Alif ba ta song for kids
Alif ba ta song for kids series#
I should have studied harder." Īfter graduating from the boarding school, Khan returned to India and worked for an advertising firm in Delhi for two months. When I applied myself, which was not often, I stood first. My classmates went on to Oxford and Cambridge, but I was not academically inclined. He next enrolled at Winchester College and explained that "I did not take advantage of my tenure. Khan studied at The Lawrence School, Sanawar in Himachal Pradesh and was later sent to Lockers Park School in Hertfordshire at the age of nine. As a child, he recalls fond memories of watching his father playing cricket in the garden, and has emphasised his father's education and background as having a lasting impression on how family life was conducted. Speaking about his childhood, Khan said that he was exposed to a "life beyond movies", and his mother described him as someone who was "not an easy child He was impulsive spontaneous." Saif grew up a Muslim. Hamidullah Khan, the last ruling Nawab of Bhopal was his great-grandfather, and the cricketer Saad Bin Jung is his first cousin. Khan has two younger sisters, jewelry designer Saba Ali Khan and actress Soha Ali Khan, and is the paternal grandson of Iftikhar Ali Khan Pataudi who played for the Indian cricket team in England in 1946, and Sajida Sultan, the Nawab Begum of Bhopal. Following Mansur Ali Khan's death in 2011, a symbolic pagri ceremony was held in the village of Pataudi, Haryana to "crown" Khan as the "tenth Nawab of Pataudi," which Khan attended to please the sentiments of the villagers, who wanted him to continue a family tradition. Khan's father, who was the son of the last ruling Nawab of the princely state of Pataudi during the British Raj, received a privy purse from the Government of India under terms worked out in the Political integration of India and was allowed to use the title Nawab of Pataudi until 1971 when the title was abolished. Khan was born on 16 August 1970 in New Delhi, India to Mansoor Ali Khan Pataudi, a former captain of the Indian national cricket team, and his wife Sharmila Tagore, a film actress. In addition to film acting, Khan is a frequent television presenter, stage show performer, and the owner of the production companies Illuminati Films and Black Knight Films. He has four children-two with Singh and two with Kapoor. Khan was married to his first wife, Amrita Singh, for thirteen years, after which he married actress Kareena Kapoor. He has been noted for his performances in a range of film genres-from crime dramas to action thrillers and comic romances-and his film roles have been credited with contributing to a change in the concept of a Hindi film hero. Khan has won several accolades, including a National Film Award and seven Filmfare Awards, and received Padma Shri, the fourth highest Indian civilian award in 2010.
Alif ba ta song for kids series#
After another string of under-performing ventures, Khan was appreciated for essaying a troubled policeman in Netflix's first original Indian series Sacred Games (2018) and the main antagonist in Tanhaji (2020), which ranks as his highest grossing release. His greatest hits as solo lead include Race (2008), Love Aaj Kal (2009), Cocktail (2012) and Race 2 (2013). Khan earned universal critical acclaim playing a manipulative businessman in Ek Hasina Thi (2004), an apprentice in English film Being Cyrus (2006), a negative character based on Iago in Omkara (2006) and a terrorist in Kurbaan (2009). He had his first solo box office hit in Kya Kehna (2000) and won awards for applauded roles in the ensemble comedy-dramas Dil Chahta Hai (2001) and Kal Ho Naa Ho (2003) before earning critical and commercial success with the romantic films Hum Tum (2004), Parineeta (2005) and Salaam Namaste (2005). He failed to earn hits with solo lead films in the 90s and had rare successes only in superhit multi starrers like Yeh Dillagi (1994), Main Khiladi Tu Anari (1994), Kachche Dhaage (1999), Hum Saath-Saath Hain (1999). Khan made his acting debut with the flop Parampara (1993). Part of the Pataudi family, he is the son of actress Sharmila Tagore and cricketer Mansoor Ali Khan Pataudi. Saif Ali Khan ( pronounced born Sajid Ali Khan Pataudi 16 August 1970) is an Indian actor and producer who works in Hindi cinema.
0 notes
Ibu Tertelan Senja (Cerpen)
Lelaki berumur kepala tiga itu terduduk sendu di bangku panjang yang terletak di belakang rumah, netranya menyorot nanar barat nabastala yang berlukiskan guratan merah-keunguan akibat senja dan sangat menyiratkan kesedihan yang mendalam. Bahkan mungkin palung Mariana tak dapat menyangga kecamuk batinnya.
Degupnya berdetak pelan namun tak keruan. Dasar kalbunya bak disayat-sayat parang sedikit demi sedikit, menyusun goresan-goresan nestapa untuk membentuk cerukan luka. Dan perhatikanlah, mata almond itu terlihat kelelahan, bengkak, dan sembap oleh air mata—sudah tujuh hari ia tak dapat tidur dengan cukup dan tenang.
Sudah terlambat. Ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri, mengumpati kelalaiannya, mencerca ego-egonya. Ia telah menyesal jarang ada waktu untuk ibunya, apalagi untuk sejenak pulang ke rumah saat hari raya. Malah yang ada ia membabi-buta menuruti ambisi-ambisi mimpinya, nafsu dunia, dan gelumat intensinya. Pekerjaan lelaki itu telah menjerumuskannya dalam lubang yang fana.
Kemarin malam adalah hari terakhir tahlilan kematian ibunya. Ya, ibu yang mendidiknya akan kehidupan ini. Ibu yang membiayai pendidikannya sampai menjadi magister. Ibu yang mengajarinya dari "alif-ba'-ta'" sampai "bismillahirrohmanirrohim". Ibu yang mendiktenya dari "A-B-C-D" sampai "ini bapak Budi".
Penyesalan demi penyesalan menggerogoti dan mencabik-cabik ruang yang ada dalam sukmanya. Sebenarnya ia ingin pulang ke rumah tatkala 'Idul Fitri tiba, namun dikarenakan bisnis dan pertemuan relasi dari luar negeri yang tak bisa ditunda, ia terpaksa harus membelah kerinduan akan ibunya.
Obatnya hanyalah lantunan Al-Fatihah setiap seusai salat fardu yang dikirim untuk sang ibu—yang ayat demi ayatnya telah ia sematkan asa dan titipan rindu. Menyambung hubungan ruh agar senantiasa dilindungi Sang Hyang Sukma dari mara bahaya.
Sewaktu dulu, beberapa tahun silam, saat bisnisnya telah berjalan dan sudah melebarkan sayap di banyak anak usaha, ia pernah mengatakan kepada ibunya yang bekerja sebagai guru madrasah, "Bu, penghasilan Abil sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua keperluan adik dan Ibu. Lebih baik Ibu di rumah saja, tak perlu bekerja lagi menjadi guru."
Sang ibu tersenyum mendapati anaknya berkata seperti itu, "Kamu salah, Nak." Ia menperbaiki duduknya, "Ibu sebenarnya tidak pernah bekerja. Niat Ibu menjadi guru adalah mengabdi untuk pendidikan negara, mencerdaskan anak bangsa, dan berusaha mengamalkan ilmu yang Ibu dapat agar bermanfaat. Ibu tidak mencari uang. Uang yang ikut ibu."
"Kamu tahu kenapa Ibu memilih menjadi guru?" Jeda seperempat detik, "karena ibu ingin murid Ibu nanti juga ada yang menjadi guru, dan menelurkan ilmu yang didapat dari Ibu. Lalu murid Ibu yang menjadi guru itu memiliki murid yang juga menjadi guru dan mengamalkan ajaran yang diberikan murid Ibu tadi. Bukankah akan menjadi amal jariyah? Dan siklus itu akan berputar terus sampai hari akhir kelak, Nak. Hidup akan sangat berharga bila kita dapat membantu orang lain." Dari mulut sang ibu terlukis senyum harapan, memporak-porandakan dan mengguncang sudut-sudut sanubari anaknya.
Mentari di ufuk perlahan turun, tinggal sejengkal dari garis horizon. Kepakan-kepakan burung mendominasi langit yang menguning. Hamparan persawahan yang terbentang di belakang rumah itu menari-nari terkena kesiur angin. Dua-tiga kelelawar mulai menampakkan eksistensinya.
"Mas Abil," panggil lembut seorang wanita muda menghampiri, berdiri di belakang Abil. Jika ditilik dari parasnya, sepertinya adik Abil.
Seketika lamunan Abil terpecah, menoleh ke empu suara. Mengusap jejak bulir air yang masih menempel di pipinya.
"Mas..., Mas makan dulu, dari pagi belum makan." Wanita itu merangkai kata demi kata dengan lirih dan hati-hati. Air mukanya jelas terlihat cemas, kendati demikian masih saja tampak cantik. Rambut lurus dan hitamnya yang berkilauan bergoyang pelan terkena embusan angin.
"Iya, Nay," jawab Abil mengangguk tipis, lantas berpaling kembali menatap langit. Ia tak selera untuk makan, barangkali sudah kenyang oleh air mata.
Wanita yang masih berdiri di belakang itu mengembuskan napas hampa, sejenak ikut memandang ufuk barat.
Sungguh, ia tak pernah melihat kakaknya itu sesedih ini. Bahkan ketika ia ditimpa badai masalah, kakaknya selalu memberikan motivasi dan menasihati untuk pasrah atas takdir-Nya. Tak pernah sekali saja kakaknya itu pupus harapan dan mesti berpikir positif atas segala apa yang diberikan semesta.
Nayla tersenyum getir, ia sangat merasa bersalah tak dapat meredam kenestapaan yang dialami oleh kakaknya, tapi kakaknya selalu bisa menghentikan kesedihannya.
Bahkan ia merasa sangat berutang budi kepada kakaknya—yang mendidiknya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Juga yang membiayainya kuliah di WU Vienna.
Syahdan, ada satu petuah kakaknya yang sangat diingat olehnya:
"Ingat, Nayla. Semua hal dan apa pun yang terjadi di dunia ini adalah cobaan; kekayaan, kedudukan, pangkat, kemuliaan, kebahagiaan, dan apa pun itu yang terlihat seolah kenikmatan, pada dasarnya adalah cobaan. Dan seringkali membuat manusia lalai. Berusaha tabah atas kenikmatan itu jauh lebih berat ketimbang berusaha tabah atas cobaan. Kerap terjadi; saat tertindih musibah, manusia selalu ingat kepada Tuhan dan menyesali perbuatannya. Namun saat tertimpa harta dan kenikmatan yang melimpah-ruah, seketika manusia lupa siapa Tuhannya dan buta akan konsep bersyukur."
Zlepp. Wanita itu tersadar dari lamunannya, matanya mengerjap-ngerjap ke sana-sini. Melihat Abil yang masih terpaku membeku, Nayla memutuskan kembali ke dalam rumah tanpa sebait kata dengan wajah lesu.
***
"Nggak mau, Mbak," tegur Nayla kepada perempuan di sofa yang tengah menyisir rambut anaknya.
Perempuan itu menoleh sesaat, menghentikan aktivitasnya, kemudian kembali menyisir. "Ya udah, habis ini biar Mbak aja yang nyamperin."
Nayla duduk di sebelah perempuan berkerudung kelabu itu. Raut mukanya sayu bagai bunga yang layu.
"Ish, Tante Nayla senyum gitu lo, jangan cemberut mulu. Kayak monyet jadinya," celetuk polos anak perempuan berumur sepuluh tahun yang sedang disisir itu.
Seketika perempuan di depannya tergelak. Yang bila ditilik, seperti ibu dari anak itu. "Hey, Hannah, kok gitu ngomongnya."
Nayla pun geleng-geleng kepala sembari mengulas bibir tipis melihat tingkah keponakannya itu, mengacak-acak rambut Hannah.
Hannah malah nyengir tanpa dosa.
"Bun, Papa dari pagi di sawah terus, paling-paling ke dalam cuma saat sholat. Belum makan juga, nggak lapar apa?" Hannah mengetuk-ngetuk dagunya, matanya yang mungil menatap ke atas. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya sesuatu yang begitu random. "Jangan-jangan Papa bukan manusia, Bun. Mungkin saja makhluk luar angkasa, atau makhluk dunia paralel? Atau... alien yang sedang menyamar?"
Sontak kedua wanita yang ada di situ terbahak. Kepolosan dari pertanyaan Hannah sedikit meredakan energi duka yang menyelimuti rumah itu, juga sesaat menghilangkan pilu yang bersemayam dalam dada.
"Kalau Papa bukan manusia, terus Hannah juga bukan manusia, dong?" tandas Nayla dengan senyum yang tertahan.
"Iyalah, Hannah jadinya manusia setengah alien," jawab Hannah menceplos. "Eh, masak begitu? Tapi Hannah kok sering lapar, ya? Malahan Hannah sering diomelin Bunda gara-gara nyemil mulu. Hehe."
Nayla dan perempuan itu—ibu Hannah juga istri Abil—lagi-lagi hanya tertawa tak tertahan menyaksikan gelagat Hannah.
***
Abil berusaha tenang, mengendalikan gejolak atmanya. Napasnya teratur mendaki dan menurun; meresapi oksigen yang masuk dan karbondioksida yang keluar; mencoba menyatu dengan alam sekitar.
Keheningan tercipta dalam jiwanya. Rasanya hidup hanya ada ia dan semesta. Menembus alam bawah sadar, mencari kedamaian yang sunyi. Senyap diam-diam merayap di antara lorong-lorong dalam ruang sukmanya, menjelma sepi yang ayem.
Lap, lap, lap. Zrttt. Entah bagaimana, sontak muncul dalam gudang memorinya nasihat dari sang kakek yang mengambil dari dalam Suluk Linglung—mengisahkan perjalanan spiritual dan pencarian jati diri Syek Malaya (Sunan Kalijaga), dan mendapat wejangan dari Nabi Khidir:
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat yen den arani,
uripe ingaranan Syahadat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Liring mati sajroning ngahurip,
iyo urip sajtoning pejah,
urib bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Artinya, "Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakaratul maut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut inilah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian!"
***
"Pa!"
Seketika Abil sadar, kaget. Menoleh ke arah perempuan yang sudah duduk di sampingnya. "Ada apa, Ma?" Ia berusaha mengatur napasnya yang semrawut, menenangkan diri.
Perempuan itu mengusap-usap pundak Abil, "Udah, Pa. Jangan menyiksa diri sendiri. Masih banyak orang di sekitar Papa yang peduli. Lihat Nayla, dia sangat merasa bersalah. Kesedihan yang berlarut-larut tidak akan membawa dampak apa-apa."
Abil paham, sudah merasa lebih tenang, tertampar oleh wejangan tadi. Sekali lagi, ia menatap jauh ke arah barat, melukis senyum penghormatan, mengelap bulir air di sudut matanya.
Perempuan itu juga merasa lebih lega, membelai bahu suaminya untuk yang terakhir kalinya, "Hannah sudah nungguin Papa untuk makan." Ia menguntai senyum, tercipta lesung di pipi sebelah kanan. Lantas berdiri, beringsut meninggalkan Abil.
Abil mengangguk pelan. Ia pun berdiri, untuk yang kesekian kalinya memandang garis langit, matanya terpejam. Dan untuk yang kesekian kalinya bibirnya bergetar, mengirimkan ibunya Al-Fatihah; sebuah surah yang ia jadikan senjata dalam kehidupan, yang sarat akan rahasia di dalamnya—pembuka pintu kehormatan, pembuka pintu rezeki, pembuka mata hati, pembuka dari segala yang gaib, pembuka pintu keberkahan, pembuka pintu kesuksesan, pembuka pintu pertolongan, dan pembuka dari segala yang tak bisa dibuka.
"Papa...!!"
Seorang anak kecil berlari mendekati Abil, memeluknya. "Papa jangan sedih terus ya. Hannah lapar, mau makan tapi harus sama Papa." Intonasi suaranya begitu manja merengek.
Abil tersenyum, menggendong anaknya itu."Iya, Sayang... ayok kita makan." Ia mulai melangkah ke arah rumah.
Hannah senang sekali, jarang-jarang ia digendong oleh ayahnya itu. "Eh Pa, emang bener Papa itu bukan manusia?"
Abil terkekeh mendapati pertanyaan kocak anaknya, "Kata siapa...?"
"Kan, nggak punya rasa lapar. Hehehe...."
Abil terpingkal, mencubit gemas pipi anaknya.
***
4 notes
·
View notes
JATUH CINTA YANG DISENGAJA
Bersamamu adalah jatuh cinta yang disengaja. Mengeja kata demi kata. Menyelami makna cinta yang seutuhnya. Bersamamu adalah ketenangan, ketentraman dan kesejukan jiwa. Bahagia, suka duka juga lelah dan letihnya merupakan kenikmatan. Balasan cinta tidak hanya didunia, tetapi diakhirat pun akan tetap setia. Adalah perjalanan mencintai Qur'an
Perjalanan kali ini dimulai dari bangku TPA. Mengeja alif, ba ta sampai ya dengan terbata. Saat itu memang belumlah faham, kenapa harus belajar, kenapa harus membaca dan mengeja. Seperti anak kecil pada umumnya.
Perjalanan bermakna yang sedikit cepat lintasannya. Titik balik atau awal mula kenapa memutuskan jatuh cinta. Iya, saat itu kagum dengan bacaan yang teramat merdu. Lantunan ayat-ayat begitu syahdu terdengar ditelinga. Hingga akhirnya menemukan Qori' kesayangan kita bersama Syaikh Mishary Alafasy.
Perjalanan komitmen atas cinta berlanjut, dibangku perkuliahan. Pada hafalan yang tidak seberapa kala itu. Hafal hanya sebatas sering dengar dari Qari' kesayangan. Iya, beberapa Juz 30 dan Al-Baqarah.
Tentu, komitmen atas cinta masih berlanjut. Berlanjut di Rumah Tahfidz Insanul Qur'an. Mengurutkan satu per satu surat. Menjadi Juz dan alhamdulillah Allah sampaikan dibeberapa itu. Tentu tidak mudah. Halaqah yang diadakan setiap hari dengan aktifitas sebagai anak kuliah yang jurusannya terkenal banyak praktikum dan laporannya. Alhamdulillaah, Allah mampukan.
Komitmen cinta belum berakhir disana. Masih berlanjut dipart berikutnya. Merawat, menjaga, mencintai adalah konsekuensinya seumur hidup sebelum semuanya. Pun ketika hadirnya seseorang nantinya, semoga ia menambah semangat dan mendukung sepenuhnya. Bahwa cintaku sudah lebih dulu aku labuhkan kepada-Nya sebelum kepadanya.
Alhamdulillahiladzi bini'matihi tatimush-shaalihat. Allahummarhamna bil Qur'an.
21.39.
2/6/2023
0 notes
*games*
Didiklah anak sesuai dengan zamannya.
Sedih rasanya ketika ada orang lain yang memuji anak dengan kalimat, "Wah udah pintar main gamenya ya." Ya itu memang bentuk kelonggaran saya sebagai Ayah masih membolehkan bermain game, hanya saat saya ada di rumah. Saya ada alasan tersendiri untuk itu. Walaupun tentu saja ibunya mah cemberut dengan keputusan saya itu.
Saya pun patut bersyukur anak yang sebentar lagi sudah 4 tahun ini masih salah paham, menyebut video iklan games di playstore adalah youtube. Alhamdulillah sejauh ini dalam pengawasan kami sebagai orang tua, Hayyin anak kami tidak menonton Youtube.
Soal games di gadget mungkin saya satu dibanding satu juta anak pada masanya dulu yang memang tidak dikenalkan dengan itu oleh orangtua saya. Terutama Ibu yang super tega dalam artian positif waktu saya masih kecil.
Tidak ada sejarahnya saya pernah pegang stik PS atau main nitendo atau bahkan punya gamebot sendiri. Dalam kurun 30 tahun satu-satunya game yang saya berhasil tamatkan cuma Plant & Zombies, itu pun yang versi 1. Miris ya? Tentu tidak. Karena ternyata memang nggak rugi-rugi amat. Malahan saya bersyukur tidak jadi salah satu dari sekian banyak orang yang kecanduan dengan games di gadget. Yang kadang sampai tidak kenal waktu dan tempat. Di masjid jadi. Di WC pun jadi.
Malahan saya ikutan bangga ketika ibu di suatu waktu berkelakar kalau anak-anaknya saat masuk SD sudah pada lancar baca Al-Qur'annya. Alhamdulillah, semoga amal jariah itu terus-terusan jadi tabungan kebaikan untuk orangtua saya dari pertama kali saya mengenal alif ba ta hingga ya.
Maka, setelah menjadi orangtua ingin rasanya berhasil mendidik anaknya dengan baik dari sedini mungkin. Tanpa menghilangkan hak mereka untuk bermain seperti anak lain. Dalam hal ini bermain hp boleh tapi tidak berlebihan. Main games boleh tapi tetap dibatasi. Karena saya tahu rasanya dulu ketika melihat anak lain bermain tapi saya dilarang ini itu terutama sama ibu. Biasanya waktu itu ayah saya yang lebih toleran, sampai-sampai bela-belain pulang kerja langsung menuju pasar parung karena tidak tega melihat anaknya merajuk minta dibelikan mainan. Waktu itu ingat sekali yang dibawa pulang malah Aquarium seharga seratus ribu.
Saya tidak ingin anak saya pun buta banget dengan yang namanya tehnologi, ketika anak lain sudah lebih pandai mengoperasikan gadget melebihi neneknya sendiri. Karena zaman kami memang jauh berbeda. Maka lahirlah kesepakatan dengan anak saya sekarang, ketika ada Ayah boleh bermain games dengan catatan ketika sudah berlebihan dan mempengaruhi tingkah laku anak. Games di hapus. Atau games hanya dibatasi dua yang boleh di install. Tentu saja efeknya anak nangis sejadi-jadinya. Tapi biarkan. Harus tega. Biar anak mengerti. Kalau kata salah satu bibi saya "jangan mau kalah sama anak."
Tentu saja masa lebih tega kalau melihat anak jadi kecanduan hp. Yang dari bangun tidur sampai mau tidur pun tidak bisa jauh dari hp. Yang nangis menjerit karena hp. Semoga dengan begitu, seiring berjalannya waktu anak-anak kita akan tumbuh dengan pemahaman yang baik.
Dengan tetap cerita dan tanpa banyak tekanan dari sekitarnya. Semoga.
@azurazie_
@azurazie
33 notes
·
View notes