Pejalan || mengikat yang terlintas dalam perjalanan menuju pertemuan abadi yang dinanti.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Genangan Cahaya
Disuatu malam gulita sehabis hujan, aku berjalan tertatih mencari secerca cahaya, pelan, penuh takut dan curiga. Malam ini terasa amat dingin, aku ingin menghangatkan tubuhku dengan cahaya itu, atau setidaknya aku tahu dimana kini aku berada dan arah mana yang harus kutempuh agar dapat segera kembali pulang.
Aku tertunduk sambil menyeret kakiku yang beku akibat kerjasama genangan hujan dan dinginnya malam.
Aku bukan orang yang mudah menyerah, sebab harapan senantiasa mengisi energi optimisku hingga ia hampir tak pernah kehabisan daya. Tapi malam ini terlalu berat untuk dilalui, hingga terlalu pekat untuk membiarkan harapan tetap ada.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku terjebak dalam gelapnya malam. Dimalam-malam sebelum ini, bias cahaya seringkali hadir membantuku keluar dari gulita. Tapi itu bukan tanpa imbalan, namanya juga bias, selalu ada ruang optimisme yang ia minta untuk dikurangi sebagai imbalan.
Mungkin itu juga sebabnya, kenapa bias cahaya tidak lagi hadir di malam ini; ruang optimismeku sudah terlalu sempit untuk dapat dikurangi, tapi masih bisa diisi secercah harapan untuk sekedar bertahan hidup.
Malam ini sungguh membuatku tertekan, bukan hanya sebab ketiadaan cahaya, dinginnya suhu atau resapan air yang membuat semuanya terasa sangat buruk. Juga sebab harapan yang tersisa begitu sedikit hingga optimis terlalu ringkih untuk menghidupkan diri. Tapi aku masih bisa mendengar suara-suara samar dari sekitarku, bahwa ternyata aku tak sendiri di tempat itu. Meski tak membantu menghidupkan, setidaknya hal itu membantuku tetap terjaga dan tak memejamkan mata.
Disisa kehidupan yang masih bisa kuhirup, ada secercah cahaya yang hadir tak jauh dari tempatku berpijak. Kucoba sebisa mungkin mendekatinya, dengan menunduk sambil tertatih aku meraih, byur. Bukannya mendapat cahaya malah masuk genangan. Merata sudah kebekuan ini hingga ke ubun-ubun. Genangan ini terlalu lebar untuk sekedar disebut genangan, tapi terlalu dangkal untuk disebut kolam, tapi yang pasti genangan ini cukup pandai mengecoh pandanganku yang sudah semakin pudar.
Aku sudah terlalu lelah untuk bangkit, dalam keadaan mata tertutup kubiarkan seluruh tubuhku terbaring dalam genangan itu, tenggelam tapi masih bisa bernafas. Kubiarkan gelap menyelimutiku, hingga kebekuan itu merasuk keseluruh tubuhku. Beristirahatlah dengan tenang, tipuan cahaya itu..
Tunggu, seketika mataku terbelalak. Cahaya itu bukan bias dan buka pula suatu tipuan, ia sungguh ada, tepat diatasku. Entah darimana dan sejak kapan cahaya itu ada disitu, sungguh aku tak menyadarinya, tapi aku teramat senang karena telah menemukannya.
Aku kemudian bangkit dan melihat ternyata begitu banyak orang disekitarku; tertawa, bersorak, sesekali marah dan menangis. Sungguh ramai dan hangat. Dibawah pijakan mereka terdapat hamparan yang begitu luas, dengan berbagai pohon rimbun yang menyejukkan, buah yang segar untuk dimakan, bunga-bunga yang begitu harum dan indah dipandang, diiringi kicauan buruk dan gemericik air jernihnya.
Indah sekali, tapi aku sungguh bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Saat kuarahkan pandanganku ketempat kakiku berpijak, kudapati genangan air yang begitu pekat, hitam kelam, bagai malam yang baru kulalui dan bahkan malam-malam sebelum itu juga.
Tunggu, apakah si gelap kelam dan dingin itu adalah aku sendiri? Sungguh kubangan apa yang membuatku terhalang melihat cahaya dan seluruh keindahan ini? Apa genangan ini yang membuatku legam? Atau malah genangan ini yang membersihkan seluruh indraku hingga dapat kembali berfungsi?
Aku tak tau, yang jelas tubuhku masih berlumpur, jauh dari kata bersih bahkan tak lebih baik dari orang yang terlihat paling kumuh di tempat itu. Tapi orang-orang ditempat ini masih mau tersenyum padaku, mengajakku tinggal sambil sedikit demi sedikit membersihkan lumpur yang bersemanyam ditubuhku.
Kau tau? Aku sungguh mengetahui mereka, dari semilir suara yang sering kudengar dikala gelap. Suaranya halus, lembut dan ramah, dengan sesekali keras dan lirih. Kehadirannya bahkan lebih baik dari apa yang bisa kusifati. Kebaikan macam apa ini? Dan kenapa aku baru menyadarinya.
Genangan ini sungguh menyadarkanku, dan semoga setelah ini akan jauh lebih baik.
1 note
·
View note
Text
Saat alam menyapaku
Kau tau? Alam begitu baik padaku, ia terus memberiku manfaat meski aku terus merusaknya; mengeruk tanahnya, mencemari udaranya, menebang pohonnya, mengotori airnya, dan pengrusakan lain yang tak sanggup kusebutkan semua bahkan lebih banyaknya tak kusadari adanya.
Aku pikir alam adalah benda mati yang tak peduli atas apapun yang manusia perbuat padanya, tapi saat alam menyapaku, kusadari bahwa sebenarnya alam bersedih, menangis, bahkan kecewa atas apa yang telah aku dan manusia lain perbuat padanya.
Alam tak pernah sombong padaku, ia menyapaku dengan lembut setiap saat, dengan dominasi oksigennya, dengan hangat sinar mentarinya, dengan teduh gelap malamnya, dengan damai hijau pepohonannya, dengan gemericik segar airnya, dan dengan segala hal baik yang menemaniku dan menjagaku tetap hidup disetiap harinya.
Sebenarnya aku tak benar-benar menyadari sapaan alam padaku saking lembut dan halusnya, sampai saat alam menyapaku dengan lantang, bahkan berteriak dengan erupsi asap dan laharnya, dengan banjir, topan, tsunami, longsor dan gempa buminya. Baru kusadari bahwa setiap saat alam menyapaku dengan ramah, tapi aku mengabaikannya.
Meski alam tak pernah sombong padaku, tapi aku selalu angkuh dihadapan alam. Merasa paling mulia dengan karunia akal yang Tuhan berikan padaku, sehingga aku merasa berhak dan kuasa atas makhluk lain selain diriku. Keangkuhan dan egoisme yang terus dipelihara menjadi keserakahan dan ketamakan, menyedihkan, balasan cinta yang tak sepadan.
Kusebut cinta karena tak ada kata yang mampu mewakili sapaan lembut alam padaku, yang sapaannya bukan hanya seruan tapi juga kebermanfaatan dan keindahan. Dalam atmosfer kokoh pelindungnya, juga dalam indah semburat jingga disenjanya.
Saat alam memberi manfaat padaku, aku mengambil manfaat darinya tanpa peduli kondisinya, bahkan berlaku semena-mena padanya. Sedang saat alam membuatku menderita dan bersedih, aku memakinya seakan tak ada kebaikan yang pernah alam berikan padaku. Ledakan krakatau, gempa palu, luapan semeru, serta sapaan-sapaan keras lain yang alam sampaikan padaku membuat aku takut dan sedih, tapi sebelum itu tentu alam lebih bersedih dan terluka akibat ulah burukku padanya.
Kau tau? Tak ada cinta yang diberikan kepada manusia sebesar dan semurni cinta yang diberikan alam pada manusia. Yang dalam sapaan lembutnya menghidupkan, dan dalam sapaan kerasnya menyadarkan serta membangkitkan.
Dalam bahasa cinta alam; memberi berarti menyokong dan mendukung dalam pemaksimalan peran manusia sebagai abdillah dan khalifah diatas bumi. Sedang menahan berarti memberi jeda, untuk berpikir dan mengevaluasi apa yang telah manusia perbuat. Keduanya agar manusia sampai pada yang dituju, memberi dan menahan agar manusia sampai pada kebahagiaannya yang sebenarnya.
Kita dan alam adalah satu kesatuan yang utuh, tak ada kedigdayaan yang pantas hadir diantara keduanya. Maka menjaga alam bukan sekedar sebab kebermanfaatan yang akan kita peroleh akan hilang saat alam musnah, tapi sebab alam adalah juga makhluk ciptaan Tuhan yang perlu kita sama-sama jaga kelestariannya.
Sapaan alam ini bukan tentang aku sebagai manusia, tapi tentang kita (manusia dan alam) sebagai satu kesatuan yang utuh.
Dalam bahasa cinta alam, kita dapat temukan bentuk cinta Sang Maha Pencipta, yang cinta-Nya melebihi alam semesta dan seluruh ciptaan-Nya. Tak ada yang mampu makhluknya berikan pada-Nya selain ketundukan dan kesyukuran.
Alam, terimakasih karena menyapaku, dan maafkan aku karena terlalu abai terhadap sapaanmu.
0 notes
Text
Ragukan dirimu, bukan visinya, tapi aktivitas menuju visi itu
Me
1 note
·
View note