Tumgik
topibiru · 2 days
Text
Rasa Sedih dan Khawatir, Harusnya Ini Lumrah.
Siang ini aku baru kantor pajak. Tujuan utamanya menemani ibu untuk urusan tagihan denda koperasi milik kampus ibuku yang hampir setahun. atau sudah lebih setahun? aku juga kurang tau. Pokoknya surat itu selalu datang setiap bulan dengan penagihan yang sama. Jadi sempat ibuku membayar dalam jumlah yang cukup besar setelah diakumulasikan. Setelah berkonsultasi dengan salah satu petugas pajak, katanya agar tidak terkena denda tersebut harus mengirim laporan berkala terkait kegiatan koperasi tersebut. Meski itu laporan nihil. Bukan perkerjaan yang berat sebenarnya, tapi untuk orang-orang di atas 60 tahun, tentu itu menjadi suatu kesulitan.
Ibuku berharap aku yang membantunya untuk urusan ini. Maka aku jelaskan, aku menolak mengerjakannya karena ini bukan hanya urusan ibuku. Ada tanggung jawab Pengurus Koperasi tersebut. Ibuku bendahara, harusnya persoalan administratif ini ada campur tangan sekertaris dan ketua. Aku bahkan bukan anggota.
Ibuku terdiam. Aku waktu itu tidak memahami situasi jaman yang berbeda. Dan aku mengatakan hal itu dengan asbab pengetahuan yang aku miliki. Supaya apa? supaya tidak ada yang terdzolimi, bukan?
Akhirnya, ibuku menghubungi ketua koperasi tersebut untuk menyelesaikan masalah ini ke kantor pajak. Beliau pun datang ke kantor pajak dan mengirimkan beberapa berkas-berkas untuk di isi dan menyuruh ibu mencari informasi di internet terkait kasus ini.
Dan urusan itu menjadi berlarut, surat denda tetap rutin dikirim setiap bulan.
Hari ini, aku memaksa untuk menemani ibu pergi ke kantor pajak. Aku tak menyuruh ibu agar ketua tersebut datang, cukup aku hanya ibu untuk menjelaskan masalah ini dengan petugas pajak. FYI, koperasi ini sudah cukup lama vakum.
Aku tidak mengerti pagi ini kenapa ibu terlihat mengulur-ulur waktu. Tapi akhirnya, kami pergi juga.
Aku menjelaskan to the point pada resepsionis, dan ia mengarahkan kami mengambil antrian untuk help desk.
Tak lama, ibuku menelpon. Ternyata ibuku menghubungi ketua tersebut sebelumnya. Kata ketua tersebut ia sudah ada di kantor. Sudah diruangan untuk mengurus hal itu. Hah? bahkan ia tidak mengambil antrian. Katanya, tidak perlu melalui meja depan lagi.
Aku memaska ibuku agar dia yang mengikuti alur kami. Bukan alur orang dalam tidak jelasnya itu lagi. Aku katakan, surat itu dikirim otomatis dari sistem, maka kita juga harus pakai sistem otomatis agar terdata bahwa kita hadir. Bualan digital ini akhirnya bisa membujuk ketua tersebut.
Ia duduk bersama Ibu di depan petugas Help desk. Harusnya kursi itu cuma satu, tapi aku pinjam kursi satpam. Biar tidak ada alasan untuk tidak mengikuti alur. Orang-orang tua yang membuat perkumpulan hanya untuk formalitas ini juga harus menghadapi administrasi formalitas juga.
hampir satu jam, seluruh urusan siap. Surat bukti penerimaan surat permohonan sudah kami pegang. Aku foto dan aku pastikan kami menerima informasi langkah selanjutnya untuk finalisasi seluruh masalah ini. Kalau dilihat sekilas, aku seperti calo.
Saat duduk menunggu antrian, Ketua ini bercerita bahwa ia sedang mempelajari digital marketing. Meta ads dll. Dan akan mengambil kelas seharga 300rb untuk mendapatkan ilmu 'berharga' itu. Aku tersenyum sinis. Ibuku langsung mengatakan sudah bukan di usia mereka lagi untuk mempelajari hal itu. Ibu juga menjelaskan bahwa aku adalah orang yang sudah khatam ilmu itu. wajar saja, berkecimpung di komunitas digital yang isinya anak agensi dan iklan sejak umur 13 tahun. 14 tahun artinya aku secara slow mempelajari itu semua.
Dan aku menatap orangtua yang akan menjadi atau sudah, korban MLM digital marketing. Membuka kelas berbayar untuk memberitahu bagaimana cara membuka kelas berbayar produk digital.
Selesai seluruh urusan, kami pulang. Azan dzuhur berkumandang. Ketua tersbut meminta ongkos kepada Ibuku. Aku terkejut. dan Hatiku langsung terasa sakit akibat rasa simpati dan bingung.
Setelahnya, ibuku bercerita bahwa begitulah kegiatan Ketua tersebut. Berpisah dengan Istrinya, tidak menikah lagi, tidak punya pekerjaan, mengandalkan kegiatan berpartai dan koneksi alumninya. Ibuku yang sangat baik hatinya adalah salah satu orang yang dikorbankan untuk membantu usahanya.
Sifat itu menurun kepadaku sebagai people pleaser. Bedanya, aku sistem main putus. Jangan berlarut-larut membawa identitasku. Aku paling anti dimasukkan sebagai anggota ke perkumpulan yang tidak jelas apalagi jadi penanggung jawab. Jika ada, sering kali langusng ku cut-off. Itu upayaku agar tidak menjadi seperti Ibu di masa depan.
Kembali ke rasa sedih saat melihat Ketua tersebut. Di umur segitu ia tak lagi punya tempat bergantung, seluruh orang pasti mengutamakan keluarganya. Termasuk anaknya. Dia hanya menunggu belas kasih anak-anaknya. Di usia senja, ia mencoba membuka usaha kuliner juga hanya bertahan 2 bulan. Karena apa? Kalua dari pandanganku karena tidak sabaran, ingin mendapakan lebih banyak dengan cara instant seperti dimasa mudanya. Belum lagi sifat bebalnya yang sulit memahami regulasi.
Aku hampir menitikkan air mata, aku katakan pada ibu, aku takut, jika keluarga kita terkena musibah seperti keluarganya, aku mengkhawatirkan Ayahku yang sifatnya hari ini seperti itu juga. Malu bertanya dan merasa banyak tahu akan segala hal bermodalkan informasi dari internet.
Aku yakin ketua tersebut pernah dimarahi oleh orang yang lebih muda dari nya. Makanya ketika melihatku yang enggak bisa jaga kondisi muka (komuk) seolah mengatakan "Ikuti alur atau aku ngamuk disini!" Beliau langsung duduk manis di bangku tunggu.
Jadi sekarang aku menulis ini yah hanya sebagai luapan setelah melihat realita kehidupan. Uang yang diberikan ibu tadi jangan-jangan untuk dia membeli makan siang juga?
Dan aku langsung terlayang kepada Ayahku yang enggan merebus sayur sawi untuk makan siang yang sudah disiapkan ibuku dan memilih beli sayur masak.
Al-hayah tu'tina durusan yawmiyah (hidup memberikan kita pelajaran setiap hari), wallahualam bissawab
0 notes
topibiru · 9 days
Text
Hal Membahagiakan dalam Hidup
Jika aku terus menuliskan keluhan-keluhan dinamika keluarga ku di platform ini, itu memang semata-mata aku sedang sedih dan butuh tempat untuk merilis jenuh. Dan tiba-tiba merasa sadar layaknya doa, aku hanya sering berkomat-kamit ketika dilanda sedih.
Bahagiaku di dunia ini sangat banyak dan terkadang membuatku takut mengira-ngira ujian apa yang akan aku jalani agar aku naik kelas demi menapak syurga.
Bahagiaku di dunia sungguh banyak, banyak dan banyak hingga aku terkadang takut jika ada mata yang hasad dan membuatku jatuh sakit atau ada kenikmatan yang diambil dari ku.
Bahagiaku di dunia sungguh amat banyak tak bisa dibandingkan dengan kesedihan-kesedihan kecil yang aku alami meski membuatku menangis hingga wajah sembab dan mata bengkak.
Aku memiliki apa yang tidak dimiliki oranglain dan aku tidak punya hasrat memiliki apa yang dimiliki orang lain.
Kadang aku berandai-andai bagaimana rasanya naik private jet, helikopter, dan berbagai kendaraaan prestige lainnya. Atau bagaimana rasanya meneteng tas puluhan juta, perhiasan dan dengan handphone paling muktahir di detik itu. Lucunya, aku cukup hanya berandai.
Aku tidak punya keinginan kuat, menentukan check point dalam hidup dan berbagai hal ambis lainnya di dunia ini. Kesukaanku hanyalah bangaimana aku bisa bermanfaat dengan ilmu-ilmu yang sudah aku pelajari.
Karena kerugian terbesar yang aku pahami adalah ketika aku punya ilmu tapi tidak punya ruang untuk mengaplikasikannya.
Aku suka belajar, aku suka bisa membantu orang lain, aku suka menjadi aku yang seperti ini.
Jika kadang-kadang aku sedih, cukup hibur aku saja bahkan dnegan kata-kata yang sudah pernah aku ucapkan sendiri.
Layaknya manusia, kita perlu dinasehati dengan apa yang sudah kita nasehati.
Tetua-tetua jaman dulu tentu lebih dalam berpikirnya hiingga menemukan kiasan gajah di pelupuk mata tka nampak, semut di ujung lautan nampak. Tenryata kadang masalah besarnya ada di aku. yang jauh tak perlulah terlalu di cari-cari. Apa yang paling dekat, itu yang kita selesaikan.
Semoga Allah selalu meridhoi kehidupan kita di dunia dan menjadi bagian dari umatnya baginda nabi Muhammad di hari akhir kelak, Amin.
0 notes
topibiru · 15 days
Text
Durhaka maka Neraka
Pernah terbesit dalam hatiku saat Ayah mulai memberikan alasan-alasan tidak masuk akal setiap kali berbicara kepadaku dan ibu,"kan ku bawa urusan ini di pengadilan akhirat." Ini pun setelah ku perhalus kata-katanya. Tapi dua detik kemudian aku langsung menepuk-nepuk dada sendiri agar berusaha ikhlas dengan menahan genangan air mata. Untuk apa kalau sudah sampai Akhirat? urusan dosa masing-masing. Mau siapa yang benar dan salah, sudah tidak ada gunanya lagi.
Aku sampai mencari-cari defenisi anak durhaka. Anak durhaka anak yang tidak shaleh/shalehah. Kalau tidak senang belajar agama, bagaimana anak tersebut mengerti arti berbakti, bagaimana anak mengerti arti mematuhi perintah orangtua selama itu hal yang benar, bagaimana anak mengerti membantu orangtua dan bagaimana anak bisa mendoakan orangtuanya setelah orangtuanya berpulang dan memberitahukan nama-nama orangtuanya kepada keturunannya kelak yang diharapkan menjadi keturunan shaleh/shalehah sehingga bisa mendoakan seluruh leluhurnya.
Tak ada orangtua yang bisa menarik anak ke syurga. Anak, bisa menarik orangtuanya ke syurga jika ia mau.
Maka kadang aku berpikir keras bagaimana bisa ada orangtua yang berani sekali begitu jahat hinga pilu hati saat melihatnya menyiksa sang anak. Oh, aku bukan bercerita tentang orangtuaku. Orangtuaku masih berusaha menjadi orangtua yang baik, meski berhenti belajar. Jadi mereka baik dalam versi pembelajarannya yang dulu.
Tidak ada manusia yang sempurna, dan begitu juga aku. Lantas aku bertanya-tanya ketika Ayah melarangku sampai membentak ketika aku menyapu pada pukul delapan malam, atau sekadar ketika aku menurutnya salah kata saat mengatakan hal seperti "Tidak mungkin barang bawaan Ibu lebih ringan dari ini." Menurutnya itu adalah kalimat yang memvonis/menuduh ibuku. Aneh sekali. Ayahku membuat kesimpulan sendiri di kepalanya. Ia bahkan suka sekali mengatakan kepada oranglain, bahkan kepada temanku seperti, "Kamu anak keberapa? kedua? diatasmu abang ya? pasti kalu suka merintah-merintah abangmu." dan perkataan ala-ala meramal seperti itu. Aku sejujurnya setiap mendengar hal itu sebal sekali. Bahkan ibuku. Tapi tidak ada yang bisa menasihati Ayahku. Ia hari ini hanya percaya ceramah ustadz di Youtube dan Facebook.
Sayang, dunia maya bermain dengan logaritma. Apa yang sering kita tonton, itulah topik-topik yang sering kita lihat pula. Yang sering didengar Ayah adalah ibadah-ibadah yang mendatangkan rejeki, dosa yang membuat rejeki seret. Tapi kalau ceramah tentang keluarga, Masya Allah langsung di skip nya. Kalau ibuku mengirim link ceramah, maka ia akan tersinggung, merasa sedang dinasehati. Sulit sekali.
Sama sepertiku.
Sifat-sifat itu aku menyadari turun ke Aku. Keras kepalanya, emosi yang meledak-ledak dan suka memberikan alasan tidak masuk akal saat tidak mood. Aku adalah replika dari kedua orangtuaku. Dengan kesadaran penuh, 27 tahun aku hidup tak pernah terpisah dari keduanya. Genetik dan lingkungan, sempurna melingkupiku.
Bukannya tak susah payah aku untuk menyadari kesalahan-kesalah ini. Sehingga aku lebih mudah memasukkan ke hati perkataan orang lain. Karena sudut pandang di luar kedua orangtuaku sering ku anggap sebagai realita yang nyata. Hal apa yang tidak disukai dan disukai oleh publik, semuanya aku pelajari untuk tidak seperti sifat buruk dari kedua orangtuaku.
Dan ini bukan pelajaran yang sebentar, tidak bisa satu dua tahun. Aku hidup puluhan tahun dengan nada bahasa yang berputar-putar seperti itu setiap harinya. Saat aku menjadi cermin dan memantulkan itu kembali, maka perkataan 'tidak sopan','kamu berbicara pada orangtua, bukan pada teman','jaga perilakumu, nanti kamu jadi anak durhaka.' kerap menyapa ditelingaku.
Maka setiap berdoa aku selalu takut mengucapkan "..dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil." Waktu kecilku dengan pengasuh, hampir semua cerita aku mendengar bahwa aku dibawa ibu pergi kerja diproyekan sambil membawa pengasuh. Ayah yang pergi hampir setiap minggu berhari-hari ke negeri sebrang sampai ada isu tidak enak dan lain-lain.
Ayah, adalah alasanku masih bertanya-tanya kenapa ibu memilihnya selain kata ibu, dulu Ayah sudah sholat lima waktu.
Lantas sampai hari senjanya tetap sholat di masjid dan senang menonton ceramah UAS terkait rejeki, berbagai jenis obat-obatan mencegah gula darah, plus selingan video janda dan video lebih tidak baik lainnya. Entah kenapa harus kepergok olehku tanpa sengaja.
Sial, sungguh aku takut menjadi anak durhaka. Aku mau masuk syurga. Aku mau surga. Selamanya di Surga.
0 notes
topibiru · 1 month
Text
Hidup tuh cuma bentar, sedangkan akhirat selamanya. Dan selamanya tuh lama banget. Alih alih ikut tren YOLO, sebaiknya kita mikir realistis.
Dengan waktu hidup yang cuma bentar, bisa kebawa bekal apa aja? Sejatinya kita ini lagi berpacu dengan waktu. Dikejar kematian. Bisa malam ini, bisa besok.
Allah tuh beneran Maha Tahu. Tahu banget hambanya banyak yang minimalis, less efforts dalam ngumpulin perbekalan. Makanya dikasih masalah ini itu. Dikasih sedih ini, baper itu, dikasih lapar. Dibuat akrab sama anxiety sama problematika hidup.
Mungkin supaya hambanya dapat ekstra pahala dari sabar ketika amal baiknya pas pasan.
Merenungi hal ini, rasa rasanya hidup tuh emang harus punya kesulitan...
.
.
Meskipun gitu, tolong jangan susah susah amat Tuhan :(
149 notes · View notes
topibiru · 1 month
Text
Dan ini masih tentang Ibu (juga ayah?)
Aku ngikutin seluruh rangkaian COC (Clash of Champions) meskipun usia pesertanya beda 6-8 tahun dengan ku. Selama menonton itu, aku merasa tertular rasa semangat dan bahkan aku iseng-iseng ngerjain soal dari beberapa episodenya. Sedikit kaget, aku bisa. Meski lama. Padahal aku selalu merasa payah sekali di matematika.
Saat di episode terakhirnya, ada bagian Champion's Talk. Ala-ala TEDx. Dan hampir semuanya mengakui mereka bisa seperti itu karena dukungan dari orang tua. Bahkan Nabil mengatakan ada budaya apresiasi dalam keluarganya.
Ternyata, itu yang tidak aku punya.
Aku tidak mengerti dari generasi 60-an mengapa begitu sulit memberikan apresiasi. Merasa romatis jika mengapresiasi diam-diam, merasa anak-anak akan memahami sepenuhnya jika orangtuanya bangga tanpa diucapkan.
Ibuku menyimpan karya-karya ku saat TK. Bukan benar-benar karya, itu tugas-tugas anak TK yang di-bundling dalam map plastik. Ada juga yang benar-benar gambar ku, tapi tidak ada dalam ingatanku itu ibu yang menginisiasinya. Intinya, Ayah Ibu di masa-masa sampai aku mau masuk SMA amat sangat sibuk.
Yah, masih sempat diantar jemput. Dengan notabene telat diantar dan telat dijemput. Makanya budaya on-time susah payah aku usahakan dewasa ini. itupun setelah salah seorang teman di komunitas terkejut kenapa ada anak yang tidak dilatih 'tepat waktu' oleh orangtuanya.
Menyadari habit yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, membuatku jadi mudah marah-marah juga. Sungguh banyak yang harus ku koreksi dari diriku.
Balik lagi soal apresiasi.
Aku adalah murid pertama dari SD-ku yang lolos dalam pembinaan olimpiade sains tingkat provinsi kala itu. Sekolah mengakuinya, profilku dipajang berbulan-bulan di mading sekolah. Diberi hadiah pula dari sekolah. Betapa aku menyukai sains saat itu. Namun, hari ini aku tidak menemukan bukti apapun kalau aku pernah mendapatkan itu semua. Seolah hilang begitu saja. Karena tidak ada satupun potongan foto aku berapa di balai pelatihan selama satu minggu, diajari oleh dosen, pertama kali melihat pengajar menggunakan OHP (overhead projector) dan berbagai kegiatan lain disana. Bahkan aku tidak bisa mengingat siapa guru pendampingku saat itu.
Saat aku masuk kuliah, disitulah salah seorang teman yang menjadi sainganku sebelum lolos tingkat provinsi mengingatkan bahwa aku pernah menjadi si anak olimpiade.
Cerita soal olimpiade ini juga lucu. Saat SD aku bukan dikenal sebagai murid yang pinter banget. So so lah. Karena aku mampu masuk 3 besar. Tapi saat kelas 3 SD aku pernah memalsukan tanda tangan Ayah dan mengubah nilai rapor karena nilaiku turun sampai rangking 13. Aku rasa disitu titik balik orangtuaku menjadi tidak menyukaiku. Rasaku begitu. Tetap sayang sih, cuma kayak masuk core memori aja bahwa anaknya ini selamanya takkan bisa dipercaya.
Lalu aku ingat sekali saat akhir kelas 4 SD, entah kenapa dikelasku yang peringkatnyanya paling tinggi diantara kelas lain (dulu kelas di bagi menjadi A,B,C,D berdasarkan rangking) enggak ada perwakilan untuk seleksi olimpiade sains. Mungkin karena anak-anak lain tidak terlalu mengerti apa itu sains. Aku mengangkat tangan dnegan percaya diri meski guruku tidak percaya. Maka aku masuk lah, sia anak yang tidak dipilih ini untuk seleksi sekolah tanpa orangtuaku tau. Dan hasil tesnya beberapa kali aku lolos sampai akhirnya orangtuaku baru dihubungi setelah aku dinyatakan akan dikarantina. Kenapa waktu itu orangtuaku tidak tau aku pergi tes? karena itu semua waktu sekolah dan guruku yang membawa. Saat pulang, aku tidak ingat menceritakan hal ini sama orangtua rasanya. Ya karena itu, sibuk.
Lalu aku disekolahkan SMP jauh sekali. Ibuku seperti punya pride yang tinggi agar anaknya bersekolah di sekolah mahal. Bukan memikirkan bahwa aku memiliki potensi untuk menekuni bidang yang aku suka. Aku diajak memilih sekolah SMP saat itu dimulai dari sekolah agama termahal yang ada dikotaku saat itu. Sayang, waktu tes disana peringkatku nomer 2. Ibu batal memasukkanku disana dengan alasan anaknya sudah pintar kenapa harus masuk ditempat yang tidak ada saingannya. Nanti aku akan malas belajar. Padahal, Permintaan kecilku dulu hanya satu, ada labnya. Tapi entah kenapa aku jadi masuk ke SMP yang uang sekolahnya juga mahal, tapi fokusnya ke seni. Yup seni. Aku smepat gabung drumband, main keyboard sampai orangtuaku beliin aku keyboard, belajar biola, belajar nari dan sampai sekarang aku masih sangat lancar tari saman. Tapi aku tidak bakat di musik sebenarnya. Kenapa aku cuma bisa nari sampan ya karena tari lainnya aku kaki. Kalau samankan cuma duduk. Olimpiade? menghilanglah begitu saja, orang ga dapat lagi informasinya.
Aku masih punya pin dari SMP bertuliskan "The Best Attitude", itu adalah penghargaan setiap kali masuk tahun ajaran baru. Aku mendapatkan itu 3 tahun berturut-turut. Apakah itu pernah dibahas ibu? atau sekadar mengucapakan selamat? tidak. Justru yang ibu bahas bagaimana celoteh salah seorang guru yang mengatakan bahwa ibu harus berhati-hati karena aku terlalu rasional dan bisa liberal secara pemikiran jika tidak seimbangkan belajarnya.
Saat perpisahan SMP, ada acara pentas seni. Aku mendapat 3 kali kesempatan untuk nampil. Menyanyi trio, Tari saman, dan Drama kelas. Orangtuaku baru datang setelah tari saman mau selesai. Aku ingat tatapan mataku saat terus menerus menyisir para pengujung dan melirik bangku kedua orangtuaku yang belum juga terisi. Apakah ada foto saat aku tamat? Tidak.
Saat SMA, aku masuk ke SMA negeri karena aku yang minta. Aku ingin berbaur dengan teman-teman dari berbagai kepercayaan. Itu karena aku melihat tahun pertama kakakku kuliah begitu mengerikan saat ia tidak terbiasa dengan teman-temannya. Dia di pesatren selama 6 tahun. Jadi SMA ku bukan yang favorit. Itu karena aku punya trauma setengah mati dengan seseorang saat aku SD dan aku lihat dia saat ujian masuk SMA favorit itu. Btw, seleksinya 3 kali dan aku lolos tes akademik dan bahasa inggris. Wajar, SMP dulu toeflku sudah diatas 500. Aku sering dan pernah menang lomba story telling. Jadi saat tes terakhir, psikotest, yang paling aku sukai, aku menggagalkan diri. Aku ingat betul aku flu berat ditambah perutku mual luar biasa saat melihat seseorang itu di ruang ujian yang sama denganku. Aku yakin sepenuhnya anak itu pasti masuk meski secara akademik aku lebih unggul, karena dia anak yayasan tempatku sekolah dulu.
Dan aku dinyatakan tidak lolos, Ayah dan Ibu hanya bilang ya memang aku yang tidak mampu. 2 nilai ujian lain dimana aku masuk 15 besar tidak dilihat, tidak dibahas.
Akhirnya aku masuk ke SMA negeri yang dekat dari rumah. kebetulan SMA negeri terakhir. Jelek sekali. Bahkan ibuku mendesak aku untuk pindah ke sekolah negeri agama saat itu. Cuma aku bilang sayang seragamnya. Karena sekolah agama seragamnya beda seluruhnya. Dan sekolah itu jauh sekali dari rumahku. 10km. Aku sudah lelah saat SMP harus bersekolah 13km setiap harinya.
Akhirnya ibu mengalah dan langsung memasukkan ku ke tempat les paling terkenal saat itu. Menurut ibu, sekolah negeri tidak akan mengajariku apa-apa. Yah namanya doa ibu, benar saja aku tidak belajar apa-apa disekolah. Aku bisa mengerjakan PR dan melewati semua peristiwa akademik di SMA karena les jutaan itu. Dan tentu saja aku selalu masuk 3 besar.
Rasa-rasanya aku tidak pernah benar-benar belajar selama SMA. Aku sibuk sekali kegiatan ekstrakulikuler. Bukan hanya di sekolah, tapi diluar sekolah, jadi jurnalis SMA dan ikut komunitas blogger saat itu. Berapa kali aku datang ke event masih pakai baju sekolah. Duh!
Aku pernah sekali ikut olimpiade lagi saat SMA, tapi Fisika. Karena Biologi sudah diisi oleh teman ku yang lain. Yah, dulu aku masih belum tau kalau 'ruh' ku di biologi. Yang aku tau Fisika masih rumpun sains, terus ibuku orang teknik, salah satu dari sekian banyak hobiku robotik, dan meski aku tidak bisa matematika, nilai Fisikaku cukup bagus. Jangan tanya kenapa. Karena aku juga ga tau. Biologiku memang so so saat SMA. 80-an reratanya. Karena guru biologiku kacau sekali dulu wkwk, bapaknya suka menghayal dan sering kasih informasi hoax. Rada mesum juga meski ga semesum guru bahasa inggris yang ngelike foto dan video ga senonoh di twitter padahal mutualan sama anak muridnya. gubrak. Yah, sekacau itu SMA ku.
Aku rasa Psikolog ku lah menjadi penyelamatku di dunia perkuliahan. Ibuku sekalipun enggak pernah ikut dalam konsul ke psikolog untuk menentukan jurusanku. Karena mau ibuku aku masuk kedokteran. Meski aku pernah minta masuknya kedokteran hewan, yang jadi kekhawatiran ayah ku aku harus memegang hewan-hewan haram. Padahal saat aku di biologi lebih banyak sampel 'haram' yang aku tangani, hahaha.
Seluruh rangkaianku masuk kuliah itu didampingi oleh Ayah. Seluruhnya murni, Ayah.
Jadi yah begitulah soal apresiasi. Dengan love languange ku yang word of affirmation aku harus sangat berbesar hati dibesarkan oleh orang tua generasi 60-an awal.
Aku jadikan catatan saja nanti aku akan lebih banyak mengapresiasi anak-anakku, pasanganku, saudara-saudaraku, teman-temanku, rekan kerjaku, kelak. Amin.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Seringkali aku salah kapan harus percaya, kapan harus pura-pura terperdaya.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Sayangku, makhluk hidup manapun bisa berubah. Baik fisiknya. Baik sifatnya, baik takdirnya.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Sebelum Dzuhur, Kutulis Saja Ini Dulu
Jika saat ini tren 'Yura' sedang naik daun, maka aku ingin mengatakn hal ini meski diluar konteks, "Yura, aku bisa. Menahan amarah ini Yura."
Di kota tempatku tinggal, anger issues menjangkiti hampir semua penduduknya. Orang-orang di kota ini yang bisa mengatur amarahnya dipastikan ia pernah tinggal di kota lain untuk beberapa tahun. Aku adalah anak yang belum pernah tinggal beberapa tahun di luar kota ini. Sehingga dengan sadar diri bagiku melatih pengendalian emosi ini cukup lama karena aku juga baru menyadari kekuranganku ini beberapa tahun terakhir.
Aku mengantar ibuku pergi jalan pagi, mengejar kelompoknya karena lagi-lagi, ibu terlambat. Sudahlah, sifat ini sudah tidak akan mungkin berubah. Sudah terlalu senja. Sementara Aku, masih sangat bisa dan harus bisa. Menyia-nyiakan waktu bukanlah hal baik untuk diturunkan.
Sepulangnya, ibu tidak berhasil mendapatkan doorprize yang ia incar, atau sesederhana mendapatkan minyak makan seperti yang didapat temannya. Teh Pucuk ukuran besar, bukanlah hadiah yang berguna. Aku yang sedang memperbaiki rok dengan jahit tangan mengatakan bahwa memang sudah rejeki. Rejeki kita hari ini berarti sudah cukup, kata ku sambil tertawa. Lalu melanjutkan bertanya, apa makan siang kita hari ini. Rasanya aku sedang senang untuk ikut berkesperimen di dapur. Ini hari Ahad.
Ibu menjawab tidak tahu. Lalu membuka-buka hape sambil setengah mengantuk. Berkali aku katakan, kalau mengantuk, taruh dulu hapenya. Nanti terjatuh. Yah, persoalan ini, hape ku saja yang setipe lebih dulu tewas terendam air.
Selesai menjahit, aku melanjutkan membaca buku yang baru dibeli kemarin. Larut dalam bacaan, tiba-tiba ibu berteriak marah. Katanya, ia mencampur seluruh air minum kedalam air beras yang ku tampung di teko air satunya. Sudah lama ku lihat teko air itu kosong, karena sudah beberapa hari aku merasa lebih mudah menuang air beras untuk kusiram ketanaman, jadi aku menampungnya disana.
Kalau sudah marah dengan nada berteriak, seluruh kesalahan kecil akan menjadi besar semuanya. Semua gerakan yang kita lakukan salah. Terlebih cuek dan diam, itu akan lebih salah. Sebisa mungkin, kali ini, aku jangan melawan, jangan menjawab, dan bertanya dengan lapang dada.
Aku tanya dimana teko minum satunya yang memang selalu kita gunakan untuk di meja makan. Jawabannya, 'bukan itu yang harus diurusi'. Aku ke dapur, melihat teko yang aku maksud itu dengan jumlah air sedikit seperti yang kulihat sehabis sarapan. Dan aku juga sudah memasak air di ceret listrik pagi tadi. Lantas aku bingung, air minum mana yang dicampurkan ibu kedalam air beras? Seluruh air masak masih dalam posisinya masing-masing semua. Jadi aku bertanya lembut (aku berani menuliskan kata lembut karena menurut ayah kali ini intonasi nadaku tidak salah), apakah ini air masak? ibu kembali menjawab dengan nada tinggi bahwa itu air masak, bawa kesini, campurkan lah sama air baru kalau memang mau dicampur. lalu ditambah repetan aku tadi pagi sarapan sendirian tapi tidak mencuci piring. Hal ini dibela ayahku, bahwa Ayah adalah orang terakhir yang sarapan. Ibuku bilang, piringnya ada dua, apakah ayah makan dua piring?. Kami memilih diam, karena ayah menyadari piring terakhir adalah miliknya, dan dalam ingatanku aku sudah mencuci piring terlebih dahulu makanya bisa bersantai menjahit. Lantas ditambah ibu, mau piring siapapun, masa enggak dilihat kebelakang untuk aku mencucikan piring ayahnya?
Baik.
Mencari-cari kesalahan orang lain adalah hal yang selalu dikatakan kepadaku agar aku tidak selalu melakukan itu. Jangan mencari kambing hitam, sadari kesalahan diri sendiri.
Baik.
Bahkan sekalinya aku pernah marah dan mengatakan dari aku lahir sampai saat ini aku tidak terpengaruh pendidikan siapapun kecuali dari rumah, Ayah yang marah besar. Aku melihat, kalau orangtuaku menyadari kesalahannya, takkan ada kata maaf, yang ada hanya semakin marah dan menceracau untuk setiap hal yang bahkan sudah diselesaikan. Rasanya memuakkan, tapi aku harus menerima dan menjadikan ini bagian dari ujian. Bisa saja diluar ini Allah beri aku ujian lain, aku tidak mampu?
Semoga aku bisa lebih baik lagi, meneladani hal-hal baik dan memutus sifat-sifat ini kepada keturunakku kelak bila diberi kesempatan. Amiin.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Seperti Biasa, Biasakan Saja Tangis Ini.
Ampunkan hamba Ya Allah, Ampunkan hamba
Rasanya seperti ibuku menarikku menjadi lebih hancur secara mental hari ini. Aku menegaskan kepada ibu terkait administratif yang dipertanyakan salah satu pihak kepada usaha keluarga kami. Tidak, ini bukan usaha keluarga, ini usaha pribadi ibu dengan mengeksploitasi anggota keluarganya.
Ibu mengungkit-ungkit omongan salah satu guruku saat SMA yang mengatakan bahwa aku akan susah nantinya dengan ceracauku yang tidak suka dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan pakem. Beberapa tahun berlalu, ibu itu hijrah dan meminta maaf kepadaku bahwa aku benar. Entah ibu yang semakin menua tidak mengingat itu dan hanya mengingat kesal hatinya saat sang guru itu memperingati kepada ibu terkait tingkahku, entahlah. Yang jelas, aku merasa dihancurkan oleh ajaran yang ditempa dari kedua orangtuaku.
"Hidup jangan terlalu menjlimet, kerjakan saja yang sekarang." kata ibu hari ini. Sedangkan aku merasa kepalaku sudah runyam karena ada beberapa hal yang menjadi tidak jelas hari ini. Mungkin benar aku masuk kepada Gen-Z yang sulit sekali mengendalikan mental. Sulit untuk bekerja kalau sedang merasa tertekan. Padahal ada banyak pekerjaan yang mengharuskan bisa bekerja di bawah tekanan, bukan?
Aku melihat etos kerja pada beberapa perusahaan luar, saat sedang sakit, saat sedang ada masalah keluarga, saat ada kejadian mendesak, mereka memberi ruang bahkan membantu support untuk mencarikan bala bantuan. Tapi sepertinya, aku belum pada level kerja seperti itu, bahkan dari keluargaku sendiri.
Setengah sesak nafasku menahan diri untuk tidak menghardik saat ibuku bilang "dengan begini saja Alhamdulillah ada saja jalannya rejeki itu." Aku istigfar kuatkuat dalam hati, mengatupkan bibir, dan menahan perkataan,"itulah mengapa ibuku baru merintis mimpinya dengan merepotkan banyak pihak di penghujung umur 50-nya."
Ibuku mengatakan lagi kalau aku selalu berulang terjadi seperti ini, padahal entah berapa maaf yang aku terima dari orang-orang yang tidak mungkin mengatakan maaf saking keras kepalanya. Karena apa? karena mereka sadar tuduhan mereka terhadapku salah.
Aku berdiri tegak tanpa harus mendengar cemoohan orang-orang, pertama, kita tidak sepenting itu, kedua, kalau kita benar, perlahan fitnah itu akan mereda sendiri dan memperbaiki berita itu dengan sendirinya.
Di usia 27. Aku berpegang teguh dengan ini.
Tapi tetap, sepenuhnya, aku mempercayai isi qur'an. Ridho Allah adalah Ridho orangtua. Berkali-kali aku minta ibuku ikhlas dengan pilihan anak-anaknya. Berkali-kali aku bujuk dalam doa-doanya bukan saling menyimpang, saling ikhlas dan kita bisa mendukung satu sama lain. Aku merasa, ibu tidak ikhlas dengan Ayah yang terlihat tidak berusaha untuk keluarga, Aku merasa ibu tidak ikhlas dengan anak-anaknya yang belum kunjung menikah, aku merasa, ibi tidak ikhlas dengan fisik dan perilaku anak-anaknya. Ibu merasa nantinya akan menjadi aib. Ibu. belum. ikhlas. untuk. takdirnya.
Satu-satunya yang menjadi pikiranku saat menulis ini adalah kabur dari rumah.
dengan meninggalkan pesan, anggap saja aku sedang berkegiatan lapangan seperti biasa.
Kepalaku berat rasanya sekarang. tangisku pecah di hari jumat. Sungguh, satu-satunya alasanku tidak mengambil alih tuas ibu di pagi hari meskipun ibu dan ayah sering bilang "harusnya sudah iyah yang mengurus rumah ini" Ya karena aku melihat semakin berkurang rutinitas orangtuaku, semakin mudah lupa dan istilahnya 'nyannyok' kalau sedang diliputi emosi yang tidak bisa dikendalikan.
Aku sering sekali mendapati ayah ibuku kesal saat apa yang aku katakan benar. Tentu pertama karena cara penyampaianku yang terkesan menekan sampai mereka mengaku salah. Aku tau ini tidak mudah, aku berlatih juga agar menggunakan nada dan pemilihan bahasa yang lembut dan lebih baik.
Aku menatap notes di depanku saat ini, Surat Al-isra ayat 24. Doa yang aku takut mengucapkannya meski dengan bahasa penuh kasih sayang. Tidak ada dalam ingatanku aku diajari membaca, tidak ada dalam ingatanku diajari naik sepeda, nyaris semua aku lalui bersama kakak angkat. Dari cerita-cerita masa aku bayi, aku di asi hanya sampai 6 bulan dengan penuh sakit dan darah. setelah itu aku di support sufor yang mahal di masa krismon.
Aku pikir aku akan mengerti sedikit saja pikiran ibuku sebelum aku menjadi ibu nantinya. Aku pikir aku bisa memahami pikiran ibuku dengan belajar. Ternyata pikiran ku gak pernah jadi pikiran.
Saat aku menulis ini pula, sudah 3 kali rasanya ibu memanggilku keluar kamar, tidak muncul suara dari laptopnya, tampilan peramban laptopnya tidak seperti biasa dan lainnya, padahal ibu membuka laptop nyaris setiap hari.
Ah kepalaku sakit rasanya dengan ibu yang tidak memahami ia sudah menua dan aku yang tidak mehamami kebutuhan ibu.
Ampuni hamba Ya Allah.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Intuisi
Aku semalam menulis perasaan ku tiba-tiba begitu gelisah. Lantas aku mencoba-coba mencari tau penyebabnya. Meski aku sudah sedikit lega, tapi gelisah itu tidak hilang. Tapi pagi tadi gelisah itu mendadak hiang setelah... aku bayar domain. Jadi aku terllau dimanja oleh orang-orang disekitar ku. Seperti aku tidak terlalu memperdulikan bagaimana cara mengurus website pribadi ku dan selalu mengandalkan pemilik hosting mengingatkan ku untuk membayar. Entah kenapa tiba-tiba aku yang tak punya jadwal untuk menulis di blog, iseng saja membuka websiteku dan voila~ tiba-tiba muncul penawaran tiket holiday pesawat dll. Masalahnya aku buka itu jam 2 pagi. Kocak, enggak mungkin aku langsung me-WA untuk melaporkan domain ku yang sekarat.
Pagi harinya aku WA dan syukurlah masih berbalas. Langsung aku bayar dan perasaan gelisah itu tetiba menguap begitu saja.
Aku sedang sering menonaktifkan notifikasi WA agar lebih tenang hidup. Aku sengaja menaruh di bio WA jika ada yang butuh respon cepatku tepon saja. Jadi selebihnya aku hanya mengaktifkan WA web selama jam kerja.
Saat pulang sore hari, tiba-tiba perasaanku kembali gelisah. Aku langsung mengecek WA, dan ternyata benar saja, meski sudah bayar, websiteku masih belum bisa diakses sedangkan ada postingan yang harus dilaporkan sore ini. Jantungku dag-dig-dug dengan irama yang berbeda dari rasa jatuh cinta. Menjelang isya, akhirnya bisa diakses.
Terkadang aku terlalu abai dnegan intuisi dan menggunakan logikaku secara cermat rasanya untuk mencari tau akar masalah. Padahal terkadnag kita hanya perlu mengikuti kata hati, menarik nafas dan berdoa agar semua baik-baik saja.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Gelisah Tidak Terarah
Sejak covid berlalu, aku perlahan menyembuhkan depresi dengan berinteraksi dengan banyak orang. Dan kebanyakan, itu dengan orang-orang baru. Yup, teman-teman baru.
Beberapa waktu ini, teman-temanku kembali muncul dan berinteraksi dengan intens. Merasa senang karena kembali menemukan suaka, kami saling berbagi cerita yang dulunya menjadi rahasia sekarang tiba-tiba terbuka begitu saja.
Pantas saja sering kali kita diingatkan dosa ghibah. Kalau dnegan orang yang tidak dikenal, kita benar-benar bisa murni saja menceritakan kisah orang lain sebagai bahan i'tibar yakni mengambil pelajaran dari kisah-kisah sebelumnya. Tapi beda hal nya jika sudah saling mengenal antara yang diceritakan dengan lawan bicara kita. Jelas, kita sedang bergosip.
Lantas tiba-tiba amalm ini aku begitu gelisah tidak karuan. Aku membaca buku baru, menciumi aroma buku seperti biasa berharap hati ku tenang, tidak juga. Aku melihat ada beberapa tumpukan barang dikamar-mungkin itu penyebabnya-kubereskan kembali agar terlihat apik, tidak juga, hati ku masih gelisah.
Lantas aku memikirkan lama, dan aku rasa kegelisahan ini muncul tatkala hari ini aku sudah terlalu banyak menceritakan orang lain.
Aku merasa bersalah. meskipun aku suka tidak perduli jika diceritakan oleh orang lain, namun tentu tidak nyaman jika kita terlalu mengurusi hidup oranglian sementara diri kita sendiri masih sangat jauh dari kata baik.
Aku berusaha terus istigfar selama mengetik ini untuk merilis kegelisahanku. Aku mau tidur. Aku ingin kembali ke rutinitasku yang baik. Sudah dua malam ini aku tidur terlampau larut.
Bagaimana ya, apakah aku harus tabayyun pada orang-orang yang kami gosipkan, atau cuku meminta maaf saja pada yang dibicarakan? entahlah, tapi aku kira kalau mereka tau dibicarakan justru urusannya akan semakin runyam.
ini atas kesadaran diriku aja sendiri. Aku minta ampun pada Yang Maha Kuasa.
0 notes
topibiru · 2 months
Text
Yang Tidak Perlu dijelaskan dengan Lisan
Meski tangis sesegukan ku sudah berhenti setelah satu jam berlalu, tapi air mataku masih perlahan menetes satu-satu sat sedang menulis ini. Lucu sekali aku harus menuli ini karena ini seperti diary masakecilku yang dipaksa oleh ayah setiap kali aku berbuat kesalahan. Awal mula paragraf itu biasnaya dibuka dnegan kalimat "hari ini aku di marahi karena...." dan betul, aku hari ini menulis karena dimarahi, dinasehati panjang.
Aku dikira berbohong saat aku mengatakan waktu dimana aku seharusnya maju untuk seminar harus dibatalkan karena dosen penguji satuku sakit dan tidak membalas pesanku. Jantungku rasanya sudah sakit sekali disitu, sampai seusia ini orangtuaku mengira aku berbohong. Buat apa? Katanya jawaban-jawaban yang sering aku berikan hanya untuk menenangkan hati kedua orangtuaku. Lantas kalau aku ikut mengeluh dengan keadaan yang sedang kualami dikatakan aku terlalu banyak mengeluh. Betul. itu tidak salah.
Sejak awal aku memahami diriku sendiri tidak punya grit atau sederhananya tekad yang kuat. Jangankan demi orangtua, bahka demi diriku sendiri aku juga tidak mau berjuang keras. Pertanyaannya kenapa bisa begitu? aku juga tidak tau. Kalau aku terbawa dengan suasana di rumah, pasti, sangat pasti disalahkan.
Kita semua pembelajar sepanjang hayat, begitu juga orangtua, juga tetap belajar selamanya. Tentu saja, orangtua punya pengalaman sebagai orangtua tentu belajar saat mengasuh anaknya. Selama anaknya dibawah asuhannya, selama itu juga orangtua belajar menjadi orangtua.
Anak juga belajar menjadi anak. Bagaimana pantasnya bertutur, bagaimana baiknya memilih kata, bagaimana menjaga sikap. Jangan harap terwujud kata-kata ingin jadi diri sendiri. Kita adalah dirisendiri nya kita di mata orangtua. Mereka yang mengenal kita dari belum berbentuk manusia.
Sehingga aku membantin pada diri, benarkah aku anak yang durhaka, pembohong, selalu melawan dan begitu kurang ajar? dimana ridho Allah adalah ridho orangtua, dimana ucapan dari seorang ibu begitu makbulnya di dengar langit sehingga aku selalu meminta ibuku untuk mengatakan hal-hal baik alih-alih merutuk?
Sementara saudara ibu ada yang mengatakan padaku untuk tidak perlu memikirkan orangtua, aku harus mencari kesuksekanku sendiri, keluar dari rumah, coba A,B,C,D. Tidak, kataku tegas. Takkan kumaafkan diriku jika suatu hari ibuku terluka dan ayah tidak bisa membantu ibu dengan upaya maksimal. Seumur hidup aku mengingat betapa mengerikannya kala melihat lengan ibuku terkoyak dengan darah mengucur tak berhenti dan Ayah bersikeras bahwa itu tidak perlu di bawa ke dokter untuk dijahit. Itu adalah hari dimana aku tidak berada di hutan. itu terjadi saat aku sedang dirumah.
Kali lain terjadi saat Ayah terjatuh dari pohon, saat aku sedang dilapangan. Kakakku dari jakarta berkata ingin menelpon ambulan, tentu saja, ditolak mentah-mentah. Jantungku berkecamuk seharian itu, terus-menerus memastikan tetap dapat sinyal, secara berkala menelpon ibuku bagaimana kondisi Ayah. Setelah dikompres dengan herbal oleh ibu, menjelang malam ayah sudah bisa bangkit.
Lantas ditengah nasihat yang aku terima hari ini terkait ketidakmampuanku menyelesaikan kuliah di semester ini, Ayahku berkata bahwa aku merasa menjadi anak yang dikorbankan di rumah ini. Aku tak pernah ikhlas berada dirumah. Aku terkejut dan disela isak tangis, hal ini harus aku luruskan dan bertanya dari mana ayah mendengarnya? Kata Ayah, Ayah mendengar itu saat aku telponan dengan Kakakku.
Itulah bahayanya jaman sekarang saat mendengar berita sepotong-potong. Dan terjadi di keluarga kecil ini. Aku benar-benar sangat marah dengan kasus kakakku yang tiba-tiba mengikuti kegiatan Indonesia Mengajar. Karena ibuku sudah berulang kali memintanya pulang kerumah. Jadi aku mengatakan untuk kegiatan kami yang masih ada selama satu tahun kedepan bagaimana kalau kakakku pergi ke daerah pelosok sana? Dia yang membuat kami mengikuti program itu, masa aku yang dikorbankan untuk menyelesaikannya? itulah yang asbab kata aku menjadi korban muncul.
https://topibiru.tumblr.com/post/746724630172139520/satu-dari-banyak-hal-yang-tidak-kusukai-adalah
Apakah aku pernah merasa dikorbankan menjadi anak yang dirumah mendampingi orangtua? aku pun mencari-cari tulisan apakah benar aku pernah merasa begitu? apakah aku benar anak munafik itu? apakah benar aku semanipulatif itu? Karena hampir tidak pernah disaat aku dalam titik emosi tertinggi aku tidak melampiaskannya dalam tulisan. Karena jika tidak dirilis seperti ini, jantung dan kepala ku akan sangat sakit hingga aku bisa tidak pulih seharian. Tapi kalau aku menulis seperti ini, aku bisa mempercepat emosiku kembali stabil seiring tulisan ini selesai. dan bisa melanjutkan kegiatan lain.
Semua manusia menyadari akan akhir kehidupan di dunia. Selama disini kita harus mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Aku belum kaya harta, aku belum bisa menjadi ahli puasa, dan aku juga belum bisa menghafal quran, belajar bahasa arab, menjadi ahli sholat sunnah, atua merutinkan tahajud, maka pintu amal ibadah yang aku cari adalah birrul walidain. Namun jika Ayah dan Ibu tidak bisa melihat niat dan kasihku didalam perjalanan ini, apakah mungkin seharusnya aku mencari upaya lain kepada Allah?
Tapi benar yang dipermasalahkan Ayah, hubunganku dengan Allah sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak membawa hatiku saat ibadah. Shubuh masih telat, shalat terkadang memburu waktu dan banyak lainnya. Memang benar ridho Allah adalah ridho orangtua, dan kini Allah menegurku lembut melalui Ayah, Ibu dan berbagai kejadian lain agar aku kembali mengejar-Nya.
Wallahu A'lam Bishawab.
0 notes
topibiru · 3 months
Text
Semoga diluaskan kesabaran anak yang sedang mendampingi orangtuanya di usia senja.
Saat menulis ini hatiku rasanya sedang kacau. Memang sih aku selalu menulis saat hati dan pikirna tidak baik-baik saja.
Hal ini sederhana, tapi rasanya membuatku sedih.
Aku setiap kali sedang bekerja di rumah selalu ditanya sama Ayah "Lagi ngapain?" aku selalu menjawab "Ada yang dikerjain dari laptop" dan hal ini selalu berulang dengan frekuensi yang dekat setiap kali posisi aku dan ayah sama-sama di rumah.
Hari ini aku akan pergi keluar. Karena ibuku sedang ada kegiatan yang cukup padat 2 hari ini, jadi tidak memasak lauk dirumah. Aku pun sejak pagi bertanya kepada ayah mau makan apa untuk siang. Jawabannya adalah, "Gampang nanti beli aja"
Yasudah, lantas aku tetap memasak karena memang aku butuh untuk membawa bekal. Karena aku takut gagal memasak daging, akupun dari pagi sudah membuat bakso. Setelahnya mengantar ibu, lalu kembali kerumah untuk membuat sayur sop dengan bakso. Lantas saat aku sedang mengedit bahan dan proses print untuk dibawa pergi, Ayah kembali bertanya. "Nanti ayah beli pecal aja." akupun menjawab "Yasudah terserah." Lalu ayah bertanya lagi,"Kalau ayah beli sayur, sempat enggak iyah memasakkannya?" akupun menjawab "Iya boleh." Lalu ayah bertanya lagi,"memang gak ada makanan apa-apa ya?","kan ada sayur sop pakai bakso..." jawabku. "Yaudah ayah beli sayur sebentar."
Padahal saat sarapan, Ayah makan nasi goreng dan sop yang aku buat.
Aku selalu mengerti bahwa ayah selalu makan dengan lauk pauk terpisah. Harus ada sayur, ada ikan, dan pendampingnya. Tapi masalahnya memang pagi ini isi kulkas tidak ada sayur lagi. Aku gak akan mau menyuruh Ayah membeli sayur di luar karena ini juga kadang membuat aku kesal. Semisal ayah diminta membeli sawi manis, lalu saat sawi manis tidak ketemu ayah bisa pulang dengan tangan kosong. Itu kenapa aku sellau menjawab "terserah" ke ayah. Karena apaun yang dibeli, baru aku mikir mau dimasak apa.
Beberapa kali aku berbelanja saat mengingat kulkas kosong. Tapi rasanya selalu aja ada yang salah jika aku dan ibu pergi belanja. Ayah tidak mau makan terong lagi lah, Kangkung berbahaya lah, dan sebagainya yang informasi menyebalkan itu didapat ayah dari Facebook dan broadcast WA. Ayah selalu bersikeras memahami informasi itu karena ia adalah seorang guru olahraga. Baik. dan anaknya adalah sarjana biologi murni dan magister biologi juga, Allahu yadik.
Jadi aku dan ibu sama prinsipnya, hanya memasak yang ayah mau. Kalau kami mau masak yang lain, kami memastikan lauk yang ayah mau juga tersedia. Tapi kalau sedang tidak ada ibu, ayah juga menunjukkan ketidaksukaannya dengan masakanku jika menunya rumit. Seperti gulai, dll.
Aku banyak mendengarkan kajian bagaimana bersikap kepada orangtua yang sudah diusia senja. Tapi ternyata memang ini ujian kepada diriku sendiri. Sabar. Sabar dan sabar.
Secara usia, ayahku lebih muda dua tahun dari ibu. Tapi ibu masih aktif mengajar sehingga menjaga syaraf-syarafnya menuju penyakit tua. Sementara Ayah setiap kali senggang, memilih menonton dari handphone. Ayah tak lagi rutin menulis tangan atau hal lain yang mengasah syaraf-syarafnya untuk terjaga. Tapi ayah rutin olahraga supaya tidak terjangkit diabetes dan kolestrol.
Semoga Allah melindungi selalu keluarga ini, Amin ya rabbal alamin.
0 notes
topibiru · 3 months
Text
Ternyata lebih menyedihkan dibandingkan pertanyaan belum menikah...
... yaitu pernyataan dikira sudah menikah.
Aku mempersiapkan dengan serius tentang ilmu pernikahan sekitar dua tahun lalu. Saat umur 25. Sebenarnya hal yang membuatku sebelumnya tidak mempelajari tentang pernikahan dan masih geli membicarakannya adalah ketidakmungkinan ibuku akan mengizinkanku menikah sebelum kakakku menikah.
Lalu setelah ada mengatakan padaku, "Kamu bukan pilih-pilih, tapi memang kamu enggak bisa komitmen dan menyampaikan ke orangtua jika ada yang mau melamarmu, kan?"
Betul.
Setelah itu, aku jadi tergerak untuk mulai serius belajar ilmu-ilmu pernikahan. Dan juga mulai melobi-lobi agar hati ibuku lebih mudah menerima jika tak semua hal bisa berjalan sesuai keinginannya. Karena harapan ibu sejalan dengan doa mustajab yang keluar dari mulutnya.
Akhir tahun nanti, usiaku 28. Dan kakakku masih belum menikah. Aku sebenarnya tidak setertekan dan emosi itu jika ditanya perihal jodoh. Justru orang yang bertanya akan ku tembak balik,"Ada tidak kenalanmu yang sekiranya cocok untukku, kenalkan dong!" Hampir rata orang yang sudah aku serang begitu tidak pernah bertanya lagi perihal pernikahan.
Tapi beberapa bulan ini, aku yang mulai kepikiran setelah banyak yang mengira bahwa aku... sudah menikah. Gubrak.
Saat usiaku 23-24, pernah beberapa kali rekan kerjaku dikira membawa 'orang rumah' saat kami sedang menemui tamu. Tentu saja karena penampilanku yang tidak biasa untuk orang lapangan. Umumnya kan jilbab pendek, baju kemeja atau safari dan celana. Sementara aku memakai bergo lebar, baju tunik dan rok.
Dulu aku tidak masalah, karena ini masalah kostum. Dan aku sudah memilih untuk teguh menggunakan pakaian sesuai syariat yang aku pahami.
Btw, aku tidak memakai cincin apapun selain karena aku ceroboh, aku juga ingin cincin emas yang aku gunakan pertama kali adalah cincin nikah. Kalau cincin kayu dan cincin aksesoris lainnya aku punya sih, tapi hampir gak pernah pakai. Kalau ibuku ingin memberikanku perhiasan, pasti aku minta selain cincin.
Tapi entah kenapa, sejak setelah covid dan aku kembali banyak berkegiatan diluar, mulai banyak pertanyaan yang menjadi pertanyaan seperti; "Suaminya tidak masalah kak kalau kerja di luar seperti ini?","Kakak diantar suaminya ya kesini?","Oh ini Suaminya?","Nanti dijemput suami?", sampai yang terakhir saat aku menggendong keponakan abangku yang kebetulan satu komunitas denganku,"Anaknya udah berapa tahun kak? Pintar ya?"
Memang sering aku jawab,"Amin semoga segera bisa ketemu sama suami." Tapi tentu saja lebih sering tantrumnya.
0 notes
topibiru · 4 months
Text
Memahami yang menjadi Kehendak-Nya
Sore, menuju ke sebuah cafe untuk menemui sebuah janji. Duduk, memesan kopi dengan niat hati ingin tidur larut untuk mengerjakan sesuatu. Telepon masuk, dari Ayah. Mengabari bahwa terjadi pemadaman bergilir karena gangguan PLN. Akan nyala sekitar pada pukul 10 malam. Tak lama, ibu mengabari minta dijemput pukul 9. Niat ku ingin mengerjakan tugas di cafe itu ku urungkan dengan pemikiran bahwa saat aku pulang, lampu sudah menyala, dan aku akan langsung bekerja dibawah pengaruh kafein. Aku yakin akan berpengaruh, karena aku sengaja mulai puasa kafein. Biar sewaktu-waktu saat aku benar-benar membutuhkan efek instan kafein, seperti malam ini.
Aku menjemput ibu, menunggu sebentar, lalu kami sampai di rumah. Sayangnya, listrik belum juga menyala.
Tak apa. Aku begitu percaya diri dengan laptop yang sudah terisi penuh, dan kuota di awal bulan.
Lalu, ternyata sinyal telkomsel juga menghilang.
Aku menelpon temanku memastikan apakah hanya di daerah ku yang terimbas mati lampu dan kehilangan sinyal telkomsel. Jarak rumah kami sekitar 25km. Ternyata benar, daerah rumahnya aman baik listrik maupun sinyal. Katanya tidur saja, atau membaca buku sampai aku mengantuk. Sungguh saran yang ada benarnya.
Aku mengambil powerbank, sudah kembung, menyalakannya, menyala dua dari empat titik. Kuhubungkan dengan ringlight, berdaya rendah. Bagus, peneranganku aman.
Mulai membersihkan dapur, memastikan tak ada piring kotor yang tertinggal. Lalu bersih-bersih tubuh, dan... sholat isya.
Ini adalah sholat yang sudah lama sekali tidak kurasakan ketenangannya. Aku bisa mendengar seluruh rangkaian doa dari mulutku. Lalu aku berdoa, tidak lama, namun dua kali lebih lama dari biasanya.
Ringlight ini benar-benar cukup terang. Wajar saja, fungsinya memang untuk lighting. Perlahan aku mengambil Qur'an yang sudah tak kubuka sejak ramadhan berakhir.
Ku lanjutkan menbaca dari tanda terakhir.
Lalu lampu menyala.
Hanya dua jam, dengan kehendak-Nya, Dia menegurku dengan sangat lembut. Rasa gelisah akibat panas yang membuatku takkan mungkin tertidur tenang, membuatku mencari ketenangan dengan menghadap-Nya.
Rencana-rencana dari secangkir kopi, diganti dengan alur yang lebih baik lagi.
Semoga, niat-niat baik dalam hati akan menjadi tali penarik kita untuk kembali kepada-Nya. Amin.
0 notes
topibiru · 4 months
Text
Doa
Aku pernah dan masih meminta kepada Allah sejak lama dengan cara mengulang-ulang salah satu nama-Nya, Ya Latif... Ya Latif...
Dengan harapan, aku bisa menjadi orang yang berkata dan bertutur kata lembut. Aku rasa lebih dari 1 dekade aku meminta hal ini. Tetap saja omonganku rasa-rasanya kasar, ceplas-ceplos bahkan seringkali nyelekit yang aku sadari beberapa waktu kemudian.
Terutama, ke orangtua.
Sulit untuk mengatakan bahwa orangtuaku berbeda denganku secara tutur bahasa. Meski mereka terus menasihatiku berulang kali perkara tutur kata ini, masalhanya itu yang sehari-hari aku dengar dari mereka. Terutama dari Ayah.
Aku jauh lebih banyak terpengaruhi oleh ayah dibanding ibu. Karena apa? karena sejak kecil memang Ayah lah yang mengantar jemput ku. Dalam ingatanku Ayah jauh lebih sering di rumah kecuali saat sedang pergi seminggu-dua minggu ke negeri seberang.
Malam ini rasanya aku kesal sekali karena Ayah melarangku menyapu. Katanya, sudah sejak jaman dahulu kala orang-orang dilarang menyapu malam hari, jangan seenaknya ajaran jaman kini mengubah-ubah hal itu.
Bukan kali pertama, tapi ini muncul karena Ayah tau ia salah sebelumnya. Khas sekali ritme ini. Aku bertanya kepada Ayah dimana salah satu kucing kami. Kata Ayah ia sudah tidak terlihat sejak pagi. Mungkin dikurung oleh tetangga sebelah. Sungguh ini hal yang paling menyebalkan (meski tetangga kami sedikit menyebalkan) ketika Ayah sering kali mengkambinghitamkan tetangga. Jika aku yang terlihat melakukan pembelaan dnegan mencari kambing hitam, dijamin aku diceramahi bak maling ayam rasanya.
Meski sudah malam, Aku mengambil jilbab dan keluar mencari kucingku. Karena kemarin salah satu anak kucingku mati seperti terkena virus. Tidak sempat dibawa ke vet. Jadi aku khawatir yang ini juga tertular. Alhamdulillah ketemu, dan benar seperti dugaanku, dia sudah menujukkan gejala sakit. Aku langsung tanggap memberinya makan dan minum agar tidak sempat dehidrasi. Lalu ternyata obatnya habis. Karena Ayah sudah tau ia salah (dan kemungkina besar aku nekat pergi keluar membeli obat), ia pun pergi membeli obat tersebut.
Setelah itu aku membersihkan kucingku dan memberinya obat. Disitulah Ayah seperti mencari-cari kesalahan, melarangku menyapu untuk mebersihkan bekas kucingku. Katanya pakai tangan saja, jangan dengan satu.
Aku membatin dan berkali-kali meneguhkan hatiku bahwa inilah memang sifat orang yang sudah semakin menua.
Tiba-tiba terbersit dihatiku, bagaimana jika setelah menikah aku meninggalkan rumah dan Ibu dengan Ayah yang bersikap sesuai pikiran dan moodnya saja?
Ternyata... yang Allah lembutkan bukan tutur kataku. Melainkan Hati-ku.
Aku mudah sekali terenyuh akan nasib orang lain. Rasa-rasanya empati ini malah menyusahkanku. Sering kali aku lebih memikirkan kondisi orang lain, hewan , tumbuhan, dibanding diriku sendiri. Karena menurutku hidupku sedang dalam posisi zona aman. Bukan zona nyaman ya. Aman.
Sudah begitu saja cerita ku hari ini. Lagi-lagi menulis jauh melegakan hati. Semoga kedepannya Allah menjadikan tutur kata dan sikap ku juga lembut. Amin.
0 notes
topibiru · 5 months
Text
Sayang Ibu Banyak-Banyak
Aku seringkali menulis tentang keluarga, murni hanya ingin merilis emosi ku yang suka meledak-ledak. Ini adalah cara yang aku temukan setelah aku menyadari emosiku sangat kacau sekali saat covid.
Aku menulis saat perasaanku buruk. Sungguh, setelah menulis, aku menjadi jauh lebih baik dalam menghadapi banyak orang terutama orang terdekat.
Sekarang aku sedang belajar untuk bersikap sama bahkan lebih baik kepada keluarga. Seringkali rasanya sikap ku kepada orang baru kenal ramah luar biasa tapi ketika pulang kerumah menunjukkan wajah cemberut, kesal hati, pokoknya agar semua orang tau bagaimana hari yang baru aku lewati. Padahal semua orang di rumah juga punya harinya, dan berharap rumah menjadi surga seperti kata pepatah.
Hari ini ibu pulang dari luar kota, seperti biasa ada banyak barang yang ia belikan untukku. Aku sampai bercanda padanya, bolehkah aku menyimpan baju ini sampai lebaran depan? karena aku sudah punya banyak baju baru.
Aku hampir tidak pernah membeli baju untuk diriku sendiri. Kalau belanja pakaian untuk diri sendiri pasti aku membeli jaket, sepatu dan berbagai pakaian pendukung pekerjaan lapangan. Karena untuk hal ini, Ibu dan kakaku tidak tau spesifikasi yang tepat. hahaha.
Besok aku sudah harus pakai baju baru itu satu persatu. Karena pernah ada baju putih yang cantik sekali dibelikan ibu, aku bilang simpan saja untuk akad nikahku nanti. Itu baru tahun lalu, tapi ibu sudah merombak baju itu dan memakainya untuk mengantar orang haji. Adududuuh. Setelahnya aku jadi kapok meminta ibu menyimpankan aku baju untuk hal yang masih jauh, sepertinya.
Malam ini sambil membereskan barang-barang ibu yang ia bawa, kami bercerita banyak. Dan aku, selalu terbuka pada ibu. Aku selalu menceritakan apapun yang terjadi tanpa aku tutupi. Dan semakin sering aku lakukan meski itu harus membuatku menitikkan air mata. Mengerti atau tidak, ibu harus tau. Itu prinsipku sejak dulu.
Berbeda kepada Ayah, sepertinya Ayah sudah lelah mendnegarkan cerita Ibu. Jadi untuk mendengarkan cerita panjang bungsunya ini, ia sudah lelah hati. Dan seringkali memberikan respon kenapa aku begini kenapa aku begitu. Padahal aku hanya ingin cerita saja.
Itu kenapa aku mulai jarang bercerita pada Ayah. Semakin jarang karena setiap kali aku cerita kegiatanku akan dipatahkan dengan 'kapan thesis selesai?' Aduh.
Ibu juga tidak jauh berbeda. Tapi karena ini ibu, meski bolak-balik diomelin untuk menyelesaikan thesis, aku tidak berhenti untuk menceritakan hari-hariku. Terimakasih ibu karena tetap semangat saling berbagai cerita hingga mata kita saling mengantuk.
Sayang ibu banyak-banyak, selamanya. Sudah pasti. Harus. Sama Ayah juga sayang. Semoga terus dalam lindungan Allah SWT. Amin.
0 notes