Tumgik
tesauruskerja · 2 years
Text
Maluku Tenggara, Rindu, dan Cuaca.
"Ada satu tempat yang membuat seluruh hal yang saya impikan dan ku inginkan luruh dan menjadi satu. Tempat itu adalah sebuah pelukan milik seorang perempuan disalah satu sudut Jakarta" - M. Alfian Ada banyak orang yang memimpikan untuk berkelana dari satu tempat menuju tempat lain. Dari satu tujuan menuju tujuan lain. Dan jika demikian, saya telah menjadi salah satu yang telah mencapai mimpi itu. Berkelana jauh, jauh sekali.
Tapi waktu serta perasaan-perasaan yang menyertainya membuat mimpi itu berubah, sebab ada satu tempat yang membuatku merasa aman, tentram, dan bahagia. Ada satu tempat yang membuat seluruh hal yang saya impikan dan ku inginkan luruh dan menjadi satu. Tempat itu adalah sebuah pelukan milik seorang perempuan disalah satu sudut Jakarta, orang-orang memanggilnya Dewi. Dewi Ashriyanti. Istriku.
Saya berada di Ambon, ketika ini ku tulis. Kemarin, tanggal 8 Juli 2022, badai dan hujan menerjang Ambon, jarak pandang berada di sekitar 1.000 meter dan jauh dari angka yang dibutuhkan pilot untuk mendaratkan pesawatnya di Bandara Pattimura. Tanggal itu, pesawat yang hendak mendarat, kembali dan atau menuju Bandara terdekat ratusan penumpang terlantar. Ratusan bahkan ribuan orang menunggu kepastian kedatangan orang-orang yang dinantikannya.
Sementara itu, saya berada di Bandara Karel, Langgur. Meneguk kopi dan menggoyang-goyangkan kaki terus menerus, seperti kegelisahan seluruh penduduk Maluku Tenggara berada denganku. Saya memantau flight radar dan secara sukarela mentraktir orang-orang BMKG untuk duduk denganku dan memantau cuaca bersama-sama melalui aplikasi yang hanya mereka mengerti dan miliki.
Semakin lama duduk, semakin cangkir kopi kami kosong, kemungkinan kami menuju Ambon semakin mengecil, demikian juga kemungkinan saya dan dua orang rekan menuju Jakarta. Jam menunjukkan pukul 17.12 WIT, pihak Bandara hilir mudik menyampaikan pembatalan, dimulai dari pembatalan Wings Air, lalu Lion Air, maskapai terakhir adalah yang kami tumpangi.
Seketika haru-biru didadaku. Memikirkan rumah. Memikirkan rumah. Memikirkan rumah. Tetapi ingatanku menuntunku kembali pada hari-hari seminggu yang lalu, sebuah dokumen pengajuan bantuan korban bencana di Maluku Tenggara, ada 30 rumah rusak berat dan mereka mengungsi ke rumah sanak-saudara sejak bulan April, ada 6 korban jiwa karena tertimpa reruntuhan bangunan dan disapu gelombang air tinggi, usianya dari anak-anak hingga orang tua.
Mereka, para korban terdampak bencana membutuhkan uluran tangan dan percepatan penyaluran. Perkara yang terakhir itu, tak dapat diberikan tanpa pengecekan dan pendampingan kelengkapan dokumen serta kunjungan ke rumah-rumah para korban. Untuk itulah, saya ditugaskan dan berkelana jauh hingga ke Maluku Tenggara, 4 jam waktu perjalanan menggunakan pesawat udara.
Rabu, 6 Juli 2022, dua hari sebelum hari ini. Pukul 09.00 WIT, saya bergegas menuju pelabuhan menggunakan kapal cepat bermuatan 6-7 orang untuk dapat sampai ke Pulau Kei Besar, tempat para korban bencana. Saat menyapa dan berdiskusi dengan mereka, saya menemukan penjelasan-penjelasan, rentetan-rentetan kronologi, kecemasan serta keputusasaan.
Dengan menggunakan mobil bak saya berkeliling pulau, pada bak itu lah saya duduk dan memperhatikan sekitar. Pembangunan yang jauh lebih tertinggal dari tanah kelahiran saya. Masyarakat memasak menggunakan dua bahan bakar: minyak tanah atau kayu bakar. (Barangkali) apa yang digagas belasan tahun silam tentang penggantian minyak tanah ke gas LPG sepertinya tidak sampai di Maluku Tenggara ini. Ada ruang diversifikasi. (Barangkali) Ada pendegasian. Ada batas sehingga kebijakan itu tak sampai disini, batas yang mungkin saja berupa tembok besar yang menghalangi kemudahan itu, saya lebih suka menyebutnya persistent policy.
Bagaimana jika saya tidak ditugaskan ke Maluku Tenggara? Masyarakat itu barangkali mengalami hambatan administratif untuk mendapatkan bantuan yang memang sangat dibutuhkannya. Masyarakat itu barangkali tidak akan pernah dikunjungi atau dibantu dengan alasan bahwa bencana yang terjadi bukanlah bencana nasional dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah meski terdapat perbedaan keuangan daerah antara satu dengan daerah lain, daerah di timur Indonesia tentu berbeda dengan daerah di Barat Indonesia, di Pulau Jawa misalnya.
Hal-hal itu, menguatkan saya dari kegelisahan dan kekalutan, meski tetap tidak dapat menghapus kerinduan dan kecemasan saya pada rumah. Pada perempuan yang ku tuju. Atau sebaliknya. Tetapi seperti cuaca di Ambon, segala hal di dunia ini tak dapat ditebak dan terjadi begitu saja tanpa pernah kita mengerti, tanpa pernah kita pahami. Kerinduan dan kecemasan itu akan tumbuh dan akan tuntas seperti harapan-harapan masyarakat Maluku Tenggara pada pembangunan yang merata dan perhatian pemerintah. Ambon, 9 Juli 2022
2 notes · View notes