wall-of-word - Tumblr blog

[wall-of-word]

somewhere only we know 

[wall-of-word]

25 Napping Facts Every College Student Should Know

It makes you smarter According to Dr. Matthew Walker of the University of California, napping for as little as one hour resets your short-term memory and helps you learn facts more easily after you wake up.

Abandon all-nighters Foregoing sleep by cramming all night reduces your ability to retain information by up to 40%. If you can, mix in a nap somewhere to refresh your hippocampus.

It doesn’t mean what you think If you know you have to pull an all-nighter, try a “prophylactic nap.” It’s a short nap in advance of expected sleep deprivation that will help you stay alert for up to 10 hours afterwards.

You can’t avoid that down period after lunch by not eating Human bodies naturally go through two phases of deep tiredness, one between 2-4 a.m. and between 1-3 p.m. Skipping lunch won’t help this period of diminished alertness and coordination.

Pick the right time After lunch in the early afternoon your body naturally gets tired. This is the best time to take a brief nap, as it’s early enough to not mess with your nighttime sleep.

Hour naps are great A 60-minute nap improves alertness for 10 hours, although with naps over 45 minutes you risk what’s known as “sleep inertia,” that groggy feeling that may last for half an hour or more.

But short naps are best For healthy young adults, naps as short as 20, 10, or even 2 minutes can be all you need to get the mental benefits of sleep, without risking grogginess.

Drink coffee first The way this works is you drink a cup of coffee right before taking your 20-minute or half-hour nap, which is precisely how long caffeine takes to kick in. That way when you wake up, you’re not only refreshed, but ready to go.

The NASA nap A little group called NASA discovered that just a 26-minute nap increases performance by 34% and alertness by 54%. Pilots take advantage of NASA naps while planes are on autopilot.

Can’t sleep? Don’t stress Even if you can’t fall asleep for a nap, just laying down and resting has benefits. Studies have found resting results in lowered blood pressure, which even some college kids have to worry about if they are genetically predisposed to high blood pressure.

Napping may save your life A multi-year Greek study found napping at least three times per week for at least 30 minutes resulted in a 37% lower death rate due to heart problems.

More nap benefits for the brain Not only will napping improve your alertness, it will also help your decision-making, creativity, and sensory perception.

But wait, there’s more Studies have found napping raises your stamina 11%, increases ability to stay asleep all night by 12%, and lowers the time required to fall asleep by 14%.

The ultimate nap According to Dr. Sara Mednick, the best nap occurs when REM sleep is in proportion to slow-wave sleep. Use her patented Take A Nap Nap Wheel to calculate what time of day you can nap to the max.

Fight the Freshman 15 Research shows that women who sleep five hours at night are 32% more likely to experience major weight gain than those sleeping seven hours. A two-hour nap isn’t feasible for many, but napping is a good way to make up for at least some lost night sleep.

If it was good enough for them… Presidents JFK and Bill Clinton used to nap every day to help ease the heavy burden of ruling the free world. Of course, they also had other relaxation methods, but we won’t get into those.

Do like the Romans do In ancient Rome, everyone, including children, retreated for a 2 or 3-hour nap after lunch. No doubt this is the reason the Roman empire lasted over 1,000 years

Don’t wait too long The latest you want to wake up from a nap is five hours before bedtime, otherwise you risk not being able to fall asleep at night.

Sugar is not a good substitute for a nap When we are tired, we instinctively reach for foods with a high glycemic index, but after the initial energy wears off, we’re left more tired than we were before.

It’s a good way to catch up If it takes you less than five minutes to fall asleep at night, you are sleep deprived. If you never can seem to get to bed earlier at night, a mid-day nap is a great way to catch up on sleep.

Underclassmen need more sleep Freshmen and sophomores who are still in your teens: you need up to 10 hours of sleep to feel rested. So odds are, you are sleep-deprived.

You’ll have to leave the party sooner After one school-week of not getting enough sleep, three alcoholic drinks will affect you the same way six would when you are fully rested.

Don’t drive drowsy Don’t be afraid to take advantage of an “emergency nap” on the side of the road in your car. Every year, as many as 100,000 traffic fatalities are caused by sleepy people behind the wheel.

The Einstein Method If you are concerned about sleeping too long, do what Albert Einstein regularly did: hold a pencil while you’re drifting off, so when you fall asleep, the pencil dropping will wake you up. (We do not guarantee you will wake up with a 180 IQ.)

Missing sleep is worse at your age For people ages 18 to 24, sleep deprivation impairs performance more significantly than in other age brackets.

Source: Somewhere on Tumblr

[wall-of-word]

Hidup di Negara Orang itu...

1. Mimpi yang Tidak akan Pernah Terjadi

Setiap orang memiliki mimpi. Bagiku mimpi adalah sumber kehidupan, mimpi juga sebuah harapan, alasan mengapa aku harus bangun, karena aku harus mengejar mimpiku. Mimpi terkadang berubah seiring berjalannya waktu. Sewaktu aku SD, impianku adalah menjadi dokter. Normal bukan? Kebanyakan mimpi anak seumuran itu, kalo nggak jadi dokter, pilot, polisi, presiden, dll? Mungkin karena keluarga besarku, sebagian besar berkecimpung di dunia kesehatan, serta ibuku yang sering membawaku ketempat kerjaanya, yang mana beliau berprofesi sebagai perawat, muncullah inspirasi untuk menjadi dokter. Namun, seriring bertambahnya usia, logika yang terus bekerja, dan semakin banyak kekhawatiran yang datang dan pergi, aku merenungi kembali impianku tersebut. 

Suatu ketika, saat itu aku sedang bersama keluarga menonton film yang berjudul Splice, yang bercerita tentang ilmuwan yang meciptakan makhluk aneh dari beberapa macam DNA untuk kepentingan medis, yang ternyata membuahkan hasil yang berbeda. Penasaran? Tonton filmnya sendiri ya!^^ Anyway, dari situ aku mulai tertarik dengan genetika dan riset-riset. Aku mencari informasi, di jurusan apa aku harus belajar supaya aku bisa menjadi ilmuwan yang ada di film tersebut. Ternyata jurusan gen technik, mikribiologi, bioteknologi merupakan salah satu dari sekian banyak jalan kesana. Sayang jurusan tersebut masih jarang di Indonesia, jadi aku mengurungkan niatku untuk menjadi ilmuwan. Aku juga tidak bisa melanjutkan mimpi dokterku, karena ternyata aku baru menyadari bahwa aku tidak tega memotong jaringan kulit dan mengotak-atik isi tubuh manusia. Hhhii.. ngeri! Kalian para dokter, hebat!

Masa mendekati lulus SMA merupakan masa yang sulit untukku, karena saat itu aku masih belum tau aku harus kuliah di jurusan apa. Tiba-tiba, sebuah agen konsultan pendidikan luar negeri datang ke sekolahku melakukan penyuluhan. Dan dari situlah perjalananku dimulai. Perjalanan yang kadang aku sesali, namun lebih sering aku syukuri. Dan dari situlah aku mengetahui, bahwa harga dari suatu pengalaman adalah sangat mahal. It cost not only money, but your mentality too!

Dan sekarang, disinilah aku. Yang aku yakini sedang meraih apa yang aku inginkan. Banyak hal yang harus aku korbankan untuk meraih mimpiku. Keluarga, teman, saudara, uang, waktu dan cinta. Cinta? HAHAHA. I’ll tell you what ist it about later! ^^  Tapi apakah pengorbanan yang aku lakukan sekarang akan sesuai nantinya? Akankah itu menjadi apa yang aku inginkan? 

“Just like when you want to climb a higher mountain, you have to leave behind heavy burdens and move on. You have to give up things as we get higher.”

-Tower of God-

[wall-of-word]

Meet You Now

#Chapter 2 - It’s time to reminisce

Senang bertemu denganmu (lagi)

Malam telah merajai langit dan waktu pun merayap diantara udara dingin yang berhembus. Aku telah tiba di rumah salah seorang temanku dan segera aku merebahkan tubuhku di kasurnya. Rasa lelah seharian yang tertabung akhirnya berkurang. 

“Capek nih? Gimana kabarmu beberapa tahun nggak di Indo?” Tanya Eva. 

“Huf.. Nggak nyangka Yogya sepanas ini. Liat deh bajuku uda keringet semua, mana lengket banget nih badan. Mau mandi tapi males banget dah. Kuliah gimana nih? Anak UGM pasti sibuk deh yaa sampe nggak ada waktu buat chat gue!” balasku.

“Haha ini normal kali, nggak panas banget” (REALLY?!) “Ya gitulah, banyak proyek, aku juga anak himpunan jadi agak sibuk gitu, sorry!” celoteh Eva.

Dari situ percakapan kita ngalor-ngidul, mulai dari membahas masa SMP hingga gosipin kabar teman-teman sekarang. Eva adalah salah satu sahabatku, kami bertemu saat SMP. Selain kami merasa cocok satu sama lain saat ngobrol, rumah kami pun terletak tidak terlalu jauh. Saat aku bosan dan ingin bercerita, aku datang ke rumahnya. Tapi semenjak SMA, aku jarang menemuinya karena selain sekolah kami berbeda, jadwal kami juga selalu tumpang-tindih. Aku yang mulai sibuk dengan kegiatan sekolah baruku, sementara Eva yang sibuk dengan lomba-lomba yang diikutinya. Eva merupakan siswa teladan di sekolahnya, itulah yang selalu membuatku terkagum padanya. She’s so charming. Don’t get me wrong. Disaat aku membenci diriku sendiri yang gagal dalam ujian penerimaan sekolah favorit kami, Eva justru memiliki pandangan lain. Dia memandang bahwa kegagalan yang membuatnya kini banyak meraih kemenangan di setiap lomba yang diikutinya. Kegagalan bukan membuatnya lemah, namun membangun keberanian untuk berdiri lagi lebih tegar. 

“Kadang aku iri deh sama kalian yang sekolah di sini. Aku ngerasa aku terlalu benci sama diriku sendiri.” 

“Hey, kesuksesan nggak bisa diraih dari seneng-seneng aja. Kamu harus berkorban. Semakin banyak yang kamu korbankan, kesuksesan juga bakalan dateng kok, jangan gitu dong tapi kalo kamu mau sekolah di sini juga nggak apa kok, sini jadi anak Yogya haha. Kenapa tiba-tiba gini? Btw, siapa tadi yang anter kamu kesini?” 

“Oh, dia temen sd ku. Selain kamu, dia cuma dia yang aku kenal disini, kamu kuliah sampe jam 6, ya aku minta tolong dia buat jemput aku di halte deh.” jawabku.

“Yakin cuma kita? Trus di dia gimana?” 

“Aku tau kamu pasti bakalan bilang gitu. Taulah, aku kesini buat ketemu kamu, bukan dia. Jadi bisakan kita nggak usah bahas dia?” Jawabku dengan acuh.

Kling. You have new message!

Cafe deket kos-an Eva ya, jam 8 malem. Kita tunggu disitu. M.

“Va, kamu ada waktu nggak? Temeni aku ketemu temenku yang lain itu mau nggak?” 

The Late Message

Waktu menunjukkan pukul 8 malam dan disinilah kami. Aku bertemu dengannya, kami pun berjabat tangan tetapi mengapa rasanya berat sekali. Seakan ada bongkahan batu yang menindih dadaku. Dadaku terasa sesak dan aku tak ingin menatap matanya. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Setiap orang pasti berubah, itulah faktanya, tetapi mengapa aku merasa kau tidak berubah. Kamu memang bertambah tinggi,  kulitmu jadi lebih gelap karena hobimu serta aktifitasmu, kamu jadi lebih keren(?) I must be crazy! Tapi mengapa tidak ada yang berbeda dari caramu berbicara serta memandangku? Sesuatu hal yang kubenci darimu. Alasan mengapa aku tidak ingin bertemu denganmu. Aku ingin mengunci diriku darimu.

“Yo, akhirnya ketemu juga. Eva juga ada di sini ternyata” sapa M.

“Sorry ya join-join, diminta sama si bocah ini, nih.” tuduh Eva padaku. 

“Hai... Gimana kabarmu? Uda lama nggak ketemu ya.” sapaku padanya.

“Baik. Lagi liburan ya? Balik dari tanggal berapa emang?” balasnya.

“2 minggu yang lalu...” jawabku, lalu mendadak suasana menjadi sunyi, hanya alunan lagu dari cafe yang terdengar diantara kami. Eva sibuk dengan hapenya, dan aku bisa merasakan keanehan M diantara suasana ini. Karena kesal, akhirnya M memecah suasana dengan membuka topik baru untuk kami. Disitulah kami memulai percakapan kami hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 12 malam. Eva pun mulai mengeluhkan baterai hapenya yang sudah menipis hingga hapenya mati serta aku yang mulai merasa lelah dengan aktifitas seharian yang ku jalani. 

“Batre hapeku habis, besok kuliah jam 10, gimana kalo balik sekarang?” sindirnya.

“Oh, yaudah yuk. Aku juga capek seharian ini. Besok aku juga mau ikut kelasmu, biar ngerasain jadi rasanya jadi anak UGM ^^.” balasku.

“Hah? Kurang kerjaan banget sih. Kenapa nggak jalan-jalan aja sih mumpung di sini?” sambung M.

“Biarinlah, sirik aja sih. Eva nggak bisa ninggalin kelas, makanya daripada dirumah mending ikut dia ke kampus, sekalian liat kualitas cowo kampusnya hahaha” 

“Kan ada ini anak, temeni napa sih? Ada aku juga yang siap sedia jadi tour guide kamu, kok bingung, haha”

“Apaan sih, nggak usah repot-repot. Aku mau jadi anak kampus buat sehari. Selesai. Balik yuk, ngantuk. Kita balik duluan ya, makasih uda mau luangin waktunya buat ketemuan.” akhirnya aku mengakhiri pertemuan kami, dan kami (aku dan Eva) kembali menuju kos-an.

Dalam perjalan menuju kos-an Eva bertanya padaku.

“Kamu masih ada rasa sama dia? Aku harap kamu nggak balikan sama dia.”

“Va, kamu aneh deh, cuma gara-gara ketemuan gitu kamu bisa mikir gini. Dasar!”

“Aku bilang gini karena aku temenmu, aku tau kamu.”

Salah satu yang membuatku kesal pada Eva adalah karena hampir seluruh tebakannya benar, dan aku selalu menebaknya dengan salah, dia terlalu mengerti aku, tetapi aku tidak terlalu mengerti akan jalan pikirannya yang unik. Tapi apakah tebakannya kali ini juga benar? Aku sendiri bahkan tidak memikirkan hal ini sebelumnya. 

Sesampainya di kos-an Eva, aku dan dia segera mengurus hape kami yang telah sekarat akan baterai. Setelah membersihkan badan, kami pun segera tidur karena besok akan sangat melelahkan dengan segudang aktifitas kami.

Pagi pun datang. Waktu menunjukan pukul 6 pagi. Aku terbangun dengan suara alarm hp Eva yang tak kunjung dimatikannya. Ku lempar hp-nya kepadanya, dan alarm pun mati. Disaat itu juga aku bergegas mencabut hpku dari charger dan mengaktifkannya kembali. Aku memliki kecendurangan mematikan hp ketika tidur, agar tidur lebih nyaman. 

Kling. You have one new message!

From : Him

Time : 2.50 a.m

Daripada besok ke kampus sama Eva, kamu mau nggak pergi sama aku?

[wall-of-word]

Meet You Know

#Chapter 1 - Pertemuan yang Tidak Terencana 

Aku tidak mengerti, mengapa selalu ada alasan agar kita bertemu? 

Cuaca hari itu sangat cerah. Hm.. Di kota dimana aku dibesarkan, matahari selalu setia menemani. Hanya sesekali dia ‘ngambek’ lalu bersembunyi dibalik awan. Ditemani es kopi dan roti ayam, aku mengisi perutku ditengah perjalanan menuju ke stasiun bis. Seperti biasa, keterlambatan merupakan hal yang lumrah di sini. Setelah menunggu 30 menit, akhirnya bisku pun datang. Aku menunjukkan tiket bis kepada petugas cantik itu. Disitu tertulis “Jurusan Semarang - Yogyakarta” - dengan senyum si petugas memberikan kembali tiketku serta memberikan sebuah kotak. Penasaran, segera ku membuka isi kotak tersebut. Di dalamnya berisi roti dan segelas air putih. Karena aku telah sarapan, ku letakkan kotak tersebut dipangkuanku. Perjalanan menuju kota tujuan memakan waktu 3 jam, karena keterlambatan akhirnya kami menemui kemacetan dan perjalanan pun diperpanjang sejam. Satu jam pertama, aku menikmati pemandangan di sisi kiri bis, namun lama-kelamaan rasa kantuk kuputuskan untuk mengistirahatkan mataku sejenak. Perjalanan ini adalah perjalanan pertama sendirian yang aku lakukan setelah 3 tahun aku berada jauh dari negara kelahiranku. Sebelumnya aku belum pernah melakukan perjalanan menggunakan bis umum sendirian, aku selalu pergi bersama keluargaku dengan mobil pribadi. Namun, 3 tahun terkahir ini hidupku mendadak berubah. Semuanya ku lakukan sendiri. Mau tidak mau, rela tidak rela, karena aku harus melanjutkan pendidikanku di luar negeri. Kali ini pertamaku pulang setelah 3 tahun, dan aku ingin melakukan apapun sendiri, karena aku pikir hal itu mudah. Pendidikan mandiri yang aku jalani selama 3 tahun terakhir membangun keyakinanku akan suksesnya perjalanan ini. Tapi ironinya, rencana selalu berbanding terbalik. Perjalanan ini tidaklah mudah –”

Kling. Tanda pesan masuk berbunyi.

Kamu sampe jam berapa? Aku ada kuliah dadakan nih. Mungkin aku sampe halte telat 1-2 jam. Gimana?

Kegagalan rencana pertama 

Ok. Aku tunggu di halte. 

Harusnya aku tau, hidupku memang selalu jauh dari rencana. Waktu kecil, aku bermimpi menjadi seorang dokter, namun mimpi adalah mimpi. Seiring bertambahnya usia, disitulah mimpimu perlahan memudar. Membuka mata lebih lebar dan berpikir lebih luas merupakan hal yang terkadang kupikir mengerikan. Aku pun menyerah pada mimpi kecilku. Saat aku gagal memasuki ujian penerimaan sekolah tingkat atas idamanku, semakin aku berpikir untuk mengacuhkan seluruh harapanku. Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kamu terus mengeluhkan ketidakadilan ini, kamu lemah. Disaat itulah aku merasa aku lemah dan bodoh. Aku yang saat remaja tidak pernah berpikir panjang, saat ini sedang membayar akibatnya. 

Perjalananku di kota Yogya sendirian untuk pertama kalinya. Entah mengapa menjadi pengalaman yang cukup berkesan. Mulai dari titik ini…

satu setengah jam kemudian.

Halo! Hehehe. Maaf ya, aku nggak tau kalo ada kelas dadakan. Mau cabut juga nggak bisa, hehehe. 

Aku memandangnya dengan tatapan terkejut dan tak percaya. Dia adalah teman masa kecilku, kami berteman karena sekolah di tempat yang sama, dan sekolah kami terletak ditengah perkampungan suatu daerah di kota asalku. Karena letak sekolah kami, tidaklah sulit untuk tetap menjaga komunikasi dengan mereka dan hal ini berjalan hingga kami tumbuh dewasa. Teman masa kecilku yang dulu masih ingusan, kini telah tumbuh dewasa, dan mereka telah memiliki jalan hidup mereka sendiri. Begitu pula dengan bocah satu ini. Kini dia menjadi salah satu mahasiswa di universitas ternama di Yogya. 

“Waaahh kamu beda banget! Tambah ndut aja! Hahaha.” sapaku

“Iya, hebat ya kamu nggak berubah, tetep berisi!” balasnya.

“Sial! But thanks for your honesty.”

Setelah kita saling menanyakan kabar, kami pun memutuskan untuk pergi ke suatu cafe. Kami membunuh waktu dengan berbincang-bincang mengenai kabar teman masa kecil kami. Waktu berjalan, dan aku harus mengakhiri percapakan kami, karena harus bertemu temanku yang lain. Sebelum berpisah dengannya, dia menanyakan satu hal kepadaku.

“Kamu nggak mau ketemu dia? Mumpung kamu di sini. Kapan terakhir kali kamu ketemu dia? Kamu nggak mau tau kabar dia?”

Sejenak aku terdiam. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, tapi aku selalu mendengar kabar tentangnya. Ini membuatku seolah terobsesi dengannya. This is insane! Mungkin memang obsesi, karena aku selalu mengingat hari ulang tahunnya, selalu mengucapkan selamat kepadanya meskipun mengucapkan selamat ulang tahun merupakan hal yang kubenci, selalu mencari tahu tentang kabarnya, yaa.. panggilah aku penguntit gila. Mendengar kabar baik tetangnya, adalah salah satu sumber kebahagiaanku dalam bertahan di tempat dimana kebahagiaan serasa sulit untuk ditemukan. Namun ketika dia sedih, aku ingin berada di sampingnya, meskipun aku bukanlah seseorang yang pandai dalam membuat nyaman orang di sekitarku, tapi bukankah lebih baik kamu tidak sendiri, karena aku merasakan bagaimana berteman dengan kesendirian. Kesendirian merupakan hal yang ditakuti oleh manusia, begitu pula kesedihan. Kesedihan merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi sebagian manusia. Itulah yang yang aku rasakan hingga saat aku menemukan suatu titik dimana kesedihan itu merupakan tolak ukur seseorang dalam mengucap syukur kepada yang Maha Kuasa. Karena tidak ada kesedihan yang abadi.

“Bertemu dengannya? Buat apa? Bukannya dia nggak mau ketemu sama aku lagi ya? Dia pasti sekarang baik-baik aja.” jawabku dengan senyum pahit.

“Aku udah nanya ke dia, dia bisa ketemu malem ini, gimana mau ketemu nggak? ayolah, anggaep aja ketemu temen lama”

I wish I could say so…

Aku berharap aku bisa menolaknya. Once again, life won’t cooperate with me.

[wall-of-word]

I’ll stay in silent. I’ll try enough to see from a distance and i’ll never forget...  You

[wall-of-word]

Relax and Breathe

If you want to enjoy your life today …

1. Make peace with the past and decide to let it go.

2. Choose to be present and to focus on this moment.

3. Smile and laugh often; enjoy the little things.

4. Be positive and grateful; remember ALL life’s blessings.

5. Don’t allow other people to affect your happiness

6. Don’t listen to, or ruminate on, empty lies and gossip.

7. Be patient in your struggles - and know that trials end.

[wall-of-word]

Handwritten Letters Are Most Honest

There are many ways to communicate: paper and pen, emails, face to   face, telephone, instant message. Some researchers have been interested in whether there are differences in how honest we are based on the   medium.

92% of the graduate students lied – Charles Naquin   from DePaul University and his colleagues have conducted research on how  honest people are when they communicate with emails vs. pen and   paper. In one study, forty-eight graduate business students were given   $89 (imaginary money), and had to decide whether to tell their partner   how much money was in the “kiddy”, as well as how much of the money to   share with their partner. One group communicated by email and the other group by writing on pen and paper. The group that wrote emails lied   about the amount of money (92%) more than the group that was writing by hand (63%). The email group was also less fair about sharing the money.  In addition, participants in the email group felt justified in not being  honest or fair.

Keep reading

[wall-of-word]

People act according to the way they experience the world. If you can understand their experience, you can understand their behavior.

 R.D. Laing, The Politics of Experience (via psych-facts)

[wall-of-word]

Things you shouldn’t have to apologize for

1)      Caring about something/someone

2)      Not looking your best

3)      Being depressed

4)      Asking for help

5)      Reject being forced into doing something you don’t want to do

6)      Following what you believe is right for you and not what’s right for everyone else

7)      Lending a hand to your friends in need

8)      Crying

9)      BEING YOU

Life hacks/Tips Here

[wall-of-word]

Are you a Thinker or Feeler

Thinkers

1. When faced with a decision or choice, the thinker automatically focuses on facts, and applies logic to the situation.

2. He or she subconsciously notices tasks and work that needs to be done.

3. Thinkers find it easy to provide an objective analysis of any situation. They’re guided by rational reasoning.

4. They view conflict as a natural and normal part of relationships. It doesn’t always mean that something is wrong, or relationships are going to fall apart.

Feelers

1. When faced with a decision or choice, feelers are guided by their gut reactions, and listen to their feelings and immediate response. They’re especially concerned about hurting other people, or making life more difficult or painful for them.

2. They intuitively pick up on people’s feelings and reactions – and they notice body language and non-verbal cues.

3. In reaching decisions, they want to hear others’ opinions, and they seek a consensus, or a fair compromise.

4. They are distressed by conflict, and dislike when people argue. Their ultimate goal is peace and harmony.

[wall-of-word]

23 Emotions People Feel But Can’t Explain

Sonder: The realization that each passerby has a life as vivid and complex as your own.

Opia: The ambiguous intensity of Looking someone in the eye, which can feel simultaneously invasive and vulnerable.

Monachopsis: The subtle but persistent feeling of being out of place.

Énouement: The bittersweetness of having arrived in the future, seeing how things turn out, but not being able to tell your past self.

Vellichor: The strange wistfulness of used bookshops.

Rubatosis: The unsettling awareness of your own heartbeat.

Kenopsia: The eerie, forlorn atmosphere of a place that is usually bustling with people but is now abandoned and quiet.

Mauerbauertraurigkeit: The inexplicable urge to push people away, even close friends who you really like.

Jouska: A hypothetical conversation that you compulsively play out in your head.

Chrysalism: The amniotic tranquility of being indoors during a thunderstorm.

Vemödalen: The frustration of photographic something amazing when thousands of identical photos already exist.

Anecdoche: A conversation in which everyone is talking, but nobody is listening

Ellipsism: A sadness that you’ll never be able to know how history will turn out.

Kuebiko: A state of exhaustion inspired by acts of senseless violence.

Lachesism: The desire to be struck by disaster – to survive a plane crash, or to lose everything in a fire.

Exulansis: The tendency to give up trying to talk about an experience because people are unable to relate to it.

Adronitis: Frustration with how long it takes to get to know someone.

Rückkehrunruhe: The feeling of returning home after an immersive trip only to find it fading rapidly from your awareness.

Nodus Tollens: The realization that the plot of your life doesn’t make sense to you anymore.

Onism: The frustration of being stuck in just one body, that inhabits only one place at a time.

Liberosis: The desire to care less about things.

Altschmerz: Weariness with the same old issues that you’ve always had – the same boring flaws and anxieties that you’ve been gnawing on for years.

Occhiolism: The awareness of the smallness of your perspective.

Source John Koenig, writer and creator of The Dictionary of Obscure Sorrows.

[wall-of-word]

Sleep Paralysis | Ep. 1 of Psych2go’s 12 Disturbing Sleep Disorders Series

[wall-of-word]

The scariest thing about distance is you don’t know whether they’ll miss you or forget about you.

The Notebook (via onlinecounsellingcollege)

[wall-of-word]

7 Key Insights on Self Love

1. I need to affirm and to validate myself as it’s hard to accept validation from others if, deep down inside, I don’t believe it’s true.

2. My time is valuable as anybody else’s so I need to prioritise what I need to do.

3. I can’t give to others, and help to build them up, if I’m not taking care of my own self first.

4. I need to remember that I’m worthy of love, of success, opportunities, and knowing happiness.

5. My opinions are as valuable as anybody else’s. It’s up to me to decide and to choose my own beliefs.

6. I don’t have to explain why I do what I do (unless you’re the police or have some authority!)

7. My past does not define me - I’m free to change and grow, to try on different “me”s, and to set inspiring goals.

[wall-of-word]

keep going

no matter how bad things are right now.

no matter how stuck you feel.

no matter how many days you’ve spent crying.

no matter how many days you’ve spent wishing things where different. 

no matter how hopeless and depressed you feel.

i promise you won’t feel this way forever. keep going

[wall-of-word]

Human Heart Grown from Stem Cells

Often times organ transplants are the only way to save someone’s life that has a failing organ.  But living organs are hard to come by and waiting lists are long.  Then there are the challenges with having the body accept the an external transplant.

Scientist are working on a new way to source replacement organs, bioengineering then in a lab.  They have already made progress to creating bioengineered human hearts, creating functional human heart tissue.  Currently it still requires using a donated heart but one that is infused with cells of the recipient.

The technique involves re-populating a decellularised organ – stripped of the original donor’s living cells – with new cardiac tissue grown from the potential recipient’s induced pluripotent stem cells (iPSCs). In effect, the donor heart is stripped of the components that would trigger an immune response from the recipient, and is replaced with the recipient’s’ own cardiac muscle cells.

“Regenerating a whole heart is most certainly a long-term goal that is several years away, so we are currently working on engineering a functional myocardial patch that could replace cardiac tissue damaged due [to] a heart attack or heart failure,” said researcher Jacques Guyette from the Massachusetts General Hospital Centre for Regenerative Medicine (CRM).

Harald Ott was the lead surgeon and documented the study in Circulation Research.  Ott previously developed a decellularisation procedure to strip living cells from rat organs with a detergent solution, then repopulated with organ-appropriate grown cells.  In his this new study, the multi-stage process was conducted on human hearts for the first time.

“Generating functional cardiac tissue involves meeting several challenges,” said Guyette. “These include providing a structural scaffold that is able to support cardiac function, a supply of specialised cardiac cells, and a supportive environment in which cells can repopulate the scaffold to form mature tissue capable of handling complex cardiac functions.”

The study used 73 human hearts authorised for scientific research.  The researchers induced pluripotent cells to differentiate into 500 million cardiac muscle cells.  They then seeded those cells into the tissue of the decellurised hearts.

The cardiac muscle cells started spontaneously contracting.  The researchers say this represents the first regeneration of human heart tissue from pluripotent stem cells.  The beating organs were then mounted in a automator bioreactor system that provides the muscle with a nutrient solution and simulates other conditions of a living heart.

“Among the next steps that we are pursuing are improving methods to generate even more cardiac cells – recellularising a whole heart would take tens of billions – optimising bioreactor-based culture techniques to improve the maturation and function of engineered cardiac tissue, and electronically integrating regenerated tissue to function within the recipient’s heart,” said Guyette.

#StemCells http://www.outoftheboxscience.com/health/biotechnology/human-heart-grown-from-stem-cells/