Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Monyet dan Papua: Perihal Stereotipe
Stereotipe ialah cap. Ia bekerja pukul rata, meringkas yang sebagian jadi general, meringkus yang kompleks jadi sederhana. Setereotipe menghitam-putihkan spektrum warna yang sebenarnya beraneka. Begitu stereotipe bekerja, tak ada “persona”, pribadi raib. Individu diluruhkan ke dalam: puak, kelompok, grup – entah etnik, ras, agama, bahkan fans sepakbola.
Cap “dasar Papua”, misalnya, dengan gampang bekerja tiap kali anak-anak Papua di berbagai kota muncul menyatakan sikapnya. Tidak akan ada yang peduli apakah ybs orang Biak, Nabire, Sorong atau Paniai. Kalau hitam, ya sudah: “Papua”.
Padahal yang bikin onar di kos-kosan bisa dari mana saja. Orang Jawa pun ya kadang bikin onar di kos-kosan. Namun paling banter yang muncul ungkapan spesifik: orang Pati atau Demak, Tegal, Tuban, Cilacap, dll. Cap “dasar Jawa” tentu tidak laku.
Belakangan, tiap kali terjadi pengepungan asrama mahasiswa Papua, muncul keluhan tentang prilaku miring orang Papua. Dari mabuk-mabukan, nyirih pinang dan ludahnya berserakan, tidak mau pakai helm, sampai minta “jatah preman” (gratis main futsal, dll). Saya, sih, tidak akan menutup mata soal kasus-kasus seperti itu. Pertanyaannya: benarkah prilaku miring itu melekat secara inheren kepada sesuatu yang primordial, katakanlah etnik?
Saya kira gampang saja menjawabnya: TIDAK. Mabuk-mabukan, tidak patuh berlalu lintas sampai minta “jatah preman” itu bisa, dan memang telah, dilakukan oleh banyak orang dari berbagai etnis dan suku. Segenap prilaku miring di atas, juga prilaku onar dan rusuh-rusuhan, bisa dan terbukti telah dilakukan oleh kelompok mana pun: kelompok suporter, ormas, geng motor.
Situasinya agak pelik bagi teman-teman dari Papua karena secara fisik mereka memang begitu berbeda dari, katakanlah, orang Jawa. Perbedaan fisik yang mencolok memudahkan stereotipe bekerja. Walau, sepengalaman saya, sangat biasa kekeliruan juga terjadi: orang Flores atau Sumba pun ya dianggap Papua juga.
Hanya saja, kawan, bukan hanya Papua – atau keturunan Cina– saja yang dilekati stereotipe. hampir semua kelompok etnik di Indonesia punya stereotipe-nya sendiri-sendiri. “Dasar Sunda”, “dasar Ambon”, “dasar Padang” atau “dasar Batak”, dll., dengan rentetan penjelasannya sendiri-sendiri, memang eksis di berbagai tempat, dalam ragam situasi. Kita semua, boleh jadi, pernah mengalami betapa tidak enaknya tiba-tiba dihardik dengan sebuah cap. Tahu-tahu jidat kita dicap.
Keep reading
146 notes
·
View notes
Text

Perayaan 74 Tahun Republik Indonesia
.
Malam itu, Pulau Jawa tak sehening biasanya. Detak jantung pribumi yang kehausan air karena dipekerjakan oleh Nippon dan Tetuan yang bermukim di Indonesia, para penjajah tak kenal tega, pengkhianat tak kenal saudara, juga elite elite Bangsa saling bersahutan menjemput takdir. Mesin ketik yang bukan sekadar mesin ketik sudah terbujur kaku di salah satu meja yang berada di rumah Maeda. Pasalnya, mesin ketik tersebut akan menjadi saksi merdekanya sebuah bangsa. Daerah yang menjadi mitos telah dijajah selama 350 tahun, yang rakyatnya dihabisi secara perlahan, yang harta rempah gemah ripah loh jinawi direnggut secara paksa, hak sebagai manusia dan makhluk ditiadakan secara terang-terangan akan dibebas menentukan nasibnya sendiri. Merdeka bukan lagi ilusi. Hijau pepohonan, coklat harum cengkeh dan tembakau, pedas lada dan pahit pala, riuh halus ombak di pantai selatan Maluku, agung Gunung Mahameru, indah ikan di Raja Ampat akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Saat itulah ketika tuturan kata demi kata dari Bung Hatta keluar mengalun halus namun berwibawa, bernilai jutaan manusia dan aliran sungai berisi darah, menandakan Bangsa ini akan merdeka, Bangsa ini telah merdeka. Sebab menurut penanggalan Komariah, waktu Maghrib telah lewat pertanda hari telah berganti. 17 Agustus 1945 Bangsa ini Merdeka, ber-wilayahkan ujung barat Pulau Sabang hingga ujung timur Merauke.
0 notes
Text
Hujan Bukan awan membenci air Terik Bukan dengki matahari pada redam Lihatlah bagaimana mendung
0 notes
Text
Orang, ketika nyapa seseorang, dalam situasi apapun, bukan berarti ia ingin bercengkrama, mungkin ia sedang menghindari situasi yang lebih buruk, dengan cara menyapa itu tadi.
0 notes
Text
Orang, kalo mau pakai baju lengan panjang, besar kemungkinan bukan karena gak ada baju lengan pendek.
0 notes
Text
Kalian yang masih merasa, beban hidup hanya pada uang kuliah dan tugas, patut bersyukur, sebelum datang masa, dimana beban tak akan memberatkan mata, tangan, kaki, badan, tapi secara tak langsung merambat pasti melebihi itu!
0 notes
Text
Pendapatku: tak ada sebab-akibat ketika berbicara tentang dosa. Maafkan, contoh: sebab wanita tak punya uang, dan butuh sesuatu, mengakibatkan dia menjual 'harga diri'nya. Ada argumen: ini semua (menjual 'harga diri') sebab kebutuhan yang harus terpenuhi. Itu pembenaran namanya!
0 notes
Text
Pikiranku tadi mengawang, bahwa: jangan membahas dosa orang, ketika sedang membahas dosaku sendiri. Katanya: kamu gak akan dapat intisari dari bahasanmu.
0 notes
Text
Mungkin, andai orang sudah pada level: paham tentang "niat", pola pandang dan hidupnya akan sedikit 'nyeni'.
0 notes