Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Deskripsi Keadaan

Deskripsi Video
Dalam rekaman berdurasi 17 detik tersebut terlihat seorang lelaki berteriak dengan lantang sambil memegang bendera Palestina yang terikat pada balon disuatu jalan dibawah terik matahari.  Teriakan takbir dan protes kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengiringi pelepasan balon tersebut ke udara yang disambut meriah oleh orang – orang disekitarnya, baik dari orang – orang yang sejak awal ada dihadapannya bersama alat perekam maupun sebagian lainnya yang berdiri tegak memegang bendera Palestina.  Aksi tersebut diperkirakan terjadi di Palestina sewaktu Joe Biden menyambangi Rumah Sakit Augusta Victoria di Yerusalem Timur sebagai bagian dari rangkaian tur Timur Tengahnya.
Dalam janji kampanye Joe Biden sewaktu pilpres di Amerika Serikat silam, Ia mengatakan akan melakukan upaya untuk mengakhiri konflik puluhan tahun antara Israel dan Palestina. Namun, Pro-Palestina mempertanyakan netralitas Amerika Serikat sebagai penengah konflik Israel – Palestina yang selama ini diketahui bahwa sebagian besar bantuan Amerika Serikat turun lebih banyak ke negara Israel.
Biden dalam kunjungannya ke Rumah Sakit Augusta Victoria pada 15 Juli 2022 mengatakan bahwa dirinya akan bekerja untuk memastikan bahwa Palestina dan Israel menikmati kebebasan, keamanan, kemakmuran, dan demokrasi yang setara. Pada kesempatan yang sama pula Biden berjanji akan memberikan paket bantuan keuangan dan teknis senilai 100 juta dolar Amerika Serikat kepada rumah sakit yang menjadi tulang punggung sistem perawatan kesehatan Palestina ini.
0 notes
Text
Sepinya, Sepi seorang The Sin Nio, Pejuang Wanita asal Wonosobo di Akhir Hayatnya

“Saya sudah memilih ikut sejarah kemerdekaan, meski sebetulnya saya tahu; sejarah itu tidak ingin membawa saya. Karena itu, saya tidak takut dilupakan. Yang penting saya sudah merampungkan kewajiban saya pada apa yang saya yakini.”
Begitu kata Sin Nio yang dimainkan oleh aktris Laura Basuki dalam Monolog "Sepinya Sepi". Monolog tersebut merupakan episode ketiga dari seri monolog  “Di Tepi Sejarah” yang dibuat oleh Titimangsa Foundation
dan KawanKawan Media Bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi kali ini meangkat kisah seorang pejuang wanita peranakan tionghoa asal Wonosobo, The Sin Nio atau mungkin selama ini dikenal oleh rekan satu kompinya di Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 sebagai Mochamad Moeksin. Seperti tokoh monolog lainnya, The Sin Nio juga salah satu tokoh yang ada dalam pusaran sejarah namun tidak dikenal dan disadari kehadirannya dalam kisah – kisah heroik nan romantis kemerdekaan Republik Indonesia.
The Sin Nio, lahir di Kertek Wonosobo. Anak pertama The Ing Liang dan Ong Swan Nio, keluarga Tionghoa pembuat kue mangkok di Gudang Malang Wonosobo. Pada saat perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 alih – alih menjalani kehidupan wanita pada umumnya dimasa itu, ternyata panggilan meangkat senjata dan berjuang di garda terdepan lebih cocok dengan jati dirinya. Walaupun dengan memilih jalan tersebut, The Sin Nio harus rela kehilangan identitas nama, agama, ras dan gender agar dapat diterima sebagai bagian dari pejuang revolusi.
Sekilas kita akan melihat kemiripan kisah dengan karakter kartun animasi Disney Fa Mulan, sama – sama menyamar menjadi seseorang laki – laki agar bisa ikut berperang membela negara. Tapi sayang kisah pengakuan kepahlawanan seorang The Sin Nio dan Fa Mulan jauh berbeda. Butuh waktu delapan tahun semenjak kedatangannya ke Jakarta tahun 1973, dirinya baru mendapatkan pengakuan sebagai Veteran berdasarkan Surat Keputusan yang ditandatangani Wakil Panglima ABRI, Laksamana Sudomo pada 15 Agustus 1981.
Namun secarik kertas pengakuan tersebut ternyata tidak otomatis membuatnya mendapatkan hak sebagai Veteran Republik Indonesia sesuai Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1967 kala itu. Butuh waktu hingga akhirnya tunjangan bulanan sebesar Rp26.000 dapat dinikmati untuk bertahan seadanya di sebuah gubuk dipinggiran rel kereta api Juanda Jakarta Pusat setelah berpindah – pindah dari kantor Legiun Veteran sampai masjid. Janji diberikan tempat tinggal di Perumnas oleh Menteri Perumahan Rakyat kala itu pun tak terlaksana sampai The Sin Nio menutup usia di tahun 1985.
Cerita hidup The Sin Nio yang mampu menjalarkan semangat nasionalisme namun sesak tatkala berhadapan dengan kenyaataan birokrasi negeri ini. Dalam menggarap naskah, Ahda Imran selaku penulis berpedoman pada tiga sumber berita di antaranya Majalah NOVA tahun 1984, Suara Merdeka tahun 1980-an, Koran Sarinah di 1984 dan kontak dengan cucu dari The Sin Nio yang dibantu Museum Peranakan Tionghoa. "Saya menulis dua naskah, penulisan mencoba bukan hanya menghadirkan dan mengenalkan kedua sosok yang berada di tepian sejarah saja tapi juga melakukan penafsiran," tuturnya saat jumpa pers virtual.
Monolog Sepinya Sepi yang tayang perdana pada tanggal 22 Agustus 2021 ini mampu membawa kita merasakan kedalam kehidupan The Sin Nio yang tinggal di bantaran rel kereta, menua dan sendiri. Transformasi penampilan dan penghayatan Laura Basuki  sungguh meyakinkan kita bahwa The Sin Nio hidup kembali dan berbicara kepada kita bahwa mencintai tanah air adalah hak dan kewajiban setiap rakyat. Disisipkannya penggunaan Bahasa Mandarin mengingatkan kembali ternyata kemerdekaan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia terlepas apapun ras, suku, gender dan agamanya. Lakon demi lakon mengalun senada dengan musik gubahan Achi Hardjakusumah yang menambah kita terhanyut dalam suasana sehingga tiga puluh menit berlalu mungkin tanpa disadari. Tidak salah nama besar seperti Happy Salma, Yulia Evina Bhara, Helianasinaga, Ahda Imran, dan Yosep Anggi Noen berada dibelakang penggarapan pementasan kali ini. Pementasan monolog Sepinya Sepi masih bisa ditonton di laman https://indonesiana.tv .
The Sin Nio, seorang wanita pemberani asal Wonosobo, janda dengan 6 orang anak, pejuang revolusi yang hanyut dalam pusara sejarah kemerdekaan, dan seorang Veteran yang belum tuntas terpenuhi haknya menutup kisahnya di usia 70 tahun di TPU layur Rawamangun yang mana makamnya sudah tak bisa lagi ditemukan karena tertimpa makam lainnya. Sebagian besar orang mungkin berpikir ini adalah akhir yang tragis dimana makamnya bahkan tidak mendapatkan tempat dan nama, namun mungkin ini adalah isyarat bahwa bumi pertiwi memeluk dan menempatkannya bersama rakyat yang dibelanya tanpa kesepian lagi. The Sin Nio, anda benar – benar tidak merepotkan bangsa anda!
3 notes
·
View notes
Text
Menulis, Latihan menjadi Bagian Pertunjukan
Menonton & Menulis, Tulislah Apa yang Kau Tonton
Penonton adalah elemen dari seni pertunjukan, bagaimana cara merespon dan perspektif pihak ketiga suatu pertunjukan biasanya dinantikan oleh para penggiat seni guna perbaikan pementasan selanjutnya. Namun sayangnya suatu pertunjukan hanya diulas dari sisi informasi media massa dan berakhir dengan hingar bingar perayaan.
Hal serupa di utarakan oleh pengampu kelas Reportase Seni Pertunjukan, Ahda Imran. Kang Ahda, begitulah panggilan akrabnya, seseorang yang tidak asing dalam penulisan dan seni. Terakhir novel biografinya berjudul “Jais Darga Namaku” terpilih mengikuti Berlinale Festival 2022 di Berlin. Beliau mengungkapkan hal yang menjadi perhatian dan keresahan kurang tumbuhnya catatan perspektif penonton yang kalaupun ada masih terlalu baku dan tidak terlihat gaya penulis yang orisinal. Teori diperlukan tapi kita jangan terlalu tunduk atas aturan tersebut, ada ruang improvisasi yang bisa kita garap lebih lanjut dan hal ini lah yang melatarbelakangi diadakan kelas penulisan ini kata kang Ahda pada kesempatan pembukaan kelas batch pertama yang dilakukan secara daring malam tadi.
Kelas ini dilaksanakan mulai dari tanggal 9 - 24 Juli 2022 setiap sabtu dan minggu yang diiikuti oleh 8 peserta dari berbagai latar belakang profesi dengan satu kesamaan kegemaran yaitu sebagai penikmat seni. Kelas pertama yang berlangsung satu setengah jam dari jam 19.30 ini memberikan materi pengenalan terkait reportase, teori penulisan dasar, dan seni pertunjukan secara umum dibawakan secara interaktif oleh narasumber dan dipandu oleh Haikal sebagai perwakilan dari Titimangsa.
Diharapkan diakhir kelas para peserta mampu menjadi “jurnalis” yang dinantikan oleh para penggiat seni untuk memberikan umpan balik dari perspektif kursi penonton. Sebuah seni harusnya bukan hanya abadi diingatan penikmatnya tapi juga abadi secara tulisan, begitulah saran Pramoedya A. Toer agar tidak hilang dalam masyarakat dan pusaran sejarah.
0 notes