Tumgik
#kisah perjalananhidup potret coretanliar
archy-ak · 5 years
Text
MERAH – PUTIH
Di
Ujung Timur
 Jika kiranya sekuntum mawar dipuji kerena keindahannya, dan sang pelangi yang kemudian di sanjung karena keelokan dari warnanya, serta sang purnama yang anggun bertahta di malam yang sunyi. Maka pantaslah Indonesia yang kemudian hadir dengan mahakarya Tuhan yang tersebar diseluruh pelosok negeri  juga ikut mendapat pengakuan.
Budaya, adat istiadat, agama, suku, dan bahasa yang kemudian menyatu dalam 1 bingkai negara kesatuan menjadi nilai tersendiri untuk negeri yang terdiri dari ribuan pulau ini. Sebuah negeri yang berada di antara 2 benua dan 2 samudera, negeri yang menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan bersandar pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tersebut.
Namun dewasa ini, Indonesia seakan kehilangan arah. Persatuan yang menjadi bingkai pun kemudian seakan runtuh. Pancasila, boleh masih diakui sebagai dasar negara. Tapi, jika ditanyakan masalah ideologi pancasila serta penerapannya dewasa ini seolah enggan untuk meng iyakan pernyataan tersebut. Nilai-nilai luhur pancasila yang menjadi  acuan pokok dalam pengaturan penyelenggaraan bernegara perlahan mulai luntur.
Aku ingin bercerita  tentang kemerdekaan yang belum sesungguhnya terasa sampai detik ini. Tentang Indonesia yang kehilangan nama. Tentang pancasila yang seolah kehilangan kesaktian. Tentang kebhinekaan yang tak lagi terdengar dan tentang merah putih yang enggan untuk berkibar.
Mengenang akan indah yang telah jadi  akhir di masa kini. Proses pencarian jati diri yang kemudian menyeret untuk membuka cakrawala dan menolak menutup mata tentang kehidupan masyarakat di ujung timur Indonesia. Mereka yang terlahir dalam ranah keterbatasan yang luar biasa. Menempati sudut gelap bangsa ini, menjalani kehidupan seakan mereka hidup pada ceria-cerita yang mendiami lembaran buku-buku sejarah. Kehidupan yang mereka jalani dari waktu ke waktu, hari ke hari masih terbilang sangat sederhana dan bisa dikatakan kuno jika kita melihat dari kacamata kehidupan sekarang. Berburu yang masih jadi pilihan utama dalam bertahan hidup.
Semula aku beranggapan bahwa itu adalah sebuah kebudayaan atau adat istiadat yang coba mereka pertahankan dan lestarikan. Namun, setahun  hidup di antara mereka, mencari akar  dari kehidupan yang mereka jalani memberi  jawaban atas tanya yang bertengger dalam ruang hampa tak bersekatku. Bukan tentang budaya atau adat istiadat yang coba dilestarikan.
Tapi, kondisi tidak memberikan mereka banyak pilihan. Mendiami salah satu wilayah di pedalaman Papua dengan hutan rimba yang menjadi ciri khas dan menjadikan mereka setia luput dari perhatian pemerintah. Tak ayal peran uang yang mana di sebagian besar wilayah di Indonesia menjadi sesuatu yang sensitif dan kadang menjadi pemicu terjadinya konflik tidak lagi menjadi primadona. Barter lebih dipilih dalam transaksi di keseharian mereka.
Pernah suatu hari saya ingin mencoba menguji tentang hal ini. Seorang bapak mendatangi tempat tinggal kami dengan 2 ekor ikan Kakap yang ukurannya kira-kira bisa untuk dikonsumsi 10 orang. Kedatangan beliau untuk menjual hasil tangkapannya pagi itu, singkat cerita, kami yang pada saat itu memang butuh pun mengabulkan keinginan bapak tersebut. Namun disini saya coba bermain dengan sang bapak . “ ahh.. bapak itu ikan ada mau jual berapa aii ?”  sang bapak langsung menjawab. “ bapak guru ada pinang kah?” ahh.. bapak ko mau jual atau tukar kah?, (bapak) aiwaa… anak ko tara usah kasih sa uang, ko kasi lempeng, pinang, kopi gula saja mo.”
Sebuah percakapan yang sangat sederhana tentunya, namun dibalik semua itu tersirat suatu makna yang menjadi bukti akan peranan uang yang beda disebagian besar wilayah Indonesia.
Sederhananya, mereka lebih membutuhkan apa yang bisa langsung digunakan, dalam hal ini kembali pada prinsip penggunaannya. Jujur, itu bukan kali pertama ataupun hanya terjadi sekali. Kejadian itu terjadi berulang – ulang sampai diriku pun tak mampu lagi menetapkan kata pasti untuk melukiskannnya.
Hidup di sana seolah berada pada sebuah labirin yang dipenuhi cermin. Kemana pun arah pandangan, kemana pun kaki menapak , dan kemana pun suara dilepas jika disimpulkan hanya akan melahirkan 1 makna. Pola pikir yang nyaris sama tanpa menyisakan seorang pun yang jadi pembeda menjadikan kehidupan disana seolah jalan ditempat. Keinginan-keinginan untuk maju seakan hanya jadi ilusi-ilusi kebahagiaan yang diperadakan.
Cita cita hanyalah jadi lelucon sebagai peripurlara. Yang paling memprihatinkan, pemahaman akan hal itu diwariskan kepada mereka yang masih tergolong dibawah umur. Yang mana merupakan calon pemilik masa depan. Kualitas sumber daya manusia yang jauh dari harapan merupakan pemicu akan hal itu. Jika hal ini terus dipelihara, maka yakin dan percaya Indonesia di masa mendatang semakin meragukan untuk menjadi sebuah sampul atau isi di wilayah ini.
Tapi, selama kaki masih mampu menapak, tangan masih mampu meraih, mata masih mampu memandang, mulut masih mampu bersua, serta nafas masih memberi kehidupan. Maka, itu pertanda bahwa akhir belumlah tiba. Jika dicermati, pendidikan menjadi salah satu terdakwa dari semua itu. Sesuatu yang urgen dalam menyiapkan bibit bibit penerus yang hingga kini terlalu nyaris untuk diceritakan.
Problematika yang hadir dalam dunia pendidikan yang juga merupakan alasan keberadaanku di antara mereka. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk menempa generasi penerus bangsa hanya menjadi hiasan belaka. Tawa ceria yang seharusnya memecah ruang ruang sunyi dipagi hari hanyalah sebatas kenangan kenangan indah yang telah bersemayam di antara deretan peristiwa dibenak pemiliknya.
Aku tak mengada-ada, karena aku memang pernah ada. Sekolah yang kami  temui di awal kedatangan kami cukup  indah dengan busana belukar yang hampir menutupi sekujur tubuhnya. Coretan coretan liar yang menjelma menjadi dekorasi terlukis jelas diseluruh dinding bangunan. Jendela berkaca sarang laba-laba pun tak tinggal diam sampai papan tulis dengan kubangan kubangan yang siap menenggelamkan sang kapur pun  ikut ambil bagian.
Entah apa kata yang tepat untuk menyimpulkannya. Yang pasti saat itu diam tanpa kata adalah jalan yang kupilih. Membuka segala ruang untuk menyapa dan mencerna segala apa yang lepas dari bayangan-bayangan yang telah terangkai jauh sebelum menginjakkan kaki di tempat ini. Menyerap segala rasa untuk kemudian membangkitkan naluri pejuang yang kala itu disematkan bagi para peserta SM-3T  untuk menjangkau apa yang tertinggal terutama di bidang pendidikn.
Jelas ini bukanlah sebuah perkara yang bisa dibiarkan terus-menerus berlanjut. Problema seperti ini seharusnya tidak dibiarkan mendapat tempat untuk beranak-pinak. Sebab disini mereka juga memiliki peranan sebagai anak negeri. Mereka punya hak yang sama sebagai pewaris masa depan. Bertanggung jawab untuk sang merah putih tetap berkibar dan tetap anggun ditempatnya.
Tapi, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik dengan harapan-harapan pendiri bangsa ini. Jiwa nasionalisme yang dimiliki warga sekitar amat teramat rendah. Indonesia Raya yang mana menjadi lagu kebangsaan jarang diantara mereka yamg mengetahui. Pancasila yang sejatinya menjadi landasan, menjadi ideologi bangsa, dan menjadi dasar hukum untuk bangsa Indonesia pun tak mereka kenali. Yang lebih parah, bahkan bendera Republik Indonesi juga masih terasa asing bagi sebagian warga. Dan yang lebih ironis, ini juga terjadi pada mereka sang calon pewaris masa depan.
Keberadaan mereka yang jauh dari keramaian. Menjadikan keterbatasan sebagai judul dan isi dari lembaran cerita mereka. Hidup dalam gelap, hutan dan belukar serta hembusan angin yang sesekali berhembus dengan aroma rimba yang ditawarkan hanya segelintir penyedap rasa utuk bercerita tentangnya. Lantas! Apakah ini bisa menjadi alasan kita enggan untuk melirik lebih banyak untuknya? Rasanya itu terlalu naif untuk disebutkan dan sudah jadi keharusan untuk kemudian menindakinya.
Keyakinan akan keberadaan, mencerna segala problematika yang terjadi dan mengubahnya menjadi alibi-alibi dari ketiadaan yang diperadakan jelas mendorongku untuk mengutuk diam. Menjadi penikmat dari sisi kelam di sudut negeri rasanya telalu hina untuk dilakukan. Namun, di sini kita bukanlah seorang penyihir apalagi Tuhan yang mampu mengubah keadaan dalam sekejap.
Di sini, kami hanyalah manusia-manusia kecil dengan mimpi-mimpi besar. Mimpi yang kurajut dari garis kehidupan mereka, mimpi yang tercipta dari rasa yang tumbuh dari hari kehari. Meski ketika akhir menjemput mimpi itu tak dapat kusempurnakan.
Mungkin ini terkesan terlalu dramatis untuk kemudian dipahami. Namun, bagi kami itulah sekelumit warisan yang kami dapatkan. Keberadaan kami (SM-3T) yng dipandang miring oleh sebagian orang jelas sedikit menimbulkan rasa tidak enak. Dicap sebagai guru mata-mata, di anggap sebagai program yang tidak layak, dalam artian pemborosan anggaran adalah sebagian dari cibiran buat kami.
Aku tidak menepis argumen-argumen semacam itu. Bukan membenarkan, bukan pula menyalahkan. Jujur jika sepintas mengenal arti kata SM-3T, argumen argumen semacam itu layak untuk diperadakan. Menggaris bawahi kata mendidik  jelas seolah menganak tirikan atau memotong langkah mereka yang berhak disana. Itu jika dipahami hanya dalam ranah yang terbatas. Tapi, jika saja proses yang kami jalani mendapat sedikit ruang untuk menjelaskan, maka hal yang disayangkan itu tidak akan terjadi.
Penghapusan program SM-3T serta isu peniadaan GGD (Guru Garis Depan) menurutku adalah sesuatu yang sangat disayangkan. Betapa tidak, jika mengingat akan perjuangan yang mereka lakukan. Alasan mendasar keberadaan dalam pengabdian memang beraneka ragam. Namun, dalam langkah menggulung cerita sebuah rasa yang tak pernah dengan sempurna mampu untuk dijabarkan jelas tumbuh di relung hati. Tumbuh dan berkembang seraya bertambahnya usia mereka dalam pengabdian.
Keinginan yang lahir untuk serta-merta membantu dan menuntun mereka untuk tetap melihat terang. Menyegarkan harapan-harapan yang dipandang telah layu oleh kenyataan-kenyataan yang menghakimi. Meskipun kami harus meninggalkn zona nyaman. Rela bertahan meski sagu, ubi kayu, ubi jalar, bahkan sampai pada biji nangka yang kemudian dijadikan sebagai penyambung hidup.
Berjalan berjam-jam membelah rimba yang tergolong masih perawan, menembus terik, mengabaikan hujan, menapaki lumpur, mengarungi riak-riak, laut lepas dan rawa yang jelas dihuni oleh buaya. Hidup di wilayah dengan penyakit (Malaria) yang tumbuh subur, siang yang lembab dan malam yang dingin menggigit serta kematian yang menjelma dalam bentuk jenuh dan bosan jelas tak membuat mereka angkat kaki dan menanggalkan amanah yang berada di pundaknya.
Bertahan dan tetap bersenandung dibawah bendera SM-3T adalah kata yang tak mungkin mendapat penawaran lagi. Jika bukan nurani yang berbicara, adakah kiranya alasan lain untuk mereka tetap mengabdikan diri?
Dalam keterbatasan-keterbatasan itu, rasa saling memiliki telah melingkar dan memeluk erat. Sekalipun warna kulit, bentuk rambut, bahasa, adat istiadat menolak akan hal itu. Namun, apa yang mengalir dalam diri menjadi alasan utama yang mendasari. Perbedaan yang tercipta hanyalah sebatas simbol tak berdasar. Toh kita bersandar pada semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Selain itu, keberadaan SM3T di pelosok-pelosok juga sebagai perpenjangan tangan dari pemerintah. Mereka sebagai bukti nyata akan Indonesi yang menolak lupa akan keberadaan mereka, sekalipun mereka bersembunyi di sudut negeri. Menanamkan kembali nilai-nilai kebangsaan bagi mereka yang pahamnya akan negara telah terdegradasi. Banyak di antara mereka yang tidak mengerti tentang apa itu Indonesia. Jika ditanya, maka jawabnya hanya sampai kepada kata “Papua”. Seolah mereka hidup di suatu negara bernama papua itu. Mengajarkan akan Undang-Undang Dasar 1945 serta lambang dan dasar negara yang diwujudkan dalam upacara bendera yang mereka laksanakan sebagai bentuk tanggung jawab sebagai pewaris darah Ibu Pertiwi.
Bagiku pendidikan adalah kata kunci untuk menjaga Indonesia tetap merdeka. Maka dari itu, program atau kebijakan pemerintah untuk menjangkau mereka adalah jawaban terbaik disaat mereka yang bersangkutan enggan untuk melirik dan memilih meninabobokan problema tersebut. Bukankah jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke-4 sudah dijelaskan untuk “mencerdaskan anak bangsa”.
Bagiku Indonesia bukan hanya milik mereka yang berada di ranah ibu kota dan sekitarnya. Jika mengaca pada pemikiran akan Indonesia sebagai mata rantai yang tidak bisa dipisahkan maka sudah seharusnya Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke yang diwujudkan dengan sebuah tindakan tanpa menganaktirikan mereka yang mendiami sudut sudut gelap negeri ini.
Mengembalikan Indonesia sebagaimana yang seharusnya. Mengatasnamakan Pancasila sebagai ideologi yang berdasar pada nilai-nilai luhurnya. Itu kemudian bisa tercipta dari generasi penerus bangsa. Mempersiapkan bibit-bibit unggul yang benar menjiwai dan mengadopsi nilai nilai luhur Pancasila itu sendiri. Pendidikan sejak dini adalah salah satu langkah yang harus ditempuh.
Namun bukan hanya sebatas memasukkan dalam kurikulum-kurikulum pembelajaran seperti yang terjadi sampai saat ini. Lebih dari pada itu, bagiku diperlukan sampai kepada tahap implementatif. Dengan ini, menurut saya negara akan menjadi besar dengan adanya generasi yang sadar akan pentingnya pendidikan dan memiliki rasa nasionalis yang tinggi. Dan lebih dari pada itu, cita-cita luhur Indonesia akan terwujud. Maka, harapku program-program yang mengedepankan pendidikan di daerah pelosok tetap diertahankan, demi percepatan pertumbuhan pendidikan dan demi terciptanya generasi Emas Indonesia.
Dari ujung negeri kami menyapa.
Indonesia    “KAMI MENOLAK DIAM!!!
BUNG HATTA
“ Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”
JENDERAL SUDIRMAN
“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi  benteng merah putih. Akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang kuhadapi.
Ir. SOEKARNO
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai! Berjuang terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat.
3 notes · View notes