Arsip #konsistenmenulis supaya aku bisa lihat perkembangan tulisanku yang awalnya jelek banget sampai nanti bisa pakai diksi. Pindah dari medium bcs it feels too professional.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Segala hal sudah aku coba lakukan untuk mentolerir segelintir kekurangan yang tidak pernah ayah tutupi hanya karena ayah adalah laki-laki yang membesarkanku. Ketika dewasa mungkin aku akan paham langkah untuk memaafkan ayah juga pola pikir yang melatarbelakanginya membuat banyak keputusan tidak mengenakkan untuk keluarga yang ia bangun sendiri.
Aku baru menginjak lantai sekolah dasar ketika perusahaan tempat ayah menumpahkan segala loyalitas yang ia miliki mulai memperlakukan karyawannya semena-mena. Ayahku sudah tidak diberi upah tiga bulan. Mengapa kalimat barusan masih kurang cukup buatnya untuk berusaha lebih keras mencari alternatif lain. Tidak ada percobaan yang ia lakukan selain terus bekerja menafkahi perusahaan yang didiagnosis mati otak. Sudah tidak bisa diselamatkan.
Tak lama setelah menyadari bahwa ia selama ini bekerja untuk perusahaan nyawa, sempat ia kesana-kemari mengunjungi kawan-kawannya dengan harap mereka akan mengasihaninya dan memberinya pekerjaan layak. Seperti kenyataan pada umumnya, mendadak semua kawan yang ia berikan rasa percaya itu hanya memberikan punggung setiap ia datang. Ucapan ibu soal hanya keluargalah yang akhirnya bisa kau andalkan ketika dalam masa sulit benar adanya. Walaupun begitu, ayah masih selalu menolak kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu. Bahkan hingga kini.
Sebelum negara ini dilanda pandemi dan aku berada di sekolah menengah pertama, ayah masih cekatan kesana kemari mengambil orderan grab mobilnya, yang di mana mobil itu juga dibeli dengan uang istrinya. Tidak banyak yang dihasilkannya, tetapi tak apa, masih ada usaha yang ia coba tunjukkan. Entah apa ia memikirkan ini atau tidak, tetapi tidak akan pernah timbul rasa malu dalam diriku atas pekerjaan yang orang tuaku lakukan. Aku lebih malu melihat orang yang masih sehat memilih untuk berdiam diri di rumah mengisi waktunya dengan menggulir gawai padahal pasangannya mengais pundi-pundi duit setiap harinya.
Ayah, sampai saat ini aku masih bingung, apa yang membuatmu memutuskan untuk menyerah begitu saja atas kondisi yang menimpamu ini. Aku masih 17 tahun dan dalam benakku kini hanya ada eldest daughter rage setiap mataku menangkapmu duduk di kursi kayu reot yang ada di ruang belakang. Bukan ini yang aku inginkan. Namun, semua hal rasanya sudah tak ada maknanya di hadapanmu. Aku hanya bisa terus berharap dan berdoa semoga seseorang mengirimkan pesan yang bisa membuat ayah berubah menjadi lebih baik lagi sehingga tidak memaksa kami untuk mengingat ayah sebagai salah satu dari memori kurang baik yang ada di hidup kami.
0 notes
Text
+1000 Aura Point
Seumur hidupku tak pernah kudengar seseorang memuji orang lain dengan kata menawan. Namun juga tidak terdengar asing di telingamu, bukan? Kata temanku, hanya orang-orang paham seni, terutama penyair yang akan menggunakan kata menawan. Merasa diriku sudah sangat chronically online, aku tetap tak tahu dari mana asal tren charm point ini bermula. Namun, berkat orang itulah kata menawan mulai dipakai lagi ketika berbincang dengan kawan seumuran, kendati bahasanya diperkasar lagi menjadi aura.
Menurut KBBI, kata 'aura' memiliki arti energi yang dipancarkan oleh seseorang, benda, dan sejenisnya. Aura terdengar seperti kata yang cukup mainstream buatku. Kata 'aura' jika berdiri sendiri terdengar seperti anak perempuan dengan kacamata berbentuk kotak yang sering kalian dapati sedang membaca buku di pojok ruangan, tidak ada menawan-menawannya sama sekali, tetapi sekarang malah dipakai sebagai tolak ukur energi pikatan seseorang.
Mendapat pesan "+10.000 charm poin" di google formulir yang kubuat untuk memberi makan ego sendiri lalu dibagikan ke 14 teman SMA terdekat tidak ada di dalam daftar keinginan tahunanku. Kubaca dari awal. Pertanyaannya adalah soal kesan pertama. Ternyata bisa juga sampai di titik di mana tidak hanya kesan 'jutek' atau 'galak' yang muncul di benak seseorang ketika mereka pertama kali berinteraksi denganku. Sebuah kemajuan, kamu sudah berusaha dengan baik. Kulanjutkan baca pesannya, tambahan 10.000 aura poin itu kudapat dari mengatakan "Sesekali ajak aku ngobrol juga dong!" Oh, tentu saja pesan impulsif lainnya yang kukirim tengah malam. Kalau ingatanku tidak membodohi diri sendiri, pesan itu kukirim tengah malam di tahun baru yang percakapannya kubuka dengan membalas "Selamah tahun baru, Iyan!" pada status whatsappnya yang berisikan meme.
Menurut Iyan, tambahan poinku itu justru jadi bumerang untuk dirinya karena dengan keberanianku mengirim pesan itu sama dengan kemeresotan harga dirinya sebagai laki-laki. Apakah termasuk contoh lain dari toxic masculinity? Padahal gak ada yang gak biasa dari perempuan yang memulai interaksi duluan. Iyan bilang, bisa-bisanya jiwa introvert akut yang bergelung di tubuhnya membuat seorang perempuan blak-blakan seperti itu. Sebuah disclaimer: Tidak ada sama sekali maksud flirting dari pesan yang kukirim itu. Murni karena aku ingin berbincang lebih banyak dengannya. Iyan pintar, tahu banyak soal sains, dan pandai berkomunikasi dengan Bahasa Inggris gaul. Sedang aku saat itu hanya siswa kelas 11 SMP yang belum punya grup berisikan teman dekat, jelas Iyan adalah sasaran yang tepat.
Baru yang pertama, dan aku sudah mengantongi 10.000 poin tambahan, akan cukupkah kantong ini menangkup poin lainnya? Untungnya yang kedua tidak sebanyak yang pertama. Sempat kupikir mungkin Iyan berlebihan. Masa kemampuanku lolos pretest matematika tanpa mengulang hanya diberikan tambahan 1.000 poin. Sebuah tes yang kupersiapkan dari jauh-jauh jari meskipun seharusnya yang kulakukan adalah jalan-jalan menghabiskan waktu bersama teman-teman dan keluarga atau nonton film dan bersantai di rumah menikmati libur panjang usai lulus masuk perguruan tinggi. Kuhabiskan waktu liburan itu dengan menyisipkan belajar dan mengerjakan latihan soal untuk mempersiapkan tes ini, tetapi hanya diberikan seribu poin!? Mmmmm Iyan yang berlebihan atau Hanif yang tidak bisa menilai.
Oh iya, lupa kuperkenalkan, namanya Hanif. Teman SMA yang baru berkenalan denganku di tahun ketiga, bahkan usai pengumuman kelulusan karena kita ternyata bertemu lagi di jenjang kuliah. Sudah kukenal Hanif sebelumnya karena dia temannya temanku. Malas berkenalan karena kukira orang dengan jiwa ekstrovert seperti dia bakalan malas kalau harus memperluas relasinya denganku yang biasa-biasa saja ini. Tidak akan memberinya benefit apa-apa. Nyatanya orangnya baik. Mungkin sering bertele-tele, tetapi bukan masalah. Walaupun hanya memberiku 1.000 poin, dia termasuk mahasiswa yang harus mengulang tes, jadi ya sudah semoga tes ulangnya lancar.
Kali ini salah satu teman terdekatku selama SMA. Teman yang paling enggan untuk kujadikan pendengar walau telah melewati badai perpecahan kelas bersama. Kita panggil saja Udin. Udin yang berdasarkan observasiku bukan terlahir pendiam, tetapi hanya kikuk. Sore hari ketika bel pulang sudah berbunyi dan hanya tersisa empat orang di kelas, Udin berceletuk tentang persahabatan yang kumiliki dengan tiga orang lainnya, sebut saja kami saos, adalah salah satu impian ia di SMA yang tidak kesampaian. Persahabatan yang berisikan teman belajar, teman bergurau, bergosip, sampai menangis bersama. Seringnya, laki-laki dibilang cemen kalau bermimpi punya teman seperti itu.
Menyatakan bahwa Udin merupakan salah satu teman terdekatku membuatku tidak luput untuk menuliskannya surat di hari kelulusan kami. Seperti yang ia ketahui juga, aku suka menulis, jadi tidak baru baginya untuk menerima surat dariku. Mungkin karena hari kelulusan erat kaitannya dengan perpisahan, hawanya jadi sedikit lebih sentimental. Keesokannya ketika pembagian ijazah, Udin memberiku surat balasan yang cukup singkat. Ditulisnya bahwa ia juga sebenarnya sudah menyiapkan surat untukku, tetapi entah kapan akan ia berikan. Sejak saat itu sikapnya berubah. Seolah-olah aku adalah teman paling effort yang pernah ia temui. Bukan keluhan, aku bersyukur aksiku dihargai. Sudah sepanjang ini, aku sampai lupa belum membahas berapa aura yang dia sumbangkan untukku.
Kulihat notifikasi bahwa terjadi penambahan aura sebanyak 999999 poin. Wow. Sudah kubilang kan sebelumnya, Udin adalah orang yang akan membalas kebaikanmu berkali-kali lipat lebih baik. Poin itu dia berikan ketika niat awalnya adalah aku yang minta diajarkan cara menggunakan laptop pen, tetapi malah membahas betapa kerennya teknologi zaman sekarang yang sudah bisa menggantikan fungsi kertas sebagai alat catat. Walaupun mahal dan aku masih gaptek, aku akui mencatat di ipad atau laptop memang lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan binder. Kalimat itu lah yang membuatnya memberikan poin untukku. Katanya, aku sudah seperti mahasiswa teknik lingkungan sungguhan. Aku berharap untuk mendengar lebih banyak ucapan itu. Tidak mudah untukku bisa mengikhlaskan prodi yang sebelumnya aku mimpikan.
Ketika aku pikir cuitan ini akan kututup di sini, temanku mengirimkan foto tangkapan layar percakapannya dengan-sesuai pengamatanku- gebetannya berisikan calon pacarnya itu mengatakan aku memiliki +1937292 aura karena diterima di kampus bergengsi melalui jalur undangan. Perasaan bangga yang hanya dirasakan satu minggu setelah hari pengumuman. Bahkan diriku sendiri pun bingung, aku selalu berdoa kepada Tuhan meminta ini, selama beberapa bulan penuh aku hanya ingin ini, tetapi setelah melewati hari pengumuman aku merasa aura yang sudah kutabung lantas berkurang setiap harinya. Menurutmu apa yang terjadi?
1 note
·
View note
Text
Yaudah, Makan Naspad Jalan Rumah Sakit Aja
Pak satpam bank BJB itu membukakan pintunya untuk kami yang tidak sampai lima menit berada di dalam sana sudah keluar lagi sambil mengatakan “Sudah selesai, kak? Hati-hati di jalan.” Aku tidak ingat kapan terakhir kali teman-temanku mengucapkan hati-hati dan memintaku untuk mengabari sesampaiku di rumah, selalu aku yang mengatakannya. Ucapan ‘hati-hati di jalan’ memang bahasa cinta yang kerap kali kuucapkan pada orang-orang yang kusyukuri ada di hidupku.
Tidak kusangka hari ini bank tidak mengantre. Entah karena belum jamnya saja, sedang tidak ada event, atau memang aku sebelumnya berlebihan ketika bilang “Kita bisa nunggu satu jam-an loh, beneran gak apa-apa?” Tidak tahu, lah. Intinya aku kepalang malu saat ini, sudah terlanjur ngajak kamu untuk ditemani mengobrol malah jadi bingung mau cari aktivitas apa biar nggak langsung pulang.
“Kamu udah makan?” Kamu akhirnya memecah keheningan sambil mengajakku untuk duduk dahulu di kursi yang catnya sudah terkelupas menyisakan karat. “Belum, sih.” Hari itu hari Jumat, sekolah hanya setengah hari, tidak bawa bekal yang artinya makan di rumah.
Seharusnya memang makan di rumah saja, hemat uang. Ibu sudah masak dan pasti akan kecewa kalau aku malah makan di luar, tetapi seperti yang kubilang tadi, hari ini hari terakhir ujian, siapa sih yang mau selebrasi di rumah?
“Mau jalan-jalan dulu aja gak cari makan sambil lewat?” Entah kepribadianku yang mana yang mengeluarkan kalimat itu dari mulut ini, tetapi kita akhirnya lanjut naik motor dan panas-panasan dari Bank BJB sampai ke Soetta. Aku sebetulnya malu, kenapa sih kamu waktu itu nggak bawa jaket? Padahal sudah kuingatkan untuk membawa helm, yang artinya bawa jaket juga karena mereka satu paket. Kita jadi jalan-jalan di jalan raya sambil secara tak langsung memamerkan seragam batik SMA kita yang kurang enak dipandang itu.
Kamu mengingatkanku akan ayahku, nggak bisa jalan tanpa tujuan. Di tengah jalan setelah beberapa lama berkendara kamu mulai jengah, bertanya “Jadi mau makan di mana? Mau coba ke MIM?” Aku yang sebenarnya tidak tertarik sama sekali ke MIM, tetapi malas kalau harus disuruh berpikir mau makan di mana mengiyakan saja. Ujung-ujungnya mungkin kita akan makan di food court. Kita berdua sama-sama nggak familiar dengan mall yang satu ini. Aku nggak kuat dengan panasnya jadi kuminta kamu untuk berhenti di Solaria saja. Namun, kita keluar lagi begitu melihat harganya yang tidak ramah kantong pelajar. Aku sebenarnya tidak masalah, tetapi kulihat raut wajahnya tidak enak, jadi kita keluar.
Kurasakan rasa kesal ketika kita di sini juga tidak menghabiskan waktu lebih dari lima menit, tetapi tetap harus membayar parkir. Aku tahu kamu yang berkendara tapi kita bepergian dengan motorku dan aku bukan orang yang menyarankan untuk masuk mall ini, tetapi kamu melempar tanggung jawab bayar parkir tetap pada pihak perempuan. Bukan bermaksud hitungan tapi aku tetap jengkel. Ternyata jalan sendirian lebih nyaman, tidak ada orang yang bisa jadi samsak tinju atas keputusan-keputusan jelek dan aku tidak akan menyalahkan diriku sendiri.
Keluar dari zona mall dan kita masih bingung mau makan di mana. Kamu bilang nggak punya rekomendasi, tetapi aku tahu kamu sering pergi dengan teman-teman organisasimu itu untuk cari makanan yang murah dan enak. Aku nggak pernah punya masalah dengan makan di warteg atau warkop, kamu sebetulnya bisa ajak aku kemanapun.
Di poin itu sebenarnya aku sudah sangat jengkel, aku gampang ilfeel, aku pengen pulang saja. Namun, aku juga masih punya rasa gak enak, jadi kuajak saja kamu ke Rumah Makan Nasi Padang di Jalan Rumah Sakit yang merupakan langganan keluargaku. Rasanya tidak pernah mengecewakan, tetapi harganya memang sedikit lebih mahal dari rumah makan padang lainnya. Kita makan, mengobrol sedikit karena waktu tidak pernah terasa ketika kamu berbincang bersama orang yang membuatmu merasa nyaman hingga suatu waktu teteh yang bekerja di RM padang itu mulai menyapu ke arah meja kami, tanda mengusir—kalau sudah selesai makan langsung bayar dan pergi, ini bukan cafe. Kalau masih mau mengobrol nambah lagi. Padahal waktu itu tempatnya sedang sepi, aku tidak merasa kita mengganggu, tetapi mungkin sudah SOP-nya.
Di perjalanan pulang aku sudah melupakan rasa jengkel tadi. Kuberanikan diri untuk mengajakmu jalan lagi, “Minggu mau CFD nggak? Gapapalah sekali-sekali bolos sekolah Minggu. Kan udah selesai ujian.” Aku selalu benci penolakan. Aku benci kedwimaknaan, jawabannya hanya ayo atau nggak, jangan buat aku menunggu. Dalam hati kumanifestasikan hal-hal tersebut, tetapi semesta berkata lain. Kamu menimang-nimang dan pada akhirnya berucap bahwa kamu mau berpikir dulu dan akan mengabariku lagi nanti. Memang bukan penolakan, tetapi aku juga gak suka situasi ini, terasa seperti hanya aku yang menginginkan kita ini terjadi. Kejengkelan yang hilang tadi kembali lagi menutupi semua perasaan nyaman yang telah kamu ciptakan.
Bersamaan dengan kamu yang menimang, aku juga tidak mau kalah. Setelah melakukan research bagaimana cara paling efektif untuk membatalkan ajakanku sendiri, semesta kali ini berada di pihakku. Setelah covid, CFD belum bisa beroperasi seperti sebelumnya dan hanya dibuka dua minggu sekali. Kebetulan, CFD yang terakhir baru saja dibuka minggu kemarin, yang artinya minggu ini libur. Terima kasih dunia, aku berhutang padamu.
0 notes
Text
I Wish I Have The Guts to Tell Her That I Still Care for Her

What we had was so fast—not even a year—but the love lingers for a few years; it still is here, at this exact moment, I still care for you. I really thought you were going to be my ride-or-die. I thought even if later on we had an argument, it would just strengthen our friendship, not break it down. I thought we could fix things. Both of us are good at communicating, aren’t we? At least, I believe you are.
I still admire your passion towards what you’ve dreamed of. I remember how much you wanted to be a civil engineer, and I must admit the job suited you just fine and I got sad when later I know you gave the dream up. I still remember your habit of waking up very early—at 2 or 3 am—just to have extra times to study. You wanted to get a head start at everything you do. I remember you never trust your classmates’ work and prefer to let yourself do all the work so it will fed your ego. You’re a perfectionist, yet you’re also the hardest-working person I’ve ever met. I still admire your creativity to make your works interesting, to make sure everyone catches the result of your talent, and you prove it each time. But someday, I hope you’ll know that it’s more comfortable to not rely on others’ validation. You’re doing great, with or without others’ recognition.
I wish you would still look at me the same way when we first met—the look that doesn’t show jealousy neither rivalry—I never wanted to be your rival, I never wanted to compete against you. You were a lovely friend. You’d never looked down on me and I can see you were proud of me when I achieve something. That’s why even though you left me and ignore me or cancel our going-out lots of time, I tolerate it. But don’t worry, I won’t let anyone do me wrong like that ever again.
And so it’s weird to me that you’re the one that initiate to cut our friendship off in the middle of a nice day—when we just took a group photo in the afternoon, the same night you texted me the most weirdest text I’ve ever received. It was too sudden. I thought you were just pranking me, but you didn’t, you said it was real; and that you’ve been keeping it for a few times and that day is the right day. I don’t know you decide.
Our text that day was actually went quite well. We opened up to each other, we are being honest with each other to the poing I thought we’re going to be fine. Monday will be just a usual day. Yet you proved me wrong once again. I will probably never know what’s happening but suddenly everyone in the class hated me. I’m not able to tell what’s true or fake anymore. It was one of the worst school memories I’ve ever experience. But I live, it pass.
What doesn’t pass is the fact that I don’t get it why does it have to end this way. Why do us have to not talk to each other. Why are we ignoring each other existence. Why. Just why. Why do you seem to hate me so bad. Why are you doing fine without me—wait, no—why doesn’t this whole thing bother you as much as it bother me. Why am I the only one not moving on and suffering. Why am I still think highly of you even though you probably just want to erase me from your memory. Why am i the only one who seems still want to fix this.
Time goes on, people betray you, people talk behind your back—people start coming at me and talk about the shit you did in your junior high school—but to me, you were not that person. I don’t fucking care what you did back then, we do a lot of shit when we were kids—but I care about what you did now. Are you doing fine? I haven’t got the chance to tell you how much I’m fucking proud of you for making it to your dream college; we study at the same place again. Are you tired of it? Do you wish me gone?
I wish and not wish at the same time, to know what you think of me now. Do you still hated me? Or do you just wish to not be associated with me anymore? I don’t know what I want to do with you so I write this. What about you? Will I ever move on for the things you did or will this feeling linger forever? I guess we’ll never know, but I hope whatever you wish us will become is not going to hurt anybody. I hope you’re not hurt, and I’m not as well. I hope whether we walk in the same path again or not, we’ll be just fine.
0 notes
Text
Aku Ingin Jadi Anak-Anak Selamanya
April lalu, beberapa hari setelah membuka laman website SNPMB untuk mengecek status penerimaan mahasiswaku, yang akhirnya dinyatakan lulus, aku dan keluargaku langsung bergegas mengemas baju-baju cantik untuk dikenakan selama liburan di kampung halaman, Bali. Kami sudah dua tahun tidak pulang. Melalui perjalanan darat, kami dipaksa untuk tetap bangun menemani pak supir, ayahku, agar tidak mengantuk. Berbagai cara kami lakukan, mulai dari menyuapi camilan, menyanyikan lagu upbeat, mendengarkan podcast ardan nightmare, sampai mengisi kekosongan udara dengan ocehan tanpa makna.
Bergurau ke sana kemari, sampailah pada suatu ketika di mana bibir ini berucap, “Kenapa, sih? Ayah sama ibu lebih sering memposting kegiatan dede (adik) daripada aku? Sampe Kakak sepupu aja taunya cuma dede yang bisa badminton padahal aku sudah lebih dulu.” Awalnya hanya bergurau, tidak bermaksud serius, sungguh. Aku sudah keburu letih untuk meminta dipamerkan ke seluruh dunia secara sungguhan, bukan hanya oleh keluargaku, tetapi teman-temanku pun tidak pernah ada yang terlihat nyaman mengunggah fotoku di media sosial mereka. Aku sudah tidak berharap lebih dari orang-orang di sekitarku.
Tidak kusangka gurauanku tadi dianggap serius oleh kedua orang tuaku, terlebih ayah. Untuk pertama kali setelah beberapa waktu, suaraku didengar. Sejak saat itu, ayah selalu mengunggah foto-foto keseharianku, terutama kegiatan kuliahku di kampus yang prestisius itu. Tentu saja, hanya menjadi mahasiswi yang berkuliah di situ lah sumber kebanggan orang tuaku yang bisa dipamerkan ke penonton status whatsapp mereka. Tetapi tidak apa, hal itu tetap seperti rangkulan penenang bahwa menjadi seorang anak akan tetap lebih menyenangkan dan mungkin kamu akan memilih kembali ke masa ini di masa depan. Satu hal, ibu tetap lebih sering ingat untuk memamerkan anak kesayangannya.
Namun, sebelum masalah ini selesai, di mobil yang berjalan dengan kecepatan di atas 80km/h itu kami berdebat panjang soal alasan sebenarnya mereka tidak pernah mempostinugku, yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah karena diriku sendiri yang selalu menolak untuk difoto. Setelah kupikir kembali, hal itu tidak sepenuhnya salah. Aku berani dan lebih percaya diri untuk diposting sekarang, setelah lebih merawat diri, melakukan treatment ini itu untuk rambut supaya terlihat lebih rapi. Setelah diterima menjadi mahasiswi kampus bergengsi, karena validasi akademiklah sumber karbohidrat terbesar seorang anak pertama.
Ternyata bukan oleh keluarga sendiri saja dulu aku menolak untuk dijadikan tontonan, melainkan juga oleh mantan teman sebangkuku. Seorang teman yang sampai sekarang masih sering menghantui isi kepalaku. Tidak akan aku bahas sekarang, aku sudah terlalu sering menceritakan semua gejolak emosi yang kurasakan setiap memikirkannya, tetapi semua itu masih terasa belum cukup. Momen yang membuatku sadar kalau dia tidak nyaman untuk mengunggah fotonya bersamaku adalah ketika ia selalu menyelipkan waktu untuk berswafoto santai bersama semua teman-temannya yang lain di momen apapun, tetapi jarang sekali melakukannya denganku, padahal aku adalah salah satu orang yang paling sering menghabiskan waktu dengannya. Mungkin hanya perasaanku saja, entahlah, aku ingin membuang semua memori bersamanya.
1 note
·
View note