harus mengatur jadwalku bagaimana membaginya nanti.
*** Pada jam 9.00 sampai jam 15.00 adalah waktu bekerja Andini. Namun pekerjaannya tidak harus standby penuh depan laptop. Cukup fleksibel, Andini hanya perlu memberikan saran atas desain yang masuk. Serta melayani konsultasi terkait produk yang akan launching. Rata-rata clientnya adalah seorang business owner di UMKM. CV.X sendiri adalah lembaga konsultan khusus desain produk, dan clientnya sudah merambah di pasar global.
Pukul 10.00 ada client yang meminta untuk konsultasi secara virtual. Mengharuskan untuk video call. Saat itu rumah sedang kondusif, hanya bertahan 5 menit sejak konsultasi virtual berlangsung, anak Andini menangis. 
“Mohon maaf, pak. Anak saya bangun, boleh sesi ini saya mengajak anak saya? Namun mohon maaf saya bisanya off-cam.”
“Silahkan ibu. Tidak masalah ya.”
Sesi berlangsung dengan lancar. Andini tersenyum puas sambil menutup laptopnya. Mungkin karena clientnya suportif  dengan working mom, Barangkali ini adalah sesuatu yang diinginkan Andini sejak lama.
Satu bulan berlalu dan saldo rekening Andini bertambah. Gaji sudah dibayar. 
***
3 Bulan berlalu. Pekerjaan Andini lancar. Namun bukan hidup namanya kalo lancar terus nggak ada batu sandungan. Handphone Andini nyala-menyala beruntun di tengah malam. Notif email sambar menyambar. Hari ini dia merestart handphonenya dan lupa mematikan segala notifikasi. Bunyi dan getar bisa disenyapkan, namun notifikasi dengan sinyal lampu LED tetap menyala-nyala sebagai tanda. Disini masalah baru dimulai.
“Ada apa sih Ma, tumben rame notif hp nya.”
“Ngga tau ni Pa, Udah lanjut tidur aja”
Suami Andini menatap curiga. Kok tumben, biasanya nggak pernah notifikasi handphonenya seramai ini, batin Suami Andini.
Pukul 03.00, Suami Andini bangun lalu berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja. Diambilah laptop Andini. Dia terkejut, karena laptopnya di password. Tidak kurang akal. Dia membuka akses laptopnya dengan berbagai cara. Dan terbukalah halaman desktop. Dia meluncur ke browser dan dibukalah email Andini. Langsung terbuka, barangkali karena Andini tidak menghapus jejaknya di browser, jadi email langsung terbuka. Barangkali suami Andini sampai bertindak demikian karena memiliki asumsi bahwa istrinya berselingkuh selama ia bekerja. 
Suami Andini menghela nafas panjang, Ia dapati banyak email invoice serta banyak email yang seperti sedang melakukan konsultasi. Suami Andini meskipun kaget bukan kepalang, namun ia lebih tenang karena asumsinya salah. Namun ia masih berwajah masam, karena mendapati istrinya melanggar janji sewaktu sebelum menikah dulu. 
Apa nafkah yang aku berikan kurang, sampai dia bekerja tanpa sepengetahuanku? Kenapa sampai harus diam-diam bekerja? Aku paling tidak suka kalau ada yang disembunyikan. Dia maunya apa sih! Apa dia nggak peka? aku sudah bekerja banting tulang, memuliakan dia, mencukupi kebutuhannya, apa masih kurang?
Keesokan harinya, seperti aktifitas biasa. Andini menyiapkan sarapan. Dibalik pintu dapur, Suami Andini berwajah masam dan bergegas mengambil bekalnya. Andini memasak sambil bersenandung, Namun pandangannya teralihkan ke meja makan. Ia dapati muka suaminya masam, serta sangat tergesa mengambil bekal yang sudah disiapkan.
“Loh, Pa. Kok buru-buru dan gak sarapan?”
“Enggak”
Suami Andini bergegas mengikuti suaminya, meraih tangannya. Namun Suami Andini menghempaskan tangan Andini. Jari telunjuknya menunjuk muka Andini.
“Jangan kira aku nggak tau, apa yang kamu lakuin di belakang ya! Kenapa kamu melanggar kesepakatan pernikahan kita? Jawab Ndin! Apa nafkah dari aku kurang sampai kamu harus bekerja sembunyi-sembunyi? Kamu istri yang nggak patuh!”
“Mas.. Mass!”
Belum sempat menjelaskan, suami Andini berlalu dan membanting pintu mobil di garasi. Saking kerasnya pertengkaran ini dan suara bantingan pintu mobil, anak Andini terbangun. Satu kata untuk situasi pagi itu. Chaos.
***
Waktu sudah menjelang sore. Suami Andini memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Dia tega meninggalkan anak dan istrinya. Nampaknya ia masih kesal, barangkali ia merasa terkhianati. Dia memutuskan untuk menginap di masjid. Masjid itu cukup ramai biasanya, hari ini agak sepi. Diambilah air wudhu, kemudian dia menuju masjid bersiap untuk menanti shalat maghrib. Ketika masuk kedalam ia disapa oleh penjaga masjid yang sedang mempersiapkan peralatan untuk kajian. 
“Mas? Sendirian? Udah lama ya nggak mampir kesini. Gimana kabar?”
“Iya, Alhamdulillah baik Mas. Mau ku bantu?”
“Tidak usah mas, Duduk aja ya Mas, Monggo.”
“Ada kajian apa ini Mas”
“Ini Mas kajian buat akhwat, Pesertanya ibu-ibu. Bahas ini sih mas, muslimah berkarir surga. Misi ya mas mau naruh barang dulu.”
Penjaga masjid itu izin lewat di sampingnya sambil membawa sekotak kabel mikrofon. Dia dan suami Andini terlihat cukup akrab, barangkali karena dahulu suami Andini memang sering ke masjid itu.
Sementara itu,dibalik pembatas diam-diam suami Andini menyimak.  
“Ibu-ibu, disini siapa yang mengalami perasaan stuck tidak berkembang, iri teman-teman lainnya bisa bekerja dan mengurus anak, Ingin kembali ke masa lajang lagi buat berkarir, Pengen balik lagi ke masa masa masih punya penghasilan sendiri, lalu karena sekarang sudah menjadi ibu rumah tangga secara penuh bukannya bahagia tapi malah merasakan kemunduran?”
Jama’ah terdiam.
“Ibu-ibu, itulah yang dinamakan post power syndrome. Gejala yang ibu-ibu alami terjadi pada seseorang dimana penderitanya berada dalam bayang-bayang masa lalunya yang berupa kebesaran, kesuksesan, kekuasaan, kehebatan, keberhasilan, prestasi atau pencapaian besarnya saat dulu. Hingga menyebabkan penderita terjebak pada masa lalu dan sulit menerima dan atau beradaptasi dengan kondisi realita saat ini yang sedang dijalankan.”
Ustadzah melanjutkan.
“Biasanya, Mulai timbul itu keinginan untuk kembali menjadi wanita karir. Ibu-ibu, suaminya diajak ke kajian nggak ni? Apa cuman nganter aja? Besok lagi dibawa ke kajian juga ya. Kalau sekarang ini boleh di rekam terus sampai rumah nanti tunjukin ke suaminya.”
Ustadzah melanjutkan kembali setelah menenggak air mineral.
“Ibu-ibu, Dalam ilmu psikologi itu nyata ya bu. Dan tidak masalah jika seorang ibu juga bekerja. Pada dasarnya setiap individu, termasuk seorang ibu, butuh perasaan berharga dan berdaya. Meskipun banyak yang mengatakan kalau surga ditelapak kakinya, segala pengorbanan menjadi ibu rumah tangga akan dibalas pahala, dalam kenyataannya setiap individu itu butuh keberdayaan secara moral maupun material.”
“Upgrade diri, menjadi berdaya, adalah dua hal yang diinginkan ibu-ibu sekarang ini kan? Gapapa bu, komunikasikan ke suaminya. Memenuhi kewajiban sebagai seorang istri dan ibu, itu baik, tapi jangan lupa untuk mengupayakan diri sendiri.”
Dibalik pembatas jamaah, suami Andini termenung. Apa ini ya yang dirasakan Andini. Dulu sebelum aku menikahinya, dia adalah seorang wanita karir yang tergolong sukses. Apa iya gara-gara prinsip yang aku miliki, malah menjadikannya beban? Dan dia takut buat ngomong sama aku, makanya dia diam-diam bekerja sendiri, batin suami Andini.
“Allahuakbar, Allahuakbar….”
Suara adzan berkumandang, menandakan waktu shalat maghrib sudah tiba, Jamaah mulai masuk masjid satu persatu.
***
Usai shalat maghrib, suami Andini bersujud kembali dengan durasi yang lebih lama. Seolah ia sedang memohon petunjuk dengan sungguh. Selesainya, ia masih belum berubah pikiran kembali kerumah. Ia masih duduk disitu sambil termenung.
Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh penjaga masjid.
“Nunggu Isya sekalian mas?”
“Hehehe Iya.”
“Muram terus mas, ini minum dulu teh anget. Sisa pengajian tadi masih banyak. Minum dulu ya mas. Tak liat kok lagi suntuk.”
“Iya ni mas, masalah rumah.”
“Istri sama anak? ditinggal sendiri? Ada masalah apa mas kalo boleh tau?”
“Jadi gini mas…”
Suami Andini menceritakan masalahnya dengan Andini. 
***
Di lain tempat, Andini dirumah sedang menangis. Karena mendapati suaminya tak kunjung pulang. Ditambah dia masih kepikiran tentang perkataan suaminya tadi pagi.
Di Atas kasur, bersama dengan anaknya dia mencoba untuk lebih tenang sambil menidurkan anaknya. Namun tampaknya tidak bisa.
Akhirnya Andini memberanikan diri untuk mengirim pesan.
Pa, Dimana? Nggak pulang? Pulang ya Pa, Aku perlu bicara  buat jelasin alasan kenapa aku kerja diam-diam. Andini yang salah, Pulang ya Pa..
***
“O, jadi gitu Mas. Wah ya jalan satu-satunya coba Mas bicarain sama istrinya. Dan kalau bisa malam ini pulang ya mas. Sudah bukan remaja lagi. Masak kabur-kaburan.”
Suami Andini mengangguk. Suara adzan berkumandang, tanda masuk waktu isya.
Si penjaga masjid, dan suami Andini bergegas untuk ambil wudhu kembali. Sebelum ke tempat wudhu ia mengecheck tas dan handphonenya di loker penitipan barang. Ia dapati pesan dari Andini. Kemudian ia membalasnya,
Aku pulang agak maleman. Kamu sama Naila tidur duluan saja. Kita bicara besok pagi, mumpung kantorku besok libur. Istirahat dulu aja, jangan berpikiran aneh-aneh.
***
Pagi ini Suami Andini di rumah. Kantornya libur, jadi waktunya lebih leluasa. Anak Andini dititipkan dulu ke penitipan anak.
Ruang makan dipilih untuk duduk bersama. Mereka sepakat kalau sedang bertengkar, apapun yang terjadi, jangan bertengkar di kamar. Mereka memilih untuk menjadikan ruang makan sebagai tempat untuk berdiskusi.
“Jadi, apa yang pengen kamu jelasin?”
“Beberapa bulan yang lalu mas tau kan aku habis temu alumni. Disana aku bertemu teman-teman. Nia, dia ibu rumah tangga juga bisa ngurus online shopnya. Farah, memang dia tidak punya pilihan lain untuk bekerja sambil mengurus anak. Mas tau kan, kalo aku dan farah dulu sekantor. Kalau misal aku nggak resign, mungkin posisi Farah adalah punyaku. Mas aku pengen bisa berdaya, nggak mengandalkan nafkah dari kamu. Kalau ditanya apakah nafkah darimu kurang? Daripada aku menyebutnya kurang, Nafkah darimu itu bukannya kurang, melainkan cukup. Namun aku ingin lebih mas, setidaknya setara dengan gaji bulananku dulu sebelum menikah. Mas, pun kalau aku ga mendapat setara dengan gajiku dulu, aku ingin bekerja untuk mengupgrade diriku sendiri. Jadi mas…”
Andini, belum sempat melanjutkan. Suaranya tercekat. Dia menangis.
Suami Andini memeluknya, dan menepuk-nepuk punggung Andini.
“Maafin Mas ya, Mas baru tau. Kamu ga mau meminta ijin dulu karena takut mas marah ya?”
“Iya mas”
“Maafin ya, kamu udah berapa lama kerja diem-diem?”
“3 Bulan mas”
“Kalau liat apa yang udah kamu lakuin. Dan anak kita masih sehat, tumbuh dengan baik, aku rasa kamu cukup kompeten dalam membagi waktu. Ingat ya Ndin, prioritas utamamu. Dan mengurus rumah, anak dan pekerjaan itu juga mas yakin nggak mudah. Mas, mengijinkan kamu buat bekerja. Dengan syarat kewajiban mengurus rumah dan anak harus tuntas dulu. Kemudian mas hanya ngebolehin buat bekerja secara remote dan pekerjaan-pekerjaan yang fleksibel.”
Bak sinar matahari yang naik sepenggal, wajah Andini yang sedari tadi muram sekarang  telah bersinar kembali. Barangkali pernyataan suaminya menghangatkan hati Andini hingga kini tersalur ke matanya. Matanya berbinar, senyumnya mengembang. Lalu ia peluk suaminya.
“Terimakasih, Mas”
“Kemarin sewaktu aku nggak jadi balik ke rumah, aku sempat berpikir. Sebelum menikah denganku pasti kamu memiliki impian. Lalu setelah aku melamarmu, kemudian niat hati memuliakanmu dengan melarangmu untuk tidak bekerja seusai menikah, ternyata aku membunuh mimpimu. Pencuri. Mulai sekarang mimpimu juga mimpiku, Mimpiku juga mimpimu. Untuk kedepannya jangan ada yang disembunyikan lagi ya. Sebisa mungkin kita selesaikan berdua”
***
Rumah tangga ibarat bahtera. Kapal kayu yang berukuran besar didalamnya membawa yang banyak muatan pula menuju suatu tujuan. Kemanakah tujuan akhir sebuah rumah tangga? Apakah surga yang dituju? Tentu akan tidak mudah dalam perjalanannya. Ada ombak yang menerjang silih berganti, Ada badai di tengah cuaca yang tidak dapat diprediksi, belum lagi kalau barangkali diserang oleh monster laut?  Bagaimana komunikasi antar awak dan nakhoda? Apakah masih satu tujuan? Kisah Misi Rahasia Andini semoga bisa diambil sebagai pelajaran. Keluarga, karir dan komunikasi merupakan 3 peran penting yang harus selalu diusahakan dan dijaga.
13 notes · View notes
destwentyo · 2 years
Text
Antara Prinsip dan Keinginan
Tumblr media
Pada hari Jumat sekitar jam 2 siang, aku sedang duduk melamun memikirkan kegiatan yang akan kulakukan akhir pekan nanti. Tiba-tiba Mas Andi masuk ke dalam ruangan dan mengagetkanku.
"Mila, dipanggil bos tuh," ucapnya sambil duduk di sampingku.
"Pak Aris?" tanyaku kebingungan.
"Iya, Pak Aris. Emang bos lo siapa lagi?!" jawabnya retoris.
"Oh, oke deh," balasku sambil beranjak dari kursi untuk bergegas ke ruangan Pak Aris.
Saat berada di depan ruangan Pak Aris, aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu.
"Tok tok tok...!"
Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam ruangan, "Masuk."
Aku segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
"Bapak memanggil saya?" tanyaku kepada Pak Aris.
"Iya, tolong scan dokumen ini. Sekalian ubah masa berlakunya yang sudah habis," jawabnya sambil memberikan dokumen yang berisi fotokopi SIM orang-orang yang akan dimasukkan ke dalam dokumen tender.
"Buat kapan, Pak?" tanyaku sambil mengambil dokumen yang diberikan Pak Aris.
"Sore ini jam 5. Minta tolong Andi juga biar cepat selesai. Nanti kalau sudah selesai, taruh di atas meja saya saja," jawabnya.
"Oke, Pak," balasku singkat.
Aku segera membawa dokumen itu ke ruanganku dan minta tolong Mas Andi untuk membantuku.
"Mas, ada kerjaan nih dari bos," ucapku sambil menyiapkan mesin scanner.
"Ngedit SIM lagi?" tanyanya sambil melihat dokumen yang aku bawa.
"Iya, Mas. Nanti hasil scan-nya gue simpan di folder biasa yah," jawabku sambil meletakkan fotokopi SIM ke mesin scanner.
"Oke siap! Tapi nanti lo beliin gue kopi yah," balasnya.
"Oke, americano kan?" tanyaku sambil mengecek hasil scan.
"Iya, hehehe," jawabnya sambil terkekeh.
Kejadian itu sudah sering terjadi selama hampir setahun ini, sejak aku ditempatkan di bagian yang mengurus hal-hal teknis terkait proses tender. Pada awalnya aku mau saja mengubah masa berlaku SIM itu. Tapi beberapa bulan terakhir ini aku sudah tidak mau melakukannya lagi, karena bertentangan dengan prinsipku. Aku takut gaji yang selama ini aku dapatkan diperoleh dengan cara yang tidak halal. Aku tidak mau gelar Ahli Madya yang sudah kudapatkan berubah menjadi Ahli Manipulasi Data.
***
Akhirnya hari Sabtu tiba. Ini saatnya aku melakukan kegiatan yang aku senangi. Kegiatan yang akan mengalihkan pikiran-pikiran negatif yang aku pikirkan beberapa hari terakhir ini. Aku akan mencoba kegiatan yang belum pernah aku ikuti sebelumnya, yaitu pottery class.
"Mil, sorry yah gw ga bisa nemenin lo soalnya cowo gw mau ke rumah."
"Maaf Mil. Aku disuruh nemenin ibu belanja kebutuhan bulanan."
"Duh gue udah ada janji nonton sama temen kantor nih. Next time yah Mil."
Itu adalah balasan pesan singkat teman-temanku semalam ketika aku mengajak mereka untuk ikut pottery class. Sepertinya aku harus mencoba kegiatan ini sendirian.
"Halo, mau ikut kelas apa?" tanya petugas pendaftaran.
"Pottery class untuk satu orang yah," jawabku sambil mengeluarkan dompet.
"Sendirian aja?" tanya petugas pendaftaran sambil menyiapkan tiket pottery class untukku.
"Iya," jawabku dengan senyum getir.
"Ini tiketnya. Harganya seratus ribu rupiah," ucap petugas pendaftaran sambil memberikan tiket pottery class.
"Waktunya berapa lama yah?" tanyaku sambil mengambil tiket dan memberikan uang seratus ribu rupiah.
"Waktunya satu jam. Silahkan langsung masuk ke dalam," jawabnya sambil menunjuk sebuah pintu di belakangnya.
Selama satu jam aku mencoba membuat mangkok dari tanah liat. Tapi aku tidak terlalu fokus mengerjakannya karena aku memperhatikan peserta yang lain. Para peserta yang ikut kelas ini sebagian besar datang dengan pasangan atau teman mereka. Sepertinya hanya aku yang datang sendirian. Ingin rasanya aku bercanda dan tertawa bersama teman-temanku.
Aku berprinsip bahwa aku tidak mau terlalu bergantung kepada orang lain. Tapi terkadang ada saatnya aku membutuhkan orang lain, di saat aku sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini. Aku tidak ingin sendiri. Padahal aku mengikuti kegiatan ini untuk dapat mengalihkan pikiranku dari rutinitas yang tidak kusukai di kantor. Namun yang terjadi malah menambah beban pikiranku saat ini.
***
Sendirian di rumah saat malam minggu rasanya tidak menyenangkan. Apalagi ketika aku sedang banyak pikiran seperti ini. Kedua orang tuaku sedang pergi menghadiri pernikahan anaknya teman ibuku di luar kota. Sehingga sepertinya mereka akan pulang larut malam. Sedangkan kakakku menginap di rumah temannya.
"Drtttt drtttt drttt...!" Suara ponsel yang menandakan ada pesan masuk menghentikan lamunanku.
Aku pun segera meraih ponselku. Terlihat notifikasi pesan singkat dari ibuku.
"De, malam minggu macet banyak yg keluar. Nanti sampe rumah sekitar jam 11an ya."
"Iya bu. Ati2 di jalan yah." Balasku.
Ternyata benar dugaanku bahwa orang tuaku akan pulang larut malam.
Kini aku sibuk scrolling akun sosial mediaku untuk mengusir rasa bosan. Jariku berhenti di foto cincin emas putih model solitaire yang dihiasi dengan satu buah berlian di tengahnya, yang melingkar di jari manis tangan seorang perempuan. Di bawah foto itu terdapat tulisan, "Thanks for accepting me further into your life. I love you." Ternyata temanku sudah dilamar oleh pacarnya. Sedangkan aku tidak pernah punya pacar.
Kulanjutkan scrolling hingga berhenti di foto sebuah surat dengan tulisan, "Congratulations, we are delighted to inform you that your application for admission to University College London has been successful and we are very pleased to offer you a place." Ternyata temanku sudah diterima oleh kampus impiannya untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana. Sedangkan aku bahkan masih belum melanjutkan pendidikan sarjana.
Selanjutnya aku melihat video temanku bersama dengan teman-temannya yang tidak aku kenal. Di video itu mereka asyik bercanda dan tertawa lepas. Tiba-tiba aku teringat kenangan bersama teman-temanku yang seperti itu dulu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bermain bersama mereka. Tanpa sadar air mata menetes dari ujung mataku.
Aku ikut senang melihat teman-temanku bahagia. Aku tidak mau iri kepada teman-temanku, karena itu bertentangan dengan prinsipku. Tapi aku takut tertinggal dari teman-temanku. Aku merasa tidak memiliki pencapaian apapun dalam hidupku ini.
***
Cuaca mendung sepanjang hari disertai dengan hujan rintik-rintik di hari Minggu, membuatku mengurung diri di kamar seharian. Aku mencoba mengalihkan pikiranku yang ruwet ini dengan melakukan berbagai hal di dalam kamarku. Dimulai dari membersihkan kamar dan memindahkan beberapa posisi barang-barang hingga aku lelah. Tapi setelah itu aku kembali dengan pikiranku lagi. Kemudian aku nonton drama Korea di laptopku. Tapi ternyata jalan ceritanya mirip dengan kisah hidupku, sehingga membuat pikiranku semakin ruwet. Dan akhirnya aku melakukan journaling untuk membantu melampiaskan emosiku melalui tulisan.
"Kreeek..." Tiba-tiba pintu kamarku dibuka.
Ternyata kakakku yang membuka pintu.
"Ketok dulu sih, Kak!" seruku sambil menutup jurnal.
"Sorry, hehehe," jawabnya sambil terkekeh.
"Emang lagi ngapain sih? Serius banget," sambungnya sambil berjalan ke arahku.
"Lagi nulis jurnal," jawabku sambil melihat kotak yang dipegang kakakku.
"Ada kue nih," ucapnya sambil memberikan kotak berisi kue.
"Makasih Kak," balasku datar sambil mengambil kotak kue.
"Kenapa, De?" tanya kakakku kebingungan melihat sikapku yang tidak biasa.
"Lagi banyak pikiran, Kak. Kayaknya mau dapet juga deh," jawabku.
“Coba cerita sama kakak. Kali aja kakak bisa bantu,” ucap kakakku sambil duduk di tempat tidurku.
Akhirnya aku menceritakan semua yang aku rasakan beberapa hari ini kepada kakakku dengan perasaan yang campur aduk.
"De, bersikap idealis itu boleh. Tapi kita juga harus bisa bersikap realistis. Nggak semua jawaban harus ada saat ini. Nggak semua hikmah harus diketahui saat ini juga. Hal-hal baik butuh waktu. Sabar, nanti ada waktunya. Nggak semua balasan harus ada di dunia ini. Nanti ada kehidupan akhirat yang lebih kekal. Mungkin balasan baiknya ada di sana," kakakku menjelaskan pendapatnya.
Setelah mendengar kata-kata kakakku, mataku mulai mendung seperti cuaca di luar. Tak lama kemudian air mata menetes di jari-jariku, terasa hangat. Aku langsung memeluk kakakku dengan erat. Aku bersyukur memilikinya. Dia adalah support system terbaikku. Tiba-tiba aku memikirkan apa yang harus aku lakukan di kantor esok hari.
***
Hari Senin pun tiba. Akhir pekan kemarin cukup melelahkan untukku, karena banyak hal yang aku pikirkan saat itu. Bahkan saat ini pun masih ada hal yang mengganjal. Aku ingin bersikap idealis, tapi aku juga harus bersikap realistis. Sepertinya aku harus bertahan dulu sambil mencari pekerjaan yang lebih baik.
"Dicariin bos tuh, Mil," ucapan Mas Andi membuyarkan lamunanku.
"Pak Aris ya?" tanyaku memastikan.
"Iya, kayaknya ada yang penting deh," jawabnya sambil berjalan memasuki ruangan.
"Oke, makasih Mas," balasku sambil bergegas menuju ruangan Pak Aris.
"Ah, paling disuruh ngedit SIM lagi," pikirku.
Pak Aris langsung bertanya kepadaku setelah aku duduk di hadapannya.
"Background pendidikan kamu IT kan?"
"Iya, Pak," jawabku kebingungan.
"Jadi rencananya divisi Marketing and Business Development mau dipecah menjadi dua subdivisi, yaitu subdivisi Marketing dan subdivisi Business Development. Keduanya berada di bawah pimpinan saya." Jelas Pak Aris.
"Proses tender akan berada dalam subdivisi Marketing. Sedangkan subdivisi Business Development akan berfokus kepada pengembangan lini bisnis baru. Rencananya saya ingin mengembangkan bisnis yang berhubungan dengan IT," lanjut Pak Aris.
Aku masih bingung dengan arah pembicaraan Pak Aris. Melihat wajahku yang kebingungan, Pak Aris melanjutkan penjelasannya.
"Jadi saya butuh orang berpengalaman yang mengerti IT. Saya ingin meminta kamu untuk bergabung dalam subdivisi Business Development. Apakah kamu bersedia?" tanya Pak Aris.
Aku hanya bisa terdiam sambil berusaha memproses perkataan Pak Aris.
"Kamu pikirkan dulu permintaan saya ini. Kalau sudah ada keputusannya segera kabarin saya ya," lanjut Pak Aris.
"Oke, baik Pak. Saya akan berikan kabar secepatnya. Terima kasih atas tawaran Bapak," balasku setelah mengerti maksud dari penjelasannya.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Ingin rasanya balik ke ruangan Pak Aris untuk langsung menerima tawarannya. Namun kuurungkan niatku karena ingin menyampaikan kabar ini kepada kakakku terlebih dahulu. Akhirnya aku mendapatkan jalan keluar dari pekerjaan yang mengganjal hatiku beberapa bulan ini.
8 notes · View notes
tanyavanya · 2 years
Text
Ya, Karena Pilihan Ini pun Gapapa
Tumblr media
1
Alarm pagi pukul 5 membangunkanku dari mimpi yang indah. Aku membuka mataku perlahan lahan. Menatap langit langit kamarku yang penuh bintang tempelan. Aku jadi membayangkan bagaimana rasanya memegang bintang, bagaimana rasanya pergi ke ruang angkasa, bagaimana rasanya hidup yang benar benar hidup. Aku tak bilang bahwa hidupku saat ini tidak ‘hidup’, hanya saja mungkin aku merasa monoton dan butuh jeda; iya kuharap hanya begitu. Melakukan dua aktifitas di dalam satu tubuh, satu waktu, satu episode hidup, bukankah sesekali merasakan lelah itu wajar?
Perkenalkan aku Sora, seorang perempuan berusia 24 tahun yang sedang kelelahan menjalani hidup yang dipilihnya sendiri. Hidup ini penuh pilihan, tentu saja itu benar. Namun, beberapa orang tidak bisa mempertanggung jawabkan pilihannya sendiri dengan benar. Alih alih terus menjalankannya, beberapa yang lain memilih untuk memutar balik arah. Tidak ada yang salah dengan itu, manusia memang terus bertumbuh bukan. Mereka terus memperbarui cara mereka berpikir. Dan mereka selalu mempunyai pilihan lain yang baru.
Aku masih di atas kasurku. Rasa-rasanya aku baru saja tertidur, mengapa tiba-tiba saja alarm sudah berbunyi? Ah, bukan tiba-tiba ternyata memang aku saja yang baru menjatuhkan diri ke kasur pukul 3 pagi. Jika bukan karena deadline, malas sekali aku harus mengerjakannya sampai mengorbankan jam tidurku. Deadline yang terjadi juga karena salahku yang memilih menundanya, jadi ya memang asal muasalnya memang sedari awal salahku, melelahkan. Hari ini sama seperti hari kemarin, aku selalu bimbang setiap kali pagi datang. Bimbang antara mau melanjutkan aktifitas atau memilih rebahan di kasur. Kalau di tanya kenapa aku selalu terlihat lelah jawabannya ada di sepanjang cerita ini, dan kalian harus membacanya.
“Mbak Sora, ayo bangun dulu. Sholat subuh lalu siap siap. Ibu lagi masakin sarapan buat kamu. Ini kesukaan kamu lo.” suara Ibu menjadi perintah yang tak boleh terbantahkan.
“Baik Ibuku yang cantik.” jawabku.
Aku lekas bergegas untuk beranjak dari tempat tidurku. Mengambil wudhu dan sholat subuh. Selesai subuh tiba tiba pikiran random mulai muncul, ulet kenapa lebih suka di daun ya?. Kenapa kok tanaman merambat dinamakan tumbuhan rambat, kenapa gak tanaman bergelantung aja, kan lebih lucu. Kenapa kok dia gak suka sama aku ya? - kalo ini mah udah takdir.
“Ibu masak apa pagi ini?” tanyaku pada ibu dari dalam kamar.
“Masak telur dadar sambalado, tumis kangkung, dan ada mendoan hangat tentunya kesukaanmu.” jawab ibu.
Akhirnya aku bergegas keluar dari kamar. Mendengar menu yang Ibu buatkan, rasa kantuk ku sedikit menghilang dan berganti dengan rasa lapar yang teramat sangat. Seingatku tadi malam aku sudah makan cukup banyak, namun nyatanya pagi ini perutku meronta cukup keras.
“Ibu aku sarapan dahulu ya. Aku lapar sekali. Apalagi melihat masakan Ibu, membuatku tambah lapar. Masakan Ibu terbaik sejagad raya pokoknya haha.
“Hemmm, mulai merayu nih, pasti ada maunya.”
“Hehe nggak dong Bu, aku jujur loh ini. Nanti aku mau bekal ini ya bu. Oh iya, Ayah masih tadarusan, Bu.”
“Iya masih. Mungkin sebentar lagi Ayah pulang.” jawab Ibu.
Keluarga kami memang bukan penganut agama yang taat, namun kewajiban yang di dalam Al Qur’an semuanya kami jalani dengan penuh keyakinan. Setiap Subuh dan Maghrib Ayah selalu menyempatkan untuk berjamaah di masjid dan setelahnya Ayah tidak langsung pulang, Ayah melanjutkan untuk tadarusan sejenak. Kalo kata Ayah, di masjid itu tenang. Aku tidak bilang rumah kami tidak tenang, hanya saja sesekali Ibu marah marah dengan nada keras mungkin ini yang terkadang membuat Ayah ingin mencari udara segar sejenak, hehe. Namun bagiku wajar saja, memang terkadang kita pun perlu mencari udara lain walaupun kita memiliki rumah setenang apapun.
***
“Sora, kamu tau gak sih?” tanya Tami teman kuliahku dahulu yang saat ini menjadi teman kantorku.
“Enggak. Kan dirimu belum bilang apa apa Tamiiiii.” jawabku sedikit gemas.
“Itu loh, si Danu, mantanmu dulu, kamu tau gak dia kerja dimana sekarang?!”
“Ya enggak atuh Tami. Lagian kenapa si pagi pagi bahasnya dia. Kaya gak ada bahasan lain aja deh. Aku pun kan sudah tidak peduli Tami.”
“Enggak. Kali ini kamu harus peduli!”
“Dih, apaan sih Tam, to the point aja deh.”
“Kamu taukan, divisi Marketing sekarang Kepalanya gak ada?”
“Iya terus apa Tamm, gausah bikin gue makin penasaran dan naik darah deh.”
“Soraaaaaa, kamu harus dengar ini. Dia sekarang jadi Kepala Marketing di Kantor kitaaaaa.”
Mendengar berita itu, aku terdiam. Tubuhku menolak bergerak. Aku tidak bisa mengatakan satu kata pun. Aku terlalu shock. Aku mencoba mencerna kata kata Tami dengan baik. Danu sekarang satu kantor denganku dan aku bertemu dengannya setiap harinya, batinku. Danu adalah mantan kekasihku sewaktu aku kuliah dahulu. Dia sosok yang baik, pintar, dan juga ramah. Namun dia juga juga sosok yang posesif, sangat amat posesif. Perpisahan kami bisa dikatakan perpisahan yang tidak diinginkan, namun suatu keharusan. Karena jika kami terus bersama, yang ada hanya kehancuran aku dan Danu. Beberapa perpisahan mungkin meninggalkan luka, namun perpisahan yang lain hanya meninggalkan kata ‘ini belum usai’. “Kamu yakin dia Tam?” tanyaku kepada Tami. Aku berusaha memvalidasi kembali. Aku harap aku hanya salah dengar.
“Yakin banget Ra. Pokoknya kamu harus kuat Ra. Aku akan selalu ada buat kamu. Kamu gak boleh sedih. Kalau dia macam macam langsung cari aku, nanti aku akan langsung tonjok muka dia. Pokoknya kamu harus kuat ya Ra.”
Otakku tak mampu mencerna dengan baik perkataan Tami. Ini bukan kuat enggaknya, tapi segala sesuatu yang belum usai, seolah datang menghampiri meminta pertanggung jawaban untuk segera diberikan penyelesaiannya. Masalah di rumah perihal pekerjaanku saja belum selesai, sekarang ditambah dengan datangnya Danu, sepertinya memang Tuhan tidak membiarkan hamba-Nya untuk beristirahat sejenak.
Mungkin jika kemarin aku tidak bertemu dengannya, mungkin masalah tidak akan sepelik ini. Mungkin jika aku tidak memilih jalan ini, mungkin aku tidak perlu bertemu dengannya lagi. Mungkin jika perasaan ini terselesaikan tepat pada waktunya dan tidak ku bawa bawa sampai hari ini, mungkin aku tidak perlu se-shock tadi. Mungkin mungkin mungkin . . .
Sejenak aku tersadar. Jika membayangkan segala pengandaian, pilihan ini akan selalu menemukan titik negatifnya. Setiap pilihan selalu memiliki resikonya masing masing. Yang dipilih pada akhirnya yang resikonya paling bisa diterima. Perjalanan untuk mengambil pilihan ini pun tidak mudah. Perlu susah payah, perlu air mata, perlu tenaga, perlu adu argumen, perlu meyakinkan hati untuk setiap langkahnya. Namun, pilihan inilah yang aku pilih. Bukan karena orangtua, tetapi untuk diriku. Karena setiap pilihan yang aku pilih, aku lah yang bertanggung jawab atasnya. Segala resiko yang datang, itu adalah resiko yang bisa aku terima. Ya, karena pilihan ini pun gapapa.
BERSAMBUNG . .
7 notes · View notes
kambingwangi · 1 year
Text
Buku Mewarnai Aurora (Bagian 3)
BAB 3: Permulaan
Perjalanan panjang baru akan dimulai. Rasanya? Menakutkan sekaligus menyenangkan, bukan? Dadamu akan berdegup lebih kencang, keringat dingin dengan bulir sebesar biji jagung membasahi diri, tak apa. Nikmati saja!
Aurora menyiapkan lembaran kertas itu dengan rapi dalam amplop coklat biasa orang-orang pakai untuk mengirimkan lamaran kerja. Awalnya ia ingin membuat kejutan. Menaruhnya di meja tamu, pura-pura tak tahu, lantas terkejut dan bersorak setelah membaca isinya. Namun niatnya diurungkan. Orang-orang rumahnya bukan tipikal penyuka kejutan.
Aurora baru saja memasak tumis kangkung ketika Abang tiba dan bersingkut untuk mandi. Lantas jahil merecokinya yang sedang memasak.
“Kurang garam, Ra.” ucap Abang setelah menyendokkan kuah sayur untuk dicicipi. Lantas menuangkan kaldu jamur di panci yang berisi sayur.
“Ikan asin kemarin goreng lagi ya, Ra. Sama masakin sambal bawang ya.” Abang mengusap kepalaku. Membuat rambut ikalku berantakan.
“Banyak maunyaaaa,” selorohku sembari tertawa. Ruang dapur yang sempit terasa lega.
***
Aku baru saja memberikan lembaran itu ke bapak. Bapak sudah membacanya tuntas–aku yakin itu, dari gerak gerik matanya dan helaan nafas yang berat. Tak ada tapi, izin merantau kali ini akan segera aku kantongi. 
Aku bertukar pandang dengan Abang sedari tadi. Tapi abang lebih banyak diam sesekali memainkan jemarinya di ujung cangkir.
“Ini sudah ditanggung semuanya, Ra?” Akhirnya. Suara bapak yang kutunggu-tunggu terdengar juga.
“Iya, Pak.” Aku mengangguk mantap.
Seleksi gelombang dua kampus swasta itu rumornya lumayan sulit. Aku hampir menyerah. Tapi di saat bersamaan, Lia mengenalkanku pada Luter, sepupunya yang berkuliah di sana untuk memberikan soal ujian tahun lalu. Tak banyak yang sama, namun sedikit-banyak membantuku belajar untuk ujian masuknya.
“Tapi, nilai adek harus stabil. IPK minimal 3,50 setiap semesternya agar beasiswa tidak dicabut.” Aku menghela nafas berat. Aku sudah tahu konsekuensinya ketika mendaftar. 
“Terus kalau gak nyampe gimana? bayar sendiri?” tanya bapak lagi.
Aku mengangguk. “Nanti di Jakarta adek sambil kerja, Pak.”
“Kerja apa?” Bapak menatapku sinis. 
“Kamu berkendara aja gak bisa. Hidup di ibu kota itu keras.” kata bapak lagi.
“Nanti Abang bantu-bantu buat kirim adek juga, Pak.” kali ini abang buka suara.
“Bang, kamu perlu menabung untuk hidupmu juga,” suara bapak melunak.
“Ra, usaha Wak Dolah lagi sepi bakda pandemi ini. Kau lihatlah abangmu itu ampe kerja jadi kurir paket. Siang-malam nganter barang, kerja ini-itu. Bapak juga sudah tua. Kau gak berbakti kali gak mau ngurus bapak dan abangmu ini,” 
Aku dan abang terdiam.
“Apa yang kau cari di ibu kota hah?” tanya bapak lagi.
“Kau mau kerja apa? Kau mau jadi kayak ibumu?” tanya bapak lagi.
Abang sudah menundukkan kepalanya, membuang muka. Kami sudah hafal tabiat bapak kalau sudah meracau panjang lebar.
“Pak, izinkan adek ngomong,” ucapku akhirnya memberanikan diri.
“Bukan soal jakartanya, Pak. Dimanapun sekolahnya, adek mau. Asal di jurusan yang adek pengen. Adek mau mengubah nasib, Pak. Bantu abang dan bapak juga.”
“Bantu apa?” 
“Bantu apa dengan pergi meninggalkan bapakmu yang lumpuh ini? Bantu buat melihat bapakmu cepat mati?” Bapak memegang dadanya. Mukanya mulai meringis. Aku sudah hafal betul tabiat ini. Abang segera menghampiri bapak yang berada di kursi rodanya.
“Istirahat yuk, Pak. Besok kita ngobrol lagi.” Abang menuntun bapak ke kamarnya sambil matanya mengisyaratkan untuk tenang.
***
Aku segera membereskan meja makan dengan perasaan kalut. Tiga hari lagi batas akhir pendaftaran ulang. Bapak tak ingin menemuiku setelah malam itu. Ia lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Abang juga menenangkanku bahwa bapak akan baik-baik saja. Siang tadi, Lia datang ke rumahku menanyakan apakah aku jadi berangkat dengannya. Bibinya sudah menyiapkan travel untuk keberangkatannya besok sore.
Aku duduk di beranda rumah. Memperhatikan putik buah jambu air yang mulai merekah. Sebentar lagi akan panen. Biasanya anak-anak akan berteriak meminta jambu air dari depan pagar atau undangan makan rujak bersama di warung bu Ipeh. Biasanya aku akan membawa sekantong besar jambu air yang matang serta buah-buah lainnya.
Abang tiba tiga puluh kemudian. Memarkirkan motornya di ruang tamu. Sudah lama aku tidak memperhatikan abang sedekat ini. Waktu kecil, ia seringkali menjagaku saat bermain di lapangan. Meskipun ia juga teramat jahil padaku. Pernah suatu hari, abang menggendongku dan menyangkutkanku begitu saya di atas pohon asam ketika sedang bermain petak umpet. Barulah menjelang magrib aku ditemukan warga karena mendengar suara parau ku menangis. Abang dengan santai bilang lupa menaruhku di sana. Warga sudah heboh mengira aku diculik hantu.
“Nih,” Abang memberiku sebuah amplop putih tebal. Aku membukanya pelan. Isinya sebuah tiket bus ke Jakarta dan uang dua juta rupiah.
“Abang belum bisa kasih banyak. Kau harus janji belajar yang rajin. Jangan aneh-aneh di ibu kota.”
Abang merogoh kantong kemejanya. Memberikanku sebuah kotak telepon genggam.
“HP-mu sudah rusak layarnya kan ya? Ini hadiah kelulusanmu. Abang bangga padamu, Dek. Selamat ya,”
Aku memeluk abang dengan tangis yang tidak bisa kutahan lagi. Air mataku sudah tumpah ruah sempurna. Abang menenangkanku. 
“Besok abang coba bilang ke bapak. Semoga bapak bisa memahami ya,” Abang mengusap air mataku. Aku mengangguk.
“Jelek kali mukamu, Dek. Sudah kusam, sembab pula sekarang.” goda abang. Aku menabok bahu abang dengan amplop berisi gepokan uang yang ia berikan. Lumayan keras juga ternyata bunyinya. Kami tertawa bersama.
***
Perjalanan dimulai!
Apa yang kau takutkan dari sebuah perjalanan? Bukankah ini awal petualangan yang menyenangkan?
Entah apa yang disampaikan abang kepada bapak, pagi-pagi benar bapak sudah duduk di meja makan. Masih dengan diam yang membuat suasana lebih mencekam. Aku menyiapkan sarapan tanpa gesa. Bakda subuh, abang bilang akan mengantarku berangkat siang nanti ke terminal. Abang memintaku untuk berkemas dan mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan selama di Jakarta. Juga berkas-berkas persyaratan kuliahku. Ajaibnya, surat pernyataan orang tua juga sudah ditanda tangani oleh bapak. Aku memastikan tidak ada yang tertinggal di tas bawaanku.
Meja makan lebih senyap daripada biasanya. Abang tidak bekerja hari ini. Mungkin ia bertukar shift kerja atau entahlah. Biasanya abang akan memakai kaus ekspedisi tempat ia bekerja. Pagi ini abang hanya memakai kaos partai lusuh bekas pemilu bupati beberapa bulan lalu. Aku bersiap merapikan meja makan ketika semuanya sudah selesai makan bersamaan dengan bapak menegurku untuk mendekat duduk di sampingnya.
Bapak menatapku lekat. Aku bisa memperhatikan seksama raut wajah bapak yang kian menua. Guratan tangannya yang mulai mengendur. Matanya yang kian sayu meski tanpa kaca mata. Memori masa lalu berdesakan datang. Memutar bak radio usang ingatan ketika kali pertama bapak menggendongku, kali pertama bapak mengajariku mengendarai sepeda hingga aku tersungkur setelah menabrak pagar rumah, dan kenangan heroik lainnya. Air mataku hampir tumpah. Aku segera bersimpuh di kaki bapak.
“Maafin adek, Pak.” ujarku penuh penyesalan. Entah kapan terakhir kali aku berbincang dengan bapak sedekat ini. Kami selalu makan malam bertiga, namun meja makan lebih banyak senyap beberapa tahun belakangan.
“Bapak tau adek sangat spesial. Bapak yang minta maaf selalu memaksakan kehendak bapak,” Bapak mengusap punggungku. Menenangkanku yang terisak.
“Dek, berjanjilah jaga diri dengan baik di sana ya.” ucap bapak lagi.
Bapak membantuku duduk kembali. Mataku sudah sembab. Bapak memberikan sebuah tas kecil berwarna putih kusam kepadaku.
“Eman-eman ya. Kalau kurang, nanti bilang ya. Bapak akan bantu kirimi lagi.” Bapak mengusap kepalaku lembut. Seperti yang biasa ia lakukan ketika mengantarku pergi sekolah waktu kecil.
“Belajar yang bener di sana,” kata bapak lagi. Aku mengangguk takzim.
Abang sudah berdiri di sampingku. Bersiap memakai jaketnya. Memberi isyarat untuk segera bergegas. Jam sudah pukul dua. Sementara busku berangkat pukul empat.
“Berkabaran selalu ya, Dek.” ucap bapak lagi. Aku menangguk mantap.
Aku segera bangkit lalu memeluk bapak erat. Seakan tidak ingin waktu memisahkan kami cepat.
***
Kami tiba di terminal tepat waktu. Abang memesankan bus eksekutif. Sangat nyaman untuk perjalanan darat hampir 30 jam lebih mendatang. Abang juga membekaliku beberapa cemilan dan makanan ringan untuk teman perjalanan. Ini perjalanan darat terjauh pertamaku. Seumur hidup, dari SD hingga SMA, aku tidak pernah bepergian keluar kota. Jangankan untuk ikut acara study tour dari sekolah. Uang makan saja kami harus mengaturnya dengan baik. Lia sudah mengirimkan pesan alamat bibinya padaku. Ia sudah berangkat lebih dahulu. Aku menatap langit senja yang berwarna jingga terang. Lambaian tangan abang, pelukan hangat bapak, dan semua kenangan disini akan menjadi penguatku untuk berjuang di ibu kota. 
Namanya, Jun.
Aku memulai bulan-bulan pertama perkuliahan dengan cukup kewalahan. Proses daftar ulang dan segala beluk kampus terbantu oleh Luter sepupu Lia. Meskipun kami berbeda fakultas, teman-teman Luter ternyata lebih banyak yang satu jurusan denganku. Awalnya aku tinggal bersama Lia di rumah bibinya. Ruko tepatnya. Terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar digunakan untuk salon, lantai dua untuk keluarga bibinya, dan lantai tiga sebenarnya gudang–yang sekarang menjadi tempatku dan Lia tinggal. Bibi Lia menerima kami dengan baik. Mengajari kami seluk beluk persalonan, mulai dari cuci rambut, potong rambut, blow, dan segala macamnya. Lia dengan mudah belajar. Aku tidak. Puncaknya, pekan ketiga aku tumbang. Setelah dihantam kegiatan kampus yang lumayan padat untuk mahasiswa baru juga sore hari membantu bibi Lia di salonnya.
Aku izin untuk pindah kos dekat kampus pada pekan setelah UTS setelah mencoba berdamai dengan suasana bising di ruko salon Bibi Lia. Terlebih, aku tidak banyak membantu di salonnya karena energi sudah habis mengurus perkuliahan.
“Adek ga berantem sama Lia kok, bang. Suer tekewer-kewer deh!” Aku mengacungkan dua jari berbentuk peace.
“Sudah babak belur dihajar asistensi.” lanjutku lagi
“Adek ketinggalan jauh banget, Bang. Ini untung teman-temannya baik, gak sombong. UTS kemarin kami sekelas ngerjain bareng dan nginep di studio kampus!” ceritaku antusias.
Abang bercerita banyak hal soal rencana menikahnya dalam waktu dekat. Bapak juga sibuk menggoda abang. Mencari kesana-kesini, akhirnya abang terpincut dengan Fani, anak bi Ipeh tetangga tempat kami biasa belanja di warungnya. Aku menutup panggilan video itu setelah Ica, teman sekelasku mengajak untuk bersiap masuk ke kelas berikutnya.
“Ra, kamu liat cowok berambut ikal sweater ijo kelabu itu?” tanya Ica berbisik.
“Arah jam 10,” katanya lagi.
Aku mengedarkan pandang. Mataku tertuju pada lelaki berbadan atletis, cukup tinggi, dengan rambut ikal dan memakai sweater ijo dengan buku-buku dan tabung gambar di bahunya. Penampilannya khas anak teknik pada umumnya.
“Kenapa dengan dia, Ca? kamu naksir?” tanyaku sambil melirik Ica.
Ica ber-hus padaku. “Namanya Jun. Kata ana-anak, dia bisa pergi ke masa lalu.”
Aku mendelik. Menatap tak percaya. Hellow? udah abad 21, berita macam apa ini? Ica mengajakku bergegas setelah melihat Pak Sar, dosen mata kuliah rupa dasar dua dimensi menuju ruang kelas. Bisa berabe kalau telat barang satu detikpun. Alamat tidak bisa ikut belajar di kelasnya.
***
3 notes · View notes
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 6: “Mimpi Lilac Mulai Terwujud”
Setelah aku membereskan semua perlengkapan sekolahku, aku mulai bersiap-siap pamit pada orang tua Wiliam.
“Paman Bibi aku pamit yah, terimakasih atas semua support yang sudah kalian berikan untukku” Ucapku pada mereka
“Lilac, kamu sudah bibi anggap sebagai anak sendiri. Bibi dan paman akan dukung yang terbaik untukmu. Hati-hati disana yah dan jaga selalu kesehatan jangan lupa untuk selalu mengabari setiap saat. Kami menunggu kabar darimu” Ucap ibu Wiliam
“Baik bi, aku akan selalu menghubungi bibi” Ucapku dan langsung memeluk ibu Wiliam itu. Ucapanku benar, hanya merekalah yang bisa aku hubungi nantinya karena hanya mereka yang aku punya.
Aku menggeret koper ke luar. Dimobil sudah ada Wiliam yang akan mengantarkanku ke Bandara. Wiliam membantuku memasukan koper kedalam mobil dan tidak lupa untuk berpamitan pada ayah dan ibunya. Kami berdua langsung menuju bandara. Meskipun penerbanganku sekitar jam 2 siang tapi kami berdua sudah berangkat sejak pagi hari. Aku tak mau terlambat dihari penting untuk hidupku ini. Akhirnya aku bisa diterima dikampus terbaik untuk bidang Pastry di Swiss sana. Namun aku terkejut Wiliam tidak membawaku ke jalan menuju bandara tapi ia berbelok ke danau.
“Wil, kok kesini?” Tanyaku
“Sebentar ada yang harus aku urusi dulu” Jawab Wiliam
Wiliam memakirkan mobilnya dipinggir danau dan membuka safety belt nya namun ia tak turun dari mobil.
“Wil, kenapa? Apa yang mau kamu urusi?” Tanyaku
Namun Wiliam hanya termenung sambil memegang kendali mobil. Aku mendengar ia menghela nafas berat.
“Ada apa Wil?” Tanyaku lagi, bingung yah aku bingung melihat ekspresi Wiliam. Tak biasanya ia begini.
“Lilac ada yang mesti aku bicarakan padamu” Ucap Wiliam
“Apa?” Jawabku
Wiliam mencari sesuatu di sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil
“Lilac, maukah kamu menikah denganku?” Ucap Wiliam secara tiba-tiba dengan membuka kotak kecil itu yang ternyata berisi cincin cantik. Aku terkejut dengan permintaan tiba-tiba Wiliam. Aku tak menyangka Wiliam akan melamarku. Meskipun aku tahu dan aku sadar sikap Wiliam selama ini sangat special padaku. Tapi aku tak menyangka bahwa Wiliam suka padaku, aku terlalu takut berharap selama ini. Memikirkan Wiliam suka padaku aku sangat takut. Selama ini, kebaikan yang Wiliam beri padaku sangat cukup aku anggap sebagai kebaikan seorang kakak atau teman. Aku sangat bersyukur memiliki Wiliam disampingku, aku tidak mengharapkan terlalu tinggi padanya. Cinta? Aku tak sampai memikirkan sampai sejauh itu. Bahkan aku sudah mempersiapkan diri jika nanti Wiliam memperkenalkan perempuan yang dia cintai dihadapanku aku akan menerimanya. Tapi sekarang dihadapanku, Wiliam melamarku. Ternyata selama ini aku, aku adalah orang yang ia cintai.
“Wil, kamu?” Ucapku tak mampu mengeluarkan banyak kata
“Sejak pertama kali aku datang ke toko tuan Priscot dan beliau memperkenalkanku padamu, aku sudah jatuh cinta padamu Lilac. Pandangan pertama aku melihatmu, kamu mampu membuatku luluh. Asal kamu tahu, aku tipe orang yang tidak mudah jatuh cinta. Jika masih ada tuan Priscot disini, beliau akan setuju dengan ucapanku. Tapi kamu, perempuan sederhana yang pertama aku lihat di toko roti itu bisa membuat hatiku tidak karuan. Selama ini aku menyimpan perasaanku padamu. Karena aku tahu, kamu sedang butuh support atas mimpi-mimpimu. Aku senang karena aku bisa menjadi bagian proses pencapaian mimpi-mimpimu itu. Lilac, perkataan aku yang sering aku katakan padamu selama ini, bahwa aku akan selalu mendukungmu apapun yang terbaik untukmu adalah benar adanya. Hari ini, sebelum kamu mengejar mimpimu, izinkan aku untuk mengutarakan maksud atas perkataan aku selama ini. Maukah kamu menikah denganku? Sehingga aku bisa dengan leluasa mendukungmu sebagai suamimu nantinya. Bisakah aku naik level dari teman terbaikmu menjadi pasangan terbaikmu?” Ucap Wiliam Panjang.
Aku menangis terharu mendengar perkataan jujur Wiliam. Aku merasakan hal yang sama. Selama ini Wiliam selalu mengutarakan bahwa dia akan selalu disampingku kemanapun aku berada dan pada akhirnya ini tujuan akhir dia. Melamarku.
“Wil aku, aku terkejut dengan pengakuan kamu ini. Tapi aku senang karena orang yang selama ini melindungiku ternyata ia suka padaku.” Ucapku haru.
Wiliam mengambil tangan kiriku dan menyematkan cincin manis itu pada jariku.
“Lilac, aku tunggu kamu selesaikan mimpimu, aku akan menunggu kamu disini sambil mengembangkan toko roti itu. Bersama cincin ini, kamu harus tahu ada aku yang akan selalu support kamu. Pulanglah dengan ceria, aku akan menjemputmu dengan senang hati. Kemarin saat kamu mendapatkan kabar dari Mr. Morgan mengenai beasiswa sekolah ini aku pulang kerumah bertemu orang tua aku. Tau tidak tujuan aku kesana untuk apa? Aku meminta izin orang tuaku untuk melamarmu dan memberi tahu mereka untuk mengizinkan dirimu menggapai mimpimu. Aku sudah meminta izin untuk menikahimu, dan mereka setuju. Lilac apakah kau mau menjadi istriku?” Ucap Wiliam
Aku mengangguk sambil terus menangis. Hari itu dimana Wiliam melamarku secara tiba-tiba adalah hari perpisahan kami karena beda negara. Aku mengejar mimpiku dan akan menyelesaikan mimpiku secepatnya disana, sekarang ada orang yang setia menungguku. Rencana pernikahan kami akan dilangsungkan bila aku sudah menyelesaikan sekolahku. Wiliam akan sesekali datang menemuiku selama di Swiss dan orang tua Wiliam yang akan menghandle toko roti selama Wiliam menghampiriku.
Aku sangat bahagia sekarang, mimpiku satu persatu mulai bisa aku raih. Bermimpi menjadi chef professional, memiliki pasangan dan tentunya memiliki keluarga adalah mimpi-mimpi yang aku inginkan sejak dulu. Terimakasih Tuhan, terimakasih karena tidak lupa dengan diriku yang malang ini. Terimakasih akhirnya penantian panjang yang selama ini aku harapkan bisa aku dapatkan.
3 Tahun kemudian aku sudah lulus dari sekolahku dan mendapatkan sertifikat chef professional. Aku meraih peringkat tertinggi dan sudah bekerja sama dengan beberapa restaurant berbintang Michelin. Aku pulang ke negaraku dan melangsungkan pernikahan dengan Wiliam. Hari-hariku sangat bahagia sekarang. Toko roti peninggalan tuan Priscot masih ada dengan ke khasanya, kami berdua tidak mengubah design apapun pada toko roti itu. Toko roti itu tetap sama seperti sejak ditinggal tuan Priscot. Wiliam mengambil alih management toko roti itu dan aku membuka restaurant besar didaerahku. Restaurant yang menghadap langsung danau indah dibelakang toko roti tuan Priscot, danau yang menjadi saksi perjalanan hidupku bisa sampai hidup dilingkungan ini dan tempat bertemunya 2 hati yang selama ini berjauhan.
TAMAT.
6 notes · View notes
rahmaw11 · 1 year
Text
PRASANGKA
Prolog
Seorang anak perempuan terlihat berlari mengejar ayam yang ada di hadapannya. Tampak seragam putihnya lusuh oleh keringat. Terdengar suara alat tulis beradu dalam tas ranselnya yang mengikuti gerakannya. Lalu langkah gadis cilik itu berakhir di salah satu pintu yang terbuka lebar. Dia melongok ke dalam rumah bercat biru langit.
“Ibu, Raya sudah pulang.” ujarnya setengah berteriak, seolah takut suaranya tidak terdengar oleh ibunya.
Kepalanya melongok mencari sosok Ibu dan Mulia, adiknya. Tak berselang lama, terpantul siluet wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan awal tergopoh menuju ke pintu. Muncullah sosok ibu dari gadis kecil tersebut. Orang-orang di lingkungan ini, memanggilnya Ibu Sugih.
Melihat sosok yang dinanti, Raya seketika memeluk kaki ibunya. Ada perasaan lega di dalam hati. Syukurlah dia bisa melewati hari pertamanya duduk di sekolah dasar dengan lancar.
“Gimana sekolahmu? Apa sudah punya teman?” sambut Ibu.
“Raya pinter loh, Bu. Tadi ada tiga temanku yang nangis-nangis pas di tinggal ibu bapaknya. Oh ya.. Raya juga sudah punya teman, namanya Sari. Dia kasih aku kue cokelat. ” jawab Raya tanpa jeda.
Lalu gadis itu tersenyum lebar seakan ingin mendapatkan pujian atas kemandiriannya di hari pertama sekolah. Kode tersirat yang terlihat jelas. Ibu segera memeluknya. Ibu sudah menduga jika anak pertamanya memang pintar beradaptasi.
Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Si bungsu sedang tertidur pulas di sampingnya. Sedangkan Raya kini tengah tenggelam dengan majalah lama milik Kak Putri.
Kak Putri adalah anak dari pemilik rumah, tempat Ibu bekerja. Buku-buku terbaru Kak Putri tertata rapi di tempat rak yang cukup tinggi. Sedangkan Raya hanya bisa menjangkau barisan bawah yang berisikan majalah-majalah tahun cetakan lama.
Karena merasa bosan membolak-balikkan majalah Bobo yang mungkin sudah ratusan kali ia baca. Raya mulai melirik adiknya yang sejak tadi tertidur, terlihat menggemaskan. Terbesit keinginan untuk iseng pada adiknya. Raya mencubit pelan pipi dan hidung adiknya. Terlihat adiknya mulai menggeliat tidak nyaman, di susul dengan suara rengekan.
“Raya jangan ganggu adik yang lagi tidur !” tegur Ibu. Raya tertangkap basah sedang mengganggu tidur adiknya.
Gadis itu menyengir, menghentikan cubitannya sebelum tangis adik benar-benar pecah. Bisa gawat jika adiknya menangis, dan Ibu marah. Dengan lesu, Raya bangkit untuk mengembalikan majalah yang tadi dibaca. Matanya menyapu seluruh ruangan. Mencari hal lain yang bisa dilakukan. Raya bosan.
Melihat tingkahnya, Ibu menitahkan Raya untuk pulang dan mengganti pakaiannya. Di mata Ibu, anaknya tidak tenang karena kegerahan.
Sisa jarak menuju ke rumahnya hanya lima ratus meter. Tak begitu jauh, di bandingkan dengan jauhnya sekolah yang lebih dari dua kilometer. Ibu bekerja di rumah Bu Nuri sebagai buruh setrika.
Rumah Bu Nuri terletak di persimpangan yang cukup ramai, sedangkan rumah Raya berapa di ujung jalan yang buntu. Tak lama, mulai melihat bangunan yang dia kenali.
Namun di ujung jalanan buntu itu juga tampak siluet seorang laki-laki yang sedang duduk di atas becak merah menyala.
Gawat, ada Pak Koro…
Seketika pandangan Raya tertunduk. Dia mempercepat langkah hingga nyaris berlari. Gadis itu tergesa-gesa memasuki rumah. Kunci rumah yg terselip di bawah wajan hampir terjatuh karena tangannya bergetar.
Jantungnya berdegup kencang tidak normal. Badannya berkeringat dingin karena ketakutan. Sangat jelas jika dia takut pada Pak Koro, tetangganya sendiri.
Pak Koro seringkali menatap tajam pada Raya dan keluarganya, menjadi alasan utama dia takut. Bahkan tak jarang sosok berkumis itu melambai padanya saat berpapasan. Khususnya saat bertemu dengan Raya seorang. Hal itu membuatnya menjadi sangat ketakutan setiap kali melihat sosok laki-laki tersebut. Namun sungguh aneh, Bapak tidak pernah mendapatkan pengalaman buruk dengannya.
Tidak jarang gadis itu menceritakan pengalaman buruknya pada Ibu dan Bapak. Mungkin dia sudah phobia dengan becak berwarna merah terang. Untung saja warna becak Bapak berbeda dengan milik tetangganya.
Meski Bapak dan Pak Koro, sesama tukang becak, namun mereka tidak akrab. Hanya sesekali saja saling menyapa. Menurut Bapak, gerak-gerik Pak Koro memang mencurigakan. Dan Bapak harus waspada terhadapnya.
Seketika itu Raya kembali meninggalkan rumah, dan lari terbirit menuju rumah Bu Nuri. Setibanya, nafas Raya masih terengah seolah oksigen tidak mau memasuki paru-parunya.
Barusan dia berlari sekencangnya, hanya demi menghindari tatapan yang menyebalkan. Ibu melirik putrinya sepintas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Menurutnya Raya memang hyperactive , kerap kali dia melihat anaknya berlarian tanpa arti.
“Kenapa sih Pak Koro suka godain aku, Bu?” tiba-tiba gadis itu mengomel setelah nafasnya mulai beraturan.
Mata Ibu mengernyit mendengar nama Pak Koro.
Apakah anaknya lari terbirit-birit karena ulah tetangganya?
Namun Ibu memilih diam. Menunggu Raya melanjutkan ucapannya.
“Masa tadi Pak Koro dadadah gitu ke aku.” kali ini nadanya kesal.
“Nanti Raya akan aduin ke Bapak!” lanjutnya.
“Raya capek lari-lari karena di lihatin terus.”
Ibu hanya bisa tersenyum kecut. Karena Ibu juga mempunyai perasaan yg sama. Risau, takut, curiga dan kesal saat megawasi tingkah laku tetangga anehnya itu.
Walaupun sudah bertempat tinggal di lingkungan ini selama 2 tahun. Terhitung sudah cukup lama mereka hidup bersebelahan. Tapi Ibu Sugih dan anak-anaknya, masih tidak dapat memahami tingkah laku Pak Koro.
Akhirnya Ibu hanya bisa mencoba meredamkan emosi anak pertamanya. Sudah beberapa kali Ibu turut mengadukan masalah ini pada Bapak, namun sampai saat ini Bapak belum menegurnya. Mungkin Bapak tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan.
Sore itu di tutup dengan panggilan teman-teman main Raya. Dalam sekejap, gadis kecil itu melupakan segala kekesalannya pada Pak Koro.
Suara salam Bapak terdengar dari luar. Raya dan Mulia berhamburan memeluk sosok laki-laki berwajah tenang tersebut. Sudah dua hari ini Bapak tidak pulang karena pekerjaan. Kali ini Bapak membantu mengantarkan perabotan milik tetangga mereka yang pindah ke provinsi lain.
“Bapak bawa oleh-oleh.” gumam Bapak yang tengah di menuhi pelukan anak-anaknya.
Malam itu keluarga Bapak Sugih menikmati hangatnya martabak yang di belinya. Ibu menyuguhkan sepiring nasi terakhir, sebagai tambahan untuk santapan malam mereka. Raya dan Mulia berlomba menyendok nasi ke dalam mulut masing-masing. Bagi mereka, hari ini sangat spesial karena lauk martabak.
Melihat tingkah laku kedua anaknya, Bapak tersenyum sembari memberikan uang kembalian pada Ibu. Bapak sangat memahami kondisi keuangan mereka yang sebenarnya jauh dari kata layak.
Apalagi pasangan suami istri itu hanya bekerja serabutan. Keduanya meyakini jika rejeki adalah misteri kehidupan. Mungkin hari ini rejeki berbentuk uang. Tapi tidak ada yang tau tentang esok. Mungkin rejeki dalam bentuk lain.
“Oh ya, gimana sekolahnya ?” tanya Bapak pada Raya.
“Raya pinter loh Pak. Tadi temen sekelas Raya ada yang nangis sewaktu di tinggal bapak ibunya.” dia menjawab dengan mulut penuh.
Ada beberapa bulir nasi yang terjatuh di lantai. Ibu melirik bersiap untuk mengomel. Mengetahui ekspresi Ibu yang berubah, Raya langsung memungut dan mengembalikan ke mulut. Bapak tersenyum sekali lagi, Raya memang berbeda.
Malam yang semakin larut. Ibu dan Bapak Sugih bersiap untuk tidur. Anak-anak itu juga sudah terbuai dalam mimpi. Ibu bersiap menceritakan keluh kesahnya.
“Pak, tadi Pak Koro menggoda Raya lagi. Saat itu Ibu lagi di rumah Bu Nuri. Ibu takut keluarga kita di apa-apain saat Bapak tidak ada…” gumamnya pelan.
Lagi-lagi Pak Koro.. Apa ada masalah dia denganku? kenapa selalu mengganggu keluargaku.
Bapak menatap istrinya dan mencoba menenangkan. Meski terbesit ingin memperingatkan tetangga itu, namun dia tidak ingin mencari keributan karena kesalahpahaman. Mungkin saja, dia dan keluarganya yang tidak bisa memaklumi tingkah laku tetangga barunya.
“Nanti bapak tegur dia ya, Bu.” hanya kalimat itu yang bisa Bapak ucapkan sebelum keduanya terpejam.
Bagian Raya Sayang Ibu
Ibu menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Dia menyajikan tahu sebagai lauk. Irisannya cukup tipis, hingga nyaris terlihat menyerupai kripik tahu. Sudah hampir seminggu Ibu dan Bapak Sugih tidak mendapatkan pemasukan.
Di akibat langit yang selalu mendung, membuat orang-orang enggan keluar rumah. Memang saat musim hujan, peluang Bapak mendapatkan penumpang semakin kecil.
Terjadi juga dengan pekerjaan Ibu yang menjadi buruh cuci dan setrika. Ibu-ibu pelanggannya lebih memilih untuk menitipkan bajunya pada penatu yang mampu menyiasati musim hujan.
Bapak berpamitan setelah meletakkan piring kotornya. Menciumi satu per satu anggota keluarganya sebelum kembali mengayuh mencari pelanggan. Mulia, si bungsu, memberikan botol air kemasan yang telah digunakan berkali-kali untuk bekal Bapak. Suasana hangat di Minggu pagi ini, membuat hati Bapak sendu.
“Doakan hari ini Bapak dapat penumpang ya, Nak.” pamit Bapak.
Selepas meninggalkan rumah, Bapak menitikan air mata. Akhir-akhir ini jasa tukang becak tidak lagi di minati oleh masyarakat. Kebanyakan lebih memilih membayar ojek motor atau becak motor agar lekas tiba di tujuan. Terlebih sudah masuk musim penghujan.
Tuhan tolong beri aku jalan untuk menghidupi keluarga ini.
Setelah sarapan Ibu mengajak kedua anaknya berjalan menuju pasar. Niat hatinya untuk berkeliling menawarkan jasanya. Di depannya, Raya dan Mulia berlarian. Beberapa kali keduanya berbelok arah ke rumah tetangga yang mereka kenal, hanya untuk sekedar menyapa.
Tak lupa Ibu juga turut tersenyum ramah pada tetangga yang sedang berada di depan rumahnya. Ada yang sedang menyapu, ada yang sedang berjemur dengan bayinya, bahkan sudah ada yang duduk-duduk mengobrol untuk saling membagi gosip terbaru.
Bu Nuri, pelanggan setia Ibu, memanggil kedua anak yang dia kenal baik. Perempuan paruh baya itu mengeluarkan dua donat dan membagikannya. Wajah kakak beradik itu sumringah mendapatkan jajanan favorit mereka.
Bahkan Mulia memeluk dan mencium Bu Nuri karena gembira mendapatkan donat. Raya selaku yang tertua berterima kasih dengan sopan.
“Hari ini libur dulu ya Bu Sugih. Saya mau pergi ke tempat Putri.” ujar Bu Nuri saat sosok Ibu Sugih yang baru tiba.
“Salam untuk Putri ya, Bu Nuri. Semoga lancar kuliahnya.” Ibu sedikit menundukkan pandangannya. Terbesit rasa malu karena niat terselubungnya terbaca oleh tetangga baiknya ini.
Bu Nuri berpamitan dan pergi mengendarai sepeda motornya. Anaknya memang berkuliah di kota lain. Jika ada kesempatan, Bu Nuri mendatangi anak semata wayangnya itu. Sedangkan suami Bu Nuri adalah TKW Malaysia. Kini Bu Nuri hidup di lingkungan ini sendirian.
“Makan donatnya nanti saja ya, setelah pulang dari pasar.” ujar Ibu.
Raya mengangguk, perutnya sudah kenyang dengan sarapan pagi ini. Raya menitipkan donatnya pada Ibu, dan berlari mengejar sosok Bu Nuri yang kian menjauh. Mulia pun akhirnya turut memberikan donat dan mengikuti kakaknya.
Di perjalanan menuju pasar, Ibu terlihat celingukan. Ibu mencari tanaman yang mungkin bisa di petik. Jika bernasib baik, terkadang menemukan buah jambu atau belimbing yang sudah cukup matang. Seakan sudah menjadi rutinitas, saat melewati rawa-rawa, Raya mulai membantu mengecek daun-daun yang tumbuh liar.
“Ini bisa di makan, Bu?” gadis itu berjongkok menunjuk dedaunan.
Ibu mendekati daun yang Raya maksud. Matanya terpicing memastikan dan sedetik kemudian mengangguk gembira. Hari ini mereka beruntung bisa menemukan kangkung liar. Kini raut wajahnya lebih sumringah, bahkan langkahnya terasa lebih ringan.
Sesampainya di pasar, Ibu berjalan menuju penjual tahu. Sedangkan Mulia menarik baju Ibu dengan mata yang terus menatap penjual mainan. Raya yang mengetahui gerak-gerik adiknya, seketika dia menarik tangan adiknya. Dia mengajak Mulia untuk mengitari pasar.
Tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundak Raya. Ternyata Sari, teman sekelasnya. Tak lama Ibu si Sari ikut menyapa kedua kakak-beradik itu. Bercakap ringan lalu berpamitan. Sebelum berpisah, Ibu Sari memberikan satu sosis instan. Mereka menerima perpisahan dengan gembira. Hari ini makan enak.
Dua gadis kecil sepakat untuk menyudahi penjelajahan, dan kembali menuju tempat penjual tahu. Ibu pasti sudah menunggu. Dan benar saja, Ibu sudah berdiri di seberang jalan.
“Ibuuuu! Kita dapet sosis dari temen Kak Raya.” teriak Mulia dengan sosis yang terangkat.
Mereka pulang dengan hati yang gembira. Rejeki memang misteri. Siapa sangka meski uang yang Ibu pegang nyaris tidak ada sisa, namun mereka masih mampu bertahan hidup sampai sekarang.
“Bu, Raya boleh coba berjualan?” di tengah perjalanan, tiba-tiba Raya bertanya dengan malu-malu.
“Raya mau jualan apa?” tanya Ibu.
“Kalau donat gimana?” Raya menatap. Jawabnya masih ragu.
“Nanti habis, kamu yang makan.” canda Ibu.
“Kalau… Jualan jelly ?” entah, tiba-tiba Raya bersemangat memberikan ide lainnya.
“Kalau itu Ibu masih bisa buatkan. Tapi inget… harus di jual ya. Tidak boleh di makan sendiri.” Ibu kini ikut antusias.
“Adik juga mau jelly, Bu…” celetuk Mulia yang ada di dalam gendongan. Kemudian Ibu dan sang kakak tertawa.
Hari itu, Raya merasa bahagia. Donat dan juga sosis menanti untuk dimakan. Dan satu lagi.. Ibu tersenyum cantik sekali hari ini. Raya memeluk kaki Ibu gemas. Meski suka mengomel, Raya tetap sayang Ibu.
Bagian Raya Sayang Bapak
Raya berangkat sekolah bersamaan dengan Ibu dan Mulia yang berangkat menuju pasar. Hampir satu bulan ini Raya berjualan jelly di sekolah. Jumlahnya tidak banyak karena modal yang terbatas. Tapi cukup untuk membuatnya merasa memiliki uang sendiri.
Mulia melambai dan mengatakan hati-hati pada kakaknya. Mereka berbeda tujuan. Raya berjalan dengan semangat. Membayangkan teman-teman yang akan berebut saat dia membuka tas kresek dagangannya. Yang terpenting, hari ini dia mendapatkan jatah dua butir jelly cokelat.
Sedangkan di pasar, Ibu membeli bahan-bahan untuk dagangan anak sulungnya. Ide berjualan memang hal yang tidak pernah ia pikirkan. Meski keuntungannya sedikit, tapi sudah cukup membuatnya bisa memberikan anak-anaknya jatah jelly untuk di makan.
“Bu Sugih?” terdengar sapaan yang mendekat ke arah Ibu.
Ternyata Bu Yani, pelanggan Ibu dari desa sebelah.
“Bu Sugih hari ini bisa ke rumah saya?” tanyanya.
“Biasaa.. bantuin untuk seterika baju saya dan keluarga.”
Tanpa basa-basi Bu Yani melanjutkan maksudnya setelah yakin itu memang benar sosok Bu Sugih.
“Suami saya suka dengan hasil seterikaan Bu Sugih. Jadi tolong ya bu.. setelah ini segera ke rumah saya ya.” lanjut Bu Yani.
“Siap Bu Yani. Setelah ini saya segera kesana.” jawab Ibu.
Keduanya meneruskan perjalanannya menuju ke desa sebelah. Walaupun jaraknya cukup jauh, namun Bu Yani biasanya memberikan bonus. Suami Bu Yani adalah polisi, sehingga licinnya seragam adalah sebuah prestise.
Bu Yani menyambut mereka dengan hangat. Meski suka mengobrol dan seakan tidak berjeda, namun Bu Yani sangat baik, jauh dari kata angkuh. Ada kue basah yang membuat mata Mulia berbinar. Dan Ibu bersiap-siap untuk melakukan tugasnya.
***
Sudah beberapa hari ini Ibu terlihat risau dan sensitif. Bahkan Ibu menjadi sering memukuli Raya atau pun Mulia jika berbuat salah. Padahal biasanya Ibu hanya mengomel saja, atau memberikan tatapan tajamnya.
Karena Raya menjadi sangat takut dan berhati-hati dengan Ibu. Sering kali Raya kabur dengan mengajak Mulia bermain di luar dengannya. Dia ingin mengurangi beban sekaligus menyelamatkan adiknya dari amukan Ibu yang semakin tidak jelas. Seperti hari ini.
“Mulia, kamu jangan nangis terus ya. Kepala Ibu lagi pusing. Dan kita harus nurut apa kata Ibu supaya tidak di marahi.” jelas Raya menasehati adiknya.
Raya terlihat berusaha untuk menjelaskan situasi mereka. Mulia mengangguk. Entah paham atau tidak. Anak berusia tiga tahun itu hanya dapat menangkap kesimpulan, dia tidak mau Ibu marah.
Setelah puas bermain, Mereka bergegas untuk pulang. Di dalam rumah, terlihat Ibu terduduk dan menangis. Raya dan Mulia yang baru saja kembali, tergopoh mendatangi Ibunya. Apakah Ibu sakit?
Keduanya memeluk Ibu yang masih sesegukan. Ibu yang kaget dengan kedatangan mereka, seketika menghapus airmatanya. Mulia mencium kening Ibu, berharap rasa sakit yang Ibu rasa akan hilang. Saat ini Raya sibuk memikirkan apa yang harus dia lakukan.
“Bu, ini minumnya.” tangan kecilnya menyodorkan gelas berisi air. Dia terbiasa di berikan air minum saat menangis, katanya agar air matanya tidak habis.
Ibu masih meratapi kesedihannya dengan suara yang lebih lirih. Tangisannya pilu seakan menyesali sesuatu. Meskipun anak-anaknya mencoba memeluk dan menghibur. Namun air matanya semakin berurai deras. Ibu tidak mampu mencurahkan pada kedua anaknya.
“Ibu sakit? Mana yang sakit, Bu?” Mulia dengan tulus membantu mengusap airmatanya.
Pertanyaan Mulia membuat Ibu tersadar. Dia adalah orangtua dari dua anak yang masih berusia sangat muda. Kesedihannya tidak mampu membuat nasib mereka berubah. Ibu tidak mempunyai waktu untuk menyesali hidupnya.
Dengan senyum samar Ibu mencoba mengakhiri kepiluannya. Ketiganya berpelukan, erat. Lalu tersisip pertanyaan di hati Raya. Seingatnya Ibu tidak pernah menangis. Ada apa dengan Ibu?
Teka-teki alasan Ibu menangis terlupakan begitu saja. Malam ini Raya membantu Ibu mengaduk rebusan air yang barusan di tuangkan bubuk jelly . Tangannya terasa makin panas. Aroma mangga tercium semerbak, membuatnya menelan ludah.
Mulia memperhatikannya di samping pintu. Memasang mimik ingin untuk segera mencicipi. Untung saja dia takut dengan kompor, membuatnya tidak nekat mencolek bubuk jelly mangga. Tak lama Ibu datang membawa cetakan bundar yang baru saja di cuci.
Bangunan yang mereka sebut ‘rumah’ berbentuk sebuah indekos. Dengan kamar mandi luar yang terletak di seberang bangunan dan di lengkapi dengan sumur sebagai sumber airnya. Sebelum mandi atau mencuci, Ibu harus menimba air terlebih dahulu untuk mereka.
Dapur yang terletak di depan kamar, membuat tetangga lain bisa mengamati aktifitas memasak keluarga Ibu Sugih. Termasuk Pak Koro, penyewa kamar di samping mereka. Tapi sudah hampir dua minggu becak merah menyala dan pemiliknya tidak terlihat.
“Kapan-kapan kita bisa jualan donat kan, Bu?” celetuk Raya.
Gadis itu membayangkan. Jika saat menjajakan jelly dia mendapatkan bagian. Mungkin saja itu juga berlaku ketika dia berjualan donat. Ibu hanya menjawab dengan lirikan saja. Raya tidak tau jika membuat donat akan menyita waktu Ibu lebih banyak.
“Nak, kalau Ibu menjadi TKW seperti suami Bu Nuri. Raya bisa mengurus adik?” tanya Ibu dengan setengah melamun.
“Ibu jangan pergi jauh. Raya sayang Ibu. Mulia juga pasti akan menangis.” jawab Raya dengan mimik sedih.
Ibu dan Bapak Sugih adalah pasangan yang merantau. Keduanya berasal dari pulau seberang. Karena jauh dari sanak saudara, keduanya harus memulai dan mengurus segala permasalahan sendiri. Kabarnya hubungan keduanya tidak di restui keluarga. Dan menjadi sebab mereka pergi dari desa tempat tinggal mereka sebelumnya.
Selepas merapikan peralatan masak. Ibu meminta kedua anaknya untuk bersiap tidur. Malam ini terasa lebih dingin. Entah karena tidak banyak manusia yang berlalu lalang atau karena perasaan Ibu yang gelisah.
Keesokannya saat Raya menawarkan dagangannya, salah satu teman sekelasnya mendekat dan duduk di sampingnya. Tampaknya laki-laki itu tidak berniat membeli jelly mangga. Raya menatap heran namun tak di hiraukannya. Jam istirahat adalah momen sibuknya untuk berjualan.
“Raya, katanya bapakmu ikut mobil polisi ya?” akhirnya teman sekelas Raya bertanya pelan setelah sekian menit terdiam.
“Kapan?” tanya gadis itu masih sibuk meladeni pembeli.
“Aku tidak tahu hari apa. Tapi Ayahku bilang, Pak Sugih naik mobil polisi. Seingatku, nama bapakmu Sugih kan?” laki-laki itu masih duduk penasaran.
“Aku belum bertemu Bapak sejak jumat lalu.” jawab Raya cuek.
“Hm. Apa tukang becak bisa jadi polisi, Ya?” tanya laki-laki bernama Satrio itu lagi.
“Mungkin Bapakku cuma mau membantu Pak Polisi. Bapak tidak pernah cerita cita-citanya jadi polisi.” jawab Raya lalu ikut duduk. Syukurlah dagangannya sudah habis terjual.
Tak lama Satrio kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Raya yang mulai memikirkan pertanyaannya.
“ Jadi Bapak sedang membantu Pak Polisi? Tapi kenapa sudah seminggu ini tidak pulang? Apakah Bapak di minta untuk tinggal di rumah Pak Polisi? Harus kutanyakan pada Ibu.” Batin Raya.
Jam pulang sekolah datang lebih cepat. Raya bersiap untuk pulang. Di sepanjang jalan, dia masih memikirkan pertanyaan Satrio. Biasanya kalau Bapak mendapat pekerjaan, sebelum berangkat akan berpamitan padanya. Dan tidak lupa mencium keningnya. Apakah urusannya sebegitu mendesak?
Lagi-lagi gadis itu pulang dengan berlari. Meninggalkan Sari yang masih mampir melihat dagangan penjual mainan. Dia tidak mempedulikan bunyi tasnya yang berisik.
Setelah sampai di depan rumah, terlihat pintu rumahnya tertutup. Ternyata Ibu tidak di rumah. Mungkin masih bekerja. Tapi entah saat ini di rumah siapa.
Raya mencari di rumah Bu Nuri. Namun ternyata nihil. Dia berjalan kembali ke rumah pelanggan Ibu yang lain, meski sebatas yang dia ketahui saja. Hasilnya masih nol. Gadis itu tidak menemukan Ibunya.
Dengan gontai dia kembali ke rumah. Setelah mencoba membuka pintu rumahnya, dia terkaget. Ternyata ada Mulia yang sedang tertidur. Tidak biasanya sang adik mau di tinggal sendirian tanpa Ibu. Ingin rasanya membangunkan adik dan menanyakan keberadaan ibu. Namun Raya memilih untuk mencium pipi adiknya. Nampaknya sebelum tidur dia menangis. Terlihat dari matanya yang sembab.
“Nak, ayo bangun. Ini sudah sore.” perintah Ibu sembari menggoyangkan tubuh kecil Raya yang masih memakai seragam sekolah.
“Hmm.. Ibu?” ia mencoba membuka matanya yang berat.
“Raya kok belum ganti baju sih? Kan seragamnya jadi lecek kamu pakai tidur.” tanpa pikir panjang Ibu menanggalkan seragam Raya. Lalu meletakkan baju lain di sampingnya.
“Hm.. Ibu.. Raya mau tanya…” tubuh Raya tiba-tiba terduduk, teringat percakapannya dengan Satrio saat jam istirahat.
Ibu tidak menjawab, hanya berdehem saja. Terselip keraguan.
Apakah suasana hati Ibu sedang tidak baik? Aku takut Ibu marah.
“Raya mandi aja deh. Hehe” elak Raya segera berlari membawa baju di sampingnya.
****
Setelah Satrio mengabarkan pekerjaan Bapak yang baru. Hari demi hari, suasana rumah semakin tidak nyaman. Namun entah kenapa tatapan tetangga mulai menusuk. Beberapa rumor tentang Bapak juga beredar di sekitar tempat tinggal Raya.
“Bapakmu itu bukan kerja dengan polisi, tapi dia di tangkap.”
“Bapakmu itu di tangkap polisi karena ketauan judi.”
“Bapakmu itu di tangkap karena nyolong rumah polisi.”
Kuping Raya rasanya panas saat mendengarkan gosip yang mencuat. Ibu pun mem bisu saat melewati depan rumah para tetangga. Ada beberapa yang masih tetap baik dan menyapa dengan tulus. Salah satunya adalah Bu Nuri, sosoknya tetap baik pada keluarga Ibu Sugih seakan tidak peduli dengan isu yang beredar.
Dampak dari rumor mengenai Bapak, beberapa pelanggan tidak lagi menggunakan jasa cuci atau pun setrika Ibu. Mengakibatkan semakin seringnya Ibu berpergian sendiri, meninggalkan Raya dan Mulia di rumah. Biasanya Ibu akan berpamitan, katanya mencari pekerjaan di desa lain. Upayanya dalam menyambung hidup.
“Kenapa sih orang-orang pada bilang Bapakku orang jahat?” raut wajah Raya kecewa. Perasaannya campur aduk.
“Kan mereka tidak kenal Bapak Raya. Mereka hanya berprasangka buruk sama Bapak. Jangan di dengerin. Ingat.. Raya harus tetap baik sama orang-orang itu.” jawaban Bu Nuri membuat Raya mengangguk sok paham.
“Justru mereka yang jahat, karena berprasangka buruk. Bapakku kan orang baik.” gerutu Raya.
“Kalau ada apa-apa, kalian kesini saja. Temani Bu Nuri. Kapan-kapan kita pergi ke tempat Kak Putri ya.”
Ucapan Bu Nuri di sambut dengan gembira. Kedua anak itu melompat kegirangan, seakan Kak Putri adalah idola mereka. Sayangnya yang mereka nanti adalah berkendara dengan motor. Bertemu dengan Kak Putri adalah bonus.
“Oh ya, Raya pamit dulu ya Bu. Mau beli bahan-bahan jelly. Hari ini mau buat dua rasa, stroberi dan cokelat.”
Berpegang dengan ingatnya, Raya mengambil beberapa jenis daun di sepanjang jalan yang ia lalui, dan memasukkan ke dalam kantong plastik yang ia bawa. Meski tidak tau nama tanaman yang ia petik, tapi dia yakin sering memakannya.
Terbesit perasaan sedih yang tidak bisa Raya definisikan. Hidupnya terasa aneh, Raya merindukan kehidupan lamanya yang tenang. Dan dia tidak siap menghadapinya sendirian. Di genggamnya tangan mungil adiknya, langkahnya jauh lebih pendek dari miliknya.
Kalau Bapak pergi dan bila suatu saat Ibu juga pergi. Aku hanya punya adik. Kita harus saling menjaga.
Raya berbicara dalam hati. Meyakinkan dirinya sendiri.
Bagian Ibu Sayang Adik dan Kakak
Kaki Ibu gemetar, sehingga langkahnya tidak stabil. Hari ini Ibu sudah berjalan cukup jauh. Untuk menghemat pengeluaran, dia harus memaksa kaki kurusnya bergerak.
Tepat di depan pasar, terdengar suara berisik dari kedua anak perempuan yang perawakannya sangat dia hafal. Raya dan Mulia. Ibu mendatanginya dengan senyum tipis dan singkat, terkesan ketus. Rasa lelahnya sudah menguasai tubuhnya.
“Ibuuuu..” Mulia segera memeluk Ibu. Tangannya melebar, meminta di gendong.
“Ibu capek, Nak. Kamu jalan saja ya.” Ibu menolak halus. Bahkan untuk mengeluarkan suara saja perlu kerja keras.
Mimik wajah sang bungsu seakan sedih. Cepat-cepat Raya menangkap tangan adiknya. Mencari cara agar tangisnya tidak pecah. Dia mengingatkan jika nanti ada jelly dengan rasa kesukaan mereka.
Seketika Mulia kembali bersemangat, dan berlari meninggalkan Ibu yang masih terpaku. Tidak menyangka dengan pembawaan si sulung yang tenang. Ibu menitikan air mata. Ada rasa penyesalan hinggap di lubuknya.
“Kenapa kalian harus merasakan penderitaan ini? Maafkan Ibu dan Bapak belum bisa membahagiakan kalian. Maafkan kami sudah gagal menjadi orangtua yang baik.”
Setiba di rumah. Ibu kembali ke rutinitasnya. Menimba air lalu menyiapkan makan malam. Sedangkan Raya mulai memasak sendiri bahan-bahan yang sudah dia beli.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kamar sebelah. Sedetik kemudian muncul sosok yang di benci oleh Raya. Itu Pak Koro! Dan saat ini matanya sedang menatap Raya.
Raya yang kaget hampir menumpahkan adonan jelly yang ia buat. Tumpahannya mengenai tangan Raya. Segera dia matikan kompor dan masuk dalam rumah.
Padahal tidak ada becak merah yang terparkir di depan, kenapa orangnya muncul?
Mau tidak mau, Ibu melanjutkan pekerjaan Raya yang tidak selesai. Meski tulangnya sudah lunglai untuk berdiri. Emosinya sudah di ubun-ubun saat mengetahui penyebab Raya kalang kabut.
Ibu pun tak mau berlama-lama di bagian depan kamarnya. Rasanya seperti sedang di kuliti tatapan Pak Koro. Dia harus berhati-hati dengan tetangga anehnya pada saat suaminya tidak ada.
Hari itu berakhir dipenuhi rasa takut. Berharap Bapak segera pulang.
****
“Sore nanti, siapa yang mau Ibu traktir mi ayam?” siang itu Ibu pulang dengan sikap ceria.
Raya yang awalnya dalam posisi tidur, seketika duduk mendengar ajakan untuk menyantap makanan favoritnya.
“Ibu pasti dapat bonus banyak ya hari ini?” tanya si sulung.
Jawaban Ibu hanya sebuah anggukan. Senyumnya mulai pudar. Ada raut aneh yang belum pernah Raya lihat sebelumnya. Mulia masih tertidur. Tapi dia pasti akan senang mendengar tawaran Ibu. Lalu perempuan itu meninggalkan kedua anaknya dan mencari kegiatan yang bisa dilakukan di luar.
Setelah mandi sore, ketiganya berjalan beriringan menuju tempat penjual mi ayam. Di depannya ada sebuah toserba (toko serba ada). Ibu berhenti sejenak.
“Kalian mau beli sesuatu?” tawar Ibu dengan menunjuk ke arah toko.
“Beneran Bu? Raya boleh beli boneka?” tanya Raya tidak percaya.
Ibu mengangguk yakin. Raya tidak menyangka ada hari seperti ini. Dia belum pernah mendapatkan mainan atau boneka baru. Semua mainannya adalah pemberian atau yang di temukan Bapak saat di jalan. Mulia pun bersemangat masuk ke dalam toserba.
Raya memilih boneka beruang berwarna merah muda. Dan adiknya memilih boneka kucing. Ibu membayar dengan uang pas. Sang kakak sengaja memilih boneka dengan harga yang paling murah, dan menuntun adik untuk memilih dengan nilai yang serupa.
“Yuk kita lanjut makan mi ayam.” ajak Ibu.
Hari ini banyak kejutan dari Ibu, rasanya seperti mimpi. Raya mencoba mengingat kembali. Apakah hari ini spesial? Ibu berulangtahun? Atau.. Mulia yang berulangtahun? Yang pasti ini bukan ulangtahunnya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama keluarga Ibu Sugih datang kesana. Biasanya Bapak dan Ibu akan merayakan ulangtahun si sulung di kedai mi ayam itu.
Tanpa pikir panjang Ibu memesan dua porsi dan satu gelas es teh. Katanya, Ibu sudah kenyang dan mau minum saja.
“Jangan lupa berdoa sebelum makan.” kata Ibu.
Mi ayam itu terasa nikmat sekali. Bahkan Mulia juga memakannya sampai habis. Ibu hanya memperhatikan kedua anaknya. Sesekali menyeruput es teh di hadapannya.
“Ibu… terima kasih hari ini. Raya senang sekali.” Raya memeluk Ibu, sebelum mereka meninggalkan kedai mi ayam.
“Maafkan Ibu belum bisa bahagiakan kalian selama ini. Maafkan Ibu ya, Nak..” tiba-tiba suasana menjadi haru. Ibu menangis memeluk kedua anaknya erat.
“Maafkan ibu ya Nak…”
Raya memeluk Ibu dan adiknya seluas rentangan tangannya. Berharap hidupnya sebahagia ini setiap hari. Berharap Bapaknya segera pulang dan bisa bermain lagi dengannya.
Di perjalanan pulang, Ibu tampak melamun. Teringat pembicaraannya dengan Bu Yani beberapa minggu yang lalu. Bu Yani mengabarkan jika suaminya yang berprofesi sebagai polisi, baru saja membantu penangkapan Bapak Sugih.
Ya, semua rumor itu benar. Suaminya telah di tangkap oleh polisi.
Frustasi yang Ibu rasakan setelah kepergian Bapak semakin menggila. Perempuan itu harus berjuang mencari tambahan uang untuk melanjutkan hidup. Dan lagi.. kedua anaknya masih sering menanyakan keberadaan Bapak.
Di tambah dengan rumor yang beredar, seakan bebannya menjadi semakin menghimpit nafasnya. Dia teringat hari terakhir bertemu dengan suaminya. Bapak mencium kedua pipinya saat berpamitan, hal yang jarang dilakukan. Seakan meminta doa agar di lancarkan.
“Bagaimana bisa aku hidup tanpamu?” ujar Ibu, dalam relungnya.
Ibu tidak pernah menyangka Bapak akan senekat itu dalam mencari uang. Bapak menerima tawaran seseorang untuk menjadi kurir narkoba. Dan sialnya, Bapak tertangkap pada percobaan pengantaran pertamanya. Sedangkan atasan dan juga pembelinya sudah berhasil kabur.
Dalam foto, bapak terlihat babak belur. Foto itu di ambil oleh suami Bu Yani sesudah mengintrogasi Bapak. Mengingat lagi fakta itu, tak terasa air mata ibu kembali menetes. Betapa sulit hidupnya. Terlebih saat tidak ada Bapak di sampingnya.
Meski jauh dari kata cukup, Ibu selalu mensyukuri setiap harinya saat mendampingi Bapak. Ditambah lagi kehadiran kedua anaknya yang menggemaskan. Dalam kekurangan, hidup Ibu sudah merasa cukup.
Namun sekarang Ibu harus berjuang sendirian untuk membesarkan kedua anaknya selama Bapak di tahan. Entah sampai kapan Ibu harus berjuang sendirian. Dan hanya waktu yang bisa menjawab kapan mereka bisa bersatu kembali. Jujur saja, Ibu sudah tidak sanggup menjalani hidupnya.
Tiba-tiba Mulia ambruk. Badannya kejang. Ibu dengan spontan menggendong anaknya dan berlari. Raya ikut berlari mengikuti di belakang. Langkahnya terasa berat, tidak seperti biasanya.
Belum sampai di rumah. Raya ambruk. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dadanya sakit dan terasa panas, seakan terbakar api yang tidak terlihat.
“Bu.. tolong Rayaa…” ucapnya terbata-bata. Badannya seperti di tindih batu besar. Sakit.
Melihat Raya yang terjatuh, para tetangga pun mengangkat tubuh kecilnya. Bu Nuri menjadi salah satu yang mengikuti sampai di depan rumah Raya. Terlihat Pak Koro hanya menyaksikan kejadian tersebut.
“Astagfirullah, ini kenapa Bu?” pekik Bu Nuri saat melihat kondisi dua gadis cilik yang ia kenal, menggeliat kesakitan.
Ibu tampak menangis. Hanya menangis. Dan berulang kali mengucapkan kata maaf. Raya mencoba meraih kaki Ibu. Matanya terbelalak kaget saat melihat kondisi Mulia. Mulutnya mengeluarkan busa putih, seperti sedang di penuhi busa pasta gigi. Ada apa dengan Mulia ?
“Bu.. Mulia .. kee..na..pa ?” dengan terbata-bata Raya masih berusaha berbicara.
Ibu semakin histeris. Menutup wajah dengan kedua tangannya, seakan tidak ingin melihat pemandangan di depannya.
“Maafkan Ibu.. Maafkan Ibu..”
Permintaan maaf Ibu menjadi hal terakhir yang di dengar oleh Raya. Lalu semua gelap. Apakah ini yang dinamakan pingsan? Badannya masih terasa sakit.
Bu Nuri yang tadi panik, kini mendatangi Ibu dan memeluknya. Tidak ada pertanyaan. Tapi tangannya mengusap punggung Ibu Sugih pelan. Mencoba menenangkan dan membujuk perempuan itu untuk berbicara.
“Aku bukan Ibu yang baik.. Aku gagal menjadi Ibu.. Aku tidak sanggup melihat mereka susah.. Mereka harus pulang, biar aku yang menderita. ” gumam Ibu di tengah isaknya.
Tak berselang lama ambulan datang. Tim medis mulai masuk dan memeriksa kondisi Mulia dan Raya yang sudah terbujur kaku. Terlihat satu orang berseragam polisi. Tubuh Mulia yang pertama di gendong menuju ke dalam ambulan.
Tiba-tiba Raya terbangun, entah kenapa badannya terasa sangat ringan. Dia melihat kerumunan itu dengan tatapan heran.
Ada apa ini? Kenapa mereka membawa Mulia ke ambulan? Kenapa ada polisi yang datang ke rumah? Apakah Bapak sudah di antarkan pulang?
Ibu juga nampak berjalan keluar dari rumah, tepat di belakang Pak Polisi. Raya mencoba memanggil Ibu. Dia ingin menanyakan banyak hal. Tapi semua mengabaikan Raya yang berdiri kebingungan. Tidak ada satu pun yang meresponnya.
Kenapa Ibu tidak mendengarkanku? Apakah ibu juga akan bekerja di kantor Pak Polisi dan meninggalkanku?
Tiba-tiba Raya melihat seseorang menggendong tubuhnya. Laki-laki itu berjalan melewatinya, seperti menembus. Terbelalak dia melihat tubuhnya sendiri tidak berdaya, mulutnya juga mengeluarkan busa putih, mirip yang terjadi Mulia. Raya kembali melebarkan matanya tidak percaya. Laki-laki itu Pak Koro!
Tapi tunggu… kenapa tubuhku juga di bawa ke dalam ambulan? Lalu aku ini siapa?
1 note · View note
catatanliana · 2 years
Text
Senja Kelabu-Awal Akhir
Tidak pernah sekalipun terbersit dalam benak Senja, setelah 3 tahun menjalin rumah tangga dengan Samudra, ia harus menerima kenyataan bahwa pernikahannya berakhir dengan perceraian.
Perkenalan Senja dengan Samudra terjadi ketika mereka sama-sama baru putus dengan pasangannya masing-masing. Senja yang sebelumnya menjalin hubungan dengan Langit sejak mereka berkuliah kemudian ditinggalkan begitu saja di tahun ke 7 hubungan mereka. Langit pergi tanpa memberikan sepatah kata perpisahan. Di ambang kegalauan itulah Senja bertemu dengan Samudra di kafe buku favoritnya. Samudra yang saat itu baru saja ditolak oleh orangtua kekasihnya, yang hari itu resmi menjadi mantan kekasihnya berusaha menenangkan diri dengan mampir ke kafe buku. Pertemua pertama dengan kesan buruk dimana Samudra tidak sengaja menginjak kaki Senja yang sedang berjongkok mencari buku incarannya. 
 “Aduh." Senja kesakitan sekaligus terkejut, sebuah sepatu hitam menginjak kakinya tapi langsung buru-buru mengangkatnya kembali. 
"Eh. sorry kamu nggak apa-apa?”tanya Samudra kepada Senja yang memegangi kakinya.
“Aku nggak lihat kebawah, nggak tahu ada orang,”wajah Langit mengisyaratkan ia menyesal.
“Iya, nggak apa-apa." Senja bergegas berdiri dan berjalan mencari tempat duduk, ia ingin mengecek kondisi kakinya. Ia lalu melepas sepatu dan kaos kakinya.  Meskipun lumayan sakit tapi ternyata kakinya hanya kemerahan saja. 
“Beneran nggak apa-apa kaki kamu?”Samudra yang masih merasa bersalah, mengikuti Senja sambil memastikan kembali kondisi kaki Senja.
“Nggak apa-apa kok, cuma kemerahan aja kakiku.”jawab Senja datar.
“Hmm… Aku masih ngerasa bersalah. Gimana kalo aku traktir kopi? Itung-itung mengalihkan rasa sakit?”tanya Samudra meminta konfirmasi Senja.
“It's okay. Nggak perlu merasa bersalah. I'm fine. Kamu bisa lanjutkan aktifitas kamu.”ujar Senja meyakinkan pria yang masih khawatir di depannya ini.
“Beneran ini mah aku nggak enak hati. Kamu biasa pesen kopi apa. Aku pesenin sekarang, abis itu aku anterin ke sini.”lanjut Samudra dengan agak memaksa.
“Double shot espresso latte. Kamu bisa pesenin itu.”sahut Senja cepat. Ia tidak mau memperpanjang perdebatan “aku baik-baik saja” ini.
“Ok. Tunggu ya,”ujar Langit.
Setelah pertemuan pertama yang menyakitkan, Senja semakin sering bertemu dengan Samudra di kafe buku “Anomali”. Sesuai nama kafe tersebut, Senja merasa pertemuan dengan  Samudra seperti Anomali, seperti ada penyimpangan dari kehidupannya yang biasa. Lambat laun Senja dan Samudra semakin dekat, mereka saling merasa nyaman satu sama lain. Kedua orangtua mereka juga menyetujui hubungan mereka, sehingga tidak ada yang menghalangi untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Samudra yang sudah menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan multinasional dan Senja yang juga sudah punya pekerjaan tetap sebagai staff administrasi di perusahaan tempat ayahnya bekerja, keduanya sudah matang secara finansial dan tentunya usia. 
Tepat 1 tahun sejak mereka bertemu, Samudra melamar Senja. Kemudian mereka menikah dan setahun berikutnya mereka dikarunia bayi perempuan. Aina, ayah Senja memberikan namanya yang berarti matahari. Cahaya yang diharapkan dapat menerangi dan menghangatkan keluarga kecil Senja dan Samudra. 
Sayangnya Aina sejak bayi memiliki banyak alergi, kondisi kesehatan Aina akhirnya membuat Senja memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi full-time mom. Keputusan ini awalnya ditentang orangtuanya dan juga mertuanya. Mereka khawatir jika kemampuan finansial keluarga baru ini akan terganggu. Namun Samudra yang juga khawatir dengan kondisi bayi mereka berusaha meyakinkan kedua orangtuanya dan juga orangtua Senja. Ia yang bulan depan dipromosikan menjadi Supervisor tentu akan mendapatkan gaji yang lebih besar yang dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Pada akhirnya masing-masing orangtua mereka menerima keputusan anak-anak mereka. Toh ini adalah rumah tangga anak mereka jadi mereka sudah bisa bertanggung jawab sendiri. 
Semenjak menjadi ibu rumah tangga penuh waktu, Senja tidak benar-benar melepas keinginannya untuk belajar dan bekerja. Ia menyempatkan diri mengambil kursus online di berbagai Massive Open Online Courses untuk meningkatkan kapasitasnya jika ia nanti bisa kembali bekerja sebagai administrator.  Ia berharap semakin Aina besar, ia bisa sedikit mengambil pekerjaan virtual yang bisa dilakukan di rumah. Sama seperti ibu rumah tangga lainnya, ia juga ingin mendapatkan penghasilan tambahan. Namun ini membuat Samudra sedikit tersinggung, karena ia merasa penghasilannya sudah lebih cukup mengapa sulit-sulit menghabiskan waktu belajar dan bukan fokus mengurus anak saja.
“Memang gajiku nggak cukup Bund?”tanya Samudra tiba-tiba saat mereka hendak tidur.
“Cukup malah lebih kok. Emang kenapa?”Senja bertanya balik ke Samudra.
“Kamu kok ambil kursus online segala malah mau cari kerja online juga kan?”selidik Samudra.
“Owalah itu karena aku nggak mau berhenti belajar. Nanti kan Aina kan semakin gede semakin pinter. Kalo udah bisa ditinggal sendiri. Aku pengen bisa kerja lagi tapi sambil tetap di rumah aja."sahut Senja menjelaskan panjang lebar kepada Samudra.
“Owh gitu. Ya udah deh kamu yang semangat belajar dan juga ajarin Aina biar pinter kayak kamu yah Bund.”Samudra berkata sambil mengecup dahi Senja. Ia hanya khawatir jika ia sebagai suami tidak bisa memenuhi kebutuhan isteri dan anaknya.
“Siap Mas Samudra, ayah kebanggaan Aina. Hehe.”Senja membalas kecupan Samudra dengan cubitan halus dipipinya. Ia tahu suaminya hanya khawatir saja bukannya tidak ingin melihat ia terus berkembang.
11 Januari 2021, Pemerintah pertama kalinya menetapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Hampir setahun sejak kasus positif Covid-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi kondisi bisnis di tanah air tidak terkecuali perusahaan tempat Samudra bekerja. Pada awalnya manajemen di perusahaan memastikan perusahaan  bisa tetap berjalan selama kondisi pandemik. Namun setahun berlalu sejak pandemik, perusahaannya sulit untuk bertahan dan mulailah pengurangan jumlah karyawan. Meskipun Samudra tidak terkena PHK namun penghasilannya dikurangi 70% dengan pekerjaan yang semakin banyak akibat jumlah karyawan yang semakin sedikit. Bekerja di rumah tidak menjadikan ia santai namun malah lebih sibuk. Dari pagi hingga malam, atasannya masih saja menghubungi dia. Hal ini menyebabkan Samudra sulit diajak berkomunikasi oleh Senja.
“Mas udahan meetingnya?”tanya Senja kepada Samudra yang masih di depan laptop.
“Meetingnya sudah selesai tapi masih ada laporan yang deadline malam ini juga. Kenapa?”tanya Samudra balik.
“Aku mau ngomong sebentar bisa?”
“Ngomong aja aku dengerin sambil aku ngerjain laporan.”
“Mas Angkasa sama Mba Luna minta aku tengokin Ibu sama Bapak. Kita kan masih satu kota jadi masih bisa bepergian. Kalo mereka kan masih nggak bisa karena PPKM. Gimana?”
“Aku sampai akhir minggu ini kerjaan padat. Nggak bisa diundur?”
“Ma`salahnya Ibu lagi sakit mas, jadi aku khawatir kalo nggak jenguk dalam waktu dekat ini juga.”
“Ya udah gini aja. Kerjaanku bener-bener nggak bisa ditinggal minggu ini. Aina kita titip aja ke orangtuaku, tapi kamu pulang sendiri gimana?”
“Oke nggak apa-apa. Aku bisa sendiri.”
Ini bukan pertama kalinya Senja pulang sendiri ke rumah orangtuanya. Semenjak bekerja dari rumah, Samudra benar-benar hanya fokus dengan pekerjaan saja. Ia khawatir jika tidak bisa mengerjakan pekerjaan sesuai deadline maka nasibnya bisa seperti rekannya yang diberhentikan. Namun, bagi Senja ia seperti kehilangan sosok Samudra yang selama ini selalu bisa diajak berkomunikasi dalam hal apapun. Sampai suatu ketika Senja jatuh sakit.
“Kamu udah tahu aku lagi sibuk kayak gini malah sakit gimana sih?”
“Lha emang sakit ini aku yang mau Mas.”
“Ya kamu kan udah aku bilangin nggak usah sering-sering bolak balik ke orangtuamu, alhasil malah kamu sakit juga?”
“Mas kalo orangtua kamu yang sakit, apa iya kamu bakal diem aja, nggak jenguk mereka?"
“Aku capek ngomong sama kamu.”ucap Samudra mengakhiri perdebatan sambil berlalu pergi.
Perdebatan mereka selalu berakhir dengan saling mendiamkan. Dan kata-kata Samudra yang sudah lelah berkomunikasi dengan Senja membuatnya sedih. Ia berpikir jangan-jangan Samudra juga susah lelah tinggal bersamanya.
1 mingu Samudra tidak pulang ke rumah, Ia menginap di rumah orangtuanya dengan berbagai macam alasan. Saat ia pulang ke rumah, betapa terkejutnya, Aina dan Senja tidak di rumah. Tetangganya memberi tahu bahwa kemarin malam ambulance datang menjemput Aina dan Senja positive covid-19. Samudra lemas, ia menyalahkan dirinya sendiri yang egois.
Selama isolasi mandiri di Rumah Sakit, Senja berusaha menguatkan dirinya. Ia harus sehat supaya bisa menjaga Aina.14 hari Aina terbaring lemah. Tidak ada sanak saudara yang bisa menjenguk karena mereka berdua positif. Samudra hanya bisa melihat dari kejauhan keduanya yang sakit. Hatinya hancur merasa gagal menjadi pemimpin keluarga. Ia merasa tidak mampu menjaga keluarga kecilnya.
Setelah pulih kembali, hubungan Senja dan Samudra semakin memburuk. Mereka sama sekali tidak bertegur sapa. Senja yang merasa Samudra tidak ada di sisi dirinya disaat ia terpuruk sebaliknya Samudra merasa buruk karena telah meninggalkan anak dan isterinya dalam kondisi sakit. Samudra kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia ingin meminta maaf tapi egonya terlalu besar, sampai akhirnya Senja bersuara.
“Mas aku mau kita pisah aja.”ujar Senja dengan sungguh-sungguh."
“Pisah? Kamu jangan macam-macam Senja. Aku tahu aku salah, aku nggak ada pas kamu sama Aina butuhin aku. Aku minta maaf. Tapi bukan berarti kita mesti berpisah Ja.”
“Aku nggak bisa hidup kayak gini Mas. Kamu dengan hidupmu sendiri tanpa memperhatikan aku dan Aina. Kita sama sekali nggak komunikasi. Aku nggak bisa. Lebih baik aku tinggal sendiri sama Aina sekalian.”sahut Senja.
"Aku sudah maafkan kamu yang meninggalkan kami tapi aku nggak bisa terima kamu yang selalu menghindari aku untuk bicara." 
“Aku itu sibuk buat kita Senja. Supaya aku masih bisa terus menghidupi keluarga kita. Kalo aku dipecat kita mau hidup darimana?”
“Ya tapi bukan berarti kita sama sekali nggak komunikasi Mas. Kita bisa diskusi permasalahan ini seperti yang biasa kita lakukan sebelumnya. Bukan dengan saling mendiamkan.”
“Aku kepala keluarga biar aku yang memutuskan.”
“Ok silahkan kamu putuskan apa mau kamu. Aku mau pisah.”
Akhirnya Senja dan Samudra benar-benar berpisah. Samudra keluar dari rumah. Ia menyerahkan rumah mereka ke Senja, agar Aina tinggal disana. Senja bekerja sebagai virtual assistant sambil mengurus Aina sendiri. Kedua orangtua mereka tidak setuju dengan perceraian mereka. Tapi Senja sudah tidak ingin bersama lagi dan Samudra juga sudah menerima keputusan Senja. 
1 note · View note
kambingwangi · 2 years
Text
Buku Mewarnai Aurora
BUKU BERWARNA AURORA
–sebuah cerita pendek dari Clara Ika
BAB 1: Rumah
Kegelisahan terhadap masa depan
"Hanya satu kejadian saja, Ra. Tidak mengubah apapun. Ingat dengan baik situasinya dan siapa yang ingin kamu temui,"
Sudah sejak pagi abang membereskan rumah seperti biasa. Aku juga baru selesai memasak dan menghidangkan sarapan di atas meja makan. Seperti yang sudah disampaikan abang semalam, pagi ini adalah hasil dari diskusi panjang terkait kepergianku. Ya, pekan lalu, bakda pengumuman kelulusan SMA, aku sudah mengatakan keinginanku untuk merantau. Ini adalah ‘tagihan’ kepada bapak atas janjinya kalau aku juara satu paralel. Aku menagihnya.
“Bapak hanya bisa membiayai di universitas negeri,” ucap bapak sambil mengunyah tempe orek tanpa gesa.
Aku melirik ke arah Abang. Ia tampak menunduk takzim sembari menikmati sarapannya.
“Tapi, jurusan yang adek mau ga ada di negeri, Pak. Pun kalo ada, adanya di jawa.” 
“Jangan jauh-jauh, dek. Bapak sudah tua,” Bapak menatapku tajam. Selera makanku sudah hilang. Aku sudah paham, jika bapak berkata A, maka jawabannya adalah A. Mutlak tanpa tapi.
“Nanti adek coba cari beasiswa, Pak. Masih ada waktu seminggu lagi. Kampus incaran adek juga lagi bukaan tes masuk,” aku mencoba menawar. Memasang muka memelas paling apik.
Senggang. Tidak ada komentar. Hanya ada suara air liur yang beradu dengan makanan dari mulut yang gesa.
***
Pagi-pagi sekali, aku sudah ke warnet setelah menyelesaikan urusan domestik rumah. Sedari kecil, aku sudah terbiasa berbagi tugas dengan Abang. Tugasku memasak, memastikan semua orang di rumah tidak kelaparan. Juga mencuci dan menyetrika baju. Memastikan rumah kami bersih. Sementara abang berbelanja kebutuhan rumah, terkadang membantu mencuci piring dan menyapu halaman rumah yang penuh daun kering pohon mangga dan jambu air. Abang juga yang bekerja dan memastikan priok dapur kami mengepul. Kami hanya hidup bertiga. Bapak terpaksa pensiun dini bakda kecelakaan kerja 10 tahun lalu yang membuatnya sekarang harus di kursi roda sepanjang waktu. Bersamaan dengan itu, saat itu, abang baru saja lulus SMP sementara aku kelas dua SD ketika tiba-tiba Wak Dolah, tetangga kami menjemputku di sekolah. Ia bilang padaku untuk jangan menangis. Setibanya di rumah, aku melihat orang-orang memenuhi rumah panggung kami. Bapak sudah dipenuhi perban merah. Selanjutnya, hampir satu bulan lebih aku tidur di rumah sakit bergantian dengan abang menjaga bapak. Selama itu pula, aku ingat benar kulit abang kian melegam. Ia tampak lebih kurus. Beberapa waktu kemudian, baru kutahu abang ikut membantu Wak Dolah berjualan di pasar tak jauh dari rumah kami. Abang tidak melanjutkan sekolahnya.
Ibu? Entahlah. Semenjak kejadian itu ibu menghilang. Aku berulang menanyakan ibu kemana kepada abang, Wak Dolah, Bik Inah, hingga para suster, dokter, dan semuanya. Mereka tidak tahu kemana ibu pergi. Ibu tiba-tiba menghilang begitu saja. 
Aku melanjutkan penelusuran di internet. Fokus mencermati jurusan yang diminati. Desain Komunikasi Visual. Jurusan itu amat menarikku ketika ada kakak-kakak kampus sosialisasi jurusan di sekolah. Seorang kakak menjelaskan jurusan ini begitu menarik. Ia suka menggambar dan jurusan ini sangat mendukungnya untuk menjadi animator. Belum lagi, ia menambahkan prospek kerja dunia kreatif yang semakin menyilaukanku. Aku mengincar kampus negeri di Bandung, juga solo atau jogja yang terkenal dengan kampus seni dan industri kreatifnya. Sejak kecil, aku suka sekali dunia melukis dan ingin masuk TV. Aku tiba di halaman utama website kampus impianku. Membaca dengan seksama syarat dan ketentuan. Selanjutnya aku membayar biaya pendaftaran untuk tes ujian masuk. Sembari ku cermati biaya uang pangkal di jurusan ini. Aku merapal doa kencang, semoga semesta berbaik hati menghadiahiku untuk lulus dengan beasiswa penuh.
Merawat bapak
Waktu melesat bagai pedang. Tidak terasa pengumuman kelulusan tiba. Sejak pagi abang juga sudah repot mencari surat kabar terkait pengumuman ujian masuk universitas negeri. Ya, saat itu selain di halaman website, kita bisa menjumpai hasil pengumuman di surat kabar. Aku merapal doa kencang. Menguatkan diri dan sangat optimis karena beberapa tahun belakang aku sudah sangat bekerja keras menjaga nilaiku stabil dan belajar giat untuk ujian masuk ini. Aku melihat urutan jurusan di surat kabar sembari mencocokkan dengan nomor ujian dan huruf awalan namaku. Aku berbagi tugas dengan bapak di sisi kiri, sementara aku di sisi kanan surat kabar. Aku mencari urutan namaku dengan detak jantung yang kian riuh.
“M…..M….M….Miranti Aurora…..”
Nihil. Namaku tidak ada. Abang juga memastikan aku tidak lulus setelah membuka halaman web pengumuman ujian. Tertulis namaku dan asal sekolahku beserta tulisan berwarna merah menyala, “Anda dinyatakan tidak lulus seleksi,”. Aku tidak pernah gagal dalam ujian apapun. Kegagalan ujian tes kampus ini sungguh menamparku berkali-kali. Aku bergegas berjalan menuju kamar. Duniaku berhenti berputar seketika.
***
“Ra, makan.” Abang mengetuk pintu kamarku kesekian kali.
Aku menyembunyikan diri di balik selimut. Sudah dua hari aku tidak makan. Hampir 50 jam. Selera makanku hilang. Aku melihat masa depanku yang suram. Teman-teman bersorak atas kelulusannya masuk ke kampus impian. Sementara aku? Si Aurora yang terkenal rajin, patuh, selalu juara satu, tapi tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku merasa semua usahaku selama ini sia-sia belaka. Aku gagal. Aku payah.
“Dek? Dunia belum berakhir meskipun kamu gagal ujian masuk perguruan tinggi,” suara abang kembali menggema di depan pintu kamar. Omong kosong! Justru duniaku sudah berakhir saat pengumuman itu keluar. Saat dengan jelas tak kutemui namaku di barisan nama-nama yang lulus di jurusan impianku. Juga ketika teks berwarna merah bertuliskan aku tidak lulus di halaman web itu.
“Makan dulu yuk, dek. Gak lucu loh kalo tiba-tiba ada highlight berita, ‘Ditemukan seonggok mayat perempuan kurus cengkring tidak makan dua hari karena tidak lulus ujian masuk PTN’ yok dek, buka pintunya. Makan dulu. Kamu juga udah dua hari ga keluar kamar, gak mandi, betah gitu? Abang masak belut sambal kesukaanmu loh,” bujuk Abang lagi. Aku membuka pintu kamar. Kulihat abang tersenyum lebar memamerkan barisan giginya yang putih bersih. Sangat kontras dengan kulitnya yang legam pekat. Sedetik kemudian, ia menutup hidungnya. 
“Mandi dekkk!! Ya Tuhan, baunya ngelebihin bau pasar ikan, dek!” Selorohnya. Aku memukul bahu abang dengan gemas. Abang selalu punya cara untuk menghiburku.
***
Meja makan. Hening. Aku melihat bapak lebih banyak diam. Juga Abang. Ia tidak banyak bicara dan terlihat sangat fokus mengunyah belut sambalnya dengan nasi hangat.
“Ra,” perasaanku mulai tidak enak. Jika bapak sudah menyebutku dengan sebutan nama, bukan adek seperti biasa, artinya ada hal penting yang akan disampaikan.
“Kamu kuliahnya di sini saja, ya. Uang pensiun bapak kayaknya cukup buat bantu biaya kamu di sini. Sekalian jaga bapak. Abang kan kerjanya sekarang sudah mulai kadang ke luar kota juga,” Bapak membersihkan tangan di air kobokan lalu menuangkan air hangat ke gelasku.
“Tapi disini gak ada jurusan yang adek pengen, Pak. Adek kan pengennya kuliah jurusan DKV,” aku mencoba menawar. Sesekali melirik abang untuk mendukung argumen.
“Kan masih banyak jurusan lain, Dek. Apa bagusnya DKV? Kuliah gak kuliah kan yang penting nanti bisa kerja.” 
“Adek pengen kerja di TV, Pak. Jadi animator.”
“Kerjaan Kamu gak ngasih duit, Dek. Kerja yang pasti-pasti aja. Cari kerja sekarang sulit. Abangmu aja yang lulus SMA jadi atasan karyawannya yang lulusan S1 tuh,” Bapak menegak air hangat di gelasnya. Kemudian beranjak dari meja makan. Meninggalkanku dan abang dalam diam.
Ingatan akan masa kecil
Sebulan berlalu. Diskusiku dengan ayah buntu. Abang juga tidak bisa membantu banyak karena pekerjaannya yang padat membuatnya semakin jarang di rumah. Sejak Bapak lumpuh, abang secara otomatis menggantikan peran bapak bekerja. Uang santunan dan kecelakaan kerja dari perusahaan bapak tidak membantu banyak. Sejak itu pula bapak diberhentikan kerja dan hanya menggantungkan hidup dari uang pensiunannya untuk kami bertiga.
Aku mengingat dengan baik apa yang dilakukan abang. Tapi hampir setiap pagi kulihat sepeda abang penuh dengan surat kabar. Sepertinya ia menjadi loper koran. Sesekali aku mendatangi abang di toko Wak Dolah. Abang gesit melayani pembeli. Abang terkenal pintar menghitung memang sejak kecil. Bak kalkulator berjalan. Ingatannya pun tajam. Abang juga mudah dan cepat belajar. Ketika anak seusianya baru belajar mengendarai motor, abang sudah bisa mengendarai truk. Aku juga sering dititipi Abang kue bik Inah, tetangga kami, untuk aku edarkan dan jual di sekolah. Untungnya lumayan untuk menyambung hidup dan jajan cilok di sekolahku.
Ibu? Entahlah. Ia sungguh menghilang saat kejadian bapak kecelakaan dan rumah kami penuh sesak dengan orang-orang. Sebetulnya, sejak kecil ibu juga jarang di rumah. Entahlah. Aku tak tahu kerjaan ibu apa. Ibu selalu dijemput dengan mobil panjang, seperti angkot tapi bukan angkot, saban petang. Ibu akan berangkat dengan mobil itu dengan pakaian kerjanya yang selalu berwarna hitam. Aku sering mendengar tetangga kami membicarakan pekerjaan ibu yang tak biasa, katanya. Tapi bapak diam saja. Bapak juga menyuruh kami tidak menggubris omongan orang-orang tentang ibu dan keluarga kami.
Setiap membersihkan kamar bapak dan ibu, aku selalu tertarik menatap meja rias ibu. Membuatku betah duduk diam berlama-lama di hadapannya. Dan ketika dalam hening, sering kudengar kalimat itu menggema dari dalam kaca meja rias itu.
"Hanya satu kejadian saja, Ra. Tidak mengubah apapun. Ingat dengan baik situasinya dan siapa yang ingin kamu temui,"
Bersambung.
2 notes · View notes
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 5: “Wiliam Supporting System”
Siang itu dihari rabu aku ditelpon oleh nomor yang tidak dikenal, aku ragu untuk mengangkatnya. Namun, akhirnya aku mengangkat telpon itu.
“Hallo, ini dengan Ms. Lilac?” Ucap seseorang disebrang sana
“Yah, ini denganku sendiri. Maaf ini dengan siapa?” Jawabku
“Saya Morigan, Mr. Morigan juri perlombaan pastry kemarin” Ucapnya
Aku terkejut, mengapa Mr. Morigan menelponku. Aku ingat beliau adalah salah satu juri senior yang disegani diperlombaan kemarin. Banyak restoran miliknya yang sudah berbintang Michelin. Banyak buku pastry yang sudah diterbitkan dan menjadi Best Seller. Bahkan buku ajar aku kebanyakan milik beliau.
“Oh hallo Mr. Morigan. Maaf saya kaget mendapat telpon dari anda. Sebuah kehormatan bagi saya menerima telpon dari anda” Ucapku
“Saya sangat senang kamu masih mengingat saya, bolehkah saya bertemu denganmu? Sabtu jam 10 pagi di Restoran Aurpagh. Saya sedang berada di kotamu. Bolehkah bertemu nanti?” Tanya Mr. Morgan
“Dengan senang hati Mr. Morgan saya akan mengosongkan waktu untuk bertemu dengan anda.” Ucapku
“Baiklah sampai jumpa disana” Ucap Mr. Morgan sebelum mematikan telponya.
Aku yang terduduk lemas masih memikirkan, ada apa gerangan dengan ajakan bertemu ini?
Aku cepat-cepat mencari keberadaan Wiliam, aku ingin berbagi cerita padanya. Wiliam sedang mencuci piring di belakang. Akhirnya aku seret dia untukku ajak berbicara. Ia tampak kebingungan dengan tingkahku
“Ada apa? Kenapa kamu menarik paksaku begini” Ucap Wiliam sambil mengikutiku dari belakang
“Ada yang ingin aku ceritakan tapi tidak disini ayoh ke danau” Ucapku
Aku ajak Wiliam kedanau dan aku menceritakan semua kejadian sebelumnya padanya.
“Li, apakah kamu berpikir yang sama denganku?” Ucap Wiliam
“Apa itu?” Jawabku
“Soal Mr. Morgan yang ingin bertemu denganmu. Apakah ia melihat bakatmu ketika perlombaan dan memberikan sebuah kabar yang bagus untukmu?” Ucap Wiliam
“Aku tidak tahu Wil, aku tak mau berharap lagi.” Ucapku putus asa
“Li, dengar yah. Tuhan tahu kamu banyak berjuang. Percaya padaku suatu saat Tuhan akan menuntunmu ke mimpi-mimpimu itu. Jangan patah semangat begitu. Aku akan selalu ada disampingmu” Jawab Wiliam menenangkan
“Terimakasih Wil, kamu selalu jadi supporting systemku” ucapku terharu
Hari sabtu pagi itu, aku diantar Wiliam pergi untuk menemui Mr. Morgan. Sebuah restaurant klasik yang dinding-dindingnya terbuat dari kayu bagus.
“Ornament yang menarik” ucapku dalam hati
Aku bertemu dengan Mr. Morgan disudut ruangan, dan Wiliam duduk dilain meja. Aku berbicara sangat lama dengan Mr. Morgan, percakapan yang sangat serius menurutku. Disini aku tahu mengapa Mr. Morgan bisa sehebat ini.
Setelah pamitan dengan Mr. Morgan aku pulang Bersama Wiliam, dimobil Wiliam terus menatapku yang diam seribu Bahasa. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa.
“Li, ada apa?” tanya lembut Wiliam
“Wil, aku bingung” Ucapku singkat
“Kenapa? Ada apa dengan obrolan tadi. Aku lihat kalian sangat serius sekali.” Ucap Wiliam
“Wil, aku di tawari untuk sekolah pastry di Swiss atas rekomendasi Mr. Morgan” Ucapku pada Wiliam
“Loh kan bagus, tapi kenapa kamu tidak Bahagia seperti ini?” ucap Wiliam
“3 Tahun Wil, sekolah yang ditawarkan Mr. Morgan bisa sampai mendapatkan sertifikasi jika aku lolos ujian disana.” Ucapku
Aku tak keberatan bila tawaran sekolah pastry ini seperti hadiah perlombaan kemarin yang memakan waktu hanya 6-8 bulan saja di Swiss. Jadi aku meninggalkan toko roti beserta Wiliam tidak begitu lama. Tapi ini, aku tak menyangka untuk ada ditahap itu membutuhkan waktu 3 sampai 4 tahun di luar negeri. Aku ragu dengan respon Wiliam. Apakah Wiliam akan mengizinkan aku untuk pergi selama itu, bagaimana dengan toko roti?
Aku melihat Wiliam terdiam lama, aku tak tahu apa yang sedang Wiliam pikirkan.
“Wil, bagaimana menurutmu?” Ucapku pelan pada Wiliam
“Aku bingung” Ucap singkat Wiliam
Aku dan Wiliam akhirnya pulang dengan diam. Kami berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Aku dengan pikiranku bagaimana nantinya aku pergi meninggalkan toko roti dan tentunya meninggalkan Wiliam.
Esoknya hari minggu, aku tak melihat Wiliam di toko roti, namun aku mendapatkan sebuah pesar darinya.
“Li, aku izin pulang kerumah untuk nemui orang tuaku. Besok aku pulang” Tulis Wiliam.
Tak biasanya seperti ini, sejak kenal Wiliam biasanya dia akan izin secara langsung padaku.
Esoknya Wiliam datang dan langsung menemuiku.
“Li, ayoh kita bicara” Ucap Wiliam
“Oke” Jawabku sambil mengikuti Wiliam berjalan.
“Aku minta maaf karena baru bisa bicara sekarang. Kemarin aku menemui orangtuaku karena ada hal penting yang harus aku diskusikan bareng mereka. Untuk tawaran kamu ke Swiss. Pergilah Li. Ini mimpimu. Jangan kau khawatirkan toko roti ada aku yang akan mengurusinya.” Ucap Wiliam
“Wil apakah kamu yakin aku bisa pergi kesana” ucapku
“Li, kamu harus yakin atas dirimu sendiri. Percayalah ini kesempatan luar biasa untuk kamu kedepannya.” Ucap Wiliam
“Bagaimana denganmu?” Ucapku
“Aku? Aku bisa jaga diriku sendiri tak usah kau khawatirkan aku” Ucap Wiliam sambil mengelus kepalaku.
Sikap lembut Wiliam seperti ini membuat aku tak karuan. Apakah aku bisa berharap lebih atas sikap Wiliam padaku? Tapi sepertinya tidak. Wiliam ada didekatku saja sudah cukup untukku. Support dia dan orangtuanya untukku sangat berarti sekali.
0 notes
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 4: “Putus Asa dan Menyerah”
Wiliam menemaniku duduk termenung dipinggir danau, dia tidak bersuara sama sekali. Hanya membiarkan aku mengeluarkan kesedihanku. Menangis sambil menatap kosong danau yang saat ini sepi. Apakah orang-orang yang biasa berkunjung ke danau ini tahu aku sedang sedih sehingga mereka tidak datang kesini? Jarang sekali danau ini sepi, tapi kali ini disaat aku membutuhkan tempat sepi disini, seolah mereka tahu dengan tidak datang kesini. Aku masih merasakan kesedihanku. Padahal aku tahu, sejak dulu aku sering kecewa tapi mengapa kejadian ini malah membuatku tak berdaya. Mungkin karena aku sangat berharap dengan memenangi perlombaan pastry ini. Aku menaruh banyak harapan disana, tapi ternyata aku dibuat kecewa lagi. Bukan karena kesalahan orang lain, namun aku kecewa dengan kemampuanku. Belajar 4 tahun ditoko roti tuan Priscot ternyata belum mampu untuk membuatku punya keahlian lebih dari orang lain.
Aku mulai meragukan kemampuanku sendiri, aku melihat tanganku, sedih. Apakah nantinya aku bisa meraih mimpi-mimpiku dengan tangan ini? Apakah aku pantas untuk bermimpi?
Pertanyaan-pertanyaan yang menjatuhkan terus berputar-putar dikepalaku, hal-hal seperti kamu tidak pantas, kamu tidak bisa, kamu harus menyerah, mundur saja, semua hal itu berhari-hari tidak bisa lepas dari pikiranku. Harus berapa banyak lagi aku berjuang, sejak kecil apakah aku tak pantas untuk menerima sebuah kebahagiaan yang kekal. Memang apakah aku pantasnya hidup seperti ini saja? Hidup seorang diri, tak punya sanak keluarga tak punya tempat tinggal dan tak punya rumah tetap untuk berlindung. Semua kenangan pahit masih sering menyayat hati ini. Sampai kapan Tuhan akan menguji hidupku? Apakah aku sangat kuat sehingga Tuhan terus mengujiku bertubi-tubi seperti ini. Hal ringan dengan memenangkan lomba saja Tuhan tak beri untukku. Beberapa lomba sudahku ikuti namun hasilnya tak memuaskan semua. Bagaimana aku mau meminta hal yang besar jika doa sesederhana menang lomba saja Tuhan tidak mengabulkan itu. Aku putus asa, yah menangis berhari-hari, murung. Hidup seakan hidup saja mengalir bagaikan air. Tak ada jiwa menggebu-gebu lagi disana. Aku menyerah untuk berharap. Kini bisa makan dan hidup dari toko roti sudah cukup menurutku. Aku tak peduli lagi dengan alasan aku hidup untuk apa. Hari ini makan dan besok bisa makan, sudah cukup bagiku. Aku tak mau berharap dan bermimpi apapun lagi. Aku takut, aku takut kecewa lagi. Jiwa dan hatiku sudah hancur berkeping-keping. Aku lelah sangat lelah menjalani hidup ini.
“Tolong jangan hilang harapan Li, kamu hidup tapi aku merasa kamu tak hidup. Tak ada gairah hidup ditubuhmu. Tolong demi aku dan toko roti ini.” Ucap Wiliam ketika melihatku beraktivitas seperti mayat hidup.
Setelah menutup dan membereskan toko roti ini aku menangis dipojokan toko roti, Wiliam menghampiriku dan berjongkok sejajar denganku. Dia mengelus pundakku yang bergetar karena menangis. Wiliam membiarkan aku menumpahkan seluruh kesedihan yang aku rasakan dengan menangis, dia tak sedetikpun menyuruh diriku untuk berhenti menangis. Karena dia tahu, hal yang paling aku butuhkan sekarang adalah menangis. Sudah berapa kali Wiliam melihatku rapuh seperti ini, apakah dia risih dengan diriku seperti ini.
“Wil, kalau kamu mau pulang. Pulang saja.” Ucapku masih sambil menunduk karena menangis. Tapi Wiliam tidak menjawab ucapanku
“Maaf, jika aku merepotkan kamu selama ini Wil. Kalau kamu merasa terganggu dengan adanya aku. Tolong bicaralah padaku. Aku dengan senang hati akan mundur dari sini.” Ucapku lagi. Namun bukan jawaban yangku dapatkan. Tapi elusan lembut dipundakku, dia menenangkanku. Wiliam berusaha menguatkanku. Aku tak sanggup untuk menatapnya.
1 note · View note
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 3: “Hilang Arah”
Selama menunggu pengumuman aku bekerja seperti biasa di toko roti bersama Wiliam. Sangat cemas menunggu pengumuman itu, meskipun aku tak yakin akan menang, namun harapan akan selalu ada dihatiku. Sudah banyak perlombaan yang aku ikuti dari perlombaan kecil sampai besar seperti perlombaan ini. Dilomba-lomba sebelumnya hasilku tidak memuaskan. Aku harap karena aku sudah banyak mengikuti lomba, diperlombaan kali ini aku ingin menang. Jujur, aku memimpikan hadiahnya, hadiah yang sederhana namun bagiku sangat berarti. Belajar pastry di Swiss sangat aku idamkan sejak dulu. Belajar dengan ahlinya disana, pengalaman banyak yang akan aku dapatkan jika aku kesana. Semua sudah ada dalam bayanganku.
Namun, aku harus menelan kekecewan untuk kesekian kalinya. Aku gagal kembali. Apakah kegagalan selalu menghampiriku. Kesekian kalinya aku merasakan kekecewaan pada diriku yang kalah kembali dalam perlombaan. Sudah berapa banyak perlombaan yang aku ikuti namun hasilnya tetap sama.
Ketika aku pulang aku melihat seorang anak menghampiriku, ia membawakan coklat untukku. Aku teringat, hari ini hari valentine, hari dimana semua orang bersuka cita dengan orang yang mereka sayang. Anak itu berlari pada ibunya setelah memberikanku coklat dan lantas memeluk ibunya. Ibunya mengelus kepala anak itu dengan begitu lembutnya. Aku bisa merasakan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya dengan melihat mereka dari kejauhan. Kalau aku memiliki orang tua, mungkin saat kondisi aku begini ada orang tua yang selalu mensupportku. Mengelus pundakku menenangkanku dengan berbicara “Nak, kamu hebat. Kamu sudah berjalan sejauh ini kami bangga padamu.” Aku menangis sepanjang jalan. Aku tak seberuntung orang lain. Menangis tersedu-sedu sendirian di sisi danau, meluapkan semua emosi yang aku rasakan. Aku ingin menangis dengan puasnya, sesak rasanya dada ini. Hidup bertahun-tahun seorang diri tanpa siapa pun. Kesana kemari, diusir, ditolak, dicurangi semua sudah kulalui. Hidupku tidak ringan semua yang kulalui sangat berat dan aku merasa ingin menyerah. Aku membiarkan diriku menangis dengan keras disisi danau, beruntung saat itu danau sedang sepi tak ramai seperti biasanya. Aku ingin meringankan beban berat yang menyesakan dada ini, aku ingin meringankan beban yang aku pikul dengan cara menangis sejadi-jadinya. Aku merindukan seorang ibu yang akupun tak tau wajahnya seperti apa. Aku merindukan sosok seorang ayah yang perawakannya pun aku tak tau seperti apa. Pertanyaan yang selalu aku ingin tau jawabannya adalah kenapa aku terlahir didunia ini dan alasan kenapa aku dilahirkan? Apakah aku anak yang tidak diharapkan? Semua pertanyaan-pertanyaan itu yang mengganjal dihati. Kemanakah aku harus mencari jawaban? Apakah aku bisa mencari jawabannya. Pemikiran-pemikiran yang terbesit dalam hati bahwa seandainya aku adalah anak yang tidak diharapkan memenuhi otak ini. Sungguh, memikirkan itu saja membuatku sesak dan ketakutan. Namun, bila memang diri ini tidak diharapkan setidaknya aku sudah tahu jawabannya. Tapi faktanya sampai detik ini aku tak tahu jawabannya. Aku tak tau mereka ada dimana bahkan aku tak tahu apakah mereka masih hidup sekarang.
Aku kembali ke toko roti, disana sudah ada Wiliam beserta orang tuanya. Aku malu yah, karena mataku sembab.
“Nak Lilac, apakah sudah makan?” Ucap ibu Wiliam. Seorang wanita yang sangat lembut dan penyayang.
“Belum bu.” Ucapku singkat
“Sini, ibu sudah masak ayoh makan bersama-sama.” Ajak Ibu Wiliam
Diruang makan, kami mengobrol kesana kemari, dan Wiliam bahkan orang tua Wiliam tidak ada yang menyinggung soal perlombaan itu padahal Wiliam tahu hari ini pengumuman perlombaan itu.
Saat seperti ini aku merasa memiliki keluarga yang utuh. Pengalaman perdana dalam hidupku, bisa makan bersama keluarga. Meskipun keluarga Wiliam bukan keluargaku. Ayah Wiliam sempat memberikan nasi tambahan dan lauk pauknya untukku.
“Makan yang banyak nak.” Ucap Ayah Wiliam
“Terimakasih Pak” Ucapku
Kami makan malam bersama dengan begitu tenangnya. Setelah makan malam kami mengobrol sambil meminum teh didepan perapian. Orang tua Wiliam sangat baik sehingga aku tak sempat memikirkan hal sedih seperti siang tadi. Pukul 8 malam mereka pulang diantar Wiliam ke mobilnya. Aku membereskan semua piring dan gelas yang kotor. Sejenak aku melupakan kesedihanku karena orang tua Wiliam.
“Wiliam sangat beruntung.” Ucapku dalam hati. Wiliam sangat beruntung memiliki orang tua yang sangat baik padanya. Orangtua yang perhatian dan penyayang pada anak-anaknya. Aku iri.
“Kenapa bengong?” Ucap Wiliam mengagetkanku
“Kamu tuh yah nanti piring ini pecah loh.” Jawabku kesal
“Kamu cuci piring sambil bengong nanti pecah semua.” Ucapnya
“Wil, kamu beruntung punya orang tua sebaik mereka.” Ucapku tiba-tiba
“Kamu boleh mengaggap orangtuaku jadi orangtuamu kok. Aku malah senang.” Jawab Wiliam sambil nyengengesan. Aku pun tersenyum karena tingkah sederhana Wiliam seperti itu.
Sejak itu Wiliam tak pernah membahas mengenai perlombaan itu dan aku pun tidak membahas perlombaan itu. Semua berlalu begitu saja, kehidupanku berjalan seperti biasa. Berkutik didalam toko roti. Bekerja seperti biasa.
Tak ada yang menarik dalam hidupku. Berjalan seperti air yang mengalir. Mengikuti arus mau kemana. Aku merasakan hilang arah, tak tau tujuanku mau kemana.
1 note · View note
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 2: “Mulai Menatap Masa Depan”
Sekarang aku sedikit tak perlu khawatir, ada Wiliam yang akan menjadi support systemku. Mimpiku sejak kecil adalah membuka sebuah restaurant terbaik di kota ini dan Tuhan ntah mengapa mempertemukan aku dengan tuan Priscot. Diberi sebuah tanggung jawab besar untuk menjalankan toko rotinya.
“Lilac, saya sudah tidak tahu mau mewariskan toko roti ini kepada siapa. Tidak ada yang saya percayai selain dirimu untuk menangani toko roti ini. Lilac kamu tahukan kalau usiaku tidak muda lagi dan saat ini saya mulai merasa bahwa badan ini tidak fit seperti sediakala. Toko roti ini adalah mimpi istri saya dan saya ingin mempertahankan toko roti ini meskipun saya sudah tiada kelak.” Ucap tuan Priscot yang membuat diriku menerima semua keputusannya. Kala itu saat tuan Priscot memutuskan memberikan toko roti ini padaku. Aku berbaik sangka pada Tuhan, apakah kali ini Tuhan mendengar doaku? Mendengar doa-doa dari orang sebatang kara ini. Harapan-harapanku terus aku panjatkan pada Tuhan meskipun ntah doaku keurutan berapa yang Tuhan kabulkan dan kali ini, sesuatu yang membuatku menangis terharu. Ternyata Tuhan tidak lupa dengan diriku yang malang ini.
"Bermimpilah setinggi mungkin, jangan takut terjatuh. Ada aku yang membantumu untuk bangkit kembali" ucap Wiliam saat aku menangis sendiri.
Sebuah support system terbaik sangat dibutuhkan saat ini. Wiliam adalah hal terbaik yang diberi Tuhan untukku.
Hari ini toko roti ramai seperi biasa, banyak pelanggan dari dalam dan luar kota untuk membeli roti. Aku dan Wiliam sibuk untuk melayani pelanggan dengan pelayanan terbaik kami. Semua menu utama habis dalam waktu 2 jam saja, aku sangat bersyukur 2 tahun ini toko roti berkembang semakin baik.
Bulan kemarin aku mendapatkan sebuah informasi bahwa di kota ini ada sebuah perlombaan membuat pastry dan hadiah untuk juara utama adalah pendanaan usaha dan sekolah pastry ke Swiss. Aku sangat senang mendapatkan kabar ini dari tetanggaku Ms. Raina. Aku sudah memberitahu Wiliam mengenai rencanaku untuk mengikuti perlombaan ini dan dia sangat mendukung sekali.
Aku semangat untuk mempersiapkan pendaftaran dan juga berlatih untuk lomba nanti. Semua jenis partry aku coba untuk dipraktekan dari pastry khas negara ini sampai pastry dari negara lain semua aku coba praktekan. Aku belajar teknik dasar sampai skill tertentu dalam pembuatan pastry. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini, sehingga aku belajar sungguh-sungguh. Wiliam membantuku dalam menyiapkan kebutuhan belajar aku, disamping memanage toko roti. Ia tak henti-hentinya menyemangatiku
Hari itu waktu perlombaan dimulai, ternyata peserta tidak hanya dari negaraku saja bahkan ada dari luar negeri. Seketika itu nyaliku ciut. Aku pikir skillku tak mumpuni untuk mengalahkan mereka. Perlombaan di bagi jadi 2 hari, hari pertama dilakukan ujian teori meliputi dunia pastry. Disini keahlian kita dalam ilmu pastry di uji, apakah kita tahu dasar teori bahkan asal negara bahan-bahan pembuat pastry disini diujikan. Di hari kedua dilaksanakan ujian pastry dengan 3 cabang berbeda dan semua peserta harus bisa melewati 3 bagian itu. Semua berdasarkan waktu dan rasa serta ketepatan dalam pembuatan. Semua teknik pastry dinilai disini.
Aku berhasil melewatkan semua dengan tepat waktu. Aku lega meskipun tadi ada sedikit kendala karena ada 1 resep yang aku tak tahu sama sekali dalam pembuatannya. Semoga aku tak melakukan kesalahan terlalu besar. Aku berjalan keluar menuju tempat Wiliam menunggu. Dia mendukungku 2 hari ini.
“Bagaimana sukses?” Ucap Wiliam begitu aku duduk disampingnya dan ia tak lupa untuk memberi minuman dingin untukku. Aku mengambil minuman itu dari tangannya dan menegak minuman itu sampai habis
“Aku melakukan sebuah kesalahan, huh. Aku gak tau satu resep tadi.” Cerocosku
“Anggaplah itu membelajaran buatmu, berarti sekarang kamu tahu kan didunia ini ada makanan seperti itu” Ucap Wiliam
“Iyah sih, hah. Semoga hasilnya membuatku senang yah hehe” Ucapku berharap
Hasil dari perlombaan itu diumumkan 1 minggu kemudian, dan kami harus setia menunggu untuk itu.
0 notes
kambingwangi · 2 years
Text
Buku Mewarnai Aurora (Bagian 2)
BAB 2: Ini Bukan Masa Kecil
Pemberitahuan Kepergian Ibu
Sebulan bakda bapak kecelakaan, sepulang dari rumah sakit, Rumah kami terasa lebih lenggang. Biasanya, rumah kami memang sepi. Bapak sejak pukul enam sudah berangkat ke pabrik. Abang dan aku berangkat ke sekolah berboncengan dengan sepeda lungsuran anak tetangga sebelah. Biasanya sejak pukul empat pagi Ibu sudah bangun menyiapkan kami sarapan dan memasak nasi uduk serta beberapa gorengan untuk dijual di depan TK tak jauh dari rumah. Hal yang baru kusadari saat itu adalah aku tidak menemui Ibu. Juga hari-hari di rumah sakit saat menjaga bapak, bergantian dengan Abang, tidak ada Ibu di sisi kami. Baru kusadari selama ini kami bergantian menjaga bapak ditemani oleh Bik Yah, adik bapak yang datang dari kabupaten sebelah.
Aku berlarian menuju halaman belakang, tempat biasa aku melihat ibu menjemur pakaian kami yang mulai lusuh, atau mengomel padaku yang seringkali berganti baju karena main lumpur. Namun kali ini, Ibu tidak ada. Di dapur, di kamar, di kamar mandi, bahkan di taman bunga yang biasa ibu menyiraminya, ibu tidak ada. Seperti bunga yang mulai layu, ibu juga tak bertemu. Bapak tak banyak bicara ketika masuk ke kamarnya. Aku sudah berharap ibu akan meninggalkan pesan di atas meja atau dipan, seperti yang kulihat di tayangan televisi ketika seseorang pergi dari rumahnya, tapi tak ada. Seperti ibu, secarik kertas pesan pun tak ada.
Aku membuka lemari baju ibu. Beberapa baju masih tersusun rapi, selebihnya tidak ada. Sejak hari itu, aku tahu. Ibu sudah pergi. Entah kemana. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. Bik Yah hanya menemani kami dua bulan. Setelah kondisi bapak yang lumayan baik, ia pulang. Mengurus anaknya yang sudah berusia empat tahun dan siap masuk ke sekolah PAUD. Aku beradaptasi banyak hal. Mulai menyiapkan sarapan untuk diantarkan ke kamar bapak, saat itu bapak masih belum bisa duduk sempurna; jadi banyak berdiam di atas kasur, dan menyiapkan keperluan sekolahku sendiri. Sejak pukul enam pagi, selepas sarapan, bersama Abang aku akan berangkat sekolah. Sementara abang akan ke pasar membantu Wak Dolah di Toko Sembakonya. Berkali dibujuk sekolah, abang tidak mau katanya. Hingga akhirnya, setahun kemudian, ketika Wak Dolah mengatakan tidak bisa mempekerjakan hanya tamatan SMP, barulah abang mau melanjutkan sekolahnya di SMK. Mengambil jurusan otomotif sembari bekerja sepulang sekolah di bengkel Wak Amin depan gang kami. Semenjak ibu pergi, semua sudah tidak sama lagi
***
Berbagi Cerita dengan Lia
“Kamu akan lanjut kemana, Li?” tanyaku sambil mewarnai coretan buku gambar. Li merebahkan badannya di sebelahku. Aku dan Lia berkarib akrab sejak kelas lima sekolah dasar. Kemudian melanjutkan studi di SMP dan SMA yang sama. Lia yatim piatu. Ia tinggal bersama neneknya yang berjarak dua belokan dari rumahku.
“Ke Jakarta, mungkin?” ucapnya santai.
“Bibi menawariku kerja di salon.” tambahnya.
Aku menggumam kecil. Sejak SMP Lia memang pandai bersolek. Ia sering kali memenangkan perlombaan ajang kecantikan mulai level lomba 17an di RW hingga antar sekolah saat SMA.
“Kamu ga mau lanjut kuliah, Li?” tanyaku lagi.
Lia membalikkan badan ke arahku. Matanya mengitari atap kamarku yang penuh corak rembesan air hujan warna coklat kelabu.
“Sepertinya tidak. Selain tidak ada uangnya, otakku juga gak mampu.” Celotehnya. Aku tersenyum kecut.
“Kamu mau lanjut kemana, Ra? Jadi ambil jurusan desain itu?” Tanya Lia balik.
Aku menggeleng. 
“Ga ada duitnya, Li. Kamu tau kan kalo di swasta uang pangkalnya sudah berapa. Belum lagi SPP-nya. Kasian Abang kalau harus menanggung semuanya, Li.”
Lia satu-satunya orang yang tidak mencemoohku ketika aku gagal ujian masuk perguruan tinggi. Bahkan ketika legalisir ijazah dan cap jari, banyak guru yang menyayangkan ketidaklulusanku. Mengatakan bahwa aku tak jeli menangkap peluang lah, terlalu tinggi harapan lah, dan sebagainya.
“Kamu sudah coba cari peluang beasiswa, Ra?” tanya Lia lagi.
Aku menggeleng. Bodohnya, saat sekolah, aku jarang mengikuti perlombaan. Sementara untuk mendaftar beasiswa, diperlukan portofolio dan beragam sertifikat penghargaan yang menunjukkan bahwa pendaftar layak mendapatkan beasiswa.
“Aku gak punya sertifikat penunjang, Li. Percuma daftar nanti seleksi awal aja udah ga lolos tuh,” ucapku tak bersemangat.
“Ra, kan belum dicoba. Kita ga tau hasilnya. Mana tau semesta berbaik hati menghadiahi kan?”
“Bahasamu, Li. Semesta menghadiahi,” Aku tertawa. Bangkit dari pembaringan.
“Ikut aku ke Jakarta yok, Ra. Kamu bisa kuliah sambil kerja.” ucap Lia lagi.
Aku termenung. Menatap Lia mantap. Sebuah ide menarik. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya? Aku sempat melihat sebuah postingan ujian masuk kampus swasta di Jakarta yang muncul di beranda sosial mediaku pagi tadi. Aku membuka ponselku dan mengecek tangkapan layar postingan tersebut. Tenggat pendaftarannya dua hari lagi dan ujiannya pekan depan. Aku membuka halaman websitenya. Membaca persyaratannya dengan seksama. Tak ada ujian portofolio dan unggah sertifikat. Hanya ujian masuk dan ada program beasiswa. Masih bisa. Masih ada waktu. Aku bergegas memeluk Lia.
“Li, makasih! Idemu selalu cemerlang shining, sprinkling, semriwing!”
***
Bersambung
1 note · View note
catatanliana · 2 years
Photo
Tumblr media
Setelah bercerai dengan Samudra, Senja mulai menata kembali hidupnya. Memulai pekerjaan yang baru sambil mengasuh anaknya yang masih kecil, Senja belajar menghadapi cobaan demi cobaan yang hadir. Tiba-tiba sosok Langit hadir dan berusaha masuk ke dalam kehidupan Senja sementara Samudra ternyata kembali mengusik kehidupannya. Senja yang belum selesai beradaptasi dengan kondisi hidup setelah perceraian, kemudian dihadapkan pada pilihan untuk membuka lembaran baru bersama Langit atau membuka memori lama dengan Samudra.
0 notes
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Tumblr media
Bab 1: "Flashback dan Pertemuan"
Warna mentari terlihat jingga berkilau menerangi kota sejuk ini, semakin hari rasanya kota ini selalu indah, selalu terpukauku dibuatnya. Hari-hariku selalu disibukan di toko roti bersama Wiliam, semenjak tuan Priscot meninggal aku ditemani Wiliam melanjutkan bisnis roti pemberian tuan Priscot ini. Toko roti ini adalah cita-cita mendiang istri tuan Priscot yang tuan Priscot jaga sampai akhir hidupnya. Kemanapun aku pergi aku selalu ditemani Wiliam. Wiliam bukan hanya sekedar teman dan partner kerja saja, lebih dari itu dia selalu melindungiku kemana saja aku pergi. Wiliam sudahku anggap sebagai kakak laki-lakiku yang siap siaga membantuku dikala aku butuh bantuan. Sudah tak terhitung aku berterimakasih padanya. Sungguh kehadirannya disekitarku sangat meringankan perjalanan hidupku ini. Namun, aku takut kejadian ditinggal oleh orang-orang terdekat akan kembaliku alami. Wiliam orang yang sekarang berada didekatku, aku takut akan kehilangan dia. Bahkan dulu, aku ingin hidup dihutan menyendiri mencari kehidupan sendiri, ntah apa yang aku pikirkan saat itu. Karena, setiap orang yang dekat denganku akan selalu pergi meninggalkanku.
“Wil, rencana kamu kedepan apa?” Tanyaku
“Ntahlah, aku belum ada rencana besar apapun. Aku memfokuskan untuk mengambdi di toko roti ini dulu” Jawabnya
“Kenapa?” Tanyanya
“Tidak, tidak apa apa hehe” Ucapku
Jujur aku takut jika Wiliam punya mimpi besar sehingga dia pergi dari toko roti ini.
“Jahat yah” Pikirku. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku tahu kenapa aku begini, aku terlalu ketakutan bila ditinggal pergi orang terdekat lagi.
Aku merenung selepas menutup toko roti ini sambil berjalan pelan menuju rumahku. Ingatanku kembali kemasa-masa dimana aku sedari kecil hidup sendiri, nomaden hidup tak tentu arah, mencari kehidupan untuk kujalani, mencari-cari alasan aku hidup didunia ini. Hidupku sudah tak karuan sejak aku kecil, bahkan orangtuaku pun aku tak tau ada dimana. Aku hidup untuk apa pun aku tak tahu, bahkan untuk bermimpipun aku tak berani. Hingga pertemuan aku dengan tuan Priscot di toko roti tuan Priscot saat itu, menurutku adalah waktu dimulainya cahaya hidupku. Saat aku dikeluarkan dari tempatku kerja sebelumnya dan pergi tanpa arah tujuan. Saat aku sudah ingin menyerah akan hidupku, saat aku tak tahu aku akan kemana. Aku bertemu dengan malaikat yang Tuhan berikan. Tuan Priscot membuatku mulai berani bermimpi. Tuan Priscot yang membuatku mulai percaya akan ada keajaiban di dunia ini. Tuan Priscot yang meyakini diriku bahwa mimpi sederhanaku itu sangat berharga. Namun, semua kembali menghilang dari duniaku, ketakutanku lagi-lagi aku alami. Sebuah rasa kehilangan aku alami kembali. Tuhan sangat mencintai tuan Priscot sehingga Dia dengan cepat mengambil tuan Priscot. Seketika duniaku runtuh, ntah kenapa orang-orang yangku sayangi selalu pergi dan menghilang dari hidupku. Namun, kehadiran tuan Priscot dihidupku sangat aku syukuri, berkat dia aku bisa bertemu dengan Wiliam. Tuan Priscot benar, bahwa Wiliam orang yang sangat baik. Aku sekarang meyakini bahwa orang baik akan berkumpul bersama orang baik juga.
Meskipun awalnya Wiliam orang yang sedikit cuek namun lama kelamaan dia bisa membuatku nyaman dan mengobrol banyak. Aku seorang introvert yang tidak begitu banyak berbicara dan syukurlah memiliki partner sebagai pelengkap seperti Wiliam. Hidupku amatlah berwarna sekarang, karena selalu ada aja tingkah polah kelakuaan Wiliam yang membuatku tertawa, sejenak aku bisa melupakan kesedihan karena masa laluku.
Mimpiku sekarang baru akan dimulai, menjalani toko roti adalah aktivitas keseharianku, memulai berinovasi membangun toko roti untuk selalu berjaya di setiap waktunya adalah janjiku kepada tuan Priscot. Ini juga adalah jalanku untuk memulai menata hidupku yang tak karuan, mulai membangun mimpi-mimpi yang sedari dulu aku takutkan bahkan untuk memikirkannya. Perlahan tapi pasti, aku mulai mencari jalan menuju arah mimpi yang ingin aku wujudkan, tentunya dengan bantuan Wiliam disisiku.
“Lilac, makan malam ini ayo kita cari keluar” Tanya Wiliam
“hmm baiklah” Jawabku
Makan malam kami sekitar jam 5 malam, setelah kami menutup toko roti.  Kami memutuskan untuk menutup toko lebih awal. Itupun atas saran Wiliam.
“Nanti, kita mau makan malam kemana?” Tanyaku
“Rahasia hahaha” Ucap asal Wiliam sambil berlalu ke dalam kitchen
Aku terheran-heran dengan tingkah Wiliam dan aku baru sadar baru kali ini Wiliam mengajakku untuk makan malam tapi tidak memberitahuku dimana tempatnya. Aku penasaran Wiliam mau membawaku kemana.
“Ayo” Ajak Wiliam
Sekarang kami berada dihalaman toko roti dan aku kaget melihat Wiliam mengendarai motor besar nan klasik itu.
“Naik motor? Motor siapa ini?” Tanyaku penasaran
“Gausah banyak tanya, ayo aku lapar cepat naik” Titahnya
Aku mengikuti perintahnya, berjalan mendekat dan meraih helm yang Wiliam berikan. Aku langsung memakai helm dan menaiki motor.
Wiliam memboncengku mengitari danau dibelakang toko roti yang sangat ramai dikunjungi masyarakat sekitar. Danau indah tempatku melepas penat dan satu-satunya tempat selain kamar tidur saksi hidup aku menangis mencurahkan seluruh kesedihanku. Wiliam terus mengendarai motornya melewati pusat kota yang penuh dengan pusat perbelanjaan, tempat berkumpul anak muda dan hingar bingar kota kecil ini. Kota ini tidak begitu luas, namun sangat nyaman untuk dinikmati dikala jenuh dengan rutinitas sehari-hari. Kota yang memiliki 2 musim yaitu musin dingin dan panas, dikelilingi gunung-gunung indah, terdapat danau-danau cantik dan diujung selatan sana terdapat lautan lepas tempat kapal-kapal pesiar bersandar. Tidak banyak yang mengetahui kota kecil ini, hanya orang-orang yang senang menikmati alam yang akan berkunjung ke kota ini. Salah satunya aku.
Kamipun sampai pada salah satu restaurant yang ada di atas bukit di ujung kota,
“Wiliam niat sekali mengajakku makan malam disini” Ucapku dalam hati
Kamipun memasuki restaurant ini dan Wiliam berbicara pada receptionistnya
“Oh, ternyata dia sudah booking restaurantnya” Ucapku dalam hati. Aku hanya mengikuti kemana Wiliam berjalan. Sampailah kami dilantai 3 dengan pemandangan luar biasa indahnya. Sekarang aku tahu kenapa Wiliam mengajakku kesini. Pemandangan yang disuguhkan restaurant ini sangat indah sekali, perpaduan 3 keindahan alam sekaligus bisa terlihat disini, Sisi Laut sebelah selatan, Pegunungan dan Danau dibelakang toko roti kami terlihat menyatu dalam 1 frame di restaurant ini. Tidak hanya itu, lampu-lampu kota sudah dinyalakan semakin menambah cantiknya pemandangan dari restaurant ini.
“Baguskan pemandangannya” Ucap Wiliam
“Tidak usah terpesona begitu, aku tahu kalau kamu sangat suka pemandangan. Maka dari itu, aku susah payah mencari lokasi yang bagus seperti ini.” Ucap Wiliam lagi.
Aku masih belum bisa berkata-kata, fokusku masih pada cantiknya pemandangan yang ada didepan sana. Begitu indahnya Tuhan menciptakan bumi ini.
“Kamu berniat sekali membawaku kesini Wil” Ucapku
“Karena kamu berhak untuk mendapatkan ini semua” Jawab Wiliam
“Kamu sudah bekerja keras selama ini, setelah kepergian tuan Priscot kamu terlihat sibuk dan bekerja keras. Aku jarang melihatmu menikmati masa mudamu, ketika libur kamu hanya pergi ke Danau belakang, kamu tidak pernah jauh-jauh dari Danau itu.” Jawab Wiliam Panjang.
Aku setuju dengan perkataan Wiliam saat ini, aku sadar semenjak kepergian tuan Priscot aku bekerja keras membangun toko roti ini untuk selalu jaya dan tidak ditinggal pergi pelanggan. Kegiatan itu membuatku lupa akan masa mudaku. Tapi, memang sedari dulu aku tak biasa menikmati masa mudaku, aku bekerja keras sedari dulu.
“Aku memang tidak bisa menikmati masa mudaku Wil,” Ucapku singkat
“Justru itu manfaatnya ada aku disini, aku yang akan menuntunmu untuk menikmati masa mudamu dan meraih mimpi-mimpimu.” Ucap Wiliam
Aku tersenyum sekaligus terharu dengan sikap Wili saat ini. Mengapa ada orang sebaik ini, di hidupku hal sederhana yang Wiliam lakukan adalah hal luar biasa bagiku. Diberi perhatian oleh orang lain sangatlah membuatku Bahagia.
“Mungkin, jika aku memiliki orang tua ada yang selalu memberikanku perhatian seperti ini” Ucapku dalam hati
“Wil, terimakasih” Ucapku singkat
“Tidak usah terimakasih, aku Bahagia melihatmu Bahagia seperti ini.” Ucap Wiliam
BERSAMBUNG
0 notes