dalam bejana kata yang sengaja diasah untuk tak dimuat dalam naskah
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Jawaban dari Pertanyaan, “Kenapa?”.
Sebagai pekerja teks komersial, aku jarang menulis untuk diri sendiri. Makanya, hadirlah blog ini. Agar bisa suka-suka menulis tanpa aturan. Tanpa harus membuat orang lain paham, “Makna yang mau kusampaikan itu, apa?”
Tapi ujung-ujungnya, malah tetap dipakai menulis untuk orang lain. Jadi sarana press release pribadi... yang tetap tanpa kaidah atau aturan.
Tahun lalu, aku menulis sebuah refleksi pribadi tentang fungsi kerudung yang sudah bermetamorfosa (silahkan baca di: https://fiqahberkisah.tumblr.com/post/182525826959/metamorfosakerudung). Momen itu sempat menjadi puncak jengah, yang berujung pada keputusan untuk membotaki rambut sebagai bentuk protes.
Tentu keputusan itu ditentang oleh keluarga dan akhirnya aku batalkan. Kalau benar-benar dilakukan, mungkin aku akan dianggap gila. Jauh lebih gila dari situasi yang sedang kuhadapi sekarang.
Lebih dari setahun, perdebatan tentang hal ini terus berjalan... Baik di kepala maupun di kehidupan nyata. Faktor-faktor yang mendorongnya makin lama makin bertambah. Makin kuat pula tentunya.
Keputusan ini sudah dipertimbangkan selama bertahun-tahun. Aku dibesarkan oleh keluarga yang religius, juga tumbuh dan berkembang di lingkungan religius, dan dianggap sebagai sosok yang sangat religius.
Aku paham betul konsekuensinya. Dianggap rusak, dianggap murtad, dianggap kalah dalam ghazwul fikri, feminis kafir, liberal fasik, dan masih banyak lagi. Belum lagi dinamika disonansi kognitif yang kualami.
Aku mau-mau saja menjabarkan semua faktor tersebut. Tapi, konsekuensi yang harus kuhadapi mungkin akan lebih parah lagi. Yang mendengar, mungkin belum siap. Dan aku tidak siap disalahkan, jika pada akhirnya faktor-faktor itu ikut mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama.
Lalu, ketika definisi tentang “benar dan salah” kita sudah tidak lagi sama, “sebuah jawaban” akan jadi hal yang sia-sia. Aku bukan “benda rusak” yang harus diperbaiki dengan diingatkan untuk kembali ke jalan yang benar. Karena lagi-lagi... benar dan salah adalah paralaksi.
Jawaban yang tidak menjawab ini aku akhiri sampai sini. Jika memang ingin bertanya atas tujuan yang “murni”, aku akan dengan senang hati menerima ajakan diskusi.
Buatku, Tuhan tetap kebenaran yang absolut.
Dan aku tetap orang yang sama.
0 notes
Text
Aku dan Rima
Sudah 2 tahun aku bersahabat dengan rima.
Tanpa dia, pekerjaanku tak akan kuanggap sempurna.
Aku tiba-tiba lupa.
Dampak rima, merdunya tak selalu sama dengan suaranya. Rima melemahkan tegasnya makna.
Sama halnya dengan kata-kata yang terlampau indah.
0 notes
Text
Tantangan Merindu, Bukan Buatku.
Kalau benar ada mesin waktu, aku ingin terbang ke masa lalu untuk mencari tahu bagaimana orang-orang menahan rindu di zaman itu.
Pandemi ada di setiap abad, dan dampaknya selalu hebat.
Termasuk bagaimana ia mengarahkan teknologi kesehatan dunia pada haluan yang lebih sempurna.
Sebenarnya, aku masih sulit percaya... bahwa epidemi masih bisa terjadi di era ini. Era di mana seharusnya para ilmuwan sibuk berkreasi menemukan ‘serum yang membuat manusia bisa hidup abadi’.
Tapi ternyata, tak akan pernah ada keabadian tanpa ‘tapi’.
Angan-angan soal keabadian sudah dipukul keras oleh kuatnya realitas tentang ke-fana-an.
Menciptakan jarak tiba-tiba menjadi hal paling bijak.
Aku pernah belajar, bahwa jarak mengubah banyak hal.
Jarak mengubah hati.
Jarak mengubah persepsi ‘tentang kebaikan budi’. Jarak mengubah pandangan tentang orang lain yang mendadak jadi begitu berarti.
Benar. Jarak bisa membawa manfaat bijak, tapi juga bersifat merusak.
Jadi, silahkan kalian saja yang agung-agungkan perasaan ‘rindu’ itu.
Karena merindu, bukan buatku.
1 note
·
View note
Text
Kita Ini Apa?
Kenapa diciptakan aksara bila diam adalah bahasa semua makna?
Kenapa harus lewat do’a, jika masih bisa menyapa dengan suara?
Kenapa untuk memulai, harus penuh perhitungan andai-andai?
Kenapa mesti abai dan bertikai dengan damai?
Kita ini apa?
Batu atau manusia?
Punya rasa.
Punya logika.
Tapi susah sekali berdialektika.

4 notes
·
View notes
Text
Tercela Tak Berkriteria
Menakar kebaikan tidak perlu standar. Baik bisa hanya soal sabar. Baik bisa hanya soal tegar. Asal tidak menyalahi benar.
Tapi yang durjana, pantang serta-merta dianggap tercela. Keji tidak selalu keji, pada perkara menoreh perih di hati orang lain tanpa disadari.
Keji tidak selalu keji, pada perkara berkhianat pada janji yang dibuat sendiri. Keji tidak selalu keji, asal gejolak yang meronta dalam diri terpenuhi.
Kebaikan bagai ilusi, yang terkunci dibalik jeruji.
2 notes
·
View notes
Text
Metamorfosa Kerudung

Tujuh tahun lalu, keputusanku menutup aurat, terdeklarasi dengan kuat dan bulat. Alasanku sangat sederhana; ingin jadi muslim yang taat aturan agama dan menggapai surga.
Ya. Kala itu, surga masih berada di dimensi yang sama dengan keimananku terhadap Tuhan. Sebelum akhirnya kuputuskan untuk beragama tanpa mengindahkan iming-iming surga.
Aku masih ingat bagaimana orang-orang mendeskripsikan kodrat laknat makhluk bernama pria, yang katanya selalu penuh dengan pikiran maksiat. Gairah seksual mereka akan cepat meningkat hanya dengan ‘melihat’. Melihat rambut, melihat dada, melihat paha, melihat betis, melihat lengan, melihat wajah, dan melihat sejuta entitas lainnya.
Lalu kusimpulkan, kalau tugas pertamaku sebagai perempuan adalah melindungi nafsu laki-laki. Mengendalikan kodrat mereka, agar salah satu bagian kemanusiaan tidak kiamat. Mulia sekali, ya?
Dipikir-pikir, aku bisa apa? Ikut-ikutan mengkampanyekan gerakan feminisme tentang otoritas tubuh? Bisa, dan sudah kulakukan. Tapi masih butuh waktu lama untuk bisa kunikmati hasilnya. Jadi, kupilih untuk meneruskan agenda muliaku yang begitu kuasi itu.
Aku masih ingat bagaimana damainya hatiku saat pertama kali melangkah dengan komitmen menggunakan penutup kepala. Ini bukan ungkapan klise. Hatiku benar-benar merasa damai. Aku bahkan berpikir kalau aku juga membuat orang yang memandangku ikut merasa damai. Maka, tengkuluk katun milik Ibu kemudian kuambil hak asuhnya. Biar aku punya kerudung dengan beragam warna.
Kedamaian hatiku saat berkerudung makin memuncak, karena aku merasa merasa terlindungi oleh lontaran-lontaran nakal bertendensi seksual. Jadilah kain itu makin lekat di kepalaku, sampai tiba saat di mana kesuksesan syiar berhijab menoreh kesuksesan yang luar biasa di beberapa tahun belakangan.
Wanita berkerudung perlahan mendominasi beberapa lingkungan tempatku bertandang. Muslimah berlomba-lomba mengkomunikasikan kesolehan mereka dengan berinvestasi pada penggunaan tudung kepala. Aku bangga. Tapi makin menderita, karena fungsi kerudung makin lama ikut alih guna.
Tak hanya sekedar jadi media untuk mengkomunikasikan kesolehan. Aku merasa, kerudung sekarang malah jadi simbol keanggunan wanita.
Saat seorang wanita muslim memutuskan untuk berkerudung, maka dia dianggap idaman. Karena berani menutup auratnya untuk jadi sajian istimewa orang yang dia cinta.
Lebih jauh lagi, cara pandang seksual yang terus-terusan berubah pun makin memperkeruh hal ini. Aurat yang ditutup-tutupi, untuk beberapa kasus justru memantik fantasi nakal lelaki.
Jika dulu aku merasa terlindungi dari lontaran-lontaran bertendensi seksual, sekarang malah jadi bulan-bulanan kaum pinggir jalan yang super binal.
Fungsi kerudung yang awalnya kupercaya sudah tiada. Dia sudah ber-metamorfosa. Tak lagi bisa menghijabi nafsu pria atau melindungi wanita, melainkan jadi simbol keanggunan semata.
Lalu, haruskah aku botak saja?
1 note
·
View note
Text
Preferensi Hidup
Baik hidup atau mati, keduanya dianggap sebagai kunci yang satu fungsi. Hidup mengawali kehidupan, dan mati bertugas mengakhiri. Pada dasarnya, mati hanyalah fase kehidupan yang lain.
Hal yang paling kuingat dari Bhagavad Gita adalah persoalan yang diutarakannya tentang kematian. Tertulis di sana bahwa kematian hanyalah fase transisi hidup yang normal dan umum. Tak layak untuk diromantisasi atau bahkan ditakuti. Anak-anak menjadi remaja, remaja menjadi dewasa, dewasa menjadi tua, dan tua kehilangan nyawa. Kira-kira begitulah penggambarannya.
Tapi mati tetaplah mati. Ketakutan manusia terhadap hal yang belum pasti membuatnya lebih sangkak bulu terhadap kematian ketimbang Tuhannya sendiri.
Karena hidup cuma sekali dan setelah mati tidak bisa apa-apa lagi, usulan tentang cara hidup pun bermunculan. Mulai dari mengikuti aturan agama hingga hidup hura-hura, semuanya diadopsi oleh beragam lapisan masyarakat.
Lalu hidup seperti apakah yang ideal, dan bagaimana cara hidup yang benar?
Eudaimonisme mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menetapkan kebahagiaan dan kualitas hidup yang baik sebagai indikator pencapaian hidup yang utama. Kualitas hidup yang baik berisikan itikad dan perilaku mutualisme.
Kebahagiaan sebagai puncak pemenuhan hidup mungkin tak layak dipertanyakan. Tapi apakah kualitas hidup yang baik adalah cara hidup yang benar? Bukankah kebenaran yang absolut makin kabur dan tak jelas bentuknya karena tertutupi oleh segudang relativitas?
Pada akhirnya, kebenaran relatif akan memecah semua keteraturan yang sudah susah payah diciptakan Tuhan agar makhluknya hidup dengan tenang.
6 notes
·
View notes
Text
Invasi Semut
Sudah 2 tahun saya hidup beriringan dengan semut-semut. Bukan karena saya pecinta semut, atau peternak semut.
Jujur, saya selalu bergidik ngeri dan lemas tiap kali melihat serangga-serangga superkoloni sedang berkerumun. Padahal tinggal ambil racun serangga, sekali semprot mereka bisa mati semua. Apalagi semut. Mereka ada di mana-mana dan punya antena pendeteksi rangsangan kimiawi yang luar biasa. Bagaimana bisa dia mendeteksi keberadaan gula di dalam air tawar, sampai rela “nyemplung” untuk menghisap sari glukosa yang jumlahnya tidak seberapa? Lalu, secepat kilat mengirim sinyal pada anggota koloni lain perihal keberadaannya, supaya teman-temannya ikut “nyemplung” dan mati.
Yang paling menyebalkan, kaum semut kadang sering datang bulan berjamaah. Pernah sepupu saya pantatnya bengkak-bengkak digigiti cuma karena dia duduk di lantai tanpa celana. Mungkin dia menghalangi jalan para tentara semut yang sedang berbaris membentuk barikade.
Semut hidup di dalam tanah. Mungkin itu sebabnya manusia sering latah membunuh mereka yang tiba-tiba “nyasar” di dunia manusia karena terpancing bau glukosa. Nakal sih. Padahal Nabi Sulaiman sudah melarang mereka untuk keluar menapaki lahan manusia. Tapi kan semut juga binatang.
Tepat di depan pintu kediaman saya, ada taman kecil yang subur. Di sana tentu banyak hidup organisme penyerbuk biotik, termasuk semut ras api. Mereka ini terkenal dengan kegarangan, dan keberaniannya. Bagaimana tidak? Mereka selalu bergerilya menyerbu kamar saya, meski tidak ada remah biskuit yang bisa mereka temui di ubin-ubin keramik. Menurut saya, mereka juga pantang menyerah. Sering sekali “nyemplung” lalu mati di gelas minum saya yang masih ada sedikit sisa air putihnya. Tak dapat remah biskuit, mati dalam kubangan glukosa pun jadi.
Tragedi kematian kaum semut di kamar saya selalu disebabkan oleh kebodohan mereka sendiri, karena saya enggan membunuh mereka.
Selain karena saya adalah seorang Muslim, dipikir-pikir juga tidak ada salahnya. Karena secara tidak langsung saya juga ikut menikmati hasil kerja kaum semut yang selama ini menjadi agen zoidiogami. Lagipula selama ini, mereka juga tidak pernah menyakiti saya dengan menggigit dan menebar asam semut di tubuh saya.
Tapi hari itu, mereka sempat menggoda saya untuk melakukan genosida.
Saya membuka pintu kamar mandi, dan menemukan dinding yang sudah dijajah oleh kaum semut api. Mereka merayapi dinding, sambil mengangkut serpihan berwarna putih. Tubuh saya langsung terduduk lemas. Saya kebelet pipis, tapi takut. Akhirnya pikiran menginstruksi jemari saya untuk meraih racun serangga yang saya beli 2 tahun lalu tapi tidak habis-habis karena jarang digunakan. Tapi, saya kasihan karena jumlah mereka terlalu banyak untuk menjadi sumber investasi dosa saya.
Akhirnya, saya tanya Mbah Google, mereka sedang apa, dan bagaimana mengusirnya. Mbah Google bilang, “Mereka sedang bertelur. Usir pakai bubuk kopi atau air sabun.”
Metode bubuk kopi gagal. Dan metode air sabun bekerja dengan baik setelah 30 menit. Mereka pun enyah dari kamar mandi saya tanpa mati, dan saya bisa pipis dengan tenang. Untunglah, saya gagal jadi teroris jahat bagi kaum semut api.
Setelah peristiwa itu, saya masih mengizinkan mereka untuk singgah mendeteksi keberadaan glukosa. Masih banyak pula yang mau bertugas terjun ke lapangan. Namun sayangnya, mereka justru memancing kedatangan predator artropoda untuk memangsa mereka.
Seekor laba-laba yang lumayan besar dan mengerikan muncul di kamar mandi. Sepertinya dia masuk dari celah ventilasi. Tidak seperti kaum semut, kaum laba-laba berjasa pada Muhammad. Walaupun saya skeptis ceritanya benar atau tidak, saya tetap enggan membunuh si pemangsa hewan mungil ini. Jadi saya coba usir dengan percikan air dan mematikan lampu. Berhasil, saya dan para semut pun kembali hidup tentram selama satu hari.
Besoknya, dia kembali lagi. Laba-laba yang sama. Kali ini dia mendatangi kamar saya. Para semut pasti ketakutan. Saya juga takut. Bisa jadi dia ini jenis beracun. Kalau saya biarkan, nanti dia jalan-jalan di muka ketika saya sedang tidur.
Laba-laba itu pasti akan pergi kalau saya bunuh para semut. Kalau laba-labanya yang saya bunuh, semut-semut akan tetap hidup, tapi saya kasihan.
Dilema bodoh ini saya rasakan selama 2 jam. Namun pada akhirnya, saya memutuskan untuk membunuh si laba-laba dengan racun serangga karena dia tak juga mau pergi setelah diusir. Pedih hati saya melihat dia jatuh bangun diterjang partikel racun berkali-kali sampai mati.
Ah, saya harus minta maaf pada Tuhan. Semoga kaum semut juga mendoakan saya agar dimaafkan Tuhan.
Karena hari itu saya jadi pahlawan mereka.
5 notes
·
View notes
Photo


Kalau bersama ibu, rasanya seperti tidak butuh apa-apa lagi.
With mom, it feels like nothing ever needed again.
2 notes
·
View notes
Text
As If It’s Possible
Aldo sighed deeply. He is so done. This relationship is already wrong from the beginning.
Yerban, May 2013
07:00 PM
Nora’s biting her nails, leaning on the wall. She’s freaking out and about to lose her only friend: Aldo, just because he spotted her drawing his name inside a heart shape, during the class.
Nora is a childish romantic. She never had a boyfriend or even a friend, She doesn’t know how to show her affection towards her parents, after knowing that she was adopted. Everyone in the country is adopted though, but the struggles are so real for Nora since she had issues when it comes to trusting people.
Minutes later, a ringtone buzzing out from her phone. Aldo’s calling.
“I’m in front of your house. Can you come out?”
Nora’s dropping her face while walking to the front door. There, Aldo’s standing in wistful.
“What’s up?” asked Nora faked-brightly. She’s trying to hide all the gloomy feelings she’s been dealing with lately.
“Nothing. I just wanna tell you that I feel the same way.”
***
It’s been 4 years since Nora and Aldo decided to date each other and live together since they’re now in University, without telling their parents.
“Do you feel like getting married? You know I’m tired of being a virgin,” asked Nora.
“As if it’s possible,” answered Aldo, boldly.
“Right. It’s a dead end. There is no way for our moms and dads to give us a blessing. And the whole country is against us. We’re just gonna live together, pretend that we’re a best friend forever, and die as a virgin.”
“Don’t be ridiculous. I won’t let that happened.”
“Ha. Jokes on you. You know we don’t have things like birth division here. What are you gonna do if I am pregnant when condom still owns a 2% chance of having a baby, yet we still can’t afford that thing.”
“But, if I may add, it’s not like the chance of having a baby is 100% without it. So...”
“Seriously, you wanna research that?” asked Nora, tempted.
Aldo answered Nora’s question with a smirk. “You know our bedroom’s floor looks even better with our clothes on it,” he said.
Yerban, August 2017
09:21 AM
Aldo is in his university for an appointment with a professor. He’s already feeling so nervous, and it’s getting worse after he got a text from Nora.
“I am pregnant.”
Aldo sighed deeply. He is so done. This relationship is already wrong from the beginning. But he won’t just give up on it just because of a pregnancy.
“Alright. We’ll meet your parents after I’m done with this appointment.”
Several hours later, both of them are sitting in front of Nora’s parents in an awkward mode.
“I’ll just go straight to my point. I’m sorry. I made your daughter pregnant,” said Aldo.
Hearing that confession, both moms suddenly facing each other in shock.
“What? You're straight? God is going to curse us!”
4 notes
·
View notes
Conversation
Iri
Nona : Kapan kita punya waktu buat ketemu lagi?
Bung : Memangnya kenapa?
Nona : Tidak ada. Aku cuma sedang iri.
Bung : Iri kenapa?
Nona : Rasanya kepingin seperti pasangan normal di luar sana. Yang bisa bertukar keluh di tiap jam makan siang.
Bung : Kamu harusnya iri pada Habibie dan Ainun. Atau Hanum dan Rangga yang rela berkorban dengan merindu, lalu mengalahkan egoisme mereka demi pendidikan dan pengembangan diri.
5 notes
·
View notes
Text
Can you imagine how a full of hate person positioned herself in society while she was dealing with a general hatred in her mind all the times?
1 note
·
View note
Text
Ketika Puting Berhenti Diberahikan

Selalu ada kelompok minoritas yang menuntut adanya perubahan. Entah dalam skala kecil atau besar, kadang perubahan yang dituntut harus dipenjarakan kembali karena terlalu kontras dengan norma dan budaya setempat. Di Indonesia, konversi minyak tanah ke gas sudah dilakukan sejak 2007 lalu. Namun jumlah konsumsi minyak tanah sejak kurun waktu tersebut tetap tidak berubah meskipun jumlah konsumsi gas elpiji terus mengalami peningkatan. Jangankan kelompok minoritas, instansi sekelas pemerintah saja bisa gagal menciptakan perubahan.
Secara logis, masyarakat Indonesia masih berkenan untuk mencerna tujuan perubahan yang diharapkan pemerintah tersebut, meski sedikit bersinggungan dengan kebiasaan memasak menggunakan minyak tanah yang sudah membudaya. Tapi, apabila ide-ide yang diangkat dilabeli vulgar dan tidak senonoh, apakah kegagalan serupa akan terjadi kembali?
Tahun 2014 lalu, sebuah film bertajuk ‘Free the Nipple’ mengalami masalah tayang di Amerika. Film tersebut mengangkat ide untuk membebaskan buah dada wanita dari predikat objek seksual melalui upaya penghapuskan kebijakan sensor media. Karena adanya masalah tayang, sutradara film memutuskan untuk menciptakan kampanye yang serupa dengan judul filmnya agar nilai yang diangkat tetap bisa disebarluaskan. Setelah kampanye dilangsungkan, dukungan pun mengalir deras dari pihak-pihak aktivis muda perempuan di berbagai belahan dunia.
Tidak hanya dukungan, caci dan hujat juga ikut mengalir. Terutama dari masyarakat egalitarian dunia (termasuk Indonesia) yang menilai gerakan tersebuat sebagai upaya terselubung untuk melegalkan pornografi. Berikut beberapa komentar mengenai gerakan ‘Free the Nipple’ yang saya kutip dari forum online terbesar di Indonesia;
“Ya, itulah calon2 kuat penghuni neraka. Entah otaknya sudah pindah di gunung kali ya. Jangan didukung kegiatan sesat seperti itu.”
“ Aneh aneh saja orang luar. Kalau diperkosa kan dia yang rugi.”
“ Makin gila saja dunia ini. Bukankah seharusnya wanita harus berbangga hati memiliki semua keindahan berharga yg diberikan Tuhan? Bukankah sesuatu yg berharga itu harus disimpan baik-baik agar jangan sampai orang lain tahu? Jika wanita ingin disetarakan dengan pria, bukankah itu artinya merendahkan diri mereka sendiri? Padahal wanita di mata pria adalah hal spesial yg harus diperlakukan berbeda dari setiap makhluk ciptaan Tuhan.”
“Jika kesetaraan gender yang diperjuangkan, kenapa harus dari aspek fisik?”
Hampir semua komentar menyatakan keberatannya. Bahkan dalam komentar terakhir yang saya sebutkan, penulisnya mempertanyakan langkah perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan dengan mengangkat aspek fisik. Yang lebih miris lagi, banyak yang menganggap bahwa gerakan tersebut justru akan meningkatkan jumlah korban pemerkosaan. Apa benar?
Sebelum lanjut membaca, tolong pisahkan konsep agama terlebih dahulu. Saya orang yang beragama, dan tidak bermaksud untuk semakin menjorokkan hal-hal yang sifatnya tekstual menjadi seksual.
Tahun lalu, dunia maya ramai menjadikan foto-foto wanita Bali tempoe doloe sebagai bahan perbincangan. Dalam foto tersebut, terlihat para wanita sedang berdiri tegak sejajar tanpa penutup buah dada. Kritik terhadap budaya berpakaian tersebut terus bermunculan dan makin menguatkan stereotipe Bali sebagai “The Island of Breast”.
Padahal, budaya berpakaian serupa pun juga dianut oleh perempuan-perempuan Jawa dan Bugis sebelum masa kononial dahulu (saya keturunan Jawa dan Bugis, obrolan ini saya dengar dari para tetua di keluarga saya). Masyarakat adat di Papua juga masih mengamalkan budaya tersebut. Lantas, apa benar zaman dahulu perempuan banyak diperkosa karena sering pamer buah dada? Kalau kasusnya adalah tindak pemerkosaan antara kompeni atau nippon dengan pribumi sih wajar saja. Toh mereka tidak biasa lihat buah dada diumbar-umbar. Kalau pribumi dengan pribumi? Apa kasus tersebut akrab terdengar di telinga kita?
Kenapa dulu, wanita dapat melenggang di jalan dengan nyaman dan aman tanpa penutup dada?
Kenapa sekarang, wanita berpakaian lengkap kerap jadi korban pemerkosaan?
Sekarang coba bandingkan wanita bercadar dengan yang tidak bercadar, mana yang lebih atraktif di mata kalian? Secara logis, tentu kalian akan menjatuhkan pilihan pada wanita yang wajahnya tidak ditutupi kain. Tapi, apakah stimulus visual kalian benar-benar bekerja seperti demikian? Apakah sempat ada pertanyaan “apa yang ada dibalik kain itu” di otak kalian?
Hal demikian berlaku juga pada isu yang sedang saya bicarakan ini. Survey yang diselenggarakan oleh Askmen.com, menyatakan bahwa kebanyakan lelaki menyukai payudara wanita karena tabu yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Semakin ditutupi, stimulasi visual yang dirasakan akan semakin tinggi.
Banyak yang membenci feminisme karena terus-terusan menyalahkankan masyarakat atas semua hal yang dia permasalahkan. Nah untuk hal ini, siapa yang harus disalahkan? Siapa oknum yang merubah cara pandang seksual dalam masyarakat?
sumber:
Darma Putra, I Nyoman. 2003. Wanita Bali Tempo Doeloe: Perspektif Masa Kini. Bali: Yayasan Bali Jani
http://danangariwibowo86.blogspot.co.id/2015/08/buah-dada-dan-hasrat-lelaki-dari-masa.html
http://duniabaca.com/beberapa-alasan-kenapa-pria-suka-payudara-wanita.html
http://www.kaskus.co.id/thread/53105372ffca1709048b4569/free-the-nipple-kesetaraan-gender-atau-pornografi/
http://harian.analisadaily.com/ekonomi/news/konversi-gas-tidak-berhasil/246842/2016/06/28
3 notes
·
View notes
Photo

1 note
·
View note
Text
Mirror loves to lie.
But eyes can find the lies.
5 notes
·
View notes
Quote
Wasting your times reading is not a waste.
you know who, not lord voldemort.
1 note
·
View note