#berapi-api
Explore tagged Tumblr posts
Text
--- Sama-sama bilang Amin. ❤️
#curhat#curahanhati#style#selfreminder#self help#self realization#note to myself#note to self#penting#catatan penting#catatan harian#lika liku#lika liku kehidupan#real life#regret#penyesalan#sesal#lembar kehidupan#lembar cerita#jadi baik#jadi bijak#bijaksana#bijak#kata bijak#semoga membantu#semoga bermanfaat#pentingnya kehidupan#semangat#berapi-api#lebih baik lagi
3 notes
·
View notes
Text
Vulkanolog ITB Sebut Gunung Api Meletus Bisa jadi Potensial Geowisata, Asalkan....
merahbirunews.com – Bandung – Letusan atau erupsi gunung api dapat menjadi daya tarik wisata bumi alias geowisata. Menurut vulkonolog dari Institut Teknologi Bandung Mirzam Abdurrachman, jenis wisata itu sanggup tercapai asalkan pelaksana mengenal gunung api dengan baik. “Tidak hanya sekali dari tanda-tanda yang dimaksud umum tapi juga yang digunakan baru dari gunung untuk kita terjemahkan,”…
View On WordPress
0 notes
Text
Masa Muda
Kamu mungkin akan bertemu dengan orang yang kamu kira akan menjadi pasangan hidupmu, ternyata tidak. Kamu bersedih. Tapi ketahuilah, nanti kamu akan tahu kenapa kamu tidak dengannya. Nanti. Setelah kamu melewati waktu beberapa tahun ke depan. Kamu mungkin akan bertemu dengan pekerjaan yang kamu rasa cocok, tapi nanti kamu akan ketemu sama pertanyaan mendalam : apakah kamu akan menjalani hal itu seterusnya dan selamanya, seumur hidupmu? Lalu kamu akan mulai berpikir bercabang-cabang karena pekerjaan yang kamu dapatkan sebelum kamu berkeluarga itu ternyata seberpengaruh itu pada keputusan-keputusan besarmu yang lain, seperti tinggal dimana, nikah sama siapa. Kamu mungkin akan ketemu sama hal-hal yang kamu rasa adalah petunjuk, tapi ternyata adalah ujian. Sama halnya dengan orang-orang yang hadir dalam hidup kita, banyak diantara mereka yang datang sebagai ujian, hanya sedikit sekali yang menjadi karib, dan hanya satu saja yang menjadi pasangan hidup. Saat itu kamu begitu berapi-api seolah semua hal akan sesuai dengan sangkamu, tapi ternyata kamu terjerumus pada ujian yang membuatmu kelelahan badan dan pikiran. Kamu bersedih. Tapi ketahuilah, ujian itulah yang nanti akan menjawab pertanyaanmu kenapa orang dewasa/orang tua itu bisa lebih bijaksana.
Kamu mungkin akan ketemu sama hal-hal yang di luar nalarmu. Seperti kamu hari ini, yang tengah berdiri pada apa-apa yang telah kamu raih dan memang ada juga yang belum berhasil kamu raih. Tapi sadar nggak, kalau kamu bisa berjalan dan bertahan sejauh ini saja udah merupakan pencapaian yang luar biasa di tengah semua dinamika hidup yang kamu jalani. (c)kurniawangunadi
491 notes
·
View notes
Text
Di antara Kinanthi dan Gambuh
Setiap kali melihat fase hidup, gue lebih suka melihat tembang Macapat. Gue merasa tembang-tembang ini merangkum perkembangan psikologi manusia. Kinanthi buat Young Adult. Gambuh buat yang memang memasuki fase dewasa.
Hidup gue di fase mana? Keduanya.
Satu sisi masih butuh dituntun dan masih berapi-api dalam mengkritik sesuatu. Sisi lain mulai belajar hidup harmonis dengan lingkungan sosial regardless masih diributin dengan pertanyaan:
"Kapan nikah?"
Tahun 2024 adalah tahun yang menenangkan. Banyak nangisnya tapi juga banyak nemu "aha" momen yang pada akhirnya membantu gue untuk mengevaluasi diri sendiri.
Yang membuat gue merasa "oh gue mulai masuk di fase belajar hidup bersosial" adalah pas gue menghadapi "uneg-uneg" di kepala gue.
Di fase remaja, gue nggak berani menyampaikan uneg-uneg. Di fase young adult, gue dar-der-dor brutal banget. Di fase yang sekarang? Udah mulai assertive, udah mulai nyari waktu yang tepat, udah mulai belajar pick the battle.
Begitupun ketika menghadapi segala kekurangan dan ketidakmampuan gue. Dari yang awalnya cuek sama ekspektasi society, kemudian merasa perlu mengikuti ekspektasi society hingga pada akhirnya gue belajar bahwa manusia nggak ada yang sempurna.
Kompas gue dalam membuat keputusan ya akhirnya berdasarkan prioritas sambil berdoa agar Allah mengampuni gue atas hal-hal yang nggak bisa gue selesaikan atau gue gapai. Atau mungkin bahkan Allah membantu menyelesaikannya di kemudian hari.
Pada akhirnya isi hidup kita ya:
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah ~XD
Ada banyak pembelajaran di setiap fase-fase hidup. Sekarang doa yang jadi top of mind di kepala gue adalah:
Semoga Allah memudahkan hidup gue. Semoga Allah menjadikan gue sebagai orang yang bersyukur, orang yang selalu tenang hatinya sehingga bisa mengenali kebaikan-kebaikan di sekitarnya. Jika hati ini punya keinginan untuk berbuat dosa, gue memohon kepada Allah agar dibolak-balikkan lagi ke arah kebaikan :D
Selamat tahun baru 2025!
67 notes
·
View notes
Text

Catatan April dalam sedekade.
10 tahun yang lalu, tulisanku dimulai di sini. Jerih-payah yang tergubah dalam setiap alinea perasaan, mengabarkan setiap arsiran makna di setiap derap langkah yang tertuju ke depan.
Namun, 10 tahun berlalu tentu menyisakan kabar yang rumpang bila hanya diwakili dua buah gambar. Mendewasa menjadi perkara yang lain lagi soalnya bila dibawa pada penerjemahan rasa; aku tentu sudah tidak muda, tak lagi berapi-api berunjuk rasa dalam belasan paragraf setiap hari seperti dulu kala. Kini, aku adalah lelaki awal tiga puluh yang mendekam di balik tembok tinggi kota, dan kadang diberi kesempatan untuk melongok bagian kecil lain dari dunia yang luasnya tak terkira.
Hidup menjadi realistis dan aku termegap-megap pada pilihan takdirku yang kian taktis. Aku bahkan terheran-heran, kenapa tulisanku dulu kok bisa begitu puitis? Ribuan tulisan, puluhan ribu pengikut, pada akhirnya lenyap bersama debu-debu kiasan masa lalu. Indah memang saat itu bila merunut waktu, bersama teman-teman yang kini telah bersimpangan jalan dan hidup dengan takdirnya yang terbuka lebar.
Tapi aku berkesempatan lagi, bercengkrama sekian menit di pengujung malam, di bulan April yang rahayu, memanggilku pada suratan takdir di masa lalu. Salah satu bibit unggul dalam memoriku adalah berani memulainya, 10 tahun yang lalu itu. Bertemu dengan pembuka garis takdir berupa arah dan warna, membuka setiap peluang berganda pengalaman yang bisa dikatakan luar biasa, meski yang pernah bertemu akan berpisah pula pada akhirnya.
Belum lenyap kiranya rumah pikir bernama Tumblr ini? Luar biasa. Aku pikir aku sendiri yang merajamnya ke dalam debu ingatan, tak lagi berkelindan dengannya bertahun lamanya. Kias-kias puitis sudah tak lagi menjamah liang logikaku, meski bekas-bekasnya masih bisa kugali dan kutiup bersama rindu, sambil kembali mengingat saat itu.
10 tahun lalu, dimulai sejak 2015. Satu dekade, takdir berparade.
Terima kasih, semoga sehat selalu!
22 notes
·
View notes
Text
terima kasih telah menyadarkan gadis berapi-api sepertiku. maaf, akan semua ttg kotorku. banyak yg kau harus tau, tuan mengenai hidup gadis kecilmu. ah sudah lah, yg terpenting kau harus tau. bahwa kau adalah satu makhluk tuhan di antara bermilyaran manusia yg saat ini aku dambakan. tubuhmu yg hendak memberi pesan. bibirmu yg selalu tersenyum. hingga aku mulai tersadar. bahwa selama ini mati-matian kau berusaha membuatku bahagia.
10 notes
·
View notes
Text

~Percikan dan Gelembung yang Berapi-api~
16 notes
·
View notes
Text
Ep 2: Monas dan Mars
Menjadi seorang ayah bukan cuma soal mencari nafkah. Tapi juga soal menuruti kemauan anak, meskipun kemauan itu sering kali datang di hari yang salah. Seperti pagi ini, hari Minggu, ketika aku ingin rebahan lebih lama, anakku, Zura, datang dengan semangat berapi-api.
"Ayah! Ayo kita ke Monas naik motor!"
Aku menatapnya dengan mata masih sepertiga terbuka. "Kenapa Monas? Kenapa naik motor? Kenapa harus hari ini?"
"Karena ini hari Minggu, Ayah! Nanti kalau hari Senin, aku sekolah. Kalau Selasa, juga sekolah. Rabu juga. Pokoknya, ini hari terbaik!"
Dari semua argumen yang aku pernah dengar di dunia ini, argumen Zura adalah yang paling sulit dibantah. Aku menoleh ke istriku, Puy, berharap dia punya alasan untuk menolak.
"Iya, Yah. Kasian Zura. Katanya udah lama mau ke Monas. Sekalian olahraga," kata Puy, tanpa rasa bersalah.
Aku menghela napas. Ini bukan pertarungan yang bisa aku menangkan.
Setengah jam kemudian, aku sudah duduk di atas motorku, dengan Zura di belakang, dan Puy melambaikan tangan di depan rumah, seperti seorang ratu yang melepas pasukannya ke medan perang.
"Ati-ati ya, Yah. Jangan kebut-kebutan!"
"Iya, Mah. Aku ini orang Teknik Sipil, bukan pembalap MotoGP."
Kami pun melaju ke Monas, dengan kecepatan yang cukup aman bagi seorang ayah yang sadar diri bahwa motornya bukan motor gede, melainkan motor hemat bensin yang kalau dipaksa ngebut, bisa tiba-tiba berubah jadi sepeda.
Di jalan, aku merasakan sensasi yang hanya dimiliki oleh seorang ayah yang naik motor bersama anaknya: tangannya memeluk pinggangku erat-erat, suaranya yang tak berhenti bertanya, dan kaki kecilnya yang sesekali menendang-nendang punggungku.
"Yah, kenapa angin kena muka kita kalau naik motor?"
"Karena kita bergerak lebih cepat dari angin, Nak."
"Kalau kita berhenti, anginnya berhenti juga?"
"Nggak, anginnya tetap jalan, kita aja yang berhenti."
Zura terdiam sejenak. Lalu dia bertanya lagi.
"Jadi kalau kita nggak naik motor, kita tetap kena angin?"
Aku mulai merasa diceramahi oleh seorang profesor kecil.
"Iya, Zura. Pokoknya angin itu nggak peduli kita naik motor atau nggak, dia tetap jalan. Sama kayak Mama. Mau kita nurut atau nggak, dia tetap benar."
Zura tertawa, dan aku lega karena berhasil mengalihkan pikirannya dari diskusi fisika yang berpotensi menguji batas pemikiranku sebagai sarjana Teknik Sipil.
Sesampainya di Monas, aku merasa seperti pahlawan yang baru menaklukkan medan perang. Bukan karena perjalanan yang berat, tapi karena aku berhasil tiba di sini dengan selamat tanpa pertanyaan jebakan lain dari Zura.
Kami parkir motor dan berjalan menuju taman sekitar Monas. Zura langsung berlari kecil dengan energi tak terbatasnya.
"Yah! Lihat tuh! Burung merpati! Boleh nggak kita bawa pulang satu?"
"Zura, itu bukan suvenir. Itu burung liar."
"Tapi kan di film-film ada orang yang punya burung merpati peliharaan."
Aku mengelus dada. Film memang sering membuat hidup tampak lebih mudah daripada kenyataannya.
Kami lalu duduk di bawah pohon rindang. Aku membeli es teh, sementara Zura memilih es krim yang entah kenapa lebih banyak menempel di pipinya daripada masuk ke mulut.
"Yah, kapan kita naik ke atas Monas?"
Aku melihat antrean panjang menuju lift yang akan membawa kami ke puncak Monas.
"Kayaknya kita harus antre lama, Nak."
"Berapa lama?"
Aku melirik antrean dan mencoba menebak.
"Sekitar… 45 menit."
Zura tampak berpikir keras. Lalu dia berkata, "Yah, aku kan masih kecil. Masa hidupku baru empat tahun. Itu berarti aku baru hidup sekitar dua juta seratus ribu menit. Jadi kalau kita harus antre 45 menit dari itu, kayaknya nggak masalah."
Aku terdiam. Bukan karena aku terpukau oleh cara berpikirnya, tapi karena aku baru sadar, mungkin anakku lebih pintar dari aku.
Kami akhirnya naik ke atas Monas setelah antre cukup lama. Saat sudah sampai di puncak, Zura berdiri di dekat pagar sambil memandang kota Jakarta yang terbentang luas.
"Yah, lihat! Jakarta kayak semut dari sini!"
Aku tertawa. "Iya, Nak. Kalau kita makin tinggi lagi, mungkin Jakarta bisa jadi kayak pasir."
"Kalau lebih tinggi lagi?"
"Jadi titik."
"Kalau lebih tinggi lagi?"
Aku menatap Zura dengan senyum. "Kalau lebih tinggi lagi, berarti kita udah sampai di angkasa, Nak. Dan saat itu, mungkin kita nggak akan peduli lagi Jakarta kelihatan kayak apa. Karena kita akan sibuk melihat bintang-bintang."
Zura tersenyum. Aku tahu dia belum benar-benar mengerti. Tapi suatu hari nanti, dia akan mengingat kata-kataku ini, dan semoga dia akan memahami bahwa perspektif bisa mengubah segalanya.
Kami turun dari Monas dan berjalan kembali ke parkiran motor. Aku mengeluarkan kunci dan bersiap untuk pulang.
"Yah, kapan kita ke sini lagi?"
Aku menatapnya dan tersenyum. "Kalau Ayah dapet jatah main game seharian dari Mama, kita nggak cuma ke Monas, Nak. Kita bakal ke Mars sekalian, naik motor, sambil makan nasi padang."
Zura tertawa dan memelukku dari belakang saat aku menyalakan motor.
Perjalanan pulang kami lebih tenang. Mungkin karena Zura lelah, atau mungkin karena dia sudah puas dengan petualangan hari ini. Yang jelas, di tengah perjalanan, dia tertidur sambil memeluk pinggangku erat-erat.
Dan saat itu, aku merasa menjadi seorang ayah adalah hal paling luar biasa di dunia. Bahkan lebih luar biasa daripada menemukan tukang bakso pas lagi lapar-laparnya. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan daripada anak kecil yang tertidur di punggung kita, percaya bahwa ayahnya bisa membawa mereka pulang ke rumah dengan selamat, meskipun ayahnya cuma punya motor berumur 10 tahun yang kalau lewat polisi tidur suka protes sendiri.
8 notes
·
View notes
Text
pusing dah daritadi kagak kelar kelar masalah yg bikin kesel 😡😡😡😡😡
#lagi mode berapi api
2 notes
·
View notes
Text
--- Bisa kan ya? Pasti bisa. ☀️
⠀
------------------
⠀
👉🏻 Mau dapat 𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏-𝒕𝒖𝒍𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒊𝒌 𝒍𝒂𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂? Follow @𝙖𝙧𝙞𝙤𝙖𝙜𝙞𝙤 yah.
⠀
🧒🏻 Jadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.
⠀
𝚆𝚒𝚝𝚑 𝚝𝚘𝚗𝚜 𝚘𝚏 𝚕𝚘𝚟𝚎,
ᗩᖇIO ᗩ. ᘜIO
#quotes#positivity#positive quotes#positive#self love#penulismuda#motivasionline#tulisan#tulisan penting#sindiran halus#sindiran kehidupan#penulis#penulis muda#penulis baru#penulis pemula#baik baik saja#catatan penting#catatan harian#do better#feel better#positive life#positif#positive thinking#positive thoughts#positive mental attitude#semangat#semangat berapi api#tulisan sederhana#anak muda#anak muda indonesia
4 notes
·
View notes
Text
Hujan di Bulan Juni
Tiada yang lebih mampu mengadah selain hujan bulan Juni di mana setiap deras pucuk jenuh mereda setelah dikunjungi
Tiada yang teduh menjarak saat hujan bulan Juni setiap rentangan waktu —tertunda, telah surut menyarati pasti
Tiada yang ingin beranjak dari hujan bulan Juni di mana terbangkitkannya langkah bukan lagi tafsir kitab terasingi
Dan tiada yang lebih dari segala yang jadi selain hujan bulan Juni saat kata tengah khidmat sebab kalimat diresapi hati
Hingga cukup—setelah ini: Juli biarkan Juni menjadi hujan biarkan Juli berapi–api mencerminkan segala hidup, yang sedang cakup; dan menjelangi itu—cukup
Oleh: Taera
5 notes
·
View notes
Text
Kami pasutri yang belum lama menikah, dan rasanya sangat menyenangkan: haru dan seru terasa berkah.
Baru-baru ini kami bicara tentang batas-batas penggunaan AI dalam pekerjaan kami. Sungguh AI sangat membantu dalam banyak hal. Mengurus administrasi, membuat surat-surat resmi, dan terutama menjadi kawan diskusi untuk menajamkan ide-ide.
“Tapi ada yang hilang dan tak mungkin tergantikan,” istriku ikut termenung mendengar kata-kata itu.
“ChatGPT memang kawan yang menyenangkan untuk berdiskusi. Dia tidak selamanya benar, dan saya sering memarahinya. Kalau kamu menengok riwayat chatku, kamu bakal mengerti kalau ia telah kulatih sedemikian rupa,” kataku, “Tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan hangatnya diskusi.”
“Dia tidak akan pernah menggantikan rasa hangat ketika memandang binar mata lawan bicara kita yang tengah berapi-api menjelaskan sesuatu yang ia sukai. Rasa hangat ketika kita menimbang-nimbang keputusan bersama teman-teman yang peduli pada kita.”
“Pernah kah kau merasa kalau arti pertemuan kadang terletak dari gestur lawan bicara kita ketika mereka sedang berpikir?” Kataku, “Bukankah hal semacam itu yang menjadikan waktu berjumpa menjadi sesuatu yang berarti?”
Setelahnya kami juga ngobrol soal budaya literasi yang kami ingin bangun kembali di rumah kecil kami.
Kau tahu, setelah menikah, teman dan sahabat setiamu, yang paling dekat denganmu, tempat mencurahkan isi hati dan pikiranmu, adalah istri/suamimu sendiri. Maka tidak bisa tidak, kami harus memulai lagi yang pernah menjadi kebiasaan kami: membaca, diskusi, dan menulis.
Bukan untuk keren-kerenan, atau terkesan sok pintar di hadapan kawan-kawan, tetapi sekadar untuk merayakan hidup yang singkat ini.
Kami putuskan membaca Neruda. Otobiografinya yang puitis itu. Kami ingin berlatih lagi mendapatkan sense ketika membaca kata-kata yang penuh umpama seorang penyair.
Mengapa hal itu penting?
Sebab di dunia yang begitu cepat ini, satu dari sekian hal yang membuat kita tetap menjadi manusia yang dapat berempati dan merasakan iba hati adalah kontemplasi. Zaman modern sering tak terlalu cocok dengan kontemplasi. Orang merenung sering dibilang naif, orang yang bijak menghindari konflik tak perlu dikira pengecut, orang yang tidak ingin punya gaya hidup mewah dipandang gila.
Padahal, hidup yang baik adalah yang disyukuri. Diri yang baik adalah yang membuat orang menysukuri hidupnya.
Lagipula rasa syukur tidak selalu berarti cepat puas. Rasa syukur sejati adalah perasaan untuk bersedia coba melakukan sesuatu lebih baik lagi sembari mengkhidmati apa yang kita miliki hari ini.
Kapan terakhir kali kau tak sengaja membaca sebaris makna yang membuatmu terhenyak, memikirkan lama apa rahasia sesuatu?
Begitulah. Mari kita mulai kembali baca Neruda. Semoga kita bisa berjumpa lagi.
————
Oh, ya. Foto ini adalah gambar Kampung Dewua di Poso, Sulawesi Tengah. Kampung ini merupakan salah satu kampung tertua bagi kalangan subetnis Bare’e To mPebato.
Nanti kapan-kapan kuceritakan perjalanan menegangkan di tepi jurang ketika menuju dan pulang dari kampung ini.
Kami ke sini dalam suatu kegiatan penelitian tradisi lisan.
Kampung ini mayoritas Kristen. Dan seperti ajaran agamanya, mereka hangat sekali.

2 notes
·
View notes
Text
Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Tapi, masa kamu disini-sini saja?
Dan kota ini, pernah begitu menyenangkan Kedai kopi yang dulunya cuma bisa dihitung jari, sekarang menjamur tumbuh di setiap sudut kota ini Resto cepat saji kesukaan berubah jadi yang paling kemusuhan karena mendukung gerakan Zionisasi Jalan lengang, lampu kota bahkan gang sempit bisa jadi sumber haha hihi Dari ber-3 jadi ber-8, dari ber-dua hingga menjadi forum terbuka Perihal jam pulang, ah sudah lah tidak usah kutuliskan
Hal yang dulu dilakukan bersama banyak orang hingga sekarang akhirnya kulakukan sendirian Sedih?..... Tidak Menyadari bahwa manusia adalah makhluk dengan energi kinetik membuatku sadar bahwa ternyata tidak seharusnya kita disini-sini saja dan begini-begini saja.
Seperti teman-temanku, aku juga melangkah menaiki tanggaku sendiri Ini bukan perihal tangga mana yang lebih tinggi, tapi tentang kesadaran bahwa tangga ini terasa sulit dinaiki karena akhirnya kita berjalan dan menaikinya sendiri-sendiri
Aku masih keluar masuk kedai kopi kesukaan hanya untuk mencari sumbu dalam kepala yang berapi-api Mungkin masih dengan komputer jinjing, gawai, materi dan teori para ahli Kerap sibuk dengan kupas-mengupas rumusan masalah dan objek penelitian Sesekali berteman jika ada pesan ajakan pertemuan dan yang terpenting, sepenuhnya sekarang aku sadar bahwa kemampuan untuk mentakan "iya" kepada orang lain juga harus sebesar itu kuberikan kepada diriku sendiri.
"Faktanya, di titik tulisan ini membentuk satu prosa. Aku menyadari bahwa aku yang disini-sini saja, ternyata tidak pernah begini-begini saja"
13 notes
·
View notes
Text
BENAYA
Ia adalah Biru
Biru langit di tengah hari cerah
Lalu, semakin ku sebut namanya
Skenarionya semakin membosankan
Biru, aku kubur di tengah cerita dan aku lahirkan kehidupan lainnya
Ia bernama Benaya
Terinspirasi dari tokoh cerita yang aku baca
Di tengah-tengah aku yang semakin buta aksara
Ternyata, semakin licik membodohi
Jalan ceritanya semakin berapi-api
Apapun, apapun yang membahagiakan
Benaya, belum mati
Ia lahir berkali-kali
Di tengah malam
Di tengah kemalangan
Apapun, apapun yang membahagiakan
Benaya adalah kebohongan
Dari manusia yang melahirkan kehidupan
Di tengah rebah, menunggu kekalahan
- 26 Februari 2025
2 notes
·
View notes
Text
Gue bakal jurnaling di sini pelan-pelan. Nyeritain progres mengenal diri sendiri untuk menjadi pengingat gue juga kalo kelak gue mulai ngerasain lelah lagi.
Tapi disclaimer, gue bukan influencer ADHD jadi mungkin nggak bisa menjawab semua pertanyaan yang masuk karena gue khawatir overwhelm.
Diagnosa ADHD itu life changing banget buat gue karena setelah didiagnosa, gue tuh jadi pelan-pelan belajar nggak masking atau berpura-pura normal. Sebagian besar orang ADHD merasakan sensory overload dan tidak mampu bekerja multitasking, termasuk gue. Sementara sebelum didiagnosa ADHD gue selalu memaksakan diri bekerja multitasking dan memaksakan diri untuk nyaman di tempat ramai, nyaman bersentuhan dengan orang lain, dan berasa aneh kalo kemana-mana bawa headphone dengan noise cancelling. Perkara headphone dengan noise cancelling ini, gue dulu tuh sering banget harus menjelaskan ke guru ngaji bahwa gue bukan terus-terusan dengerin musik. Headphone gue tuh justeru buat meredam bunyi dari luar. Karena gue nggak nyaman.
Sekarang gue sudah mulai berani ngomong ke temen-temen gue bahwa pas kerja tuh gue selalu pake TWS. Jadi misal gue nggak denger pas dipanggil, bisa via chat aja atau didatengin. Gue juga udah mulai belajar untuk menjauhi hp tanpa rasa trauma kalau ada orang yang marah pas balesan gue lama. Gue juga mulai belajar untuk mengatur pekerjaan sedemikian rupa untuk meminimalkan multitasking. Dan mulai berani bilang bahwa gue terkadang nggak nyaman dengan sentuhan dan nggak nyaman di tempat yang terlalu ramai.
Berjuang dengan sensory overload itu bagi gue udah bukan hal yang ngebuat gue merasa seperti alien. Karena gue mulai bisa mengenal diri dengan baik, aware kalo gue bisa depresi karena sensory overload dan gue bisa bertindak preventif untuk itu.
Dulu sewaktu belajar tazkiyatun nafs pasca gue melewati fase PTSD setelah ibu wafat, gue menyadari bahwa memahami psikologi manusia tuh sebenarnya bisa membantu kita merawat jiwa dengan baik. Gue tuh berharap kalo kelak gue pelan-pelan jadi lebih taat, gue menjadi taat dengan penuh compassion dengan memahami karakter gue.
Tentu selalu ada perjalanan berat untuk menggapai cita-cita yang kita pengen. Tapi endurance yang didapat dari tindakan yang tidak compassionate ke diri sendiri akan menghasilkan jiwa yang tidak compassion kepada semuanya. Tapi jika kita bisa menyayangi diri sendiri dengan baik, jiwa kita juga akan mendekat kepada Allah sebagai hati yang ridho.
semua pada akhirnya ingin menjadi hamba Allah yang dipanggil seperti dalam surat Al Fajr.
"Wahai jiwa yang tenang...."
Jiwa yang tenang, yang ridho terhadap takdir, yang berusaha merawat segala titipan dengan baik. Lalu kembali kepada Allah sebagai jiwa yang ridho dan diridhoi.
Gue menulis ini dengan semangat hidup yang berapi-api wkwk. Tapi memang sebaik-baik hidup adalah mempersiapkan pertemuan dengan Allah.
75 notes
·
View notes
Text
181
Mereka menyambutku dengan banyak cerita. Saling melempar hidup yang naik turun berkelok jalannya. Tak ketinggalan omelan panjang ketika bodoh menguasai tingkahku. Atau reka adegan marah ketika aku lagi-lagi kalah menantang sudut payahku. Pun pada tertawanya yang mengular ketika aku hampir menyudahi jalan satu itu.
Mereka tetap tersenyum lebar mengulurkan tangan. Memasang telinga baik-baik atas semua cerita tak berkelasku. Membuatku tertawa atas bercandanya yang tak berubah bentuk sedari dulu.
Kalimat romansanya memang tak berapi-api, tapi segala hal menyenangkan sepanjang alunan singkat itu berhasil mereka rayakan menenangkan hati.
Lagi-lagi memang benar, semua pasti disayang. Aku saja yang jahat.
—setahun lamanya.
4 notes
·
View notes