Tumgik
#mataharinya
generasbir · 2 years
Text
Kaum Bumi datar bertanya ada foto bumi tapi tidak ada mataharinya
Banyak foto bumi dan matahari bulan di google namun itu hanya gambar imajiner yang tidak sesuai dengan jarak dan diameter Matahari dan Bumi termaksud bulan.
Selengkapnya klik disini.
Tumblr media
Mataharinya? Seperti yang kalian ketahui Lidah matahari menjilat-jilat seperti kelaparan yang ingin memangsa siapa saja
0 notes
menerjangbosan · 2 years
Text
Kenapa banyak foto bumi tapi tidak ada mataharinya
Bumi bulat _ Matahari besarnya seperti apa yah kira-kira. Banyak foto bumi dan matahari bulan di google namun itu hanya gambar imajiner yang tidak sesuai dengan jarak dan diameter Matahari dan Bumi termaksud bulan. Banyak orang bertanya-tanya dimana Mataharinya? Seperti yang kalian ketahui Lidah matahari menjilat-jilat seperti kelaparan yang ingin memangsa siapa saja. Dikutip dari situs…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
gizantara · 4 months
Text
Learn, Unlearn, Relearn
Waktu itu baca kutipan dari instagramnya (at)esslythe, katanya:
"Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli dengan perasaan. Fokusnya emang supaya kita bertumbuh."
Tumblr media
Nah dari kutipan itu aku kembangin jadi begini:
“Yang namanya pertumbuhan itu nggak peduli sama perasaan. Buktinya, untuk menghasilkan buah yang manis, pohon nggak perlu menuntut air hujan dulu supaya manis rasanya. Fokusnya memang supaya kita bertumbuh. Dan bukan untuk menjadi diri sendiri melainkan menjadi yang seharusnya: pribadi yang Dia inginkan.”
Terus doa yang diulang belakangan ini akhirnya bukan semoga orang lain sadar melainkan semoga aku yang sadar, barangkali ada bagian-bagian yang aku melakukan kekeliruan di dalamnya.
Ternyata emang lebih menenangkan fokus pada pertumbuhan diri daripada mempertanyakan pertumbuhan orang lain. Karena hidup kan sebenarnya perlombaan dengan diri kita yang hari sebelumnya. Setiap harinya kita akan meninjau sudah sejauh mana ∆ improvement yang kita hasilkan. Sudah seefisien apa sumber daya dan waktu teralokasikan. ∆ improvement-nya sudah sepadan belum dengan apa yang udah dikeluarkan? Kalau belum, evaluasinya apa? Intervensi apa yang sekiranya efektif (berpengaruh)?
Tentu selama masih diberi nafas, akan selalu ada input yang diproses sehingga menghasilkan output tertentu. Selain pada hal yang diinput, output juga akan bergantung pada sistem operasi internal dalam diri kita. Makanya yang terpenting bukan air hujannya manis apa enggak, tapi proses fotosintesisnya udah bener belum? Mataharinya terhalangi nggak? Klorofilnya memadai nggak? (Di samping air, CO2, dan zat haranya memadai atau nggak sebagai input).
Dalam hidup, "proses fotosintesis" ini akan analog dengan "cara memandang, cara berpikir, cara bersikap". Kita ingat, dalam reaksi terang, energi cahaya digunakan untuk memecah molekul air menjadi oksigen, proton, dan elektron. Sementara itu, cara kita memandang bisa saja justru "membelakangi" atau menutupi arah cahaya datang, sehingga input-input yang masuk lewat pendengaran dan penglihatan tidak dapat dipecah/dipilah berdasarkan relevansi/prioritas. Kalau dari cara memandangnya udah nggak bener, pengolahannya juga bakalan nggak terorganisir, dan pengambilan sikapnya bakal kontraproduktif.
Makanya yang bikin buah manis itu adalah proses fotosintesisnya serta proses pengangkutan glukosa oleh jaringan floem. Analog dengan hidup kita bahwa yang bikin hidup kita manis itu bukan dari kita mendengar dan melihat hal yang menyenangkan, melainkan dari kita memproses sesuatu dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang diolah tersebut.
Kemudian hal itu jadi alasanku selalu bilang ke orang yang seneng sama tulisanku, "yang indah bukan tulisanku, tapi cara kamu membaca". Soalnya ya, bagus atau enggaknya tulisan mah relatif, tergantung kondisi dan relevansi yang baca. Tapi kan kalau orang udah punya cara pandang yang bagus, apapun tanda-tanda kekuasaan Allah di hadapannya akan dia proses dengan cara yang indah dan menghasilkan output yang indah juga.
Terus gimana soal perasaan? Aku setuju bahwa tumbuh dewasa adalah membiasakan diri berhadapan dengan rasa sakit di waktu yang tepat dan menghindar pula di waktu yang tepat. Dan tiap-tiap orang bisa tersakiti di tempat-tempat yang berbeda dalam hatinya. Pertumbuhan memang nggak peduli perasaan. Tapi dalam prosesnya kita diuntungkan karena memperoleh kebijaksanaan dalam meregulasi perasaan. Kita jadi bisa nggak over reacting terhadap sesuatu, tapi juga nggak sampai nirempati. Soalnya maa khalaqta haadza bathilaa, kan? Nggak ada yang Allah ciptakan sia-sia, termasuk emosi.
Jadi sebenarnya kita disuruh mikir, bagaimana berperasaan pun dapat menjadi ladang kita bertumbuh menjadi pribadi yang Allah mau. Dan kita masih manusia. Selogis-logisnya orang juga Allah pasti kasih jatah di ujian emosional (emosi itu banyak macemnya yak: marah, suka, kecewa, takut, iri, cinta, benci, dll.). Seperasa-perasanya orang juga pasti Allah uji di ranah pemikiran/hal yang butuh logika.
Kita makhluk yang dinamis. Sebagai makhluk pembelajar, kita akan senantiasa mengalami pertukaran value. Nilai-nilai kehidupan yang relevan di satu masa, mungkin tak lagi berlaku di masa selanjutnya. Jadi dalam proses learn, unlearn, dan relearn ini semoga kita selalu punya kesiapan untuk ditunjukkan Allah saat kita salah (unlearn), bagaimanapun jalannya. Bahkan jika itu harus melalui kejadian yang kita nggak suka, atau melalui orang yang kita nggak dekat dengannya. Serta semoga kita diberikan kekuatan untuk memperbarui nilai-nilai yang kita anut menurut kacamata Ilahi (relearn).
Mudah-mudahan kita senantiasa diberkahi kerendahan dan kemurnian hati dalam proses learn, unlearn, dan relearn.
— Giza, tadinya tulisan ini direncanakan cuma bakal 3 paragraf kenapa jadi manjang gini yak wkwk
80 notes · View notes
berserita · 3 months
Text
Apa yang membuat manusia merasa cukup?
Dunia lambat laun menua, tapi kenapa ya mau kita tak kunjung usai jua? Aku pikir dulu memilikinya sudah dirasa sempurna dan cukup. Segala sesuatu yang awalnya tampak jelas perlahan memudar. Seperti baju baru yang terus terus dipakai dan dicuci, makin lama akan makin koyak.
Kalau perasaan bisa tumbuh, maka harusnya kamu gak heran kenapa ia bisa layu. Coba ingat, mungkin pupuknya? atau sinar mataharinya? atau mungkin penyiramannya? Salah satunya atau semua nya mungkin ada yang salah.
Perbaiki selagi bisa, karena melepas sesuatu yang belum diperjuangkan terkadang menyisakan sesak luar biasa. Mintalah petunjukNya yang terbaik, cobalah untuk meresapi hal hal yang bisa membuatnya jadi lebih baik walau mungkin bukan bersama jawabannya.
berserita on tumblr
28 notes · View notes
dearmateen · 5 months
Text
Tumblr media
hai ay pagi ini aku jadi ke batu kuda mencari sunrise hehe, mataharinya dapet tapi lautan awannya ngga :( cuma kabut tadi pagi huhu. ini aku baru sampe kosan lagii
Tumblr media Tumblr media
10 notes · View notes
nabiladinta · 3 months
Text
Hari-Hari di Pamulang (3)
“Kamu cantik nggak?” tanyamu usil dan bikin kesal, haha. Aku malah balik bertanya, “Kakak ganteng nggak?”
Jelas bisa dipastikan jawabannya lantang dan percaya diri dirimu ganteng. Sambil ketawa lebar, ih dasar haha. Apalagi ini kali kedua kamu memanjangkan rambut. Buatku sepertinya semua lelaki harus mencoba berambut panjang, sebagaimana Bapak dan kedua adik laki-lakiku yang melewati rambut awur-awutan dan sok mau gondrong padahal keriting jadi lucu haha.
Secuil obrolan makan malam di warung nasi goreng dekat Taman Serua.
Waktu yang sedikit itu aku dan Rama habiskan dengan menonton film Inside Out 2 (punten kami betulan nggak sadar kalau film-nya masuk dalam produksi yang diboikot, sungguh) di mall terdekat dari rumah kami. Jelas dari judul filmnya bisa ditebak kalau yang nonton banyak anak-anak dan ibunya, jadi sembari kami menonton sesekali ketawa liat ekspresi anak kecil yang nggak sabaran dan maju ke depan sambil lendetan. 
Inside Out buatku dan Rama sangat dalam, ia berarti sebuah film yang dikemas unik, kreatif, dan canggih untuk menceritakan bahwa manusia tidak tunggal. Ia hidup bersama beragam emosi yang harus dijelajahi dan diterima. Meskipun seiring kita tumbuh dewasa, waktu seperti berhenti mengeksplorasi emosi dan rasa. Terjebak dalam kecemasan mendalam dan sukar diurai.
Ini kali kedua kami nonton di mall itu, sebagai orang yang nggak suka ke mall, praktis saja dan nggak perlu jauh mencari mall yang megah (hehe). Sepulang dari sana kami makan nasi goreng dan kwetiau dekat rumah Rama yang dibekali beberapa bakwan jagung panas dari Umi Rama. Itung-itung cemilan penyelamat perutku yang lapar sekali.
Hari yang tidak begitu panjang itu buatku (lagi-lagi) menikmati nafas lega di tengah udara Pamulang yang semakin panas dan sesak. Bagian yang tidak kalah berarti adalah jalan menuju mall yang Rama pilih sisiri, jalanan kampung sekaligus kluster perumahan elit yang menembus sampai tanah lapang luas serta kebun yang masih luas dipandang mata. Tentu tanah yang tidak bebas. Milik Abu Rizal Bakrie. Disertai beberapa bangunan yang terbengkalai.
Nafasku lega tapi hatiku sesak, yah apes sekali mau punya udara dan tanah yang bebas sulit sekali.
Ternyata, 
Lapangan sepak bola yang luas dan sejuk memandang ke langit itu 8-10 tahun lalu adalah ruang di mana hari-hari Rama diisi dengan ikut sekolah bola tiga atau kadang lebih dalam seminggu. 
Beberapa kali kami tentu salah jalan, Rama mencoba meraba memori masa lalunya yang perlahan berubah karena pembangunan kota. Buatku, justru jadi seru karena sesekali kami harus putar balik. Selain itu, percobaan ini mengingatkanku pada Bapak yang juga senang menyisir jalan-jalan kecil di Temanggung. Sembari bercerita tentang sebuah tempat, entah memorinya atau beberapa orang yang ia kenal menjajaki tempat itu.
Oh ya, langit sore itu cerah sekali. Mataharinya terang benderang. Memantul dari gedung mall yang tinggi.
Bandung, 23 Juni 2024
22.46
2 notes · View notes
asrisgratitudejournal · 6 months
Text
Menulis
Hari Selasa kemarin ku lunch (ku lagi gak puasa) bareng Oliv di Linacre di luar(!) karena mataharinya lagi keluar. Tiba-tiba kami bahas Chris Thorogood yang bukunya sudah published dan Tamsin yang mau publish a book. Terus randomly Oliv tanya “Mbak Noni kalau nulis buku mau nulis buku tentang apa?”
Jawabanku adalah: kayanya buku tentang gimana ku bisa sampai di sini sekarang (mayan boring boooo) tapi ku juga bilang verbatim “bukan in a ‘kalau aku bisa, kalian juga pasti bisa!’ way, tapi lebih ke challenges & obstacles apa yang dihadapi terutama sebagai wanita di STEM” (DI negara dunia ketiga pulak, as if jadi wanita di STEM di negara dunia pertama nggak susah).
Di buku itu ku pengen laying out “ini loh masalah sistematisnya kenapa women in STEM ini pipelinenya leaking: stigma & ekspektasi apa aja yang society taroh di titel ‘wanita’ misalnya, yang sangat meng-hinder progres dari konsep kesetaraan itu sendiri.”
Lah jadi politis. Tapi iya, ku kalau nulis buku, kayanya pasti akan harus ada stand/stance(?) politik yang jelas dari aku personally. Bakal di-edit sama editor sih mungkin, tapi at least ideally ku ingin bisa nulis sejujur mungkin seperti ku nulis di tumblr ini misalnya.
Mau nulis tentang apa lagi ya. Belum ada kepikiran lainnya sih. Sempat beride pas lagi jalan dan ramai selebrasi international women’s day kemarin buat nulis postingan judulnya “Menikah: siapa yang diuntungkan???”. Tapi kok ya kontroversial sekali.
Isinya juga awalnya idenya ya bahas sejarah konsep menikah di manusia itu sebetulnya mulai ada kapan dan kenapa dan gimana awal mulanya. Karena dulu pas kita hunter-gatherer konsepnya ya masih kepala suku punya wanita banyak aja gaksih di sekitarnya(?). Terus yaudah jadi bahas gimana konsep pernikahan modern sekarang ini, dan bahas jadinya siapa yang diuntungkan dari pernikahan. Hint: aku mau buat jawabannya adalah suami, tapi nanti mendapat protes “lho untung dari mana? saya kan yang mencari penghasilan untuk makan keluarga saya?? Saya rugi dong nggak untung”. Yang tapi kalimat ini menjadi alasan gimana aku kepikiran sama judul postingan itu. Responku terhadap protes suami2: “lah ya kalau keberatan jadi tulang punggung keluarga mah gausah nikah aja dong dari awal. Jadi sebetulnya siapa yang diuntungkan sih?? Negara??”.
Jawabannya belom ada tapi intinya itu aja dulu idenya.
Udah sih gakpernah/belum kepikiran mau nulis yang lain apa lagi. Pengen sih bahas pengalaman fangirling dihubungin ke neurosains gitu. Berusaha memahami “apasih ini sebetulnya yang terjadi di otakku?? Kenapa ku bisa obsessed bgt??”. Tapi kayanya instead of nulis, ini lebih jadi personal research project dulu aja.
Sekian dulu mau tidur takut gak kebangun sahur nanti.
Rumah OX1 1AD , 01.03 28/03/24
3 notes · View notes
apriliakinasih · 6 months
Text
Senja dari Balik Kaca Jendela
Sore ini, sambil menunggu waktu berbuka, aku membawa laptopku ke ruang tamu. Aku lalu membuka e-book, dan menenggelamkan diri pada halaman demi halaman buku yang sedang kubaca. Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba kulihat ada cahaya jingga pada kaca jendela ruang tamuku. 
Seketika aku tahu bahwa itu adalah sinar matahari senja. Saat itu juga, aku langsung bergegas untuk melihat senja dari balik jendela. Aku duduk di kursi dekat jendela dan menikmati pemandangan matahari yang membulat besar dan—sebenarnya—menyilaukan. Tapi walau bagaimana pun, aku selalu menyukai matahari senja. 
Ketika aku sedang menikmati pemandangan, tiba-tiba aku teringat akan satu mimpiku. Mimpi yang dulu pernah mengakar kuat dalam hatiku. Sebuah mimpi sederhana, yang entah bisa atau tidak terwujud di masa depan. 
Mimpiku itu adalah memandangi langit senja lengkap dengan mataharinya yang besar, dengan seseorang yang kucintai. Dulu, aku ingin kelak bisa menikmati senja bersamanya. Tapi saat ini, aku bahkan sudah melupakan dirinya. Dia sudah lama pergi dari hatiku. Itulah kenapa tadi aku mengatakan bahwa aku tidak tahu apakah kelak mimpi itu bisa terwujud atau tidak. Karena aku tidak tahu, apakah dia ditakdirkan untukku atau tidak.
Senja memang begitu indah, dan terkadang bisa membawa pikiran kita pada mimpi kita yang indah—meski mimpi itu sudah lama sekali. 
(19 Maret 2024|17:47 WIB)
4 notes · View notes
dominoelse · 1 year
Text
Ternyata, setelah sekian lama, aku baru sadar kalo aku jauh lebih jatuh cinta dengan pantai daripada yang lain.
Pantai mampu memberi tanpa menuntut banyak hal. Riuh debur, desiran pasir, serta mataharinya yang terik itu mampu memberikan kehangatan yang bukan hanya menyenangkan tapi juga menenangkan.
Lalu sedikit saja kita menyelam lebih dalam, ada banyak sekali istana indah yang terhampar.
Ya, gitu.
Soalnya kalo naik gunung, selain ga pernah dapet izin, juga melelahkan ya kalo dipikir2.
16 notes · View notes
rilisakista · 1 year
Text
Tumblr media
Lapang dada kaya GBK, hangat kaya mataharinya.
8 notes · View notes
coklatjingga · 2 years
Text
#DialogRaSa (1)
Tumblr media
"Allah itu baik ya. Padahal tadi terik, sekarang hujan."
Tiba-tiba saja Sada tersenyum menatap langit siang yang mendadak berkabung dan gerimis menyerbu bumi. Aneh sekali anak ini, bisik Rania dalam hati melirik gadis yang terus melangkah di sampingnya.
Semilir angin menampar pipi dan memainkan kerudung yang menutupi kepala keduanya. Mereka terus berlari kecil menuju halte yang sudah ramai ditempati para pengguna jalan yang tengah berteduh.
"Kamu lagi nyindir kuasa Allah?" timpal Rania memperbaiki kerudung yang menutupi keningnya begitu sampai di pinggir halte.
"Mana berani. Aku serius. Sedang takjub dengan kebaikan Allah."
Rania mengernyit. Kepalanya miring menatap Sada dari samping. Wajah putih mulus seperti pantat bayi itu tampak cerah berlawanan dengan langit yang mendadak suram.
"Aku belum paham."
Sada tersenyum. Sekali lagi wajahnya tampak bersinar menatap lurus hamparan awan pekat di atas sana.
"Iya, Allah itu baik pake banget. Tadi kan, panas dan gerah karena mataharinya nantang. Eh, sekarang dikasih hujan biar sejuk," terang Sada disambut anggukan kepala oleh Rania.
"I see." Rania menengadahkan tangan di bawah cucuran atap halte untuk menyambut air hujan yang turun.
"Kita ini butuh hujan untuk membasahi jiwa yang kering, Ran. Malah hujan itu menumbuhkan apa yang tersembunyi di tanah, kan. Begitu juga hati kita. Patah dan sakit, air mata yang jatuh, tanpa sadar malah menumbuhkan kedekatan kita pada Allah."
Rania sangat suka ketika Sada mengeluarkan pemikirannya. Sambil tersenyum Rania mengangguk setuju dengan apa yang baru saja Sada sampaikan. Hujan tidak datang tanpa tujuan. Begitu juga kesedihan hadir bukan untuk melemahkan.
10 notes · View notes
zhaf · 1 year
Text
Tumblr media
Tumbuh | 02
Setelah hidup 7 hari di Ciputat, ternyata langit Solo tampak lebih indah dengan biru mudanya yang menyala. Langit di sini keruh, berwarna putih semi kelabu. Mataharinya hanya tampak di waktu senja. Udaranya panas, rata-rata 27° C di setiap harinya. Bisa kurang bisa lebih. Angin sepoi-sepoi jarang lewat kecuali di beberapa menit saat pagi hari. Udaranya relatif panas, penuh polusi.
Tidak apa-apa. Yang namanya tumbuh dan survive itu tidak melulu harus berada di tempat yang enak. Kita harus sesekali mencoba untuk keluar dari zona nyaman kita sendiri.
26/08/23
3 notes · View notes
dwsrkhns · 1 year
Text
Kemarin-kemarin tuh habis pake peeling serum malemnya terus pas pagi hari karena riweuh lupa tuh menjelang jam 11an baru pake sunscreen (salah besar ini bener-bener deh lupa). Emang sih di rumah aja tapi Majalengka tuh terik banget cahaya mataharinya. Yang masuk rumah juga lumayan sinarnya tuh. Lalu pagi ini pas ngaca baru ngeuh dong di area hidung deket mata ada bercak hipopigmentasi 😭
Kenapa sadar karena adik tengah udah pernah beberapa kali ngalamin duluan, sempet balik lagi warna kulitnya tp yang terakhir tuh di pipi masih ada.
Jadi takut buat peeling lagi huhuhu.. Semoga ini warna kulitnya bisa balik lagi..
3 notes · View notes
gradistie · 1 year
Text
Love... (is hard to find)
Orang bilang, mencari cinta sejati bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mungkin sekalinya menemukan jarum itu, alih-alih melukai tanganmu. Bahkan setelah menemukan pun tetaplah tidak mudah.
Seorang pujangga pernah berkata kepadaku, “Love is hard to find”. Aku menyetujuinya.
Bahkan menikah pun bukan berarti mematenkan bahwa ia adalah jodoh kita. Dunia pernikahan itu pelik. Ada yang menikah hanya karena rasa kasihan sembari menunggu ‘miracle’ bahwa hatinya bisa kembali jatuh cinta dengan orang yang dinikahinya. Meski waktu demi waktu berlalu ikatan hanya menjadi sebuah luka yang perihnya menjadi-jadi.
Ada yang menikah dengan rasa yang menggebu, berakhir dengan hampa bahkan meneteskan airmata pun tidak. Ada pula yang menikah, namun ditengah jalan seperti salah memilih dan mungkin hanya bisa diam ditempat. Pelik, bak berjalan dalam labirin.
Namun ada pula yang berkata padaku, “Menikah itu seperti merawat bunga. Harus disiram dengan air dengan rajin, diberi pupuk terbaik, dicukupkan sinar mataharinya, dan itu dilakukan berdua. Jika salah satu berhenti melakukannya, cepat atau lambat bunga itu akan layu kemudian mati.”
Ia pun berkata, bahwa bahagia itu kita yang menentukan. Bahagia bukan bergantung pada orang lain.
Ia yang masih menjadi muse. Meski lama aku tak menulis maupun bercerita tentangnya.
5 notes · View notes
a-meliaa · 1 year
Text
Juli Yang Temaram
Juli yang temaram
Pagi-pagi hujan sudah mengguyur bumi seolah ia kehausan
Dipaksanya mata-mata letih untuk terbuka,
demi kertas-kertas yang katanya dapat membeli harga diri
Juli yang temaram
Sampai ketengah hari sang surya masih enggan membagi sedikit hangatnya
Bergaduh apa dengannya kau semalam?
hingga sembunyi dia di balik awan-awan hitam,
menumpah-ruahkan jutaan emosi pada juli yang temaram
Juli
Kau tak perlu indah,
yang penting hujannya berhenti
mataharinya tidak panas
anginnya tidak kencang
Kau juga tak harus ringan
yang penting tenang
dan tak temaram
Itu saja sudah membuatku senang.
3 notes · View notes
ikakuinita · 1 year
Text
Ndana Rote
NTT#3
Dulu waktu Aku KKN di Miangas tahun 2015 Aku ditugaskan di Rumah Pintar (semacam rumah baca dan bermain untuk anak-anak). Salah satu tugasnya memberi label buku anak yang banyak banget, sampai berdus-dus biar tercatat dengan rapi dan bisa dipakai. Suatu siang Aku menemukan buku full colour yang isinya tentang pulau-pulau perbatasan Indonesia. Kubuka perlahan-lahan dan Aku berhenti di halaman dengan gambar tebing memanjang yang dipotret pas lagi senja. Warna merah merekah mataharinya itu wuuiihhh cantik banget. Lalu Aku membatin, suatu saat Aku pengen ke sini. Namanya Pulau Rote, Pulau perbatasan Indonesia-Australia.
Tibalah Aku di masa yang sudah cukup berani berkelana dan ada waktu meski budget amat terbatas. Masih diperjalanan NTT, sayangnya waktu itu Aku harus memilih antara Atambua dan Rote karena tidak mungkin Aku bisa mendatangi keduanya dengan estimasi budget yang Aku punya dan kupilihlah Atambua. Nah, diperjalanan Soe kemarin Aku tu minta sama bapa buat dikirimin uang tambahan untuk perjalanan Soe-Kupang dan tiket kapal pelni Kupang-Makassar. Aku pikir bakal dimarah-marahin karena bisa senekat itu sampai-sampai terdampar di Soe ternyata eh gak dimarahin. Malah waktu itu Bapaku kirim duit jaauhhh di atas yang Aku minta (mungkin beliau paham kalau sungguh aku benar-benar butuh refreshing setelah menyelesiakan dua kuliah sekaligus di dua kampus berbeda yang level stresnya minta ampun).
Nah pas Aku tiba di Kupang, bersiap-siaplah untuk kembali ke Makassar. Tiba-tiba tim 1000 guru ngajak buat nongkrong santai aja sama beberapa peserta yang udah Aku kenal sejak kegiatan kemarin. Aku iyakan lah ya sekalian mau bayar biaya kegiatan Travelling and Teaching. Tapi euyyy masih juga di tolak. Terus Aku ditanya, "Ika bukannya mau ke Rote juga? " Kujawab "tidak lagi". Nah, waktu pertama kali ketemu sama ketua 1000 guru Kupang aku tu fokus tanya 2 tempat, Atambua sama Rote yang kalau-kalau nih jalur Atambua tu susah banget di tembus Aku bisa pindah ke planning B yaitu Pulau Rote. Kak Rini (salah satu peserta yang Aku akrab sama dia selama kegiatan) tawari gini, Ika kan udah mau balik Makassar lagian udah gak enak juga kan sama tuan rumah. Gimana kalau mulai besok pindah ke rumah kak Rini aja, kalau mau ke Rote dulu gak papa nanti pulangnya kita jemput nginap di rumah kak Rini, kita jalan-jalan dulu di Kupang baru balik Makassar (ngomongnya versi logat Kupang 😁) Aku lama-lama ngerti sih cuma ngulanginnya itu Aku gak tau...
Suatu hari, aku naik bemo (lupa mau kemana) pokoknya aku nyasar waktu itu. Sama kak Dino, (cewe yang aku kenal di acara 1000 guru kemarin) nelpon, Aku disuruh nunggu terus dijemput, at the end kita ngumpul-ngumpul bareng lagi. Kak Dino bilang kalau dia ada keluarga di Rote, kalau mau dia bisa telpon ke sana biar Aku ada tempat nginap sekitar 3 hari. Duhhhh kok kaya ada magnet ke sana yaaa. Malam itu juga, Aku nimbang-nimbang, cari info sebanyak-banyaknya meski yaaa itu-itu aja infonya. Terus Aku di chat sama anak 1000 guru yang lain, intinya itulah informasi yang Aku butuh selama ini. Kenapa? Karena target ku tuh bukan Pulau Rote saja tapi Pulau Ndana Rote. Jadi, dari Pulau Rote kita harus nyebrang lagi beberapa jam ke sana, Pulau tak berpenghuni. The real ujung selatan Indonesia. Tapi gimana caranya bisa nyampe ke sana, itu yang Aku gak tahu dari kemarin. Setelah kuperkirakan jarak tempuh, stamina, keamanan tempat tinggal, dan tentu saja isi kantong akhirnya Aku pamit dan sangat-sangat berterima kasih dengan keluarga yang rumahnya Aku tinggali, mereka baik luar biasa daaann Aku berangkat ke Rote.
Gak sampe sehari kok perjalanannya, pun rumah keluarga kak Dino dekat pelabuhan, mereka sekeluarga menyambut hangat sekali. Di sana, gak ada panggilan tante, yang ada tu Mama, dia tinggal bersama dua anaknya. Kebetulan, salah satu diantaranya tu pengen banget ke Ndana Rote, secara... Tinggal di Rote tapi gak pernah ke Ndana Rote yaahh sayang banget. Itulah juga yang bikin mereka excited sama kedatanganku karena menuju ke sana gak bisa sendirian. Kita cari nelayan yang bisa bawa kita kesana, pokoknya kita cari sampai dapat. Pas nego-nego waduh budgetku gak cukup. Dibisa-bisain sih iya cuma Aku harus ada pegangan untuk tiket pulang ke Makassar. Seharian itu, Aku tu kaya eee kalau gak bisa ke sana gak papa. Keliling Rote ini Aku tuh udah seneng banget. Tapi malamnya, anaknya mama ini kasi tau kalau ada teman juga yang pengen banget ke sana. Sisa budgetku yang gak cukup itu ditambahin sama dia. Dan sejak awal Aku dikasi tau kalau nelayan yang mau nganter kita gak ngambil untung sama sekali, jadi ini tu murni uang minyak aja (Di sana bensin itu namanya minyak).
Aku ada rasa gak enak sebenarnya sama Bapak nelayan itu. Kalau gak salah ingat aku bayar sekitar 250-300rb terus kenalan yang baru itu nambahin 150rb. Rasa gak enak ini ada terus di hati ku, antara kepengen banget nyampe sana tapi Aku takut dzolim sama orang karena dia gak dapat untung, sementara kedua teman baruku sama kaya Aku udah kepingin dan niat berangkat. Terus, Aku dikasi tau juga kalau ini tu udah nelayan yang memang baik dan jago banget. Aku bener-bener kepo soal ini, kenapa? Karena lautan yang akan kita lewati adalah samudera Hindia. Ombaknya pasti gak main-main, yang namanya lautan tapi gak dikelilingi banyak pulau besar pasti dehhh harus benar-benar siap terguncang. Akhirnya Aku iyakan meski tetap ada rasa sungkan, perjalanan dari rumah sampe pelabuhan TNI tempat start nya hidiiihhhhh jauh banget padahal berangkat dari pukul 05.30 pagi.
Kita naik ke perahu sekitar pukul 09.00 ckckckck caaanntikkk banget Pulau Rote ini, pokoknya alamnya Indonesia itu juara. Di awal-awal kita masih bisa menikmati perjalanan, duduk di atas perahu, mesinnya berderu, kanan kiri banyak burung beterbangan, masih banyak pulau-pulau kecil, tebing-tebing tinggi, ikan-ikan yang kelihatan dari atas saking jernihnya dan masih bisa ketemu banyak nelayan yang lagi mancing dan saling sapa. Bapa nelayan yang nganter kami bahkan sempat dapat ikan besar juga. Masya Allah ini tu pemandangan yang bikin jiwa tenang. Bahkan yang Aku liat, nelayan berhenti di titik tertentu terus mancing di situ, keliatannya sih cuma nunggu ada ikan tapi ada sesuatu yang bikin aktivitas itu bukan sekedar nangkap ikan tapi makna yang jauh lebih dalam dari itu. Pokoknya I like that moment.
Nah... Sekarang tibalah saat semua pulau-pulau kecil itu terlewati. Ombaknya luar biasa ganas... Yang tadinya bisa duduk-duduk ngobrol santai di bagian depan perahu sekarang tidak lagi, harus pegangan di tiang perahu. Aku sampai beberapa kali terhempas ke kanan-kiri. Makin lama ombaknya makin tinggi dan sangat menegangkan. Aku sampai gak berani menatap ke depan pas kita harus melewati ombak yang menurutku tu hampir 3 meter. Jadi, ujung belakang perahu belum sempat turun sempurna, bagian depannya harus nanjak lagi. Wuuihhh kita bertiga udah gak berani natap ke depan. Di momen-momen ini Aku seriiing sekali membatin "perahu kita akan terbalik gak ya", tapi diputar sedemikian rupa pikiran itu biar ada hope dan hanya fokus kalau kita pasti sampai ditujuan dengan selamat.
Dan yaaaa, setelah bertarung sekitar 2 jam di ombak yang tinggi, sampailah kita, Pulau Ndana Rote. Pulau indah di ujung selatan Indonesia, berbatasan dengan Australia. Pulau yang tak dihuni masyarakat. Hanya ada belasan tentara penjaga perbatasan. Bapa nelayan menunggu di depan, dia mau istirahat di pos yang terbuat dari kayu. Sebelum kami masuk, beliau mengingatkan pukul 14.00-14.30 kita sudah harus kembali karena perjalanannya emang jauh banget. Kita bertiga mengisi buku tamu, disambut baik, disajikan makan siang, kami menjelaskan maksud kedatangan, lalu kita diceritakan tentang Pulau Ndana Rote, tentang pertukaran tentara yang jaga perbatasan dan kita akan keliling Pulau.
Aku gak mau melewatkan kesempatan ini meski panas terik luar biasa, jadi kita benar-benar liat bagaimana satu pulau yang hanya diisi sama rawa dan pepohonan di jaga seeeebegitunya. Harus survive memburu dan menembak binatang untuk makan apalagi di musim yang gak ada satupun kapal bisa membawa logistik saking ganasnya lautan. Dan mau gak mau, harus mancing padahal ombaknya tinggi. Kita ke lokasi tempat berburu, ke hutan yang punya sejarah masa lampau, dan area-area penting. Bahkan ada rawa yang airnya merah seperti darah, dari sejarahnya ini memang tempat pertumpahan darah jauh di masa lalu.
Pulau Miangas tempat KKN ku di ujung utara Indonesia ada icon Patung Santiago, nah kalau di Pulau Ndana Rote ujung selatan Indonesia ini iconnya patung Jendral Soedirman. Di situlah akhir perjalanan keliling Pulau, kita sempat foto bersama para tentara, mengabadikan momen dan masih sempat mendengar kisah-kisah tentara senior yang sudah malang melintang menjaga tahan air, dari kasus Aceh, timor leste, dll. Yang Aku tangkap, kalau mau jadi tentara memang harus benar-benar ada keinginan dari hati karena akan selalu berada di situasi peperangan "kalau bukan dia (lawan) yang mati, saya yang akan mati" dan harus siap di lokasi seperti ini bahkan yang jauh lebih parah dari ini. Aku memotret sebuah tulisan sebelum pamit "Jika tanah itu milik Indonesia, sejengkal pun nyawa taruhannya" Jlebb banget di hatiku waktu membaca tulisan itu.
Kami akhirnya pamit, berterima kasih telah disambut dengan suka cita. Kami pulang dengan ombak yang lebih bersahabat, semakin lama air makin tenang, kami menghabiskan sore di atas perahu, duduk mengobrol, dan menikmati senja. Sebelum berpisah Aku benar-benar berterima kasih sama Bapa nelayan karena yaaa setelah melalui perjalanan ini, tip yang kami beri rasanya jauh dari yang seharusnya, sangat jauh. Semoga benar-benar dilancarkan rejeki beliau yang sangat baik dan ramah.
Aku belajar satu hal dari perjalanan ini, kenapa kita bisa melewati perairan Samudera Hindia yang begitu kejam dan pelik, karena orang yang menahkodahi perahu ini bisa menghadapi ombak yang tinggi dengan tenang. Ia berdiri dibelakang perahu, memegang kendali mesin, fokus menatap ombak yang tinggi, sesekali memicingkan mata lalu mengambil keputusan di ombak yang mana perahu akan mengarah ke kiri atau ke kanan.
.
.
.
6 notes · View notes