truegreys
truegreys
Sani Asmi
1K posts
Ditulis oleh Sani Asmi yang membagi isi kepalanya berupa tulisan fiksi bersubjek maupun berobjek
Don't wanna be here? Send us removal request.
truegreys · 2 years ago
Text
The Rough Patch
Kadang suka mikir, ini salah, gak, sih? Harusnya kemarin gak gini, harusnya kemarin gak gitu.
Tapi…dari segala yang terjadi, dari berbagai buncahan emosi, dari kehilangan-kehilangan yang tidak terduga, hal yang paling aku syukuri adalah aku tidak sama sekali kehilangan diriku sendiri.
Mungkin memang ada harga yang amat mahal untuk tetap ajeg pada pendirian. Memang ada pil pahit yang harus ditelan agar ‘sembuh’ dari kata-kata buruk yang selama ini didengar. Seperti melepas plester di tempat yang selama ini hanya menambal luka, rasa sakit itu layak hadir agar setidaknya aku tidak kehilangan diriku sendiri.
Bandung, Oktober 2023.
10 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Tahu
Semakin banyak aku tahu, semakin sulit bagiku melupakanmu.
“Lagi baca buku apa?” Tanyamu.
Aku agak ragu menjawabnya. Untuk apa? Lagipula informasi itu hanya akan berakhir pada hari ini. Hari di mana kita tidak sengaja bertemu. Kejadian yang amat langka, paling aku takuti, juga paling kecil kemungkinannya tapi tetap saja terjadi. Informasi terbaru dalam bentuk apapun tidak akan melanjutkan tautan hidup kita di masa mendatang. Kebetulan hari ini hanya akan berakhir di hari ini.
“As Long As the Lemon Trees Grow.” Jawabku. Kamu bertanya buku itu bercerita tentang apa, dan aku menjelaskan sesingkat mungkin.
Pertanyaan itu diselingi dengan berbagai pengakuan masa lampau yang sudah basi.
“Masih suka makan es batu?”
Aku tidak mau menjawab.
“Masih ngerokok?”
Tentu tidak, tapi aku tidak mau menjawab.
“Lagi sibuk apa?”
Aku menahan rentetan jawaban yang begitu ingin kutumpahruahkan.
“Apa kabar?”
Aku sungguh tidak ingin menjawab.
Karena, semakin banyak kamu tahu, semakin sulit bagimu untuk melupakanku.
Karena, kuharap kamu melanjutkan hidupmu tanpa terus menoleh ke arahku—begitupun denganku.
Karena, kuharap kamu melupakanku agar aku bisa ikut tersenyum sebab kita sudah sama-sama bahagia di tempat berbeda.
Bandung, 7 Oktober 2023.
9 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Lagi dan Lagi
Aku ke sana lagi. Tempat yang tidak seharusnya kudatangi. Di sana ada banyak ruang kosong berisi lokus-lokus memori yang tidak seharusnya kubuka. Tapi, kubuka juga. Lapis demi lapis, laman demi laman, dan berakhir dengan aku yang kacau-balau. Bait demi bait, kubaca dan kuresapi. Sedikit-sedikit, lama-lama jadi hilang. Iya. Aku hilang.
Sekali lagi, aku kehilangan diriku sendiri.
5 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Tumblr media
👋🏻 Hai guyssss! Dalam masa pre-event, ada special offer buat bundling buku!!!! Ini bundlingnya oke banget karena ada sesi deeptalk dan voucher konseling di Mental Hub Indonesiaaaa (yang bahkan harganya berkali-kali lipat dari bukunyaaahh). This is a good opportunity! Grab your seat!!!!! Dan btw ini bisa kolektifffff. Misal satu kota mau barengan belinya, bisa banget ini tuhhhh!
2 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Gak nyangka ada di fase ini. 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Doakan anak kecil ini lahir ya my fellow Tumblr yang menemani prosesku menuli since 2011 😭😭😭😭😭😭🫶🏻🫶🏻🫶🏻🫶🏻🫶🏻
10 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Botol-Botol Obat
Kamu menutup hidupmu dalam diam. Suatu pagi aku menemukanmu tergeletak begitu saja di lantai dingin rumah kita. Tidak ada teriakan kesakitan, tidak ada kata-kata terakhir darimu. Yang tersisa darimu hanya senyuman terakhir di ingatanku.
Melihatmu menutup mana dalam sepi membuatku meraung pagi itu. Ada banyak kalimat ‘seharusnya’ yang kurapal dalam hati.
Seharusnya aku tidak tidur. Seharusnya aku membawamu ke dokter lebih awal. Seharusnya aku terus berada di sampingnya ketika ajalnya menjemput. Seharusnya…
Rapalan itu tidak berguna tapi aku tetap menyebutnya. Siapa tahu ini hanya mimpi. Siapa tahu aku bisa terbangun dari mimpi buruk ini dengan air asin terkumpul di bantal tidurku. Tapi, lagi-lagi rapalan itu tidak berguna.
Kata apapun yang diawali dengan ‘seharusnya’ hanyalah berisi keinginan yang tidak terwujud berupa penyesalan.
Sudah seminggu bendara kuning itu berkibar di pekarangan rumah—seolah mengantar pergi nyawamu ke tempat yang amat jauh dari dunia. Botol-botol obat masih berjajar di nakas televisi. Selain karena tidak ada waktu membereskannya, aku merasa akan melepaskan sisa-sisamu dari rumah ini. Isi botol-botol obat itu tinggal setengah. Kamu tidak bisa menelan butiran obat, jadi dokter meresepkanmu dalam bentuk racikan sirup. Di botol itu tertulis namamu, tanggal, aturan pakai, kocok dahulu, dan habiskan.
Habiskan. Kamu tidak bisa menghabiskannya. Dokter bilang, apabila dihabiskan, mungkin kamu bisa sembuh. Apakah kamu tidak bisa sembuh dan mati karena belum menghabiskan obat-obatmu? Apakah bila kuwakili untuk menghabiskannya, kamu mungkin akan kembali?
Tentu tidak. Jadi, akhirnya kubereskan semuanya. Botol-botol itu kubuang isinya lewat wastafel yang kualiri air tanpa henti. Semua obat menghilang ke saluran pembuangan, berakhir di muara yang entah di mana. Kubuang sambil menangis. Karena, lagi, aku merasa sedang menghilangkan sisa-sisamu dari hidupku.
Kutaruh botol-botol obat itu di tempat sampah khusus daur ulang. Entah kapan aku akan membuang botol-botol itu. Mungkin besok, mungkin nanti, mungkin tahun depan, atau mungkin akan aku abadikan sebagai sepersekuan sisamu di dalam rumah ini. Kamulah yang mengajariku untuk memisahkan sampah daur ulang. Krisis sampah sedang melanda setahun belakangan. Sampah-sampah ini tidak pernah bisa habis. Terus bertambah meski tukang sampah telah menjemput tiap seminggu sekali.
“Nanti jangan lupa botol obatnya buang di tempat sampah yang buat daur ulang.” Kuharap kamu mengingatkanku. Tapi, tidak ada pengingat semacam itu. Aku otomatis mengingatmu. Kamu yang sudah tidak ada di rumah ini. Kamu yang tidak akan lagi mengingatkanku perihal sampah daur ulang. Barangkali, begitu caramu mengingatkanku. Kuharap kamu bisa mengingatkanku dengan cara lain selain mati.
Gara-gara botol-botol obat itu, aku jadi mengingatmu yang sudah tidak lagi ada. Semoga kamu berbahagia di alam sana meski aku masih menangisimu karena botol-botol obat ini.
Bandung, 7 September 2023.
6 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Dulu & Kini
“Bisakah kamu tidak muncul di mimpiku?”
Dulu, aku selalu berharap barang sekali saja aku bertemu denganmu di mimpiku—karena dunia nyata tidak untuk kita. Kini, aku berharap kamu tidak pernah muncul di mimpiku karena dunia nyata jelas tidak untuk kita.
“Kamu tahu apa yang sama dari dulu dan kini?”
Tidak ada jawaban dari siapapun karena aku jelas berbicara dengan bayanganmu. Tetap kijawab, “inginku soalmu tak pernah terwujud bahkan sesederhana ada-tidakmu dalam mimpiku.”
Tumblr media
3 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Suara-suara
“Kok, kamu begitu, sih?”
“Seharusnya kamu hadapi masalah dengan dewasa, dong! Kalau gitu caranya, kamu cuman nambah masalah.”
“Aku kecewa banget sama tindakan kamu. Kamu mikirin orang lain gak, sih?”
“Kalau aku jadi kamu, aku gak bakal kabur, sih.”
“Kamu tau, kan, tindakan kamu itu egois?!”
Dari semua kata yang kamu dengar, tidak satu orang pun yang pernah mengalami hal yang sama denganmu. Mereka tidak pernah tahu apa saja isi kepalamu. Dan, amatlah tidak adil jika kamu hanya mendengarkan kata-kata orang yang bahkan tidak pernah merasakan apa yang kamu rasakan.
Kamu tidak perlu mendengarkan semua suara dalam satu waktu. Logikamu mungkin terkubur amat dalam di tengah gemuruh perasaan yang carut-marut di dalammu. Jadi, tunggu. Tunggu hingga kamu bisa mendengarkan semua suara dengan jelas, entah itu suara penuh logika, hingga suara paling absurd sekalipun. Lalu, kamu akan paham bahwa tidak ada pilihan yang salah. Pilihanmu yang kemarin adalah pilihan terbaik yang bisa kamu usahakan di masa lampau.
4 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Rumah yang Asing
Aku harus pindah rumah. Rumahku sudah terlalu kecil. Aku butuh rumah yang lebih besar. Di pojok pantai, kulihat banyak rumah lain. Tapi, ada yang aneh. Rumah itu kokoh tapi asing. Beragam, berwarna, dari yang amat kecil bentuknya, hingga yang amat besar.
Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus pindah. Badanku makin besar. Rumahku makin sempit. Aku makin dewasa dan aku amat malu. Semua yang serupaku punya rumah indah yang pas. Mereka yang serupaku akan segera pindah. Aku tidak punya pilihan lain.
Yang terdekat ada di sana. Aku hanya perlu menerobos masuk ke rumah yang tang berpenghuni, lalu membawa rumah itu ke manapun aku pergi. Nampaknya aku akan aman di rumah yang asing ini. Setidaknya untuk sekarang.
Rumahku baru. Seharusnya aku segera membuat diriku nyaman dengan rumahku yang baru ini. Tapi, rumah ini amat asing. Dan, tapi, aku tidak punya pilihan lain.
Tumblr media
3 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Festival
Di tengah keramaian, kukunyah daging asap yang kupesan lima belas menit lalu. Pagi pukul sepuluh membuat matahari Kota B menyentuh hangat separuh tubuhku yang tidak tertutup tenda payung di meja tempat aku menunggu. Tahun ini tidak sama dengan tahun kemarin. Sebuah festival makanan tahunan yang rutin kudatangi dengan teman-temanku, selalu merubah konsep. Kali ini, banyak meja taman dengan tenda payung di tengah suatu taman tengah kota.
Masih ada satu potong daging asap dalam piring kertas di permukaan meja. Aku masih menunggu teman-temanku selesai berkeliling dan memutuskan akan membeli makanan yang mana.
“Aku gak nyangka akan ke festival ini tanpa orang itu.” Gumamku saat teman-teman yang kumaksud tadi kembali dengan berbagai kudapan di kedua tangan mereka. Mata mereka saling menatap penuh isyarat.
“Yaaa..namanya hidup. Ada yang stay nemenin perjalanan hidup, ada yang pergi jadi orang asing.” Ujar G dengan nada yang amat santai. Aku tersenyum getir.
“Kamu gak kontakan sama dia, kan?” Tanya C. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum getir.
“Udah…gak usah dipikirin. Kan, kita ke sini mau makan, bukan galau. Kita foto aja yuk, mumpung full team!” D langsung mengalihkan pembicaraan tentangmu yang entah kenapa selalu kuingat di momen-momen senang yang selama ini kujalani tanpamu.
Aku, G, C, dan D langsung membuat formasi dengan menjejerkan makanan yang dipesan di tengah meja berpayung. G berinisiatif meminta seseorang yang entah siapa untuk memotret, lalu dengan cekatan membuat postingan di Instagramnya.
Kumakan sisa daging asap yang hanya sepotong itu sambil berjanji tidak akan lagi mengingatmu di momen senang apapun. Festival ini, potongan daging asap ini, akan menjadi penyelesaian kisah kita yang kubuat untuk diriku sendiri.
***
“Ki, jangan siang-siang ke festivalnya. Masih ada dia sama temen-temennya. Maleman aja, ya.” Loka menekan tombol kirim di ponselnya.
Membaca pesan dari Loka, Miki langsung mengecek Instagram, mencari akun Moze dan melihat Moze dan teman-temannya sedang berpose menunjuk aneka makanan di meja dengan ketiga temannya. Miki langsung paham maksud Loka. Segera ia membalas pesan temannya dengan satu kata singkat penuh pengertian.
“Ok.”
—Sani Asmi
0 notes
truegreys · 2 years ago
Text
Nyaman itu berarti tidak terbebani. Kalau apa yang dituntut masih terasa membebani, barangkali kamu tidak merasa nyaman.
13 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Origami Perahu
Hanya satu meja itu yang kosong sore ini. Di permukaannya masih ada gelas bekas seseorang yang duduk di sana. Barista dan kasir toko kopi itu masih berjibaku dengan pesanan orang lain termasuk pesananku. Tidak ada waktu untuk membereskan meja pelanggan yang minumannya sudah tandas.
Origami perahu itu ada di sana. Di satu-satunya meja kosong tersisa yang bisa aku tempati. Bekas setruk yang menjadi lipatan perahu kertas itu amat rapi—seperti buatan dan kebiasaan seseorang yang kukenal. Masa lalu yang paling pedih. Masa lampau yang dipaksa usai.
Kubayangkan dia duduk di kuris ini. Atau mungkin di hadapanku lima belas atau sepuluh menit sebelum aku datang. Dia mungkin sedang belajar persiapan tes CPNS. Atau sedang menulis cerita-cerita pendek yang akhirnya selalu sedih.
Ya. Aku masih mengamatinya dari tempat yang amat jauh berupa nama samar di media sosial.
Sudah lama aku memikirkan berbagai skenario bila suatu saat aku dan dia bertemu di manapun tanpa sengaja. Aku akan tersenyum padanya sambil menyapa dan menanyakan kabarnya yang semoga baik meski tanpaku. Dia mungkin akan memasang ekspresi marah atau bahkan menyiramkan segelas air apapun yang ada di hadapannya pada wajahku. Aku sudah mempersiapkannya. Tapi, ternyata aku tidak pernah bisa siap.
Berhadapan dengan bayangannya saja aku masih membatu seperti ini.
Perlahan kuambil perahu kertas di permukaan meja itu, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mungkin salah, tapi aku juga mungkin benar jika origami itu miliknya. Probabilitasnya setengah-setengah Seandainya saja aku datang lebih cepat, aku mungkin bisa mengubah probabilitas itu menjadi hasil yang jelas. Tapi, tidak semua kemungkinan ada ujungnya.
Kata-kata 'seandainya' memang tidak ada gunanya.
Seandainya saja aku tidak terlambat datang padanya waktu itu, mungkin aku dan dia sedang mengurusi pernikahan impian yang pernah kami rencanakan. Tuhan lagi-lagi mengingatkanku bahwa dia bukanlah untukku hanya dari sebuah origami perahu di meja toko kopi yang sore ini aku datangi.
Bandung, 13 Agustus 2023.
13 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Celana Jin
Aku ingat kalau kamu pernah bilang, celana jin tidak untuk dicuci.
Kubilang, kamu amat jorok. Kamu tertawa, lalu menjelaskan bahwa mencuci celana jin dengan detergen seperti pakaian lainnya hanya akan merusak tekstur dan warna.
Saat itu, kita berbicara di cafè yang kini sudah berganti nama. Kamu menceritakan masa lalu yang siap kamu tarik hikmahnya agar aku belajar, sedangkan aku menceritakan rasa sakit ditinggal seorang lelaki tanpa penjelasan. Dari percakapan kita saat itu, aku jadi tahu bagaimana cara merawat celana jin yang benar—selain saran-saran lain soal percintaan.
Diangin-anginkan. Dimasukkan ke kulkas. Dicuci dengan air kalau sudah amat kotor. Kuperhatikan celana jin yang kau pakai saat itu sambil bergidik.
“Kalau pudar warnanya jadi jelek,” kamu bilang. Aku tidak peduli.
Aku yang dibesarkan oleh orang tua paling bersih di dunia, tidak bisa mengikuti prinsip yang demikian. Bersih adalah mutlak. Sekali, dua kali pakai, cuci. Detergen akan membersihkan noda, disetrika agar bakteri mati.
Dan kini, aku sedang menyetrika celana jin suamiku sambil mengingat kata-katamu soal celana jin dengan mata berkaca-kaca, sedangkan kamu sudah menjadi tengkorak di bawah tanah 2x1 meter.
Aneh sekali bagaimana aku mengingat betul percakapan tidak berarti soal celana jin dari sekian saran percintaan yang pernah kamu berikan.
Orang bilang, kita akan mengingat hal-hal berkesan tentang apapun yang lewat di hidup kita. Aku tidak pernah mengira celana jin adalah hal yang berkesan darimu, seperti aku tidak pernah mengira kamu akan hilang dari hidupku secepat kilat.
Bandung, 2 Agustus 2023
—Sani Asmi
7 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
222 Minggu
Aku menantikan kerubuhanmu
Luluh lantak, dan aku akan bersorak
Kau tahu, kan, dulu aku yang buyar?
Kini, dalam 222 minggu, yang kunanti-nanti akhirnya terjadi
Kau berubah jadi potongan kecil rasa ingin memiliki
Kau tahu, aku tak lagi di sana
Tapi, lagi, yang kunanti akhirnya terjadi
Kau rubuh, buyar, hancur, bercecer
Semoga selamanya kau di sana
Agar kau tahu rasanya jadi aku selama 222 minggu ini
10 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Kabar dari Kamar Kecil
Bagian Terakhir - Keputusan Kecil yang Amat Gemilang
Tara akhirnya menceritakan kondisinya dengan Moy kepada ibunya. 
“Ibu gak akan ngehalangin kamu. Hanya kamu dan Kismoyo yang bisa memutuskan. Pilihlah pilihan yang menurut kamu paling mendekatkan diri kamu dengan Allah.” 
Mendengar saran dari ibunya, Tara langsung menghubungi Moy–menanyakan kabarnya–karena ia tidak mungkin terus-terusan berada di rumah ibunya. Ia sudah memasrahkan semuanya. Apapun keputusan yang mereka berdua ambil nanti, Tara akan menerima dengan kelapangan hati. Tara hanya akan berusaha memperjuangkan pernikahannya jika memang Moy ingin juga. Ia tidak mau memaksakan apapun.  
Tanpa diduga, Moy langsung mengajak Tara untuk bertemu di tempat pertama mereka bertemu–-sebuah café  di tengah kota. Moy berniat untuk mengakhiri pernikahan mereka di tempat mereka memulai semuanya, di tempat ia pertama memulai semuanya.
“Kamu gak cukur kumis?” Tanya Tara berbasa-basi.
“Iya. Lebih keren, kan?”
“Menurut aku, kamu keren, kok, mau gimana juga.” Jawaban Tara tulus. Ia memang tak pernah memandang fisik sebegitunya. Ia hanya perlu kebaikan dan ketulusan hati, yang ternyata selama ini ia keliru kenali.
“Aku mungkin pernah cerita ini. Pilihanku untuk ambil jurusan di SMA, jurusan di kuliah, sampai kerja adalah saran dari Bunda. Tapi, belakangan aku jadi saran bahwa keputusanku selama ini selalu dipilih Bunda…termasuk nikah sama kamu.”
Tara menahan hatinya yang bergejolak. Ia tahu bahwa percakapan ini akan dan harus terjadi sekeras apapun ia ingin kabur.
“Waktu kita berantem, Bunda nyaranin untuk nikah lagi. Pilihannya adalah selesai sama kamu terus nikah lagi atau punya istri dua.” 
Tara masih memberikan Moy ruang untuk bercerita. Setidaknya ia kini tahu bahwa Moy disuruh menikah oleh Bunda denganya, dan Bunda pula yang menyuruh anaknya untuk mengakhiri pernikahannya. Seseorang memang bisa berubah sebegitunya. Tara kesal, tapi kekesalannya tak akan membawanya ke manapun.
“Tujuanku nikah dari awal udah salah. Bunda ingin punya banyak cucu. Kejadian yang kita alami selama ini, bikin aku sadar kalau…ini semua salahku.”
Tara meneguk air mineral yang barusan ia pesan. Seolah diteguknya pula semua kata-kata Moy. Tara memang pasrah, tapi bukan berarti semua itu tidak menyakitkan.
“Aku gak bisa terusin pernikahan ini. Aku merasa perlu beresin masalah aku dengan Bunda.”
“Aku punya satu syarat.” Tara menjawab segala pernyataan Moy dengan persetujuan berupa syarat.
“Aku ingin kamu cek kesuburan.” Mendengarnya, Moy langsung setuju. Moy paham bahwa Tara yang selama ini disebut bermasalah karena PCOS-nya. Setidaknya, dengan dilakukannya tes kesuburan yang saat itu tak Bundanya izinkan, Moy bisa meringankan rasa penasaran Tara selama ini.
“Kamu bener-bener gak pernah bahagia sama aku?” Tanya Tara.
“Pernah, kok. Waktu aku nungguin kamu keluar dari kamar kecil buat cek kehamilan dan ternyata kamu hamil.” 
Pertemuan itu ditutup dengan senyum getir Moy dan Tara.
***
Hasil tes kesuburan menunjukkan sperma Moy abnormal. Wajar karena Tara tahu selama ini suaminyalah yang banyak merokok dan pola hidupnya tidak sehat. Hasilnya Tara kirim langsung ke alamat Bunda. Tara ingin menyampaikan kepada Bunda bahwa kehamilan  bukan hanya peran perempuan, tapi juga laki-laki. 
Awalnya Bunda menyambut perpisahan Moy dan Tara dengan riang. Semua berubah ketika paket dokumen yang dikirim Tara sampai di tangannya. Ditambah, Moy memutuskan untuk resign dari pekerjaannya dan pindah kota untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bunda.
Moy menjual rumah yang ia bangun bersama Tara, lalu membagi hasilnya dengan Tara. Proses perceraian berjalan lancar. Moy maupun Tara hanya perlu menandatangani berkas-berkas dan hadir di persidangan. Sekilas Tara merasa perpisahan ini begitu lucu. Perjalanan yang kata orang begitu rumit, tapi ternyata Tara jalani dengan begitu ringan. Seolah keputusan untuk berpisah adalah persoalan kecil. Sebaliknya, Moy merasa keputusan kecil yang dirasakan Tara adalah langkah paling berani yang pernah ia tapaki. Semuanya memang tergantung pada sudut pandang masing-masing pelaku.
Selepas semuanya selesai, Moy mulai menemukan lagi tujuan-tujuan yang selama ini diabaikannya. Ia tetap menghubungi Bunda karena tidak mau menjadi anak durhaka. Tapi, ia mulai membatasi dirinya. Ia mulai memutuskan banyak hal untuk dirinya sendiri. Moy mulai merubah sebutannya untuk kamar kecil dengan toilet. Ia tak lagi menggunakan kata-kata ‘kamar kecil’ seperti yang diajarkan Bundanya.
Moy sesekali melihat Tara di media sosial.  Tara ternyata membuat komunitas yang mendukung perempuan dengan PCOS. Ia bisa melihat bagaimana gemilangnya Tara seperti sebelum Tara bertemu dengannya. Binar itu kembali hadir selepas perpisahan  mereka.
Keputusannya kini sudah tepat. Moy tidak akan lagi menanti kabar-kabar dari kamar kecil yang selama ini tak pernah benar-benar ia inginkan.
TAMAT
Klik ini untuk baca Bagian 1!
13 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Kabar dari Kamar Kecil
Bagian 7 - Hati Kecil Paling Kerdil
Moy jadi sering pulang larut. Awalnya Tara bertanya singkat seperti, “Dari mana?” atau, “Sudah makan malam?” Lama-lama Tara hanya diam karena bingung harus bagaimana. Tara hanya terus menyiapkan sarapan, bekal makan siang, dan  makan malam, meski  setelah pertengkaran akbar itu, Moy dan Tara hanya bicara seperlunya. Pada suatu pagi, Moy meminta Tara untuk tidak membekalinya makan siang karena Moy akan makan bersama teman kantornya di luar. Semenjak itu, Tara tak pernah lagi membekali makan siang untuk suaminya. Beberapa kali Tara mengajak Moy untuk bicara, tapi Moy terus beralasan, terus pulang larut, bahkan di hari libur Moy selalu menyibukkan diri di luar rumah yang entah apa. Tara tak pernah tahu. Tara tidak mau pertengkaran kemarin menjadi pertengkaran yang berkelanjutan, hingga di suatu sabtu, Tara langsung menanyakan hal terpenting dalam pernikahannya, “Kamu bahagia, gak, sih, sama aku?”
Moy yang sedang memasukkan botol minum ke dalam tasnya dan hendak mencari alasan untuk berkegiatan di luar rumah langsung mamatung. Apakah ia bahagia dengan Tara? Tidak. Kali ini tidak. Dengan kondisi begini, ia tidak bahagia. Namun, lagi-lagi, Moy tak ingin mengatakannya. 
“Boleh jawab aja gak pertanyaanku yang satu itu?” Tara mulai frustasi dengan perlakuan suaminya. Tara ingin mendengar langsung dari mulut Moy, meski diamnya Moy sudah cukup menjawab.
“Sekarang, enggak.” Moy akhirnya menjawab. Tara tersenyum pahit. Perasaannya campur aduk. 
“Aku…minta maaf. Apa sebaiknya kita udahan aja?” Ujar Moy dengan ragu. Ia menatap Tara dengan ekspresi yang luar biasa lesu.
“Maksud kamu? Cerai?” Nada bicara Tara meninggi. 
Moy mengangguk. Tara tak percaya bahwa pernikahannya ada di tepi jurang. Tara tidak mau terjatuh dan hancur berkeping-keping. Lebih baik baginya untuk mendorong pernikahannya menjauhi jurang dengan babak belur, dibanding terjatuh ke dalam jurang dengan sia-sia.
“Kita lagi sama-sama emosi. Aku gak mau ngomong lagi soal ini.” Tara menahan amarahnya, seperti yang selalu ia lakukan bertahun-tahun. 
“Aku anter kamu ke rumah Ibu, ya?” 
Tara menarik napasnya dalam-dalam. Ucapan Moy barusan seolah mengusir halus ia dari rumah mereka. Namun, setelah dipikir-pikir, ada baiknya Tara pulang ke rumah Ibu Mae–Ibunya–untuk menenangkan diri. Mungkin, dengan demikian, baik Moy maupun Tara bisa berpikir lebih jernih. Tara lalu mengepak beberapa pakaian, disertai dengan seperangkat suplemen yang harus diminum rutin untuk mengatasi PCOS-nya. Perjalanan ke rumah Ibu Mae diiringi dengan hening panjang yang paling menyiksa.
***
Seminggu berlalu, Tara tidak mau bercerita apapun meski Ibu Mae bertanya. Ibu Mae tahu bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya. Beberapa kali Ibu Mae mengirimi Kismoyo pesan, tapi tak ada jawaban. Telfonnya pun tak kunjung diangkat Moy. Beberapa kali Ibu Mae berniat untuk bertanya kepada besannya, tapi langsung ia urungkan niatnya dan memilih untuk menunggu Tara bercerita lebih dahulu. Ibu Mae lalu menyarankan Tara untuk bertemu teman dekatnya, Ghea. Tara setuju.
Tinnnn! Tin!
Suara klakson mobil Ghea terdengar keras dan khas. Tara sudah hapal suara klakson ‘nyamper’-nya Ghea tiap kali ia menjemput Tara untuk bermain. Suaranya selalu sama dari tahun ke tahun. Tara lalu bergegas keluar rumah dan pamit kepada ibunya. Ibu Mae berharap pertemuan anaknya dengan teman dekatnya akan membuat Tara lebih baik. Setidaknya Tara bercerita kepada orang lain agar tidak merasa sendiri.
Tara dan Ghea sampai di café dengan konsep perpustakaan. Café itu ada di daerah Ciumbuleuit, di tengah perumahan yang sepi dan asri. Sejak kuliah, keduanya sering ke café itu. Dari yang sepi, hingga sekarang amat ramai. Dari yang boleh meminjam buku, hingga sekarang tidak boleh meminjam buku. Di tempat itu pula mereka berdua bercerita dan update kehidupan masing-masing.
“Moy ngajak cerai.” Kalimat itulah yang keluar pertama kali dari mulut Tara. Tidak ada ba-bi-bu, langsung ke puncak masalah. Ghea segera duduk dengan sikap sempurna, bersiap mendengarkan cerita teman lamanya itu dari A sampai Z. Matanya kadang ikut berlinang, tak menyangka bahwa pernikahan temannya yang ia pikir sempurna ternyata penuh pilu. Tara memang menghindari media sosial karena ia sadar unggahan teman-temannya hanya membuat perasaannya kian resah. Tidak punya anak, tidak punya pekerjaan, tidak ada yang bisa ia banggakan dalam dirinya. Hilangnya Tara dari media sosial membuat siapapun termasuk Ghea tidak tahu kabar Tara dengan tepat.  
Ghea pernah beberapa kali menghubungi Tara, tapi percakapan mereka selama ini hanya soal hal-hal lucu yang terjadi di kehidupan mereka. Ghea yang baru potong rambut dan potongannya lebih mirip Dora dibanding model yang jadi acuannya, atau Tara yang malah menarik tangan orang lain di supermarket alih-alih suaminya, hingga Ghea yang operasi wasir dan ternyata dokternya adalah gebetannya di gimansium. Ghea tidak tahu bahwa yang dialami Tara selama ini semenyakitkan itu. 
“Aku harusnya gak resign waktu itu kalau tau akhirnya Moy pengen cerai. Bahkan….salah, gak, sih, Ya, kalau aku nyesel nikah sama Moy? Aku sebenernya gak mau udahan. Tapi, aku gak kuat juag terus-terusan kayak gini.”
“Gak ada yang salah, Ra. Keluarga emang rumit. Keputusan yang diambil waktu masa lampau gak bisa dicap salah atau bener karena apa yang kamu putusin waktu itu adalah keputusan terbaik yang bisa kamu pilih.” Ghea mencoba menenangkan.
“Aku gak bisa kasih saran yang banyak, tapi kamu udah bicara sama Ibu?” Ujar Ghea.
“Belum. Aku takut dia khawatir. Kegagalan pernikahan bukan suatu kabar yang pengen aku kasih tau ke Ibu.” Jawab Tara sambil memainkan sedotan di gelas minumannya. 
“Cobain, deh. Ibu punya pengalaman yang lebih lama dari pada kita. Lagian Ibu bukan tipe yang kayak si Bunda itu.” Bibir Ghea membentuk rupa wajah menyebalkan ketika menyebut nama Bunda.
“Iya, sih…nanti kalau aku udah siap, aku bakal cerita, deh.”
Pertemuan mereka berdua diakhiri dengan kisah Ghea yang akhirnya menemukan calon suami yang ia idamkan. Kisah Ghea agak menghibur Tara karena memang temannya yang satu itu selalu mengalami kejadian yang aneh dan lucu. Sepulang dari pertemuan itu, ingatan Tara terus merapal kata-kata Ghea. Keputusan apapun di masa lampau adalah keputusan terbaik yang bisa kupilih. Gak ada yang salah. Gak ada yang salah. Kata-kata itu sebenarnya sudah ada jauh di hati kecil Tara. Pertemuannya dengan Ghea membuat kata hatinya yang semula kerdil berubah menjadi begitu lantang.
Bersambung....
Bagian selanjutnya dapat dibaca di Bagian-Terakhir!
Bagian 6 dapat dibaca di sini!
5 notes · View notes
truegreys · 2 years ago
Text
Kabar dari Kamar Kecil
Bagian 6 -  Ingatan Kecil Paling Unggul
“Kerja lo, kok, jadi jelek, sih?” Tanya Ara, rekan kerja Moy, beberapa hari setelah pertengkaran akbar itu. Di rooftop kantor, mereka berbagi api. Moy mulai merokok semenjak Tara keguguran. Dari sebatang sehari, jadi sebungkus sehari, bahkan bisa jadi 2 bungkus seandainya saja sebungkus rokok tak begitu mahal. Moy menghisap rokoknya amat dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Moy harap semua beban di pundaknya ikut hilang dengan embusan rokok dari paru-parunya. 
“Berantem, ya, lo, sama istri?” Tebak Ara. Ia bertanya sambil membawa misi dari atasannya karena kinerja Kismoyo begitu buruk. Moy melakukan kesalahan-kesalahan yang biasanya dilakukan oleh anak magang, padahal sudah bertahun-tahun Moy bekerja dan bahkan sampai pernah mendapatkan gelar karyawan teladan. 
Moy tersenyum getir saat mendengar pertanyaan Ara. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi padanya, Tara, dan apa yang Bunda bilang. Ara mendengarkan dengan seksama sambil sesekali memantik api dan memulai batang rokok baru. Ara adalah gadis yang tak pernah mau menikah. Baginya, pernikahan adalah hal yang tidak mudah. Hidup sudah susah, dan ia tak perlu menambah masalah dengan yang namanya pernikahan.
“Lo nikah selama ini cuma buat bikin cucu yang dipengenin nyokap lo?” Ara bertanya dengan nada heran. Pertanyaan itu seperti menyimpulkan kehidupan yang Moy jalani dengan Tara selama ini. Moy tak serta merta langsung menjawab. 
“Udah, gak usah dijawab. Gue gak bisa kasih saran karena gue gak mau nikah. Gue cuman mau ngingetin tujuan lo nikah selama ini apaan. Karena dari cerita lo, kok, kayaknya keputusan nikah aja karena nyokap, sih? Nih, sekarang, lo pikir lagi. Abis lo pikir, lo kelarin masalahnya, dan fokus lagi sama kerjaan.” Ara lalu menepuk pundak Moy. 
“Gue akui, soal keluarga itu emang rumit, Moy. Tapi semua bisa ketemu jalannya kalau akar masalahnya udah ketemu. Dan, gue rasa, lo bisa menemukannya dari diri lo sendiri dulu.” Ara membuang puntung rokoknya dan langsung pamit karena ada meeting yang harus dipersiapkan. Ara berlalu meninggalkan Moy dengan sebuah fakta yang menohok.
Moy mulai sadar jika selama ini dia tidak memaknai pernikahan sebagaimana mestinya dan malah  ngikut tujuan Bunda yang ingin punya banyak cucu. Moy sadar pula bahwa keputusannya dari dahulu selalu ditentukan oleh Bunda. Ia tak pernah punya pilihan. Lambat laun, seluruh ingatan di masa kecilnya menjadi yang paling unggul dari ingatan-ingatan masa kininya. Ia tak pernah bisa memilih. Ataukah sebenarnya…..ia bisa memilih? Ya. Seharusnya, selama ini ia bisa memilih sendiri apa yang ia inginkan. 
Bersambung...
Silakan klik ini untuk membaca Bagian 7!
Bagian 5 dapat dibaca di sini!
3 notes · View notes