Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Puisi Haha
Biar ku tutup tahun ini dengan "Haha".
Haha yang menertawai kebodohanku, kenaifanku, kebebalanku.
Haha yang menertawai semua langkah kosong berakhir luka.
Haha yang menertawai semua perjuangan hampa berakhir nestapa.
Haha yang menertawai segala ambisi tanpa sebuah eksekusi.
Kali ini tak perlu ada resolusi. Nyatanya aku hanya gemar bermimpi tanpa mau menggerakan langkah kaki.
Maka biar ku tutup tahun ini dengan "Haha".
Tahun yang baru, aku jamin tak ada puisi "Haha" lagi.
Tahun yang baru, giliran aku yang menertawai puisi "Haha" ini.
— Arief Aumar Purwanto
150 notes
·
View notes
Text
Belajar.
Semakin dewasa, kita belajar banyak dari orang sekitar kita. Dari orang tua, dari keluarga teman, dari kolega di kantor, dari banyak hal yang selama ini mungkin tak pernah kita dapatkan di sekolah. Dan justru, kebanyakan dari pelajaran itu lebih berguna bagi kita di kehidupan sehari-hari. Pelajaran-pelajaran praktis, sesuatu yang terlihat melalui perilaku dan perkataan seseorang. Sesuatu yang kemudian kita tiru dan terapkan dalam kehidupan kita dan kita merasakan dampak perubahannya. Kita memang tidak pernah bisa meniru jalan hidup orang lain, tapi kita bisa meniru kerja kerasnya, semangatnya, kegigihannya, daya juangnya.
Sampai hari ini, kita bahkan mulai belajar dari anak-anak kita sendiri. Dari wataknya yang seringkali mencerminkan diri kita. Dari kehadirannya yang membuat kita sebagai orang dewasa yang dipaksa menjadi lebih sabar, lebih telaten, lebih hati-hati dalam bertindak dan berucap karena anak-anak akan meniru kita.
Besok, kita akan lebih banyak belajar. Semakin banyak bertemu dengan orang lain, semakin banyak masalah yang kita hadapi. Kita belajar tentang kebijaksanaan hidup yang tidak pernah ada dalam textbook. Kurniawan Gunadi | 6 Januari 2020
1K notes
·
View notes
Text
I’m really sad. I’ve been in the lowest than this but it stills amazing how this situation makes me crying for a day long.
I was rejected that is the fact. But it’s not the same as hundreds of rejection I have felt, it’s way more blue.
The saddest part was the one who encourages me to chase my dream is someone who stole it. And I’m not a type a person who easy to be convinced. which mean this person is the one that I trust too much.
and loved so much.
I was mad but I can’t do nothing. It is really desperating. The only way to make it better it is just to accept. That is what I said every time I got rejected. But this time, I won’t.
I was really sad because I believe if I was smart, cool and everything I want to be. But, I am just I am.
I was really sad because I can’t chase the same opportunity as the smarter, cooler people do. But unfortunately we are on a different level.
And there is nothing to deny that.
Maybe this is the end. I guess I just have to accept that my life wasn’t too bright, too wonderful as the way how motivational books written by the cooler and the smarter people did.
I don’t have something special.
I am ordinary.
And I will ever be nobody.
2 notes
·
View notes
Text
Lama tidak nulis karena sibuk dengan banyak hal. Awalnya aku nulis disini cmn sebagai curahan hati aja. Semacam writing therapy gitu. Sedikit hati-hati karena toh tumblr ini media sosial, semua bisa baca, bisa bisa ada yang tersinggung.
Setelah kubaca beberapa tulisan lawasku yang kurang lebih isinya sambatku, aku merasa banyak banget yang beda dari aku sejak 6 bulan lalu.
Ternyata aku se-negatif itu loh. Hebat.
Beberapa bulan ini, mungkin setelah semester 6 berakhir, ada seseorang yang tiba-tiba datang.
Kaget sekali tapi aku senang, karena dia adalah orang yang memperlakukanku secara baik.
Awalnya aku cuek, aku menganggap dia seperti orang lain. Benar-benar setidak peduli itu hingga aku memperhatikan apa yang dia lakukan. Walaupun cuma hal kecil, tapi aku tau dia sedang berusaha membuatku senang loh. Gila, padahal aku siapa sih.
Awalnya masih malu-malu, namun lama-lama makin terang-terangan. Digojlokin sama orang-orang? Dia tetap melakukannya.
Pernah aku nanya kalo dia malu apa nggak. Eh dia malah balik nanya, "emang kamu malu kin?".
Fakta lain yang mengejutkan ternyata dia sudah memperhatikan sejak lama. Lantas aku nanya "kenapa baru sekarang?". Aku sibuk jawabnya. Tapi aku memang tahu, meraih IPK bagus dan menang kejuaraan internasional memang butuh waktu yang banyak. Belum lagi penelitian yang dia lakukan. Beuh.
Diam-diam aku merasa minder, selama beberapa bulan ini aku malah sering sambat hal-hal bodoh disini sedangkan dia lagi sibuk berkarya.
0 notes
Text
Penerimaan Mereka
Ada hal-hal didirimu yang tidak bisa diterima olehnya, atau oleh ayahnya, atau oleh ibunya, atau oleh keluarga besarnya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan diri. Karena pada dasarnya, penerimaan itu tidak dapat dipaksakan.
Buat apa jika kita menerima satu hal, tapi menolak hal yang lain dalam saat bersamaan?
Untuk apa menjalani sesuatu yang tidak utuh?
Kau mungkin saja diterima oleh seseorang, tapi apakah kamu yakin akan menjalani perjalanan panjangmu dengannya apabila ada satu saja orang terdekatnya yang menolakmu. Bukankah itu memberatkan langkahmu? Sebab, langkahnya tidak leluasa.
Ada hal-hal didirimu yang mungkin bisa diterima orang lain, tidak oleh orang lainnya. Tidak mengapa, bukan tugasmu untuk membuat orang lain terpaksa menerimamu. Karena, sejak awal. Itulah warna hidupmu, tak perlu mengubahnya demi penerimaan, tak perlu mewarnainya dengan sesuatu yang justru membuatmu jadi tidak bisa menerima dirimu sendiri, hanya demi diterima orang lain.
©kurniawangunadi | 2 Mei 2019
950 notes
·
View notes
Text
Mahasiswa Biasa
Sebelum-sebelum ini, kupikir bahwa menjadi mahasiswa biasa-biasa aja, tanpa prestasi, ikut organisasi juga tidak berkontribusi penuh–hanya sebagai bagian dari nyari kesibukan, nyari teman, dan nyari CV. Jalannya akan lebih sulit di banding dengan teman-teman yang penuh prestasi dan aktif dimana-mana.
Lalu, bertahun kemudian saya menyadari bahwa tidak demikian jalannya. Dulu, sewaktu mahasiswa, ada teman-teman kita yang sudah menemukan “tempat bermainnya”, sedang kita masih bingung sambil terus jalan mencari jati diri. Ikut ini, ikut itu, tapi tetap saja tidak menemukan kecocokan jiwa.
Bahkan, hari ini saya malu jika harus mencantum riwayat organisasi yang pernah dulu diikuti. Tidak satupun organisasi yang diikuti, saya berkontribusi besar kepadanya. Hanya sebagai sebuah pelarian, sebuah pelampiasan untuk mencari nama, mencari label.
Saya paham, bahwa menjadi mahasiswa yang biasa-biasa itu tidak masalah. Sama sekali tidak masalah. Saya baru bisa berperan, mengenali diri, tahu tujuan justru selepas mahasiswa. Tahu, mimpi saya apa, jalannya bagaimana, dan semua hal yang dulu ketika saya mahasiswa. Saya tidak tahu…
Banyak sekali di antara teman-teman kita dulu begitu riuh untuk mencapai satu titik prestasi tertentu, menjadi mapres, menjadi delegasi kampus, menjadi apapun yang membuat masa depan terlihat lebih cemerlang dibanding kita. Tidak salah, toh kita tidak sedang mencari yang salah dan yang benar.
Hanya saja, saya tidak tahu dan tidak punya gairah yang sama dengan mereka. Bukan juga karena tidak mau berjuang, melainkan memang saya tidak ada minat sama sekali untuk meraih itu semua. Saya lebih suka berdiskusi, berbicara dari hati ke hati dengan teman-teman saya yang serupa. Serupa merasa keliru memilih jurusan, serupa bingungnya dengan masa depan, serupa gelisahnya dengan apa yang dijalani.
Kini, hampir 10 tahun yang lalu sejak saya menjadi mahasiwa, 5 tahun yang lalu selepas saya melepas mahasiswa. Kami semua sudah berada pada titiknya masing-masing, berkarya di tempatnya masing-masing, dan menjadi dirinya masing-masing. Sesuatu yang dulu, kami bincangkan semasa mahasiswa. Sesuatu yang baru kami sadari, bahwa tidak masalah gelisah dan galau selama mahasiswa, tidak kenapa-kenapa jika kita tidak berprestasi seperti rekan kita yang lain, tidak masalah menjadi mahasiswa yang biasa-biasa. Nanti, akan ada masanya kita mendapatkan MOMENTUM hidup kita sendiri :)
Yang terpenting adalah; tetaplah menjadi orang baik dan jangan merepotkan orang lain, bermanfaatlah :)
©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Setuju dengan sebagian.
Keluar dari Persembunyian
Aku menyukai hal-hal yang sunyi. Seperti makan seorang diri waktu ke restoran, menikmati suasana perpustakaan yang hening, me time sewaktu di toko buku, juga tak lupa berdiam diri di masjid.
Tetapi, ada kalanya aku merasa aku harus keluar, melakukan sesuatu yang berbeda dan tidak membuatku nyaman. Semisal saat aku harus berada dalam keramaian acara, aku berusaha menyesuaikan diri, berusaha untuk ramah dan menyapa lebih dulu. Hal-hal seperti itu, menguras tenagaku. Kadang, aku berpikir untuk apa aku harus bersusah payah seperti itu bila aku bisa nyaman dengan diriku sendiri.
Waktu berlalu.
Aku akan menjalani peran-peran baru yang mungkin tidak pernah ku sangka. Menjadi orang tua adalah salah satunya. Hidup sebagai bagian dari masyarakat, bertetangga, dsb. Aku tidak bisa terus menerus bersembunyi di bilik kamar. Segala sesuatunya, memang seringkali baru kita pahami setelah bertahun terlewati.
Aku masih menyukai kesunyian. Seperti saat aku bisa merebahkan badanku, bermimpi bahwa aku bisa menjadi sagalanya, seperti saat anak-anak. Saat aku hanya mau berbicara dengan ibu dan ayah, tidak semua orang. Saat aku bisa membaca buku seharian dan hidup dalam duniaku.
Tapi, dunia ini meminta kehadiranku untuk berperan. Aku membuka pintu, dunia yang riuh ini benar-benar sesuatu yang selama ini kuhindari, tapi aku tahu menghindari masalah tidak akan menyelesaikan apapun :)
Hai, dunia. Aku tahu kamu tidak akan berbaik hati kepadaku, maka aku akan keras terhadap diriku sendiri sebelum kamu bersikap keras terhadapku.
©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Tulisan : Tak Kunjung Selesai
Apakah dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan, pekerjaan, perjalanan; kekhawatiran itu akan hilang dan terlupakan? Ternyata tidak, ia hanya sembunyi sebentar lalu muncul lagi sewaktu-waktu. Waktu menunggu commuter line yang datang, waktu menumpang bus ke tujuan, waktu membuka pintu kamar dan merebahkan diri, waktu sujud-sujud panjang.
Kekhawatiran itu tidak serta merta hilang karena semua pencapaian yang dimiliki. Pekerjaan yang mapan, penghasilan yang lumayan, keluarga yang hangat. Kekhawatiran itu tetap ada, layaknya udara. Mengisi setiap ruang yang kosong di dalam diri ini. Menyelinap masuk diam-diam saat kita tengah terjebak dalam kesunyian.
Yang sudah kuliah khawatir pada pekerjaan setelah lulus. Yang sudah bekerja gelisah karena takut ditempatkan di tempat antah berantah, berpisah dari orang-orang terdekat. Yang sudah bekerja, khawatir pada pernikahan yang tak kunjung terlihat tanda-tandanya. Yang sudah menikah khawatir pada kondisi finansial yang tak kunjung stabil, keluarga besar yang terus menekan, dan buah hati yang tak kunjung dimiliki. Yang sudah memiliki buah hati, khawatir pada masa depan. Yang sudah sampai di masa depan, khawatir pada apa yang sudah terjadi di masa lalu.
Semua kekhawatiran itu ternyata tidak selesai begitu saja :) ©kurniawangunadi
823 notes
·
View notes
Text
Mendalam
Mengapa, pembicaraan yang mendalam, tidak semua orang ingin mendengarkan? Seperti membicarakan tentang kematian, tentang rahasia diri, tentang hal-hal yang tersembunyi, sesuatu yang tidak pernah ditampilkan di keseharian. Tentang hal-hal yang membuatmu tertekan, depresi. Tentang harapan-harapan yang berkembang tanpa pegangan, terbang tinggi lalu hilang. Tentang orang tua yang kita nilai, tidak mampu memahami kita. Tentang kita, dan hal-hal yang kita takutkan.
Mengapa tulisan-tulisan yang mendalam tidak laku dibawa ke pembaca. Yang surface, yang banyak bicara kisah indah dan cinta, yang tidak perlu memahaminya dengan berpikir, lebih mudah diterima? Mengapa hal-hal yang mendalam hanya beresonansi ke sedikit orang? Apa mungkin karena kedalaman setiap orang dalam memahami sesuatu, mengobservasi, dan daya tahannya untuk berpikir lama, itu berbeda? Bagaimana jika, kita bicara hal-hal yang mendalam di ruang publik. Bicara dari hati ke hati, tentang segala sesuatu yang membosankan di dunia ini, tentang lelahnya kita dituntut untuk seperti ini dan itu oleh persepsi masyarakat, tentang tuntutuan-tuntutan keluarga yang membuat kita bingung bagaimana caranya menjadi anak yang berbakti sekaligus memenuhi hasrat dan tujuan penciptaan kita.
Bagaimana kalau ruang-ruang yang mendalam itu dibawa ke dalam tulisan-tulisan, apakah kamu mau membacanya? Menyisikan sebagian besar waktu dan energimu untuk memikirkannya. Memahaminya.
Karena aku selalu mencari orang-orang yang mau diajak menyelami hidup ini jauh dari permukaannya, karena sepi sekali di sana, gelap sekali di sana. Maukah kamu menyelami hidup ini sejauh itu dan siap menemukan sesuatu yang mengejutkan dari dirimu sendiri? Siapkah kita semua menerima kebenaran, karena selama ini kita kan sibuk mencari pembenaran? Siapkah kita menerima kenyataan, karena selama ini kan kita sibuk hidup di dalam angan-angan? ©kurniawangunadi
2K notes
·
View notes
Photo

Commissioned wall art for Nike Istanbul head office 🔥✨
2K notes
·
View notes
Text
Berkata Tidak
Kapankah waktu terbaik untuk kita bisa menolak seseorang, menolak untuk membantunya, menolak untuk melakukan sesuatu untuknya, tatkala selama ini kita begitu sulit untuk melakukan itu, cenderung tidak bisa menolak sekalipun semua itu menyulitkan dirimu sendiri, juga hidupmu.
Waktu terbaik itu ialah ketika hubunganmu dengan orang tersebut sedang berada dalam kondisi baik, tidak sedang bertengkar, tidak sedang berselisih. Kata “tidak” akan lebih ringan beban emosinya, lebih ringan pula untuk dimaknai.
Bayangkan bila kamu berkata tidak kepada seseorang tatkala hubunganmu sedang tidak baik-baik saja, kata tidak bisa menjadi kata pertama dan terakhir yang kamu berikan kepadanya.
Karena setelah itu, kamu dengannya sudah tidak ada hubungan lagi.
©kurniawangunadi
574 notes
·
View notes
Text
Opini Ga Femes #4
Yang aku takutkan kalau terlalu lama sendiri (selain gabisa menikmati diskon buy 1 get 1 atau makan di resto all you can eat) itu adalah hati jadi mengeras. Takutnya, saking kerasnya kita bisa melukai orang-orang yang memang benar tulus kepada kita. Yang lagi-lagi akan berpengaruh kepada kemampuan kita untuk membalikkan keadaan sial ini.
Perilaku toxic ini semakin sering kurasakan akhir-akhir ini. Sadar tak sadar aku melakukannya. Mungkin karena usiaku juga bukan usia remaja lagi, makin banyak beban dan memang sudah waktunya berada dalam tahapan 'mengemban' hidup sendiri.
Penolakan terhadap ketulusan orang lain ini tentunya bakal menyakiti kedua pihak. Kita, karena kita bersikap pura-pura strong dan mereka yang sudah melapangkan hati namun kita paksa untuk menutupnya.
Memang tidak mudah membuka hati kalau sudah sering merasa lelah disakiti (ceilah). Namun bukan berarti nggak bisa, perlu sedikit pemanasan saja. Tidak perlu play victim gara-gara kita selalu menjadi orang yang transparan di lingkaran kita.
Malah kurasa dengan banyak pengalaman pahit, bukankah jadi makin mudah untuk membedakan mana yang asli dan palsu?bukankah makin mudah membedakan mana yang berempati dan berbasa-basi?.
Bukankah jika kita semakin mengerti, semakin banyak energi yang dapat kita simpan karena tidak ada konflik batin yang tidak perlu?
Yuk, mari maniskan hidup kita yang sudah asem ini.
#pikiran#tulisan#manusia#opini#orang#hidup#kehidupan#positif#3am thoughts#semangat#selfreminder#nasehat
1 note
·
View note
Photo

Kakak boleh sekolah di mana saja, ambil jurusan apa aja, sepanjang itu hal yang baik dan kakak bertanggungjawab atas pilihan yang sudah diambil. Tugas ayah adalah mengenalkan, menemani, dan menjadi teman berdiskusi kalau kakak mengalami kebingungan terhadap pilihan-pilihan yang ada. Sekaligus meyakinkan kakak bahwa nanti pasti akan ada masanya di titik terendah, di saat itu Ayah akan mengajak kakak kembali menelusuri jejak yang sudah dibuat sampai bertemu pada alasan-alasan terkuat sebuah pilihan diambil di masa sebelumnya. (at Bandung) https://www.instagram.com/kurniawan_gunadi/p/BuiMzOQlHDV/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=29u5pcpe42is
446 notes
·
View notes
Text
Opini Ga Femes #3
Hubungan semacam pertemanan itu memang tidak bisa dipaksakan. Pasalnya, aku selalu menjadi seolah-olah orang 'ketiga' dalam hubungan seperti ini. Transparan dan biasa digubris kalau memang ada 'butuh' saja.
Aku sempat sedih untuk beberapa waktu yang lama soal ini. Apakah aku nyebelin? Apakah aku berteman dengan orang yang salah? Apakah aku ini orang yang bosenin?. Bahkan rela sedikit 'caper' agar setidaknya teman-temanku memberikan sedikit perhatian. Walau nyatanya jarang banget, haha.
Memang aku ini bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi. Bukan juga tipe -tipe yang mention orang di komenan postingan receh. Dan hanya membuka pembicaraan kalau tidak ada yang mulai duluan (dan ini jarang banget).
Keputusanku berubah menjadi sedikit 'caper' ini mulai meredup. Gara-gara DM di akun seorang teman yang di-screenshot dan (semoga saja dia bercanda) mengirimnya ke grup chat. Kira-kira isi DM nya mengomentari soal fotoku yang lagi makan sama si A. Si pengirin DM bilang dia kangen dengan si A tapi langsung menjawab tegas ,"tidak" ketika ditanya apakah kangen aku juga. Tanpa emoji, tanpa basa-basi haha hihi.
Baik! Pikirku. Walaupun hati sedikit teriris aku mengirim sticker lucu bergambar muka datar. Pada akhirnya aku ini memang tidak ada teman ternyata atau setidaknya membuat orang lain senang, batinku sambil tertawa lirih.
Tanpa sadar aku pernah tidak sengaja menceritakan ini ke seorang teman sebut saja si B. Waktu itu topiknya tentang kenapa-selalu-aku-yang-tidak-diajak-hangout-sendiri-dalam-satu-lingkaran-yang-sama. Sekejap suasananya langsung menjadi kaku, lalu aku ketawa sambil berkata,"Halah mungkin aku yang kepedean menganggap aku masuk di lingkaran itu!". Oke aku merusak suasanya.
Memang si B ini sangat baik. Beberapa lama setelah momen spill the tea itu, aku seiring diajak jalan-jalan. Aku tentu saja sangat sangat menghargai perbuatan mulianya. Tapi sebodoh-bodohnya kamu tentu saja kamu bisa merasakan ketidaknyamanan di gerak-gerik seseorang saat bersamamu. Tepatnya itu yang kurasakan saat bersamanya.
Untungnya karena perbedaan kepentingan, dia semakin menjauh karena sibuk dengan pekerjaannya. Sedikit lega dan sedikit sedih.
Ketika itu juga aku berpikir:
"Yasudahlah jika faktanya tidak ada yang main sama kamu. Kamu kan bisa nonton film yang kamu suka atau nongkrong di cafe yang lagi hits tanpa menunggu orang lain. Kamu juga bisa shopping dengan tenang tanpa meributkan bakal dinilai seperti apa sama teman. Pede aja!"
Somehow this mantra works. Aku mendapat kesenangan yang bisa kunikmati sendirian. Less stress juga, karena aku tidak perlu sibuk berinteraksi dan memikirkan perasaan orang yang pergi bersamaku.
Namun mantra ini ciut, ketika aku mengekspresikan kebahagiaanku di media sosial (yap aku ngepost aja karena toooh memang ada yang peduli). Seorang bahkan beberapa orang teman semakin lama semakin mengomentari ",Kamu kemana-mana kok sendirian sih??". Teman yang kuanggap dekat saja (kampret emang) pernah berkomentar seperti ini.
"Bangsat nyebelin banget sih," batinku. Awalnya aku sok positif, berusaha membalas dengan ramah dan sesantai mungkin. "Iya kan jomblo", "Iya kan pada sibuk hehe", "Pengen me time aja hehe."
Namun entah kenapa komentar-komentar ini semakin membuatku merasa teremehkan. Seolah-olah orang-orang kurang kerjaan ini bilang "Kin, I have a better social life than you." Akhirnya kini aku memutuskan menjawab pertanyaan basa-basi ini dengan ,"Ya kalian ajak aku hangout dong!."
Lucunya hal yang kuanggap cukup savage ini terkadang malah dibalas dengan alasan-alasan konyol seperti tidak tahu jadwalku kah, atau aku terlihat sibuk lah. Dimana pertanyaan-pertanyaan itu bisa akan mudah terjawab jika kamu bertanya duluan sebelum mengajak jalan-jalan tentunya!
Ah semoga aku cepat bertemu dengan orang baik dan keluar dari lingkaran setan ini!
-091098
2 notes
·
View notes