wsdjambak
wsdjambak
'KATA' dalam Tempurung
43 posts
Kopi, engkau dan aksara
Don't wanna be here? Send us removal request.
wsdjambak · 5 years ago
Text
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3360593440620976&id=100000110599145
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
RAJA PARA BINATANG
Oleh: WS. Djambak
Seringkali, ketika kita disamakan dengan Hewan, atau dimaki dengan menggunakan nama salah satu binantang, tak pelak kita akan tersinggung, bahkan marah.
Bisa dimaklumi, karena, bagi manusia, disamakan dengan Hewan merupakan suatu penghinaan Yang teramat fatal.
Manusia selalu beranggapan bahwa mereka merupakan kaum tercerahkan Yang berhak menguasai segala alam dan seisinya. Dengan penghargaan dari Tuhan atas adanya kemampuan untuk menalar, maka manusia berupaya mengklasifikasikan kaum mereka sebagai makhluk di luar golongan Hewan dan iblis. Kendati para biologist memasukkan mereka dalam tingkatan taksonoki kerajaan Hewan.
Okelah, kita anggap saja manusia bukan hewan. Dengan kepintaarannya, manusia merumuskan segala bentuk hukum untuk menciptakan tatanan hidup Yang aman dan makmur dalam bermasyarakat.
Bentukan hukum itu dirumuskan dalam sebuah adat, tradisi hingga undang-undang Yang mengedepankan nilai positif kemanusiaan dan k emberikan sanksi atas pealanggaran Yang ada. Tentunya, diharapkan dengan adanya hukum ini, para manusia akan terhindar dari tradisi hukum rimba'nya para binatang, dimana terjadi proses tekan dan menekan oleh so kuat terhadap Yang lemah.
Namun berjalannya waktu, manusia seakan lupa bahwa mereka adalah hewan Yang berpikir.
Kebuasan Yang disertai krmampuan nalar justru sangat berbahaya, mengingat bahwa nalar tidak digunakan untuk menekan sisi liarnaya, melainkan untuk menunjang kemampuan tempurnya.
Bahkan, Mengutip perkataan seorang bijak, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Ia tak segan-segan menghabisi musuhnya dengaan cara sekeji-kejinya dan semenyakitkannya.
Jika harimau menerkam tengkuk mangsa untuk mematikannya segera, ular memakan 1 ekor mangsa untuk 1 periode tidurnya, maka manusia tidak.
Menyiksa lawan, membunuh perlahan, agar hasratnya kenyang.
Maka, mungkinlah jika saya seorang fasik dan kafir Yang tidak mengimani Allah, tentunya saya akan berkata bangsa saya sendiri (manusia) adalah perkawinan silang antara hyena dan iblis dan menobatkannya menjadi raja para binatang, jika saja tidak ada dalil yaabg mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin.
Untung saja, Dalam surah lain, Allah berkata bahwa terjadi kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia.
Lantas, jika menjadi pemimpin, kenapa Merusak?
Semuanya dijelaskan Allah lagi, AGAR KITA BERPIKIR.
Bahwa pemimpin, ada juga Yang lalim.
Mari kita doakan pemimpin kita, semoga diberi lindungan oleh Allah dan dijauhkan dqri hal tersebut.
Angkat senjatamu wahai muslimin.
Dan senjata bagi muslim adalah do'a (alhadist)
~tabik~
3 notes · View notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
WAJAH BURUK DEMOKRASI
Sebagai awam yang bukan pengamat dan penikmat politik, untuk kesekian kalinya saya dibuat takjub dengan kejadian bunuh membunuh antar anak bangsa. Sebelum ini, kabar terakhir yang saya dengar (mungkin ada kabar terbaru) ada sekitar tiga orang mahasiswa yang tewas akibat aksi demosntrasi menuntut pembatalan UU KPK dan lain sebagainya, ratusan yang lainnya luka-luka. Lucunya, konon katanya peluru yang dibeli dengan uang rakyat, malah sekarang bersarang di salah satu dada mahasiswa yang bernama Randi. Mungkin dahulu Randi tidak pernah menyangka bakalan mati diterjang peluru ketika mencoba menerjang barisan tameng polisi bak banteng matador yang marah melihat tarian bendera merah oleh Matador-nya. Orangtua Randi yang seorang nelayan, tentulah tidak pernah berharap bahwa anak yang dicita-citakan dapat merubah perekonomian keluarga dari nelayan tangkap, jadi pengusaha budidaya, akan layu seblum berkembang. Randi gugur menguncup dicabut oleh penjaga kebunnya sendiri.
Belum habis duka kita tentang kematian adik-adik, darah Minang saya mengelegak mendengar kabar polohan perantau Minang mati dengan mengenaskan akibat adanya pembantaian di Wamena- Papua. Puluhan Ribu dipaksa mengungsi dan ribuannya diharuskan eksodis meninggalkan tanah pengharapan mereka. Mereka yang berhijrah dari tanah kelahirannya, berharap menemukan kehidupan yang lebih baik, sekarang dipaksa lagi untuk berhijrah (kembali) akibat tanah yang tidak ramah. Slogan-slogan kitorang samua basudara yang sudah lama digumamkan, hanya sekedar retorika pemanis basa-basi dalam interaksi, sedang kita tidak pernah dianggap saudara oleh merekaa yang berkulit hitam, mungkin begitu pikirnya. Sedang di lain sisi, mungkin para kaum Aswad, yang selama ini merasa sudah menerima kaum pendatang dengan baik, diperlakukan tidak sepantasnya oleh pendatang yang tidak tau diadat, hingga akhirnya, puncak kada mereka seakan tergosok dan membuat mereka mamburansang mengamuk kesana kemari ibarat banteng kebakaran ekor. Menanduk ke kanan dan ke kiri, menerjang ke depan dan menendang ke belakang tanpa peduli siapa lawan.
Ah, di satu sisi, saya perhatikan kaum-kaum berdasi pejabat publik, eh politik masih sibuk melenggang kian kemari dengan senyum tipis bahkan sumringah melambai bak peragawati. Sungguh senyum yang memuakkan bagi orang yang dipaksa menunggu lama sedang yang ditunggu dating dengan santainya dan tanpa minta maaf malah terkesan tidak ada apa-apa.
Lantas, korban-korban yang berjatuhan itu mungkin tak salah jika kita katakan mereka sebagai korban pembantaian demokrasi. Betapa tidak, mereka mati akibat memperjuangkan aspirasi dalam tatanan hidup berdemokrasi dan juga menjadi korban akibat beberapa pihak yang mencoba memperjuangkan aspirasi.
Inikah sebenarnya wajah demokrasi?
Demokrasi yang saya ketahui dalam salah satu Sila dalam Pancasila ‘Kerakyatan uang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan (DPR). Pertanyaannya, apakah DPR sudah Hikmat dan bijaksana dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai perwakilan rakyat?
Apakah musyawah untuk mufakat tidak lagi bisa menelurkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat?
Selagi DPR tidak dewasa dalam merancang peraturan yang tidak hanya menguntungkan mereka sendiri, dan negara yang tidak hadir dalam setiap relung kebutuhan rakyat, maka di situ pula akan ada aksi dan reaksi atas kebijakan yang tidak bijak tersebut.
Berdasarkan pengamatan saya,
‘Pengecut menyematkan kata PAHLAWAN untuk orang-orang yang berbuat untuk mereka.
Sedang pemberani, menempatkan diri mereka sebagai rekan sejawat dan merangkul mereka sebagai PEJUANG’.
Kita bebas ingin menjadi pengecut, atau pemberani.
Minimal, perjuangkan untuk diri sendiri dengan cara mencoba menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan sebarkan virus-virus positif, dan cegah keburukan baik oleh diri sendiri maupun orang lain (‘amar ma’ruf, nahi munkar).
Bukankah agama menuntun demikian?
Wallahu ‘alam
 WS_Djambak
2 notes · View notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Melihat acara matanajwa barusan, saya jadi paham satulagi sifat manusia.
Ketika ia muda dan Dalam posisi memperjuangkan, ia dengan begitu semangatnya mengusung idealisme dan tidak suka diremehkan karena usia.
Namun ketika ia di posisi Yang oposisi dgn pejuang (mahasiswa), maka ia berbalik meremehkan Yang muda.
Maka jgn sedih kalau org lupa akan bagaimana baiknya dirimu, Sedang ia juga lupa bagaimana baiknya dirinya dahulu.
Ws. Djambak
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Trypoxylus dichotomus_ alias kumbang badak, atau di Jepang saana dikenal dengan nama kabutomushi. Dulu sekali, di kampungku, kumbang ini kerap dijumpai di padang rumput Yang juga ditumbuhi tanaman perdu sejenis putri malu. Sungguh keajaiban bisa menjumpai ini di perumahan di Pekanbaru. Mungkin ia menjawab kerinduanku akan masa kecil di kampung halaman.
Tumblr media
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Menepis 'GUNDA'h Gu'LA'na ala GUNDALA
Apa yang terbayang oleh kawan-kawan jika kita perbincangkan pahlawan super berkekuatan petir? Thor? The Flash? Atau malah Storm dari kelompoknya si botak dengan kelompok anak-anak berkostum X?
Bagi kaum generasi Y, dahulu pernah ada pahlawan super yang membekas di ingatan mereka dan pernah tayang di stasiun televise swasta, yakni Panji Manusia Milenium. Namun, jauh bila kita Tarik ke belekang, kaum baby boomer sudah punya pahlawan super mereka sendiri, sebelum cerita bergambar asal amerika dan jepang merajai kancah per-komik-an di Indonesia. Ia adalah Gundala Putra Petir.
Pahlawan super berkostum hitam berbahan lateks dengan sempak merah merah merona. Kepalanya sendiri dibalut oleh semacam kupluk ala-ala mamang penjaga villa puncak yang ditempeli sayap burung di kiri-kananya.
Tokoh yang diciptakan oleh Harya Suramita atau yang dikenal dengan nama Hasmi ini popular pada kurun waktu 70an. Pahlawan super ini layaknya pahlawan berkancut super dari Amerika, tergabung dalam komunitas pahlawan super yang bertajuk ‘Patriot’.
Pada tahun 1981, dibuatlah film layar perak berjudul sama yang dibintangi oleh Teddy Purba. Saya tak bergitu mengingat bagaimana alur cerita film ini, mengingat ketika saya menyaksikannya pada tahun 90an di sebuah televisi swasta, efeknya sudah terasa kuno dan adegan perkelahian dan plot yang membosankan bagi saya yang masih anak-anak kala itu. Tentunya, jika kita bandingkan dengan masifnya invasi film pahlawan super dari Amerika, awalnya saya pesimis membayangkan bagaimana si Kancut Merah berkuping caplang (sayap-red) bias bersaing dengan film-film holiwut yang memiliki efek mentereng dan mampu membuat kita tidak beringsut dari bangku ketika menyaksikannya.
Sifat meremehkan kualitas film local ini tentunya tidak serta merta muncul begitu saja. BUkan bermaksud untuk tidak Nasionalis, namun mencoba realistis dan netral dalam menilai. Saya mulai berhenti untuk menyaksikan film-film local semenjak maraknya tajuk berjudul unik yang terkadang membuat saya harus mencoba mencerna dengan kapasitas otak yang tidak seberapa ini. Entah Suster Mandi Goyang Dumang, atau Pocong Nyungsep, dan lain sebagainya. Belum lagi dengan tayangan sampah serupa Ganteng-ganteng Anjing Kurap. Serasa para sutradara berkonspirasi dalam membodoh-bodohi masyarakat Indonesia.
Tak lama sebelum tayangan Gundala mulai diumumkan ke publik, di sebuah laman komik daring, terlebih dahulu Iis Yuniarto (Garudayana) dan Sweta Kartika (Grey dan Jingga) berkolaborasi menulis ulang cerita Gundala dengan format yang lebih kekinian. Ceritanya terasa lebbih realistis (maaf, bukannya mengatakan karangan Eyang Hasmi, jelek). Sancaka a.k.a Gundala karangan Sweta dan Iis, berprofesi sebagai petugas keamanan di sebuah perusahaan swasta. Sancaka yang ini hidup sebatang kara dan untuk menambah penghasilan, ia harus membuka jasa perbaikan alat elektronik di kontrakannya. Hal ini berbanding terbalik dengan kisah Gundala original, dimana ia berprofesi sebagai ilmuwan yang membuat serum antipetir.
Dari segi plot cerita, Gundala yang lama, saya nilai sebagai pria galau yang mendapatkan kekuatannya akibat patah hati ditinggal kekasih dan disambar petir. Akibatnya ia yang dalam kondisi koma dibawa ke kerajaan petir dan dihadiahi kekuatan petir dan kecepatan angin. Ah, beruntungnya ia, setelah patah hati, dihibur dengan kekuatan adikuasa begitu.
Sedangkan Sancaka milenial, anak yatim yang almarhum ayahnya mati dan ditinggalkan ibunya ketika ia masih berusia sangat muda. Kasihan. Saya yang memang penggemar cerita bergambar, langsung jatuh cinta pada komik Gundala yang baru ini. Tak lama setelahnya, muncullah potongan film Gundala 2019.
Jujur, penyakit saya kambuh lagi. Saya langsung meremehkan filmnya dengan gambar Gundala dengan foto yang menurut saya, enggak banget, deh.
Gundala yang ini malah lebih mirip maling dengan kacamata ala-ala genk motor, ketimbang mamang penjaga villa. Sayap di kupingnya hamper mirip dengan logo sebuah parik otomotif terbesar di Indonesia, mungkin di dunia.
Kendati meremehkan, akhirnya rasa penasaran saya untuk membuktikan apakah filmnya sebagus komik reproduksi, lebih bagus dari film lama, atau malah lebih buruk? Kembali lagi mengingat film Garuda Superhero yang gagal tayang dan meraup untung, meskipun mengeluarkan dana yang cukup fantastis.
Setengah penasaran dan setengahnya lagi skepstis, akhirnya film Gundala tayang dan kagetnya lagi, film yang disutradarai oleh Joko Anwar itu, langsung mendapuk artis-artis papan atas sebagai tokoh pahlawan supernya. Berarti Jagad Bumilangit official sedemikian optimis untuk menyaingi jagad Marvel dan DC Comic.
Dan, Gudala pun tayang.
Sejam setengah pertama, plot cerita berkutat tentang masa lalu dan latar belakang Gundala yang berprofesi sebagai petugas keamanan, bukan ilmuwan.
Begitu kelam dan terasa nyata. Jujur, saya sempat merinding, bahkan nangis, njir. Kisah kelamnya persis kekhawatiran orang-orang penganut paham konspirasi tentang Indonesia di masa depan. Sekilas, Joko Anwar mengisahkan Gundala begitu mencekam, persis bagaimana film DC Comic. Kendati demikian, Joko dengan jeniusnya, mampu menyelipkan candaan-candaan ringan yang tidak terkesan jayus sehingga meskipun menghabiskan waktu 1,5 jam dengan masa lalu Sancaka a.k.a Gundala.
Cerita terus berlanjut dengan bagaimana mula Sancaka memutuskan untuk pahlawan, atau malah berasa pahlawan.
Mungkin Joko memang spesialis untuk membuat ulang film-film lawas. Namun diakhir cerita, terasa kurang kuat dan terkesan dipaksakan untuk selesai. Meskipun demikian, menurut saya, tetap keren.
Saya tidak akan mengupas lebih dalam, mengingat masih banyak yang belum menyaksikan dan membocorkan jalan cerita.
Kalau ingin tau lanjutannya, tonton sendiri deh.
Menurut saya, film ini layak dinilai 9 dari 10. Kedepannya, semoga Jagad Bumilangit mampu menggusur Marvel dan DC dari perfilman Indonesia. Jika eyang Hasmi masih hidup, mungkin ia tersenyum melihat karyanya tayang. Dan bukan tak mungkin ia juga ditampilkan secara cameo selayaknya Stan Lee di film Marvel. Mungkin saja. Darisini, saya mengambil kesimpulan bahwa, tidak penting orang akan menilai kita apa, yang penting jika kita memiliki karya, dan dikerjakan dengan cinta, maka hasilnya akan luar biasa. Alhasil, segala kegundah-gulanaan itu tidak berguna.
Ah, apasih..
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
Persepsi tergantung perspektif
WS. Djambak
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Dek, sepi ini sembilu;
Ia menyayat-nyanyat malam,
Hingga jangkrik pun enggan berisik
2 notes · View notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Sungguh, monster dan superhero itu sebetulnya sama, hanya tujuannya saja yang berbeda
WS. Djambak
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Lantang tak mesti lancang. Karena berani, harus mengedepankan nurani
WS. Djambak
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
Tumblr media
Foto ini saya ambil tadi sore sekitar pukul 14.30 di sebuah SPBU di Minas, Siak, Riau.
Sekilas mungkin tampak biasa, namun jika saja kita jeli mengamati, tampak dua sosok lelaki yang berjalan bergandengan tangan.
Yang satu sudah berusia larut senja, sedang satu lagi paruh baya.
Si lelaki paruh baya ini terlihat sabar dan telaten mengurus si lelaki tua tersebut. Mulai dari memasangkan celananya sehabis buang air, hingga menuntunnya berjalan dengan tertatih dan sebelah tangan bertumpu pada tongkat bambunya.
Besar kecurigaan saya, dua orang lelaki ini merupakan pasangan ayah dan anak.
Sungguh manis memang melihat keakraban dari ayah dan anak di usia yang sudah sama-sama tua. Di satu sisi, terbit haru yabg teramat besar melihat bakti dari si lelaki paruh baya menuntun si lelaki tua.
Tetiba saja saya teringat penggalan dari ayat Alqur'an, 'dan janganlah kamu berkata ah.'
Bagaimana mungkin kitq boleh mendurhaka, sedangkan untuk berkata 'ah' saja, kita sudah dilarang dengan tegasnya.
Saya kembali terpekur dan merasa dosa-dosa saya terhadap kedua orangtua demikian besarnya.
Sungguh pemandangan tadi membuat saya malu dengan diri sendiri sekaligus membuat malu.
Sudah berbaktikah terhadap orangtua???
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Alhamdulillah, di setiap kesempatan perjalanan dinas, selalu menemukan hal baru yang menarik hati dan rasa ingin tahu.
Kali ini saya ditugaskan ke Dumai oleh pimpinan untuk pulbaket (pengumpulan bahan keterangan) mengenai kejadian pesut terdampar di Kota Dumai.
Ketika tengah berjumpa dengan masyarakat di suatu pantai, tepatnya Pantai Bahtera, Kelurahan Guntung, Kecamatan Medang Kampai, tetiba saja saya tertegun pada sebuah tulisan berwarna kuning bertuliskan 'Pantai Bahtera'.
Tulisan tersebut berasal dari rangkaian botol air mineral bekas ukuran 1 liter yang dicat dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rangkaian huruf penanda lokasi.
Penasaran dengan keunikan tersebut, sayapun mengedarkan pandangan ke sekeliling lokasi, dan di suatu sudut, saya melihat sesesok lelaki kurus yang tengah sibuk sendiri dengan urusannya.
Selidik punya selidik, lelaki bernaju jingga ini tengah merangkai beberapa botol kosong dalam sebuah kayu yang dipaku serupa pigura.
Ternyata, aktor di balik kreatifitas di Pantai ini tak lain dan tak bukan adalah dia.
Sungguh salut. Meskipun tak sempat berkenalan, tapi saya sempat mengabadikan fotonya.
Benarlah kata orang bijak; 'di tangan orang kreatif, sampah selalu memiliki nilai dari karya. Sedangkan di tangan orang yang skeptis, barang yang bernilai bisa menjadi sampah'.
Sama seperti manusia, di tangan pemimpin yang hebat, anggota terbodoh pun bisa memiliki peran penting dalam sebuah tatanan organisasi, sedangkan di tangan pemimpin lemah, anggota terhebat pun bisa menjadi orang bodoh.
Peran dari pemimpin itu yakni memanusiakan manusia, dan melihat potensi terdalam dari yang dipimpin olehnya.
Bak kata pepatah minang,
'Yang tuli pelepas bedil,
Yang buta peniup lesung,
Yang bodoh disuruh-suruh,
Yang cerdik tempat ber-iya,
Yang besar tempat berberita,
Yang lumpuh penghuni rumah'.
Begitulah kira-kira...
Jadi, berhubung setiap kita berperan sebagai pemimpin, sudahkah kita memaksimalkan potensi dari yang kita pimpin? Minimal memimpin diri sendiri dan memaksimalkan potensinya.
0 notes
wsdjambak · 6 years ago
Text
Pe-saluang dan Pendendang: simbol kepekaan dan kemalangan orang Minang???
Di dunia ini, ada tiga tipe manusia yang saya suka amati.
Yang pertama, anak-anak, selanjutnya para lansia, dan terakhir, tentu saja, ehm... Wanita cantik. Hehehe
Tapi berbicara tentang lansia yang merupakan singkatan dari lanjut usia, tidak semuanya pula yang menarik perhatian saya.
Sungguh tidak ada menariknya mengamati para orangtua yang bergelimang kesuksesan dan kejayaan. Lain cerita kalau melihat orangtua yang dari fisik sudah kepayahan, tapi masih dengan gigihnya berjuang mencari nafkah.
Entah karena terbiasa susah sewaktu kecil, atau mungkin karena bawaan karakter melankolis yang mendominasi, menjadikan saya selalu termangu melihat para orangtua tersebut.
Sedikit banyaknya ada semacam doa agar orangtua saya tidak mengalami nasib serupa, terlunta-lunta di masa senja, sedangkan para anak sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Kali ini, saya ingin sedikit bercerita mengenai sepasang orangtua yang belumlah terlalu tua menurut usia, namun tampilan fisiknya terlihat memancing hiba, meskipun saya yakin mereka sama sekali tidak ingin dipandang dengan raut kasihan.
Sepasang orangtua ini, kedepan saya namakan pendendang dan pe-saluang.
Si laki-laki, saya taksir usianya sekitar 58an, seusia dengan bapak saya, dan si istri sepertinya sedikit lebih muda dari ibu saya yang tahun ini berusia 56 tahun.
Dalam kebiasaan para orang-orang "saisuak", atau secara harafiah diartikan sebagai orang-orang terdahulu yang belum mengenal orgen tunggal dan konser dangdut, saluang merupakan sarana hiburan dan pemersatu para perindu hiburan.
Saluang sendiri merupakan alat musik yang terbuat dati bambu, dan ditiup sedemikian rupa dengan memainkan jari-jari pada lubang-lubang kecil pada badannya, yang menciptakan alunan nada berat yang harmoni. Hebatnya lagi, saluang itu ditiup dengan satu nafas tanpa jeda, apalagi henti. Tak jarang membuat pipi peniupnya menjadi tirus dan kempes. Peniup saluang ini dikenal dengan nama tukang saluang, atau pe-saluang.
Untuk menambah syahdu, tukang saluang biasanya ditemani oleh seorang yang bersenandung atau tukang dendang. Pendenang ini melagukan "kaba" atau kisah-kisah yang sarat nasihat dan nilai moral.
Seiring perkembangan zaman, sudah susah menemukan pe-saluang dan pendendang ini, bahkan di sarang kelahirannya di ranah Minang. Mereka mulai tergerus eksistensi nya dengan kehadiran penyanyi dangdut sekelas Via yang hampir Fallen, atau penyanyi pop sekelas Arieh No-ah.
Setelah beberapa lamanya saya menghabiskan masa di rantau, malam itu kembali dipanggil pulang untuk sekedar singgah di ranah Minang.
Dengan menumpang travel jurusan Pekanbaru-Padang, kami berhenti istirahat di daerah lubuk bangku, kabupaten limapuluh kota.
Di sebuah rumah makan tersebut, dengan mata setengah mengantuk dan 'ogah-ogahan', saya keluar mobil. Susah menahan gigil angin malam di Lubuk Bangku setelah tubuh terbiasa dengan panasnya Pekanbaru. Butuh 'aklimatisasi' sejenak untuk membiasakan diri dan mengakrabkan kembali dengan cuaca dingin.
Kembali ke topik, saya yang berusaha kuat menahan gigil, tetiba tertegun kaku setengah takjub memandang dua sosok patuh baya menjelang tua di depan pintu masuk rumah makan.
Dengan beralaskan tikar kain yang sudah menipis, si suami yang mengenakan kemeja tipis sibuk meniup saluang yang sedari tadi menempel di bibirnya. Si istri tak mau kalah. Menyambung semangat sang suami, dengan alunan nada yang senada, ia berdendang dengan berpetitih dan berkisah seiring tiupan saluang sang suami.
Dari belakang saya perhatikan, si suami tidaklah begitu tinggi. Mungkin sekitar semeter setengah. Namun, harga diri yang tinggi memantangkan ia untuk mengemis dan meminta-minta. Jadilah ia "menjual" kemampuannya dengan bermusik.
Dingin cuaca tak dihiraukannya. Aku tak tau persis kondisi keluarganya, tapi jelas dengan melihat perjuangan mereka, tentunya ada anak-anak yang menunggu di rumah penuh harap dan cemas. Entah besok mereka dapat membeli sepatu baru, atau hanya sekedar jajan pembeli kerupuk kuah.
Tepat pukul 12 malam, angin semakin menusuk ke tulang sulbi. Si pe-saluang dan pendendang seperti menduduki kompor kesurupan. Entah kulitnya sudah mati, atau api tekadnya yang begitu besar, hingga menghangatkan suasananya.
Saluang semakin mengalun dan mendayu menyayat kalbu, sedang si pendendang semakin meradang berkisah tentang pengkhianatan nasib.
Jika dihayati, pantaslah bapakku suka sekali mendengarkan saluang tempo hari semasa kami masih kecil-kecil dahulu. Mungkin dengan mendengarkan saluang, beliau seakan bernostalgia terhadap pahitnya masa kecilnya yang tak sekalipun dia mau kami mengalami kesukaran serupa.
Saluang dan dendang, perlambang tinggi dan pekanya budi orang minang, namun juga perlambang hidup yang malang.
Ah, semoga saja suatu saat mereka bisa bersaluang dan berdendang di atas panggung dalam kondisi ramai penonton sebagaimana era kejayaan mis ramolai (pendendang saluang terkenal), bukan di pintu rumah makan beralaskan tikar tipis.
Ah, semoga saja...
Tumblr media
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
GOMBAL GEMBEL
Dek, mau kukasih tau apa yang paling istimewa di diriku?
Mataku dek.
Coba kau perhatikan, apa yang kau lihat di mataku?
Ya, kamu dek.
Kamu yang istimewa di diriku
Ahaay
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
SEBUAH ELEGI
Pagi yang sunyi
sedang kabut masih meleleh di bibir
cangkir kopi, menyisakan rasa manis
dan pahit dalam satu kali tegukan,
seperti senyum terakhirmu
malam itu di bulan mati
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
BELUM DIJUDULI
Meski seonggok,
kunamakan jua,
ini cinta
Faham???
1 note · View note
wsdjambak · 6 years ago
Text
KELAZIMAN BISA MENYEBABKAN KEZALIMAN
WS. DJAMBAK
1 note · View note