Text
Kos-kosan
Sebagai orang yang baru pertama kali merasakan jadi anak rantau, aku punya beberapa masalah dengan kos-kosan di daerah penempatan kerjaku.
Pertama-tama harus kukatakan bahwa aku cukup realistis untuk tidak menggantungkan ekspektasi berlebih pada sebuah kamar sewaan yang ukurannya tidak lebih dari 3 x 4 meter persegi. Dan juga cukup sadar untuk tidak membandingkan kamar kos dengan rumah orang tuaku yang jelas lebih luas serta terorganisir dan lebih nyaman. Tapi tetap saja, serendah-rendahnya ekspektasi pada akhirnya bisa dipatahkan juga.
Belum genap sebulan semenjak aku memutuskan untuk pindah kosan. Sebelumnya aku tinggal di kosan yang grade nya bisa dibilang jauh di bawah kosanku yang baru, yang tentu saja sewa per bulannya lebih murah. Hanya dengan membayar 425.000 per bulan, aku bisa menikmati:
Kasur busa tipis yang kalau ditiduri bisa ambles sampai punggungku hampir beradu dengan lantai. Pernah ada suatu hari ketika aku sudah muak dengan kasurku yang busanya sudah tipis dan robek-robek, sampai aku meminta kepada ibu kos untuk mengganti dengan kasur yang baru. Bahkan aku siap jika ibu kos membebankan biaya tambahan kepadaku. Hasilnya? chat whatsapp ku tidak digubris, kecuali pada saat aku mengirimkan bukti tranfer sewa bulanan.
Air yang sering mati dan luar biasa kotor. Ini adalah kelemahan fatal dari sebuah tempat tinggal yang mestinya sudah membuatku pindah sejak lama. Tapi aku memilih stay hanya karena lokasi kos ini dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki ke kantorku.
Dapur yang jorok dan bau.
Tetangga problematik plus ibu kos yang tidak bijaksana dalam menyikapi problematika anak kosnya. Yang ini tidak usah kujelaskan detailnya. Pokoknya bisa bikin aku, sebagai pekerja yang sering tugas ke luar kota, pulang malam, dan diantar mobil yang berbeda-beda, jadi ketar-ketir takut dijadikan bahan gosip selanjutnya.
Poin yang terakhir yang akhirnya mampu membulatkan tekadku untuk segera pindah dari sana.
Setelah pencarian singkat (baca: agak ngebut) di suatu aplikasi, dipertemukanlah aku dengan sebuah kos-kosan yang terlihat lebih menjanjikan. Dengan harga sewa 650.000 aku bisa menikmati:
Spring bed sedipan-dipannya
Kamar mandi dalam yang dilengkapi shower, rak toiletries, dan kloset duduk
Lemari pakaian berkapasitas besar yang terbuat dari kayu
Meja belajar sekursi-kursinya
Kipas angin standing
Interior dan perabotan yang secara tampilan nampak kohesif satu sama lainnya
Lingkungan yang individualis, sangat cocok untuk seorang INTJ seperti saya
Akses 24 jam. No curfew, no drama. Tiap orang dikasih kunci pager
Penjaga kosan yang job desc nya merangkap tukang bersih-bersih
Rooftop luas dan multifungsi. Bisa untuk jemuran, nongkrong sambil nyenja, ataupun olahraga
Induk semang yang chill dan fast respon tiap ada request atau keluhan
Jika dibandingkan dengan kosan lama, kosan ini jauh lebih manusiawi. Namun tidak ada gading yang tak retak. Sebagus-bagusnya kos-kosan, tetap saja tidak ada kos-kosan yang sempurna. Kosan baruku memiliki beberapa kelemahan:
Jaraknya cukup jauh dari kantor, yaitu 15 menit berkendara dengan sepeda motor. Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkan itu, karena aku punya motor pribadi. Di samping itu juga, di kota asalku aku sudah terbiasa menempuh jarak dari rumah ke kampus sejauh 45 menit berkendara. Mungkin karena ini kota kecil, jadi menurut kebanyakan orang jarak 15 menit itu sudah masuk kategori antah berantah.
Air klosetnya bau (haha. sial). Kenapa lagi-lagi aku harus berurusan dengan masalah air sih? tapi untungnya ya, untungnya air yang keluar dari shower masih fine-fine aja.
Cicak. Cicak di mana-mana. Ventilasi segede gaban tapi gak dipasang jaring nyamuk. Jadi cicak dari luar bisa masuk melalui ventilasi. Ingin rasanya aku check out anti lizard spray di toko oren.
Mau nyari makan agak jauh. Jadi kalau mau order lewat ojol ongkirnya lumayan mahal.
Tapi dengan harga 650.000 sebulan, kos-kosan ini sangatlah worth it. Kalau kucoba bandingkan dengan kos-kosan yang spesifikasinya serupa di kota ini, kosanku yang baru ini termasuk murah. Karena pada umumnya harga sewa untuk kos-kosan yang serupa bisa mencapai 1 juta.
Bayangkan membayar 1 juta per bulan hanya untuk:
Sebuah kasur, bukan spring bed tapi busa biasa, asalkan berdipan.
Lemari pakaian kecil.
Kamar mandi dalam yang sempit feat. wc jongkok dan ember yang agak gedean dikit.
Meja kursi (sepertinya standar untuk kos-kosan seharga 1 juta)
Kalau ada yang merasa bahwa fitur-fitur di atas pantas dihargai 1 juta sebulan, aku bingung harus berkata apa. Antara standar kenyamananmu rendah sehingga kamu berani bayar di atas harga pasar untuk fitur-fitur yang sebenernya standar buanget. Atau, kamu anak sultan yang terlalu "out of touch from reality", yang berpikiran bahwa 1 juta itu uang receh yang senilai dengan fitur-fitur yang kamu anggap sama "receh" nya.
Sepertinya sulit, bahkan hampir mustahil menemukan kos-kosan yang senyaman ini di dekat kantorku dengan harga sewa under 1 juta. Sehingga mungkin aku tidak akan pindah dari tempat ini.
0 notes
Text
Blog
Adalah muara terakhir ketika pikiranku lagi over capacity, tapi hampir ngga punya kesempatan buat menumpahkan isi pikiran karena berbagai faktor, antara lain:
Jomblo. (kadang pengen gitu punya pacar sekedar buat ngobrolin hal-hal yang random gak berfaedah)
Temen-temen udah pada punya kehidupan masing-masing dan kami jarang ngobrol
Sungkan aja masa tiap hari di grup whatsapp isinya sambatanku semua
Curhat ke keluarga emang ngga ada di kamus kehidupanku. kek aneh aja gitu rasanya. Aku lebih suka menyimpan cerita-ceritaku untuk konsumsi pribadi. Terkadang kugunakan sebagai bahan gibah dengan bestie, atau kuunggah untuk dibaca khalayak asing seperti ini
Aku bisa nulis
Aku suka nulis
Tapi di sisi lain aku merasa ada yang kurang karena menulis di sini bagaikan berbicara dalam ruang hampa. Hambar, kecuali kalau aku menerima dopamine dalam bentuk notes dan reblogs.
Lalu aku nulis untuk apa?
Jawabannya balik lagi ke kalimat pertama tulisan ini. Ya buat unload isi pikiran yang udah bikin kepalaku over capacity. Aku rasa pertanyaan ini gak akan muncul kalo aku sudah puas hanya dengan menulis buat diriku sendiri.
Apakah aku butuh validasi? bisa dibilang iya.
Mungkin bawah sadarku merasa ingin diperhatikan. Sebenarnya ingin sekali aku membuat tulisan yang bisa dibagikan ke semua orang tapi sayangnya aku tidak cukup bernyali.
Karena tulisanku (masih) jelek banget. Tapi terima kasih sudah membaca (kalo ada yang baca).
1 note
·
View note
Text
Kerja
Basa Basi
Semalam aku bertemu dengan salah seorang penghuni kos ketika aku sedang memasak. Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya aku berpapasan dengan penghuni Samawa di dapur lantai dua. Aku sering berpapasan dengan penghuni lain, tapi kami hanya bertukar sapa, tidak sampai mengobrol panjang. Mungkin karena kami semua sama-sama introvert yang tidak akan mengobrol sebelum diajak bicara. Namun malam itu berbeda dari biasanya. Aku bertemu dengan sosok yang ekstrovert, (sepertinya) berjiwa bebas dan menyenangkan, yang kebetulan adalah penyuka kopi, sama sepertiku. Kami langsung berteman saat itu juga.
Seperti perkenalan yang pada umumnya dilakukan orang. Dia tanya apa pekerjaanku.
"Auditor. Di PT (...)," jawabku. Berikut kuceritakan dengan singkat bahwa aku lolos seleksi Rekrutmen Bersama BUMN tahun lalu, kemudian pelatihan selama tiga bulan di Paris (van Java) dan sekarang sedang menjalani penempatan pertama di Kota Pendekar.
Entah apakah karena gadis ini mengobrol denganku sambil ngopi dan merokok santai, atau apakah karena nada bicaranya yang terkesan begitu bersahabat, sehingga aku jadi terlalu nyaman untuk menceritakan apa yang ada di pikiranku tentang kerjaan.
Dia sangat berbeda denganku. Bekerja di divisi marketing di sebuah perusahaan swasta yang juga merangkap sebagai graphic designer untuk keperluan promosi perusahaan. Pekerjaannya berkali-kali lipat lebih melelahkan dibandingkan dengan pekerjaanku. Masuk kerja dengan sistem shift dan masih harus stand by di depan laptop setelah jam kerja berakhir. Dan itu dilakukannya setiap hari. Kalau katanya, "Secara teori nine to five, tapi sebenernya aku kerja 24 jam."
Sebagai mantan karyawan ritel, aku tahu betul bagaimana rasanya kerja shifting. Membayangkannya saja sudah capek. Adalah sebuah keberuntungan aku resign dari sana dan kemudian diterima di perusahaan BUMN sebagai auditor internal. Dibandingkan dengan pekerjaanku yang dulu, jadi auditor internal di perusahaan ini sangat jauh dari kata hectic. Malahan bisa dibilang terlalu santai karena kami punya banyak waktu untuk leha-leha di kantor.
Mungkin karena itulah setelah mendengarkan ceritanya, aku sedikit merasa getir. Seperti ada semacam kesenjangan antara kehidupan profesional kami.
Junior Analyst Bidang (isi sendiri)
Alias Management Trainee (MT), yang semestinya adalah posisi yang dibangga-banggakan oleh para fresh grad maupun mereka yang berpengalaman yang berhasil meraihnya. Apalagi kalau MT nya di salah satu BUMN. Bertambahlah prestige yang kami sandang.
Kami dikelompokkan menjadi 5 bidang. Marketing, Digital, Data Analyst, Hukum, dan Auditor. Tiga bulan lamanya kami menerima gemblengan mental dan pendidikan dengan porsi yang sama. Susah senang dirasakan bersama, hingga tiba saatnya kami dipisahkan oleh SK Penempatan. Barulah kami merasakan pahit getirnya kerja beneran.
Dibandingkan dengan job desc bidang lain, auditor internal sungguh tidak ada apa-apanya. Bagaimana tidak? wong semuanya merasakan to do list yang padat dari pukul 8 pagi sampai 5 sore, auditor malah gabut setengah mati kalau sedang tidak menerima Surat Tugas. Apalagi setelah diturunkan kebijakan baru yang menyatakan bahwa jadwal pemeriksaan dibatasi dari yang awalnya 9 kali menjadi hanya 6 kali dalam setahun. Semakin banyak waktu gabut kami. Namun demikian ketika kami bertugas, hampir selama 10 hari audit kami tidak mendapatkan tidur yang cukup karena harus dikejar deadline Daftar Temuan Sementara (DTS). Pokoknya selama 10 hari dalam satu bulan itu kami upayakan untuk audit yang totalitas. Namun tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan nasib anak Marketing yang 24/7 dihantui oleh target penjualan sebesar 5.000.000 sehari.
"Kalau sehari aku bisa menghasilkan duit lima juta, gak bakal aku kerja di sini," adalah candaan yang biasa dilontarkan sahabat marketingku yang kerap kali muncul di grup whatsapp untuk sekedar sambat.
Dan "sambatan" ku ini pun tidak dapat disamakan dengan anak Digital dan Data Analyst yang setiap berapa hari sekali mendapat peringatan deadline yang dibarengi dengan request tambah fitur. Sungguh kurang ajar realita yang menimpa mereka ini, sehingga rasanya aku tidak pantas untuk mengeluh.
"Wah enak banget dong kak," begitulah komentar teman baruku setelah mendengar ceritaku dengan saksama. Aku yakin semua orang baik yang sudah berkarir maupun belum akan merespon sama sepertinya. Yang mana endingnya akan selalu kusambut dengan ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Sesungguhnya Bosan dan Gabut di Tempat Kerja Adalah Privilese yang Luar Biasa
Begitulah kiranya menurut kacamata orang. Tapi menurutku, gak ada kerjaan tapi masih nerima gaji rutin tiap bulan itu sedikit tidak sopan sebenarnya. Tapi di sisi lain aku merasa amat beruntung. Gabut salah, sibuk ngeluh, sebenarnya mauku apa sih?
Toh dipindah ke UPT pun aku gak bakal mau. Pengennya jadi auditor terus sampai pensiun. Ke kantor manapun selalu disegani, kerja sambil staycation, udah gitu dapet uang tambahan lagi. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Nisa?
Sudahlah, syukuri saja. Sesungguhnya kamu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.
0 notes
Text
Anak Pertama, Perempuan Pula
Aku bukannya mau bilang: "Itu orang tuamu. Ngga boleh gitu. Kamu harus nurut. Kamu harus baik". Karena tanpa dibilangin pun, kamu pasti sudah paham. Itu kata-kata yang terlalu klise.
Bahkan bisa jadi bullshit. Karena orang tua toxic itu benar ada. Banyak, malah. Karena itulah rasanya tidak adil kalau aku menyalahkanmu yang jenuh dengan sikap orang tuamu.
Sayang, aku juga mengalami hal serupa. Aku sama sepertimu. Anak pertama, perempuan pula.
Ibuku adalah orang yang baik. Walaupun terkadang kami berselisih. Ada saat-saat tertentu di mana sifat toxic nya keluar. Dan ketika saat itu tiba, sakitnya bukan main. But most of the time, she's pretty chill. And that's a thing about humans.
Setiap manusia pasti punya toxic traits. Aku pun, kalau bisa dipreteli satu per satu seperti Lego, pasti akan ketemu sifat toxic ku. Satu, dua, atau mungkin lebih.
Manusia tidak bisa dibedakan menjadi hitam dan putih. Kita semua kelabu, dan setiap orang merepresentasikan satu spektrum kelabu yang unik. Kita tinggal melihat, apakah orang itu banyakan putihnya, atau banyakan hitamnya.
Aku tidak tahu seperti apa ceritamu. Tapi satu hal yang aku tahu:
Orang tuamu hanyalah orang dewasa biasa yang tidak begitu mengerti mereka sebenarnya sedang melakukan apa. Apakah hanya karena mereka punya anak berarti secara otomatis mereka expert dalam bidang parenting? Aku yakin tidak.
Mereka bukan superhero. Justru kita yang superhero. Anak pertama, perempuan pula.
Sejak kecil dituntut multitalenta. Bahkan tak jarang di antara kita yang terpaksa dewasa sebelum waktunya.
Jadi anak pertama perempuan harus siap jadi mediator untuk kedua orang tuanya ketika mereka sedang berselisih. Harus siap jadi penasehat keuangan untuk membantu tugas ibu. Harus bisa menjadi baby sitter dan guru les untuk adik-adiknya. Harus betah mendengarkan segala keluh kesah ibu seperti seorang terapis psikologi. Harus siap mendahulukan orang lain sebelum memikirkan dirimu sendiri.
Dan yang paling penting ketika kamu sudah dewasa, kamu harus siap menjadi tulang punggung keluarga. Kamu adalah satu-satunya yang digadang-gadang menjadi sposor bagi adik-adikmu yang masih membutuhkan biaya pendidikan, ketika dana pensiun ayah sudah tak dapat lagi diandalkan.
Jangan lupa, kamu juga masih harus mencari suami mumpung ayah dan ibumu masih bisa menyaksikanmu menikah. Setelah itu masih banyak hal-hal lain yang harus siap kamu hadapi nanti.
Anak pertama perempuan, yang kuat ya? perjalananmu masih sangat panjang. Untuk itu pastikan kamu memilih pendamping yang siap menemanimu dalam perjalanan itu. Dia juga harus merupakan seorang superhero yang lebih kuat dari kamu.
1 note
·
View note
Text
Tinggal Sendirian
Pada suatu waktu, entah dari mana datangnya pernah terlintas di kepalaku suatu pemikiran bahwa:
kamu akan menganggap sesuatu sebagai hal yang luar biasa, sampai kamu mengalaminya sendiri.
Dan aku telah membuktikannya, melalui tinggal sendirian.
Usia belasanku dipenuhi dengan problematika remaja klasik. Merasa tidak nyaman dengan rumah sendiri karena sering adu argumen dengan orang tua. Diriku yang masih bau kencur dulu beranggapan bahwa mereka tidak menyayangiku. Bahwa lebih baik aku keluar dari rumah untuk mencari kebahagiaanku sendiri daripada menghabiskan waktu percuma di lingkungan keluarga yang "toxic" itu.
Tiap malam sebelum tidur aku selalu memimpikan bekerja di luar kota, nge kos sendiri, mau kemanapun dan melakukan apapun bebas, tidak harus izin orang tua. Aku membayangkan sebuah studio apartemen yang kusewa dengan uangku sendiri, kupenuhi dengan pernak-pernik cantik sehingga terlihat stylish dan pada saat yang bersamaan juga cozy. Semua fantasi itu tak jarang aku tuangkan ke dalam save file ku di The Sims 4. Bagiku tinggal sendiri adalah suatu hal yang luar biasa dan menyenangkan. Selama bertahun-tahun aku tenggelam dalam imajinasiku itu.
Kemudian waktu berlalu dan setelah tumbuh dewasa aku menyadari bahwa justru aku yang toxic, bukan mereka. Pola pikirku berbahaya, dan sedikit "lebay". Padahal perbedaan perspektif itu wajar. Jangankan di antara orang ke orang, antar keluarga yang notabene nya sedarah dan seatap pun bisa berbeda sudut pandang. Apalagi orang tua dan anak dibesarkan dan dididik di generasi yang berbeda. Maka wajar kalau sering cekcok. Aku tidak spesial. Hampir semua anak remaja mengalami hal yang sama.
Kini aku sudah mewujudkan bayanganku yang dulu sempat kuanggap luar biasa itu. Aku bekerja di luar kota dan menyewa sebuah kamar kost kecil di sebuah kota yang kecil. Yang dulu kukira luar biasa itu justru biasa saja, tidak ada istimewa-istimewanya sama sekali. Bahkan tak jarang juga aku malah merasa kesepian, gabut, ingin pergi keluar tapi mager.
Apalagi kamar kost ku ini penampakannya jauh sekali dari apa yang kuwujudkan dalam bentuk apartment lot di The Sims. Kost ku bukan studio apartment. Tidak ada tuh yang namanya clutter dan perabotan yang estetik. Tidak ada kitchenette atau mini fridge, hanya ada satu meja kayu ala-ala yang permukaannya dibungkus kertas kado. Seluruh dindingnya pun dicat hijau, warna yang paling aku benci. Tapi mau bagaimana lagi? setelah pusing berputar-putar mencari kost, hanya ini yang setidaknya cukup mendingan. Cukup memenuhi kebutuhan primer, dan harganya termasuk murah. Aku baru tahu kalau mencari kost-kost an sesulit itu. Apalagi kalau tidak punya kendaraan pribadi. Jadi otomatis harus cari yang paling dekat dengan kantor. Kalau tidak, pengeluaran akan bertambah untuk meng-cover biaya transport. Padahal targetku adalah menabung sebanyak 1 juta tiap bulan. Karena itulah, tinggal di kost mewah hanya menjadi angan-angan semata.
Tinggal sendirian memang tidak seindah yang dibayangkan. Tapi bukan berarti hidupku semengenaskan itu. Aku masih bisa perawatan wajah ke klinik tiap 3 minggu sekali. Lalu kalau aku sedang semangat-semangatnya, aku bisa pergi olahraga ke gym. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan. Hanya saja sekarang musuh terbesarku bukan izin orang tua, melainkan rasa magerku sendiri. Ternyata semakin dewasa, hidup jadi semakin capek ya?
0 notes