Tumgik
#dokter internship
ronakana · 23 days
Text
oink oink
Jadi, tempat kerja saya ini memang terkenal agak toxic ya. Terbukti juga sih tiap tahun dokter honornya ganti. Saya mentalnya kuat dan suka tantangan ya hajar ajalah yang penting deket rumah. Dari yang sebelumnya 37km sekarang cuma 2km. Masa kesempatan ini saya lewatkan?
Tapi ternyata memang kerasa juga toxicnya. Sebelum saya pindah aja ada orang yang udah kepo tanya tanya tentang saya ke temen saya di tempat saya yang dulu. Lah tiba tiba dia bikin statement : dokter ini mah gapernah meriksa pasien, emang bisa dia disini? Lah anjing di tempat saya sebelumnya ada internship. Mereka dikasih jam terbang lebih banyak justru saya repot harus supervisi mereka.
Orang itu saya tandai sih dari sejak awal. Dan menuju 2 tahun perjalanan ternyata ke anjingan orang itu memang sudah berkali kali. Bahkan jadi fokusnya kapus karena ada fraud laporan yang dia bikin.
Karena tempat ini toxic, jadi saya selalu berusaha sibuk setiap jam istirahat. Biar gaperlu punya temen yang ternyata temen juga nusuk dibelakang.
Eeh pas saya ngegym tiap jam istirahat dia ngomentarin : biar apa sih repot repot olahraga pas istirahat? Orang yang ngomong yang bawa bawa galon di paha dan perutnya. Padahal mah biar apa saya olahraga di jam istirahat? Biar gausah ketemu orang orang macam anjing seperti kau inilah di jam istirahat. Jadi tetep bersih pikiranku.
Kalo liat kemalangan sama orang saya suka doain sih. Mudah mudahan ini itu. Tapi kalo dia yang kena kemalangan : hoo panteslah adzab itu soalnya muncungmu kek babik.
Yasudah sekian. Selebihnya dari beban kerja, jarak dll aku betah betah ajasih.
---
PKM, 31 agustus
3 notes · View notes
dromenann · 3 months
Text
Update
Ujian UKMPDG
Sumpah Dokter
men ngamen
Penempatan Internship
dan sekarang udah iship 1 bulan di Malang, tepatnya Kepanjen.
Peristiwa ini semua sudah terjadi sampai pertengahan tahun ini. Another kejadian yang sangat roller coster, deg-degan, stress, senang, kecewa, sampai ikhlas menerima penempatan di daerah yang tidak terpikirkan sebelumnya, dan ternyata sudah 1 bulan dilewati~
Kalau kata Anies Baswedan, "bukan hanya saya yang pernah melewati ini, ada orang yang sebelum saya pernah melewati ini, maka saya pasti bisa melewatinya"
Sepertinya Allah SWT, mengetahui bahwa manusia ini gak pernah jalan-jalan jauh sebelumnya, hari-hari koas hanya dijalani dengan rumah-RS-ngajar yang bikin turun 10 kg :")
Mungkin juga ini momen untuk berfikir dan merenung akan melanjutkan kemana kehidupan yang sudah digapai sebelumnya. Kerja dimana? Lanjut sekolah S2 atau spesialis? atau menunda semua dan menikah (padahal belum ada calonnya). Momen bertemu dengan teman sejawat dari daerah lain, karakter yang berbeda. Momen melihat bumi ciptaanNya dari sudut pandang yang berbeda. Momen melihat kembali hidup yang sudah dijalani sejauh ini.
Beberapa hari lalu lihat postingan instgram dokter Ryan, seorang dokter otak yang aku dengar dan lihat ceritanya melalui podcast, he's truly amazing. Katanya, "Happiness is overrated; I prefer peace." Selama ini aku selalu mempertanyakan tentang kebahagiaan, kapan aku bahagia? kenapa aku ga pernah bahagia? kenapa setiap perasaan bahagia muncul, setelahnya kesedihan selalu hadir?
Ketika kalimat tersebut kubaca, ada benarnya. Mungkin kebahagiaan yang kuinginkan itu berlebihan, sehingga ketika bahagia ituperlahan hilang, kesedihan mendominasi. Maka mungkin, aku lebih memilih kedamaian. Dimana semua momen adalah sama, tanpa ekspektasi berlebih, tanpa merasa kekurangan, kedamaian hadir.
Thank you, doc!
4 notes · View notes
nurramadanims · 9 months
Text
Almost end year reflection
Sama seperti hari-hari terakhir yang tiba-tiba berlalu (untungnya nggak terlalu begitu aja), tahun 2023 ini juga seperti tiba-tiba berlalu. Sekarang tanggal 18 Desember 2023, sama artinya 13 hari lagi menuju 2024. Bener-bener nggak kerasa, tahun yang bagiku punya slogan 'Surprise' ini sekarang udah di penghujung aja. Walaupun nggak bener-bener berlalu begitu aja, tapi ninggalin tahun ini kenapa jadi terasa sedikit mellow ya. Tahun dimana aku beres 17/17 stase koas, jalan-jalan ke dufan, nonton konser raisa, voluntrip ke toba dan baduy, ke beberapa kondangan temen baik, ngejalanin serentetan ujian compre-aipki-ukmppd, pengumuman kelulusan-wisuda-dan sumpah dokter, pertama kali naik gunung dan itu ke merbabu, ikutan race kali buat kali pertama juga, cukup banyak jalan-jalan, kenalan sama hapis lagi, masuk internship, daan entah apa yang terjadi dalam 13 hari ke depan. Sudah seharusnya penuh syukur untuk segala yang telah terjadi. Untuk pencapaian atau penurunan yang nggak keliatan sama mata, semoga bisa lebih baik dan mendekat lagi kedepannya. Tahun 2024 ingin lebih fokus dan content, semoga terjadi :)
3 notes · View notes
rahadisiwi · 2 years
Text
Pijak Pijar Pudar
Bagian satu : Kembali ke Hulu
Kereta api Wijayakusuma seakan membelah terik matahari di tengah sawah dan ladang yang begitu luas di sudut kabupaten Jawa Timur. Sebuah kota kecamatan kecil yang menyepi sejak beberapa jam lalu setelah adzan dzuhur dikumandangkan. Panas siang itu begitu membakar kulit, membuat semua orang sejenak berteduh di bale-bale. Namun tak butuh waktu lama untuk membuat mereka kembali turun ke sawah dan ladang, melawan kemalasan, demi mengisi perut mereka dan anak-anak mereka. Sesulit apapun cuaca tidak akan menghentikan langkah mereka karena tersemat sebuah tanggung jawab untuk menghidupi keluarga.
Padma semula termenung menyaksikan pemandangan para petani yang beristirahat di bale-bale tepi sawah. Tangannya menarik turun roller blind jendela, lalu menghempaskan punggungnya ke kursi kereta yang dingin. Sudah beberapa jam matanya enggan terpejam padahal perjalanan masih belasan jam lagi.. Ia gusar. Pikirannya melayang kesana kemari membayangkan apa yang akan terjadi ketika ia menjejakkan kaki di rumah. 
Di dalam ranselnya tersimpan rapi beberapa surat yang membayarkan jerih payahnya selama setahun ke belakang. Surat tanda registrasi, surat tanda selesai internsip, dan banyak lagi lembar-lembar lain yang sudah digandakan menjadi beberapa salinan dan dimasukkan rapi ke dalam amplop coklat. Padma tinggal menuliskan surat lamaran kerja kemanapun tempat kerja yang dia inginkan.
Padma, seperti ratusan dokter baru lulus lainnya, baru saja menyelesaikan kewajibannya untuk melaksanakan program internship. Program mengabdi, menyumbangkan waktu dan tenaga untuk membantu mengurangi carut marut sistem kesehatan di Indonesia. Tapi baginya, program ini bagai wahana yang penuh kemelut dan huru-hara sebuah fase pendewasaan; belajar bekerja.
Pemikiran-pemikiran teoritis dan idealismenya dimentahkan dengan kenyataan pahit yang ia temukan di lapangan. Sehari-hari ia bergelut dengan keluh kesah pasien, dosis obat-obatan, serta istilah medis dalam kata-kata sederhana yang sekuat tenaga ia pelajari sambil menjaga kewarasan. Rasanya sulit sekali bagi Padma untuk meneruskan pekerjaan. Ia tidak membayangkan seumur hidup harus bergelut dengan hal yang sama, dari pagi hingga petang. 
“Sudah nak, pulang dulu saja. Kita bicarakan di rumah ya. Kalo dari telepon ndak enak dengernya. “ Suara lembut ibu yang berusaha menenangkan Padma terngiang di telinganya. Percakapan yang terjadi beberapa minggu lalu sukses membuat Padma terjaga sepanjang perjalanan.
“Mbak, nanti kalo udah selesai ishipnya mbalik ke rumah ya. Bapak udah telepon temen bapak di UGM biar nanti gampang pas kamu ndaftar.”
“Pak, kalo Padma nggak lanjut PPDS gimana?”
“Lho maksudmu piye?”
“Padma mau kerja dulu aja pak.”
“Kerja gimana maksudmu? Wes to, nggak usah pake kerja nggak papa. Nanti kalo lama kerja jadi males sekolah. Mumpung masih muda segera sekolah, cepat lulus, nanti nerusin klinik bapak“ Nada bicara bapak di telepon meninggi begitu mendengar Padma menolak keinginannya. Padma sudah tahu pola keinginan bapak yang menginginkan anak semata wayangnya kembali ke kota T untuk menyiapkan diri dan meneruskan pendidikan spesialis di UGM, almamaternya. Persis seperti dirinya dulu. 
“Tapi pak,Padma masih mau nyari pengalaman dulu.”
“Halah pengalaman opo to. Nggak ada gunanya. Nanti malah susah sekolah kamu, liat aja. Wes pokoke pulang dulu.”
“Nggih pak.”
Padma terdiam. Ia memutar otak mencari cara untuk menghindari amarah bapak jika tahu anaknya tidak ingin lanjut PPDS. Hari hari terakhirnya ia gunakan untuk memikirkan segala kemungkinan yang bisa ia lakukan dan menyiapkan kata-kata untuk menjawab bapaknya.
Tapi hingga kini, isi kepalanya masih kusut masai. Ia belum juga menemukan cara. 
Beberapa jam lagi, kereta WIjayakusuma akan berhenti di stasiun Jogjakarta. Bapak dan ibu sudah menunggu di parkiran mobil, menunggu anak semata wayangnya.
…..
 *ppds : program pendidikan dokter spesialis
Bagian kedua : Wahana Pertama. Selamat bermain!
Tring!
Sebuah notifikasi email masuk ke dalam gawai Padma. Keringat sebesar bulir jagung mengalir dari dahinya ketika ia melihat header undangan interview di sebuah perusahaan asuransi swasta. Entah bagaimana ia meminta izin ke orang tuanya untuk melangkah ke ibukota. Padahal baru beberapa bulan lalu dia kembali ke rumah setelah setengah tahun mencoba menapak karir sebagai asisten penelitian.
Padma teringat waktu yang ia habiskan untuk mendaftar berbagai pekerjaan dan perusahaan yang ia lamar. Beberapa lowongan  grup pencari kerja, aplikasi dan iklan yang tersebar di internet menyesaki daftarnya. beberapa sudah dicoret dari daftar. beberapa digarisbawahi. 
“Lah kamu juga sih, ngapain sih pakai kerja segala. kan enak tinggal ikut ayahmu. Latihan di klinikmu sendiri, tahun depan daftar sekolah. Selesai.” Utari mengomel ketika Padma curhat melalui telepon tentang kebingungannya yang ingin pergi ke Jakarta. 
“Nggak mau aku jadi spesialis. Capek. Liat bapak kerja kayak gitu ga pernah istirahat”
“Nggak ada kerja yang ga capek lah gila. Udah harusnya kamu tuh bersyukur.”
“Aku jadi dokter aja nggak ngikutin kata hati. nyesel aku sekarang ga ada bahagia-bahagianya. Ngikutin kata bapak tok. Capek.”
“Ya Allah bocah. kamu tuh jalannya udah terang, jelas, tinggal ngikut. Dikira gampang apa sekolah spesialis. Orang-orang rebutan mau jadi darah biru nyari koneksi segala macam demi bisa masuk, ini malah nolak. Asli ga waras.” Nada bicara Utari bersungut. Padma tahu betul kesulitan yang dialami sebagai anak orang biasa, muggle. Ia bekerja banting tulang lebih dari 40 jam perminggu untuk menabung pundi bekal pendidikan spesialis, sekaligus mencari rekomendasi.
“Kemarin magang apa kabar tuh? Resign juga kan?”
Enam bulan lalu ia habiskan di bawah bimbingan dr Mawar, dosen spesialis mata di Kota S. Ayahnya mengizinkan pekerjaan pertamanya sebagai asisten penelitian karena dianggap bisa memberikan rekomendasi dan pengalaman ilmiah untuk Padma.
Berhari hari ia terkurung di dalam lab memelototi mikroskop dan data di layar laptop, lalu menyajikannya dalam bentuk kalimat yang enak dibaca. Padma bagai dikejar deadline setiap waktu untuk membaca dan mengedit jurnal serta artikel, yang kemudian dipublikasikan. Dokter Mawar tidak ada ampun. Artikel miliknya harus selalu siap disajikan sebelum akhirnya dicoret dengan berbagai revisi dari beliau. namun Padma hanya bisa bertahan beberapa bulan. Lama kelamaan kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang setiap keluar lab. Ia mulai muak setiap melihat coretan garis garis besar di naskah artikelnya yang harus diperbaiki. Ritme kerja dokter Mawar yang disiplin membuat ia kesulitan untuk istirahat dan mengambil jeda.
“Iya resign. Nggak kuat aku. dokter Mawar demanding banget.”
“Terus sekarang kamu mau kerja kantoran? yakin? Hahahaha.” Tawa sinis Utari terdengar dari seberang telepon.
“Harusnya kamu bantu aku nyari cara gimana ngomong ke bapak.”
“Satu saranku, udah, ikuti aja kata bapakmu.” “Nggak mau. Udah ya kalo nggak bisa ngasih saran. Pokoknya yang penting udah puas aku cerita. Bye.” Padma menutup telepon, menghela nafas panjang, sebelum melangkah ke meja makan.
Di meja makan, ibu sibuk menata piring dan lauk pauknya. Bapak belum sampai ke rumah. nampaknya makan malam akan mundur menjadi jam 8 malam kali ini.
“Bu, aku mau wawancara kerja di jakarta.”
Ibu berhenti menyendokkan nasi ke piring Padma dan menoleh. 
“Buat apa nduk?” Ekspresi kecewa tidak bisa hilang dari wajah ibu. Dia tidak habis pikir mengapa anak semata wayangnya begitu nekat untuk mencoba berbagai pekerjaan yang tidak jelas ujungnya.
“Ya nyoba kerja bu. Nanti Padma di perusahaan asuransi gitu. Kantoran.  Bantu ngomong sama bapak ya bu.”
“Kan ibu sudah bilang, manut bapakmu aja. Kerja itu nggak gampang. Yakin kamu bisa betah kerja di Jakarta?”
“Kan ibu tau sendiri kalo aku nggak mau spesialis.” “Wes bilang sendiri sama bapak. Nanti ibu bantu pas ngobrol.”
Tak lama bapak pulang dari praktik sore dan bergabung dengan Padma di meja makan. Tanpa banyak bicara bapak melahap nasi yang disajikan ibu. Kelihatan sekali bapak begitu lelah dan kelaparan setelah bekerja. Sedangkan Padma sibuk menyusun kata-kata dan mencari momen yang tepat untuk berbicara ke bapak. Ibukota selalu terlihat seram dan menakutkan untuk orang-orang yang tinggal di daerah. Baik persaingannya, lingkungan kerja, ataupun pergaulannya. Ia yakin sekali bapak tidak akan mengijinkan dia untuk melangkah ke Jakarta. 
“Bapak. Kalo aku kerja di Jakarta boleh kah?”
Seketika bapak langsung meletakkan sendok dan garpu, berhenti mengunyah dan menolehkan wajah ke arah padma.
“Nggak. Nggak boleh.”
.....
Bagian ketiga : Melawan
Jakarta memiliki kilau cahaya sore yang berbeda dengan kota-kota lainnya. Entah bagaimana caranya ribuan partikel polusi yang memadati langit membuat warnanya berubah dari hari ke hari.Ribuan manusia seakan tidak beranjak dari kesibukan dan tempatnya masing-masing meskipun langit semakin muram. Usia mereka perlahan disedot oleh kesibukan, macet dan polusi ibukota.
Begitupun dengan Padma. Setelah melihat dari dekat, ibukota yang awalnya berkilau dan menyenangkan perlahan menunjukkan gelap dan suramnya. Antusiasme yang awalnya menyertai setiap langkahnya semakin lama semakin menghilang. Setiap hari selalu ada saja hal baru yang membuat ia mengeluh. Ia tidak tahu apalagi yang bisa membuat ia bertahan.
Padma menghela nafas sambil memberesi ice box berisi beberapa vial vaksin yang sudah kosong. Pasien dan ibunya baru saja mengorder layanan vaksin home care dari startup tempat Padma bekerja sekarang. Sambil menanti gojeknya datang, Padma menghubungi beberapa orang dan mengakses aplikasinya untuk menandai bahwa ia sudah menyelesaikan tugasnya. 
Jadi maumu apa?
Bahkan masa probation di perusahaan asuransi kemarin tidak bisa diselesaikan karena merasa tidak cocok dengan desk job - pekerjaan di balik meja. Padma bisa mati kebosanan jika harus menghabiskan waktu sembilan pagi hingga lima sore untuk bertahan di depan komputer untuk mengecek dan verifikasi segala klaim yang masuk. Perasaan seru dan tertantang hanya muncul di dua minggu pertama probation, sedangkan sisanya harus dia selesaikan dengan susah payah. 
Hidup itu bukan trial and error
Padma tidak bisa terus menerus hidup dalam Trial and error seperti ini
Semua langkah yang Padma ambil setahun belakangan benar-benar muncul dari keinginannya sendiri. Tetapi entah mengapa akhirnya selalu menyedihkan dan tidak sesuai ekspektasinya. Rasanya hidupnya kini benar-benar tidak menentu. Kegagalan yang terjadi di langkah-langkah sebelumnya membuat ia semakin banyak berpikir dan takut melanjutkan karirnya.
Jadi apa sih yang dikejar?
“Dadi bocah kok sak karepe dewe!” Lagi, perkataan bapak terngiang di telinga Padma. Secuil rasa sesal diam diam menyelinap ke dalam hatinya. Jangan-jangan perkataan bapak memang benar. Jadi apakah ia harus mengikuti apa kata bapak? Ia teringat kata-kata ibunya yang susah payah meyakinkan bapak ketika menguping di balik pintu. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa melunakkan keras kepala dan ego bapak hingga akhirnya mau melepas Padma hidup di Jakarta. dengan satu syarat, jika gagal lagi, maka ia harus kembali ke rumah.
Setelah resign dari perusahaan asuransi, Padma bekerja sebagai vaksinator homecare untuk mengisi waktu luang. Beberapa bulan bekerja pun ia mulai merasa bosan dan tidak bisa maju.  Beberapa kali ia berusaha mengambil seminar dan workshop kedokteran untuk memperkaya CV. Ia masih tidak tahu apa yang dia mau. Kepercayaan diri untuk membangun karir sendiri perlahan pupus ketika satu persatu langkahnya menemui kesulitan.
CV yang disusun demikian indah itu dikirimkan Padma ke beberapa perusahaan. Ia melihat beberapa temannya yang sukses menapaki karir sebagai dokter perusahaan. Hanya bermodalkan sertifikat hiperkes, mereka dapat menabung hingga cukup lumayan untuk melanjutkan studi selanjutnya. Kehidupan yang nampak menyenangkan itu menarik hati Padma untuk berjalan di jalur yang sama.
Dua, tiga bulan berlalu, masih belum ada yang memanggilnya untuk interview. List perusahaan yang membuka lowongan dokter mulai berkurang. Surel penolakan mulai menumpuk di kotak surat Padma. Ia mulai bosan dan lelah menunggu kepastian. Nampaknya, ia kembali menapak jalan yang salah.
“Soalnya pengalaman kerjamu jelek.” Lagi-lagi perkataan tajam Utari membuyarkan lamunan Padma.
“Ya siapa juga yang mau punya pegawai yang resign di setiap kerjanya setelah 3-6 bulan. Kutu loncat mah kalo kata anak sekarang.”
“Terus aku harus gimana sekarang?”
“Udahlah ikutin kata bapakmu aja.”
“Iya ya?”
“Udah dibilangin dari dulu kok. Kerasa kan sekarang?”
“Tapi aku nggak mau jadi klinisi.”
“Sak karepmu wes”
Sayangnya kepala Padma begitu keras seperti batu. Keras kepala Padma tidak lain menurun dari bapaknya. Semakin keras bapaknya memintanya untuk kembali, semakin keras pula ia menolak. Padahal terang sekali Padma menemukan kesulitan. Dan Ibunya pun sudah berkali-kali memintanya untuk kembali ke rumah karena tidak tega melihat anak semata wayangnya kesulitan. Meskipun putus asa, pantang buatnya untuk menjilat ludah sendiri.
Ibarat batu bertemu dengan batu, sama sama keras. Tinggal menunggu salah satu pecah duluan. Entah itu Padma, atau bapaknya.
.......
Bagian keempat : Membentuk Batu
Siapa yang tidak kenal dokter Wiguna. Dia adalah spesialis mata satu satunya di kota T. Sudah lebih dari 20 tahun ia menetap di kota T untuk membaktikan seluruh energi dan ilmunya di kota kecil yang diapit pegunungan itu. Pagi harinya dihabiskan untuk menangani semua pasien mata di RSUD setempat. Sore dan malam harinya dibagi di dua tempat, sebuah RS swasta dan klinik di rumah. Sebuah klinik spesialis kecil dibuka di sebelah rumah untuk membantu beberapa orang yang tidak sempat ke RS. Kadang, ia menggratiskan pengobatan untuk orang-orang tidak mampu. Bahkan menerima bayaran dalam bentuk apapun. Hal ini membuatnya dikenal dan dihormati oleh penduduk kota T.
Ia dilahirkan di keluarga petani di kota kecil yang suram. Seperti klise keluarga petani kebanyakan, beranak banyak, miskin, tidak berpendidikan dan menggantungkan hidup pada hasil bumi. Sebagai sulung dari tujuh bersaudara ia terbiasa mengalah untuk adik-adiknya. dari sesepele potongan telur terkecil hingga peralatan sekolah, selalu ia berikan ke adik-adiknya. tetapi kehidupan keras itulah yang menempanya menjadi seorang yang tidak mau menyerah.
Agaknya sifat keras kepala dan tidak mudah menyerah yang membawanya ke nasib baik.Setelah diasuh oleh saudara jauh yang berada, Wiguna dapat bersekolah di salah satu universitas terbaik saat itu, dengan beasiswa pula. Ia lulus tepat waktu dan menjadi tangan kanan seorang spesialis terkenal di universitas itu. Lagi-lagi dengan keberuntungan yang sama, Wiguna berhasil lanjut ke pendidikan spesialis dan melanjutkan bekerja di kota kelahirannya. Ia bertekad untuk membawa nasib yang lebih baik ke keluarga kecilnya dan tidak akan membiarkan mereka menderita.
Sifat keras kepala itu terang saja diturunkan ke anaknya, Padma. Tetapi sesungguhnya Padma kecil bukanlah anak yang pemberontak. Ia manis, penurut dan tidak pernah membantah kata-kata orangtuanya. Tipikal anak impian yang bisa dibanggakan di pertemuan keluarga manapun. Sebagai anak tunggal, Padma selalu berusaha memenuhi apapun keinginan orang tuanya karena tidak ada lagi yang bisa melakukannya.
Untung saja ia dilahirkan dengan otak yang cukup mumpuni. Ia bisa tembus ke berbagai sekolah favorit di kotanya tanpa banyak usaha. Lama-lama, menjadi yang terbaik adalah sebuah keharusan baginya. Segala perintah dan didikan disiplin Wiguna dengan patuh dilakoni oleh Padma. Tetapi tentu saja dengan reward yang pantas di setiap pencapaiannya, Padma tidak pernah berkekurangan. Tidak ada satu alasan pun yang cukup membuat Padma melawan bapaknya.
Kelembutan ibu menjadi satu-satunya penawar lelah Padma. Kata-kata bapak yang selalu tegas dan keras, berhasil diterjemahkan menjadi lebih lembut oleh ibu. Ibulah yang menjadi perantara keras kepala Padma dan Bapak. Ibu selalu ingin Padma menjadi wanita yang lembut dan penurut. Segala watak keras Padma dinetralkan oleh ibu. Sehingga yang muncul di permukaan adalah diri Padma yang begitu penurut.
Manis, penurut, pintar, dan berprestasi ; sebuah citra diri sempurna yang dibentuk Padma di mata bapak, keluarga, dan teman-temannya. Ekspektasi tertinggi orang tuanya selalu bisa ia penuhi.
Padahal tekanan besar itu perlahan membuat retakan di hati dan mental Padma.
.....
Bagian kelima : Langkah awal kebebasan
Ratih mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur di meja nakas. Di sampingnya Wiguna masih menggulir gawainya, membalas beberapa pesan konsul dari RSUD tempatnya bekerja. Ratih menyelipkan diri diantara selimut tebal untuk melawan dinginnya hawa malam kota T. 
“Pak, gimana kabar Padma ya?” Ratih menerawang ke langit-langit kamar.
“Mbuh, salahe dewe ngeyel..” Wiguna tidak mengalihkan pandangannya dari gawainya.
“Terakhir katanya lamaran kerjanya ditolak lagi.”
“Ben. Biar dia belajar kalo kerja itu susah.”
“Masih punya uang buat makan kan dia. Pasti stress banget dia.”
“Kan aku udah bilang Bu, dia bisa kapan aja mbalik ke rumah kok.”
“Uwes to pak. Anak itu nggak usah dipaksa.”
“Orang tua mau yang terbaik buat anaknya lak yo wajar to bu. Kurang opo sih sakjane. Padma tinggal nglakoni aja to?”
“Ya tapi kan anak juga punya keinginannya sendiri to pak.”
“Padahal anaknya dulu manut, nggak pernah ngeyel. Kok bisa sekarang membangkang begitu.”
Pikiran Wiguna melayang ke beberapa tahun lalu ketika Padma meminta ia untuk diijinkan kuliah di kota S. Hari itu adalah pertama kalinya putri semata wayangnya yang cerdas dan penurut itu mengajukan keinginannya untuk kuliah di tempat yang jauh. Jauh, lebih dari 10 jam perjalanan dari rumahnya. 
“Boleh ya pak?” Padma menunduk dan menggigit bibir. Pertama kali dalam hidupnya ia mengajukan permintaan seberat itu. Pikirannya kacau dan ruwet. Ia sibuk mengatur kata-katanya agar tidak membuat bapaknya marah. Sejujurnya kuliah jauh hanyalah muslihat Padma agar lepas dari pengaruh dan pengawasan bapaknya. 
Tentu saja Wiguna akan meminta Padma untuk kuliah kedokteran. Siapa lagi yang akan mewariskan posisi spesialis di RSUD dan klinik pratama kalau bukan dia. Wiguna sudah beberapa kali menolak spesialis-spesialis baru itu untuk memberikan tempat buat anaknya. 
Dalam beberapa tahun ke depan Padma digadang akan menggantikan posisi bapaknya. Tentu dengan kemampuan yang mumpuni, karena Padma begitu cerdas.
“Aku tetap milih kedokteran kok pak.” Ujar Padma singkat untuk menghapus keraguan bapaknya.
Sedikit perasaan kecewa muncul di hati Wiguna karena Padma tidak mau melanjutkan kuliah di almamaternya dulu. Tetapi untungnya universitas di kota S juga memiliki kualitas yang bagus. Mungkin belajar di tempat yang jauh akan melatih kemandirian putrinya. 
“Boleh.” Hanya sepatah kata tegas yang muncul dari Wiguna. Singkat, tapi cukup memberi pengertian ke Padma. Tentu saja ia menyambut keputusan ayahnya dengan gembira.
Artinya mulai besok Padma akan bebas. bebas menentukan jalan sendiri. Kebebasan yang begitu mahal buat Padma.
Kebebasan untuk mengambil langkah.
.....
Bagian keenam : Jatuh
Padma menghempaskan badannya di kasur kos-kosannya yang sempit. Dari jendela, nampak langit Jakarta mulai berubah kemerahan dengan sorot cahaya yang menguning. Ditiliknya lagi surelnya, berharap satu undangan interview muncul agar dia bisa melanjutkan karirnya dan resign dari pekerjaan vaksinator yang memuakkan ini.
Nihil.
Yang muncul malah permintaan vaksin lain dari keluarga yang rumahnya beberapa belas kilometer dari kos-kosan Padma. Dia tahu bekerja itu melelahkan. Tetapi tidak ada jalan keluar yang muncul di hadapannya saat ini.
Hal paling menyebalkan dari proses menjadi dewasa adalah bertanggung jawab. Bertanggung jawab terhadap pilihanmu, maupun terhadap ekspektasi orang lain. Ketika kita tumbuh dewasa, kita selalu dihadapkan oleh berbagai pilihan untuk menjalani hidup. semua orang berharap kita memilih opsi paling baik dan paling sempurna. Ketika kita memilih jalan yang salah dan akhirnya terjatuh, semua orang akan menyalahkan kita. Tetapi ketika kita memilih jalan yang berbeda dari kebanyakan orang, muncul orang-orang yang akan menyalahkan kita karena menjadi terlalu berbeda dan tidak memenuhi ekspektasi mereka.
Saat ini satu-satunya harapan Padma untuk melanjutkan karir hanyalah interview pekerjaan. Jalan satunya, adalah menempuh jalan milik bapaknya. Sebenarnya jalan yang diberikan oleh bapak adalah tipikal jalan karir anak spesialis kebanyakan. Sama seperti Padma, mereka menanggung ekspektasi yang begitu besar di pundak mereka untuk meneruskan nama dan profesi keluarga. Padma melihat banyak teman senasib dengannya ketika berkuliah. Darah biru, begitu orang orang menyebutnya. Terutama darah keturunan profesor atau staff yang turun temurun mengajar dan memimpin universitas. Anak, menantu, sepupu maupun cucu, semuanya memiliki profesi yang sama. Beberapa teman sekelas Padma benar-benar mewarisi otak encer jenius keluarganya dan menjadi bintang di angkatan. Sedangkan beberapa nampak keberatan dengan segala tekanan yang ada di pundak mereka. Beberapa sering gagal di ujian, bahkan terlambat lulus. 
Sesungguhnya Padma bukan membenci aktivitas sebagai klinisi. Ia hanya tidak ingin menjadi seperti Bapak. Sejak kecil ia memandang bapak sebagai dokter terhormat dan disegani. Tetapi saking sibuknya, waktu yang dihabiskan keluarga menjadi semakin sedikit. Jam makan malam di keluarga mereka harus diundur sampai jam 8 malam demi menunggu bapak selesai praktek. Bahkan terkadang Padma dan ibu harus makan duluan karena bapak baru pulang jam 10 malam. Kesempatan untuk berlibur bersama keluarga harus dibabat habis karena tidak ada dokter yang bisa menggantikan bapak. Waktu istirahat beliau kadang terganggu karena sering sekali menerima telepon konsulan. Tetapi karena dedikasi dan tangan dingin bapak, segala masalah kesehatan mata di kota T menjadi baik. Jarang sekali ada warga kota T sampai harus ke ibukota provinsi untuk berobat. Akibat terburuknya tentu saja keluarga yang dinomorduakan setelah pasien. Padma menjadi tidak dekat dengan bapaknya.
Tiba-tiba gawai Padma bergetar menampilkan kontak ibu di layar
Dari seberang telepon, terdengar isak dan sengal ibu. Bahkan ibu tidak menjawab salam Padma.
“Nak, pulang sekarang ya…”
“Kenapa bu?”
“Bapak terserang stroke.”
Kaki-kaki dan tangan Padma seketika seperti kesemutan. Kepalanya melayang, pandangannya menjadi buram. Kontrol terhadap gerak badan dan tubuhnya hilang.
Rasanya seperti jatuh dari ketinggian.
......
Bagian ketujuh : Ia menyuruhmu kembali
Bus malam yang melaju di tol trans jawa mengembunkan dinginnya AC di kaca jendela. Seluruh penumpang bus yang hanya 6 orang sudah terlelap, kecuali Padma. Matanya seakan menolak untuk terpejam. Dipeluknya ransel hijau kesayangannya untuk menghilangkan dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Segala skenario terburuk sekaan dimainkan berulang kali di kepalanya. 
Bagaimana kondisi bapak? Apakah bapak sudah sadar?
Bagaimana dengan ibu?
Bagaimana kalau bapak meninggal dunia? Apa yang harus aku dilakukan?
Ibu! bagaimana kondisi ibu? Pasti beliau panik.
Bunga mawar merah putih bercampur dengan wangi kenanga yang menusuk ditaburkan di atas tanah merah yang masih basah. Nisan kayu dengan nama dokter Wiguna tertancap di kedua ujungnya. Padma menatap nanar seluruh pelayat yang berpakaian serba gelap. Dilihatnya wajah ibu yang menangis di pinggiran makam. Tidak bergeming dari posisinya sejak setengah jam lalu. saudara-saudara ibu menepuk pundaknya dan membujuknya untuk pulang. Di jalan, Padma melihat berbagai papan karangan bunga dari orang-orang penting memadati jalan pinggir rumah. Sinar matahari yang mulai terik memaksa mata Padma untuk terpicing.
Padma terbangun ketika sinar matahari yang menembus kaca jendela memaksanya untuk membuka mata. 
Ah, mimpi.
Pak Darno, perawat kepercayaan bapak menjemput Padma di terminal. Perjalanan dari terminal menuju rumah sakit hanya membutuhkan waktu sepuluh menit. Di bangsal naratama, dokter Wiguna terbujur di brankar, tertidur pulas. Beberapa alat dan selang infus terpasang di lengannya. Padma melihat ibunya, dengan mata merah dan rambut kusut masai, menggenggam tangan bapak di samping tempat tidur. Beberapa kali ibu mengangkat telepon kerabat dan teman bapak yang mengucapkan keprihatinannya. Para spesialis RSUD kota T menjenguk beberapa kali. Padma, tentu saja termenung di kursi pengunjung, sibuk mencerna apa yang terjadi.
“Dokter Wiguna tiba-tiba pingsan di rumah ketika selesai praktik. Untung bu Ratih segera membawa beliau ke rumah sakit.”
Tengkuk Padma berdesir ketika mendengar cerita Pak Darno di perjalanan menuju rumah sakit.
“Ada pembuluh darah otak yang pecah. Kayaknya karena tensinya tinggi. Kamu tahu kan, pak Wiguna punya darah tinggi?” Tidak. Batin Padma. Ia sama sekali tidak tahu kalau bapaknya sudah lama menderita hipertensi.
“Untung perdarahannya tidak banyak, jadi tidak perlu operasi. Cuma pak Wiguna lumpuh total badan sebelah kanannya.”
“ya Allah…” hanya satu kata yang bisa keluar dari bibir Padma. Ia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Jadi aku harus bagaimana?
Kalut. Padma bingung. Otak dan perasaan bagai ruwet tak beraturan saling memaksa untuk diperhatikan terlebih dahulu. Pandangannya kosong tetapi otaknya riuh dan gemuruh. Padma tidak sanggup mengucapkan apapun yang ada di kepala. Takut melukai ibu, takut air matanya menetes. Mimpi-mimpi buruknya terputar ulang dalam ingatannya. Sejak awal sebenarnya pikirannya sudah semrawut tentang karir. Ditambah lagi tentang keluarga. Rasanya sungguh melelahkan jika tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal itu.
Tangan hangat ibu memeluk pundak Padma yang masih mematung di ruang tunggu. 
Pelukan memiliki sebuah energi magis yang bisa meredam semua emosi yang meluap-luap sekaligus menghilangkan kekhawatiran. Sebuah gestur sederhana yang bisa memaksa otak untuk mengeluarkan hormon cinta dan melepas stress. Seperti saat ini, segala emosi dan kesedihan ibu langsung tersampaikan ke Padma. Setitik air mata jatuh ke pundaknya.
“Udah nak, di rumah aja ya. Ibu takut kehilangan bapak. Ibu takut kehilangan kamu..”
Tiba-tiba sebuah perasaan berat menghantam dada Padma. Air matanya berderai. Perasaan sakit dan takut ibunya seperti godam yang memaksanya untuk sadar dan membuka mata lebar-lebar. Cita-cita, keinginan, dan egonya yang begitu keras dan kaku dengan mudah rontok menjadi pecahan yang jatuh di kaki-kakinya.
Padma adalah anak tunggal. Di pundaknya tersangga sebuah harapan besar untuk meneruskan keluarga dan membawa nama baiknya, beserta harapan dan kebahagiaan keluarga. Harapan satu-satunya. Cita-cita satu-satunya.
Tapi di lubuk hati paling dalam, Padma takut kehilangan bapaknya.
Bagian Kedelapan : Kusut Masai.
Proses rehabilitasi pasca stroke selalu membutuhkan waktu yang lama. Vonis dokter mengatakan jika dokter Wiguna tidak mungkin lagi mengangkat scalpel. Untuk berdiri, makan dan beraktivitas saja beliau perlu dibantu. Sedangkan operasi mata membutuhkan kelincahan dan kestabilan tangan. Untung saja dia masih bisa berbicara dan mengobrol meskipun pelan-pelan. Padma harus bolak balik rumah sakit untuk mengurus kelengkapan pengobatan bapak. Sedangkan ibu tidak pernah sekalipun meninggalkan sisi bapaknya sambil menenangkan hatinya.
Dalam sekejap karir dokter Wiguna hancur. Pelayanan kesehatan mata di kota T menjadi kacau. Poli mata RSUD yang awalnya ramai oleh pasien mendadak sepi dan pasien harus dialihkan ke kota sebelah untuk berobat. RS swasta pontang-panting mencari pengganti dokter Wiguna untuk mengisi jadwal poli dan melakukan operasi. Klinik di rumah terpaksa ditutup. 
Padma sedang menempelkan sebuah kertas pengumuman di kaca depan klinik di rumah ketika sebuah kendaraan bermotor memasuki halaman klinik. Seorang ibu membonceng anaknya yang menangis kencang di jok belakang sambil memegang matanya yang ditutup sebuah kain.
“Ibu ngapunten prakteknya pak dokter buka?”
“Mboten bu, pak dokter sakit. Sementara klinik tutup dulu sampai dokter Wiguna sembuh. Pripun bu sinten sing sakit?” Padma mengintip kain yang menutupi mata anak 9 tahun tersebut. Anak itu menangis kesakitan dan menepis tangan Padma. Ketika berhasil dibujuk oleh ibunya, perlahan ia melepas penutup matanya.
Sebuah kail pancing tersangkut di permukaan bola matanya. 
Pak Darno yang semula sibuk merapikan dan membersihkan alat-alat di poli ikut melihat dan memeriksa anak itu.
“Ibu ngapunten, pak dokter masih sakit. Sebenarnya darurat dan harus diambil itu kailnya, kalau tidak diambil bisa infeksi. Sepertinya harus operasi. Tapi njenengan harus ke kota sebelah bu.” 
“YaAllah pak, ini nggak papa kan tapi?”
“Ini saya bantu bersihkan sekitar luka sama saya tutup kasa steril bu, tapi njenengan tetap harus ke IGD kota sebelah.”
Sambil menunggu pak Darno mengeluarkan set alat dan membersihkan luka, Padma mencari obat anti nyeri di gudang belakang. Paling tidak, obat itu akan menahan rasa sakit sampai anak itu mendapatkan pertolongan.
“Kalo sama pak Wiguna langsung dikerjakan ini mbak Padma. Kasus seperti ini sering sebenarnya di sini.”  Pak Darno melepas pasien tadi setelah menolak uang yang diberikan oleh ibu pasien. Ia menghela nafas panjang dan membereskan peralatan yang digunakan. Padma menghitung seberapa banyak masyarakat yang akan kehilangan pertolongan ayahnya di situasi sulit seperti ini. 
“Banyak sekali petani yang kesini karena kelilipan damen. Kadang kena kulit kayu. Bukan cuma pasien refraksi dan katarak saja.”
“Mbah-mbah sepuh yang kesini kadang nggak kuat mbayar. Pak dokter menggratiskan bahkan beberapa ada yang dibantu biaya biar bisa dioperasi.”
Di kepala Padma, image bapak yang keras dan disiplin bertabrakan dengan cerita yang disampaikan oleh pak Darno. Meskipun keras, banyak sekali pasien yang tertolong dan mendapat kebaikan dokter Wiguna. Seperti dua sisi koin, Padma sejak kecil hanya melihat ayahnya yang keras, disiplin dan sibuk sampai tidak punya waktu untuk keluarga. Di sisi lainnya, bapak adalah seorang dokter yang lembut, ikhlas menolong dan mau membantu yang tidak mampu.
“Mbak Padma tahu alasan kenapa pak Wiguna jadi spesialis mata dan menetap di sini?”
“Mboten pak.” 
“Memang mata itu organ yang kecil, jauh dari nyawa. Tetapi begitu hilang, kualitas hidup orang bisa begitu menurun. Orang desa kadang nggak punya akses ke rumah sakit dan pasrah ketika sakit mata. Pak Wiguna mau membuat mereka bisa melihat lagi, lancar bekerja, dan bisa beribadah dengan baik. Senang sekali lho mendengar mbah-mbah sepuh bisa kembali membaca Al Quran. Padahal awalnya tidak bisa melihat sama sekali.”
Padma membayangkan begitu banyak pahala dan doa yang mengalir dari setiap pasien yang bisa kembali melihat dan beribadah dengan baik. Sebuah perasaan aneh mengaliri sekujur tubuh Padma. Ia merinding mendengar tujuan mulia bapaknya. Sekarang terang sekali alasan mengapa bapak memintanya untuk meneruskan cita-cita bapak. 
Seperti mendapat cahaya penerang, Padma yang awalnya begitu galau dan bingung tentang kelanjutan karirnya kini sudah mengerti. Kebingungannya sirna.
Ia tahu apa yang harus dilakukan
Bagian ke 9 : Jalan tengah
Sisi cantik dari kota T yang selalu dirindukan oleh Padma adalah kualitas udaranya. Tidak perlu perjalanan jauh dan liburan ke kota lain untuk mendapatkan hawa segar dan sejuk. Cukup membuka jendela lebar-lebar di pagi dan sore hari. Pemandangan pegunungan dan sawah hijau di kaki-kakinya menjadi pelengkap satu scene indah yang menentramkan jiwa.
Padma menutup laptopnya dan membereskan print out tugas kuliah. Esok jumat ia harus melanjutkan perjalanan kembali ke rumah setelah menghabiskan hari-hari kerja di kota Y untuk menyelesaikan thesis S2nya. Tidak lupa sebuah pesan singkat dikirimkan ke ibu, mengabarkan kepulangannya. Tak sabar rasanya menghirup segar udara rumah yang mendinginkan pikiran dan hatinya.
Dokter Wiguna sudah mulai pulih. Meskipun tidak bekerja di rumah sakit lagi, beliau masih mengisi praktek di klinik bersama beberapa dokter spesialis yang lain. Klinik sederhana di depan rumahnya berubah menjadi rumah sakit kecil dengan jumlah pasien yang jauh lebih banyak. Ia menghabiskan masa tuanya tanpa perlu khawatir tentang nasib putrinya. 
….
“Bapak ibu, Padma mau bicara.” Sore itu ibu dan bapak sibuk bercengkrama di teras rumah sambil menikmati teh hangat. 
“Ya nak?” 
“Padma mau kuliah S2 saja. Manajemen RS pak. Nanti biar Padma yang urus klinik bapak. Bisa sambil kerja di RS sini juga.”
“Remeh memang pak, tidak sehebat menjadi spesialis. Padma tidak mau jadi klinisi kalau harus mengorbankan waktu Padma bersama keluarga.”
Dokter Wiguna tidak bergeming. Sejak terserang stroke, ia tidak lagi mengharapkan banyak hal. Ia hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarganya di masa senjanya. Tidak lagi memaksa Padma untuk mengambil alih jalannya yang membuat Padma makin menjauh. Ia sadar, jarak antara dirinya dengan putrinya sudah begitu jauh karena kesibukannya. 
Air mata ibu menetes. Di hadapannya, dua orang dengan ego yang sama sama tinggi malah berlomba menurunkan dan memecah ego masing-masing. Ibu sadar betapa banyak keinginan Padma yang harus dikalahkan demi menemani orangtuanya.
Padma menunduk dalam-dalam. Segala rencana yang dia siapkan untuk melanjutkan karir di rumah siap dimuntahkan ke depan orangtuanya. Ia bertekad untuk membangun klinik menjadi lebih besar lagi dan menggandeng beberapa spesialis lain. Tujuan mulia dokter Wiguna tidak boleh berhenti begitu saja ketika dia terserang stroke. Harus ada yang memikulnya dan membawanya ke tempat lebih tinggi. 
Selain karir ada satu hal lagi yang menjadi pembelajaran besar buat Padma. Ia adalah tumpuan keluarga. Masa depan dan cita-cita keluarga. Kebanggan. Keluarganya adalah satu-satunya tempat ia pulang. Bapak ibunya adalah rumah. Sejauh mana dan setinggi apa dia terbang, akhirnya adalah rumah. Padma lah yang menjadi satu-satunya penerus yang wajib merawat rumahnya. Merawat bapak dan ibunya di masa tuanya tanpa harus mengabaikan mimpi-mimpinya. 
Di jalan tengah itu Padma tidak harus memilih antara keluarga atau karirnya. Keduanya berpijar terang, memandu Padma untuk berjalan tanpa harus takut dan tersesat. Ujung jalannya nampak begitu jelas dan indah. Jalan berliku yang gelap sudah ia lewati dengan penuh air mata. Ketakutannya pudar.
Dan kini, kakinya mantap melangkah.
3 notes · View notes
suwardana · 2 years
Text
Ketika jati meranggas -bagian kedua-
Kobe, 28 Januari 2023.
Pagi itu cukup cerah, meski aplikasi cuaca di telepon genggam saya menunjukan angka 4 derajat .
“Setidaknya tidak hujan atau turun salju seperti kemarin-kemarin” saya membatin.
Setelah menghabiskan secangkir kopi dan beberapa helai roti tawar, serta menjemur baju yang baru saja selesai dicuci. Kemudian saya bergegas mandi dan bersiap untuk menuju laboratorium.  
Sekitar pukul 12.30 siang, saya bermaksud untuk makan siang memanfaatkan waktu jeda sambil menunggu 2nd antibody Western Blot. Adalah dr. Ulik yang mengabarkan bahwa Prof Dewa Sukrama telah berpulang kurang lebih sejam lalu.
Prof Dewa tengah mendapatkan perawatan intensif akibat stroke non hemoragik. Tak dinyana kondisinya memburuk serta mengalami henti jantung. Tim medis yang merawat beliau sempat memberikan pertolongan resusitasi. Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.
Sambil mengucapkan terima kasih kepada dr. Ulik atas informasinya, saya mengambil bekal makan siang dan menghabiskannya.
Musim kemarau di Bali ternyata datang lebih cepat. Daun-daun jati pun harus kembali berguguran.
***
Selesai program internship September 2019, kemudian saya bekerja sebagai asisten riset dr. Dwi Fatmawati (saat itu kepala departemen Mikrobiologi). Semenjak itu, saban senin hingga jum’at, saya menjadi penghuni tetap departemen Mikrobiologi—atau Mikro singkatnya.  
“Engken kabarè, Si?”
Pertanyaan yang seringkali ditanyakan oleh prof. Dewa Sukrama ketika bertemu saya.
Meski bersifat basa-basi, namun hal itu adalah lumrah mengingat prof. Dewa sangat jarang berkantor di Mikro. Ketika itu, beliau masih menjabat sebagai Pembantu Dekan I (PD 1) FK Unud. Oleh karenanya, mayoritas aktivitas keseharian beliau berpindah ke ruang dekanat. Hanya sesekali beliau mengunjungi Mikro. Utamanya saat agenda rapat yang rutin dilaksanakan beberapa bulan sekali bersama staf Mikro lainnya.
Sebelum menjabat sebagai PD 1, prof Dewa didapuk sebagai sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) FK Unud. Beliau juga pernah bertugas sebagai ketua unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) FK Unud. Pasti masih banyak lagi riwayat struktural dan organisasi yang beliau geluti namun luput dari pengetahuan saya.
Pertama kali saya mengenal nama prof Dewa Sukrama adalah ketika beliau masih menjabat sekretaris PSPD—ketuanya adalah prof Purwa. Lelucon yang acapkali  terdengar tentang akronim PSPD kala itu adalah Program Studi Para Dewa (PSPD). Mengingat sang ketua dan sekretaris PSPD sama-sama bertitel ‘Dewa’, yakni Dewa Purwa dan Dewa Sukrama.
Saya tidak tahu kapan pertama kali prof Dewa sadar akan keberadaan saya, apakah ketika saya masih menjadi mahasiswa atau ketika rutin berpartisipasi pada riset-riset dr. Dwi Fatmawati. Yang jelas, sebagai seorang yang datang dari latar belakang keluarga non-dokter, penerimaan prof Dewa terhadap kehadiran saya di Mikro teramat-sangat-ramah.
Sebagai catatan, selain profil prof Dewa sebagai “orang penting” di kampus, beliau juga adalah staf paling senior di Mikro. Di tengah iklim interaksi sosial dalam lingkup kampus yang cenderung konservatif, senioritas adalah satu keniscayaan yang tidak bisa dilangkahi. Bersyukurnya ternyata Mikro adalah tempat dimana konsep senior-junior berjalan dengan sangat baik. Senior mengayomi, junior menghormati.
Prof Dewa tak segan memulai percakapan. Topiknya ringan. Semisal asal daerah saya yang ternyata sama dengan beliau. Benar, kami anggota buldog a.k.a Buleleng Dogen. Atau cerita beliau tentang salah satu putranya yang kini kembali ke Buleleng sebagai seorang urolog. Sesekali topiknya agak berat, semisal tentang potensi ekonomi desa-desa di Buleleng Barat.
Pembicaraan paling serius bersama prof Dewa adalah ketika beliau datang di acara pernikahan saya dan istri. Saat itu sedang hangat-hangatnya isu pemilihan rektor Unud. Beliau berkisah tentang polemik, politik, dan manuver-manuver terkait dengan pemilihan rektor. Satu pesan yang saya petik dari cerita beliau adalah tidak ada yang bisa dipaksakan secara rigid. Api itu tidak bisa dipadamkan dengan api. Prinsip tersebut yang selalu beliau pegang saat meniti karier strukturalnya di kampus.
Selepas bertugas sebagai PD 1, kemudian beliau dipercaya menjadi direktur utama (dirut) RS Pendidikan Unud. Saya keburu berangkat melanjutkan studi di Kobe ketika beliau mulai menjabat, sehingga tak banyak yang saya ketahui mengenai sepak terjang beliau selama menjadi dirut RSPTN (begitu kami biasa menyebut RS Unud). Namun satu yang saya bisa ceritakan adalah tentang fokus beliau untuk mengatur ulang laboratorium RSPTN, utamanya terkait dengan tes qPCR COVID-19.
Tak tanggung-tanggung, yang menyanggupi ajakan beliau untuk mereformasi laboratorium RSPTN adalah prof Sri Budayanti. Sebelummya, prof Sri adalah ketua tim laboratorium Satgas COVID-19 Provinsi Bali dengan aktivitas utama berpusat pada instalasi mikrobiologi klinik RSUP IGNG Ngoerah (sebelumnya bernama RSUP Sanglah). Dimana saya adalah salah satu anggota tim bentukan pemprov Bali tersebut.
Untuk diketahui, prof Sri juga adalah salah satu staf Mikro senior. Meski dari urutan senioritas berada setingkat di bawah prof Dewa. Meski termasuk staf senior, prof Sri rela mengulang dari awal untuk membangun sistem yang tertata rapih di RSPTN. Kembali berkutat pada pre-analitik, analitik, dan post-analitik. Tentang prinsip serta alur kerja yang mengikuti kaidah-kaidah biosafety dan biosecurity ketika bekerja dengan kuman infeksius sekaliber SARS-CoV-2. Meninggalkan segala kemapanan dan sistem yang telah berjalan di RSUP Ngoerah. Padahal, bisa saja prof Sri mendelegasikan tugas menata ulang lab RSPTN kepada junior beliau di Mikro. Senior mengayomi, junior menghormati.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan dengan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap kesediaan prof Sri. Namun, rasa-rasanya kesediaan prof Sri untuk turun tangan langsung membenahi lab RSPTN tidak bisa dilepaskan dari sosok prof Dewa, dirut RSPTN sekaligus senior prof Sri di Mikro. Saya rasa tak berlebihan bahwa gestur positif dari prof Sri terhadap prof Dewa adalah implementasi sebaik-baiknya harmoni antara senior-junior yang terjalin di Mikro. Serta pengakuan bagaimana pribadi prof Dewa mampu mengayomi junior-juniornya di Mikro.
Selamat jalan Prof. Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp.MK (K). Terima kasih untuk semua keramahan, inspirasi, dan petuah-petuah yang diberikan. Seperti kata dr. Dwi Fatmawati, prinsip di Mikro adalah pay it forward. Jika kita merasa berhutang budi terhadap kebaikan sesepuh dan senior-senior di Mikro, pastikan bahwa kita menjadikannya sebagai teladan dan bersikap serupa terhadap junior-junior di masa mendatang. Sehingga, nilai-nilai positif itu akan terus lestari di Mikro.
Jika memang akhirnya saya berjodoh di Mikro, astungkara daun-daun jati yang telah berguguran akan menjadi kompos bagi tunas-tunas baru yang akan tumbuh.
5 notes · View notes
afdhalaa-blog · 2 years
Text
Akan ada apa di 2023?
Tahun baru seringkali disambut dengan resolusi2 serta harapan2 baru. Semangat membuat perubahan, semangat menandai bucket list mana yg akan ter-checklist, semangat menghitung pencapaian apa saja yg bisa diraih.
Tahun baru ibarat kanvas baru, dimana orang akan memulainya dengan warna apa yg dirasa tepat untuk tahun ini, semua orang bebas mewarnainya.
Tidak ada yg bisa meramal akan jadi apa tahun ini, seperti halnya kita tidak tau akan dijajah mixue di tahun 2022, tidak tau akan ancaman Covid di Indonesia pada tahun 2020.
Maka 2023 juga akan penuh misteri, yang semoga disetiap hari nya akan ada hal baik yg bisa kita semua dapat🫶🏻
Terkhusus tahun ini, semoga cita2 ku segera tercapai, lulus UKMPPD, sumpah dokter, internship, dan kalau bisa bonus menikah🫣
Aaamiiin🤲🏻
2 notes · View notes
pardomuansitanggang · 2 months
Text
PENDIDIKAN PROFESI, PARDOMUANSITANGGANG.COM – Pendidikan profesi adalah jenis pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga profesional dalam bidang tertentu. Pendidikan ini biasanya ditujukan bagi individu yang telah menyelesaikan pendidikan formal, seperti jenjang sarjana, dan memerlukan keterampilan khusus untuk bekerja dalam profesi tertentu. Program pendidikan profesi biasanya meliputi pelatihan praktis dan teori yang mendalam sesuai dengan standar profesi yang dituju. Contoh dari pendidikan profesi meliputi: Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk menjadi guru yang bersertifikasi. Pendidikan Kedokteran yang meliputi program koas dan internship untuk menjadi dokter. Pendidikan Akuntansi Profesional untuk menjadi akuntan publik yang bersertifikasi. Pendidikan Profesi Hukum untuk menjadi pengacara atau notaris. Tujuan utama pendidikan profesi adalah memastikan bahwa lulusan memiliki kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas profesional mereka dengan standar yang diakui oleh industri atau asosiasi profesi terkait.
0 notes
ittybittyswitty · 11 months
Text
till then
Hi, there
It's been months since my last post here. Life's been good recently and guess what?
I'm officially a certified MD now. YES!!! I'M A MEDICAL DOCTOR! I'm officially living my childhood dream now. Endless gratefulness for what i've achieved this year.
Balik ke tumblr karena ada cerita, hehe :)
Terakhir gue cerita gue baru aja putus kan ya?
Sekarang, udah hampir 1 tahun sejak gue putus, gue merasa diri gue baik-baik aja. gue udah ga sedih lagi, ga marah lagi, ga mikirin juga lagi. Truly thankful to all of my friends yang selalu ada buat gue saat gue melewati masa-masa terberat dalam hidup.
Gue harus menghadapi rasa patah hati terbesar sembari mencapai cita-cita gue, melewati UKMPPD dan meraih gelar dokter.
dan, gue bisa. gue bisa melewati keduanya. gue selamat.
I'm facing a new phase of my life. Internship life.
Good luck buat diri gue sendiri. Semoga wahana yang gue impikan bisa gue dapetin besok.
Aamiin
0 notes
ronakana · 7 months
Text
DILEMA
Saya di tugaskan buat dines luar 6 hari di bogor. Antara seneng dan sedih. Dan juga bingung.
Seneng karena setelah kerja di poli sendiri selama 5bulan dan tanpa rapat akhirnya saya bisa healing sedetik. Kabur dari rutinitas poli yang membosankan dengan penjelasan penyakit yang itu itu aja. Healing juga dari ngurus rumah dan ngasuh Nala. Iya, saya sayang Nala but somehow I need a break too. Seneng akhirnya saya bisa makan enak tanpa harus gofood dan bisa olahraga tiap pagi dan malam, bisa belajar di tempat yang nyaman tanpa harus dirusuhin Nala. Selain itu saya seneng juga karena saya bisa ketemu temen lama saya. Selama kerja 2 tahun di sukabumi dulu, bogor itu tempat pelarian saya. Dimana saya juga bisa ketemu temen saya. Dan nostalgia masa lalu.
Sedih dan bingung karena untuk pelatihan ini, saya yang masih tenaga kontrak ini harus buat surat pernyataan kalau saya tidak akan rotasi, resign atau izin sekolah dalam 1tahun. Agak menyebalkan karena saya lagi matimatian les ini itu dan belajar ini itu biar bisa sekolah lagi akhir tahun ini. InsyaAllah setelah nabung 3tahun ini cukuplah uangnya buat bertahan sekolah. Dan ngebayangin harus tetep bertahan di tempat yang toxic selama 1tahun ke depan.... Ya Allah sing kuatkeun hamba
Saya ga berlebihan buat ngatain disini toxic. Terbukti disini setiap tahun dokter kontraknya ganti. Saking ga kuatnya mereka. Bayangin belum masuk aja saya udah jadi bahan omongan mereka. Jadi di tempat kerja saya sebelumnya itu ada internship atau dokter umum magang yang lagi belajar. Otomatis saya ga periksa pasien. Saya supervisi mereka. Saya koreksi kalau mereka salah. Saya evaluasi setiap resep yang mereka tulis. Saya kasih lahan banyak banyak buat mereka belajar. Tapi orang sini ngomongin katanya : "Dokter yang baru itu gapernah periksa pasien disana. Gabisaeun. Apa bisa kerja disini yang pasiennya banyak?" Pretlah anjir. Pasien saya di tempat kerja sebelumnya bisa nyampe 200an sehari lah disini paling cuma 70an kalo saya jaga sendiri. Sebelumnya saya pernah pegang pasien siswa polri. Itu jauuuuhhh lebih banyak. U dont even know me yet, why did u brave to judge me yaaahhhh?? Disini juga erkubu kubu. Parah. Saya memilih untuk sendiri aja kemana mana karena ternyata suatu kubu fungsinga cuma buat ngejelekin kubu yang lain.
Tapi saya kagum sih. Mental saya masih aman aja. Walau sempet dioperasi dan diperlakukan sama dengan orang yang bisa berdiri dengan 2 kaki, kerja di tempat yang toxic dengan suami yang juga gangguan cemas. Hebat ya iboooooooo *kata nala.
Yauda segitu aja. Tapi ujung2nya saya bakal bikin pernyataan aja sih. Urusan nanti mah mudahmudahan Allah permudah.
Puskes, 16/2/24
3 notes · View notes
mamindmine · 1 year
Text
Internship RSUD Sayang Cianjur
Setelah lulus UKMP2DG, lulusan angkatanku harus internship 6 bulan yaitu 3 bulan di puskesmas dan 3 bulan di RSUD. Aku kebagian di RSUD Sayang Cianjur dan Puskesmas Cijedil. Stase pertama dimulai bulan Mei lalu dimana aku kebagian putaran RS terlebih dahulu.
Selama 3 bulan awal kami mengisi poli gigi umum dan asistensi di poli spesialis konservasi dan bedah mulut. Selama di sana aku dibimbing oleh drg Bambang sp.BM, drg Ratih sp.KG, drg Atikah, drg. Intan dan 2 minggu terakhir ada drg Raissa sp.KG. Beruntung sekali rasanya bisa bertemu beliau2 ini.
Dulu aku punya harapan dapat internship dapat wahana di pelosok Indonesia, mengabdi dan berharap bisa belajar sesuatu yang benar2 baru sekaligus mbolang hehe. Ternyata aku dapat wahana Cianjur. Bukan pelosok seperti di harapanku, tapi justru karena bertemu beliau2 itu lah aku jadi bersyukur karena bisa belajar banyak hal. Bukan hal baru seperti di benakku tapi hal yang malah penting sekali. Di sini aku punya kesempatan melatih skill dengan diawasi secara langsung dan dapat feedback langsung.
Beruntung lagi kami punya kesempatan turun sebagai operator di poli umum dan bedah mulut. Manajemen psikologis pasien, manajemen anak, tips cabut, tips nambal, tips scaling, membangun kepercayaan diri depan pasien, hal2 praktis di lapangan, manajemen kasus-kasus yang kurang lazim dan banyak lagi. Tidak semua wahana RS memperbolehkan drg iship bekerja langsung.
Di poli umum aku sering berinteraksi dengan drg Atikah dan drg Intan. Tindakan demi tindakan aku lakukan. Feedback demi feedback aku renungkan. Kadang bikin kepikiran karena saat ada tindakan yang perlu dievaluasi kami dipanggil untuk diskusi, agak panik, tapi memang itu yang kami butuhkan. Beruntung kami punya pembimbing yang mau mengoreksi dengan detil seperti beliau2. Masih ingat pertama kali aku dapat kasus adalah cabut, dan aku betul2 gemetaran, padahal aku pun tahu ini bukan pertama kalinya. Kala itu aku langsung diajak ngobrol tentang gimana dulu beliau juga menghadpai hal itu supaya aku tetap percaya kalau nanti akan terbiasa. Beliau tahu kami sudah terbiasa soal teori dan prosedur di lapangan, tapi realita lapangan memerlukan penyesuaian sehingga kami bisa bekerja lebih efisien dan efektif.
Di poli konservasi kami sering ngobrol dengan drg. Ratih. Melihat drg Ratih kerja selalu menginspirasi untuk bekerja dengan sabar. Kasus konservasi di RSUD yang mirip2 agaknya membosankan tapi beliau tetap sabar dan tenang mengerjakannya.
Di poli bedah mulut aku merasa seperti anak drg. Bambang. Umur drg. Bambang yang mirip2 papa dengan logat jawanya membuatku berasa di rumah. Belum lagi pembawaan dokter Bambang ke kami yang santai tapi tegas betul2 mirip papa. Dokter Bambang memperbolehkan kami tindakan di beberapa kasus. Kasus BM di RSUD yang kompleks membuat kami tahu banyak tips di lapangan. Beliau selalu memberikan kepercayaan diri kami tumbuh, setiap kami tindakan beliau memperhatikan dari jauh, pura2 gak liat padahal sering noleh haha. Beliau akan datang membantu saat kami memang tidak sanggup dan sudah berusaha. Ketika ada hal yang perlu dievaluasi pun beliau dengan sabar menjelaskan hal2 teknis yang efisien. Dokter Bambang selalu beli makan siang untuk kami semua di poli, makan bareng2, semakin berasa di rumah.
Terima kasih RSUD Sayang Cianjur. Terlalu mengensankan untuk dilupakan. Sampai aku tua nanti akan aku ingat, berkat dokter2 di sinilah aku bisa mengoherenkan apa yang sudah aku prkatikan di koas dan di lapangan. Terima kasih semua pelajaran yang sudah diberikan. :)
Sekarang aku sedang ada di stase puskesmas, doakan ya ges!
0 notes
tinetendahrinani · 2 years
Text
Jatuh Cinta untuk Kelima Kalinya
"Kudus bu."
Ucapku tanpa menoleh ke arah perempuan yang baru saja melewati usia setengah abad. Aku bergeming menatap layar. Jujur, aku sudah berencana untuk bisa melaksanakan program dokter internship di kota sendiri, Tegal. Namun, kebijakan baru Kemenkes membuyarkan semua planku. Aku harus merantau (lagi).
Merantau bukan hanya tentang aku yang berjarak dari rumah dan orang-orang yang aku sayang. Bukan hanya tentang aku yang tidak bisa lagi makan soto paling enak seantero Tegal, Soto Sedap Malam. Bukan tentang aku yang tidak lagi mengobrol dengan manusia-manusia ngapak.
Merantau ke kota lain adalah tentang jatuh cinta. Jatuh cinta dengan kulinernya, orang-orangnya, bahasa dan logatnya dan masih banyak lainnya.
Terhitung, Kudus akan menjadi kota perantauan ke-lima-ku; setelah Tegal, Kuningan, Gorontalo, Solo dan sekarang Kudus.
Aku pertama kali belajar tentnag konsep beradaptasi dan jatuh cinta pada sebuah kota yaitu di Kuningan, kota kecil di timur Jawa Barat. Kemudian, belajar menerima perbedaan gaya bahasa dan kuliner di Gorontalo. Belajar untuk lebih mindfull di Solo yang serba "lambat".
Kudus, kota kelima untuk jatuh cinta lagi. Sungguh aku akan belajar untuk menyayangi kota ini; terutama orang-orangnya dan kulinernya.
0 notes
faratisha03 · 2 years
Text
Berkejaran dengan waktu
Pernahkah kamu merasa bahwa ada banyak hal yang ingin kamu gapai dalam dunia yang fana ini, tetapi waktu seakan tidak memihak kepadamu?
Sebagai seorang dokter lulusan baru dengan tipe generalis. Saya merasa bahwa sekolah kedokteran selama kurang lebih 6,5 tahun ditambah 1 tahun internship merupakan waktu yang sangat lama untuk berkutat dengan satu bidang ilmu yang ternyata setelah diperdalam sangatlah luas.
Saya merasa ada pengekangan dari pendidikan kedokteran yang membuat saya sulit mengeksplorasi bidang lainnya, bahkan bidang kedokteran ini pun harus saya perdalam lagi karena 6,5 tahun masih sangat dangkal untuk menjadi seorang ahli.
Sampai akhirnya waktu itu datang, waktu ketika saya sudah bebas dari tuntutan kewajiban pendidikan dan pengabdian sehingga ada waktu tersisa untuk menghela napas dan mengeksplorasi bidang lain yang saya minati, tetapi tertunda karena kepadatan kedokteran.
Ada banyak sekali yang ingin saya gali, tetapi waktu saya terbatas.
Usia 25 tahun menurut standar sosial adalah usia yang pas untuk: menikah, punya anak, sekolah (lagi), berpenghasilan 2 digit, dan lain-lain. It’s exhausting.
Waktu seakan mengejar saya terkait mana dahulu yang perlu saya gapai. Saya sempat bertanya-tanya, apakah saya memang tidak diberi kesempatan untuk mengeksplor semuanya? Apakah saya harus menyerah pada ketertarikan saya ada bidang lain dan menjadi manusia datar dengan tujuan yang membosankan?
Mungkin jawabannya ada di prioritas dan penggunaan kaca mata kuda.
Prioritas ditentukan dari visi apa yang saya bawa selama hidup di dunia ini. Apakah saya hanya ingin menjadi sukses sesuai standar manusia, atau saya sedang mengharapkan kesuksesan hakiki dari Tuhan semesta alam, Allah ta’ala.
Ya, tentu saya ingin menjadi seorang yang sukses menurut Allah.
Oleh karena itu, saya merombak ulang prioritas hidup ini. Mulai menjalani slow living pace di kota Yogyakarta pada awal tahun ini. Menata ulang hati, pikiran, dan perasaan. Apakah harus digapai semua all at once atau santai saja, jika memang rezeki, maka Allah tak segan-segan memberi, bukan?
Pada akhirnya, rencana sematang apapun harus didasarin pada kesadaran akan eksistensi rencana Allah. Maka, saya sebagai makhluk-Nya hanya berusaha dan berencana. The rest is God’s will.
0 notes
dustypinkpeony · 2 years
Text
2023
Setelah cukup lama ga sempet nulis di tumblr, akhirnya hari ini 15 Januari 2023 ditengah kesibukan dan keriwehan hidupku menjelang ujian kompetensi, aku menyempatkan buat nulis di tumblrku yang udah lama banget ga tersentuh sama sekali. Sedikit recap buat tahun 2021-2022 yang super duper sibuk, tahun 2021-2022 hari-hariku full diisi dengan kegiatan koas (dokter muda) di rumah sakit pendidikan dan jejaring dengan total 14 stase yang harus ku lalui, sejujurnya masa-masa koas adalah masa yang paling melelahkan karena setiap hari diisi dengan kegiatan follow up pasien, ikut visit konsulen, naik ke ruang IBS, presentasi kasus, journal reading dan ujian-ujian akhir stase yang seabrek, but Alhamdulillah akhirnya masa koas terlewati juga, sampai akhirnya aku di titik ini, titik lagi pusing jungkir balik buat belajar UKMPPD (ujian kompetensi mahasiswa progam profesi dokter), aku pikir tahun 2023 bakalan membawa awal yang baru, karena tahun ini pada akhirnya aku hampir menyelesaikan pendidikanku sebagai seorang dokter, meskipun setelah ukmppd masih harus internship baru setelahnya bisa mulai bekerja di klinik/rumah sakit sebagai general practioner. Kesibukan di tahun 2021-2022 membuatku melupakan hal-hal yang ga penting, misalnya pada awal tahun 2021 akhirnya aku putus dengan mantanku namun di saat itu juga aku harus terus berjalan maju karena koas didepan mata, mungkin kalo bisa di bilang aku malah bersyukur akhirnya bisa lepas juga dari hubungan yang memang sudah tidak sehat dan akhirnya aku bisa lebih mengenal, memahami, dan tau apa sih yang sebenernya aku mau dan butuhin di hidupku, walaupun tidak dipungkiri awal putus merupakan hal yang berat buat aku karena aku terbiasa dan terlalu bergantung kepada mantanku, tapi pada akhirnya aku bisa melakukan semua itu sendiri dan melewati masa-masa koas tanpa seorang pacar. Namun, sekarang kendalanya adalah aku bingung untuk memulai suatu hubungan, karena sudah terlalu malas untuk bermain-main namun belum siap juga untuk ke tahap yang serius, di usia yang serba nanggung ini dan dimana timelineku dengan orang-orang seumuranku agak berbeda, jika 23 tahun kebanyakan orang (selain anak fk) sudah mulai bekerja, menikah, bahkan memiliki anak tapi aku di usia 23 tahun masih harus menyelesaikan pendidikanku dan aku merasa usia mentalku masih 17 tahun, aku masih merasa ingin bersenang-senang dan menikmati usia mudaku (meskipun kenyataanya digunakan untuk belajar di fk) dan masih egois aku rasa, dan betul kita tidak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain karena semua punya "waktunya" sendiri. Namun, 1 hal yang aku tidak ketahui ketika menjadi dewasa berarti akan merasa makin kesepian, karena semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing entah masih mengurusi pendidikan, bekerja, atau mengurus rumah tangganya, dan yang aku punya pada akhirnya adalah diriku sendiri dan keluargaku, dan begitupun aku harus fokus untuk mengejar mimpi-mimpiku. Inti dari semua ini adalah aku berharap dan berdoa 2023 dipenuhi oleh kebahagiaan dan awal yang baru untukku. Cheers :)
0 notes
ciaokhou · 2 years
Text
gaji pertamaku.
Kemarin ketemu adik yang baru lulus sarjana. Dia cerita kalau baru aja wawancara di beberapa perusahaan gitu. Terus waktu ditanya mau gaji berapa, dia bilang 10 juta, minimalnya 6 juta. Wkwkwkwk aku yang mendengarkan hanya bisa ber-wow keren ya:)
Jadi ingat habis wisuda dokter dan nunggu internship dulu, aku sempat 'nganggur' beberapa bulan, haha. Waktu yang lain ngamen2 gitu, aku ngga, karena satu dan lain hal. Akhirnya jadi lebih sering ikut kegiatan kerelawanan sembari nunggu iship. Tapi yaa itu juga kan nda digaji ya, wong volunteer.
Terus satu kali perna kami ikut kegiatan pengobatan gratis di Magelang. Jauuhh, haha. Akses jalannya juga sulit, di lereng gunung gitu lokasinya. Waktu selesai kegiatan dan kami pamit pulang, tiba-tiba disamperin sama panitia yang nyodorkan amplop putih ke kami. "Eh, eh, apa ini??" *ceritanya pura-pura bingung padahal pasti ngerti lah ya isinya apaan haha. Dan benar ternyata waktu dibuka di rumah, isinya lembaran uang. Seratusan pink 2, limapuluhan biru 1. Dua ratus lima puluh ribu. Aku ingat betul, soalnya itu gaji pertamaku sebagai dokter, yang bener-bener bentuknya uang. Waktu megang uang itu, aku nangis. Habis itu senyum-senyum sendiri wkwkwk. Ga nyangka gituloo bakal dapat uang, karena awalnya cuman berangkat untuk jadi volunteer aja. Terus kebetulan bangeetnih, memang lagi butuh uang akunya karena harus bayar persyaratan internship yang agak lumayan; 400ribu. Mungkin menurut kalian itu ga banyak yaa. Tapi buatku yang waktu itu emang nganggur gaada kerjaan, itu banyaakk bangeet huaa:""
Sebenarnya aku masih bisa kalau minta uang ke Ummi Abi. Cuman yaa itu. Aku, sebagai anak yang uda disekolahin sampe jadi dokter gini, yakali kan masi minta ortu lagi:( Nah, kebetulan lagi uang di dompetku waktu itu ada 200ribu. Dan ditambah 'gaji' yang baru aja aku dapet, jadi pas! Bener-bener pas, bahkan masih ada lebihnya! Dahlah cry terharu banget:" Alhamdulillah, akhirnya bisa bayar sendiri tanpa minta Ummi Abi. Allah tau banget siih yaaaa yang dibutuhkan hamba-Nya:")
Sejak hari itu, berapapun uang yang kudapat setelah kerja, aku bakal selalu ingat 250ribu pertamaku yang berurai air mata. Yang kalau diingat ternyata, Allah selalu pas ngasi sesuatu untuk kita. Tinggal rasa cukupnya yang harus selalu kita minta, biar orientasinya bukan lagi kerja-kerja-tipes, tapi kerja-kerja-berkah, haha:")
Ini bukan berarti aku underestimate sama temen-temen yang nego gaji sekian sekian waktu interview. Menurutku itu keren malah. Karena kalian di awal uda berani memperjuangkan hak kalian. Tapi kalau boleh kubantu highlight, sebenernya dalam hidup tuh, bukan melulu tentang gaji kita berapa atau sepadan tidaknya dengan perjuangan kita. Yang paling penting, syukurnya -mau berapapun yang Allah kasih, nda boleh lepas. Jadi, berapapun itu akhirnya yang Allah berikan untuk mengganjar lelah2nya kerja kita, semoga itu berkah dan cukup untuk kita, cukup untuk keluarga kita, dan cukup untuk orang-orang di sekitar kita:)
Jan lupa istirahat yaa. Duduk sebentar, selonjorin kaki, dan elus-elus dada minta dikasih sabar kalau misal rasanya yang kita dapat, masih juga kurang. Semoga bentaaar lagi nih, Allah segera kasih kecukupan dan ketenangan untuk kita semuaa✨
Hehe, selamat berlelah-lelah di dunia yang fana ini. Selamat memaknai segala hal pertama dalam hidup kita. Semoga kita, bukan hanya sedang bekerja untuk mengumpulkan pundi-pundi dunia, tapi juga pundi-pundi untuk bekal kita di akhirat:)
1 note · View note
bungaftmh · 2 years
Text
6 months ER and yeah, it works!
Marking today (actually last night) as my last shift on ER rotation in this 12 month internship period. 
Tumblr media
Last night ER team (yang melek duluan) mba umi, mba nana, mas hanung, mas agung, dr. Denta :)
Waktu awal nentuin mau pilih wahana, bingung banget mau kemana. Mau santuy, mau belajar, mau cari yg dokter dan konsulennya enak, mau yang deket, mau sehat mental, atau mau apa??!? Berakhir chat semua orang (karena teman-temanku sudah 6 bulan lebih dulu menjalani iship) buat meyakinkan aku harus gimana. Akhirnya sebelum klik milih wahana memutuskan mau belajar tapi mau sehat mental (alias konsulennya enak, ga suka marah-marah merendahkan setidaknya), jauh dikit gapapa. Dan tadaaa beneran dikasih semuanya paket lengkap sama Allah SWT; RSUD Panembahan Senopati Bantul :)
Kasusnya beragam banget, dari yg aneh aja sampe aneh banget juga ada :”> Dari yg jaga malem bisa tidur bentar sekejap sampe yg gabisa duduk sama sekali juga pernah huhuhu. Meskipun ga pegang sendiri dan semuanya harus terlapor, tapi paparan kasusnya sungguh mantap. Internship works sih memang. Cuma plis banget jam kerjanya dibuat manusiawi untuk beberapa wahana yang gila jumlah pasiennya atau seenggaknya ditambahin insentifnya huhu cc ditjen menkes.
Hari ini rasanya lega sekaligus seneng sekaligus bangga sekaligus bakalan kangen sih sama igd rsps. Soalnya emang berasa banget kerjanya dan ilmunya, ketatar banyak banget dibanding waktu koas, semoga ga lupa gara-gara habis ini puskesmas ya Allah aamiin. Bangga soalnya bisa melewati kasus macem-macem dan seneng ada gunanya kayanya hidupku meskipun sedikit :”) Alhamdulillaah... Allah sih yang mampukan, as olwes. Dulu pas awal-awal padahal rasanya kayak gila banget nih RS apa pasar, rame banget lu.
Meskipun masih ada rasa kok nggak memanfaatkan stase igd ini dengan maksimal (seperti biasa, overthinking is making their way in my head), tapi tetep kerasa banget perbedaan dr. Bunga di bulan Mei dan bulan November sih. Dulu ngeswab aja takut punten :) sekarang semua bocil yang ngereog mau gimana juga hayu kita jabanin swab dengan bismillah. dll dll dll.
(((Akhir kata))) semoga dokter-dokter baik hati yang membimbingku dan teman-teman icip di igd rejekinya lancaar, bisa lanjut sekolah lagi dan dipermudah juga, aamiin ya Allah.
Thankcu, RSPS!
Tumblr media
did the mirror selfie most of the time because no friend alias igd jaga terus boosss, ketemu kolega icip cuma kalo pas operan :”)
0 notes
anaerdina · 2 years
Text
[Obrolan]
Ada adek internship (sebutan buat seseorang yg sudah di sumpah dokter, tp masih harus latian praktik 1 th di rmh sakit dan puskesmas utk selanjutnya bs bekerja sebagai dokter) yg tiap dia jaga se shift sama aku selalu nanyain "Gimana dok, dokter sudah berproses lagi belom dok?" Wkwk. Pokoknya tiap ketemu yg ditanyain itu, udh kek macem password gt. Haha.
Dia lulusan isy karima. Trus ambil kedokteran di Jogja. Pas tak tny kenapa dia kok ga fokus jd ustadz aja, dia jawabnya gini:
"Begini dok, saya cowok dok, saya berpikir suatu saat nanti kewajiban sy kasih nafkah istri dan anak dok, dan sy tidak mau mencari dunia dg Al Qur'an dok." (Sebetulnya sah-sah aja, digaji dr mengajar Al Qur'an). Butt, dia lebih mengetahui ttg dirinya, jadi ya gapapa itu pilihan dia.
Kubalik nanyalah. Lha km sendiri udh sampe mana prosesnya?
Btw, ni anaq pernah bikin aku kaget, secara, baru ketemu sama aku 2x, dia berani minta tolong ke aku buat nyariin dia jodoh. Wkwk. Padahal ada dokter lain yg udh pernah nawarin akhwat ke dia tp dianya menolak. Pie to le leee. Wkwk
Dan sekarang alhamdulillah dia lg proses dg akhwat, bukan dokter. Dpt dr ustadznya dia.
A: Loh, katanya dulu km pengen sama dokter?
X: Iya dok, dlu sempet pengen sama dokter, trus ga pengen, trus pengen lagi, trus ga pengen lagi.
A: Wkwk. Ada apa emang sama dokter?
X: Lha dokter Ana kan dokter, gapapa dok aku cerita?
A: Yagapapa kali
X: Sepengalaman saya ya dok, temen2 cewek seangkatan saya dulu org nya pada ngeyel & keras kepala. Dikasih tau gt pasti ada aja jawabannya. Mayoritas temen2 cewek saya yang dokter kayak gt dok. Tp dokter Ana beda kok dok.
A: Wkwk (dia berkata benar ato karena takut menyinggung aku? Haha). Mungkin gini kali yaa. Kan di dunia kedokteran ada yg namanya EBM (Evidence Based Medicine), jd kalo mau ngasih tau dokter ya hrs dengan bukti yg jelas dan teruji kebenarannya. Mungkin temen2mu seperti itu (Di dalam agama juga seperti itu kan, memilih/memutuskan sesuatu hrs dg ilmu, based on dalil yg benar).
Mayoritas anak kedokteran (berdasarkan pengamatanku) cocoknya memang diajak diskusi. Jangan serta merta kamu pengennya A, trus nyuruh dia melakukan A. Kalau kamu pengen dia melakukan sesuatu, jelasin dan diskusikan secara baik-baik dg dirinya.
X: Sedangkan diriku tu pengennya sama cewek yg pendidikannya ga hrs tinggi-tinggi dok, yg penting sopan santun sama manut dok. Ngelihat cewek kayak gt tu anggun gt dok.
A: Bener sih, mayoritas cowok yg ngerti agama pasti milih cewek yg nurut. Jadi, qowwamnya mereka akan lebih terjaga. Dan memang dlm agama kan tugas cewek itu nurut/bakti/khidmat ke suami (dlm perkara-perkara yg ga bertentangan sama syariat). Wajar2 aja sih kalo km pengennya kayak gt. Semoga dimudahkan dan berkah yaa proses kalian.
(In my opinion, adek isip ku ini emang cocoknya sama cewek yg penurut dan low profile drpd dia, umur jauh di bawah dia juga oke, karena dia orgnya dominan).
------------------
Almost 2 thn nan ini aku belajar, belajar buat nurunin ego, belajar buat ga keras kepala, belajar mendengarkan dan belajar ngalah. Buat apa? Ya karena itu perintah Allah dan Rasul ke kaum wanita.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
-----------------
Jujur, taat itu tidak mudah, apalagi kamu berada di lingkungan yg apa-apa harus EBM, penjelasannya hrs valid. Tapi, insyaAllah bisa. Allah yg kasih guideline, nanti Allah juga yg akan bimbing dan mudahin. Trust Allah before we trust ourself.
----------------
Sekian,
dr. Ana Erdina (yg pantang menyerah buat belajar taat, nurut dan lemah lembut) *cheers
''Kelemahlembutan tidaklah ada pada sesuatu, kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu, kecuali merusaknya. Siapa yang tidak memiliki kelembutan maka tidak mendapat kebaikan (HR Muslim).
1 note · View note