Tumgik
toadyingatheist · 1 year
Text
Rasio dan Religiusitas
Aku bukan seorang yang religius. Sama sekali bukan. Aku tidak berdoa, aku tidak sembahyang, dan tidak melakukan ritus-ritus religi lain yang ditetapkan oleh agama yang tertera pada tanda pengenal kependudukanku. Sama dengan kebanyakan orang di dunia, atau khususnya di lingkungan dan negara tempat aku bernaung, aku mewarisi agama yang dipraktikkan oleh orang tuaku. Aku selalu menganggap hukum-hukum dan dogma-dogma dalam keagamaan adalah hal yang suci dan final, tidak boleh diganggu atau pun digugat, setidaknya hingga usia legalku menikmati rokok.
Baiklah, sejenak ada baiknya aku jelaskan dengan singkat pandanganku tentang agama. Tentu ini bisa benar, juga bisa salah. Kita perlu melakukan uji coba lebih lanjut tentang ini. Agama untukku adalah jalan menuju Tuhan. Tentu pembahasan dan/atau keyakinan tentang Tuhan harus ada mendahului agama, bukan? Agama menciptakan konsep sedemikian rupa tentang Tuhan dan cara menuju kepada-Nya. Tuhan dalam mainstream agama-agama yang ada di dunia adalah causa prima dari segala apa pun yang ada di muka bumi ini, termasuk apa yang terjadi di dalam hidupmu. Lalu mengapa manusia butuh Tuhan?
Banyak ahli sudah mengungkapkan pendapatnya bahwa manusia pada awal mula kemunculannya di bumi adalah spesies paling lemah. Tentu ini bukan tanpa alasan. Secara fisik, manusia tidak mampu bersaing dengan segala spesies animale lainnya di bumi. Ya, aku mengamini bahwa manusia juga binatang karena mereka bisa berpindah tempat, butuh makan, mengeluarkan air seni dan feses, dan berhubungan badan dengan manusia lainnya juga berkembang biak dari hasil hubungan seks tersebut. Kembali ke persoalan manusia sebagai spesies terlemah, ini bukan tanpa sebab. Kekuatan rahang manusia jauh lebih lemah dari seekor buaya, kecepatan lari manusia jauh di bawah standar citah, manusia tidak bisa terbang sebagaimana elang, dan tak bisa berenang sebaik ikan. Dalam hal ini, manusia selalu mengharapkan spirit-spirit lain di luar dirinya untuk dapat membantu segala kelemahan yang mereka miliki. Ku duga, dari sini lah kemudian konsep tentang agama dan segala normanya muncul dan berkembang berbanding lurus dengan perkembangan peradaban yang diciptakan manusia.
Jangan lupakan satu hal penting tentang manusia, rasio. Hal ini yang membedakan manusia dengan segala jenis binatang lain yang pernah, masih, atau akan hidup di bumi. Animale Rationale, begitu sebutannya. Dengan rasio, manusia dapat menciptakan berbagai macam alat yang dapat menumbangkan pohon ratusan kali lebih kuat dari kekuatan rahang buaya, menciptakan kendaraan yang dapat melaju ratusan kali lebih cepat dari citah, menerbangkan pesawat lebih tinggi dan gagah dari seekor elang, dan menelusuri lautan lebih jauh dari beberapa jenis ikan. Kemudian pada akhirnya, manusia menunjukkan legacy sebagai pemimpin tunggal di planet ini dalam puluhan atau bahkan ratusan milenium setelah kehadirannya. Seorang pemikir Belanda bernama van Peursen pernah menjelaskan ini lebih terperinci puluhan tahun lalu.
Kemudian apakah manusia masih membutuhkan spirit-spirit yang sudah kita singgung tadi? Jawabannya tentu masih, tapi tidak segenting masa silam. Perlu diingat, manusia adalah makhluk yang kompleks. Selalu ada masalah yang muncul, bahkan sengaja diciptakan. Aku percaya, seluas apapun pengetahuan yang aku ketahui tentang semesta, masih terlampau jauh hal-hal yang belum aku ketahui tentangnya. Sama seperti lagu-lagu, para musisi, album, dan strategi marketing yang ada di baliknya. Manusia tidak lagi membutuhkan spirit -atau kita simplifikasi sebagai Tuhan- untuk hal-hal fisikal yang tidak bisa mereka kerjakan, tapi untuk hal-hal non-fisikal dan bersifat tidak diketahui. Sebut saja keinginan si miskin untuk makan malam ini, keinginan takdir menikahi seseorang yang dianggap ideal, keinginan lepas dari segala penderitaan jiwa yang dirasakan, dan lain sebagainya. Uniknya, dari semua ketidakidealan hidup manusia di dunia, agama mendeksripsikan utopia kehidupan yang ideal setelah kematian.
Secara pribadi, aku tidak pernah sanggup menyangkal atau bahkan menegasikan  eksistensi Tuhan. Aku masih membutuhkan spirit-spirit di luar diriku untuk membantu beberapa persoalan kehidupan yang aku hadapi. Hidupku hari ini masih sangat jauh dari kata ideal seperti apa yang aku idam-idamkan sejak belasan tahun yang lalu. Hanya saja, aku tak sudi menerima doktrin akan dogma-dogma yang diciptakan lingkungan sekitarku tentang Tuhan dan jalan menuju kepada-Nya. Aku bahkan belum berani melabeli diriku sebagai seorang agnostik.
Lingkunganku dipenuhi orang-orang bodoh. Bukan karena aku merasa lebih pintar, tapi mereka tidak berani menggunakan akal mereka lebih dalam lagi. Diskusi tentang hal-hal mendasar ini nyaris selalu dihindari. Mereka takut berdosa. Hey, bukankah dosa tak terlihat, sedang si miskin yang kelaparan itu nyata di pelupuk matamu? Suatu keimanan yang kuat hanya akan lahir setelah kau berani mempertanyakannya, bukan menelan mentah-mentah cerita dongeng yang diwartakan orang tua dan lingkungan tempat tinggalmu.
Satu hal lagi, walau agama banyak menyinggung hal-hal tentang moral, I guess it has nothing to do with morality. Maksudku begini, kita tidak perlu agama hanya untuk menjadi insan yang bermoral. Moralitas adalah bagian dari kontrak sosial. Di era modern, presentasi negara-negara dengan tingkat warga negara beragama yang rendah justru menunjukkan kebangkitan moral yang signifikan. Di tanah airku yang notabene memiliki presentasi keberagamaan yang tinggi -sayangnya mereka beragama dengan cara yang bodoh- justru dihadapkan dengan masalah-masalah moral sosial yang tinggi. Tak jarang agama dijadikan alat untuk memenuhi nafsu sekelompok manusia saja karena sekali lagi, agama dan segala perangkatnya adalah suci dan haram untuk diganggu dan digugat.
-Sid Isa: 5 Agustus 2023-
3 notes · View notes
toadyingatheist · 1 year
Text
Inferno
Dua puluh tujuh tahun seratus dua puluh sembilan hari usiaku hari ini. Sebagai seseorang yang menggilai musik, tentu sebutan Club 27 sangatlah kekal di memori otakku. Betapa tidak, deretan nama musisi favoritku mati setelah menginjakkan kakinya di usia 27 tahun. Jim Morrison, Janis Joplin, Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Amy Winehouse, Dave Alexander, dan Mia Zapata adalah sederet nama yang mati tanpa mengetahui seperti apa rasanya berada di usia 28 tahun.
Dalam film 3 Hari Untuk Selamanya, Yusuf yang diperankan Nicholas Saputra berkata bahwa usia 27 tahun adalah usia yang krusial. Di usia inilah kita akan mengambil keputusan penting yang akan mengubah hidup kita. Di usia ini pula Tuhan akan menutup beberapa pintunya untuk kita dan membukakan beberapa pintu yang lainnya. Tentu kematian dapat kita maknai beragam, bisa jadi pintu yang tertutup atau terbuka. Begitu pun hal-hal lain yang sintasi di usia ini. Masih ada ratusan hari lagi yang akan ku lalui sampai pada akhirnya ku tutup lembaran usia 27 tahunku jika datang kesempatan itu padaku.
Aku masih membujang. Menikah untukku adalah langkah besar dalam hidup dengan segala pertimbangan baik dan buruk yang mesti dikompromikan, khususnya dengan diriku sendiri. Bagi sebagian besar orang, menikah mungkin adalah hal yang dinantikan dengan amat dalam hidup. Kebahagiaan besar menunggu di pelupuk mata. Tidak dengan diriku. Aku masih memandang langkah besar ini sebagai momok dalam hidupku. Menjalin kontrak seumur hidup dengan seorang wanita yang mungkin saja tidak merawat kebahagiaan denganku semur hidupnya, seumur hidupku. What a big mistake in life! Apakah mungkin aku tetap bisa menjadi diriku sendiri setelah menikah? Apakah mungkin aku tetap bisa berhubungan baik dengan teman-temanku? Apakah aku tetap bisa tertawa lebar dan melepaskan beban dengan adik-adikku? Apakah aku tetap bisa menjalankan hobiku sebagai obat anti-depresanku?
Aku pikir aku mampu untuk bertindak sebagai seorang pasangan yang suportif untuk wanitaku kelak. Aku akan mendukung segala kegiatan positif yang dikerjakannya. Tapi, apakah aku bisa dapatkan sosok wanita yang seperti itu pada diriku? Entahlah. Apabila memang tidak, rasa-rasanya membujang seumur hidupku juga tak kalah menyenangkannya.
Tak sedikit contoh yang ku dapatkan dari pernikahan di usia muda yang tidak berjalan mulus. Cita-cita yang diharapkan pupus begitu saja. Kebahagiaan hanya menjadi sesuatu yang delusif dan pada akhirnya hanya menjalani sisa hidup dalam keterpaksaan. Terpaksa tidak bahagia demi bermain topeng keluarga yang utuh di depan anak dan keluarga besar.
Untukku, memiliki pasangan yang berpikiran progresif dan berwawasan luas pun menjadi salah satu pondasi penting untuk membangun sebuah korporasi bernama “keluarga”. Aku tak sudi anak-anakku kelak tidak menggantungkan cita-citanya setinggi langit, tidak cerdas, tidak pintar, dan tidak berbudi luhur. Terkhusus di sisi kepintaran, menjadi pintar bukan berarti penurut. Jikalau hanya sekadar nurut, kerbau pun penurut. Aku akan teramat senang apabila anak-anakku nanti menjadi seorang pembangkang. Pembangkang yang konsisten mendobrak norma-norma usang yang tak lagi relevan dipraktikkan di eranya nanti. Aku bahkan tak akan menuntut mereka untuk menjadi anak-anak yang berbakti padaku, menjadi anak-anak yang berutang budi kepadaku karena setiap anak yang terlahir di dunia itu tak pernah sekalipun memohon untuk dilahirkan. Ku yakin itu penyebab mereka menangis kala keluar dari rahim ibunya. Akulah sebagai orang tua yang mengharapkan kehadiran mereka di dunia. Maka, akulah yang berutang untuk memberikan pendidikan yang layak untuk mereka. Bukan hanya dalam sebuah ruang artifisial bernama kelas dan dalam sebuah institusi bernama sekolah, tapi pendidikan yang mengarahkan mereka menjadi manusia madani hingga bertemu masa di mana aku bisa melepas mereka berkelana dalam lebatnya hutan kehidupan.
Ayahku berusia 33 tahun ketika memutuskan untuk menikah dan ibuku terpaut 10 tahun lebih muda darinya. Entah apa yang mendorongnya untuk mengambil keputusan besar itu, terlebih dengan seorang perempuan yang tidak hanya terpaut jauh dalam jumlah usia, tetapi juga dari pola pikir, pengetahuan, dan pengendalian emosi. Konflik-konflik besar menjadi tontonanku hampir setiap hari saat hampir ku tinggalkan usia balita sampai kedua orang tua ayahku meninggal. Ku yakin kebahagiaan dalam pernikahan -jika memang hal itu ada dan ia rasakan- usianya tidak lebih dari 5 tahun pertama. Atau mungkin malah kurang dari itu. Sayangnya dia masih terlalu angkuh untuk berkata jujur padaku di sisi ini.
Ibuku bukan sosok yang berpendidikan tinggi. Tentu tidak berpendidikan tinggi bukan jadi kepastian seseorang tidak berwawasan luas. Tapi kedua hal tadi berjalan beriringan dalam diri ibuku. Memori masa kecilku banyak diasosiasikan buruk apabila bersinggungan dengan dirinya. Ia adalah sosok yang belum selesai dengan dirinya, bahkan dengan konflik-konflik dalam dirinya sendiri. Ia adalah sosok yang tidak tahu ke mana emosi dalam dirinya harus disalurkan, tidak memiliki skill bertahan hidup, dan yang lebih berbahaya, tidak tahu cara mendidik anak. Kekerasan demi kekerasan menjadi makanan harianku. Benar memang dia mencintai aku sebagai anaknya, tapi caranya salah. Aku yakin betul cinta seorang ibu kepada anaknyalah cinta sejati di dunia ini. Tapi jika hanya sekadar cinta, ibu monyet menggendong anak monyet, ibu babi menyusui anak babi, dan ibu anjing pun mencarikan makanan untuk anak anjing. Tentu bukan sosok perempuan seperti ini yang ku idamkan hadir di hidupku, apalagi menjadi pasangan hidupku.
 Entah pengakuan seperti apa yang nantinya akan dikatakan ayah kepadaku, menarik untuk ku ketahui. Akan aku tunggu dengan sabar. Yang jelas, aku berasumsi bahwa ibuku bukanlah sosok yang dicintainya. Gadis pujaannya mungkin saja telah mati dalam kehidupannya. Menikah dengan orang lain, dikhianati/mengkhianati, menghilang di telan bumi, atau bahkan mungkin juga ayahku seorang pecundang yang tak berani berkata jujur tentang perasaannya kepada gadis itu. Entahlah, aku tak tahu. Yang ku tahu, Sujiwo Tejo pernah berujar “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa”. David Bayu dapat menggambarkan dengan baik sosok pria yang kalah, menyerah, dan harus berdamai dengan keadaan dalam lagunya yang berjudul Deritaku. Memang, laki-laki hanya bisa jatuh cinta satu kali dalam hidupnya, sisanya hanya menjalani hidup dan aku tak siap untuk menyesali langkah besar yang ku ambil dalam hidupku.
-Sid Isa: 28 April 2023-
1 note · View note
toadyingatheist · 1 year
Text
Bulu Tangkis
Idul Fitri belum berlalu sepekan dan seharusnya aku tulis kisah ini beberapa pekan yang lalu. Kala itu, entah Ramadan malam ke berapa, salah seorang teman baikku mengajakku fun badminton dengan kelompoknya di bilangan Setiabudi. Jujur saja, aku tak mumpuni bermain bulu tangkis. Lebih jujur lagi, aku hampir nihil kemampuan memainkannya.
Aku tiba paling akhir, hampir setengah dari durasi sewa lapangan yang telah dipesan. Di luar dugaanku, tiga orang perempuan hadir di sana. Aku tak mengenal satupun di antara mereka. Satu orang tengah beristirahat, dua lainnya sedang bermain di dua kubu yang berbeda. Aku menjabat tangan setiap orang yang baru ku kenal di sana seraya menyebut namaku kepada mereka, kecuali pada satu perempuan. Aku tertarik padanya tapi lagi-lagi, aku tak punya nyali. Pecundang. Kelak ku ketahui namanya Nabila dari percakapan yang tercipta di forum. Warna kulitnya pucat, senyumnya terkesan menyeringai, matanya bulat, dan rambutnya menjuntai agak bergelombang hingga lehernya. Dari kenampakannya, aku yakin dia perempuan berwawasan luas, atau setidaknya punya ketertarikan yang bisa jadi menarik untuk ku ketahui. Sialnya, aku terlalu takut untuk sekadar bicara dengannya. Malam ku lewati tanpa sepatah kata pun terucap kepadanya.
Setelah jam sewa lapangan habis, kami beranjak ke salah satu warung dengan menu kuliner khas Serambi Mekkah. Sekali lagi, aku tiba paling akhir. Mereka sudah selesai menuliskan pesanan tapi belum menyetorkannya ke pramusaji. Aku memesan sebuah roti canai dengan taburan keju dan susu kental manis dan segelas es teh tarik. Mengejutkan ketika daftar pesanan dibacakan. Menu yang sama dipesan oleh dua orang, aku dan dirinya. Tentu ini hanya co-incidence dan bisa jadi tidak berarti apapun. Hanya, aku merasa senang. Semoga suatu saat kesempatan datang kepadaku mengobrol dengannya.
Semoga.
-Sid Isa: 28 April 2023-
0 notes
toadyingatheist · 1 year
Text
Stolen
Beberapa menit sebelum 2:45 sore, radio 101FM yang ku dengarkan tiba-tiba memutar salah satu tembang ternikmat Dashboard Confessional berjudul Stolen. Sontak aku teringat dengan gadisku yang perpisahan dengannya sangat ku sesali lebih dari 10 tahun lamanya. Gadis yang belum pernah ku temui penggantinya hingga hari ini. Seorang gadis rumahan, tidak berteman banyak dan dengan sembarang orang, dan bersahabat baik dengan ibunya.
Ia tidak banyak menuntut dan sangat mengerti kondisiku. Dahulu kami selalu mengagendakan untuk kencan tiap sabtu sore hingga malam. Aku selalu menjemput dia di rumahnya dengan sepeda motor bebekku keluaran pabrikan Honda. Biasanya kami hanya punya uang seratus ribu untuk kami berdua. Sering kali kami habiskan untuk menonton film di bioskop. Sekadar informasi, pada caturwulan ketiga 2012 hingga caturwulan pertama 2013, harga tiket bioskop akhir pekan sebesar empat puluh ribu. Dua puluh ribu yang tersisa kami tukarkan dengan semangkuk es krim yang kami nikmati berdua. Ia tidak rewel. Tengah malam di hari yang sama sering ku habiskan untuk berkumpul dengan teman-temanku menonton Juventus di selatan Jakarta dan dia memaklumiku.
Ia pandai menggambar. Tak pernah sekalipun ku lihat buah karyanya yang jelek. Sewaktu di SMA dulu, dia pernah mewakili sekolah kami untuk perlombaan seni rupa di Kepulauan Seribu. Ketika adik perempuanku ulang tahun, ia menghadiahkan sebuah patung kecil dari tanah liat yang dibuatnya sendiri tanpa sepengetahuanku. Ia juga pernah beberapa kali membuat manga tentang dirinya dan aku.
Aku pernah sedikit-banyak memperluas khazanah musiknya, khususnya di musik-musik beroktana tinggi. Suatu sore aku pernah menyadari dirinya tertidur dengan lagu People=Shit milik Slipknot dari Blackberry Messenger. Aku berhasil mempengaruhi seorang gadis dengan deskripsi yang ku sebutkan tadi. Apakah aku harus berbangga diri? Entahlah, masih belum ketemukan jawabannya. Yang jelas, aku cukup senang dan peristiwa itu masih berkesan kuat untukku.
“You have stolen my heart”,kalimat itu yang  diutarakan Chris Carrabba di lagu dari band romantis asal Florida tadi. Berulang kali ku lantunkan kalimat itu di depannya dan berulang kali pula ia balas dengan kalimat yang sama, “No, I haven’t. You gave it to me”.
Aku masih menyayangimu, D.
-Sid Isa: 26 April 2023-
0 notes
toadyingatheist · 1 year
Text
Slipi Kemanggisan
Setelah sekian lama, hari ini aku menulis lagi. Tulisanku tampak begitu buruk. Pagi tadi aku terpesona dengan paras ayu seorang gadis -walau aku tak peduli apakah benar dia masih gadis- yang tak ku ketahui namanya dan aku yakin belum pernah ku temui sebelumnya. Boro-boro mengetahui namanya, untuk sekadar mendekatinya pun aku tak berani. Aku menunggu busku datang, 10H jurusan Blok M-Tanjung Priok di halte Slipi Kemanggisan, dekat dengan rumah seorang teman perempuanku yang kepadanya pernah ku sampaikan hasratku untuk memilikinya.
Kembali ke sang gadis yang ku ceritakan tadi, kulitnya terang, wajahnya manis, sorot matanya tajam, dan ku tebak dagunya yang tertutup masker itu lancip. Ku yakin sekali senyumnya akan terlihat manis. Ada sedikit garis di tepian kelopak matanya. Aku harap dia seorang wanita yang berpikiran progresif, sedewasa kenampakannya.
Aku sudah muak dengan kebanyakan betina yang ku kenal dewasa ini. Mereka semua tolol dan hanya ingin hidup enak dari keringat pejantannya tanpa mempedulikan berapa banyak darah yang kami tumpahkan untuk itu. Era media sosial ini memang menyebalkan. Semua orang ingin tampak mewah walau aku yakin mereka tidak bahagia.
Empat bus telah berlalu di depan kami. Aku harap diriku dan dia menunggu bus yang sama. Ternyata semesta sedang tidak mengabulkan pengarapanku, 10H datang. Ku langkahkan kakiku masuk dan tak ku lihat adanya pergerakan dari dirinya. Pintu bus pun tertutup lekas beranjak dan ku tinggalkan dia di tempat yang sama karena aku tidak bodoh untuk menunggu lebih lama dan berjudi untuk apa yang terjadi apabila ku lewatkan busku itu.
Tidak mudah untukku tertarik, tapi gadis ini ku rasa berbeda. Seperti sosok idamanku walau sesungguhnya aku tak punya tipe dalam memandang kenampakan perempuan. Ataukah memang kalimat itu hanya kemunafikanku saja untuk menutupi kesepianku?
-Sid Isa: 26 April 2023-
2 notes · View notes