Text
Sarung Tangan Pandai Besi
Aku adalah sarung tangan milik pandai besi. Aku digunakan saat dibutuhkan dan didiamkan selama waktu yang tidak ditentukan. Tempatku beristirahat adalah di dalam lemari bersama dengan tumpukan baju, celana, dan jaket milik si pandai besi.
Pagi ini si pandai besi akan menggunakanku untuk melindungi tangan kotornya dari panas besi yang menyengat. Aku belum bisa merasa bahagia saat digunakan olehnya. Aku merasakan kulit-kulitku terbakar. Hidungku terasa mati rasa karena keringatnya lebih bau daripada kotoran sapi yang baru saja bertemu rumput pagi ini. Entah apa yang ada di pikiran si pandai besi. Apakah dia tidak memikirkanku yang menderita ketika dipaksa memeluk jari-jari kasarnya? Apakah dia tidak tahu bahwa panas api membakar diriku? Ah. Sudahlah.
Aku telah menyelesaikan tugasku sore ini. Si pandai besi telah mengerjakan pesanan besi yang ia terima kemarin. Ini adalah saat aku harus kembali lagi ke dalam lemari. Ini adalah waktuku beristirahat. Aku berpikir sambil menghela nafas. Aku membayangkan diriku menjadi sarung tangan milik bangsawan wanita. Aku membayangkan diriku memeluk jari-jarinya yang mulus dan menikmati bau parfum di sela jari itu. Ah. Aku akan sangat menikmati perasaan saat menampar lelaki bajingan yang baru saja melukai pemilikku. Aku membayangkan hal-hal yang sangat membahagiakan dengan menjadi sarung tangan wanita bangsawan.
Ternyata itu cuma anganku. Sekarang, pagi telah datang dan di depanku ada sebuah sarung tangan.
“Ayo, Pengeluh! Saatnya kita bersiap-siap.”
Apa?! Aku tidak sendirian. Ternyata selama ini aku adalah sepasang. Aku tidak pernah menyadari bahwa pasanganku juga merasakan apa yang aku rasakan.
Kemudian si pandai besi membuka lemari dan menarik kami. Pagi ini, dia mengerjakan pesanan yang cukup banyak. Oke, aku siap menderita. Aku lihat wajah pasanganku. Ia tidak sekalipun ketakutan, tidak sekalipun kernyit di dahinya muncul. Ketika aku berteriak menahan panas yang menjilat, dia hanya memasang sikap siap untuk menerima panas selanjutnya.
Hari itu telah selesai. Kemudian, kami melewati hari demi hari dengan bersama. Sekali lagi, aku tidak menyadari bahwa kami telah lama bersama. Kebersamaan ini sungguh indah. Kami bersama-sama merasakan panas dan tertawa. Kami bersama-sama menahan panas dan menahan tawa. Tidak ada hal yang lebih baik daripada merasakan kebersamaan ini. Semoga kami tetap bersama. Hanya ada dua hal yang mengusik kebersamaan kami. Pertama adalah saat kami terpisah. Kedua adalah saat salah satu di antara kami terluka dan tidak mampu bertahan.
3 notes
·
View notes
Text
Rasa dan tenang
Rasa, rasa, rasakan!
Betapa murah nasihat dari diri untuk orang lain, tapi begitu berat nasihat dari diri untuk diri sendiri. Akhirnya, semesta hanya memahami dua kata: rasa dan tenang.
Tenang, tenang, tenangkan.
1 note
·
View note
Text
Hak
Terima kasih, Tuhan.
Untuk segala musibah dan berkah yang Kau beri.
Terima kasih, Tuhan.
Untuk segala cinta dan duka yang tiada henti.
Terima kasih, Tuhan.
Untuk segala kesusahan, kesedihan, dan kerapuhan diri.
Terima kasih, Tuhan.
Untuk segala kemudahan yang ada setelah kesulitan. Untuk segala kesepian yang datang setelah keramaian.
Terima kasih, Tuhan
Untuk hati yang mudah diombang-ambing.
Terima kasih, Tuhan.
Karena duka itu aku menjadi lebih pengasih.
Terima kasih, Tuhan.
Untuk membesarkan kepala sebelum memecahkannya menjadi berkeping-keping.
Sungguh, Tuhan.
Tolong sampaikan apapun secara gamblang. Banyak yang diri ini sangka baik, tetapi sangat buruk. Begitu pula sebaliknya.
Tolong, Tuhan.
Aku menangis darah sebab kekasih-Mu pun tidak mendapatkan kenyataan dari-Mu.
Tuhan.
Setelah aku sembah, janganlah azab diriku.
1 note
·
View note
Text
Perkenalkan!
Panggil saya Piets. (meniru opening Moby Dick-nya Herman Melville—Call me Ishmael). Saya bukan seorang mahasiswa yang rajin, tetapi tidak pernah ada seorang pun yang mencap saya malas selain Ibu saya. Pernah suatu waktu Ibu tercinta bertitah kepada saya dengan lembutnya untuk perbanyak belajar dan kurangi waktu bermain. Laknat, Bu. Saya malah banyak belajar saat bermain. Namun itu dalam diam.
Sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari keluarga, kehidupan bisa menjadi sangat rumit dan lucu. Seringkali kebebasan mendatangkan kebablasan. Bahwa lidah manusia memang pandai berdalih. Bahwa terkadang saya lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan. Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa. Bahwa orang yang putus asa sering memanggil asu.
Di samping rumit dan lucunya kehidupan itu, saya selalu berterima kasih kepada jauhnya jarak antara saya dengan Ibu. Jauhnya jarak itu ternyata mendekatkan saya dengan kehidupan kampus. Walau kadang rumit dan membingungkan kehidupan ini mengajari saya cara mengarang ilmu. Sehingga saya tahu bahwa sumber segala kisah adalah kasih. Bahwa ingin berawal dari angan. Bahwa orang ramah tidak mudah marah. Bahwa untuk menjadi gagah saya harus menjadi gigih. Bahwa seorang bintang harus tahan banting. Bahwa segala yang baik akan berbiak. Bahwa Ibu tidak pernah kehilangan iba—(Kamus Kecil-nya Joko Pinurbo).
Saya menyadari dinamika hidup dan pergeseran kepribadian dalam diri saya. Seolah diri merasa menjadi lebih muda, padahal hanya menjadi lebih tua. Seolah diri merasa menjadi bijaksana, padahal hanya menjadi sedikit lebih berhati-hati. Pergeseran yang saya alami seolah menjadikan diri lebih lambat, padahal hanya sedikit lebih memikirkan banyak kemungkinan tentang sedetik, dua menit, atau tiga jam kedepan tentang kehidupan seperti apa yang akan terjadi. Di satu sisi, saya membenci kehidupan yang tidak bisa diulang, diperlambat, dan dipercepat. Namun di sisi lain, saya bersyukur tidak pernah menjadi rajin dengan tidak memiliki alasan.
Saya bukan seorang mahasiswa yang selalu menghadiri perkuliahan di kelas. Terkadang saya malah membenci kuliah. Saya membenci kuliah saat kelas yang akan saya hadiri ternyata diundur beberapa jam. Terkadang sering juga diundur beberapa hari. Dan tidak jarang saya diwajibkan menghadiri perkuliahan pada hari Sabtu. Selalu saya memilih untuk tidak menghadiri kelas jika kelas itu dibuat pada hari tersebut. Di samping itu saya tidak hanya berdiam diri di kamar kos, menikmati Youtube, atau main game, melainkan selalu saya habiskan dengan pergi berjalan-jalan ke lereng Gunung Merapi, atau bersama teman berjalan selo ke Gunung Merbabu jalur Selo, atau sekedar menikmati nasi pecel di Warung Mbok Yem di Gunung Lawu.
Saya menyadari bahwa diri sudah candu dengan alam. Semoga anak cucu saya nanti bukan mecandu rokok dan obat terlarang, melainkan mecandu hal yang sama dengan saya. Ibu selalu saja menegur ketika saya bermain ke alam. Selalu dia berkata perbanyak belajar dan kurangi bermain. Selalu tidak berani saya berkata laknat bahwa saya banyak belajar saat bermain. Saya pastikan anak cucu saya nanti tidak perlu melaknat saya yang bertitah belajarlah saat bermain. Semoga mereka adalah orang-orang yang mencintai alam sepanjang hayatnya. Amin.
2 notes
·
View notes