Kumpulan monolog dan dongeng : dari pada tercerai-berai di sosial media saya, saya kumpulkan di sini, barangkali bisa dinikmati.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Hypersex-Patriarcy atau Apalah,
_________________________________
Modar.
Menatapi rumput di bawahku yang tumbuh liar, aku malah memikirkan hal gila.
Bagaimana jika siang ini, kita bersetubuh saja!?
Untuk ukuran dirimu, mungkin aku seumuran paruh baya. Tapi peduli setan sama usia, aku sedang kokoh-kokohnya.
Asal kau tahu, semakin sering kita bertemu – bukan – semakin sering KAU menemuiku, imaji syahwatku semakin tak bisa kukendalikan. Sejauh ini aku hanya diam. Benar-benar diam, secara harfiah.
Kau yang melakukan ini itu dan membuatku bangkit begini.
Dan kukira sahammu cukup besar dalam kengiluanku ini. Ini adalah salahmu. Ya, salahmu, titik. Kau harus bertanggung jawab. Bersetubuhlah denganku, siang ini. Aku tak peduli kau sebut diriku hypersex-patriarcy atau apalah, aku tak peduli, sayang...
Siapa aku? ah, kurang ajar sekali kau...
Aku ini pohon beringin di taman kota yang kerap kau sandari dan kau sentuh lembut batangnya.
Jadi, bagaimana, kita bersetubuh saja!?
2 notes
·
View notes
Text
Barang kali, tenda kecil yang sedang bercokol di ketinggian 1547mdpl adalah tempat paling salah untukku saat ini. Duduk berdesak diapit oleh kawanku, Udin, dan seorang pendaki yang tak sengaja kami temui begitu sampai di puncak. Saat itu puncak Gunung Pundak sedang diguyur hujan dan kami numpang berteduh di tenda orang.
Sore itu, aku masih saja tercenung memikirkan keberadaanku di dataran tinggi yang menghadap kebesaran Gunung Welirang ini. ngopo iki aku kok anjog rene !?
Sampai tadi pagi, aku masih berada di depan meja kerjaku, asyik menjelajah dunia simulacra sembari mendengarkan beberapa lagu folk karya musisi lokal indonesia. Gawaiku berbunyi, ada pesan masuk dari kawanku. Oh, Ia mengajakku berendam di pemandian air panas Pacet. butuh lima menit untuk memutuskan menerima tawarannya. Sepuluh menit selanjutnya Ia sudah di depan kosku. Celana dalam dan sepotong kaos kumasukkan dalam tas dengan cepat. Kami berangkat.
Motor kawanku ini sungguh menyulut iba. Butut dan nampak ringkih. Supra Fit keluaran lama yang dari suara mesin dan rantainya bisa diperkirakan jarang diservis ini, siapa yang tahu, ternyata masih kuat untuk mengangkut dua laki-laki dari Surabaya menanjak ke dataran tinggi Pacet. Meski harus disertai istirahat berhenti beberapa kali, ketika mesinnya mulai mengeluarkan bau gosong.
Terhitung ada sekitar tiga kali kami berhenti. Di pemberhentian ke tiga, di daerah Mojosari, aku meminta Udin untuk berhenti di minimart saja. Aku butuh minum.
Seusai minum kubayar, aku keluar dari minimart.
“lanjut?”, tanyaku
“sebentar, mesinnya perlu istirahat”, Udin meyakinkan sambil menatap serius mesin motornya yang mengeluarkan asap tipis..
Aku mendekat saja. Sial benar, bau gosong menyeruak. Supra Fit tua yang jelas sudah tidak fit ini, benar-benar harus beristirahat cukup lama kali ini.
Aku mulai menatap jalan ketika Udin masih sibuk memandangi mesin motornya yang berasap.
“Sarapan dulu Din” kataku.
Di samping Minimart itu ternyata ada sebuah warung. Mendengar ajakanku, Udin mengangguk. Ia telah menanggalkan perhatiannya pada motor bututnya. Ia juga lapar. Kami berjalan meninggalkan motor Udin sendirian. mengizinkannya beristirahat agak lama kali ini.
Warung itu kecil. Hanya muat empat sampai lima orang kira-kira. Di balik meja, ada seorang wanita paruh baya berdaster coklat yang menguncit rambutnya. Aku memesan nasi putih, dua potong tempe, dan sayur lodeh. Udin Juga. Warung kecil itu hanya menjual itu.
Tak sampai sepuluh menit dua piring telah tandas kami santap. Diluar dugaan, meski menunya sangat sederhana, nikmatnya luar biasa. Lodeh paling nikmat seumur hidupku.
Selesai makan, Aku tak langsung beranjak. Aku mengobrol sejenak dengan Udin sekalian menurunkan makanan yang baru saja dilahap dengan cepat.
“Rasanya hidupku tak ada kemajuan akhir-akhir ini”, entah kenapa kalimat itu yang muntah dari mulutku.
“Maksutnya?”
“Yaa tak ada kemajuan, dari dulu nasib gini-gini aja terus”
“ya maumu gimana?”
“Aku pingin jadi penulis sekarang”
Udin terkekeh.
“ngopo koe ngguyu ndul !?”, Aku rasa gagasanku baru ia lecehkan.
“Tiap hari kamu sudah nulis status di sosial media gitu lho, mananya yang bukan penulis?”
“ya bukan begitu maksudku, aku pingin jadi penulis profesional gitu,.. yang terkenal”
“loh kamu pingin jadi penulis opo jadi terkenal?”
“emh, ya rolo karo ne lah, apa gunanya menulis kalau tak ada yang membaca”, suaraku meninggi, tanpa sadar.
kemudian Udin hanya menyungging bibirnya. mengangkat diri. dan pergi ke luar warung. sinis sekali. Anjing. Makanannya belum Ia bayar pula. Anjing lagi.
1 note
·
View note
Text
Saat itu Hujan juga. Ia Menyetir Sambil Melamun.
______________________________________
Sudah 30 menit lebih, Arya berteduh di pelataran sebuah minimarket terkenal. Anumart.
Jaketnya yang basah karena diserbu air dari langit kota surabaya itu sudah Ia lepas. Antisipasi, agar tak masuk angin.
Arya hanya termangu sambil bersila di lantai menatapi jalan yang seolah tak bergeming ditujah hujan. Pikirannya semakin lama semakin kemana-mana.
Ternyata pikiran pemuda itu bukan berpetualang tanpa tujuan. Arya tiba-tiba memikirkan seorang wanita dari masa lalunya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak diduga, Arya masih mengingat tiap detail tubuh wanita itu.
Mungkin, hujan tertentu di saat tertentu yang turun dari langit kota tertentu punya kuasa tertentu yang meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengenang sesuatu.
Tak disangka, Air menitih dari mata pemuda berkulit coklat dengan kumis tipis itu. Tak ada yang menyadarinya meski kondisi cukup ramai. setidaknya, Arya tak perlu menjelaskan apa-apa karena tak ditanyai masyarakat alasan kenapa ada air lain yang menetes di pipinya, selain air hujan.
Wanita dalam renungan Arya itu tersenyum. Arya pun tersenyum. mereka berbalas senyum. dan masyarakat sekitar hanya menyaksikan dengan heran seorang pemuda lusuh yang senyum-senyum sendiri di pelataran sebuah minimarket ternama. Anumart.
Wanita dalam pikiran sekaligus masa lalu Arya itu sudah wafat perkara kecelakaan. Saat itu hujan juga. Ia menyetir sambil melamun. Ban sepeda motornya selip saat mengerem mendadak di lampu merah. Ia terjatuh. Helmnya lepas. Otaknya gegar. Arwahnya melayang.
Kini arwah wanita itu merasukiku, dan menulis sebuah kisah tentang lelaki yang Ia lamunkan sesaat sebelum Ia terjatuh dari sepeda motor yang ia tunggangi.
selesai.
0 notes
Text
SYARAT DAN KETENTUAN BERLAKU.
__________________________________________________
Akan kuceritakan tentang kronologis bagaimana aku menyukaimu lalu selanjutnya, dengan cepat, kukutuk sendiri kekhilafanku.
Suatu malam. Seperti biasa, aku sulit tidur. Aku tenggelam dalam gawaiku, menjelajah di sebuah dunia yang mungkin bahkan tak terkhayalkan oleh Patih Gajah Mada. Dunia itu bernama : explore instagram.
Dari sekian gambar yang terdisplay, aku menikmatinya satu per satu. ada yang lucu, bikin gemas, bikin geram, tapi tak ada satupun yang bikin ngantuk!
lalu seketika aku terkesiap oleh fotomu yang terdisplay di kotak gambar kedua dari bawah.
Siapa wanita ini? aku bergumam lirih.
Ya, kau nampak cantik dibalut kerudung warna cerah motif bunga ungu itu.
Tanganku, jempolku tepatnya, mulai berpindah haluan dari yang sebelumnya di kotak gambar tengah kemudian perlahan mendekati posisi kotak gambar yang terdapat dirimu tersenyum di situ. Hatiku berdebar.
Aku clingak-clinguk sejenak, memastikan kamar kos yang, padahal, hanya kuhuni sendiri ini benar-benar sepi. Perbuatan bodoh memang, tapi aku hanya ingin melindungi rasa maluku. aku malu jika ada orang lain melihatku : sendirian stalking seseorang malam-malam. Aku tidak seputus asa itu.
Segelanya tampak hening dan sepi. aman. Akhirnya, dengan mantap jempolku menyentuh kotak gambar itu. Gambarmu semakin besar memenuhi layar ponselku. aku semakin berdebar. seketika duniaku hanya selebar 5,5 inch.
Siapa anak ini?
selanjutnya, kulihat ada sebaris namamu di kiri atas fotomu yang aduhai itu. hmm.
Apa aku perlu melihat profil anak ini?
Ternyata jempolku bergerak lebih cepat dari proses berpikir di kepalaku. jempolku menyentuh baris huruf itu : namamu, atau lebih tepat, nama akunmu.
Layar ponsel pintarku berubah putih selama sepersekian detik. Aku mengerjap. Momen itu adalah momen yang rasanya mirip seperti kau disadarkan dari mimpi. Aku tersadar kembali.
Kini tampak di layar ponselku halaman profil akunmu. Dari sinilah titik balik itu.
Kubaca perlahan-lahan bio deskripsi di bawah gambar bulat foto profilmu. Di sana tak ada kalimat yang menggambarkan dirimu, tak ada kalimat yang menjadi filosofi hidupmu, pun tak ada kalimat yang memberiku informasi lebih mengenai kepribadianmu. alih-alih malah tertulis begini :
artist. SYARAT DAN KETENTUAN BERLAKU (SLOT TERBATAS) Malang•DM or LINE for business inquiry/ENDORSE/KATALOG/MARKETING
wadaaah, jebule kenek an!
aku khilaf. jempolku juga khilaf. klik back, back, back, home, lock. Kuraih Buku bertajuk 'Poligami Yuk' karya Agus Mustofa yang tadi sempat kubaca, untuk kulanjutkan.
aku dongkol dan diselimuti rasa sesal karena baru saja hampir suka sama sebuah produk.
0 notes
Text
Tiba-tiba Keretaku Berhenti Mendadak. Jantungku Mau Copot. Hampir saja kuhunus Pedangku.
_______________________________________________________
Kapan terakhir kali kau didongengi kisah tentang seorang pangeran? Akan kuceritakan satu. Dari pengalamanku.
Saat itu tanah Surabaya sedang dibasahi air hujan, deras sekali. Surabaya sedang mengalami fase hujannya, Yang berarti, untuk kota padat penduduk dan minim area resapan ini, hal tersebut bisa berarti bencana. Genangan air, sungai meluber, macet dan hal-hal lain yang begitu menggoda mengundang sumpah serapah.
Tepatnya pukul 3 sore aku baru saja turun dari kereta dan menjejakan kaki di Stasiun Surabaya Gubeng. Tujuanku selanjutnya adalah pulang ke kos, menaruh tas, berganti baju lalu berbaring. letih, Aku baru saja melakukan sebuah perjalanan.
Sebagai insan kos-kosan dengan cashflow tak sederas hujan saat itu, selepas pintu keluar stasiun, kuambil ponsel pintarku dan mencoba mencari ojek melalui aplikasi yang sudah terinstall di dalamnya. Ojek Online. Murah. Cepat. Sempurna.
Namun, sepertinya stasiun adalah daerah yang dihindari untuk jenis jasa transportasi online. penyebab klise, sengketa daerah pick up, berebut pasar dengan transportasi konvensional. Wajar tak ada yang merespon panggilan ojek di aplikasiku. HP kumasukkan dalam tas.
Aku berjalan bolak-balik beberapa kali di bawah bagian bangunan stasiun yang teduh sambil berpikir solusi kepulanganku.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk naik becak karena sedari tadi aku melihat ada seorang tukang becak melihatiku dengan gelagat ingin menawariku tapi ragu atau malu (?) Entah.
Selanjutnya tawar menawar terjadi. Deal. Aku naik ke dalam becaknya. Astaga! kapan terakhir kali aku naik becak? Ada perasaan aneh menyergap sesaat setelah kududuk nyaman di kursi becak. Perasaan Digdaya dan Berkuasa. Kau harus mencobanya.
Posisi bagian depan yg terbuka menatap jalan, Dan bisa bergerak tanpa perlu menjejakkan kaki apalagi mengeluarkan energi memunculkan sudut pandang yg menakjubkan!
Mungkin ini yang dirasakan bangsawan2 jaman kerajaan ketika harus naik kereta tenaga manusia kemana2. Gila. SEKETIKA AKU MERASA MENJADI PANGERAN.
��kemana raden?”, tanya Pak tua becak. “Ke gubeng kertajaya pak”, jawabku cepat. Tunggu. Raden? Orang ini memanggilku Raden? Aku tak salah dengar apa? Atau daya khayalku semakin menggila?
Becak berangkat. Aku bergerak tanpa energi. Khayalanku semakin menjadi.
Dari atas kereta manusia yang bergerak perlahan itu, aku melihat orang-orang di pinggir jalan seolah menatapku takzim. Kenapa ini? terbesit gagasan bahwa aku memang benar pangeran dan mereka rakyatku.
Awalnya kuacuhkan saja. Namun, selanjutnya ada segerombolan wanita, sekitar 4 atau 5 orang, yang kutaksir berumur 13-15 tahun menatapku dari pinggir jalan sambil senyum-senyum sungkan. Kali ini aku tak tinggal diam. Kuangkat sedikit bibirku, kubalas senyum sekenanya. Tak diduga mereka cekikian malu-malu. Asu! Ngopo to iki !? .
Selanjutnya, setiap ada rakyatku yang melihat dari pinggir jalan, selalu kuberikan senyum serupa. Namun kali ini dengan postur yang kupasang tegap berwibawa. Mereka selalu meresponnya dengan malu-malu, ada yang terpesona, ada pula yang langsung menundukkan wajahnya. Pertanda Takzim pada Pangerannya.
Keretaku berlanjut. Tanpa kusadari pakaianku berubah, sejak kapan?. Kini aku mengenakan pakaian sutra berwana merah dengan ornamen emas membatik di beberapa bagian. Tidak norak, elegan malah. Ditambah, lagi-lagi sejak kapan keretaku jadi serba emas dan beratap semacam kayu jati merah dibalut permadani indah seperti ini? Aku mulai mengamati dengan serius sekitarku. Edan. Segalanya kini tampak seperti settingan film Angling Dharma (jika kau pernah menontonnya). Tapi yang paling edan adalah : aku semakin menikmati kondisi ini.
Kini aku bisa melihat dengan lebih jelas rakyatku beraktifitas di pinggir jalan. Ada yang mengangkut kayu bakar entah untuk dibawa kemana, ada yang bernyanyi-nyanyi di sebuah warung yang alat makannya serba dari tanah liat, ada pula sekelompok yang sedang berlatih bela diri di sebuah lapangan kecil, dan yang jelas, semuanya selalu menatapku dengan takzim.
Di tengah-tengah penikmatanku terhadap kondisi tersebut. Tiba-tiba keretaku berhenti mendadak. Jantungku mau copot. Hampir saja kuhunus pedangku, yang entah tiba-tiba ada disitu, untuk memenggal kepala penarik keretaku yang kurang ajar ini sampai terdengar pak becak berkata : MAS SUDAH SAMPAI, SINI 20 RIBU.
Pedangku hilang, aku kembali menggunakan sweater lusuh, dan baru kusadari aku sudah di depan kosku yang maha sederhana.
Argh.
0 notes
Text
Air Mataku Menitih dan Aku Tahu Sebabnya
_____________________________________________________
Ayam berkokok, suara tahrim subuh saling bersahutan, dan suasana masih serba abu-abu. Sekonyong-konyong, aku sudah di depan pintu rumah si bajingan Rama Jagandi, Putra sulung Den Jagandi. Orang tua dan anak itu, asal kau tahu, sama-sama gila.
Saat ini, Den Jagandi kira-kira berumur 57 tahun. di masa lalu, percaya atau tidak, Den adalah anggota grup perompak wanita yang cukup terkenal sering beroprasi di wilayah timur laut jawa bernama Kidung Sesaji. di umur 33 tahun, Den berhenti menjadi perompak kemudian berkelana sendiri di daratan jawa. nasib buruk menimpaku dan keluargaku lantaran Den berkelana sampai ke kampungku. menetap lalu beranak-pinak seenaknya, Anjing.
Den datang ke kampungku pertama kali pada suatu sore yang biasa-biasa saja, 24 tahun yang lalu, sungguh, tidak ada kecurigaan bapakku bahwa sore itu adalah awal dari rentetan kesialan dan bala yang akan datang di kemudian hari secara terus menerus seperti hujan bulan desember.
Den, Perempuan itu, mendatangi rumah bapakku bersamaan dengan kondisinya yang bunting 3 bulan. Bapakku yang kebetulan saat itu sedang ngarit di halaman depan, awalnya cukup kaget tiba-tiba ada perempuan asing sedang bunting menghampiri rumahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Bapak mencoba membuka pembicaraan. Perempuan itu, sejak dia masuk pekarangan rumah kami, hanya diam mematung di bawah pohon mangga yang dulu ditanam mendiang istri bapak.
"Boleh saya menginap di sini?", jawab Den
pertanyaannya dijawab pertanyaan, Bapak terkejut sebentar dengan jawaban Perempuan ganjil itu sebelum kemudian mempersilahkannya untuk masuk rumah.
singkat cerita, di hari ke 7 semenjak kedatangan perempuan itu, Bapak bersetubuh dengannya. Bapak yang sempat hidup sendiri karena ditinggal istrinya mati, kini berkeluarga lagi.
7,5 bulan kemudian Den melahirkan. aku lahir. Hari pertamaku hadir di dunia sudah kuawali dengan sumpah serapah, Anjing, Aku lahir kembar, Kembaranku, barangkali kau sudah menebaknya, adalah yang kelak dinama Rama Jagandi.
Sejak saat itu, selama bertahun-tahun, aku sering tiba-tiba dirundung gundah terkait dari benih siapa aku berasal. Bapak lugu yang sial karena mengarit di sebuah sore yang biasa saja? atau Bapak begundal yang saat ini mungkin lagi teler di tengah laut sambil merangkul wanita? Kampret lah!
Aku lahir 3 menit lebih awal dari Rama. kalau menurut adat tempatku, Rama lah yang jadi kakak diantara kita. kak Rama, cuih, mana sudi aku memanggilnya demikian. malahan, sejak aku mengenal kata 'bajingan' , aku lebih sering memanggilnya 'bajingan'.
Rama, tidak bisa kupungkiri, adalah anak yang cerdas. di umurnya yang baru menginjak 10 tahun, Bajingan itu sudah bisa membuat desain pengungkit yang memudahkan warga kampung mengambil air di sumur dalam jumlah banyak sekaligus. Selain itu, di umur yang sama, dia telah mengembangkan kebun halaman kami menjadi begitu produktif. Entah dari mana Ia belajar soal tanaman, yang jelas tanaman yang ditanam di kebun kami sejak saat itu semakin bervatiatif.
Tapi kecerdasan bajingan itu semakin lama malah semakin terlihat aneh, aku sendiri sulit menjelaskannya. Dan bajingan itu, di umurnya yang ke 19, sudah kutetapkan dengan yakin bahwa Ia telah naik pangkat menjadi bajingan gila.
"Bar, Kau tahu rasanya kerasukan setan?" Tanyanya pada suatu malam. saat itu kami sedang ngudud berdua sambil duduk-duduk santai di depan rumah.
"kau tahu, aku tak percaya begituan" jawabku sekenanya.
"Kau ini, Kau tak percaya karena kau belum pernah melihatnya, Bar"
"memang kau pernah?"
"Tidak juga sih, kalau malaikat aku pernah"
"aish, mana sudi malaikat menunjukkan diri di depan bajingan macam kau"
"kemarin shubuh, pas aku mandi junub, ada sosok perempuan masuk ke kamar mandiku"
aku mulai memasang wajah sedikit tertarik. kuhisap sekali rokokku, lalu kuhembus perlahan.
"terus?"
"ya laki-laki dan perempuan ada dalam satu bilik kamar mandi di waktu shubuh dan kebetulan mandi junubku belum selesai, apalagi yang bakal kami lakukan? kau ini tolol atau imajinasimu cuma sampai situ" jawabnya sambil menunjuk tanganku yang kebetulan sedang sedikit menggaruk-menggaruk skrotum.
Awalnya aku tak paham, sampai akhirnya,
"Bajingan! Apa maksudmu?"
"ah, Lupakan"
suasana jadi hening. Aku dan Rama saling diam.
"Lalu siapa perempuan sial itu?" tanyaku asal, hanya untuk membuka omongan lagi, lagipula dia pasti hanya ndabrus soal perempuan itu.
"sudah kubilang, dia malaikat"
"kau gila Rama"
"tidak-tidak, aku serius, Perempuan itu adalah perempuan yang sudah sangat baik sama kita Bar, dia sudah repot-repot melahirkan kita malah"
Aku terperangah. Anak ini baru saja bercerita kalau Ia bersetubuh dengan Ibunya? Setan Alas! itu ibuku juga.
"SETAN!" Aku emosi, kuhardik Bajingan gila itu
"malaikat Bar"
"SETAN KAU!"
"katanya kau tak percaya begituan?"
dia langsung kutoyor pas di rahangnya. dia pingsan. aku menangis. entah kenapa aku menangis.
***
Subuh yang mana di waktu sebuta itu aku sudah berdiri seperti orang tolol di depan pintu sebuah rumah adalah subuh Pertama bulan syawal. Bapak sudah meninggal setahun lalu. seminggu sejak kematian Bapak, aku minggat dari rumah. Bapak tak pernah tahu alasan perkelahian satu pihak malam itu. Aku mengunci mulutku, bukan karena takut pada si Bajingan gila, hanya aku tak ingin melukai hati Bapak. Begitu Bapak meninggal, tanggal sudah alasan dan minatku menetap di rumah itu. meski sesungguhnya rumah itu adalah kepunyaan Bapak.
Sudah hampir setahun aku minggat. banyak hal yang terjadi. kuputuskan hari ini untuk silaturahmi ke dua orang gila yang tinggal di dalam rumah itu.
dengan perlahan kuketuk pintu di depanku. tak ada jawaban.
Aku mundur. Den dan bajingan gila itu pasti tidur kelelahan sehabis bertanding cinta semalaman. sudah kuduga, gagasan silaturahmi ini memang konyol.
Aku keluar dari halaman. saat itu cahaya fajar sudah mulai mengedar. aku berjalan terus menuju entah kemana nanti. aku hanya sedang tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Hidupku, semenjak malam 'kau tahu rasanya kerasukan setan' itu selalu bernasib anjing. hatiku murung tiap saat. tiap detik.
Aku terus berjalan, sampai Mbak Tin, tetanggaku yang membuka mlijoan di depan rumahnya memanggilku.
"Bara Jagandi!" Suaranya keras melengking seperti biasanya. ia tak berubah..
"Kau kemana saja le, kok gak pernah kelihatan sekarang?"
"Jadi setan mbak" jawabku sekenanya, tapi, sejak malam jahanam itu aku memang selalu merasa dikutuk dan dikhianati seperti iblis yang dikutuk Tuhan dan dikhianati nasib.
"ngomong apa kau ini"
aku meringis kecut
"le, kau sudah tau kan, kalau kakakmu itu ternyata selama ini kena penyakit?"
"Iya mbak, dia gila, dia juga Bajingan"
"hus! ngawur! Kakakmu itu sakit beneran, bukan sakit sih, seperti sindrom gitu, pokoknya meski tubuhnya menua, mentalnya berhenti bertumbuh di umur 10 tahun, gitu kata orang-orang, ini sempat ramai jadi berbincangan ibuk-ibuk 6 bulan lalu..."
'hah' aku kaget. jelas aku kaget. Aku tak pernah tahu soal ini. Anjing, Aku bahkan tak pernah mencari tahu.
Pikiranku kembali melayang ke malam 'kau tahu rasanya kerasukan setan', lalu ingatan-ingatanku tentang Rama muncul kembali, Rama yang cerdas tapi kelakuannya yang memang aneh dan selalu kekanak-kanakan. Rama di umur 13 yang tak mau makan jika tak disuapi oleh ibu, Rama yang belum bisa mengenakan pakaiannya sendiri di umurnya yang ke 15, Rama yang di umur 17 masih suka mengajakku bermain petak umpet, Rama yang bahkan mungkin, sangat mungkin, tak tahu cara mandi junub sehingga perlu dibantu ibu. Air mataku tiba-tiba menitih dan aku tahu sebabnya. Aku melaknati diriku dan prasangka bejatku.
Aku memang Bajingan gila.
1 note
·
View note
Text
Ratio Paedophilia. (Argumentasi Pedofilia)
_________________________________________________
Tak ada yang lebih mendadak dari panggilan dosen pembimbing kecuali datangnya perasaan cinta. percayalah, ini sudah teruji dari masa ke masa, dari cerita ke cerita. cinta tak pernah datang tepat waktu. cinta datang tak pandang bulu.
Juga tak ada yang lebih harus dibayar tuntas selain dendam kecuali rindu. ini sudah umum. Rindu harus segera terbayarkan. tuntas, setuntas-tuntasnya.
Maka oleh karenanya, izinkan aku menulis karangan ini sebagai bentuk tebus akan rinduku. tentu saja, padamu.
Sialnya, segala hal merepotkan ini dimulai ketika aku sudah hampir lulus pendidikan strata tiga. pukul 10 pagi, aku masih ingat saat pertama kali kita bertemu, atau, lebih tepat disebut aku yang bertemu denganmu, karena kuyakin kau tak sadar ada sepasang mata kagum dengan sedikit birahi yang menatapimu waktu itu. saat itu matahari masih ramah-ramahnya, sehingga kau bisa berlenggang ria di trotoar depan gedung kampusku. Kau yang lincah dan lucu, sungguh merepotkan.
selanjutnya ku usut identitas dirimu melalui kawan-kawaku. aku terhenyak ketika tahu bahwa kau adalah putra dari dosen pembimbing disertasiku. aku senang, yang kemudian menjadi semakin kerepotan.
Perkara dirimu yang ternyata putra dosen pembimbing disertasiku, ternyata sedikit kusyukuri. pukul 10 pagi tiap rabu, rupanya kau selalu mampir ke kampusku. Tentu kemudian kujadikan waktu itu (pukul 10 pagi hari rabu) sebagai jam wajibku untuk hadir di kampus agar mungkin bertemu denganmu, meski yang sesungguhnya terjadi hanyalah aku melihatimu dari kursi yang tak jauh dari ruang dosen sembari menumpuk rindu.
Apa daya, saat itu kau masih TK, sedang aku, seperti yang sudah kukatakan dan kukutukkan pada diriku sendiri sebelumnya, aku sudah hampir lulus strata tiga. Cinta kita terhalang usia.
Usia adalah suatu hal yang mutlak. Sepintar, sekaya, sereligius apapun diriku tak akan bisa aku kembali ke masa TK agar bisa memiliki sudut pandang yang sama denganmu, agar bisa memiliki cara pikir yang sama denganmu, agar bisa menertawakan hal yang sama, agar bisa menangis bersama di prosotan, agar bisa bersebelah ayunan, agar bisa— ah, air mataku menetes.
Sungguh, aku sanggup menunggumu hingga setidaknya 20 tahun lagi atau bahkan lebih, Tapi aku tak sanggup jika harus membayangkanmu menerimaku yang saat itu sudah pasti gaeknya minta ampun. kau tak mungkin sudi dengan seorang nenek-nenek.
praktis tak ada solusi dari perasaanku kecuali menulis karangan ini.
mungkin saat ini kau tidak mengerti. dan sampai kapanpun kau tidak akan mengerti.
1 note
·
View note