treacherousca
treacherousca
4 posts
I'm a child of words. I might be hiden & unseen, but I existed: in every pray you wish for, in every gift you dream of, even in every small glimpse of you thought.
Don't wanna be here? Send us removal request.
treacherousca · 8 days ago
Text
Tumblr media
Gandra membawa Née berkendara dari satu daerah ke daerah lain di Jogja sampai matanya menemukan sebuah bioskop. "Eh, mau nonton, nggak? Saya yang bayar deh."
"Boleh." Née langsung setuju tanpa babibubebo saat mendengar kata nonton dan dibayarin. Dua kata yang kalau manusia bentukannya mungkin udah dikasih Née bekal seminggu penuh.
Waktu pesan tiket film yang mau ditonton, cuma ada 1 jadwal buat hari ini. Itu juga harus nunggu kisaran 1 jam lagi. "Yaudah, gapapa. Bisa sekalian makan dulu. Saya laper," kata Née sambil mengelus perutnya.
Gandra tersenyum dan mengangguk menanggapi Née. Mereka sepakat buat jalan kaki aja mencari makanan karena daerah itu memang penuh dengan berbagai destinasi kuliner. "Kamu mau makan apa?"
"Ketoprak Indomaret." Née menjawab spontan. Gandra yang tidak menemukan Indomaret dan ketoprak di sekitar situ jadi bingung celingak-celinguk.
"Sorry, nggak fokus. Ketoprak Indomaret itu yang di samping kampus. Saya mau sate, kayaknya. Kamu mau apa?"
"Oalah. Saya ikut kamu aja."
Keduanya lalu duduk menunggu pesanan sate ayam. Sambil menunggu, Née membuka obrolan, "Jadi kamu sampai kapan magang di sini?"
"Mungkin dua sampai tiga bulan," jawab Gandra sambil mengutak-atik settingan kamera miliknya. "Itu jadwal awal dari kampus. Nggak tertulis, jadi sewaktu perusahaan mau extend jadwal magang saya masih bisa. Maksimalnya tiga minggu, sih."
"Ooh, gitu. Motormu udah ganti, ya." Ucap Née tiba-tiba mengomentari motor Gandra yang sudah ganti.
"Iya. Yang dulu mesinnya udah tewas."
Memang benar, selain malas ngisi bensin dan nyari parkir, alasan Gandra malas bawa motor pas sekolah tuh ya karena motornya sering masuk bengkel. Businya lah pecah, lampu depanlah mati, tombol sen-lah patah. Ada aja, pokoknya. Puncaknya mungkin injeksi yang udah nggak bisa kalau nggak diganti. Buang-buang duit dan tenaga, mending beli baru.
"Sejauh ini jadi mahasiswa sastra enggres," kata Gandra sengaja sekali menekankan kata Inggris dan memplesetkannya, "Kamu udah tahu arti namamu belum?"
"Kalau itu sih ... Nggak perlu jadi mahasiswa sasing juga saya udah tahu artinya." Jawab Née.
"Apa tuh?"
"Oke." Née langsung terlihat serius. Melipat kedua tangannya di atas meja makan, membenarkan posisi kacamata, dan meminggirkan kotak tisu di hadapannya dan Gandra. "Amnée sendiri tuh udah terdiri atas dua kata. Am dan Née. Am itu diambil dari kata ame yang artinya putri. Née itu 'sebelumnya dikenal' semacam 'previously known as.' Ardianto nama Papa, dan Koesmadji nama keluarga besarku."
"Dan kalau disambungin dan ditarik-tarik intinya ..." kata Gandra "Kamu adalah putri dari Ardianto Koesmadji. Begitu?"
"Almost! Lebih tepatnya sih, mau di kehidupan ini ataupun yang dulu, aku tetap anak perempuannya Ardianto Koesmadji."
"Oh ... Waw. Keren, ya. Kamu sama Nilam tuh sepupuan dari Papa atau Mama?"
"Mama. Aku jadi kangen Nilam."
"Saya Minggu ini mau pulang ke Malang." Setelah menginformasikan mau pulang ke Malang, Gandra diam semacam menunggu Née menanyakan lalu apa? "Kamu ... Mau ikut?"
"Saya?" Tanya Née sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ke Malang?" Kemudian dibalas anggukan oleh Gandra.
"Kayaknya nggak dulu deh ... Soalnya kalau ke Malang, saya harus sama Mama Papa. Nggak bisa sendiri, nggak dibolehin."
Gandra yang mengerti tidak mempermasalahkan hal itu. Nggak enak juga kalau dia bawa Née ke Malang naik motor seharian. Sendiri aja lumayan capek, apalagi berdua. Tapi kalaupun Née ikut, mungkin Gandra bakal pilih naik travel dan duduk bersebelahan seperti dulu pas naik bus transum tiap ke sekolah.
"Oh iya," ucap Née. "Ceritain brand company kamu itu dong. Gimana ceritanya bisa bikin itu dan gimana nanti sistem kerjaku."
"Oke." Sekarang giliran Gandra yang sok-sokan serius meniru gaya Née tadi. "First, brand company saya bukan company yang sebesar itu. Inspirasinya datang dari cintanya saya ke dunia sepakbola. Second, posisi saya di sana sebagai head social media & marketing, jadi nyari-nyari calon talent buat modeling juga termasuk kerjaan saya. Masarin produk, juga kerjaan saya, makanya saya harus pintar nyari klien & talent. Terakhir, kerjaan kamu cukup pakai produk-produk dari saya dan berfoto pakai produk itu. Fotonya bisa dari kamu sendiri atau saya yang fotoin. Kalau kamu yang foto sendiri, nanti uploadnya pakai akunmu dan mesti dikolaborasiin dengan akun kami." Jelas Gandra panjang lebar.
Née yang memiliki sinyal tinggi, tidak perlu memakan waktu lama untuk mencerna apa yang diinstruksikan Gandra walaupun asing di telinganya. Lagipun, Née adalah tipe manusia yang senang sekali mencoba hal-hal baru untuk mengukur sejauh mana kemampuannya.
Tidak terasa pesanan mereka sudah datang. Masing-masing 10 tusuk sate dan sepiring ketupat. Untuk minum, Née selalu membeli air putih hangat di manapun ia berada. Gandra sendiri memilih es jeruk nipis.
"Waduh, kenyang nih." Kembali Née mengusap-usap perutnya. Namun kali ini karena kekenyangan, bukan kelaparan lagi.
"Alhamdulillah dong."
"Alhamdulillah. Eh, berapa menit lagi filmnya?"
"Sekitar lima belas menitan lagi, sih. Mau jalan sekarang?"
"Ayo." Née berdiri dan merapikan baju serta rambutnya. Gandra malah membantu bawain tablet dan perintilan bawaan Née. "Makasih loh. Jadi enak saya." Katanya yang langsung bikin Gandra menyerahkan kembali barang-barang bawaannya.
"Dih, ngambekan."
Tumblr media
"Eh ada photobox. Canggih juga bioskop di sini." Kata Gandra saat keluar studio dan melewati booth photobox yang baru ia sadari ada di sana sedari tadi.
"Emang di Malang nggak ada begituan?" Tanya Née.
"Nggak tahu. Nggak pernah ke bioskop lagi soalnya."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Males aja. Mau, nggak?"
"Mau apa?"
"Itu ... Photobox."
Née cuma ketawa menanggapinya, penasaran kenapa Gandra tiba-tiba mau photobox dengannya. "Buat apa nanti fotonya?"
"Biar bisa buat pembatas buku." Jawab Gandra ngasal.
"Hahaha, yuk deh. Kalau itu aku setuju."
Setelah menyelesaikan sesi foto bersama dalam booth, masing-masing dari mereka membawa 1 strip yang terdiri atas 4 kolase foto. Foto-foto yang diambil setelah beberapa kali hapus-ganti karena Née selalu merasa salah gaya, sedangkan Gandra tidak terlalu memerdulikan hal tersebut.
Née memandangi strip foto itu sambil berjalan dan bilang, "Dulu kenapa susah ya cari photobox kayak begini selain di mall? Kita juga dulu nggak pernah main ke mall, jadi nggak punya foto kayak gini."
"Sekarang kan punya." Ucap Gandra sambil menyobek 2 kolase foto dan memasukkan ke dalam dompetnya. Sisa 2 kolase lagi disimpan dalam kantong kemejanya.
Ponsel Née berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Oki.
"Hai!" Sapa Née.
"Hai, Née. Aku baru selesai konsolidasi kedua hari ini. Kamu lagi di mana? Kok agak rame suaranya?"
"Lagi ... Di luar. Ada yang dibeli."
"Ooh, nggak sendirian kan?"
"Engga, kok."
"Sama siapa? Medina?"
"... Iya."
"Okelah kalau gitu. Cepet pulang, ya. Udah jam segini. Maaf aku nggak ada di sana dan bantuin kamu."
"Nggak apa-apa, tau. Kakak istirahat deh, biar besok full energi hehehe."
"Iya. Night, Née. Nanti kabarin kalau udah di kos."
Setelah mematikan sambungan telepon dengan Oki, Née menatap Gandra dengan senyum canggung. Seakan mengerti dari gerak-gerik Née, Gandra cuma tanya "Pacarmu ya?"
"Iya."
"Ganteng ya dia. Kemarin nggak sengaja liat pas kamu video call."
"Iya, haha. Nggak cocok, ya, sama saya?"
"Iya. Kamu kan kucel dan bau asem." Kelakar Gandra mengulangi ucapan Oki kemarin malam yang tidak sengaja ia dengar.
"Heh!" Bentak Née tidak terima dan kemudian mulai membaui bagian ketiak dan bajunya. "Emang bau asem beneran, ya?" Tanyanya agak kurang pede.
"Becanda, kok. Udah yuk, saya antar pulang, takut kemaleman."
Sepanjang perjalanan pulang Née hanya diam dan merenungi keputusannya berbohong kepada Oki barusan di telepon. Ia bukan bersama Medina temannya, tapi Gandra. Ia bukan keluar karena ada yang dibeli, tapi ke bioskop, nonton film, dan berfoto dengan Gandra. Tidak ada sama sekali niatannya berbohong, apalagi berkhianat kepada Oki.
Née merasa bersalah terhadap Oki. Ia juga tidak tahu kenapa bisa tiba-tiba menghabiskan waktu bersama Gandra lagi. Kehadiran Gandra benar-benar di luar dugaan Née.
Née lalu kepikiran. Benarkah atau salahkah keputusan yang ia ambil dalam beberapa hari belakangan ini? Semenjak Gandra hadir kembali.
0 notes
treacherousca · 8 days ago
Text
Amnée berkali-kali mengerjapkan mata saking ngantuknya di kelas Literature History. Profesornya ngejelasin pakai metode cerita yang sialnya itu bikin Née ngerasa didongengin sama kakek di rumah.
Dari catatan yang rapih sampai jadi nggak karuan. Dari tablet yang awalnya dipakai penuh buat nulis, malah ada split screen dia buka game for girls di internet. Née benar-benar kehilangan fokus buat stay on di kelas ini.
Oki juga belum balas chat dia dari beberapa jam yang lalu. Kayaknya emang lagi fokus konsolidasi banget itu orang. Soalnya memang, Oki tuh tipe manusia yang kalau belajar nggak bisa diganggu. Konsentrasi dia nggak boleh kepecah. Beda sama Née yang konsentrasinya bisa multitasking kesana-kemari.
"Kamu lagi apa?" Gumam Née tidak bersuara sambil memandang ruang obrolannya dengan Oki. Kangen. Mungkin itu kata yang paling tepat menggambarkan perasaan Née kepada Oki kali ini.
Satu notifikasi masuk. Atas nama Oki Pinoki.
Tumblr media
Disusul bubble chat di bawahnya yang bilang "demi Allah bro, ini minuman apa aku gak kenal. Asli, kagak enak."
Née pengen ketawa sambil melihat layar ponselnya, tapi ia sadar masih di kelas. Untung duduknya agak di pojok, jadi nggak terlalu kentara. Ia selalu suka dengan Oki yang kurang lebih sama random dengannya.
Cepat-cepat ia balas, "susu kedelai?"
Oh, iya. Soal nama Oki Pinoki di ponsel Née itu ada sejarahnya. Nama lengkap Oki bukan itu, melainkan Oki Chandra Suwiryo. Semua itu berawal dari candaan yang dilempar Oki saat mau nembak Née. Buanyak banget ngelesnya.
Waktu itu Oki gugup setengah mampus. Ia bingung mau nembak Née kayak gimana, yang keluar dari mulut dia tiap kali pengen nyatain perasaan berujung jadi candaan doang. Jangankan Née, dia sendiri juga kesel.
"Née, kamu percaya nggak kalau saya bisa sulap?"
"Nggak."
"Sama. Saya juga."
Awkward dan jayus banget deh. Sumpah.
"Née, saya pengen ngasih tau kamu sesuatu."
"Apa itu?"
"Aslinya saya itu ...."
"Spiderman?"
"Salah. Batman saya mah."
Nah, abis itu digaplok sama Née bahunya. Bikin kesel banget. "Apaan sih, Kak? Garing banget becandaan lo."
"Elo-elo," Oki meledek Née yang kaku dan wagu kalau memakai sebutan gue-elo gue-elo saat mengobrol. "Kurang cocok," katanya.
"Kamu mau pacaran sama saya nggak, Née?"
Tiba-tiba lancar.
"HAH?" Née terkejut bukan main.
Oki langsung mengangkat kedua tangannya di atas dan berpura-pura menyerahkan diri. "Sumpah bukan saya pelakunya, bu."
"HAH?" Née masih terkejut dengan kelakuan Oki yang random parah. "Kamu bohong, ya?"
Oki langsung geleng-geleng. "Engga. Suer saya nggak bohong. Saya pengen jadi pacar kamu. Kamunya gimana?"
"Kalau bohong nama kamu jadi Oki Pinoki. Hidungnya jadi panjang."
"Kan saya udah mancung, atuh ...." Ucap Oki yang memang benar, kok. Hidungnya mancung banget kalau dibandingkan sama beberapa cowok-cowok lain.
"Kalau mau memangnya saya dapat apa?"
"Dapat ketoprak."
"Kenapa ketoprak?"
"Emang gamau ketoprak?"
"Ya ... Mau sih." Née garuh-garuk kepala kepikiran ketoprak yang enak banget itu. Ditambah cabai 2 atau 3 biji, tambahin emping, dan minta banyakin sayur. Sedapnya ....
"Ya, ayo ketoprak." Oki langsung menggiring Née dengan merangkul bahunya untuk berjalan menuju ketoprak samping kampus. "Becanda, Née. Selain dapat ketoprak, kamu juga dapat pacar."
Née yang dirangkul cuma bisa senyum-senyum salting dan jadi males liat muka Oki. Dia cuma bisa jalan kayak robot yang hampir kehabisan baterai, nggak jelas. "Berarti kamu harus traktir saya ketoprak terus, ya. Syaratnya jadi pacar ya itu."
"Siap."
Nah, 2 bulan setelahnya tuh ada Oki kelupaan beli ketoprak buat Née. Sekali. Itu juga gara-gara kader muda humas yang gagal naikin proposal ke dekanat, jadilah Oki harus turun tangan. Hujan-hujanan. Sudahlah kebasahan, kena ambek pacar pula. "Sialan ini maba."
Jadilah nama Oki Pinoki melekat keras di ponsel N��e mulai hari itu. Tapi Oki tetap penuhin janjinya, kok. Besokan harinya dia tetap beliin Née ketoprak, ya walaupun beda hari. Biasanya Née ditraktir ketoprak tuh Rabu.
Muncul lagi notifikasi dari Oki. "Bukan. Air cucian beras kayaknya itu." Dari chat tersebut Née bisa membayangkan Oki yang ngomong sambil ketawa-ketawa.
"Pap lagi dong, gantenggg."
Tumblr media
"Akulah si ganteng dari Rancamaya itu." Tambahnya dalam 1 bubble chat yang menyusul kemudian.
"Lucu banget. Pacar siapa sih kamu?"
"Pevita Pearce 😁."
"Aja-aja ada."
"Ada-ada aja, yeee bolot."
Begitulah kurang lebih percakapan dua manusia nggak jelas yang kebetulan disatukan dalam tali cinta. Kalau nggak random banget, ya bucin banget.
Kadang Née juga suka nggak sadar dia sama Oki tuh sudah hampir setahun pacarannya, dari dia masih maba. Inget banget lagi waktu Oki nanyain dia semester berapa pertama kali.
"Saya maba."
"Mahasiswa baheula kitu?"
Oki pada saat itu nggak tahu kalau Née ini mahasiswa baru. Semester 1 dan baru banget kelar menjalani ospek. Wajarlah, mereka kan nggak seprodi. Awal mula ketemu juga bukan di kampus, tapi di gedung seni yang di samping gang kos Née.
Waktu temen-temennya tahu dia pacaran sama Oki, ada aja yang bilang "Kok mau, sih? Dia Sunda, tau." Tapi Née nggak menggubrisnya sama sekali. Ia sayang Oki, tidak ada tapi dan kenapa di antaranya.
Belum sempat Née membalas chat terakhir Oki, muncul lagi 1 bubble chat random. "Aku mau ke ITS deh."
"Ngapain?"
"Ketemu imroatus."
"Udah lulus dia. Kenapa its? Kenapa sby? Cewek chindo mana yang kepengen kamu datengin? 😒😒😒"
"Nggak gitu, heii. Aku becanda doang. Serem, marah-marah gitu. Keliatan kecintaan banget 😘."
"Memang <3"
"Aku juga cinta kamu. Cinta banget. Dada aku dibelah juga ada kamu di dalamnya. Otak aku dibelek ada kamu di dalamnya. Kamu selalu ada di pikiran dan hari-hariku. Aku sayang kamu banget, Née. Bareng aku terus, ya .... ❤"
Née terenyuh dan mematung menatap layar ponsel setelah membaca bubble chat dari Oki di seberang sana. Begini toh rasanya LDR. Nggak enak.
"Cepat pulang ke Jogja. Pengen ketoprak nih."
"Hadeh, nggak dibalas lagi confess aa, dek dek."
"Hahaha. Aku juga cinta kamu. Cinta bangeeet. Makanya pulang cepetan. Kita makan ketoprak. Kita main ke alun. Kita minum wedang ronde. Kita lakuin semua hal di dunia, berduaaaa. 🤍"
"Gitu dong. Besok pertemuan terakhir. Lusa paling aku balik Jogja. Sabar, ya, sayang. Kamu mau dibawain apa dari Depok?"
"Ayu ting-ting 😆"
Sambil menertawakan obrolan tidak jelas dengan sang pacar, Née jadi sadar kantuknya sudah hilang total. Ia bisa berkonsentrasi penuh lagi di kelas. Tapi, belum ada semenit ia mulai berkontribusi, ada 1 notifikasi chat dari nomor asing masuk.
"Hi, stranger. Ini Gandra. Sore ini kamu free, nggak? Saya ada yang mau diomongin nih. Penting."
Née yang membacanya hanya lewat bar notifikasi tidak mau langsung cepat-cepat membalasnya. Ada perasaan gengsi entah dari mana datangnya sehingga ia alihkan dulu fokus untuk mencatat materi yang ketinggalan.
"Thanks, Din, for the notes." Ia kembalikan tablet Medina setelah selesai menyalin.
Lalu Amnée mulai membuka chat dari Gandra, tapi sebelum membalas, ia sempatkan untuk menyimpan kontaknya terlebih dahulu. Gandra Aji Putra.
"Hai, Gandra. Sore? Jam berapa ya?"
Tidak lama Gandra balas. "Jam 5?"
Née melihat jam yang menunjukkan pukul 4:21. Bisa sekalian pulang kampus. Ada alasan buat izin dari rapat evaluasi hehehe.
"Bisaa. Di mana?"
"Nanti saya jemput di kampusmu. Saya tungguin di open space kemarin."
Tumblr media
"Gandra!" Sapa Née dari belakang. Yang disapa langsung noleh.
"Eh, hai" Gandra melambaikan tangan. "Hati-hati, licin." Katanya karena jalanan agak basah setelah hujan sejam yang lalu. "Kalau tau gedung fakultasmu tadi saya samperin ke sana aja. Lumayan jauh ya?"
Née menggeleng. "Engga, kok. Gedungku emang ketutupan sama activity center building-nya fisip ini aja."
Gandra mengangguk-angguk. Tiba-tiba nyuruh Née, "coba kamu diam dikit. Terus liat ke saya. Kacamatanya boleh dilepas dulu."
Née yang mau-mau aja disuruh, cuma bisa menuruti permintaan Gandra. "Terus?"
Gandra menggerakkan tangan dan jarinya membentuk sebuah kamera rekaan. Mencoba pura-pura memotret Née dari segala angle. "Apasih?" Kata Née sambil tertawa.
"Bentar." Kemudian Gandra mengambil sebuah kamera betulan dari dalam tasnya. "Boleh?" Izinnya kepada Née.
Née cuma mengangguk kikuk. Bingung bergaya, tapi emang dasarnya photogenic tetap aja jadi cantik.
"Kamu mau nggak, jadi BA-ku?"
"HAH?" Kaget yang sama terulang lagi dari Née. Manusia satu ini kok kagetan banget, ya? Kayak pemerintah aja.
"Aku punya brand sport, udah jalan dua hampir tiga tahunan. Kebetulan belum punya model cewek. Mau, nggak? Siapa tahu aku bisa buka cabang di Jogja sini."
Née berpikir sejenak sebelum menolak atau mengiyakan tawaran Gandra. "Aduh ... Tapi aku bukan artis. Followersku juga nggak banyak, cuma 700an. Belum mampu ngikutin syarat ketentuan company juga, kayaknya ...."
Gandra cuma ketawa mendengar pernyataan Née. "Apaan, sih? Nggak gitu kali. Saya cuma perlu kamu jadi model produk sport cewek, kok. Selagi kamu nggak aneh-aneh di sosmed insyaa Allah nggak akan dicancel masyarakat hahaha."
"Serius gitu aja?"
"Iyalah." Dan Gandra kembali memotret-motret Née dari berbagai angle. Nggak tahu juga buat apa, padahal tadi sudah ada.
"Ada trial-nya dulu, nggak?" Tanya Née.
"Kamu kira Netflix ada trialnya. Tapi, boleh deh. Saya kasih trial sebulan. Jadi model, saya bayar full. Kalau kamu nyaman, saya kontrak buat tiga bulan seterusnya. Gimana? Deal?" Gandra mengulurkan tangannya meminta persetujuan Née.
"Deal." Née menjabat tangan Gandra dan setuju untuk menjalani masa percobaan menjadi model dalam waktu sebulan ke depan.
"Yaudah. Nih," Gandra menyerahkan satu helm putih yang ia bawa sebagai cadangan. "Kita rayain dulu hari pertama kamu keterima kerja."
"Hahaha, apaan sih. Nggak jelas." Née tetap memasang dan mengaitkan tali helmnya. "Mau ke mana memangnya?"
"Nah, itu. Saya nggak hafal Jogja. Makanya harus sama kamu, biar ada kompas hidupnya."
0 notes
treacherousca · 10 days ago
Text
"Hi, stranger." Gandra memecah ketegangan antara mereka berdua dengan menyapa dan melambaikan 2 jari di udara.
Née langsung mengembalikan kesadarannya dan mengulas senyum simpul. "Hi, stranger. Been a while."
"Iya. Kebetulan saya magang di sini. Saya nggak tahu ini eventmu."
"Event himpunanku, lebih tepatnya." Koreksi Née.
"Amnée!" Seru seseorang yang memakai baju berdesain sama dengan Née. "Kamu dicari Sheilla tuh, disuruh jagain rekap tamunya. Orangnya mau ke dekanat disuruh bu sektum."
"Ooh, on it, Ran." Jawab Amnée. "So ... Saya tinggal dulu, ya. Silakan cari tempat duduk. Semoga seminarnya bermanfaat."
Sebelum Amnée menghilang dari hadapannya, Gandra meminta "Selesai event nanti saya tunggu di open space depan, boleh?"
"Boleh-boleh aja, sih. Tapi saya mesti ada eval setelahnya. Mungkin kurang lebih satu jam setelah event selesai."
"It's okay. Saya juga mau cari makan dan dolan dulu."
Dengan badan dan kepala yang rasanya hampir remuk, Née menghampiri Gandra yang sedang melempar batu-batu kecil ke sungai di open space kampus.
"Hei," sapa Née agak lesu agar tidak mengejutkan Gandra.
"Hei. Udah selesai?"
Née cuma bisa mengangguk dan bilang, "Hati-hati batunya kelempar ke kandang angsa. Mereka galak."
Di open space itu memang terkenal banyak angsa galak yang kalau malam dikurung, tapi kalau siang dilepas. Mereka bisa menyerang siapa aja tanpa pandang bulu: mau itu guru besar, atau rektor sekalipun.
"Mau?" Née menawari roti yang dibawanya dalam tas kecil. Sisa dari event tadi siang yang tidak habis, kemudian dibagikan ke panitia.
"Jadi panitia tuh cuma digaji roti aja, ya?"
"Masih untung ada roti. Biasanya sertifikat aja tuh."
Gandra tertawa mendengar balasan Née yang masih sama lucunya seperti yang ia ingat dulu. Sudah berapa tahun, ya? 4? 3?
"Apa kabar?" Tanya Gandra akhirnya berani menatap Amnée dengan jelas dan mantap malam ini.
"Baik. Gitu-gitu aja saya. Kamu gimana?"
"Saya baru tahu kamu pindah kota setahun yang lalu, pas bukber angkatan dan ketemu Nilam. Saya baik juga."
"Ooh, iya. Papa saya pindah dinas ke sini. Kebetulan saya juga pengen banget masuk kampus ini kan, dari masih SMA dulu."
"Iya, saya ingat."
"Hahah, kok masih ingat? Harusnya udah lupa."
Gandra nyengir doang. Kayaknya sih nggak tahu mau jawab apa. Ketemu Née aja tuh udah hampir bikin dia mati kutu, sekarang ditambah ngomong berdua gini.
"Kenapa kamu tiba-tiba magang di sini? Jogja sama Malang tuh jauh loh."
Gandra menggeleng. "Nggak ngerti juga saya. Sengaja kali, ditaruh di sini."
"Nggak milih sendiri memangnya?"
"Nggak.."
"Berarti habis semester ini dan selesai magang, bakal garap skripsi, ya?"
"Iya. Ah, nggak seru. Liat kamu masih semester dua begini dan ikut kegiatan kampus rasanya menyenangkan banget. Jadi pengen ngulang saya."
"Serius mau ngulang?" Tanya Amnée.
Seakan paham maksud candaan Amnée, Gandra langsung membalas "Hahah, ya enggaklah. Amit-amit ngulang."
"Kirain. Semoga magangmu di kota ini menyenangkan deh."
"Aamiin. Eh, kamu udah makan?"
Amnée nampak berpikir sebentar sebelum berkata, "kenapa? Kamu mau ngajak aku makan, ya?"
Gandra agak gelagapan. Amnée benar-benar nggak berubah di matanya. Masih ceplas-ceplos seperti dulu. Suka langsung nyelonong menyuarakan isi pikirannya yang lintas sejenak.
"Ya ... Iya? Nggak enak saya ngajak kamu ngobrol sampai malam begini tapi nggak dikasih makan."
"Saya sih nggak laper-laper banget. Soalnya tadi udah dapat jatah makan juga dari event. Kamu lapar, nggak?"
"Nggak juga. Kan saya tadi sempat makan dulu sambil nungguin kamu."
"Iya yah ... Terus kita ngapain?"
"Rumah kamu di mana? Mau saya anterin pulang, nggak?" Gandra menawari Amnée.
"Saya ngekos, biar deket berkegiatan di kampus. Kamu bawa motor memangnya?"
Gandra menggaruk hidungnya yang tidak gatal dan mengerucutkannya. "Motor saya baru datang lusa. Saya ke sini naik bus bareng temen-temen semagang."
"Ooh, gitu ...." sahut Née yang sudah tidak tahu harus berkata apa. Sekarang ia cuma menunduk melihati sepatu miliknya dan Gandra, juga rumput open space.
Kalau saja ia mau memuntahkan isi hati dan pikirannya ke Gandra kali ini, ia akan berteriak: saya tuh mau ngobrol panjang sama kamu. Kamu apa kabarnya? Lebih spesifik, saya pengen tahu ... Kamu sehat? Masih suka main bola? Masih suka baca buku? Masih nggak bisa begadang? Masih takut hantu? Boleh nggak kita malam ini ngobrol semalaman sampai seterusnya? Selama 4 tahun ini apa aja yang sudah kamu alamin? Kamu ... Udah punya pacar lagi? Atau masih sama yang itu? Kenapa kita nggak pernah ngobrol lagi ...?
Dalam keheningan nan kaku itu, semua kata hati Amnée dibuyarkan oleh Gandra, "Kamu di sasing tuh kayak apa ya ... Cocok banget gitu."
Née mendongak dan tersenyum. "Iyakah? Seneng kalau begitu dengernya. Oh iya, aku lupa nanya. Kamu ngambil prodi apa?"
"Manajemen saya."
Huruf o bundar terjiplak di mulut Née tanpa suara. "Nggak nyangka saya ...."
Gandra meringis kecil, "memang ngiranya apa?"
"I don't know ... Teknik, mungkin?"
"Kenapa teknik?"
"Cocok aja sama kamu yang atletis. Masih main bola?"
"Masih. Tapi udah nggak seserius dulu."
"Oh, iya? Kenapa kalau boleh tau?"
Gandra mengangkat sedikit celana jins sebelah kirinya dan terlihat luka bekas jahitan sekitar 8 - 9cm. "Beberapa hari setelah lulus SMA waktu itu saya kecelakaan."
Amnée terkejut. "Saya nggak tahu ... maaf, ya."
"Nggak apa ... Kan, kamu nggak pernah negur saya lagi juga waktu itu."
Aduh. Apa, sih? Nggak suka deh kalau digiring-giring ke arah sini pembicaraannya. Bikin mules, tau nggak? Setengah mati Née menahan-nahan ekspresinya agar tetap tenang.
"Kayaknya saya mau pulang deh ... Udah jam segini dan sumpah, badan saya mau remuk." Amnée menawakan lelahnya hari yang ia jalani seharian hingga malam.
"Jauh nggak kosmu?"
"Tiga belas menit kalau jalan kaki. Saya ngitungin."
Gandra gemas dan hendak sekali menepuk kepala Née yang tampak tidak main-main menanggapi sesuatu hingga Gandra terpikir untuk menjahilinya. "Kalau jalannya ngesot gimana?"
"Mungkin sekitar dua puluh menitan."
"Ada-ada aja. Udahlah," Gandra menarik tangan Née. "Saya anterin."
Née yang kelelahan dan terkejut bingung mau bersikap bagaimana. Antara membiarkan saja dan ingin menarik kembali tangannya, ia kebingungan sampai-sampai tidak terasa mereka sudah berjalan bergandengan hingga depan gerbang kampus. Née terlalu larut dalam pikirannya.
"Eh ada kacang rebus tuh-" Gandra menunjuk gerobak dengan kacang yang menggunung di atas panci. Tidak lupa penerangan khas dari lampu semprong jadul. Ia menarik Née ke sana. "Berapaan kacangnya, Pak?"
"Setengah kilo 8 ribu, dek."
"Sekilo deh, Pak. Bungkusin." Setelah melepas tangan Née, ia langsung ambil dompet nyari uang buat bayar.
Ada strip foto cewek dengan 2 kolase di sana. Née tercekat sebentar dan buru-buru mengembalikan fungsi otaknya.
Cantik. Imut.
Tumblr media
"Wih," Née berseru dengan penuh semangat, sangat berbeda dengan beberapa detik lalu yang hampir kehilangan nyawa. "Pacar kamu, ya?" Tunjuknya kepada strip foto itu.
Gandra terlihat sedikit tidak enak. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum kikuk.
"Cantik. Imut. Orang Malang juga, ya?"
Setelah membayar dan mendapat kembalian, Gandra langsung menutup dan menyimpan kembali dompetnya ke kantong celana.
"Bukan. Anak Jakarta. Ngerantau ke Malang."
Née mengangguk dan memikirkan berbagai macam alasan masuk akal untuk segera pergi jauh dari Gandra. "Oh, iya. Kosku di dalam gang depan sana." Tunjuknya ke sebuah gang di samping gedung seni. "Dari sini aku jalan sendiri aja. Thanks, ya! Seneng deh ketemu kamu lagi."
Née tepuk-tepuk bahu Gandra dan siap menyeberangi jalan raya, kemudian dihentikan lagi oleh Gandra yang menarik tangannya. "Saya nggak mau lagi lost contact sama kamu. Boleh saya minta nomor?"
Untuk yang satu ini Née kehilangan alasan. Tidak hafal nomor? Ponselnya di tangan, kok. Ponsel mati? Nggak tuh, dari tadi sering beberapa kali nyala. Tapi, sebelum Née ngasih tau nomornya ke Gandra, sebuah panggilan video masuk.
Atas nama Sutan Kamaruzzaman. Née langsung mengangkat panggilan itu.
"Amnée, pacarmu katanya kangen, Amnée. Hpnya mati. Tadi di pesawat ni orang tidur doang!" Seru seseorang di ujung sana sambil mengarahkan kamera ke seorang lelaki yang Amnée sudah 2 hari tidak melihatnya. Oki.
"Hi, Ka Oki." Sapa Née lembut ke cowok di kamera itu.
Tumblr media Tumblr media
Oki masih dengan senyum lebar dengan gigi rapinya itu menyambut sapaan Née dengan sumringah. "Hi, Née. Maaf aku baru ngabarin, sayang. Tadi aku ketiduran, hp aku mati. Gimana event kamu hari ini? Lancar? Kamu di mana?"
Née yang mendengar pertanyaan bertubi-tubi hanya bisa tersenyum dan menanggapi dengan sabar. "Nggak apa. Event hari ini ... Lancar. Aku lagi beli kacang rebus, depan kampus. Ini mau ke kos. Kakak udah makan?"
"Belum ... Hehehe. Capek dikit. Abis ini kakak mau makan dulu, ngedit laporan, baru tidur nanti. Kamu kayanya belum mandi, ya? Keliatan tuh kucelnya. Pasti bau asem."
Gandra dan Bapak penjual kacang rebus yang mendengar itu ketawa. Nyebelin banget pacaran di hadapan gue, kata Gandra dalam hati. Sedangkan Née yang malu langsung tidak terima, "diiiih. Iyeeee sipaling wangi deh eluu. Udah ah, mau pulang dulu aku. Matiin, Kak."
"Eits, jangan dong. Nanti aku jadi pembunuh main mati-matiin."
"Lebay. Udah ah. Bye, Kak. Nanti lagi, ya!"
"Hadeh, giliran sama saya yang beda 2 tahun, kamu nggak pernah pakai kakak-kakakan tuh manggilnya," sindir Gandra sambil mengunyah kacang rebus.
"Ya itu sih karena nggak terbiasa. Emang kamu mau saya panggil pakai Kak?"
"Enggak ah. Nggak kebiasa di telinga saya."
"Oh iya, ini nomor saya nol delapan lima satu ..." Amnée mengejakan nomornya per digit untuk Gandra.
"Berarti pacarmu itu lebih tua, ya? Beda berapa tahun?" Tanya Gandra.
"Setahun aja."
"Sejurusan? Asli mana? Dari cara ngomongnya kayak bukan orang sini."
"Nggak. Dia ekonomi, kebetulan humas bem fakultas ekonomi bisnis. Sekarang lagi ditugasin jadi delegasi pertemuan bem feb di Depok, di UI sih tepatnya. Orang Bogor."
"Oalah, gitu." Gandra nggak tahu mau ngomong apa, cuma itu yang keluar dari mulutnya. "Saya bantu nyebrang, ya."
0 notes
treacherousca · 14 days ago
Text
Tumblr media Tumblr media
Amnée Ardianto Koesmadji. Née. Anak tunggal campuran Indo-Belanda, gak heran waktu sekolah selalu dikatain "penjajah." Pertama kali masuk SMA umum setelah asrama langsung mati gaya. Nggak tahu harus bersosialiasi gimana ke orang-orang. Untung di sekolah waktu itu ada kakak sepupunya, Nilam.
Awal masuk sekolah, ada cowok, kakak kelas 12 nanyain Nilam ke dia. Hari itu Nilam nggak masuk, soalnya sakit. Katanya bilangin, titip salam dari Gandra Aji Putra.
Selesai SMA, Amnée sempat bingung mau daftar Sastra Perancis apa enggak karena dia sadar, selain musik dan film, kultur Perancis yang dia tahu cuma french kiss. Jadilah akhirnya dia ambil Sastra Inggris. Anaknya pengikut Pop Culture abis. Tapi walaupun begitu, bahasa ibu dia tetap bahasa Indonesia.
Kehidupan sosial kuliah dengan sekolah benar-benar beda total. 180 derajat. Di kuliah, dia aktif banget berkegiatan. Ikut banyak kepanitiaan sampai punya banyak kaos dengan macam-macam nama acara, ada yang sudah dijadikan Papa lap mobil, ada yang sudah dijadikan Mama lap kompor. Saking banyaknya kegiatan, dia ngekos dekat kampus. Padahal kalau Pulang-Pergi dari rumah cuma makan waktu 20 menitan.
Waktu acara himpunan mahasiswa sasing mengadakan seminar dan mengundang anak-anak kampus lain di Pulau Jawa, ada rombongan dari arek Malang yang bikin Amnée mematung kayak orang disambar petir siang bolong.
Hari itu, dia ketemu Gandra lagi.
Soal Amnée & Gandra sebenarnya sudah jadi rahasia umum. Kalau bahasa lucunya mungkin udah kayak urban legend buat orang-orang di sekitar mereka sejak sekolah. Di sekolah dulu siapa yang nggak kenal Gandra? Nggak ada. Pesepakbola, social butterfly, dan rajanya kantin. Paket lengkap deh, pokoknya. Pacarnya banyak, dalam artian, sering gonta-ganti pacar. Dari yang Amnée kenal banget, kenal aja, dan nggak kenal sama sekali.
Pertama kali mereka ketemu dan Gandra nitip salam buat Nilam, waktu itu Gandra ditolak sama Nilam gara-gara Nilam nggak mau berurusan dengan kehidupan Gandra. Selain Nilam, ada anak satu angkatan Amnée yang beda kelas juga sempat pacaran sama Gandra. Atlet renang. Dua-duanya social butterfly yang punya banyak teman dan berprestasi. Kelak, semua itu diceritain Gandra ke Née satu per satu.
Awal mula mereka dekat karena nggak sengaja ketemu di bus transum pas mau berangkat sekolah. Papa Née waktu itu lagi ke luar pulau, dan Mama belum bisa bawa mobil atau motor. Untungnya, kompleks rumah mereka nggak jauh dari halte, jadi Née bisa naik transum kapanpun dia mau. Di dalam bus, dia nggak sengaja lihat cowok yang nggak asing, yang sekilas dia ingat nama lengkapnya ... Gandra Aji Putra.
Gandra yang sadar ada objek manusia nggak bergerak setelah pintu bus ditutup langsung coba ngeliat orangnya, dan dia ingat orang itu. Sepupu Nilam. Namanya belum tahu. Karena pada dasarnya Gandra manusia yang ramah, dia lambai tangan ke Née dan menyuruh duduk di tempat kosong sampingnya.
"Hai, sepupu Nilam. Sorry, waktu itu nggak sempat nanyain namamu. Cuma tahu dari orang-orang kelas kalau kamu sepupunya Nilam. Nggak afdol kalau kita nggak kenalan."
"Saya Née."
"Hah?"
"Amnée."
"Ooh," ucapnya manggut-manggut sok serius. "Nama kamu aneh. Lengkapnya siapa?"
"Amnée Ardianto Koesmadji."
"Ujung-ujungnya Jawa."
Giliran Née yang ketawa. "Kenapa kamu naik transum juga?"
"Males ngisi dan ngantri bensin," jawab Gandra. "Kalau kamu?"
"Karena nggak ada yang bisa anter. Papa lagi kerja ke luar. Mama nggak bisa bawa mobil sama motor."
"Kamu nggak bisa bawa motor?"
Née menggeleng.
Gandra menghela nafas. "Oke, Amnée. Kamu suka baca buku, nggak? Kalau di transum dan kekurangan hiburan, saya selalu baca."
"Suka ... Suka sekali."
Gandra kemudian mengeluarkan salah satu seri Drunken karya Pidi Baiq dari dalam tasnya. Drunken Molen.
"Aneh banget judulnya," kata Nèe sambil ketawa.
"Eits, jangan salah. Ini judulnya memang aneh, tapi isinya ... ANEH BANGET."
Lalu keduanya tertawa. Seru juga Gandra, pikir Née.
"Nah, coba kamu baca yang ini. Kalau kamu suka, nanti saya pinjamkan seri Drunken yang lainnya lagi."
Née mengambil, membaca, dan hanyut dalam tawa geli sampai-sampai tidak sadar kalau mereka sudah di halte sekolah. "Yah, tapi saya belum selesai bacanya. Boleh saya pinjam dulu, nggak?"
"Boleh, kok. Asal dibalikin, ya. Kalau nyari saya nanti samperin aja ke kelas Bahasa 2."
"Oke, bos."
Dari sanalah, hubungan kasual mereka mulai terjalin. Dari pinjam-meminjam buku, tiba-tiba diajarin Gandra bawa motor, dan entah bagaimana mereka bisa sedekat itu. Orang-orang sekitar mereka sadar, tapi merekanya tidak.
"Gandra tuh kayaknya suka ke kamu, dek." Kata Nilam sambil tiarap di kasur kamar Née.
"Engga ah."
"Kalau sampai bener awas aja, ya. Kamu harus hati-hati sama dia." Nilam mencubit lengan Née yang kaget dan mengaduh.
"Kenapa sih?" Née nggak terima.
"Lagian, hampir tiap hari naik bus bareng, kamu ke kelas Gandra, atau Gandra ke kelasmu. Aku juga tau, ya, kalau malam Minggu juga kadang Gandra ngajak kamu jalan-jalan ke bioskop."
Semua yang diucapkan Nilam memang benar adanya, tapi yang bikin Née makin kaget bahwa hubungannya dengan Gandra ternyata membawa sesuatu istimewa tanpa ia sadari. Kalau Nilam nggak seblak-blakan itu, Née mungkin akan seterusnya menganggap apa yang ia dan Gandra lakukan biasa-biasa saja. Sebatas teman, nggak lebih.
Antara teman atau lebih, Née bingung mau mengklaim yang mana satu. Disebut teman, teman mana yang selalu sumringah kalau mendengar namanya disebut? Teman mana yang tiap bertukar buku bacaan, selalu menyelipkan surat di dalamnya saat mengembalikan? Surat-surat dengan berbagai macam perasaan. Teman mana, yang mengaku jika minum wedang ronde tidak akan ada khasiatnya jika tidak diminum bersama?
Née bingung dan bimbang.
Selama itu, Gandra tidak juga pernah mengklaim mereka itu apa. Hubungan mereka itu apa. Sedangkan Née hanya sanggup meraba buta. Bertanya juga ia takut dan terlalu malu. Mungkin memang cukup dijalani saja, bagaimana ujungnya biarkan waktu yang menjawab. Sampai pada akhirnya Née lelah sendiri.
Ia tidak bisa terus-terusan diperlakukan demikian oleh Gandra. Toh, padahal selama itu juga mereka berdua tidak ada gandengan.
Saat itu juga, seseorang mengajak Née untuk berkenalan dan berteman lebih jauh. Orang yang baik, nggak kalah ganteng dari Gandra, nggak kalah pintar, nggak kalah lucu. Dan yang pasti, orang itu menang satu hal, ia menang soal kepastian. Dia berani memastikan Née adalah perempuannya dan Née dengan senang menerima.
"Nggak bisa dulu, Gandra. Aku malam Minggu ini mau sama pacarku dulu nonton."
"Oke." Jawab Gandra singkat dan mematikan sambungan telepon di ujung sana.
Née hendak mengembalikan buku yang ia pinjam ke Gandra, tapi saat tiba di kelasnya semua orang tidak ada. Ia baru sadar, hari itu giliran kelas 12 Bahasa untuk mengambil foto angkatan sebelum perpisahan tiba. Lalu ia buru-buru turun ke aula dalam untuk mencari Gandra. Namun, tidak di sangka Gandra berdiri sambil berpose layaknya pasangan dengan cewek lain. Dada Née serasa terbakar. Ia dibakar api cemburu yang harusnya tidak perlu.
"Gandra!" Serunya.
Yang dipanggil langsung menghampiri. "Hai, orang asing."
"Ini, bukumu. Buku punyaku tolong dikembaliin juga ya nanti kalau sudah selesai dibaca."
"Oh, iya. Bukumu ... kayaknya masih agak lamaan aku bacanya. Sibuk nih. Kelas 12, haha."
"Ya ... Yaudah. Kapan kiranya kamu bisa balikin? Dalam semingguan ini bisa, gak?"
"Mau dibaca, ya, bukunya?"
"Engga sih. Balikin aja malam Minggu ini gimana?"
"Nggak bisa. Saya sama pacar saya mau jalan," jawab Gandra sambil menunjuk perempuan yang baru berpose dengannya tadi. "Kamu nggak jalan juga sama pacarmu?"
"Tau deh. Balikin ya bukuku."
"Oke."
Setelah hari itu hingga menjelang Ujian Nasional Kelas 12, mereka tidak pernah saling sapa lagi. Tidak pernah saling berbalas surat lagi. Tidak pernah menghabiskan pulsa untuk berteleponan lagi. Hanya buku terakhir milik Née yang belum juga dikembalikan Gandra hingga hari ini mereka saling berhadap-hadapan kembali di satu tempat dan waktu yang datang tanpa syarat dan praduga.
0 notes