Tumgik
#cemas Z
Text
Supplier Variasi Motor Jupiter Z, WA 0895-2988-1068
Tumblr media
WA 0895-2988-1068 Supplier Variasi Motor Jupiter Z
C99 Motor, solusi **opsi** motor dengan **harga** terjangkau & kualitas terbaik. Dukungan industri lokal, mudah ditemukan di **Pasuruan**, **Jawa Tengah**.
Selamat datang di C99 Motor! Kami menghadirkan produk-produk berkualitas dengan harga sangat terjangkau, karena kami menjual langsung dari manufaktur.
Kami menawarkan berbagai macam kebutuhan untuk produk variasi motor, mulai dari komponen fungsional hingga aksesoris kustomisasi yang beraneka ragam. Dengan kualitas produk yang selalu sesuai kebutuhan, Anda tidak perlu cemas tentang performa motor Anda.
Salah satu keunggulan kami adalah kustomisasi terjangkau yang kami tawarkan. Dengan pilihan kustomisasi yang bervariasi, Anda bisa mendapatkan motor impian tanpa harus menghabiskan banyak uang. Dukungan industri dalam negeri juga menjadi prioritas kami, karena kami ingin turut serta dalam mengembangkan sektor otomotif di Indonesia.
C99 Motor berlokasi di Jawa Timur, Pasuruan, sehingga terjangkau. Dengan layanan yang profesional dan ramah, kami siap membantu Anda dalam memilih produk yang sesuai dengan kebutuhan motor Anda. Dapatkan harga terbaik dan kualitas terbaik hanya di C99 Motor!
Jadi, tunggu apalagi? Segera kunjungi toko kami dan temukan berbagai produk variasi motor terbaik untuk Anda. Dengan C99 Motor, motor impian Anda hanya tinggal selangkah lagi. Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada kami, dan kami akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Anda. Ayo, segera dapatkan produk variasi motor terbaik hanya di C99 Motor!
Supplier Variasi Motor Jupiter Z
#SupplierVariasiMotorJupiter Z
0 notes
wulanrizqi · 18 days
Text
2024
Isu kesehatan mental beberapa tahun terakhir menjadi isu yang ramai dibicarakan. Terutama di kalangan generasi Z. Semua hal rasanya dikaitkan dengan kesehatan mental. Pertemanan, pekerjaan, social, sampai agama mungkin terbawa juga karena beberapa kalangan berpendapat kalau orang terkena gangguan mental berarti imannya kurang atau lemah.
Jaman dahulu mungkin kita hanya mengenal orang gila, yang tidak punya rumah, bebas berkeliaran, tidak terurus, suka berbicara atau ketawa sendiri, dan beberapa hal yang melekat pada istilah orang gila. Kemudian bahasa itu diperhalus dengan menyebutkan “orang dengan gangguan kejiwaan” atau dikenal dengan ODGJ. Kemudian secara pesat berkembang menjadi banyak istilah seperti deprsi, halusinasi, skizofrenia, stress, bipolar, dan banyak lagi. Tetapi saya tidak akan banyak membahas tentang penyakit-penyakit mental tersebut karna saya tidak berada di bidang tersebut.
Sebuah kitab berjudul Al Wasail Al Mufidah Lil Hayati As Saidah karya Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa'di rahimahullah membahas tentang kiat-kiat hidup bahagia. Salah satu bab yang dibahas oleh guru saya tadi siang adalah bagaimana caranya agar ketika diberi ujian oleh Allah bias tetap berprasangka baik. Apa korelasinya dengan kesehatan mental? Salah satu penjelasan dalam kitab ini ada hubungannya dengan kesehatan mental.
Berangkat dari permasalahan yang sering terjadi di kalangan generasi Z sekarang ini, yaitu overthinking atau terlalu sibuk memikirkan masa depan. Boleh sebenarnya memikirkan masa depan, tetapi dalam konteks ini adalah berfikir karena takut, khawatir dan cemas akan masa depan, nah pikiran seperti ini yang tidak diperbolehkan.
Mendapat ujian adalah sebuah keniscayaan, bagi siapapun yang Allah beri kesempatan untuk hidup. Maka dalam hidup pasti ada masalah. Salah seorang ulama pernah berpendapat bahwa pembagian waktu hanya ada 3 yaitu hari yang sudah berlalu (kemarin), hari yang sedang dijalankan (hari ini) dan hari yang akan dating (besok). Hari kemarin sudah tidak akan diulang dan hari besok tidak ada yang tahu akan seperti apa.
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan umat Islam ketika menghadapi masalah dalam hidupnya. Pertama, menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, mengumpulkan energy untuk melakukan kegiatan di hari tersebut.
Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat misalnya belajar, beribadah, datang ke majelis ilmu, ikut kegiatan social, melakukan hobi, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Maka dengan begitu pikiran akan teralihkan dan tidak focus dengan masalah yang sedang dihadapi. Ini bukan berarti menghindar atau tidak mau menyelesaikan masalah, tetapi terkadang masalah itu tidak perlu terlalu dalam dipikirkan, sewajarnya saja dan segera cari solusi.
Yang kedua, mengumpulkan energy untu melakukan aktifitas di hari tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan terkait pembagian waktu, maka tugas manusia hanyalah focus dengan apa yang akan ia jalani di hari ini. Tidak boleh berandai-andai tentang masa lalu, atau terlalu khawatir dengan masa depan.
Satu hal yang saya pelajari hari ini bahwa begitu sempurnanya Allah menurunkan ajaran agama Islam ini, bahwa sampai aspek mental sudah dibahas.
0 notes
cryinghappymeal · 1 year
Text
season coolyeah equals rasa anxious dan cemas habis ngechat dosen perihal x,y,z
0 notes
dshlevensverhaal · 2 years
Text
Tentang Akal
Aku merasa terpanggil ketika salah satu anggota di grup yang biasa kami timbrungi untuk membahas A-A bukan ke Z lagi bertanya “Lalu apa fungsi akal?”
Neurotransmitter dalam otakku agaknya bekerja sangat keras saat itu, indera mataku langsung memberikan sinyal ke otak untuk mencari folder yang berjudul “Falsafah Hidup - Prof Hamka” yang sempat kubaca tahun lalu, ingatannya samar, namun masih terbayang arahnya.
Dalam samar itu, kudapati bahwa berbicara tentang akal yang bahkan bayi kembar identik yang berasal dari satu sel telur yang sama saja mempunyai kekuatan badan dan akal sendiri, mereka saling berlainan. Lantaran akal itu berlainan pula keinginannya, tujuan hidupnya, pertimbangan dan persaannya, dan garis hidup yang dilalui masing-masing. Kepada akal itulah bersandar segala perkara yang waib dilakukan atau ditinggalkan. Perkara akal itu jugalah manusia dapat memikirkan besar nikmat yang diperolehnya dari Allah. Semuanya buat mencukupkan hidup.
Akal menjadi sinyal bagi manusia untuk menjaga dirinya, mengukur bayang-bayang diri, mengenal siapa diri, dan berusaha memperbaiki bagian-bagian yang sudah tak layak. Karena, orang-orang yang akan memperoleh kemenangan ialah orang yang mengukur bajunya sesuai dengan tubuhnya.
Akal itu… ikatan. Bukan, maksud saya bukan ikatan pernikahan ya wkwk.
Dalam sebuah pepatah dahulu silam, “Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akal”.
Maksudnya, gimana caranya tali mengikat unta supaya tidak lari, dan akal mengikat manusia agar tidak lepas ambyar mengikuti hawa nafsu. Maka untuk mengikat manusia, akal juga tidak bisa berdiri sendiri. Akal diperoleh dari hasil pikiran, kemauan, dan perasaan. Gimana maksudnya?
Panca indera yang dikaruniakan Allah kepada manusia adalah sarana untuk menangkap segala sesuatu yang terlihat untuk dikirimkan ke otak, lalu muncullah sebuah pikiran. Pikiran ini akan diikuti oleh kemauan menilik lebih dalam dan perasaan yang timbul berbarengan, baik itu senang, excited, sedih atau bahkan marah, yang jelas semuanya menimbulkan pengetahuan atas yang dilihat tadi. Nah, itulah yang bernama akal. Ketiga poin tadi saling kolab untuk menghadapi apapun, bener-bener APAPUN. Bahkan, akal yang menjadi syarat sah perintah Allah dipikulkan kepada manusia. Lantaran akal datangnya taklif perintah agama. Akal yang menjadi alat berpikir, dialah hulu dari segala hikmah.
Namun… Allah tak menganugerahkan akal saja, ada pula hawa nafsu yang membuat kita tidak lepas dari kesalahan, keteledoran, kesilapan, dan kegagalan, sebab manusia itu memang selalu ditentang oleh kesalahan. Kewajiban kita sebagai manusia ialah mengingat benar-benar di tempat mana kaki kita tergelincir dan dimana kita terjatuh tempo hari, di lubang mana dan karena apa.
Lalu muncul pop up pertanyaan lain lagi. “Apa tanda orang berakal?”
Orang berakal itu luas pandangannya memilih mana yang lebih pasti walau sulit jalannya daripada yang mudah tetapi sementara.
Orang berakal itu mengevaluasi dirinya pada hari-hari yang telah lalu dan hari yang masih tinggal ke manakah akan digunakan.
Orang berakal itu tidak berduka cita lantaran ada hal-hal yang diinginkannya dari dunia namun tak sampai atau justru nikmat itu yang meninggalkannya. Jika rugi tidaklah cemas, jika berlaba tidaklah bangga, karena cemas merendahkan hikmah dan bangga menghilangkan timbangan.
Orang berakal itu tahu membedakan manusia dan karena itu pula ia tak canggung bergaul dengan siapapun.
Dan orang berakal itu sadar bahwa di antara akal dan nafsu, atau di antara pikiran dan hawa tidak ada persetujuan. Bahwasanya hawa nafsu adalah laksana kuda yang berlari, dan akal laksana kusir yang memegang kekangnya.
Lalu, ada yang bertanya lagi.. “Lantas adakah keterkaitan ilmu, akal, dan hawa nafsu?”
Pertanyaan itu kutahan jawabnya, hingga aku mampu menyelami lebih dalam.
Terakhir…
Karena hidup kita bukan sembarang hidup
Babi di hutan juga hidup, namun dari harta orang
Anjing di kampung juga hidup, namun dari lebih-lebihan tulang
Kucing di rumah pun juga hidup, namun dari makan-makan sisa
Hidup insan lain letaknya. Lezat akal sempurna basa, mulia hati lautan paham, penuh melaut kira-kira.
Wallahu a’lam.
1 note · View note
theanimatedzorox · 4 years
Photo
Tumblr media
Zorox Wallpaper
30 notes · View notes
its-ffwwxyz · 3 years
Text
Soal mustajab nya doa bersama ujian diantaranya.
Bismillahirrahmanirrahim, Ya Allah hari ini aku mau bercerita dan tentu bersyukur tentang banyaknya cita dan asa yang sudah lama di munajat kan.
Soal paras dan fisik.
Sejak dulu beberapa tahun yang lalu, semasa masih duduk di bangku sekolah, aku memang bukan tipe orang yang fashionable, pintar mengurus diri atau suka bersolek mempercantik diri. Sehari-hari aku terbiasa untuk menjadi biasa saja atau mungkin terlalu tidak memperhatikan?
Seiring berjalannya waktu, dan aku yang bertumbuh. Lama-lama aku beberapa kali jadi mulai memperhatikan atau sadar kalau ternyata aku terlalu simple apa adanya, "Ya sudah gapapa, yang penting aku sehat dan bahagia" kata aku waktu itu di bangku sekolah
Kalau kita kilas balik, aku bukan orang yang sering menjadi topik pembicaraan atau "orang beken" lah istilahnya, gak pernah malah lebih tepatnya. Aku ya aku saja, biasa saja hidup berdampingan bersama orang-orang dengan kepentingan masing-masing.
Aku dengan kesederhanaan yang lebih mengarah ketidakpedulian akan penampilan, bodo amat, tapi sering insecure, tapi yasudahlah jalani saja. Aku dengan wajah polos bertubuh gempal, bahagia dan biasa saja kalo orang-orang menyisipkan "dut" tiap kali memanggil ku. Mungkin bisa di bilang aku menganggap itu semua sebagai ucapan sayang, waktu itu..
Waktu terus berputar, hari berganti, begitu pula lingkungan dan pola pikir orang-orang. Aku jadi mulai sangat memperhatikan dan cemas soal "penampilan fisik". Aku si bodo amat, lama-lama makin tambah insecure kalau terlalu kejauhan mikirin fisik.
Setiap hari aku berdoa, minta dilapangkan hati nya dimudahkan rezekinya, di sehatkan lahir dan batin, wajahnya, fisiknya, cantik luar dalam, tidak gemuk juga tidak kurus, ideal dan di teduhkan parasnya. Amiin Allahuma Amiin
Banyaaak cobaan nya, dari sempat turun beberapa kilo kemudian naik lagi. Dari wajah kusam kemudian break out jerawatan parah, kemudian di kritik a-z dan komentar pedas lainnya. Aku mulai cemas. Tapi Allah Maha Mendengar.
Sabar, berdoa, minta dukungan dari ayah ibu dan teman-teman terdekat. Aku berusah untuk benar-benar bodo amat atas setiap komentar² itu. Sulit, masih sering naik turun tapi aku yakin In sya allah pasti bisa di lewati, amiin pasti in sya allah.
Soal ujian dibalik mustajab nya doa, Subhanallah Masya Allah Tabarakallah. Beberapa doa yang di munajat kan satu persatu in sya allah sedang Allah kabulkan, tapi ada hal yang mulai aku resahkan, aku takut terjebak dalam ujian hati, takut tidak cukup bersyukur, nauzubillah'himindzalik Ya Allah. Perihalah hati ini dan jauhkan kami dari penyakit-penyakit hati yang menghitamkan hati.
Dari cerita dan tulisan hari ini aku mau berbagi dan tentu berdoa, semoga setiap apa yang Allah beri, yang sedang berproses dan atau sedang merintis menjadi lebih baik, semoga Allah ridho lillahita'ala. Semoga aku tidak terjebak dalam kubangan penyakit hati yang berbahaya. Soal fisik dan paras, in sya allah semoga Allah jadikan semua ini sebagai jalan menuju lebih baik lahir dan batin. Tentu bukan karena demi dipuji orang atau demi pembuktian pada orang-orang, tapi in sya allah semata-mata demi Ridho Allah.
Aku pernah mendengar, kalo Aisyah r.a istri Rasulullah SAW itu memiliki paras yang baik dan teduh dengan deskripsi tubuh yang tidak kurus dan tidak pula gendut, tidak pendek dan tidak pula terlalu tinggi. Beliau cantik hati juga fisik nya tidak berlebihan, ideal dan diridhoi Allah.
Menjadi luar biasa Masya Allah, seperti Beliau tentu tidak mungkin, tapi berusah menjadi lebih baik seperti beliau in sya allah pasti bisa. Aku berdoa semoga aku bisa menjadi cantik hati dan pikiran. Cantik jiwa dan raga nya. Cantik karena Allah dan untuk Allah. Cantik bukan hanya fisik nya saja tapi juga isi hatinya..
Bismillah semoga setiap usaha yang sedang diusahakan Allah ridhoi, semoga selalu di ingatkan dan diluruskan niat nya. Ujian terbesar nya ada didalam hati, naik turun, cobaan² pasti ada saja yang menghampiri. Tapi in sya allah, Allah pasti tuntun, Allah pasti tunjukan jalan yang terbaik, hasil yang terbaik juga akhir yang Terbaik.
Sehat selalu firda, semangat berusaha menjadi Lebih Baik setiap apapun itu. Usaha memperbaiki diri, usaha mempercantik diri. Parasnya fisiknya dan yang utama hati nya, jangan sampai terjebak dalam kesombongan atau penyakit hati lainnya. Jangan! Kalau dirasa timbul percikan² berbahaya itu, cepat² istighfar dan luruskan niat.
Bismillah, Fir semua cuma sementara, hanya titipan. Jangan cape buat terus berdoa dan memperbaiki supaya berakhir dengan Istiqomah tanpa penyesalan dan berakhir bahagia. Amiin Ya Rabbal'alamin
Hamasah!
13 Desember 2021
1 note · View note
kayuhansepeda · 4 years
Text
Love Yourself with Anxiety..
3 bulan yang lalu, salah satu teman dekat memintaku untuk mengangkat isu anxiety di podcast kayuhan sepeda. Saat itu perasaan senang bercampur bingung, karena ini pembahasan yang cukup berat untukku. Sebab aku mmerasa tidak puny modal ilmu psikologi.
Qadarullah akhirnya memutuskan untuk sok riset, membaca banyak pendapat dari berbagai ahli psikolog, tapi tetap saja tidak ada titik temu dan benang merah apa yang ingin aku sampaikan di podcast.
Maka, atas izin Allah.. dengan kebaikan yang besar dan tanpa rasa tidak hormat, aku mungkin melangkah melewati isi objektif bagaimana ilmu psikologi membahasnya, dan melihat sesuatu yang lain bagaimana perasaan orang yang cemas tentang diri mereka sendiri, sebab aku tidak profesional dalam bidang ini.
Selama 3 bulan dan menuliskan script podcastnya aku mulai merenung, belajar dan mendapat hikmah, bahwa.. anxiety hadir agar kita bisa lebih paham tentang diri sendiri sendiri dan bagaimana cara memeluk diri sendiri dengan benar, juga… penuh cinta, tulus.
Jika kamu sedang merasa khawatir atau orang² saat ini bilang anxiety, semoga podcast ini cukup bisa memberimu pemahaman dengan baik. Karena selama menulisnya pun aku belajar banyak.
Kalo begitu selamat mendengarkan ya.
With 💙, kayuhan sepeda
Here it is the link👇
1. Spotify
2. anchor.fm/kayuhansepeda
23 notes · View notes
efemeral02 · 3 years
Text
Tumblr media
Ketika sesak napas kambuh dan pakai inhale tetap tidak membaik.
Ternyata sesaknya bukan secara sesak fisik melainkan sesak dari sisi psikologis, emosional, pikiran. Over load, over think, over worried.
Terlalu stress dengan kabar orang-orang terdekat sakit, secara bersamaan, berturut-turut tanpa memberi jeda untuk diri ini mengambil napas. Sesak bund! Gimanapun nyesek. Pernah ditinggal sahabat terbaik karena sakit dan tidak bisa memfollow up kondisinya dengan baik, mengakibatkan saat ini setiap ada kerabat sakit merasa harus selalu update tentang kondisi yang sakit.
Tumblr media
Sekali follow up 4 orang! Kebawelanku menjadi-jadi, memberi saran dari a sampai z, satu per satu, agar recoverynya cepat. Harus memastikan sampai kondisinya sehat, bener-bener tanpa ada keluhan yang tersisa, biar apa? Biar aku tenang dan bisa kembali bernapas dengan baik, sakit banget liat kalian sakit tuh. Ketika salah satu menyatakan sudah sehat namun aku berulang kali menanyakan apakah masih ada keluhan atau sakit yang dirasa atau tidak, karena apa? Karena happy banget tapi masih ga percaya, sampai-sampai membuatnya kesal dengan pertanyaanku yang seolah berharap tidak ingin dia sehat, katanya. Terkaget! mendengar respon seperti itu padahal khawatirnya bukan main sama ini orang satu. Bagaimanapun memang segala yang berlebihan itu tidak baik, terlalu cemas salah satunya.
Kemudian satu per satu mulai sembuh, mood makanku pun ikut kembali. Bahagia lihat kalian sembuh! Semoga sehat selalu, please banget jaga kesehatan, jangan sakit ya 🙂
2 notes · View notes
bbungaanwarr · 3 years
Text
Queen's UP! #2 The Journey Has Just Begun
“Dan kesimpulan yang saya dapat adalah saya lemah”
Saya masih aja sibuk buka-buka teori lagi. Saya ngerasa nggak ada temen yang pas buat mendiskusikan apa-apa yang ada dipikirkan saya. Nggak ada seorang pun yang paham dengan apa yang saya rasakan saat itu. Saya ngerasa udah berdoa, udah berusaha, udah ngelakuin semua yang saya bisa, tapi semuanya nggak berjalan seperti apa yang saya perjuangkan, tidak tampak hasil seperti yang saya harapkan. “apa lagi yang Allah mau dari saya? Saya udah abis. Saya nggak punya apa-apa lagi yang tersisa. Literally nothing”. Rintih saya waktu itu. Jangan ditiru. Itu adalah fase saya yang kufur banget. Berantakan banget. Kalau sekarang diinget-inget sih, waktu itu, berdoanya juga nggak seberapa, nggak berkualitas, nggak disiplin, ibadahnya masih sekedar yang super minimalis dah, hehehe. Dulu, kurang cakep dalam hal beribadah mah nggak kelihatan. Ngerasa asal udah sholat aja tapi belum dibukain jalannya, kesempatannya, peluangnya, eh marah-marah. Hehe. Ya Allah. Padahal sholatnya ya nggak cakep, nggak berkualitas.
Saya bukan orang yang gampang menyerah. Saya adalah anak yang punya banyak kepenginan, saya mau perjuangin itu semua, saya bukan anak yang gampang dibuat nurut atau tunduk kecuali atas dasar diskusi yang bisa saya terima, baru saya nurut. Saat itu yang ada dipikiran saya, mereka udah memperhitungkan konsekuensi atau resiko dari semua yang saya pengenin berdasarkan persepsi mereka. Mereka cuma pengen saya ngelakuin apa yang menurut mereka terbaik buat saya. Saya benerbener rasanya pengen buat berontak dan mereka lihat bukti bahwa saya bisa, saya mampu, bahwa saya juga seseorang pekerja keras yang keren, kasih lihat bukti nyata kalau saya bisa berdiri di kaki saya sendiri. Tapi saya nggak bohong, kalau saya masih takut sama Allah.
Padahal bisa jadi masalah utamanya bukan pada apapun yang mengenai saya, bukan pula pada bagaimana orang lain menyikapi saya belakangan saya sadar, sumber masalahnya ada pada diri saya sendiri. Gimana cara saya memandang kehidupan, gimana mengolah diri saya sendiri jadi lebih baik dan gimana caranya untuk bisa menenangkan kekhawatiran orang tua serta memenangkan keikhlasan mereka. Ada yang bermasalah pada diri saya sendiri berkaitan dengan quarterlife crisis yang saya alami, yang tidak dipahami oleh orang-orang di sekitar saya. Komunikasi jadi terasa tidak pernah berhasil. Jadinya, miskomunikasi dan saya yang nggak terima jadi makin stres. Belum keliatankan kalau sebenarnya sumber masalahnya ada pada kualitas hubungan saya dengan Allah? Hehehe, belum sadar soalnya waktu itu. Bahwa salah satu sumber masalah paling pokok adalah selain pada kualitas hubungan sama Allah, masalah selanjutnya adalah pada gimana saya mengelola diri saya sendiri. Jadi nggak semuanya murni kesalahan pada eksternal saya, memang benar lingkungan eksternal menjadi pemicu dan system yang sudah terbangun karena kebiasaan mulai menunjukkan hasil yang memiliki efek samping yang kurang mengenakkan. Terlebih ada hal yang belum tuntas dengan diri saya sendiri.
Saya nggak ngerti Allah pengen saya harus jadi yang gimana, saya nggak ngerti Allah mau ngajarin saya apa. Saya cuma ngerti, saya pengen a, saya pengen b, c dan d seterusnya sampai z. Saya bakal merjuangin semuanya. Saya memang belum bener-bener mempelajari perjalanan dan medan perjuangan macam bagaimana yang harus saya lalui ke depan.
Karena saya merasa tidak mendapatkan jawaban menenangkan yang saya cari dari buku-buku duniawi, hehe, dari buku-buku teori kemudian saya berpikir bahwa ada yang salah nih. Ada sesuatu yang saya kelewatan nih. Tapi apa ya. Saya lebih dari sekedar hilang arah. Parahnya, saya sempet ada di fase dimana Allah ambil nikmatnya sholat, nikmatnya baca qur’an, nikmatnya tahajud. Itu adalah fase hidup yang bahaya banget. Super bahaya kalau keterusan.
Tapi saya bersyukur, Allah masih kasih kegalauan dan ketidaktenangan dalam hati saya, di hidup saya, walaupun saya nangis-nangis, sempet gampang ngambek jadi kayak orang nggak jelas. Karena akhirnya Allah masih kasih ijin melalui ini semua buat saya bener-bener balik lagi pelajarin semuanya dari Qur’an. Bagaimana bisa kembali ke Qur’an? Nah ini seru nih.
Ada beberapa hal yang memancing saya kembali kepada Qur’an. Salah satunya adalah pengalaman saat kuliah konseling agama yang membahas tentang tujuan penciptaan manusia. Nanti ini dibahas lebih mendalam di bagian selanjutnya. Memori tentang ayat tujuan penciptaan manusia tersebut terngiang-ngiang di dalam kepala saya. Meski belum menjadi sebuah jawaban kuat yang utuh bulat. Belum.
Tapi ide untuk kembali menengok Qur’an adalah hasrat yang berbisik lembut dalam dada saya yang tidak bisa saya bungkam. Terlebih buku-buku teori tidak dapat menenangkan saya dengan sempurna, tidak ada manusia yang bisa menenangkan dan membantu saya.
Melompat jauh dari fase awal menulis ini, akhirnya, saya mulai mengumpulkan informasi-informasi menguatkan yang saya butuhkan. Belakangan saya mendapatkan opini penguat bagaimana teori barat memiliki keterbatasan dalam merumuskan hal-hal yang dapat “menyembuhkan dengan sempurna” atau “menentramkan dengan damai”
Ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ada sisi spiritual (bukan sekedar rutinitas keagamaan melainkan lebih ke spirit keyakinan) yang menjadi solusi percepatan seseorang merasa membaik, mengurangi takut, khawatir dan cemas. Bahkan mungkin lebih lanjut, dalam psikologi kita akan tidak asing dengan istilah invisible hand (adanya campur tangan, adanya kekuatan, adanya pengaruh yang besar diluar dari diri kita sendiri, bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya) dan legitimate suffer (penderitaan yang sepantasnya dilalui terlebih dahulu).
Bukankah dalam islam kita sudah mengenal tawakal, percaya pada pertolongan Allah dan sabar untuk terus berada dalam prasangka baik meski sedang berada pada masa sulit?
Jika belakangan sedang booming istilah meditasi pada pagi hari, bukankah islam sudah mengajarkan tahajud di waktu fajar yang masih sejuk, segar dan tenang? Bukankah gerakan-gerakan sholat terbukti secara keilmuan medis itu bermanfaat baik dan secara psikis, gerakan khusyuk serta ihsan juga terbukti menenangkan, memaksimalkan peredaran darah ke seluruh tubuh? Sebagaimana meditasi menuntun kita untuk fokus, mengatur nafas, konsentrasi, terhindar dari gangguan dan meresapi pikiran-pikiran yang berseliweran hingga kita bisa menguasai diri kita sendiri. Sholat khusyuk dan ihsan pun membutuhkan konsentrasi, ketenangan, fokus, terhindar dari gangguan dan bahkan sangat dianjurkan meresapi makna dari setiap bacaan sholat. Hal-hal ini selalu terbayang di pikiran saya yang masih miskin dan lemah ilmu. Doain ya, bisa terus belajar, Allah bukakan, Allah ijinkan, Allah beri kemampuan, kesanggupan dan kekuatan untuk dipertemukan dengan sumbersumber ilmunya Allah, belajar terus dan bisa sharing, bisa manfaat, bisa jadi ibadah. Amiiin, doa terbaik juga buat temen-temen semua.
Balik lagi. Meskipun di lapangan tidak semua orang mampu menguasai dirinya sendiri dan tidak semua orang mampu menerapkan ritual beribadah dengan baik sehingga pada kasus-kasus tertentu membutuhkan pertolongan orang lain yang lebih mumpuni. Hal ini berkaitan dengan adanya kognisi atau pola pikir yang tidak pas atau maladaptif tetap harus diberi sentuhan treatment. Treatment kognisi dan treatment perilaku. Bahkan dengan adanya narrative treatment, bisa banget menjadikan treatment psikis apapun menjadi berkonten asupan-asupan ketauhidan. Mengembalikan fungsi dan posisi manusia sebagai manusia dan meneguhkan kembali letak penghambaan pada kuasa tuhan, sehingga beberapa hal bisa diserahkan pada Tuhan, dan diri kita cukup melakukan yang sanggup kita lakukan semaksimalnya, demikian sederhananya bagaimana kita tidak lagi jadi membebankan diri kita sesuatu dengan yang diluar kemampuan kita.
Seperti adanya irrational beliefs (keyakinan-keyakinan yang tidak rasional), fixed mindset (pola pikir kaku yang tidak berkembang), membutuhkan reframing yang lebih tepat yang sering kali tidak dapat berhasil maksimal jika dilakukan sendirian. Sehingga membutuhkan fasilitator, dalam hal spiritual bisa jadi dilakukan oleh guru agama atau ustad, selanjutnya adalah coach, mentor atau konselor untuk mengawal dan membantu seseorang lebih sadar diri dan mandiri. Terlebih lagi, urusan kognisi pun mempengaurhi kinerja otak kita yang kemudian berhubungan dengan beragam zat kimiawi di dalam otak sehingga bisa jadi membutuhkan obat-obat tertentu.
Saya pikir, urusan kesehatan mental, medis dan kebiasaan hidup sehat dan deep thinking dalam melakukan kegiatan spiritual dengan disiplin adalah simpul penting dalam kehidupan yang membahagiakan.
Ketika saya sudah mencoba men-treatment diri saya secara kegiatan fisik dengan berolahraga dan psikis dengan melakukan sesi konseling tapi masih merasakan sesuatu yang hilang, maka sisi spiritual saya-lah yang harus saya perbaiki. Akhirnya, seiring berjalannya waktu dan pencarian yang dilakukan, semua ilmu manusia membawa kembali, membenarkan apa-apa yang disampaikan Qur’an dan menguatkan keyakinan kita. Meski pada saat itu, saya masih harus terus berproses untuk meresapi ini dengan lebih baik.
“Dan quarterlife crisis sungguh sesuatu sekali untuk setiap orang.”
***
“When you heal, you will know why you broke”.
Ketika kita mulai merasa membaik dan sembuh, maka itu adalah saat dimana kita akan mengerti mengapa kita kesakitan dan berantakan.
Kenapa saya merasa berantakan? Karena saya jauh dari Qur’an. Kenapa saya merasa tidak berharga? Karena saya jauh dari Qur’an. Kenapa hati saya tidak tenang meski sudah sholat dan membawa Qur’an? Karena saya tidak paham, karena saya tidak mengerti dengan lebih baik, karena saya tidak pelajari apa-apa yang menjadi amanat dari Qur’an dengan sepenuhnya. Karena saya belum menyadari untuk apa ini semua menjadi penting. Semuanya masih sebatas rutinitas dan warisan dari orang tua.
Ditambah lagi, masih banyak aspek soft skill kehidupan yang harus diasah dan dikembangkan, katakan saja seperti self-leading dan kemampuan untuk bersikap asertif, adalah isu-isu lain yang tidak kalah penting. Terlebih kesadaran dalam diri belum tumbuh secara utuh. Kesadaran diri dalam menjalani kehidupan belum tumbuh dengan dasar yang kuat. Ada banyak puzzle pemahaman yang terlompatlompat antara tumbuh dengan sudut pandang kehidupan dunia yang standar sekali keduniaan saja tanpa agama atau tumbuh dengan memakai sudut pandang agama yang lebih kuat. Ketika dua hal ini terpasang sebagai pondasi yang "klik" maka tidak berjalan dengan baik, sering kali kita yang masih muda ini jadi menemukan gap dan tumbuh dalam inkonsistensi. Apakah kemudian, urusan spiritual kita menguat atau justru melebur hilang dan hidup umum seperti orang-orang yang tidak memakai agama sebagai pegangan inti kehidupan.
Sehingga niat tidak kuat, pegangan tida kuat. Ritual rutinitas dilakukan sekenanya atau istilah lembutnya adalah hanya dilakukan secara minimalis. Akhirnya saya mengerti ada fitrah atau potensi pengembangan diri lainnya yang belum maksimal. Padahal fitrah inilah yang menjadi pusat dari semua aspek kehidupan bersinggungan dan menjadi sebuah sinkronisasi yang harmonis. Ada kesadaran dan pemaknaan yang belum solid, belum kokoh. Demikianlah saya goyah dan hilang arah meski sudah sholat dan melakukan terbaik yang saya bisa
“Maka apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” Qs. 23:115
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” Qs. 75:36
“Padahal kehidupan di akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” Qs. 87: 17
Tiga ayat diatas super hebat. Bahwa kita tidak diciptakan untuk menjadi sia-sia, bahwa kita tidak mungkin Allah abaikan, bahwa setiap tindakan kita itu dalam pengawasan dan pencatatan, bahwa itu semua bakal ada tanggungjawabnya, bahwa kita pasti akan kembali ke Allah dan akhirat adalah tempat kembali yang abadi.
Kita nggak bisa sembarangan sama hidup kita, sama waktu yang udah dikasihin ke kita, sama pikiran, sama otak, sama mata, sama mulut, sama omongan, sama tangan, sama kaki. Nggak bisa sembarangan. Nggak bisa seenak jidat. Akhirnya, saya kembali ke istilah self-acceptance (penerimaan diri), self-undestanding (pemahaman diri), self apa lagi ya, ya intinya, saya mulai ngerasain banget bahwa treatment psikologi itu buwanyak banget manfaatnya. Tapi muaranya, kuasa mutlaknya bukan pada ke-aku-an, tapi kepada pemahaman, pengertian, penerimaan, kesadaran bahwa kita itu hambanya Allah. Yang paling ngerti tuh bukan diri kita sendiri, tapi Allah. Bahwa planning paling realistis, paling akurat, paling pas, itu bukan planning yang kita ciptakan, bukan planning yang kita rumuskan. Melainkan planningnya Allah yang saat ini mungkin belum kita pahami, kita nggak ngerti. Tapi Allah paling ngerti yang terbaik, Allah pengen kita berusaha maksimal, tetep percaya serta berserah sama Allah. Apakah setelah berhasil kita jadi sombong dan berbangga atau tetep setia sama Allah, bahwa semua-semuanya adalah apa-apa yang Allah ijinkan atas kita.
Akhirnya prinsip psikologi invisible hand, bahwa ada kekuatan, pengaruh, kekuasaan yang berada di luar diri kita dan terlibat dalam kehidupan itu beneran ada. Yaitu kuasanya Allah, kehendaknya Allah. Saya sama sekali tidak pernah berpikir belajar psikologi atau konseling sebagai sesuatu yang sia-sia. Saya justru merasa sangat bersyukur sekali, karena melalui ini semuanya, terbukalah mata saya bahwa manusia itu potensi punya buwanyak bangeeeet masalah kehidupan kalau dia jauh sama Allah, kalau dia tidak menjalankan potensi diri yang ada di dalam diri semaksimalnya, kalau dia tidak memiliki hubungan yang baik dan sehat dengan sesama, makanya ada toxic relationship dalam hal apapun. Kalau dia memaksakan keadaan dan mewajibkan, mengharuskan diri sendiri dan menanggung semuanya sendirian di pundaknya sendiri. Makanya banyak stres, depresi, sedih, overthinking, tertekan bahkan bunuh diri, sibuk banget cari penghibur diri, pelipur lara. Karena hatinya tidak tenang. Padahal Qur’an sudah memberikan banyak kabar gembira. Dan satu lagi ayat mantep lagi: bahwa hanya dengan mengingat Allah kita menjadi tenang. Yaudah deh, final. Habis sudah pencarian saya. Tinggal ini aja, islam dan ketauhidannya dikuatin lagi, dibelajarin lagi. Dan sisanya adalah pengembangan diri yang terus berlanjut sepanjang masa. Setidaknya, pondasinya benar-benar sudah ketemu dan mari dikuatikan lagi.
Semua masalah dari Allah, solusi terbaik dari Allah. Allah nggak bakal bebanin kita diluar kemampuan kita. Dan Allah nggak bakal mengabaikan kita. Sembari tetap, berjuang di kehidupan dunia adalah penting. Sebagaimana urusan akhirat adalah hasil dari usaha kita di dunia. Jadi urusan dunia juga jangan berantakan tidak terurus dan hanya sekenanya saja. Jangan. Tetep yang terbaik. Diusahakan sebaik-baiknya.
***
Mulai dari sini saya mulai paham dan saya mulai berpikir, bahwa ada misi nih kenapa kita dihidupin di dunia. Tapi apa? Dari ayat di atas, saya paham kalo kita hidup di dunia itu tidak untuk menjadi sia-sia. Bener-bener ada tujuannya, ada misinya yang harus dikelarin, dikerjain, dikejar. Bahwa pada akhirnya, nanti kita semua akan dikembalikan ke sisi Allah. Untuk itu semua urusan, se-semuasemuanya kita ini punya Allah dan bakal balik lagi ke Allah. Pun bahkan ketika kita punya banyak kepenginan, punya buwanyak banget impian, balikin aja ke Allah. Semuanya kudu kita selarasin balik lagi ke harmoni yang udah Allah garisin buat kita. Kita bebas jadi apa aja selama manut nurut sama jalan pakemnya Allah. Merumuskan impian, merumuskan definisi sukses, merumuskan tujuan hidup semuanya harus udah balik lagi selaras sama misi Allah nyiptain kita. Jangan sampai kita udah kerja keras, capek, habis waktu siang malem taunya kita sia-sia dan nggak hasil apapun, karena itu tidak masuk hitungan Allah, karena tidak seperti yang Allah inginkan. Jadi yang penting di sini adalah bukan semata keinginan kita, tapi keinginan Allah. Bakan ketika Allah kasih kita perasaan berkeinginan dan bercita-cita, maka sah-sah saja dalam memperjuangkannya asal caranya sesuai cara yang Allah suka.
Kemudian saya memilih menyikapi Qur’an bukan lagi sebagai “perintah” yang tidak saya mengerti. Sekarang semuanya bakal saya pelajarin. Persis kaya gimana kita belajar pelajaran sekolah maupun kuliah. Kita kudu sadar dan paham ini semua apa. Bukan lagi semata karena takut sama orang tua, bukan lagi semata ini kebiasaan di mata kita dididik dibesarkan, yang kita tidak mengerti makna dan esensinya. Tapi kita harus paham, apa, mengapa dan bagaimananya. Semua ada ilmunya.
Karena beberapa kala semenjak kondisi ini saya alami, saya mulai takut mati. Bukan matinya, tapi saya takut disiksa di neraka dan itu abadi. Membayangkan nyawa keluar dari badan ini dan saya nggak siap membayangkan konsekuensi apa yang harus saya hadepin. Sedangkan hidup masih saya sikapin “semenyenangkan”, “seceria”, “semudah-itu-untuk-berlalu-dan-dilupakan” seakan semuanya berlalu dengan makna yang tidak terlalu berarti. Asal seru-seruan aja, asal saya nggak nakal-nakal amat aja, asal hidup aja, asal bertahan aja.
Yes. Katakanlah saya adalah salah satu dari mereka yang mendzolimi diri sendiri dan bahkan sebagian besar dari kita memang pernah melakukannya. Menjadi seseorang yang melakukan dosa. Dan itulah sebabnya kita kehilangan kebahagiaan. Dimanakah kebahagiaan duniawi yang pernah saya rasakan sebelumnya? Bahkan mungkin itu sederhana tapi itu terasa sangat berharga sekarang (pada saat saya awal-awal nulis ini). Saya sadar banget, bahwa menjadi seseorang yang deket Allah itu adalah berkah terbaik yang pernah ada di dunia. Dan saya kehilangan itu. Saya kangen perasaan damai itu. Perasaan bahwa kehidupan mau gimanapun bentukannya saya, saya akan selalu aman, selama deket dan inget Allah. Saya kangen perasaan itu. Saya berasa kosong.
Saya nangis gemeteran malem itu. Buat siapa aja yang lagi baca tulisan ini, hai! Are you ok dengan kehidupan sementara ini? Bisakan bertahan sedikit lebih lama lagi?
Hidup ini nggak bakal kaya gini selamanya tapi kita harus laluin ini semua. Bertahan, ya? I love you and nabi Muhammad SAW jauh lebih sangat sayang kalian lagi dibanding yang bisa kalian bayangin.
“Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah maha pengampun, maha penyayang” Qs.4:110
Saya mulai berpikir bahwa: Allah akan selalu menggagalkan rencanamu ketika dia tahu bahwa rencanamu akan menghancurkanmu suatu saat di masa depan yang tidak kita ketahui. Jadi, milikilah keyakinan yang kuat. Bahwa kita nggak ada yang punya kekuatan. Semuanya serba seizin Allah. Makanya kita kudu jadi seseorang yang Allah seneng. Saya masih berjuang, masih berjuang banget. Doain ya, saling doain. Tapi semoga aja Allah bantuin kita, tolongin kita buat jadi lebih baik dari hari ke hari. Ketika semuanya tampak begitu tidak memungkinkan, semoga Allah ambil alih segalanya atas hidup kita dan menjaga kita untuk selalu aman.
“Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” Qs. 16: 97
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” Qs. 13:28
Dan sekarang, dengan sangat tidak mudah memang, saya mulai melihatnya dengan lebih jelas apa yang Allah minta buat saya pahamin. Allah pengen kita jadi orang yang punya iman, punya keyakinan karena itu semua yang bakal nyelametin kita sendiri, nguntungin kita sendiri. Bahwa Allah pengen kita jadi orang yang ngelakuin kebaikan. Termasuk ibadah, termasuk bawa manfaat buat orang banyak. Hal itu bisa dilakuin lewat tolong menolong, bisa lewat bayar zakat dan sekedah, bisa lewat saling semangatin, saling sebar kebahagiaan dan hal-hal positif. Dan insyaAllah, Allah bakal bales dengan yang terbaik dari yang terbaik. Karena Allah tidak pernah mendzolimi kita, tidak pernah menyia-nyiakan amalan baik kita sekecil apapun itu. Di bumi. Di akhirat. Maksud Allah semuanya adalah demi kebaikan kita. Allah sayang banget sama kita. Bahasa Tuhan adalah bahasa cinta dan kasih sayang. Kita diminta nurut aja. Allah yang jamin kita aman. Apapun. Dimanapun. Kapanpun. Asal sama Allah.
“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang kafir” Qs. 12:87
“Katakankah, wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, dialah yang maha pengampun, maha penyayang” Qs. 39: 53-55
Jangan berputus asa. Allah maha pengasih, maha penyayang, maha penerima tobat, maha pemberi harapan.
Waktu itu, saya masih dalam proses mencari-cari bagaimana orang-orang di sekitar saya, yang seusia saya, menghadapi fase quarterlife crisis-nya masing-masing. Bagaimana mereka menyikapi pengalaman saat belajar konseling barat dan bagaimana mereka memandang Qur’an, dimana di usia 20an, ada banyak kawan seusia yang tampak penuh hingar-bingar, bermain, berpacaran dan haha-hihi yang eeemmm, mungkin tidak ada cocok dengan saya. Saya mencoba merumuskan jawaban paling ideal, yang dapat saya pertimbangkan. Untung-untung, membantu saya dalam menulis buku ini, hehehe.
Jadi, pernah sekali waktu dalam sebuah diskusi dengan senior kakak tingkat yang lain, tentang pencarian jati diri, masih tentang quarterlife crisis, saya mencoba menyinggung tentang hal ini: tentang tujuan penciptaan manusia dan apa-apa saja yang sudah Allah berikan ke kita. Dan senior kakak tingkat perempuan saya itu bertanya, apakah jawaban bahwa tujuan kita hidup adalah seperti dalam ayat yang barusan kamu sebut itu sudah titik, atau masih koma? Maksudnya, apakah bagi saya, mengiyakan bahwa tujuan hidup kita adalah sesuai yang disebutkan dalam
Qur’an itu sudah final atau masih ada keraguan. Kemudian saya menjawabnya, “kalimat itu sudah titik bagi saya. Tidak boleh ada keraguan disana. Tapi itu belum satu paragraf yang utuh. Paragraf itu masih berlanjut”
Maksud saya, bahwa benar tujuan hidup kita adalah untuk beribadah kepada Allah, mengesakan Allah, bertauhid kepada Allah, dan menjadi khalifah. Tapi berhenti pada pengakuan saja itu tidak cukup. Harus ada eksekusi tindakannya. Harus ada ilmunya. Ilmu bertauhid saja itu banyak banget dan saya masih harus terus belajar. Masih ada pelajaran lebih lanjut untuk menjadi manusia yang utuh, yang masih terus saya cari. Masih ada banyak hal tentang ini yang harus saya pelajari. Mungkin sampai saat ini, proses menjadi manusia yang utuh belum selesai tuntas: bukankah ada istilah belajar sepanjang hayat? Termasuk menjadi manusia utuh yang maksimal sesuai fitrahnya. “sesuai fitrah” adalah arah baru untuk saya pelajari dalam hal mengakutalisasikan potensi dengan lebih optimal.
***
2 notes · View notes
nrlaindh · 3 years
Text
3. Dimensi Diori
Tumblr media
Pasir putih menghampar di pinggiran danau yang luasnya kurang lebih 11 hektar. Setiap pinggiran danau yang digunakan untuk tempat pemandian disebut dengan tangkahan. Setiap tangkahan milik orang-orang tertentu. Diori berjalan kearah tangkahan putri raja. Biasanya dia lebih suka mandi atau membersihkan pakaian di tangkahan wanita biasa, karena disana dapat bertemu dengan semua teman-teman dan ibu-ibu selain anggota kerajaan. Kali ini Diori ingin menenangkan diri, dia pergi ke tangkahan putri raja yang sunyi. Menjujung wadah berisi penuh pakaian di atas kepalanya tanpa di pegang seakan wadah tersebut memiliki perekat. Tangan kirinya membawa alat pembersih sedang tangan kanan nya membawa obor. Tak berapa lama saat hendak sampai di pinggiran danau. seseorang mendorong punggung nya hingga dia terjatuh. Diori heran melihat keadaan, dimana dia saat ini. Apa dia sedang bermimpi. “apakah kakak baik-baik saja, maaf baju kakak jadi kotor?” gadis kecil dengan mata bundar itu berkaca-kaca. “ya tak apa, kakak baik-baik saja” “Aaaaaa” gadis kecil itu mengeluarkan suara jeritan dan meneteskan air mata “cup, cup, cup, tenanglah jangan menangis” “kakak beneran baik-baik aja kan?”, anak kecil itu bertanya dengan sisa tangisnya “iya nggak apa-apa” sambil mengelus kepala gadis kecil tersebut “ini ganti rugi karna aku udah ngotorin baju kakak,” sambil menyodorkan pita rambut yang baru saja di lepas dari rambutnya. “kau orang yang tidak enakan ternyata” “jaga baik-baik ya, itu pita kesayangan ku” “kalau ini pita kesayangan mu, kenapa harus kau berikan padaku, kau bisa menggantinya dengan gelang ditangan mu” “aku lebih menyayangi gelang ini, daripada pita itu” Gadis kecil itu pamit setelah berbicara banyak dengan dengan lawan bicaranya. Pita rambut yang sudah pindah pemilik itu di selipkan di kepala pemiliknya yang baru. Dengan pakaian kotor seusai terjatuh kemudian membersihkan nya dengan air. Masih tersisa bercak-bercak kotor disana tapi tetap berjalan tidak peduli akan penampilannya. Dug…. Kakinya tersandung “aaaaaa…..ini benar benar hari yang buruk”, merengek sambil mengelus kakinya. Diori bangun dari posisi tengkurap melihat sekeliling nya, Tubuh Diori penuh pasir dan lumpur danau, wadah cucian nya rapi tergeletak di samping tempat nya berbaring, dimana dia sekarang apa didalam mimpi, apa dia pindah dari satu mimpi ke mimpi lain. Ah ternyata dia sedang berada di pinggiran danau tangkahan putri raja, dengan pura-pura tidak peduli kejadian tadi sekarang Diori ingin menyiapkan pekerjaan dan beranjak pulang. Semua cucian akhirnya selesai, diori beranjak pulang melewati pasir putih hingga kakinya yang basah dan tanpa alas kembali kotor saat melewati pasir. Sekembalinya dari danau Diori langsung menyimpan cuciannya di belakang, Mendung sedang menyelimuti desa, masih pagi dan binatang ternak belum kepanasan. Di satu rumah tanpa sekat di dataran tinggi samosir. Semua berkumpul dalam ruangan mengelilingi sajian ikan mas arsik seukuran 5,5 kg dengan alas tempayan besar. “acara pernikahan akan di tunda, sampai kita dapat menangkap dua orang penyusup” suara bariton memecah keheningan. Semua orang berpandangan satu sama lain. Ada yang mengangguk karena sudah paham akan situasi dan ada yang bertanya apa yang sedang terjadi. Dirumah ini ada 4 kepala keluarga. Satu sama lain saling memberikan pendapat. Anak-anak mereka yang laki-laki juga ikut memberikan saran. Sementara yang perempuan lebih banyak diam daripada angkat bicara. Musyawarah keluarga itu sepakat untuk tidak dulu mengadakan acara pernikahan antara Diori dan Halomoan. Keadaan kerajaan sedang tidak baik-baik saja. Selesai musyawarah ibu diori menggenggam tangan anak yang perihal pernikahannya sedang dibicarakan, mengelus lembut kepala anak nya dan mengatakan berbagai macam nasehat penenang. “tidak apa-apa bu, aku baik-baik saja, artinya aku masih sedikit lebih lama tinggal Bersama ayah dan ibu” begitu ucap Diori agar ibunya tidak merasa cemas. Setelah itu Diori langsung mengambil alat anyam dan pandan tikar di belakang rumah. Berharap akan menghilangkan kejenuhan dan
sakit kepalanya. “apa kau sedih karna tidak jadi menikah?” Nauli adik Diori datang ntah dari arah mana “tidak juga, aku akan menikah nanti, setelah waktu nya tepat?” “kak,” panggil Nauli “baru saja kau bertanya dengan tidak sangat sopan, dan sekarang kau memanggilku kakak?”, sindir Diori “hehe… apa calon suami mu mencintaimu?” “tentu saja, apa kau iri?” “aku juga akan menikah nanti jika sudah dewasa, sinamot ku akan lebih mahal daripada kakak” “semoga saja” Diori tersenyum “kak, apa aku akan hidup baik-baik saja nanti?” “kenapa kau bertanya seperti itu?” “ayah adalah orang terkuat untuk saat ini, jika ayah meninggal sedangkan aku belum dewasa, apa aku akan tetap berada dekat dengan kerajaan, memiliki kehormatan dan hidup senang?” “nanti saat dewasa, banyak yang akan berubah dalam kehidupan, dan banyak yang menjadi sejarah untuk kenangan. Tidak usah takut.” Nauli tiba-tiba diam menahan sesak didalam hatinya. Pertanyaaan tidak penting nya sekarang hanyalah alasan. Pagi buta tadi, Saat Diori pergi ke tepian danau membawa cucian. Nauli dengan iseng mengejutkan kakak nya, saat di kejutkan tiba-tiba Diori pingsan, dia menggeret tubuh kakak nya dan meletakkan wadah cucian tepat disamping tubuh Diori. Dia tidak berani mengadu kepada ayah atau ibu dirumah Karna menurut pemikirannya itu adalah kesalahannya. Nauli bergetar melihat kakak nya pingsan. Dia sembunyi dan memantau dari balik pohon. Menjaga kakak nya agar tidak terjadi apapun, namun dia sendiri takut mengakui kesalahan. Syukurlah Diori cepat sadar dari pingsan. Melihat kakak nya siuman Nauli langsung pulang menuju rumah seperti tidak terjadi apapun. Hatinya seperti berkedut merasa sangat bersalah telah melakukan hal itu pada kakak nya. Rasa ingin menanyakan apa kakak nya baik-baik saja masih berputar-putar mengelilingi benaknya. Dengan mengutuk rasa takut untuk mengakui kesalahan, Nauli beranjak dari tempat duduk meninggalkan Diori yang masih terbenam dalam pikirannya. ‘Aku mimpi aneh lagi’ gumam Diori. Tujuannya untuk menenangkan diri di danau saat pagi buta malah menjadi kejadian tak terduga. Bisa-bisanya dia tak sadar tertidur dan bermimpi dipinggiran danau. Mimpi-mimpi yang berkelabat membuatnya harus memijat kepala nya. pertama dia bermimpi terjadi perang di sebuah istana yang megah, kedua dia bermimpi bekerja membangun jalan. Dan ketiga dia bermimpi bermimpi menjadi gadis manis di tengah kota. Mimpi-mimpi yang berkelabat selama ini membuatnya stress. Di paksanya mengingat dengan lekat sejak kapan dia mengalami hal seperti ini. Mimpi tersebut berkesinambungan. Dan dia ingat betul urutannya selalu sama. Jika dia bermimpi di sebuah kerajaan Makmur yang sedang terjadi perang, pasti menggunakan pakaian seperti gaun potongan panjang dengan penutup kepala. Jika dia bermimpi sedang di tindas oleh para mandor kerja mengangkat batu-batu besar dia menggunakan pakaian dengan lilitan kain dari pinggang sampai mata kaki, sedangkan payudaranya dibiarkan terpampang, rambut disanggul kebelakang. Dan jika dia bermimpi di tengah kota yang kendaraan nya berbentuk aneh, seperti kotak-kotak dan kuda besi. Dia menggunakan pakaian jahitan formal. ֎֎ “aaaaaa…..ini benar benar hari yang buruk”, Ara merengek sambil mengelus kakinya. Ara melihat kebelakang dan ternyata dia kesandung oleh pembatas parkir. “Pok, nakal kamu, jangan nangis ya kaki Ara” Ara membujuk kakinya sendiri, memukul pembatas parkir dengan tangan nya, seperti yang dilakukan seorang ibu untuk menenangkan anak kecil. Mungkinkah ini karma karena sepulang dari sekolah bukan langsung kerumah, tapi singgah di minimarket untuk sekedar membeli minuman teh kemasan. Belum ada satu jam kejadian Ara terjatuh karena bertabrakan dengan anak kecil serta pakaiannya kotor terkena tumpahan eskrim kini dia kembali tersandung pada pembatas parkir. Membuat kulit kaki yang berwarna kuning langsat itu sedikit mengelupas. Sudah jatuh ketimpa tangga begitu mungkin pribahasanya. Benar-benar bukan hari yang baik. Ara memutuskan untuk melaju dengan sepeda motornya dan pulang kerumah. Ara meminta maaf pada Tuhan di sepanjang
jalan karna tidak ada hari yang buruk, semua hari adalah hari-hari baik yang penuh dengan cerita. Baru saja Ara masuk melewati daun pintu rumah seusai mengucapkan salam , ibunya memerintahkan untuk membeli margarin dan garam di kedai tetangga. Perintah itu membuatnya menarik nafas kasar dan menurunkan bahu, belum lagi tas sandang nya di letakkan, kini dia harus beranjak kembali bahkan sebelum mengistirahatkan bokongnya. Karna tidak mau dikutuk jadi batu, Ara mengambil uang yang diberikan ibu, memperbaiki sematan pita rambut yang diberikan gadis kecil penumpah eskrim. Kemudian melaju bersama motornya. Kata Ibu, beli nya di kedai kecil saja. Jangan terlalu sering beli di minimarket nanti kedai punya rakyat kecil bisa bangkrut. “waaak beliiiiiii”,teriak ara Ara mengulangi panggilannya sampai 3 kali tapi orang yang dipanggil belum datang juga. Ini salah satu yang nyebelin kalau beli di kedai tetangga. Tapi tanpa disadari berinteraksi seperti ini mengandung emosi dan kesabaran, serta kita jadi tahu bagaimana rasanya menahan umpatan ketika si penjual sudah datang. “beli apa ra? Maaf uwak lagi sholat ashar tadi” Tuhkan, gagal mau marah sama tukang jualan nya. kedai tetangga menyimpan banyak kenangan bagi generasi Z dan generasi X. seperti sekedar membeli es lilin, kotak-kotak yang belum diketahui reward didalamnya atau membeli lotre harga 500 perak sebagai awal dari perjudian dini. “Ara pulaang” jerit Ara pada seisi rumah “kenapa lama kali?, ini sayurnya belum di kasih garam, udah kelembutan matang nya” “uwak itu ngajak cerita, jadi ghibah deh” sambil meletakkan barang belian diatas meja. “ara belum makan kan? Ini ambil nasi nya mumpung sayurnya masih panas” Ara dengan cepat mengambil piring di rak, mengisi piringnya dengan 2 centong nasi serta menuju kompor untuk diberikan sayur yang masih diaduk oleh ibunya, tumis campur-campur segala macam sayuran, kata ibu namanya capcay. Notifikasi ponsel Ara berbunyi di saku rok pakaian sekolah yang belum sempat di ganti, baru saja tangan nya ingin meraih ponsel tersebut dengan tangan kiri karena tangan kanan nya di pakai untuk makan. Ibu langsung berteriak dari dapur. “jangan main ponsel kalau lagi makan” “iya buuu” “jangan sempat ibu liat masih di pegang ponsel nya, atau besok gk usah makan, makan aja ponsel kalian itu” Omelan ibu sungguh berisik dibelakang, ara menunda mengambil ponselnya dan menikmati makan siangnya. Selesai makan dan meletakkan piring kotor kemudian bergegas mencuci muka dengan antusias dia membuka ponsel nya. ‘ada pesan dari siapa ya’ jarang-jarang ara menerima pesan From Psychopat [ara…]
[raaaa…]
[araaaaa]
[apa sih gk jelas banget]
[lama banget balasnya]
Read
[lagi apa raaa?]
[bernafas]
[serius ra]
[dua riuss]
[besok kamu sekolah]
[aldo suka ya sama ara? Nanyain nya klise banget]
[iyalah, kalau nggak ogah ogahan gue ladenin lo]
[seperti itu ternyata]
[iya ra]
[jangan mau sama ara, ara tukang main hp kalau boker]
[gk peduli gue]
Read
[dah sore ra.. mandi, bau nya ampe sini]
[aldo gk epic godain cewek, klise]
[udah ah, males ladenin nya. mo mandi juga]
[yaudah, assalamualaikum ara. Mandi gih]
Read
Ara menutup ponsel. Mengambil kotak kecil dari dalam saku pakaian sekolah yang dipakainya. Kotak berukuran 3 X 4 cm dengan gambar timbul membentuk sudut 90 derajat dengan arah sinar dari timur dan selatan. Ara mengerutkan dahi dan menatapi kotak tersebut. Kapan dia menemukan dan melihat kotak ini pertama kali. Alih-alih pusing melihat kotak tersebut, ara menjadikannya mainan kunci dan melekatkan pada resleting tas sekolah paling depan. Ponsel ara berdering membuat saraf motoric nya menyelesaikan aktivitas yang sedang dilakukan dan memutar kepala kearah ponsel. Di layar tertulis jelas Psychopat, bukan tanpa alasan ara memberi inisial tersebut kepada Aldo. Aldo siswa pindahan dari Jakarta sejak kelas X semester 2 itu, adalah anak dari teman SMA ibu nya ara. Flashback On Siang itu hari minggu, ibu, ayah dan adik ara akan pergi ke undangan pernikahan anak temannya dan pulang pada sore hari. Ara ikut menimpali bahwa dia ada acara ngumpul dengan teman nya dan pulang sore juga. Akhirnya mereka berdua membawa kunci rumah masing-masing. Ara ogah-ogahan ikut pergi undangan. Dulu saat masih kecil merengek minta ikut tapi sudah semakin dewasa anak-anak semakin memisahkan diri dari orang tua. Ara tidak jadi kumpul dengan temanya karena banyak yang berhalangan untuk keluar rumah, ada yang karena tugas, ada yang karena acara keluarga dan berbagai macam alasan lainnya. Ara memutuskan untuk me time dengan maskeran dan memanjakan diri. Suara pintu tiba-tiba terbuka, ara merasa hanya berhalusinasi tidak mungkin orang tua nya pulang secepat itu dan semua pintu rumah sudah dikunci, di bukanya timun yang menutup matanya, sudah jelas kunci masih berada di meja rias miliknya. Ara tetap stay dengan headphone dan menunggu masker nya yang belum mengering. Kreekkk… suara pintu dapur terbuka, dug....dug..dug suara langkah kaki yang berdentum pada lantai keramik, lalu tak jeda beberapa saat Ting.. suara piring berdenting. Seperti ada yang sedang bekerja didapur. Cuaca diluar sangat menggelap dan mau hujan. Ara mulai meremas selimutnya. dadanya naik turun sepertinya jangtung sedang memompa lebih cepat dari biasa. Suara batuk terdengar sangat jelas. Dan itu terdengar jelas suara laki laki. Ara memberanikan diri menuju kamar ayah dan ibu. Langkah kakinya sangat pelan hampir tidak menimbulkan bunyi pada lantai keramik, perlahan ara akhirnya dapat masuk kekamar orang tuanya, diambilnya semprotan seperti botol parfum di atas brankas. Dorr… Dorr.. Dorr… “Ya Tuhan lindungilah gue dari segala macam mara bahaya dan ketakutan” seseorang laki-laki meringkuk saat mendengar suara tembakan. Melingkarkan tangan pada kepalanya lalu tiarap. air yang digunakan untuk menyuci sayuran diguyur ara ke kepala laki-laki tersebut. Ara bersiap mengambil lesung yang ada dibawah meja untuk di pukulkan. “ampun, gue bukan orang jahat” Ara dengan sekuat tenaga hendak memukulkan lesung tersebut dengan sekuat tenaga. Namun tangan laki-laki itu tak kalah lebih kilat menangkap lesung. Memutar arahnya dan membuat ara terjatuh. Ara terkesiap dan sedikit takut. Laki-laki itu menarik lesung dan meletakkan nya di atas meja. “lo siapa?” laki-laki itu bertanya “lah aturan aku yang tanya kamu itu siapa?” ketus ara “gue bukan orang jahat, gue Cuma nganterin makanan ini” “terus kenapa kamu bisa masuk rumah saya,” sergah ara “Oke tenang, bisa gk gue bersihin kaos gue dulu?” Ara memberikan handuk kepada laki-laki tersebut, dia mulai menjelaskan dengan telaten menerangkan pada ara bahwa Namanya Aldo. Ibunya memerintahkan untuk mengantar makanan ini kerumah ara dikarenakan Ibu Aldo dan ibunya adalah teman SMA dan mereka baru saja pindah dari Jakarta. Ibu Aldo menelpon Ibu Ara dan memberitahu bahwa anak nya sedang mengantarkan makanan. Aldo yang belum kenal dengan teman lama ibunya itu diberikan nomor telepon dan mengantarkan makanan tersebut bak kurir Gofood.
Ibu ara memberitahukan bahwa mereka sedang tidak dirumah namun ternyata Aldo hampir sampai sebelum orang tua ara melaju lebih jauh. Aldo bertemu dengan ayah, ibu dan adiknya d isimpang gang. Karena tidak dapat memutar balikkan mobil. Ibu ara memberikan kunci rumah dan memerintahkan untuk menyalin makanan di rantang tersebut. Ibu ara memberitahukan bahwa tidak ada orang dirumah, Aldo masuk saja dengan santai. Tiba-tiba suara tembakan benar-benar mengejutkan nya. Ara menyemprotkan spirtus kedalam pistol kemudian menembakkan ke arah Aldo. Pistol tersebut biasanya di isi dengan peluru kelereng untuk menembak monyet di ladang kalau mereka sekeluarga pulang kerumah kakek. Ara tidak menggunakan peluru tadi, pistol itu hanya menimbulkan bunyi saja. “Gila lo ya, gimana kalau tadi ini ada peluru nya” “emang gk tau ara ada isinya atau enggak” “kurang setengah ons otak lo” “biarin” “seandainya gue mati, lo udah belumut dalam penjara” Aldo teringat harus mengembalikan kunci, dia beranjak keluar rumah tanpa pamit. Ara menatap nanar dan melihat kekacauan di dapur dia harus membersihkan nya. sejak saat itu Ara kenal dengan Aldo dan ternyata mereka satu sekolah Flashback Off
Dengan malas Ara mengangkat telepon dari orang dengan inisial Psycopath tersebut. “apasih nelpon-nelpon gk jelas, ara mau mandi. Dasar psychopath” [ra.. zein itu siapa?] “Zein? Zein yang mana? Emang ara punya temen Namanya Zein?” [lo pernah nyebutin nama Zein terus meluk gue] Ara berpikir keras “oh.. yang pas diparkiran ya” [iya, siapa dia] “kepo banget sih pak Psycho” [gue serius nanyak] “ara mau mandi” [jangan matiin dulu] “ara mau mandi titik, gk pake koma” [gue bayarin utang bakso lo tempat pak dadang di kantin] “oke, Zein itu nama cowok didalam mimpi ara, udah ya.. ara mau mandi” Tuutt telepon dimatikan sepihak, Aldo berdecih sial sekali dia harus membayar semangkok bakso harga 10 ribu hanya untuk mendapatkan jawaban bahwa orang yang bernama Zein adalah orang yang berada di dalam mimpi ara. “di matiin sama ara”, Mama Aldo bertanya “iya ma, jutek orang nya” “ibu mu juga gitu waktu muda”, sahut papa Aldo yang datang dari ruang tengah ke dapur “mama juga gitu waktu dulu?” tanya aldo “iya, tapi biasanya yang jutek itu setia” timpal papa Aldo “bukan jutek pa, itu Namanya rasional kalau belum tentu akan jadi milik kita, ya mau ngapain? Buang waktu aja” mama Aldo memberikan penjelasan. Aldo berpikir, mungkin ara memang tipe cewek seperti yang di katakan mamanya. Kalau seperti itu akan sangat susah untuk deketin ara. Dan akhir-akhir ini ara emang aneh. Ara seperti manusia yang memiliki kelainan. Ara bukan pertama kalinya tertidur dan pingsan dengan sangat lama seperti di parkiran. Aldo juga pernah melihat ara tertidur di stadion basket, dan terbangun satu setengah jam setelah usai pertandingan. Ara tidak sadar bahwa aldo berbaring dibelakang kursinya dan mendengar semua ocehan nya. ocehan ara sungguh sangat jelas siang itu “bagaimana mungkin aku bermimpi sedang membangun sebuah jalan, pakaian ku juga sangat vulgar, Oh My God itu sangat menggelikan” Ara kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke kelas. Aldo yang pura-pura menutup mata bangkit duduk setelah suara langkah kaki semakin menjauh, menatap punggung ara dengan nanar. Aldo kembali sadar dari lamunan nya dan berjalan menuju kulkas. Membuka minuman kaleng susu dengan gambar seekor beruang. “ma, ini susu halal gk sih?” “susu yang mana?” “susu ini lah”, nunjukin kaleng susu yang sudah sebagian di minum nya “ya halal lah, kan udah ada label halalnya” “Aldo curiga ini haram ma, soalnya kalau di iklan susu naga, tapi di kemasannya gambar beraang, dan di komposisi di tulis susu sapi” Ibu Aldo geleng-geleng kepala “jangan-jangan ini susu komplikasi dari ketiga elemen naga, beruang dan sapi ya ma?” “anak mu pa, mulai gila” mama Aldo melirik suaminya “ya gimana, mama nya gila, papa nya lebih gila. Makin komplit anak nya” kelakar papa Aldo. Malam itu berlalu begitu saja, alih-alih memikirkan eliksir kehidupan yang dapat menghidupkan orang mati. Kotak kecil dengan gambar kuadran itu jauh lebih aneh, benarkah itu sebuah alat untuk datang ke masa lalu atau berkunjung ke masa depan, kotak itu tidak pernah menunjukkan tanda bahwa dia pernah berfungsi. ataukah kejadian-kejadian mimpi hanya sebuah memori seseorang yang bertransfusi.
2 notes · View notes
zainfmahawani · 4 years
Text
Self Hate
Kadang (atau mungkin seringkali) aku merasa benci diriku sendiri.
Mulai dari hal remeh temeh soal fisik seperti wajahku yang setelannya (ada yg bilang) serem, sombong, songong, angkuh dan seterusnya (yang bikin orang males atau takut deket2 aku), badanku yang dengan mudahnya melebar tapi susah kempesnya, dan lain2. Tapi tentang fisik ini bukan perkara besar, dan aku tidak benar2 membenci fisikku, sesekali saja protes ngga serius2 amat, tapi memang mudah sekali menjawab dan mematahkan protesku sendiri soal itu.
Yang agak parah adalah kebencianku pada diriku sendiri, karakterku. Entah bagaimana dan darimana aku punya penilaian buruk terhadap karakterku sendiri. Aku sering berpikir kenapa aku tidak bisa jadi orang sebaik si A? Kenapa aku tidak punya hati selembut dan setulus si B? Kenapa aku tidak bisa menjadi orang yang terbuka seperti si C? Kenapa aku tidak bisa jadi orang yang supel dan menyenangkan seperti si D? Kenapa aku tidak bisa menjadi orang yang peka seperti si Z? Dan seterusnya... Padahal waktu nulis begini kepikiran, mungkin aku hanya tidak tahu sisi buruk si A, B, C, D dan Z (kan konon tidak ada orang yg sempurna). But still...
Setiap aku merasakan emosi negatif, kesel, marah, kecewa, atau sekedar kurang suka atau kurang nyaman dengan sesuatu, seringkali aku malah menyalahkan diriku sendiri, bahwa tidak seharusnya aku merasa seperti itu. Aku menganggap bahwa dengan merasakan emosi negatif itu maka aku bukan orang baik. Lebay?Iya. Makanya aku benci.
Lalu setiap kali aku membuat kesalahan, bahkan kesalahan yg tidak kusengaja seperti salah menjawab pertanyaan orang, atau salah ucap, aku akan menyalahkan diriku sendiri, semacam ngomelin diri sendiri, dalam durasi yg tidak sebentar. Lebay lagi? Iya! Makanya kan aku benci.
Kebencianku pada diri sendiri itu yang kemudian memunculkan insecurities di dalam diriku. Aku merasa tidak layak dicintai orang lain. Kemudian aku takut untuk menjalin hubungan dengan orang lain, takut kalau ternyata setelah orang2 lain itu tahu tentang diriku, mereka jadi membenciku, just like how I do. Aku merasa tidak nyaman berada bersama-sama orang banyak, aku takut melakukan kesalahan, kemudian orang2 itu membicarakanku dibelakang, lalu keburukan2ku (yang kadang aku tau cuma asumsi seseorang saja) sampai ke dan dipercayai semua orang, lalu semua orang punya penilaian buruk tentangku. Yes, I have that kind of anxiety. Cemas kalau mau kumpul sama orang banyak (golongan tertentu yg tidak terlalu dekat).
Aku overthinking. Iya. Dan itu melelahkan. Menciptakan masalah yg bahkan belum tentu betul2 ada dan akan ada. Itu melelahkan. Iya. Sangat melelahkan
Ditambah lagi. Aku perfectionist. Habislah.
Kenapa aku punya penilaian bahwa aku bukan orang baik? Mungkin karena dalam bayanganku orang baik itu ya baik seutuhnya, tidak pernah merasakan emosi negatif, tidak pernah marah, tidak gampang kesel, tidak pernah ngga suka dengan suatu hal, dan seterusnya. Barangkali yang membuat aku benci diriku sendiri adalah karena aku tidak sempurna baiknya. Tapi apa ada orang yang seperti itu sekarang ini? Sekelasku? Apa ada? Barangkali hanya mereka yang sudah sempurna betul pemahaman agama dan imannya yang bisa begitu.
Kalian yg membaca ini barangkali berpikir 'lebay banget', 'lucu, masa gitu jadi orang?', 'makanya ngga usah overthinking dan perfectionist', dan sebagainya. Tapi ini bukan mauku. Siapa juga yang mau? Capek. Lelah se lelah lelahnya. See? Aku tidak suka jadi diriku, aku tidak suka jadi overthinking, perfectionist, insecure. (Sampai kadang aku berfikir tentang andai aku tidak pernah ada saja)
Tapi aku tahu, aku harus belajar menerima itu semua. Aku harus memeluk diriku sendiri dan perlahan membuatnya percaya bahwa tak apa menjadi seperti ini. Tak apa kalau kadang aku merasakan emosi negatif, tak apa kalau kadang aku membuat kesalahan, tak apa kalau tak seperti orang lain, tak apa menjadi tak sempurna.
Aku tahu, itu semua perjalanan yang tidak mudah dan tidak singkat. Yang kubutuhkan adalah seseorang yang meyakinkanku tentang semua 'tak apa' itu. Meski ia tak selalu ada.
3 notes · View notes
tyaudahlah · 4 years
Text
Dive Deep into Gitasav’s Ocean of Thoughts: “A Cup of Tea”
Tumblr media
I actually have dedicated a place in my instagram feeds for this book, dan post gue DIKOMEN SAMA SI PENULISNYA DONGGG MO NANGIS
Tumblr media
Masyaa Allah berkah ramadhan :”)
Anyway, gue mau cerita lebih banyak dan lebih lengkap tentang kesan pesan gue terhadap bukunya disini. Yes, Tumbr, that’s how much I love you.
Gue beli buku ini tuh karna impulsif aja. Sebelumnya emang udah sempet kepancing sih, pas baca tulisannya Kak Gita di blognya tentang bakal lahirnya buku kedua dia, tapi abis itu gue lupa. Trus pas liat-liat daftar buku di toko buku di shopee, eh ada ni buku nongol. Auto masukin keranjang dong.
Nah, sebelum buku ini nyampe, gue sempet ngerasa ragu. Sempet terlintas dipikiran gue, “duh, bakal bagus ga ya bukunya, bakal worth it ga ya..” karna waktu itu sambil nunggu bukunya, gue baca ebook Filosofi Teras dan gue cemas kalo seandainya A Cup of Tea ga worth it, gue bakal nyesel doang dan mikir, “kalo tau gini, mending beli Filosofi Teras aja..”
Fortunately, selama gue baca bukunya, ga pernah sekalipun terlintas penyesalan. In fact, gue berterimakasih kepada impulsivitas gue.
Kak Gita bilang, selama proses dia menulis buku ini, dia ikut belajar untuk memahami dirinya sendiri. Gue yang baca pun juga mengalami hal yang sama. Gue jadi ikut berkaca dan mengevaluasi pandangan hidup yang gue punya. 
Oke, mari kita kupas satu demi satu bagian favorit gue dari buku ini yang membuat hati gue terus-terusan berkata, “COULDN’T AGREE MORE. SAY IT LOUDER SIS!”. Tapi ada juga satu bagian yang mesti gue renungin dulu, dan ada hal baru yang gue temukan. This is gonna be super long, so here we go.
Pertama, pendahuluan sebelum cerita tentang hari terakhir di London.
“Semakin modern zaman, gue merasa manusianya seperti semakin nggak punya hati, semakin individualis, semakin gampang menjatuhkan satu sama lain, dan semakin nggak bisa memanusiakan manusia. Semua bisa jadi bahan perdebatan dan perkelahian. Jangankan masalah agama, kemanusiaan, dan politik, perkara bubur diaduk dan nggak diaduk aja bisa menimbulkan perdebatan.”
I’ve been thinking about this for a long time, about how humanity seems to fade out through modernity. Gue bersyukur lahir di dunia yang peradabannya udah canggih kek sekarang. Ga kebayang kalo ga ada internet gimana. Tapi gue akui, efek sampingnya ke moral manusia emang jelek. Jaman makin canggih ga lantas membuat manusia jadi lebih baik. “Semakin nggak bisa memanusiakan manusia” adalah bagian yang sangat amat gue setujui. Di era media sosial dimana kita bisa terhubung sama siapapun lewat gadget, kita jadi cenderung lupa bahwa yang diujung sana, pengguna akun lain itu, juga manusia yang sama kek kita. Punya masalah hidup, punya perasaan, punya pikiran. Kita nganggep mereka sebagai objek yang kita maki-maki gimanapun harus bisa pasrah dan nerima. Padahal, ga semuanya harus diselesaikan dengan keributan, bray. Solusinya sederhana banget. Negur atau meluruskan sesuatu tuh boleh, tapi harus paham etika dan pake bahasa yang sopan dan ga bertele-tele sehingga poinnya nyampe. Tapi emang paling gampang tuh pake prinsip: kalo ga suka, ya ga usah diliat. Kalo kata alm. Gus Dur, “Gitu aja kok repot?” 
By the way, gue tim bubur diaduk.
Kedua, bagian sebelum ceritain Mirae.
“Gue jadi suka mikir, kapan terakhir kali gue se-care free itu. Gue nggak ingat. Yang gue tahu, tiba-tiba gue tumbuh menjadi manusia yang suka kebanyakan mikir. Alhasil mimik muka auto-judes karena dahi gue selalu mengernyit.”
WHY IS THIS SO ME? Sebagai penderita RBF, gue jadi mikir, apa beneran gegara gue kebanyakan mikir ya, makanya muka gue jadi begini? Seorang temen gue waktu selesai kelas pernah nyeletuk, “Kapan terakhir kali kalian tidur siang?” trus temen gue yang lain ngebales, “Pas bayi.” Tidur siang sama care free hampir mirip lah ya. Intinya, kita semua kadang capek berada dalam dunia orang dewasa dengan segala bebannya dan merindukan masa-masa ketika kita ga punya keraguan apapun, ga perlu mikir konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil, ga perlu khawatir tentang apa kata orang, dan sebagainya, dan seterusnya.
Ketiga, bagian ngomongin introversion.
“Menurut gue, dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan selain cuma ngobrol-ngobrol seru. Salah satu yang paling krusial adalah mendengar. Mendengar untuk mengerti, bukan untuk merespons.”
Ini prinsip yang baru gue anut sejak awal kuliah. Mungkin ini juga yang ngebuat beberapa temen percayain gue jadi telinga buat mereka. Tapi karena gue paham ini, ketika gue dihadapin sama orang yang ga paham, gue kesel sendiri. Kita semua pasti punya temen atau kenalan yang kalo kita cerita A doang, tiba-tiba dia mutar lampu sorot jadi ke dia dan malah dia yang cerita dari A-Z. Gue ga tau apakah orang-orang semacam itu tuh beneran ga ngerti hal dasar kek gini, atau emang acuh aja?
Ini masih berlanjut di paragraf selanjutnya.
“Menjadi pendengar yang baik itu sulit. Nggak semua bisa melakukan dan butuh proses yang panjang untuk bisa ke tahap itu. Selain mendengarkan kata-katanya, kita juga mesti memperhatikan cara bicara dan intonasi lawan bicara.”
Gue ga inget apakah ada orang yang abis cerita ke gue trus ngomong “Thanks, Tya, you are a good listener.” Tapi, gue pernah dapet apresiasi lewat surat kecil gitu, dari ketua organisasi yang dulu gue ikuti. Dia bilang: “Syuka how you listen to people, it feels you really really appreciate and respect them and it’s not just a gimmick or pretend to listen but you actually listen. I don’t know how you do it, but please keep it up. There’s not much people who actually listen nowadays.” Sampe sekarang kalo gue baca lagi, senyum auto ngembang di pipi tembem gue.
“Menjadi pendengar yang baik itu sulit.” Gue sangat setuju. Ada masanya gue capek, gue pengen mikirin masalah gue sendiri dulu, atau gue lagi mentally drained dan semacamnya, tapi gue juga ga bisa nolak orang yang dateng cerita ke gue karena gue tau, memutuskan untuk menumpahkan perasaan ke orang lain itu ga mudah bagi sebagian besar orang. Butuh mikir berkali-kali sampe akhirnya jari beneran tergerak untuk ngechat si orang lain. Gue juga ga mau orang ini ngerasa sendiri dalam ngehadapin masalahnya. Makanya kalo untuk hal ini, gue selalu mengesampingkan diri gue dulu untuk sementara. Tapi situasi semacam ini jarang sih, karena selain seneng bisa bantu walaupun cuma dengan mendengarkan, gue juga seneng karena selalu ada hal yang bisa gue petik dari dengerin cerita orang lain. It helps me to not become a shallow person.
Masih lanjut,
“Di sinilah pentingnya untuk bisa berempati dengan lawan bicara. Supaya kita nggak menggeser fokus percakapan ke arah kita melulu. Sesekali, sih, nggak apa. Cuma ada masanya lawan bicara butuh divalidasi, bukan dikacangin bahkan sampai dihakimi.”
Gue ga inget sih apakah gue pernah sampe ngehakimin orang yang cerita ke gue. Rasanya ga pernah (dan semoga emang ga pernah). Tapi dulu-dulu, gue punya tendensi untuk ngasih nasihat ke orang itu tanpa diminta. Setelah terlibat konflik kecil sama sahabat gue (dia cowo) waktu tahun pertama kuliah, dari situ gue belajar bahwa kadang orang emang pengen didengerin aja, diiyain atau bahasa kerennya di atas, divalidasi. Ga setiap waktu mereka butuh nasihat atau saran. Mereka mungkin udah tau salahnya dimana atau apa yang harus dilakuin, mereka cuma butuh didengerin doang. Sejak saat itu, setiap kali orang mau numpahin uneg-uneg ke gue, gue selalu nanya dulu, “Lo mau gue dengerin aja atau gue kasih saran juga?”.
Keempat, bagian tentang Sulli dan cyber bulling yang sempet dialamin Kak Gita beberapa waktu lalu.
“Pada saat itu, gue merasa semua orang membicarakan, menggunjing, mencaci maki, mempermalukan gue. Rasanya gue ingin hilang aja dari muka bumi dan semua itu disebabkan oleh kesalahpahaman dan sifat manusia yang selalu ingin menjadi juri dalam masalah yang nggak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.”
Paragraf setelah itu lebih menyayat hati gue ketika dia cerita tentang berbagai cara yang dia lakuin buat nyembuhin luka yang ditorehkan ribuan netizen Indonesia dan gimana masih jelasnya rasa sakit dari luka itu. Gue ga begitu inget rincian masalahnya, tapi gue tau dia sempet jadi trending topic untuk beberapa waktu. Banyak orang di twitter yang menggunggah ungkapan kekecewaan mereka terhadap dia.
Gue udah mengagumi Kak Gita sebelum ada masalah itu. For a split second, I was a bit shock when I see her way of communicating with that man. But then I thought, she must had her reasons of her actions. She had all the right to feel angry, and as someone who knew nothing about the problem, I had no right to be disappointed. Lagipula kalo gue tukeran ada di posisi dia, gue ga yakin bakal ngelakuin hal yang lebih baik, so what’s the point to judge? Gue sadar betul dia tuh manusia yang ga sempurna dan punya perasaan meskipun keliatan kuat diluar. Ngeharapin seorang public figure untuk sempurna tuh ga masuk akal, cuy. Ga akan pernah masuk akal. Makanya setelah masalahnya berlalu, gue masih suka nontonin video dia, sampe sekarang. I didn’t lose any single piece of respect I have for her since the beginning.
“..sifat manusia yang selalu ingin menjadi juri dalam masalah yang nggak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.” Nah, ini. Kadang tanpa sadar, gue begini juga. Tapi gue sebisa mungkin ngestop ini as soon as possible. Ujung-ujungnya selalu balik ke alasan dasar kalo gue ga betul-betul mengerti apa yang terjadi dan gue ga berhak untuk memutuskan siapa yang salah atau yang benar, karena gue ga tau sudut pandang dari pihak-pihak yang terlibat. Lagian ngapain sih mau ambil andil sebagai hakim di masalah orang lain? Hidup gue sendiri udah cukup banyak masalah, kali.
“Having people telling you who you are, how you feel and what you need to do is hurtful and can make you feel less than. Padahal harusnya kita adalah satu-satunya orang yang mengenal diri kita paling dalam. Harusnya hanya kita yang mengerti apa yang sebenarnya kita rasakan. Harusnya kita nggak didikte oleh orang-orang asing apa yang harus kita lakukan terhadap diri kita sendiri.”
Gue ga pernah sih mengalami hal yang serupa karena halo, siapa gue? Tapi gue pernah dilukai oleh label yang dicap ke gue oleh beberapa orang yang ga tau apa-apa tentang gue. And indeed, it hurts so much. Gue sampe nangis yang level susah narik napas, sesak. Baru beberapa orang doang tuh. Apa kabar kalo gue jadi Kak Gita? Gue bersyukur dan bangga banget dia bisa bangkit dan makin tangguh, sehingga akhirnya buku ini terbit. I respect her even more.
Kelima, bagian asal muasal kebahagiaan.
“Menerima diri sendiri itu semacam memahami teori Kimia advance, padahal kita anak Ekonomi. Bukan berarti nggak mungkin untuk dilakukan, tapi butuh usaha lebih. Karena pada kenyataannya, merasa cukup akan diri kita itu susah banget.”
Self-acceptance adalah PR yang sampe sekarang masih gue kerjain. Ada masanya gue mempertanyakan kenapa gue gini, kenapa gue ga gitu. Di saat yang lain, gue ngerasa gue oke-oke aja, ga ada masalah. Gue ga tau apakah gue bisa mempertahankan penerimaan gue terhadap diri sendiri sampe seterusnya, karena seperti kebahagiaan, gue memandang self-acceptance sebagai siklus yang terus berputar. And I guess it’s okay, right? Life is not always sunshine and rainbows, it’s more like daily thunderstorms. As long as I get back on track, I’ll be okay again. 
Ada satu lagi nih,
“Kita suka menyangkal isi hati kita. Biasanya, sih, terhadap perasaan-perasan negatif yang sebenarnya sangat normal untuk kita miliki. Sayangnya karena masyarakat kita senang sekali mengglorifikasi kepositifan dan menganggap buruk emosi negatif, kita sering terperangkap di dalam kepalsuan dan kepura-puraan.”
Kalo gue baca ini dulu-dulu, mungkin gue akan sangat tertohok, Tapi karena gue bacanya sekarang, gue malah tersenyum sambil mengangguk-ngangguk. Sejak baca Backwards Law yang dicantumin Mark Manson di bukunya, The Subtle Art of Not Giving A F, gue mulai memisahkan diri gue dari jenis masyarakat diatas. Gue mulai berhenti untuk kesel ke diri sendiri tiap gue badmood. Gue mulai berhenti untuk marah kalo gue nangis karena hal sepele. Gue mulai belajar untuk menenangkan diri gue sendiri dan berkata “Gapapa, Ya. Gapapa.” Kalo kata Kak Gita,
“Karena sebagai manusia, gue sudah sepantasnya memiliki banyak perasaan.”
Keenam, tentang detachment.
Nah, ga seperti bagian sebelumnya yang langsung gue sambut dengan hangat, bagian yang ini mesti gue renungin dulu. Bukan karena ga setuju, tapi karena detachment adalah hal yang sempet terlintas di kepala gue dan gue snooze, soalnya gue ngerasa aneh mikirin ini. Unlike her, I specifically thinking about detachment from people only. Itu yang bikin gue ragu sama pemikiran gue sendiri. And the moment when I read that she, not only think, but also applied it in her real life, gue jadi dipaksa untuk merenungi ini lagi.
“Sekarang gue adalah manusia yang gemar membuat jarak. Jaraknya pun bermacam-macam, bisa dikondisikan, tergantung dimana letak individu atau hal tersebut di daftar prioritas hidup gue.”
Gue baru inget kalo gue sebenernya udah ngelakuin ini, ga tau sejak kapan. Beberapa orang bilang kalo gue dikelilingi dinding berlapis yang ga kasat mata dan gue susah “diraih”, bahkan ada seseorang yang menggambarkan gue seperti laut, dalam dan susah dijangkau dasarnya. Gue mengatur jarak berdasarkan si orang ini ada di lapisan circle keberapa. Kalo lapisan pertengahan ke luar mah gampang, yang gue pikirin adalah gimana caranya detach dari orang-orang di lapisan bagian dalam. Mikirnya aja udah berat, apalagi ngelakuinnya.
“Selain sebagai perlindungan diri, gue melihat “detachment” sebagai cara gue untuk mengambil alih emosi yang gue punya.”
Gue baru mikir detachment buat ngelindungin diri doang sih, belom sampe ambil alih emosi. Terkait ini, gue pernah kepikiran soal bergantung. Gue tau kalo bergantung ke orang lain itu sejatinya nyusahin diri sendiri di masa depan, karena kalo yang dijadiin tempat bergantung ini pergi, gue bisa rapuh, trus hancur. Emang udah paling bener sih buat bergantung tuh ke Allah semata. Tapi ya.. it’s easier said than done. Kadang jadi bergantung tuh tanpa sadar aja, kek yang gue rasain sekarang ke temen-temen kuliah gue.
Tapi kalo gue pikir-pikir lagi, sepertinya inti dari detachment disini tuh bukan tentang ngejauhin diri lo dari orang-orang, tapi lebih ke gimana caranya lo ga kehilangan diri lo sendiri, sehingga kalo orang-orang pergi dari hidup lo, pada akhirnya lo masih bisa berdiri tegak dengan kedua kaki lo sendiri.
Mari kilas balik. Dulu pas SD, gue ngerasa sesedih itu harus pisah sama temen-temen sekelas. Tapi pas SMP, gue nemu temen baru, trus menjauh secara alamiah aja sama temen SD (beberapa masih ada yang keep in touch sih sampe sekarang). Pas sistem RSBI di SMP dibubarin di kelas 8 dan jadinya semua siswa dicampur dan diacak, gue kecewa karena waktu itu kelas gue lagi kompak banget. Tapi pas ngejalanin kelas 9, ya gitu-gitu aja. Paitnya, gue cuma lanjut teguran sama 1-4 orang doang (itulah salah satunya kenapa diantara SD-SMP-SMA, gue paling ga suka SMP. Penuh omong kosong). Trus pas lulus SMA, lagi-lagi gue patah hati karena harus pisah sama temen sekelas. Tapi seperti yang sudah-sudah, I eventually move on with life. Gue sedih, tapi ga rapuh dan ga hancur karena mereka pergi.
Tapi mungkin itu karena mereka ada di circle lapisan luar..
Gue udah pernah ditinggalin sama orang dari circle lapisan dalam, ketika gue udah bisa mikir dan merasa berduka atas suatu kehilangan. Nenek gue, yang akrab gue panggil dengan sebutan Ama (iya, gue ada darah minang), meninggal tahun 2017, pas banget 2 hari setelah keluar hasil gue lulus SBMPTN. Technically, I was raised by her, dan gue lebih deket sama dia daripada orang tua gue. Makanya hati gue hancur. Beruntung gue punya 2 orang sahabat yang pada saat itu nemenin gue dan bantu gue untuk menata diri, jadi gue ga sampe kehilangan diri sendiri. But still, it takes a long time for me to heal, bahkan sampe hari ini, but I'm glad that I'm making progress, walaupun kadang suka kangen tiba-tiba.
Nah sekarang, si 2 orang itu ada di lapisan paling dalam di circle gue. Mereka yang saat ini gue takutkan bakal hilang. Yang satu udah bareng gue dari 2011, yang satunya lagi dari 2005. Mereka yang paling hapal dan paham gue orang macam apa, dengan segenap kompleksitas yang gue punya. Gue tau kok kalo keadaan bisa berubah kapanpun, bahwa ga ada yang bisa jamin kalo kita bertiga bakal begini terus. Malah, gue udah menduga kalo kita mungkin bakal drifting apart ketika suatu saat (seandainya) kita membangun keluarga masing-masing. But the fact that I get to know myself better each day and trying to be my own best friend is something that I'm grateful for, karena ini jadi bentuk antisipasi kalau-kalau prediksi gue beneran terjadi.
People will always leave, that's what life is about. But to lose yourself is something that, for whatever reason, is not worth to trade with.
Kak Gita juga memberi gue (unintentional) tips untuk memahami diri sendiri:
“Gue sering membayangkan diri gue dibelah menjadi dua. Gita 1 adalah Gita yang suka bertingkah aneh-aneh, bergantung pada berbagai hal yang membuat dia sering kesusahan, sedih, marah, dan kecewa. Gita 2 adalah Gita yang selalu membawa buku catatan. Gita 2 selalu mengamati gerak-gerik Gita 1 tanpa henti dan mencatat itu semua di buku laporannya. Jika Gita 1 mulai berlebihan, Gita 2 memiliki kuasa untuk menegur dan mengubah Gita 1 supaya kembali waras.”
Gue orangnya ga suka cari masalah sama orang lain, tapi kalo sama diri sendiri, debat mulu kek politisi. Gue sadar kalo diri gue terbagi dua, tapi gue baru ngeh, kenapa ga sekalian melabeli dua sisi ini? Ini tuh mempermudah gue buat sort out my thoughts and feelings, gue jadi bisa belajar buat tegas ke diri sendiri, sekaligus bikin gue mempertanyakan pikiran gue sendiri, karena emang ga semua hal yang ada di dalam kepala kita bener. 
Let me try to addapt the concept into my own version. Dasarnya sama, gue akan membagi diri gue jadi Tya 1 dan Tya 2. Tya 1 adalah inner child yang sering khawatir sama pendapat orang, suka overthinking yang ga penting, kadang self-blaming, diliputi berbagai macam ketakutan dan kecemasan, serta lebih emosional. Tya 2 adalah kakaknya Tya 1, yang lebih rasional, dan mencoba yang terbaik untuk memahami dan memberikan pengertian ke Tya 1 kalo dia lagi riweuh sendiri, dan ngepuk-puk Tya 1 kalo lagi sedih. Semoga konsep ini bisa gue aplikasikan dengan baik.
Anyway, masih di deket bagian ini, Kak Gita bicara soal detachment yang dia diskusikan sama Kak Paul, suaminya.
“Tapi buat gue–dan untungnya Paul memiliki pandangan yang sama–menikah bukan soal menggantungkan hidup dengan orang lain, tapi berjalan bersama-sama. Nggak harus berdempetan, tetap menjaga jarak. Menemukan teman hidup, tapi bukan berarti kehilangan diri sendiri.”
Kak Gita juga mengutip buku Khalil Gibran yang judulnya The Prophet, yang bikin gue terdiam,
“Let there be spaces in your togetherness. And let the winds of the heavens dance between you. Love one another but make not a bond of love. Let it rather be a moving sea between the shores of your souls. Fill each other’s cup but drink not from one cup. Give one another of your bread but eat not from the same loaf. Sing and dance together and be joyous, but let each one of you be alone, even as the strings of a lute are alone though they quiver with the same music. Give your hearts, but not into each other’s keeping. For only the hand of Life can contain your hearts. And stand together, yet not too near together. For the pillars of the temple stand apart, and the oak tree and the cypress grow not in each other’s shadow.”
Wow.
Disini, gue lumayan sepakat (lagi) sih. Gue masih jauh banget sebenernya buat ke arah situ, tapi gue pernah sempet mikir tentang istri yang sebaiknya diberikan dukungan sama suami untuk kerja (ga mesti kantoran, pokoknya ada hal yang diurusin selain rumah tangga), supaya dunianya ga berputar di anak sama suami aja, soalnya kalo dunianya pergi, dia bisa apa? Gue juga mikir bahwa kata ‘teman hidup’ itu mesti diterapin beneran, dalam arti suami-istri itu harus saling mendukung, saling mendengarkan, saling membantu. Give and give, not give and take. Nah, penjelasan Kak Gita diatas menambah pemahaman gue tentang pernikahan, dan gue rasa penjelasannya mengarah ke makna cinta karena Allah, ya ga sih? Dengan tetap menjaga diri sendiri dan ga bergantung ke pasangan, sejatinya gue jadi paham bahwa ada Allah diatas semuanya. Gue ga tau apakah gue bisa menerapkan hal yang sama kalau gue menikah, tapi yang jelas, gue akan mencocokkan visi, misi dan frekuensi tentang konsep pernikahan sama si calon, to make sure that we are on the same side.
Ketujuh, semua bagian tentang hal-hal yang Kak Gita alami di luar negeri.
Untuk yang terakhir ini, karena hampir di setiap bab, gue ga akan melampirkan bagian-bagiannya apa aja. Basically, semua cerita tentang pengalaman dia semacam membangunkan mimpi gue yang udah gue kubur dalem-dalem.
Seperti banyak orang lainnya, gue pernah bermimpi untuk jalan-jalan ke negara-negara yang ada di dunia. Gue membayangkan dari rasa nyentuh salju, sampai gimana rasanya berhadapan dengan wajah-wajah dan bahasa yang ga familiar. Mungkin sejak mulai kuliah, gue mulai melupakan ini, karena gue jadi lebih realistis dan ga berani menargetkan hal yang muluk-muluk. Traveling abroad jelas merupakan hal yang sangat muluk, soalnya gue ga terlahir di keluarga Sultan Brunei Darussalam.
Tapi kemudian setelah membaca cerita-cerita doi, tentang banyaknya hal yang ditemui dan dipelajari dari setiap kunjungan ke negara lain, ditambah dengan foto-foto yang membuat gue kagum, mimpi gue seperti menemukan nyawanya kembali. Gue jadi memikirkan ulang tujuan gue mau ke luar negeri tuh apa. Dulu sih cuma buat instagram keknya, tapi sekarang gue mengubah pandangan itu ke orang-orang yang akan gue temui, pola pikir mereka, budaya di negara itu, sejarahnya, dan hal-hal menarik lainnya. 
Sekarang, pertanyaan tersulitnya adalah: gimana caranya gue bisa ke luar negeri? Gue bahkan belom kepikiran tentang tema judul skripsi, let alone pekerjaan di masa depan. Kalo bisa milih, tentunya gue pengen yang bisa bikin gue traveling gratis. Tapi apa? Gue belom tau. Gue bahkan ga tau apakah gue bakal meneruskan karir di bidang yang linier sama gelar gue atau nyebrang ke hal lain yang beneran gue suka dan gue mau lakuin. Nah kalo udah bingung begini, Tya 2 akan menginterupsi dan bilang, “Satu-satu dulu. You’ll figure it out later. Sekarang pelajari sebanyak mungkin skill diluar ilmu kuliah, dan jangan boros, oke?” Okay then, we’ll see. For now, I guess I just have to save my money regularly and be strict to not buy things that I don’t really need at the moment.
Akhirnya, sampailah kita di penghujung acara. Gila ya, panjang juga bacotan gue. Intinya, gue bersyukur banget bisa punya buku ini, karena entah gimana gue bisa relate sama banyak hal didalamnya, meskipun gue sama Kak Gita ga kenal sama sekali, ga seumuran, punya pengalaman hidup yang beda banget, sampe MBTI pun ga setipe (selisih sehuruf doang tapi jadinya ya kita tetep beda, dia INTJ, gue INFJ, lul). Walaupun gue bisa relate, buku ini tetep insightful banget, sih. Gue juga suka minicard (if that’s the right term) My Dream List buat tahun 2020 sama 2021.
Keraguan gue diatas bisa dengan yakin gue jawab. This book is totally worth the money.
Sekian dan selamat menyelam kedalam samudera pikiran seorang Gita Savitri Devi!
11 notes · View notes
intuitionwomen · 4 years
Text
Realita dari Trauma
Bagaimana kamu menanggapi sebuah trigger yang akan membuat kamu cemas, sedih, marah apapun yang melibatkan emosimu mengambil alih?
Apa yang kamu lakukan setelah musibah besar terjadi, I bet you would say 'get over it and move on' but you know it is not easily for any kind of situation right?
What does healing means to you?
Video diatas bagus untuk menjadi motivasi bahwa siapapun berhak berubah dan berhak sembuh dari traumanya. Artinya kita semua berhak mengatakan "masih berusaha move on dari dia"/"masih dalam proses healing dari perpisahan ini" . In daily life daripada memaksakan sesuatu, lebih baik validasi prosesnya.
I see ppl actually zombie. Banyak yang mencoba persue some kind of lifestyle, goals, achievements tapi lupa bertanya siapa dirinya. Ada namanya ego bagian dari diri yang akan memandu untuk maju tetapi sering kali mengambil alih seluruh hidup kita, facade yang merupakan realita semu yg di bangun, juga intuisi yang berasal dari hati. Di pandu langsung oleh sang Maha Pemilik Hati dan jadi tolak ukur kebaikan bukan hanya di dunia tapi di akhirat kelak. Semuanya akan sulit dibedakan sampai tahap healing membawa kita mengenal diri kita yang sesungguhnya.
Kalau sampe detik ini masih suka nangis tanpa sebab, masih gak bisa ngerasain perasaan yang seharusnya keluar saat ada trigger tertentu, masih gak bisa mencintai dan menerima cinta, apa lagi sulit mengintetpretasikan perasaan diri sendiri. Seharusnya kita tanya apa trauma ada trauma yang bermain di alam bawah sadar kita?
Video itu tentang Teal Swan, survivor dari segala jenis trauma dan masih berproses dalam healingnya. Dia korban pemerkosaan pedofilia dalam sekte satanis yang juga membuatnya--anak kecil umur 6 tahun-- masuk dalam lingkaran setan, mengalami serangangkaian hal paling mengerikan, kehilangan anak karna aborsi usia muda, tidak dianggap sebagai anak sebagaimana mestinya oleh orang tua kandung, menyaksikan pembunuhan depan mata, merasakan penyiksaan emosional dan fisik, all aspects in her life totally different and was so tortured by those events. When she choose to heal she choose the path was like hell in everyday life but lead her to spread awareness and helps many ppl.
Why aren't us choose to heal then?
1 note · View note
pecandupetrichor · 4 years
Text
It’s Okay Not to Be Okay
Bukan judul drama korea yang lagi hits itu. Jangan berharap saya akan menulis ulasannya, karena saya belum nonton sama sekali. Belum tertarik. Hahaha.
Well, beberapa waktu lalu saya terlibat deeptalk dengan salah satu teman dekat saya. Awalnya, dia mengeluh dan bercerita tentang ketidaknyamanan psikologis yang sedang dialaminya akhir-akhir ini. Keluhannya masih berkisar pekerjaan monoton yang silih berganti membuat ia muak. Lalu, di tengah-tengah keluhannya, ia merasa tidak enak hati karena harus memuntahkan keluh kesahnya dan membuncahkan negative vibes kepada saya. Saya tersenyum.
“It’s okay. Kamu butuh melepaskan segala unek-unekmu,” ujar saya saat itu.
Sebagai yang pernah belajar psikologi, mendengar celoteh dan keluh kesah orang adalah makanan sehari-hari saya. Kadang saya overwhelmed dengan cerita beban hidup dan kesedihan yang mereka tumpahkan kepada saya. Namun, kadang saya juga bersyukur bahwa mereka masih memercayai saya sebagai tempat membuang sampah-sampah emosional mereka secara blak-blakan tanpa takut dibocorkan. Sebagai pendengar yang baik, itu adalah sebuah kehormatan bagi saya.
“…dengan kamu bercerita, itu membuatmu sadar bahwa dirimu saat ini memang sedang tidak baik-baik saja,” lanjut saya saat itu.
Benar. Ketika kita merasa bahwa sebuah situasi atau keadaan membuat kita cemas, kesal, sedih, atau marah, itu artinya kita sedang mengalami sebuah ketidakseimbangan psikologis. Artinya, kita sedang tidak baik-baik saja. Namun sayangnya, terkadang kita sering mengabaikan perasaan-perasaan itu dan menganggap bahwa apa yang kita rasakan terlalu lebay atau tidak pantas untuk dibesar-besarkan. Hingga kemudian, pikiran kita mati-matian melakukan sebuah denial; menyangkal keadaan tidak nyaman yang sedang kita alami. Penyangkalan tersebut membuat kita harus berpura-pura tegar seolah tidak terjadi apa-apa. Pretending to be okay. Aku rapopo, katanya.
Sayangnya, jika kita terus menerus mengembangkan hal itu, bisa menjadi berbahaya juga bagi kesehatan mental kita. Sebab kita selalu berusaha menyangkal segala emosi negatif yang hadir, menganggapnya pengganggu dan tidak pantas dirasakan, dan berusaha sekeras tenaga untuk terlihat baik-baik saja. Sok tsundere, sok cool.
But hey, inilah yang nantinya jika berlarut-larut dilakukan akan membuat perasaan kita menjadi mati rasa. Numb. Itu ngga sehat secara psikologis.
Intinya sih, dari penjelasan saya yang panjang lebar di atas, saya menekankan bahwa tidak masalah ketika kamu merasa tidak nyaman, cemas, takut, sedih, atau marah ketika dihadapkan pada situasi tertentu. Tidak masalah juga untuk melepaskan emosi negatif itu dengan bercerita atau ngedumel, sebab lewat kamu bercerita atau ngedumel mengenai segala permasalahan dan ketidaknyamanan hidupmu dari A sampai Z adalah sebuah proses kognitif yang terjadi dalam dirimu untuk menerjemahkan bahwa dirimu sedang tidak baik-baik saja. Itu pula adalah proses dirimu bercerita kepada dirimu sendiri secara kesadaran penuh bahwa; “Oh, ini lho, situasi ini membuatku sangat tidak nyaman. Sungguh, saya sedang tidak baik-baik saja!”
Segala unek-unek dan keluh kesahmu adalah sebuah konfirmasi bagi jiwamu pula bahwa kamu perlu bantuan dan tidak sanggup untuk menanggung beratnya beban pikiran sendirian. Itulah yang menjaga kewarasanmu. Itulah yang membuatmu punya self-conscious penuh.
Ada kasus lain, ini terjadi kepada saya akhir-akhir ini. Saya mengalami yang sebaliknya. Setengah tahun belakang, ada sebuah permasalahan yang sedang berusaha saya tuntaskan. Sendirian. Saya berusaha menganalisis sendiri apa yang terjadi pada diri saya dan berusaha mencari jalan keluar versi saya sendiri. Kadang saya merasa kurang stabil, pemikiran saya berubah-ubah. Pernah di satu momen saya merasa saya baik-baik saja, namun di momen yang lain saya merasa tidak baik-baik saja.
Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk bercerita (setelah didesak dengan serangkaian tanya oleh teman terdekat saya). Saya menyadari bahwa dengan bercerita kepada orang lain, artinya saya juga sedang mengonfirmasi kepada diri sendiri mengenai dinamika psikologis yang sedang terjadi pada diri saya. Setelah saya bercerita dan mendapatkan feedback yang membuka insight, saya melogiskan perasaan saya dengan kesadaran penuh bahwa saya sudah baik-baik saja. Ya, sudah baik-baik saja.
Awalnya saya memang sempat kurang baik-baik saja. Namun, ketika bercerita, saya merasa bahwa ternyata lambat laun perasaan kurang baik-baik saja kemarin sudah berganti ke sudah baik-baik saja. Sebenarnya jika menggunakan persentase, sudah baik-baik saja versi saya ini masih 65%. Tapi at least, saya merasa sudah baik-baik saja.
Banyak pemikiran dan pandangan yang coba saya formulasikan selama sesi bercerita itu, hingga kemudian saya meluaskan perasaan saya dan mengasah logika saya supaya tidak terlalu tenggelam dalam ketidakjelasan yang pernah menghantui saya akhir-akhir ini.
Jadi, menyadari bahwa kita ‘sedang tidak baik-baik saja’ ataupun mencari tahu apakah kita ‘sudah baik-baik saja’ itu penting buat kesehatan psikis kita. Apalagi jika kalian adalah tipe orang yang kontemplatif, apa saja jadi pikiran. Bahasa kerennya sih gitu; Kontemplatif. Hahaha.
Apalagi situasi penuh ketidakpastian dan kebingungan di tengah pandemi seperti ini. Kita pasti seringkali merasa cemas, takut, marah, jengkel, atau kesal. It’s okay, Sayang, jangan menyalahkan dirimu jika dirimu merasa tidak sedang baik-baik saja. Bahwa memang bukan hanya dirimu yang merasakannya, semua orang saat ini sedang merasakannya. Siapapun. Di manapun.
Anyway, menyadari bahwa tidak apa-apa sedang tidak baik-baik saja itu adalah salah satu bentuk self-compassion; mengasihi diri, welas asih kepada diri sendiri. Mungkin lebih jelasnya bisa googling sendiri teorinya atau tanya ke yang beneran ahli psikologi. Saya mah apa atuh, cuma lulusan S1 Psikologi. Wkwkwk.
Jika ada dari kalian yang membaca tulisan ini adalah praktisi psikologi atau mahasiswa profesi psikologi mohon dikoreksi ya~
Well, tulisan ini memang seperti jumping conclusion, ya. Hahaha. Sebab sebuah tulisan adalah representasi pemikiran penulisnya. Jika tulisannya semacam lompat-lompat, berarti pikiran penulisnya sedang lompat-lompat juga. Unstable. Jadi, saat ini saya sedang kurang baik-baik saja, dong. Iya, sih. Sedikit. Hahaha.
Adios~
P.S.: Tulisan ini juga sebagai salah satu bentuk konfirmasi saya kepada diri saya sendiri bahwa saya ya seperti ini. Apa sih, Rif~ wkwkwk
Jakarta, 26 Agustus 2020
2 notes · View notes
nvedilia · 4 years
Text
Memang sih ini cuma opini, tapi kalau punya 26 ini sepertinya langit cerah maupun mendung akan selalu aku syukuri~
Dari poin pertama aja udah bikin merasa "hm, bener nih." Poin-poin berikutnya sama juga, bikin manggut-manggut sendiri.
Pernah tuh aku dengar seseorang yang 'merasa' dia udah dijahatin sampe maki-maki itu orang tanpa sepengetahuan orang yang dia pikir ngejahatin. Ada? Banyak.
Mending kalo klarifikasi ke orangnya, nah ini engga~ Malah curhat lagi ke orang yang kurang amanah dan jadinya orang yang dia pikir udah ngejahatin dia tu dibuat bingung. Kok gitu? Salahku apa? Kok disebar-sebar kalo dia sebel sama aku? Alhasil mereka merasa sama-sama dijahatin. Bahkan saking negative thinking terus, ada yang sampe berpikir "good person only exist in the neverland". Ada? Banyak.
Coba deh, kalo kita mikirnya sesimpel :
"Oh, mungkin dia bertindak seperti itu karena dia diselimuti rasa takut, diselimuti rasa cemas. Kira-kira rasa takut dan cemas apa ya yang menyelimuti dia? Yaudah ngga papa kalo pun aku ngga bisa tau jawabannya, yang penting aku berdoa semoga segera Allah angkat rasa takut dan cemasnya."
MasyaaAllah.. Adem banget nggak sih punya pikiran yang seperti itu? Mengutamakan rasa sayang dibanding kebencian. Dan uniknya, semua sikap yang kamu lakukan, kamulah pemegang kendalinya. Iya, jadi jangan merasa kamu harus menuruti sikap yang umum dilakukan di dalam circle-mu. Bukan, maksudku bukan maksa kamu buat nggak ndengerin nasihat orang lain. Cuma, aku tau kamu punya hati, punya prinsip sendiri. Coba dengarkan kata hatimu yang suci itu.. Bangkitkan jiwa pemaafmu.. Bangunkan jiwa positifmu.. Lihatlah, kamu punya banyak kebaikan. Jadi jangan takut untuk melakukan sesuatu yang kamu tau itu baik, jangan pula mencemaskan sesuatu yang bersifat tidak pasti.. Tenanglah.. Karena semua ada porsinya 🌻
.
Baru satu poin aja penjabarannya bisa sebanyak ini, kan?
Jadi.. Markirefdir..
Alias, mari kita refleksi diri~
Sudah seberapa dewasa (secara emosional) kah diri kita?
2 notes · View notes
theanimatedzorox · 4 years
Photo
Tumblr media
Decided to practice some more by animating Zorox eating noodles
12 notes · View notes