Tumgik
#dongengzell
ermunlaila · 2 years
Text
Pamit Undur Diri
Teruntuk mas Rangga,
Terimakasih pernah menggoreskan bahagia, untuk segala upaya yang kau hadirkan. Jika memang keputusanmu sudah bulat untuk lebih membersamainya, aku pamit undur diri. Tenang saja, akan kubuat kau tak menyesal telah memilihnya. Dengan aku yang akan terus berusaha tersenyum lebar menjalani hari-hariku setelahnya. Satu pintaku, bersikaplah bergembira juga saat bersamanya. Biar ku percaya kau mengambil keputusan yang tepat. Jangan tunjukkan raut sedih, murung atau rasa bersalahmu itu di depanku.
Teruntuk mba Kirana,
Kita berteman bukan sehari atau dua hari lalu. Banyak waktu yang telah kita lewati bersama. Bahkan saat melakukan beberapa kali perjalanan luar kota, langkah kita seirama. Saat kutahu kebenarannya, tentang hubunganmu dengan mas Rangga, aku bisa terima. Tenang saja, aku yang akan pamit undur diri. Bukan pada pertemanan ini, tapi menyudahi harapanku untuknya. Dia yang dulu selalu ada untukku, kini telah pergi. Tak perlu merasa sungkan, inilah jawaban atas kesungguhanmu. Bahkan ketika temanmu yang lain bercerita tentang kisahmu memperjuangkannya, aku tak sanggup menampik kenyataan untuk mengambilnya darimu. Pertemanan ini sungguh pilihanku.
Doa terbaik dariku untuk kalian berdua.
Bandung, 3 September 2022
12 notes · View notes
ermunlaila · 1 year
Text
34/365*2023 - Cerpen : "Maaf dan Terima Kasih Mas Gilang"
"Hay, apa kabar?"
"Ada apa? Gak perlu tanya kabarku lagi."
"Kenapa kamu berubah?"
"Aku masih sama seperti dulu, bukannya mas yang berubah?"
"Kamu yang mendiamkan aku."
"Sejak kapan? Dari awal aku memang begini, tak ingat apa pura-pura lupa? Bukannya mas yang selalu menyapaku lebih dulu?"
"Begitukah aku?"
"Kenapa akhirnya mas memilih pergi?"
"Aku tak pernah begitu, kamu yang tak lagi mau denganku kan? Aku hanya menghargai itu."
"Salah! Kapan aku bilang gitu?"
"Waktu itu kenapa kau panggil namanya? Bukan namaku? Saat aku dan Sakti beranjak ke tujuan yang sama."
"Ah, bukan maksudku..."
"Sudahlah aku tak ingin dengar."
"Maaf, jika pernah membuatmu kecewa mas."
"Maaf juga, pernah membuatmu berharap dan pada akhirnya akulah yang mematahkan harapan itu."
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Pernah menemaniku."
"Aku akan selalu ada untukmu bahkan sekarang pun."
"Jangan, please."
"Kenapa?"
"Aku tak mau menyakitinya."
"Dia bisa menerima kok."
"Gak, mas Gilang salah, mana ada perempuan yang baik-baik aja diperlakukan seperti itu."
"Aku selalu ngobrol dengannya, it's okay, dia mengerti akan orang-orang di masa laluku, termasuk kamu."
"No. Kalo gitu aku yang gak mau, jangan pernah bawa namaku lagi di perbincangan kalian."
"Sebenci dan semarah itu kah kamu padaku?"
"Enggak."
"Lalu?"
"Tadi aku tak sengaja bertemu dengan Rissa, saat ku sapa, dia pergi begitu aja."
"Nanti aku bilangin."
"Gausah."
"Dia gak boleh begitu."
"Jangan hiraukan aku lagi."
"Anggita!!"
"Mas Gilang udah ya, dengerin aku buat yang terakhir kali, aku udah menyetujui untuk dipindah tugaskan, ini bukan karena aku benci liat kalian berdua, pastinya aku ikut bahagia atas pernikahan kalian, akupun selalu berdoa yang terbaik buat kalian, jadi aku memutuskan pergi demi pertemanan kita semua. Aku paham betul Rissa seperti apa, aku mengenalnya sangat baik, begitupun dengan mas Sakti. Entah sejak kapan aku lihat mata cemburu Rissa setiap berpapasan denganku. Dan lagi ini kesempatan bagus buatku untuk lebih berkembang kan? Ohya, aku dan mas Sakti juga hanya berteman, jadi kembalilah sapa dia, kalian udah saling kenal cukup lama, bahkan jauh sebelum aku kerja di sini."
"Kamu yakin dengan semua ini?"
"Yups."
"Anggita, baik-baik ya, jangan pernah sungkan jika perlu sesuatu. Aku harap..."
"Mas Gilang ayok pulang, bye Gita." Sapa Rissa.
Anggita pergi meninggalkan Gilang dan Rissa. Air matanya tak terbendung lagi. Tumpah seketika saat ia sedang berjalan membelakangi mereka. Perasaannya pada Gilang masih tak seutuhnya hilang. Di sisi lain Sakti melihat dan mendengar semuanya.
"Kamu gak papa?"
"Maaf mas Sakti aku lagi pengen sendiri."
"Gita, sorry mungkin ini waktunya kurang tepat, tapi aku gak pernah bercanda dengan pernyataanku waktu itu, aku serius, aku harap kamu bisa pertimbangin lagi."
Maaf mas, aku masih belum bisa menerima fakta yang baru aja ku dengar bahwa mas Sakti juga dulu pernah melamar Rissa, sahabatku. Ditambah sekarang Rissa yang bersanding dengan mas Gilang padahal aku yang dekat duluan. Sedangkan mas Gilang dan mas Sakti pun berteman cukup erat. Maafkan aku yang lemah akan semua ini. Aku tak marah pada kalian, aku hanya sedang membenci diriku yang seperti ini. Untuk itu lebih baik aku yang menjauh sementara waktu. Jawab Anggita dalam hati. Ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan Sakti.
3 notes · View notes
ermunlaila · 1 year
Text
32/365*2023 - Cerpen : "Selintas, Dunia Rania"
"Tadi udah denger kan adek bilang apa?"
"Iya mah."
"Terus kamu gimana?"
"Ya gak gimana-gimana, adek mau duluan juga silahkan."
"Kalo kamu mau carinya yang gimana lagi? Gak harus S3 juga kan?"
"Wkwk enggaklah, percuma kalo S3 tapi gak bisa diandelin, gak bisa diajak berjuang bareng. Mau yang kaya pun tapi cuma ngandelin harta orang tua dan kerjanya malas-malasan juga buat apa."
"Barangkali. Blablablabla."
Hari itu dilanjut petuah mamah Rania yang sebetulnya sudah sering dia dengar. Rania yang hobinya menjelajah kesana kemari membuat mamah papahnya sedikit khawatir jika anaknya terlalu nyaman sendiri. Sedangkan umur baik Rania dan kedua orang tuanya semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, Rania memiliki seorang adik yang usianya tak terpaut jauh dengannya.
Namun pada kenyataannya di umur Rania yang mendekati kepala 3 ini, dengan lingkungan dipenuhi teman-teman yang sudah berkeluarga, bahkan ada yang anaknya otw 4 dan rata-rata dari mereka anak pertamanya sudah masuk SD, Rania justru semakin jeli memaknai sebuah pernikahan.
"Makin tua kok makin jadi pemilih." Kata salah seorang temannya.
"I don't care what you just said. This is my life, I will live it and I will be responsible for it." Balas Rania.
Dulu ketika beberapa orang datang menghadap kedua orang tuanya untuk memintanya, Rania dengan mudahnya mengiyakan sebagian. Tanpa berfikir panjang bahwa kehidupan berumah tangga semena-mena itu dijalani tanpa persiapan yang matang. Dimana sebagian yang dia iyakan nyatanya pergi tanpa permisi dan kembali membawa seorang istri. Hatinya terlalu gusar melihat teman sebayanya yang memamerkan cincin di jari manisnya, kala itu.
Kini tak lagi begitu. Banyak kehidupan berkeluarga yang Rania saksikan dan dengarkan. Yang berceloteh bahagia banyak, yang sedikit mengeluhkan ada beberapa, pun yang akhirnya berpisah juga ada. Rania yang dulu terlalu menggebu-gebu belaka, sekarang bisa menyikapinya dengan lebih tenang. Meskipun sempat sesekali terlintas pikiran takut untuk menikah karena cerita kegagalan-kegagalan itu. Baik yang dia alami sendiri, ataupun karena lingkungannya yang sedikit memperlihatkan dunianya.
Salah satunya ada pelajaran yang sangat berharga dari seseorang yang begitu Rania percaya dengan segala hiruk pikuknya, Devita namanya. Ia hampir selalu mendorong Rania untuk menikah, namun hari itu ia benar-benar terlihat begitu kacau, meskipun sekarang sudah baik-baik saja. Ujiannya saat itu membuat kondisi pernikahan Devita tak lagi sama, terutama untuk psikologis anak-anaknya.
Rania belajar. Rania bersyukur. Allah terlihat sangat menyayangi Rania, menjaga Rania untuk terus mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi pernikahan. Pun tak ada raut penyesalan di wajah Rania kenapa dunianya berjalan lebih lambat dari yang lain, bahkan terkadang terlihat semakin melambat. Setidaknya Rania mencoba untuk terus melangkah maju menyusuri waktu kehidupan di dunia ini. She thought that was enough, of course by always continuing to pray to Allah.
3 notes · View notes
ermunlaila · 10 months
Text
35/365*2023 - Cerpen : "Suara Hati Nizar"
Ketika aku jatuh cinta padanya. Telah ku siapkan ruang bernama luka. Agar kelak aku siap menerima segala rupa yang digariskan untuk kita. Kita? Emang siapa dia? Padahal bisa jadi hanya aku yang menyukainya. Perihal perasaannya mungkin akulah yang lebih mengharapkannya.
Setiap kali aku jatuh cinta padanya. Tak banyak kata yang bisa ku ucapkan untuknya. Suaraku serasa mati gaya saat dihadapkan dengannya. Ingin image-ku selalu baik saat bersamanya. Meski sering kali terlihat sebaliknya. Seolah aku orang yang menyebalkan saat mengajaknya berbicara. Tapi ketahuilah, itu karena aku tak pandai mengutarakan apa yang ku rasa.
Sungguh aku tak ingin menghindarimu. Hanya saja aku akan selalu salah tingkah saat di dekatmu. Lihatlah ketika kau menyapaku terlebih dahulu, senyum lebar di bibirku yang ku tahan pasti tak akan bisa berbohong. Aku yakin kau pun mengetahuinya, matamu berkata seperti itu.
Kini, hanya untaian doa yang berani ku alunkan pelan merayu Sang Pencipta. Berharap suatu saat nanti kau melihatku yang selalu berdiri disini untukmu, Fara.
Pinta Nizar saat malam pergantian tahun baru.
1 note · View note
ermunlaila · 3 years
Text
Aku Sudah Baik-Baik Saja
Aku sudah baik-baik saja. Saat kau kembali mendatangi tempat kerjaku untuk menyapa seperti sedia kala setelah sekian lama tak bertukar kata. Bahkan saat semua orang menyelamati atas kelahiran putra pertamamu, aku turut ikut menyampaikan selamat.
Aku sudah cukup baik-baik saja. Saat kau menggandeng istrimu dan memperkenalkannya kepadaku. Begitu juga dengan perkenalanku dengan bayi mungil yang sedang menggeliat di stroller warna merah. Dia terlihat sangat mirip denganmu, terlebih dibagian matanya.
Aku sungguh sudah baik-baik saja. Saat suatu ketika istrimu meminta bantuanku untuk menemaninya dan bayi kecil kalian, karena kau sedang berdinas keluar kota. Tak ada (lagi) sedikit pun rasa benci atau kecewa bahkan cemburu yang hadir dihatiku. Justru aku bersyukur dan merasa tenang, karena mengetahui dialah orangnya.
Jadi ku harap, ketulusanku kali ini tak membuatmu salah paham, pun aku sudah memandangmu hanya sebatas layaknya saudara. Kini, baik perasaanku dan perasaanmu sudah ada pemiliknya masing-masing. Mari tetapkan hati untuk terus berada disana, karena mereka berhak atas bahagia yang telah kita pilih.
Jangan lupa datang di hari bahagiaku bersama keluarga kecilmu. Sapalah juga dia yang berhasil memenangkan hatiku. Akhirnya kau tak perlu khawatir lagi. Aku benar-benar sudah baik-baik saja.
3 notes · View notes
ermunlaila · 3 years
Text
Cerpen #3. Subject = Ayah Dea
Moment 17 Agustus selalu dirayakan dengan upacara oleh Bangsa Indonesia, sebagai salah satu penghargaan untuk para pahlawan negara yang gugur saat merebut kembali tanah merah putih. Dikarenakan masih pandemi jadi tak semua kantor di daerah mengadakan upacara secara offline. Adapun yang mengadakannya secara offline hanya boleh dihadiri oleh para petugas upacara.
Kebetulan tahun depan ayah Dea akan pensiun, sehingga pada upacara tahun ini ayah Dea diberi tugas sebagai pembaca doa. Tanggal 16 Agustus sore harinya, ayah Dea mengirim pesan chat ke grup keluarganya.
Bunda, minta tolong siapkan baju ayah untuk upacara besok. Jas yang mau dipake yang ini (mengirimkan gambar) tinggal dasinya yang cocok yang mana.
Oke yah. Nanti Dea bantu siapin.
Sore harinya, selepas kerja. Dea mampir ke toko baju untuk membeli dasi yang cocok, karena katanya dasi yang ada sudah sering dipakai. Selagi memilih dasi yang cocok, Dea membandingkannya dengan Jas yang di fotokan.
Pada malam harinya, ayah Dea bertanya:
Baju kemeja untuk dalamnya yang cocok warna apa ya De?
Ini aja yah, soalnya kalo yang itu jadi warnanya pucat
Dalam hati Dea baru sadar. "Kenapa tadi gak kepikiran dibandingin sama baju kemejanya juga yaaaa. Udah jam 11 malam lagi, mana ada toko yang buka. Tapi kalo pake kemeja putih pucat banget warnanya. Udah gapapa De, paling bener warna itu."
Pagi hari tanggal 17 Agustus 2021. Ayah Dea mengirimi foto-foto cuplikan rangkaian upacara. Dari sekian banyak foto yang dikirim, ada satu foto formal yang membuat Dea meneteskan air mata, dimana para petugas upacara berbaris di depan pintu utama kantor. Dea pun segera mengirim pesan kepada ayahnya.
Yah, maafin Dea yaaaaa. Dress code ayah jadi paling beda sendiri. Dea juga gak tau kalo seragam kedinasan formalnya kemeja putih, Jas hitam dan dasi merah karena lagi moment 17 Agustus. Biasanya bunda yang nyiapin, cuma kemarin bunda udah keliatan cape banget jadi Dea berinisiatif mau bantuin, tapi malah hasilnya begitu. Aaaaaaaaaa maafin Deaaaaa.
Dea adalah pecinta colour full. Bahkan saat menggunakan baju, Dea sangat suka dengan warna-warna cerah meski suka nabrak-nabrak warnanya. Dea tidak peduli apa kata orang, PD aja gitu orangnya meski banyak yang komen. Tapi kali ini bukan untuk Dea, ayahnyalah yang sedang di jadikan subject. Dengan perpaduan Jas hijau tua, kemeja peach dan dasi warna hijau muda. Dea lupa, sungguh lupa kalo ayahnya menderita buta warna parsial. Jadi iya-iya aja saat Dea memadu padankan warna. Lalu yang membuatnya semakin sedih dan menyesal lagi adalah ketika bundanya bilang:
Bunda udah bilang pas pagi-pagi sebelum berangkat, apa gak ganti kemeja yang ini aja yah? Terus pakai dasinya yang ini (menunjukkan dasi satunya yang dibeli Dea. Dea memang membeli dua dasi buat cadangan). Kamu tau apa kata ayah?
Gapapa pakai ini aja, ini yang udah Dea pilihin dari semalam.
Makin bercucuran sudah air mata Dea dibuatnya. Ditambah awal tahun depan ayah Dea sudah pensiun dan Dea malah mengacaukannya untuk tahun ini.
1 note · View note
ermunlaila · 3 years
Text
Cerpen #2. Pertemuan di Upacara Pemakanan
Felicia menatap sekitar. Halaman rumahnya mulai dipadati oleh para pelayat. Gema sholat jenazah silih berganti dari beberapa kloter pelayat yang datang. Kebetulan memang rumah Feli satu komplek dengan rumah sepupunya yang sedang berkabung, sehingga Feli dan keluarganya open house untuk tempat singgah para tamu yang hendak melayat.
Patah, tergambar jelas dari raut orang yang lalu lalang. Kepergian om Feli kali ini terasa begitu mengiris hati. Apalagi untuk keluarga inti. Bahkan sang cucu terus menanyakan yangkungnya. Feli mencoba membawa sang cucu (keponakannya) ke warung sebelah supaya keluarga inti bisa hikmat mengantar orang terkasihnya ke peristirahatan terakhirnya.
Saat keluar dari kerumunan, Feli tak sengaja berpapasan dengan seorang pelayat yang begitu familiar.
Hay apa kabar?
Maaf kita harus bertemu di moment seperti ini. Terimakasih sudah datang.
Plis jangan menatapku seperti itu, jangan membuatku menjadi manusia paling bersalah atas kejadian di masa lalu.
Eh iya ini yang ku gendong bukan anakku, melainkan keponakanku, biar sepupuku bisa fokus menemani ayahnya untuk kali terakhir.
Ku dengar juga mas sudah menikah, selamat yaaaa, lain waktu bisa kali kenalin aku dengan istri mas, bagaimanapun kita masih bisa berteman kan?
Sekali lagi mohon maaf untuk semua kesalahanku dimasa lalu, maaf jika luka itu masih ada. Sungguh ku mohon maafkan aku, sepertinya pertemuanku dengan Dion Sayeed adalah hutang yang harus ku bayar atas lukamu itu mas.
Sayang, suara itu hanya muncul di pikiran Felicia, dia tak sanggup mengucap apapun. Feli hanya berlalu dan menghindarinya. Di sisi lain Bumi sedang menahan luka yang dialaminya 3 tahun lalu untuk tidak kembali menganga. Ekspresi Bumi memang tak pernah bisa berbohong. Baik Feli dan Bumi pun menyadari akan hal itu.
Fel, kabarku belum baik-baik saja.
Aku masih berjuang untuk berdamai dengan luka yang pernah kau goreskan. Kamu sungguh pernah menjadi bagian yang begitu kuinginkan.
Mendengar ayahmu begitu merestuiku adalah sebuah kehormatan tersendiri bagiku.
Maafkan aku juga yang pernah terlalu berharap hingga luka ini begitu besar kurasakan sampai sekarang. Maaf bibirkupun masih mati rasa untuk sekedar memanggil namamu memulai obrolan.
Semoga Dion selalu menjadi bahagiamu, tepat seperti saat kau memutuskan untuk membersamainya.
Sampai bertemu lagi di kesempatan yang lain. Dimana lukaku dan perasaan bersalahmu itu sudah menguap tergantikan dengan senyum lebar saat kita bertukar sapa.
0 notes
ermunlaila · 3 years
Text
Cerpen #1. Pastaskah aku cemburu?
Seminggu ini aku seperti tak mengenal suamiku. Semalaman dia menangis tersedu sembari tidur. Setiap ku bangunin, dia hanya memelukku dan kembali tidur. Tak lama setelah terlelap, dia kembali menangis dan terus merintihkan satu nama. Hatiku begitu gusar. Tak seperti biasanya, wajahnya pun begitu murung saat tersadar.
Selama lima tahun pernikahan, baru kali ini ku lihat bang Arya begitu sedihnya. Bahkan ketika putri kami terkurung di kulkas TKnya, dia masih bisa bersikap tenang. Mungkin karena dia seorang dokter.
Aku juga sempat coba tanya ke teman dekatnya yang kebetulan dokter psikiater. Katanya bang Arya sedang mengikuti proses terapi, bisa jadi hal ini adalah efeknya. Kali ini atasannya menuntut dia "kembali" menjadi dokter terbaik di rumah sakit itu.
Aku tahu, aku juga paham semenjak kami menikah bang Arya tak pernah lagi mau masuk ruang operasi, padahal dia adalah dokter bedah toraks terbaik dikota yang sedang kami tinggali. Dia selalu bilang belakangan ini punya penyakit tremor di tangannya. Daripada membahayakan pasien, lebih baik dia mundur. Namun kenyataannya bukan hanya karena itu, aku sungguh mengerti, dia hanya belum menyelesaikan urusan di masa lalunya.
Kau tau? Pasangan suami istri biasanya membangun rumah mereka sendiri menggunakan batu bata satu per satu, sedangkan aku? Sekarang ini seperti sedang memperbaiki rumah yang sudah hancur di bom. Dan rumah itu masih punya sisa bekas pemboman dengan satu ruang kamar yang masih terkunci rapat oleh suamiku.
Selama lima tahun juga aku terus dicap sebagai ibu tiri yang hanya ingin harta suamiku. Memberikan berbagai macam les tambahan untuk anakku dibilangnya lari dari tanggung jawab mengurus anak, karena dikiranya dengan begitu aku bisa bersantai. Ah tau apa mereka tentangku? Memangnya ibu tiri selalu jahat? Memangnya ibu tiri gak boleh ada yang baik? Belum lagi mereka selalu membandingkan aku dengan mantan istri bang Arya.
Yah, alhasil aku hanya terus membual. Mencari seribu alasan untuk membenarkan firasat. Bahwa suamiku masih tak bisa melupakan mantan istrinya. Tapi memangnya hal ini menjadi wajar untukku? Cemburu pada seseorang yang telah wafat.
Dialah bang Arya. Suamiku. Ayah dari putri angkatku. Yang kini tengah berjuang mengikhlaskan mantan istrinya, ibu kandung Rara yang meninggal di ruang operasi karena kecelakaan. Saat kandungannya telah memasuki usia 10 bulan.
0 notes