topibiru
topibiru
FELLING
189 posts
Another side of my life
Don't wanna be here? Send us removal request.
topibiru · 19 days ago
Text
Setelah Ngobrol dengan Ibu
Bukan, bukan membicarakan soal isi Tumblrku sama sekali. Astaga jahat sekali jika aku segamblang itu.
Kami membicarakan soal krismon. Seperti biasa, keluarga kecil yang penuh sabar ini memiliki majelis meja makan. Meski sering kali Ayah seolah-olah lupa ingatan dan melarang kami mengobrol saat sedang makan. Yah, sesuai moodnya Ayah lah, padahla yang sering memulai percakapan sambil makan juga Ayah.
Ibuku bercerita bagaimana dulu memperjuangkan aku dan kakakku tetap makan bergizi, tanpa aku tau bahwa dulu lauk yang di makan Ayah dan Ibu adalah sayur kecipir, kangkung dan jenis lain yang mudah tumbuh di sekitar rumah dan bisa dimakan. Tapi disaat itu, kami tetap pakai pengasuh satu-satu. Karena ibu dan Ayah sama-sama bekerja.
Sekarang aku jadi mengerti kenapa ibu begitu berang saat aku tak memakan bekal dan Ayah mengamuk saat aku membuang sepotong ikan hanya karena tidak suka. Mereka segitu tersakiti mengingat bagaimana mengupayakan agar aku tumbuh baik di masa krismon. Dan sekarang seperti rasa sesal kepada kakakku yang ukuran tubuhnya paling kecil di atara semua sepupu kami karena kakakku tak suka makan dan juga tak minum susu yang dibawakan kepadnaya saat di pesantren.
Aku baru terpikir kenapa masa kecil sampai SMAku begitu cemerlang meski dalam lingkungan toxic dari Ayah dan Ibu yang sebenarnya berjuang untuk hal terbaik bagi anaknya tapi ya itu, ekspektasi terlalu tinggi menjadikannya toxic.
Saat kecil aku punya pengasuh, ada banyak yang bantu, pakaian sekolahku sudah rapi, kaus kaki, sepatu dan kotak bekal serta air minum ready. Bak sinetron, aku merasakan bagaimana susu dan sarapan tersaji di meja makan sampai dengan aku SMA.
Lalu karena satu dan lain hal, orang-orang yang membantu dirumah tak lagi dipakai. Ekonomi mendadak sulit, bahkan untuk aku masuk kuliah setengah mati ibuku mengurus penurunan UKT. Disaat itu aku bingung dan heran, karena uang sekolah SMP ku 2 kali lipat daripada biaya UKT yang dipaksa ibu turun itu.
Dalam cerita meja makan kali ini ibu mengatakan bahwa Ayah sebenarnya khawatir bagaimana urusan rumah, cucian, setrikaan dan lainnya. Tapi kata ibu anak-anaknya sudah besar, jadi bisa membantu
Hahaha, dan sekarang kami menertawakan hal konyol ini. Bagaimana bisa aku yang bahwa baru mencuci pakaian dalam sendiri saat halangan saja dan tak pernah mencuci yang lainnya tiba-tiba di susurh mengurus rumah mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci baju sendiri? Bahka menyetrika aku baru dikasih ya saat kuliah itu. dengan drama beberapa pakaian menjadi korban.
Kalau kakakku tak perlu ditanya, sejak dulu smapai sekarang ia hanya berputar dengan pikirannya sendiri. takkan berusaha memahami situasi. Turunan ayah, se mood nya dia aja.
Jadi wajar kalau di masa kuliah aku menjadi tak ada waktu untuk mencari-cari berbagai macam lomba. Aku harus membagi waktu belajarku untuk hal yang sangat banyak. Belajar urusan kuliah dengan laporan praktikum tak pernah berhenti, dan belajar urusan rumah.
Sudah aku mau mencatat cerita itu saja. agar di kemudian hari kelak jik aaku punya pasangan dan punya keturunan, tak melakukan hal yang sama ke anakku kelak. Ia harus belajar mengurus dirinya sendiri sedini mungkin. Biar sakit di awal tapi tak meninggalkan trauma di akhir. Bi idznilah.
0 notes
topibiru · 1 month ago
Text
Memang Aku Harus Pergi
Takda ucapan baik muncul dari ibuku setiap kali ia mulai kesal dengan kakakku, ayahku, lalu kepadaku. Memang bukan kata-kata kasar, tapi perkataan,"takkan jadi orang kalian, diceritain orang kalian, kebawa sampe kemana-mana sikap kalian yang begini," dan sejenisnya. Syukurlah ibu tidak memiliki anak laki-laki, kasian sekali jika ada menantu perempuan di rumah ini. Kakak-kakak dan anak asuh ibu juga tak ada yang bertahan di rumah kami. Bahkan ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dekat rumah kami tak pernah sekalipun berhari raya kerumah kami. Karena, ibuku selalu berkata se nyinyir itu. Mengucapkan orang tak tau terimakasih, tak tau diri sola keluarganya, pilihan hidupnya yang salah, masalah keguguran di kaitkan dengan sikapnya yang tak mau mendengar nasihat orangtualah, karma lah. Jangan cerita soal empati dengan ibuku. Meski memang apa yang ia katakan dan lakukan hal yang baik dan benar, tapi caranya penyampainnya Masya Allah menyakitkan hati. Itu yang terbawa dan harus sering-sering aku sadari agar tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Permasalahannya sering kali dimulai dari ibu yang terlalu larut melihat smartphone di pagi hari. Jika ditegur, ia berkata ia tak ada waktu lain untuk membalas pesan-pesan dari semua orang yang mengubunginya, membaca informasi dari grup dan sebagainya. Padahal lebih sering aku menyadari ibu larut melihat reels facebook. bagaimana aku tak tau, suaranya menggelegar di ruang keluarga.
Ayah mengingatkan ibu untuk mengurus sarapan kami. Ya, ini sudah sulit dirubah perihal ayah yang partriarki. Sudahlah, dalam-dalam aku harus menerima hal ini. Tapi masalahnya, Ibu kesal. HIburannya terganggu. Akhirnya, kami baru sarapan pukul 10 pagi. Jangan tanya rasa lutut ini bagaimana. Menggeletar lapar. Kenapa bukan aku yang menyiapkan sarapan? Ah, lucu sekali. Aku sering mencoba bertanya kepada ibu perihal besok sarapan apa. Ibu yang sibuk dengan hapenya berkata lihat besok saja. Rumah ini harus dinobatkan sebagai rumah cenayang. Kami harus tau apa yang akan terjadi di esok hari.
Aku mengingatkan soal beberapa sampah alat dapur yang dibiarkan tertumpuk. Katanya, itu nanti akan terpakai juga, akan kita olah juga. Aku bilang, tak semua harus urusan kita, serahkan pada orang lain kalau kita belum mampu menyelesaikannya. Tapi kata-kata 'belum mampu' adalah hal haram di kepala ibu. Baginya, ia super hero yang punya banyak ide dan bisa menyelesaikan persoalan apapun.
Ayahku tak sengaja mematahkan tatakan setrika yang baru aku tempel. belum kering. Sebenarnya aku sudah membeli dua yang baru. Itu aku tempel karena aku pikir agar tak berserakan pecahannya. Lalu aku bilang pada Ayah, sudahlah buang saja. Kata ibu, jangan dibuang, kita lebur dengan plastik yang lain.
Aku dan Ayah kompak mengatakan bahwa ini adalah bahan atom, bukan plastik. Tak bisa dilebur di rumah. Ibu bilang di hancurkan kecil-kecil lah. Pokoknya kalau sudah kesal hati, ada saja jawabannya.
Dan terakhir, kena getahnya padaku. Masalah cucian, semua hal di ungkit kembali. Kami anak yang disekolahkan tapi selalu merasa lebih pintar dari orangtua, berpikir kalau orangtua kami bodoh dan sebaginya. Masalahnya selalu aku yang terkena omelan. Ayah dan Ibu takkan berani mengomeli kakak lagi karena selalu dijawab kembali sampai Ayah dan Ibu diam. Terbalik? ya. Aku sudah pusing dengan keluarga ini. Luar biasa.
Aku tak apa-apa dengan sifat-sifat unik dari masing-masing anggota keluarga kami. Tapi soal kata-kata negatif ini aku selalu merasa jadi boomerang. Aku capek. Aku rasa seharusnya aku segera pergi dari rumah, mencoba menjadi egois sedikit. Jauh dari orangtua agar tak menimbulkan lebih banyak dosa.
Bismillah.
0 notes
topibiru · 1 month ago
Text
Kalau aku menulis disini, sebgaian besar karena perasaanku sedang tidak baik-baik saja. Rasanya, aku tak ingin peka. Rasanya, aku ingin egois, menjawab semua hal yang tak tepat, seperti yang dilakukan kakakku sekarang sampai ibu dan ayah muak dengan caranya.
Aku tidak tau apakah muak sudah pilihan kata yang tepat atau terlalu negatif. Karena, Ibuku sudah tak ingin banyak memulai cerita dengan kakak karena ia akan selalu menimpali,'dengarkan aku sampai selesai dulu bu.'
Begitu juga ayah dan segala argumen tanpa dasarnya. Aku sudah mengerti bahwa ayah yang sejak dulu suk amembaca koran sekarang banyak menerima informasi dari facebook. Mitos-mitos dan segala hal omong kosong di konsumsinya dari sana. Ayah suka membaca quran, tapi tidak dengan artinya. Untunglah kami tak tinggal di jawa, kalau tidak bisa ku pastikan ia bergabung dengan pengajian yang tidak masuk akal itu.
Pagi ini aku bangun tetap dengan perasaan tidak nyaman. Aku tidak suka melihat kakakku yang seperti orang bodoh terdiam melamun setelah sholat shubuh. Aku juga rindu tatkala ayah membangunkan kami sebelum pergi ke masjid. Ayah sudah lama tak melakukan itu lagi. Aku ingin bertanya kenapa, tapi aku urungkan sejak lama.
Ah sekarang rasanya air mataku mulai menggenang, seolah beginilah caraku merilis rasa sedih.
Ibuku candu dengan sosial media, ibu merasa bahwa seharusnya urusan rumah adalah urusan anak-anaknya sekarang. Tapi, selayaknya permasalahn aku dan kakakku, kami sekeluarga tak pandai mendelegasikan sesuatu. Ibuku dulu punya banyak orang yang membantu dan tak seorangpun melawan di depannya ketika ia menyuruh ini itu. Saat yang disuruh salah arahanannya, ia akan marah dan merepet. Tapi aku adalah anaknya, bukan pembantunya, maka setelah sering ibuku melakukan hal yang sama, aku berteriak dan mengatakan bahwa ingat aku bukanlah pembantu atau pegawainya.
Lalu kini setiap pagi, rasanya salah saja. Kemarin begitu tenang, kami memasak mie thailand dan ibu membuat resep yang ia sudah tak mampu lagi untuk mencernanya. Sebenarnya, masakan ibu sudah sering terasa tak seenak dulu. Aku menggantikannya memasak hanya selalu dapat cemoohan dari ayah dan omelan dari ibu karena semua hal selalu salah dimatanya. Seu aharus sesuai dengan caranya ibu. Kakakku? sudah lama dia menyelamatkan diri sendiri dnegan memilih menebalkan kuping dan hati untuk tidak terlibat dengan dapur saat ibu berada disana.
Aku bilang, ini kenapa mienya bersisa? kata ibu untuk di masak besok, itu kenapa hari ini aku tidak memasak nasi untuk sarapan karena kita sudah berjanji akan memasak mie. Tapi dia marah, menyalahkan ku tentang apa yang sebenarny aku lakukan di dapur kenapa tidak memasak nasi. Ia tak melihat sayur yang sudah kumasak sudah terhidang di meja dan piring untuk menjadi alas nasi gurih yang dibawa oleh ayah dari masjid.
Ibuku mulai seperti nenek. Menyimpan-nyimpan barang di tempat yang sulit dicerna. Ia menyimpan totebag yang selalu dan sering kali kami gunakan untuk membawa apa saja kedalam koper. Aku bilang, itu kita gunakan sehari-hari, mengapa menyimpannya begitu. Ia bilang, kan sekarang sudah tau dimana di simpan, keluarkan lah. Ibuku mulai menjawab dengan cara kakakku menjawab. Smeu ahal yang sudah terjadi tak usah dikaji lagi, yaudahlah. Wallahi, aku benci sekali orang-orang yang menyepelekan semua hal. Apalah salahnya menjawab,'iya, besok tidak beigtu lagi.' hanya karena ego tak ingin memberi makan ego orang lain. Gila.
Aku bilang, bawa saja kakakku ke psikiater, karena ia hanya percaya dnegan hal-hal akademis. Tapi ibuku bilang biar dia menyelesaikan masalahnya sendiri.
Aku, takkan pernah mau ditinggalkan sendiri begitu saja.
Ah... ayolah, kondisiku hari ini jauh jauh lebih baik dari puluhan persen penduduk dunia. Ini hanya ujian mental kecil, seharusnya aku mampu kan. aku hanya harus bangkit dari rasa malas karnea tertekan ini. Iya, aku hanya malas saja. seharusnya sudah lama aku berusaha untuk keluar dari rumah.
0 notes
topibiru · 1 month ago
Text
Bagaimana Jika Sebenarnya Aku yang Jahat
Aku selalu merasa kakakku tidak menyukaiku. Ia tak suka melihatku yang mudah mendapatkan apapun yang aku inginkan. Ketika aku ujian toefl dan mendapatkan nilai yang layak, ia berkata bahwa kalau ia yang ujian, pasti ia akan mendapatkan lebih dari nilai yang aku dapat.
Satu kali dia mengikuti sebuah forum yang normal di ikuti pada mahasiswa. Setelahnya, aku juga ingin ikut. Normal jika aku meminta surat rekomendasi darinya. Lalu aku tak lolos. Belakangan aku tau ia menuliskan banyak sekali kekuranganku dalam rekomendasi itu. Ia juga tak menjadi mentorku karena ia merasa aku harus mempelajari semua dengan sendirian.
Ia mengatakan bahwa ibuku adalah orang yang tidak adil antara kami anak kandung dan anak asuh ibuku. Menurutnya kami anak kandung harus berusaha sedangkan anak asuh banyak sekali dibantu. Bahkan, ia membenci salah satu anak asuh ibuku dan mengatakan takkan mau selamanya melihat wajah nya lagi.
Jarak antara kami berkuliah adalah 4 tahun. Tapi aku tak mendapatkan bimbingan darinya tentang bagaimana dunia kuliah, sistem sks, bahkan sekadar memberi informasi tentang organisasi jurnalis yang aku ingin masuk. Ia sealu memprotes bahwa jurusanku itu aneh karena harus masuk laboratorium sampai sore. Ia tau dari teman-teman seangkatannya juga bahwa jurusan sejenis denganku memang berat. Tapi yang ia lakukan bukan membuatku nyaman di dunia perkuliahan. Malah sebaliknya.
Ia sering menyinggung soal fisik kami yang berbeda. Padahal orang-orang berkata kami sungguh mirip. Berulang kali semua mengatakan bahwa aku kakak dan dia adik karena ukuran tubuhku lebih besar. Dia tidak nyaman jika orang-orang mengobrolkan soal fisik.
Ketika dia rajin memberikan hadiah yang aku tidak butuh, aku merasa dia berubah semakin baik. Namun kenyataan, karakter hanya bisa dipoles dari luar. Dalamnya masih saja sama.
Tapi makin kemari aku semakin tidak mengerti kakakku. Aku sudah lama merasa tak butuh ia sebagai mentorku karena memang ia tak mau melakukannya. aku memintanya mengajariku tahsin, ia enggan. Lalu didepanku dia mengajari tahsin anak-anak secara online.
Ia berkali memintaku berbicara dengan lembut, namun apa daya, ia sulit sekali dibangunkan kalau pakai nada yang pelan. Diajak sarapan bersama niat tak niat. tak ikut mengurus rumah. Kalau ada tamunya saja dia baru sibuk menyapu ruang tamu. Menyebalkan sekali.
Ia selalu berkata bahwa kondisi mentalnya sedang tidak stabil. Dan ia mengalamiinya berulang kali, sejak delapna tahun lalu saat ia mulai bekerja. Saat ini dia berkata mau resign. Padahal posisinya cukup baik untuk bersabar sampai kontraknya selesai.
Hari-hari ku penuh dilema. Aku merasa jahat berpikir seperti ini. aku merasa jahat karena aku tak mampu meninggalkan rumah. Aku merasa jahat karena hari ini aku belum kembali menghasilkan. Aku merasa jahat karena aku tak punya lagi tujuan hidup. Rasanya teromabng-ambing di tengah lautan. Kemarin temanku bilang, Kapalku besar sekali, tapi aku tak tau dimana ruang kendali. Aku tak punya tujuan...
Ya Rabb... Siapa yang bisa menarikku... aku butuh arah untuk punya tekad...
0 notes
topibiru · 2 months ago
Text
It's not happily ever after...
for some reason, for every story
Aku tumbuh besar dengan kartun-kartun dan kisah disney. Dengan segala laluan cobaan kepada princess, mereka akan berakhir mendapatkan prince dan hidup bahagia selama-lamanya.
Aku suka menikmati kisah bahagia, karena aku merasakan kebahagian juga didalamnya. Meski kadang aku kepikiran, dampak psikolgis seperti ini positif atau malah jadi sebuah penyakit?
Aku gampang senang, mudah bahagia, bahkan dengan cerita orang lain yang menyenangkan. Begitupula dengan sedih.
Sewaktu aku masuk kuliah, nikah muda lagi ramai. Tagar indonesia tanpa pacaran mengiringi dukungan terhadap menikah muda. Salah satunya yang saat itu viral, pasangan dari malaysia yang menikah 3 minggu setelah berkenalan melalui chatting di UK.
Aku membaca blog mereka, mengikuti sosial medianya, sampai mereka dianugrahi anak kembar setelah dua tahun pernikahan, lanjut sekolah ke UK dan semua konten traveling mereka berdua. Sang istri berniqab bahkan saat snorkling di krabii, thailand. Itu yang membuat pasangan ini semakin menarik.
Mereka juga menerbitkan beberapa buku. Sampai sewaktu aku ke Malaysia untuk pertama kali tanpa orangtua, aku menyempatkan ke toko buku kinokuniya untuk membeli bukunya. Saat itu yang terkenal judulnya biniku ninja, tapi karena uang ku tidak cukup untuk membeli beberapa buku, aku memilah buku yang paling worth it untuk ku beli. Setelah ku timbang-timbang, aku memilih buku yang ditulis oleh sang istri, berjudul ku temu hijrah di eropa. Aku masih ingat sekali perasaan excited saat membuka buku itu dan membacanya di ruang tunggu sampai masuk pesawat pulang.
Tahun-tahun berikutnya pasangan ini punya bisnis, IG sang istri sempat kena hack karena saat itu sedang ramai-ramainya dan tren orang-orang pakai niqab. IG nya termasuk punya followers terbanyak sebagai niqabis bahkan di Indonesia. Mungkin karena itu banyak yang mencoba mencuri akun tersebut sampai akhirnya kena banned.
Tapi dia buat akun lagi dan aku kembali ketemu akunnya. Seru sekali melihat pasangan ini yang suka traveling, punya bisnis, anaknya kembar dan satu lagi anak perempuan yang gemes abis.
Mereka bener-bener dongeng yang hidup dan nyata dalam bayanganku.
Tapi kemarin mereka memberikan pernyataan kalau sudah berpisah....
Berpisahnya sudah dari awal tahun. Padahal konten di akhir tahun masih traveling bareng. Mereka juga buat pernyataan kalau ini tak perlu jadi konsumsi publik.
Tapi masalahnya sejak awal yang membuat mereka viral adalah pernikahan mereka sendiri. Jadi rasa-rasanya perpisahan agak membuat kecewa meski tidak berhak juga sih.
Sudah gitu aja. aku menulis ini agar kesedihanku tidak berlarut. Hal-hal yang membuat otak gelisah akhir-akir ini harus segera aku keluarkan rasanya.
Jadi setelah 10 tahun pernikahan tenryata tak membuat seseorang berpikir 10 tahun lagi untuk memutuskan berpisah ya.
Aku kembali mengambil buku yang ku beli 7 tahun lalu itu dan membaca betapa sweetnya jalan cinta mereka. Tapi mungkin rezeki pernikahannya sampai disitu saja. Wallahualam.
0 notes
topibiru · 2 months ago
Text
الأَجْرُ عَلَى قَدْرِ الْمَشَقَّةِ
"Pahala itu setimbang dengan kesulitan yang dilalui"
Untuk segala hal yang terasa berat, sulit, melelahkan di fase apapun yang sedang dijalani; semoga selalu ingat kaedah ini. Bahwa semakin sulit dan payah prosesnya, justru semakin besar pula pahalanya. Mau bekerja, belajar, mendidik anak, apapun itu. Asalkan niatnya lillahi ta'ala.
Mampukan kami ya Rabb melewati setiap kesulitan dengan pahala berlimpah yang semoga kelak jadi tabungan amal kami.
18. 08. 2024
106 notes · View notes
topibiru · 2 months ago
Text
Ketika Semua 'Terasa' Baik-Baik Saja
Tidak ada paksaan, tuntutan, atau aku yang tidak merasa, entahlah.
Tapi aku merasa sedang di'cuek'in sama sang Pencipta tatkala sedang tidak ada 'challenging' dalam hidup.
Hal ini tak membuatku merayu-Nya
Hal ini tak membuatku mencari-Nya
Hal ini tak membuatku meminta kepada-Nya
Rabbi... Maafkan Hamba.
0 notes
topibiru · 3 months ago
Text
Kecanduan
(tulisan dari blog utama yang dipindahkan karena tidak relevan) Aku gampang kecanduan. Makanya aku paling takut sama narkoba. Yang ga pake zat kimia aja aku bisa kecanduan. Kalau ditanya aku pernah kecanduan apa aja, rata-rata yang sifatnya entertain, entah kenapa begitu. Sewaktu kecil, aku tidak ingat pernah secandu apa dengan sesuatu, aku hanya menghabiskan waktu selain belajar, membaca buku dan bermain boneka barbie. Aku belajar menjahit, belajar menyulan, membuat boneka, masak agar-agar dan lainnya. Aku menyukai hal-hal seperti itu untuk membunuh waktu. Lucunya lagi, masa aku sekolah dasar aku bisa menjadi peserta olimpiade sains sampai tingkat provinsi. Bagiku, pelajaran sekolah tak bisa membuatku kecanduan.
Peralihan Kecanduan ke Dunia Digital
Lambat laun sejak adanya laptop, aku kecanduan bermain game online. Bahkan game online dari Facebook. Lalu aku kecanduan menelusuri apapun di internet. Ingin tahuku besar sekali tapi jadi mengabaikan hal-hal yang menjadi kewajibanku sebagai pelajar saat itu. Aku bergadang main game dan takkan bosan sampai dititik memang sudah dimarahin atau sudah tamat gamenya. Setelah menyadari game itu permainan yang laki-laki banget, aku mulai kecanduan membaca manga dan novel online.
Kecanduan Meningkat Setelah Memiliki Handphone
Setelah ada handphone, semakin parah, aku kecanduan dengan semua hal yang ada di dalamnya. Aku pernah kecanduan main Mobile Legends, lalu main PUBG dan di hapeku yang speknya lebih rendah, aku main Free Fire. Ini terjadi disaat tahun terakhirku kuliah. Setelahnya aku kerja dan tinggal di hutan, kecanduan seperti itu perlahan menghilang. Aku lebih suka memotret alam, berbaur dengan masyarakat dan membaca buku fisik kembali.
Kembali Kecanduan Hiburan, Drama dan Manhwa
Sekarang, aku kembali kecanduan menonton drama dan membaca manhwa. Sehingga hari-hariku tidak produktif dan sering menyerah dengan situasi.
Pandangan Profesional tentang Kecanduan
Kecanduan, baik terhadap zat maupun aktivitas, merupakan masalah psikologis yang dapat mempengaruhi keseimbangan hidup seseorang. Dr. Anna Lembke, seorang profesor psikiatri dan penulis buku "Dopamine Nation", menjelaskan bahwa kecanduan terjadi ketika sistem penghargaan otak kita terganggu oleh dorongan berulang untuk mencari kesenangan atau pelarian dari stres dan kecemasan. Dalam kasus kecanduan hiburan digital, seperti bermain game atau menonton drama, hal ini melibatkan produksi dopamin yang berlebihan dalam otak, yang membuat kita merasa "terpenuhi" sementara, tetapi kemudian menyebabkan perasaan hampa dan keinginan untuk terus mencari stimulasi tersebut.
Lebih jauh lagi, Dr. Kimberly Young, seorang ahli kecanduan internet, menyatakan bahwa kecanduan terhadap teknologi bisa menjadi bentuk pelarian dari perasaan kesepian, cemas, atau stres. Menghabiskan waktu berlebihan di dunia digital dapat mengalihkan perhatian dari tanggung jawab yang lebih penting, seperti pekerjaan, studi, atau hubungan sosial. Kecanduan ini, meskipun tidak melibatkan zat kimia berbahaya, tetap bisa memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap produktivitas dan kesejahteraan mental.
kecanduan terhadap teknologi bisa menjadi bentuk pelarian dari perasaan kesepian, cemas, atau stres.
Namun, ada harapan. Dr. Lembke menyarankan pendekatan yang melibatkan detoksifikasi digital, di mana kita mulai mengurangi waktu yang dihabiskan dengan perangkat digital dan menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Kegiatan seperti berinteraksi langsung dengan orang lain, berolahraga, atau menjalani hobi yang lebih kreatif dan produktif bisa membantu mengembalikan keseimbangan dalam hidup.
Kecanduan datang dalam banyak bentuk, dan dalam perjalanan hidup, kita mungkin akan menghadapi lebih dari satu jenis kecanduan. Kecanduan bisa datang dengan cara yang halus, seperti game atau hiburan digital lainnya. Namun, hal yang penting adalah menyadari saat itu mulai mengganggu keseimbangan hidup kita dan mulai mencari jalan keluar dengan mengganti kebiasaan buruk tersebut. Dengan dukungan yang tepat dan langkah-langkah sadar, kita bisa kembali menemukan keseimbangan dan produktivitas dalam hidup yang lebih sehat.
0 notes
topibiru · 3 months ago
Text
how i dealed my depression
(Ini adalah tulisan yang aku pindahkan dari blog utama, awalnya aku menulis ini untuk sharing namun setelah aku pikir-pikir tidak tepat di taruh di blog utama)
Ibuku selalu bilang, kalau ia adalah seorang ahli di bidang kelistrikan, tapi bukan di bidang pendidikan anak. Maka, agar dapat memahami anak-anaknya, ibu rajin menyambangi seminar tentang tumbuh kembang dan pendidikan anak sejak dulu. Yup, di akhir tahun 90-an.
Ibu tidak hanya menjadi peserta seminar, namun juga menerapkannya. Salah satunya, menemukan arah minat bakat anak dengan membawa anak-anaknya ke psikolog. Di masa itu, ke psikolog belum lazim. Bahkan tetangga bertanya-tanya kenapa anaknya di bawa ke psikolog padahal tidak gila. Yah, belum.
Aku beberapa kali ke psikolog di luar psikolog yang disediakan dari sekolah. Maka aku mengetahui bahwa ketahananku terhadap stres cukup tinggi. Namun stres yang dimaksud adalah menghadapi tantangan atau situasi yang cepat berubah. Terbukti, aku memang cepat mengikuti arus, mudah belajar hal baru dan bisa bertahan dengan prinsip sendiri. Tapi ternyata, aku tidak memahami bahwa ketahanan stres ku bukan dalam waktu yang panjang.
Aku gampang berbaur dengan siapapun, tidak malu untuk berkenalan dengan orang lain, mengobrol dan berbagi hal-hal menyenangkan dengan orang yang baru dikenal. Sehingga untuk kegiatan-kegiatan jangka pendek dan terus berubah sangat cocok untukku. Sedangkan pekerjaan yang sifatnya rutinitas menjadi momok untukku.
Tapi itu tidak membuatku memaklumi diri sendiri dan jadi tidak mau bekerja jika itu menuntut rutinitas. Aku terus belajar memperbaiki diri agar menjadi personal yang diterima oleh masyarakat. Tanpa kusangka, aku menemukan fase tidak bisa menghandle ketahanan stres ku yang cukup tinggi itu, di era covid.
Depression Session
Fase I
Begitu aku menyelesaikan strata satu degan penuh struggle, aku langsung menyetujui untuk bergabung dalam tim project yang sebenarnya aku juga masih meraba. Aku kira, ini adalah hal yang tepat untuk belajar dan berkembang. Ternyata, disini tekanan mental itu muncul bertubi-tubi. Aku dihadapkan dengan seseorang yang menyurhku melakukan sesuatu diluar jobdesk dan diluar pengetahuanku. Katanya, aku harus cepat belajar sesuatu yang bahkan dia yang nyuruh juga masih meraba. Sulit rasanya menjelaskan situasi ini, terdengar seperti membela diri, hanya ini kenyataan yang aku hadapi.
Fase II
Interaksi seharusnya semakin membuat kita mengakrabkan diri dan mengerti satu sama lain. Dan yang aku hadapi, di saat covid dengan ruang yang sangat terbatas, aku hanya menemui orang yang itu-itu aja. Pekerjaanku waktu itu mengharuskan pergi-pulang menggunakan kendaraan dari kantor bersama-sama, obrolan yang dibangun adalah seputar poligami, perempuan harusnya dirumah, kenapa muslimah malah memilih bekerja di ranah laki-laki dan topik-topik lain sejenisnya. Teman-temanku memilih untuk tidak merespon, sedangkan aku yang memang senang mengobrol, terpancing dnegan arah obrolan ini. Meskipun aku sering membelokkan kepada topik dnegan isu-isu yang lebih relevan dnegan pekerjaan kami, ujung-ujungnya adalah pembahasan agama dan konspirasi dunia terhadap covid, aku muak.
Fase III
Aku dibenturkan dengan orang-orang yang sebelumnya menjadi temanku diskusi. Semua yang aku lakukan seolah menjadi bumerang. Pekerjaanku yang seharusnya diketahui oleh yang berwenang, malah ia bilang "i dont read what i sign, sam akayak pemerintah kita.". Itu adalah titik aku membenci pekerjaanku, laporanku yang tak dibaca dan tidak diperbaiki sampai begitu saja ke meja petinggi membuat kepercayaan diriku hancur-sehancur-hancurnya. Aku yang sejak dulu memiliki mentor, dibimbing dan dibina, kini berjalan sendiri dititian tanpa mengetahui siapa yang akan menarikku dari kanan dan kiri.
Fase IV
Personalitiku dikuliti, aku memosting foto yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan dianggap flexing. Aku memosting perjalananku saat liburan dibilang nanti akan membuat orang lain iri. Aku menulis di blog ku sendiri dikatakan untuk apa aku menulis ini dan itu. Aku menggambar dikomentari tidak proposional dan sebagainya. Aku membaca buku novel di malam hari, meski itu dilapangan, itu sudah diuar jam kerja, dikatakan aku membaca sesuatu yang tidak berguna. Lbeih baik membaca buku A, buku B, dan sebagainya.
Fase V
Aku merasa tidak ada perkembangan, aku merasa buntu, sehingga dengan dukungan seseorang, aku merasa yakin dan melanjutkan sekolah. Dengan berbekal surat izin dari atasan bahwa aku dibebastugaskan ketika kegiatan perkuliahan, yang aku dapati justru sebaliknya, aku diberi tambahan tugas diluar jobdesk, diluar program, dengan dalih,"kan mau magister harusnya bisa."
Fase VI
Pengkhianatan terhadap tim. Perpecahan karena uang. Tidak bisa lagi diajak diskusi personal. Terlalu banyak kejadian dibelakangku yang membuat kepercayaan antar tim hancur. Dan sampai menyentuh urusan keluarga oranglain, disitu aku sudah sangat jijik dengan situasi itu. Syukurlah diakhir-akhir aku masih mendapatkan seseorang yang seharusnya menjadi penggantiku tapi pada akhirnya dia dan aku bersamaan menyelesaikan kontrak.
Dealing Era
Fase I
Awalnya aku merasa semua permasalahan yang tidak diselesaikan itu bisa ku tinggalkan begitu saja. Setelah meminta izin dengan warga lokal, berpamitan dengan baik semua akan selesia begitu saja. Aku juga sengaja tidak membuat jeda agar teman-teman dilapangan membuat acara kecil untuk berpamitan karena aku tidak suka dengan seremonial perpisahan. Aku tidak sadar dikemudian hari ini berdampak kepadaku secara mental
Fase II
Aku merasa tidak mampu melakukan apa-apa, semua skill ku hilang begitu saja. Apapun yang kulakukan terasa cupu. Bahkan ketika ditawari sebuah pekerjaan, aku melupakan semua pengalaman yang aku dapatkan sebelum aku masuk ke pekerjaanku sebelumnya. Aku merasa rendah diri, tidak bisa melakukan apapun dan tidak membawa apapun selain dendam. Ditambah beberapa teman di lapangan, keluarga angkat di daerah kerja, mengabariku bahwa kondisi mereka tidak baik-baik saja setelah aku pergi. Hatiku rasanya porak-poranda, apakah langkahku tidak ingin mencoba berusaha untuk bertahan adalah sebuah langkah yang salah? karena setiap kali gajian, selalu didepan wajahku dikatakan bahwa project kami sudah kehabisan dana. Dan gaji teman-teman dilapangan tidak bisa naik karena beban anggoa masih banyak. Aku kira, dengan kami berdua keluar, maka dan aitu bisa dialihkan untuk menambah pendapatan staff lain, ternyata kami terlalu polos. Tapi kayu sudah menjadi arang, kami sudah keluar dan tak ada alasan untuk kembali.
Fase III
Aku mengikuti sebuah project yang cukup besar. Disana, aku merasa bisa cepat akrab dengan tim. Tpai ternyata secara mental, aku belum siap. Aku terbawa dengan tekanan VI fase selama kurang lebih 3 tahun itu. Mindsetku berubah, aku menjadi orang yang sangat rendah diri. Sedangkan yang kutemukan di project baru ini kondisinya 180 derajat dengan kasusku sebelumnya. Kami boleh mengekspresikan semua ide dan merealisasikannya setelah didiskusikan bersama. Kami menyamakan presepsi tanpa ada yang ditutup-tutupi dengan tercapai tujuan project. Rasanya, setiap detik disana membuatku ingin menangis. Sampai-sampai aku menyatakan bahwa kegiatan ini adalah obat terhebat yang Allah berikan. Aku ingin segera sembuh, aku ingin segera menjadi pribadiku yang sebelumnya. 
Fase IV
Kelemahanku yang masih dalam kondisi belum stabil menjadikan emosiku juga turut tidak stabil. Hal-hal yang bisa diselesaikan dengan komunikasi normal malah menjadi besar begitu saja. Sunggh aku merasa bersalah saat itu. Sangat amat.
Fase V
Selesai project, masih ada kegiatan lainnya. Sudah mulai baik. Sudah mulai bisa mengenal diri lagi. Tapi belum tau arahnya kemana. Kalau ada orang yang kehilangan ingatan setelah mengalami kecelakaan, pada ku yang terjadi adalah aku kehilangan kepercayaan diri terhadap seluruh softskill yang aku miliki. Dan aku menjadi malas untuk mengasahnya kembali
Fase VI
Aku menulis banyak sekali seperti ini ketika aku merasa tidak nyaman (adaptive coping). Hari demi hari dan semakin baik rasanya. Saat ini aku sudah bisa kembali tersenyum saat bertemu orang lain, tidak lagi mengasihani diri sendiri. Mampu mengangkat dagu ketika berjalan dan tidak lagi takut melakukan kesalahan. Kalau memang salah, kita perbaiki. Kalau tidak kita coba, manalah kita tau itu salah? dan itu juga berlaku kepada orang-orang disekitarku. Aku lebih bisa mengatur emosi dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dan masih terus berusaha samapi hari dimana aku menulis ini.
Kenapa aku mengatakan bahwa aku "dealing" bukan "Healing". Awalnya aku berusaha untuk sembuh, tapi ternyata saat luka itu mncul kembali rasanya semakin sakit. Aku sembuhkan lagi dengan memaafkan, dengan refleksi, lalu saat triggernya muncul kembali, aku kembali terluka. Lambat laun aku menyadari, sebuah kondisi yang terbentuk dengan cukup lama (Depresi, 2020-2022), pada akhirnya butuh waktu hampir serupa untuk merestorasi kondisi mentalku (Dealing, 2023-2024). Aku mencoba memahami bahwa itu adalah bagian dari fase kehidupan yang harus aku ambil pelajarannya. Bukan menjadikan itu sebagai luka, sebagai langkah salah yang aku ambil dalam kehidupan, itu adalah bagian dari kehidupanku. Besok dan besok lagi, pasti ada banyak hal yang menjebak kita kembali kedalam tekanan tinggi dan bisa membuat depresi. Berikutnya aku sudah paham bagaimana cara menyikapinya. aku yang merasa saat itu tidak memiliki siapapun untuk memahamiku, syukurnya masih emiliki keluarga yang sangat amat supportif dalam menemaniku di Dealing Era ini.
Sudah itu saja berbagiku~
PS: Kalau beberapa teman terdekat sudah aku ceritakan juga hal-hal lebih gila yang terjadi sampai aku 'kena' mental banget. Hahaha.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Memahami dan Mempelajari Sisi Lain dari Diri Sendiri
Hari ini aku meledak lagi. Dan selalu pemantiknya adalah hal kecil yang sesungguhnya bukan suatu malasah kalau dilihat dari sisi normal.
Rasa penyesalan kenapa aku masih meledak dan sulit mengendalikan emosi. Lalu aku menyadari bahwa kedua hal ini berbeda. "Ledakan energi" dan "Mengendalikan Emosi" adalah dua hal berbeda dalam diriku.
Aku bisa mengalami ledakan energi bukan karena tidak bisa mengendalikan emosi. Emosiku bisa tak terkendali seperti nangis, marah, senang yang terpancar begitu jelas dari wajahku. dan emosi yang tidak terkendali, belum tentu akan meledak.
Ledakan terjadi ketika energiku tidak banyak dipakai. Ditambah, biasanya menjelang menstruasi. Combo dahsyat.
Dulu banyak yang menyadari bahwa aku mengalami sugar rush.
Metabolismeku yang begitu cepat membuat sel-sel ku juga bereaksi cepat dalam penyerapan nutrisi.
Jika aku tidak bisa mengendalikan emosi ditambah sedang mengalami ledakan energi, aku seperti kesetanan. Sedangkan saat masih didalam emosi terkendali, aku seperti bocah tantrum yang mengeluarkan energi langsung secara besar dan tidak bisa dikendalikan orang lain.
Biasanya, kalau keduanya terjadi, aku pasti menulis ini dengan nafas tersengal dan terengah. Tapi kali ini badanku lebih rileks, ringan dengan nafas yang stabil, karena aku bis amengendalikan emosi saat terjadi ledakan energi.
Apakah sebaiknya aku konsul ke psikiater?
Dulu aku beberapa kali ke psikolog untuk mengetahui potensi diri. tapi kalau kali ini, masalahnya di mental atau kesehatan sih?
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Malas-malasan mu, adalah sebuah bentuk pengkhianatan baig mereka yang mempercayai potensimu.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Yang Tidak Ingin Aku Ambil Dari Orangtuaku
Ayah : Membawakan perasaannya dan berharap semua orang dirumah mengerti akan perasaannya dihari itu. Sedikit saja salah, akan merembet ke banyak hal.
Tidak mau belajar dari oranglain, merasakan dari kecil di elu-elukan sebagai anak pintar dan cerdas.
Tidak tau tanggung jawab, sebagai individu manusia yang beragama dan berakhlak baik, tentu harusnya tau mana yang prioritas.
Diperbudak uang
Tidak belajar sistem ekonomi
Tidak belajar memahami dunia yang terus berubah.
Ibu : Terlalu perfeksionis untuk diri sendiri
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Cemburuku membara untuk ia yang bahkan tidak tau sedang disukai.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Hukuman
Ada banyak sekali cobaan dalam dunia ini, salah satunya aku merasakan sedang di hukum saat merasakan jatuh cinta dan harus mengelolanya agar perasaan itu tidak berkembang. Aku tidak tau bagaimana cara menyampaikannya.
Sudah beberapa hari rasanya dadaku sakit. aku melihat begitu banyak postingan terkait pernikahan. Aku mengeri bagaimana logaritma bekerja meski tidak kita cari, karena postingan itu muncul dari berapa lama tatap muka kita melihat konten tersebut. Apalgi kalau kita love dan save. Duileh, habis itu semua explore isinya se tema.
Sekarang aku harus bagaimana dengan perasaan ini.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
Menerima Ketidaksempurnaan
Pertama, aku pikir ini perkara yang mudah. Tapi untuk sebagian besar manusia, ini menjadi momok rasanya.
Sore ini aku meninggikan suara kepada kakakku setelah pagi tadi aku melakukan hal yang sama. Aku tidak mengerti kenapa kakakku suka melakukan hal yang kontradiktif dengan apa yang ia katakan. Aku rasa, apa yang orang-orang maksud dengan denial adalah apa yang ia alami saat ini.
Aku, selalu memahami diriku tidak sempurna, karena lingkungan, karena pola asuh, dan kini aku bukannya memperbaiki ketidaksempurnaan itu, aku lebih kepada mencari solusi untuk tidak harus menunjukkan ketidaksempurnaan itu. Menutupi adalah hal yang berbeda dengan tidak menujukkan. Aku tau ketidaksempurnaan itu ada dan aku mencari ruang atau kegiatan yang tidak memerlukan bagian dari ketidaksempurnaan itu.
Aku menyadari kekuranganku adalah emosi yang meledak. Reaksi yang ditimbulkan seringkali fatal, karena aku memang tidak merusak barang, tapi aku akan menyakiti telinga dan hati oranglain saat mendengar suara tinggi serta kata-kata yang menusuk. Hal ini terjadi karena jika aku memendam sesuatu, justru akan mempengaruhi sentimenku terhadap seseorang itu jika tidak dikeluarkan. Biasanya, aku akan secara pelan mengatakan hal yang membuatku kesal, ketika seseorang itu tidak memahami hal yang menyebalkan itu dan melakukannya lagi disaat aku sedang mencoba berbicara baik-baik, maka di detik itu juga bagai mercon tersulut, duar.
Maka, aku mengantisipasinya untuk berusaha sebelum marah kepada oranglain, aku akan menulisnya seperti ini. ngecooldown dan breakdown isi kepala, tentang apa sebenarnya yang boleh dan tidak boleh aku lakukan kepada seseorang itu.
Aku melakukan hal itu untuk diriku sendiri. Karena dalam hidup, memastikan diri sendiri baik mental dan raga adalah hal yang utama sebelum menyelamatkan orang lain. Kalau tidak begitu, namanya mati konyol. Bukan aku yang mengatakan itu, situasi saat pemadam kebakaran akan memadamkan api dan menyelamatkan korban selalu mengutamakan prinsip itu. Bisa jadi jika ia tidak memakai seluruh safety pada dirinya dan memastikannya kembali, ada seorang anak yang bisa ia tarik keluar agar tidak meninggal karena menghirup karbondioksida begitu banyak. Ada seorang anak sesak nafas yang butuh perawatan, dan pemadam yang harus mendapati luka bakar serta sesak nafas yang sama sehingga mereka berdua butuh perawatan. Namun saat sang pemadam sedang memastikan dirinya aman untuk masuk kedalam api, anak tersebut keburu menghiru lebih banyak asap sehingga tidak bisa diselamatkan. Tapi, sang pemadam yang telah siap masuk kedalam api, bisa mencari lebih jauh orang-orang lain yang terjebak di dalam api untuk diselamatkan. Tubuhnya aman, lebih banyak orang yang akan diselamatkan.
Sehingga seringkali sebelum memulai pekerjaan, aku akan memberika ekspektasi terendah kepada orang tersebut. Aku akan menyebutkan seluruh kekuranganku dan aku meyakinkan rekan kerjaku ia takkan melihat kekuranganku lainnya yang lebih buruk dari apa yang aku katakan. Begitu juga dalam berteman dan menjalin hubungan sosial lainnya.
Namun berbeda dengan keluarga, mau sebagaimanapun kita mengerti diri sendiri, tetap harus mengikuti bahwa yang paling tau tentang keselamatan diri kita adalah orangtua yang memberikan DNA, melahirkan ke dunia dan merawat sampai anaknya tumbuh besar.
Persoalan itu tidak apa-apa untukku. Orangtua memang seharusnya merasa paling tau tentang anaknya meski salah. Artinya ia punya kepercayaan diri yang beigtu besar sebagai orangtua. Jika tidak, aku tidak kebayang memiliki orangtua yang ragu-ragu memperlakukan anaknya. Merasa tidak mengenal anaknya, merasa tidak memenuhi kebutuhan anaknya, membuat sang anak ragu, apa benar ini orangtua yang membawa ku ke dunia?
Maka ada banyak hal yang tidak ideal di dunia ini. Paling terdekat ya soal hubungan anak dan orangtua tadi, ternyata yang membagi darahnya pun belum tentu mengerti isi kepala dan sifat orok yang keluar dari perutnya. Lantas, kenapa kita banyak berkespektasi untuk hal asing lainnya?
Begitu pula kakakku yang mengatakan tak ingin dipahami, padahal ia yang paling butuh dan berterimakasih sudah dipahami. Dalam artian, hari ini satu keluarga benar-benar sedang memaklumi kondisinya. Bukan dalam artian semua orang membenarkan apa yang sedang ia kerjakan, tapi memahami proses kegiatan yang sedang ia jalani. Semua berproses.
Tadi aku meledak karena setelah sekian lama kami menunggu untuk bisa meeting untuk project tingkat asean, tiba-tiba ia menjadi gagap berbahasa inggris. Di mataku, itu sebuah keanehan yang langsung aku konfirmasi dengan tuduhan mengapa ia tidak fokus. Maka jawabannya adalah dia fokus pada pertemuan itu dan beralasan hal itu disebabkan karena sudah lama ia tidak convo dalam bahasa inggris. Terlebih beberapa kosakata terkait laporan yang tidak ia kuasai. Langsung saat itu emosiku melonjak, nadaku langsung naik, kok bisa-bisanya memberi penyangkalan yang tidak masuk akal begitu. Setelah aku desak, ia mengakui bahwa meeting kami berjalan semabri ia membalas pesan untuk pekerjaannya karena ia sedang dikantor dan juga sedang jam kerja. Lalu ia meyakinkan ku meski kondisinya begitu, ia tetap fokus pada meeting kami, juga mengaggapnya penting. Seperti aku yang kadangkala mungkin salah dalam pendefenisian, apakah kini ia memiliki defenisi lain dari kata 'fokus'?
Aku menjadi merasa disini orang yang butuh pertemuan ini hanyalah aku. Aku merasa disepelekan, aku merasa hanya aku yang struggle dan butuh clarify dari pihak donornya.
Dan ternyata dari kakakku, ia tidak sadar bahwa pertemuan dairng ini aku paksakan untuknya. Untuk menjawab banyak kekhatiran yang ia tidak mengerti sehingga menjadi beban setiap kali proyek ini disebut.
Lucunya, tingkat kekhawatirannya membuatnya sampai bermimpi bahwa ia harus mengembalikan semua dana yang telah kami terima hanya karena kami tidak bisa melaporkan kegiatan dengan baik.
Jujur saja, karena ini adalah sebuah tulisan dan nyaris apa yang aku tulis ini takkan pernah keluar di dunia nyata, rasanya saat mendengar kebodohan itu aku ingin memakinya langsung. Jika ia bukan kakakku, aku pasti sudah memperlakukannya buruk dengan mengatai "goblok" seperti yang pernah aku lakukan pada seseorang di masa lampau. Aku sangat menyesal jika mengingat hal itu.
Kakakku mengkhawatirkan hal sampai melukai mentalnya untuk hal yang tidak pernah ada.
aku ulangi dalam analogi.
Ada, seseorang yang begitu takut kulitnya akan terbakar didepan kompor mati. Meski gas bocor, meski kompor tersebut berkarat, meski switchnya rusak, takkan ada yang menyebakan kulitnya terbakar jika tidak ada yang menyulut apa disana. Masalahnya adalah, tidak ada siapa-siapa disana dan juga tidak ada yang punya kepentingan untuk menghidupkan kompor tersebut. Lalu ia sibuk menjada-jaga agar tidak adak ada kebocoran gas maupun ada yang memantik api disana.
Aku kira, overthinking adalah memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi saat kita sedang atau akan melakukan sesuatu. Dengan teori terbaiknya kita mengantisipasi setiap kemungkinan buruk tersebut dengan mempersiapkan solusi jika memang pada kahirnya itu terjadi agar kita tidak merasa anxiety.
Ternyata, ada overthinking yang memikirkan sesuatu yang tidak pernah ada asal-usulnya.
Ini terjadi, karena kakakku tidak menerima hal-hal yang memang tak sempurna atau tidak sesuai standar yang dibuat oleh manusia. Ia seorang anak pertama yang harus jadi panutan rasanya, ia seorang perempuan yang seharusnya bertubuh tinggi semapai, berkulit mulus dan terang dengan kontur wajah yang nyaman dilihat.
Beberapa hari lalu, aku memarahinya soal fisik. Aku katakan aku bukannya tidak insecure untuk paras wajah, tapi tidak aku katakan ke orang-orang. Ini kakakku sampai menangis menceritakan ketidak percayaan dirinya kepada ibu. Aku bilang, orang-orang mengatakan wajah kami berdua begitu mirip, tentu aku tersinggung jika ia sebegitu menyesalnya memiliki paras seperti itu, karena artinya wajahku pun dipandangnya begitu. Sialan.
Aku rasa ini menjadi tulisan yang penuh dengan makian yang takkan pernah aku katakan selamanya.
Jadi bagaimana menolongnya untuk menerima bahwa kita takkan mungkin sempurna?
Karena menerima ketidaksempurnaan bukanlah pasrah dan terlihat tidak berusaha dalam memaksimalkan potensi diri. Tolonglah.. hampir semua semua hal tidak bisa dipadang bolak-balik. Bahkan arus ac bolak balik juga merpakan arus yang tidak stabil.
Yah sudah, dari pada mempernjang tulisan ini, doakan saja aku tetap baik-baik saja, dan juga kakakku berhenti berkhayal untuk sesuatu hal yang tidak ada. Amin.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
A = B, B ≠ A
Kita mencintai seseorang penuh, bukan berarti orang itu juga mencintai kita secara penuh.
0 notes
topibiru · 5 months ago
Text
8 Milyar Dalam Satu Waktu
Kemarin malam aku ngobrol sama kakakku sampai larut malam tentang konsep meminta kepada Tuhan. Kakakku menyadari kesalahannya yang sering kali seakan 'mengatur' keputusan Tuhan. Sedangkan aku terlalu berpasrah sehingga tak punya usaha untuk 'merayu' Tuhan.
Dalam satu hal saja soal hubungan mutlak dengan Tuhan, kami yang berbagi DNA sama, dari rahim yang sama memiliki padangan nyaris 180 derajat dalam membangun rasa iman.
Lantas, seluruh manusia berakal di muka bumi tentu punya pandangan masing-masing untuk setiap hal. Se-ti-ap-hal.
Yah, makanya belajar bukan untuk menyamakan pemikiran, tapi untuk saling memahami cara berpikir, bersikap dan berkomunikasi untuk semua entitas.
Meyakini bagaimana DNA murni dari Adam dan Hawa bisa menghasilkan banyak anak dengan sifat berbeda, fisik, dan semua hal tidak ada yang persis sama bahkan kembar identik.
Sudah, itu saja refleksi hari ini. Mari banyak bersabar dan berfikir.
0 notes