Tumgik
aldisaputtraa · 9 months
Text
Dari Nasionalisme Ke Nasionalisme Religius; Interpretasi Kesadaran Agama dan Memori Kolektif Muslim Masyarakat Hindia-Belanda
Panggung sejarah kemanusiaan di seluruh peradaban, bangsa, agama dan kebudayaan, terdapat decisive moments-nya, periode-periode menentukan yang kemudian mengubah arah sejarah setelahnya. Profesor Enan misalnya, mencantumkan 24 peristiwa penting yang menentukan arah sejarah Islam seperti pertempuran Tours dan Poiters, pengepungan Konstantinopel, kaum Muslim sebagai raja lautan, penyerbuan kaum Muslim ke kerajaan Roma, asal muasal Perang Salib, Pertempuran ‘Ayn Jalut, Jatuhnya Granada, Perjalanan Marcopolo dan Ibnu Batuta dan lain-lain.
Dalam sejarah Islam Indonesia, juga sangat banyak decisive moments in history, menyebut beberapa contoh, masuknya Islam ke Nusantara, berdirinya kesultanan-kesultanan Islam dari Samudera Pasai hingga Mataram Islam, runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak, periode dakwah walisongo, pengepungan Benteng Sao Joao Baptista oleh Sultan Babullah di Ternate yang menamatkan intervensi Portugis abad ke-16 di wilayah Nusantara Timur, masuknya kolonialisme dan mulainya era penjajahan, perang Kesultanan Mataram dengan VOC, Perang Jawa 1825-1835, Perang Aceh 1873 sampai 1904, Kongres Natico SI di Bandung 1916 yang menginginkan negara berdaulat sendiri yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, berdirinya organisasi-organisasi Islam modern awal abad ke-20 (SDI, SI, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Masyumi dll) yang mengantarkan pada gerbang kemerdekaan Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan 1945, digantikannya Piagam Jakarta oleh Pancasila, perang ulama-santri dengan Belanda pada Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, proklamasi NII/TII oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1948, asas tunggalisasi orpol dan ormas tahun 1984 oleh Presiden Soeharto, jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, dan masih banyak yang lain.
Secara Historis, Kolonialisme Belanda di Indonesia dibagi menjadi dua babakan sejarah, yaitu masa Verenigde Oostindische Compagnoie atau VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang berkuasa tahun 1602-1799 dan Pemerintahan Hindia-Belanda yang berkuasa tahun 1801-1942. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana mempertahankan kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara atau Hindia Timur. Meskipun demikian, pada perjalanannya, semangat perlawanan rakyat di beberapa bagian nusantara, pergerakan nasional, tekanan politik di dalam negeri Belanda sendiri serta transformasi kolonialisme gaya lama menjadi kolonialisme gaya baru merubah kebijakan Pemerintah Belanda di tanah jajahannya Hindia Belanda.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut kebijakan Beretika (Bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik dan memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini. Munculnya gerakan Ethische Politiek yang menghendaki agar politik kolonial tidak semata-mata bertujuan mengeduk kekayaan bumi Indonesia saja melainkan juga hendaknya meningkatkan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyat Indonesia berpengaruh kepada paradigma susunan pemerintah Hindia Belanda yang sentralistis.
Dalam sejarah pemikiran, konsepsi tentang nasionalisme erat berelasi dengan bangsa dan negara. Tiga konsep ini tidak bisa dipisahkan dan saling terikat satu sama lain, terutama nasionalisme dan bangsa. Pertama-tama adalah nasionalisme, konsep ini meskipun tidak pernah melahirkan pemikir besar seperti demokrasi, liberalisme ataupun sosialisme namun melahirkan berbagai peristiwa penting dalam sejarah seperti revolusi-revolusi, perang besar dan yang terpenting adalah bangsa-bangsa baru. Gellner, dalam karya fenomenalnya Nation and Nationalism, ia berpendapat nasionalisme adalah political principle, “sebuah prinsip yang beranggapan bahwa unit politik dan nasional hendak selaras”. Nasionalisme adalah program politik yang menkontruksi dan mengarsiteki bangsa. Kenyataannya, memang tidak ada nasionalisme tanpa unsur politik dan tidak ada bangsa yang lahir tanpa politik yang terlibat di dalamnya.
Nasionalisme adalah sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi-poilitik dan etnik. Kenyataannya, nasionalisme selalu mengandung aspek politik dan aspek etnik. Ide kebangsaan adalah ide pilitik dan tidak ada ada nasionalisme tanpa unsur politik. Setelah kemunculan gelombang baru nasionalisme kerakyatan sejak tahun 1820an di Eropa yang banyak dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan Amerika, negara imperium macam inggris agak was-was dengan spiritnya yang bisa mempengaruhi situasi negara jajahannya. Inggris lalu mengadakan sebuah usaha.
Pada abad ke-19 saat prinsip nasionalitas menjadi sebuah prinsip politik utama negara-negara di Eropa, berkembanglah menurut David Landes bentuk imperialisme model baru menggantikan model imperialisme model lama. Kolonialisme di wilayah jajahan menimbulkan berbagai konsekuensi, dari mulai positif sampai negatif dalam relasinya dengan konteks kelahiran nasionalisme dan gagasan kebangsaan. Kolonialisme menghadirkan perasaan berbeda antara pribumi dengan orang eropa. Pencarian jati diri adalah implikasi tidak terhindarkan untuk mencari perbedaan-perbedaan yang akhirnya ditemukan. Kaum intelektual di negara jajahan menemukan perasaan berbeda dalam hal identitas: imajinasi sejarah, etnis, budaya, bahasa yang melahirkan solidaritas pemikiran bahwa “bangsa kita” berbeda dengan “bangsa kalian”.
Penemuan kompleks dari berbagai macam faktor yang melahirkan nasionalisme dan gagasan kebangsaan tidak kurang dan tidak lebih dipengaruhi efek dari modernitas yang dibawa oleh negara Eropa ke dalam wilayah kolonial. Modernisasi membawa perubahan dalam birokrasi ke arah rasional dan modern. Modernisasi membawa perubahan dalam teknologi dan pola hubungan komunikasi.
1 note · View note
aldisaputtraa · 10 months
Text
Tak ada yang benar-benar tulus, hampir setiap tindakan kita kepada orang lain itu dipengaruhi oleh bagaimana kita diperlakukan. Lantas, bagaimana kita bisa benar-benar ikhlas dalam melakukan kebaikan?
Jeneponto, 5 Juli 2023
3 notes · View notes
aldisaputtraa · 10 months
Text
Kondisi Politik Bangsa Arab
Kondisi politik di tiga wilayah di sekitar Jazirah Arab merupakan politik yang lemah dan menurun, tidak ada lebihnya. Manusia bisa dibedakan antara tuan dan budak, pemimpin dan rakyat. Para tuan, terutama tuan yang terhormat, berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, sedangkan bawahan mereka dikenai segala macam upeti. Dengan istilah lain yang lebih jelas, rakyat bisa diumpamakan ladang yang harus mendatangkan hasil lalu diserahkan kepada pemerintah. Selanjutnya, para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya dan mengumbar syahwat.
Sedangkan rakyat dengan kebutaanbya semakin terpuruk dan mendapatkan kezaliman dari segala sisi. Mereka hanya bisa merintih dan mengeluh. Tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan mereka harus menahan rasa lapar, ditekan dan mendapat berbagai macam penyiksaan dengan sikap diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang hilang dan terabaikan. Mereka kadang kala harus masuk wilayah Iraq dan Syam. Kabilah-kabilah di Jazirah Arab tidak pernah rukun. Mereka lebih sering diwarnai permusuhan antar kabilah, perselisihan rasial dan agama.
Mereka tidak mempunyai seorang raja yang memberikan kemerdekaan, atau sandaran yang bisa dijadikan tempat kembali dan bisa diandalkan saat menghadapi kesulitan dan krisis.
0 notes
aldisaputtraa · 10 months
Text
Raja-raja di Hirah
Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama 17 tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M, tampuk kekuasaan di sana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Di antaranya adalah Al-Mundzir bin An-Nu'man yang dijuluki dengan "Al-Ma'rur." Umur kekuasaannya tidak lebih dari 8 bulan, sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin di bawah komando Khalid bin Al-Walid.
Raja-raja di Syam
Pada masa Arab banyak diwarnai perpindagan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah juga ikut berpindah ke berbagai daerah di pinggiran Syam dan mereka menetap di sana. Mereka adalah Bani Sulaih bin Halwan. Mereka dimanfaatkan bangsa Romawi sebagai tameng untuk menghadapi gangguan orang-orang Arab dan sekaligus sebanyak benteng pertahanan untuk menghadang bangsa Persia. Karenanya, bangsa Romawi mengangkat seorang raja dari suku ini dan kepemimpinannya berlangsung hingga beberapa tahun. Raja mereka yang terkenal adalah Ziyad bin Habullah. Dan bertahan hingga sejak awal abad kedua Masehi hingga akhir abad tersebut. Setelah kedatangan suku Ghassan yang mengalahkan Dhaja'amah. Bangsa Romawi mengangkat mereka sebagai raja bagi semua bangsa Arab di Syam. Ibukotanya adalah Daumatul Jandal. Suku Ghassan berkuasa sebagai kaki tangan kaisar Romawi, hingga meletus perang Yarmuk pada tahun 13 H. Raja mereka yang terakhir, jabalah bin Al-Aiham, memeluk agama Islam pada masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab.
Kekuasaan Di Hijaz
Ismail berkuasa di Mekkah dan mengurus Ka'bah selama hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Selanjutnya, dua putranya menggantikan kedudukannya secara berurutan, yaitu nabat dan Qaidar. Ada yang berpendapat sebaliknya, yakni Qaidar lebih dahulu setelah itu Mudhadh bin Amru Al-Jurhumi. Dengan demikian kepemimpinan Mekkah beralah ke tangan orang-orang jurhum dan terus berada di tangan mereka. Anak-anak Ismail merupakan titik pusat kemuliaan, sebab ayahnya yang telah membangun Ka'bah, namun mereka tidak mempunyai kewenangan memerintah sama sekali.
Seiring dengan perjalanan waktu, kedudukan anak cucu Ismail terus mengalami kemerosotan, hingga keberadaan Jurhum bertambah lemah dengan kemunculan Nebukadnezar. Zaman Ismail diperkirakan berlangsung pada dua puluh abad sebelum Masehi.
0 notes
aldisaputtraa · 10 months
Text
Kekuasaan Dan Emirat Di Kalangan Bangsa Arab
Para penguasa Jazirah Arab pada saat terbitnya matahari Islam bisa dibagi menjadi dua bagian:
1. Para raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri.
2. Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Kebanyaka di antara mereka benar-benar memiliki kebebasan tersendiri. Bahkan, kemungkinan sebagian di antara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang dinobatkan.
Raja-raja yang dinobatkan adalah raja-raja Yaman, Ghassan dan Hirah. Adapun penguasa-penguasa lain di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.
Raja-Raja di Yaman
Bangsa tertua yang dikenal di Yaman dari kalangan Arab Aribah adalah kaum saba'. Mereka bisa diketahui melalui penemua fosil aur, yang hidup dua puluh lima abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada sebelas tahun SM.
Sejak tahun 300 M sampai masuknya Islam ke Yaman. Pada masa-masa ini kekacauan, keributan, revolusi, dan peperangan antarsuku sering terjadi di antara mereka, yang justru membuat mereka menjadi mangsa bagi pihak luar, hingga kemerdekaan mereka pun terenggut. Pada masa itu bangsa Romawi masuk ke Aden. Atas bantuan bangsa Romawi ini pula orang-orang Habasyah dapat merebut Yaman pada awal tahun 340 M, yang sedang disibukkan oleh persaingan antara kabilah Hamdan dan Himyar.
Pada tahun 523 M, Dzu Nuwas, seorang Yahudi, memimpin pasukannya menyerang orang-orang Kristen dari penduduk najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agamanya. Karena menolak, maka Dzu Nuwas membuat parit-parit besar yang di dalamnya dinyalakan api, lalu mereka dilemparkan ke dalam api hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an pada firman-nya dalam surah Al-Buruj: 4.
Kejadian ini menimbulkan api dendam di hati orang-orang Kristen dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasannya dan penaklukan di bawah pimpinan kaisar Romawi untuk menguasai negeri Arab. Mereka memobilisasi orang-orang Habasyah dan menyiapkan armada lautnya. Serbuan ini dipimpin oleh Aryath pada tahun 525 M. Aryath menjadi penguasa negeri jajahannya dengan mandat Raja Habasyah hingga akhirnya dibunuh oleh Abrahah, anak buahnya sendiri. Abrahah menggantikan kedudukan Aryath di yaman setelah meminta restu rajanya di Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah, yang dikenal dengan Pasukan Gajah. Setelah Peristiwa Gajah penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persia. Mereka pun bersekutu melawan orang-orang Habasyah hingga akhirnya mampu mengusirnya dari Yaman dan mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 575 M, di bawah kepemimpinan Ma'di Ya'rib bin Saif Dzi Yazin Al-Himyari.
Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari bangsa Persia di Sana'a dan menjadikan Yaman sebagaibsalah satu wilayah kekuasaan Persia. Beberapa pemimpin dari bangsa Persia silih berganti menguasai Yaman dan era kepemimpinan mereka yang terakhir di Yaman adalah Badzan, yang kemudian memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhir pula kekuasaan bangsa Persia atas negeri Yaman.
.............
1 note · View note
aldisaputtraa · 10 months
Text
Bangsa Arab
Merujuk pada silsilah keturunan dan asal-usulnya, para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arab Ba'idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit, seperti Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq, Umain, Jurhum, Hadhur, Wabar, Abil, Jasim, Hadramaut dan lain lain.
2. Arab Aribah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Yasjub bin Ya'rub bin Qahthan. Suku bangsa Arab ini dikenal dengan sebutan Arab Qahthaniyah. Tempat asal-usulnya adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku yang terkenal adalah dua yaitu, Kabilah Himyar dan Kahlan.
Suku-suku Kahlan yang berhijrah dapat dibagi menjadi empat golongan: 1. Azad, 2. Lakhm dan Judzan, 3. Bani Tha'i, 4. Kindah.
3. Arab Musta'ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ismail, yang disebut juga Arab Adnaniyah. Nenek moyang mereka yang tertua adalah Ibrahim yang berasal dari megeri Iraq, dari sebuah daerah yang disebut Ar. Kota ini berada di pinggir barat Sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah.
Kita tahu bahwa Ibrahim hijrah dari Iraq ke Haran atau Harran, termasuk pula ke Palestina. Ia lalu menjadikan negeri itu sebagai basis dakwahnya. Di salah satu perjalanan tersebut, Ibrahim bertemu dengan Fir'aun. Istri Ibrahim, Sarah turut menemaninya. Fir'aun kemudian menghadiahkan kepadanya putrinya, Hajar menjadi pembantu Sarah, dan akhirnya Sarah menikahkan Hajar dengan Ibrahim.
Ibrahim kembali ke palestina dan kemudian Allah menganugerahkan Ismail dari Hajar. Hal ini membuat Sarah terbakar api cemburu. Dia memaksa Ibrahim agar menjauhkan Hajar dan putranya yang masih kecil, Ismail. Maka Ibrahim membawa keduanya ke Hijaz dan menempatkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, di Baitul Haram, yang saat itu hanya berupa gundukan-gundukan tanah, kemudian meletakkan putranya di dalam tenda di dekat Zamzam. Saat itu Mekkah belum ada seorang manusia pun dan tidak ada mata air. Setelah itu beliau kembali lagi ke Palestina. Beberapa hari setelah itu, bekal dan air sudah habis. Sementara tidak ada mata air yang mengalir. Tiba-tiba mata air Zamzam memancar berkat karunia Allah, sehingga bisa menjadi sumber penghidupan bagi mereka berdua, yang tidak pernah habis hingga sekarang.
Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum kedua) datang ke sana. Dan atas izin bunda Ismail, mereka menetap di Mekkah. Dari waktu ke waktu Ibrahim datang ke Mekkah untuk menjenguk keluarganya. Tidak diketahui secara pasti berapa kali kunjungan yang dilakukannya. Hanya saja menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.
Pertama, Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur'an bahwa Ibrahim bermimpi bahwa beliau menyembelih anaknya Ismail. Maka ia pun bangkit untuk melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Disebutkan bahwa Ismail berumur 13 tahun lebih tua dari Ishaq.
Kedua, bahwa sebelum remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah jurhum. Dan Ismail dinikahkan dengan salah seorang putri keturunan mereka. Saat itu ibu Ismail sudah meninggal dunia.
Ketiga, setelah perkawinan Ismail yang kedua.
Keempat, dengan perjumpaan ini, mereka berdua sepakat untuk membangun Ka'bah, meninggikan sendi-sendinya, dan Ibrahim memperkenankan manusia untuk berhaji sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada beliau.
Dari perkawinannya dengan anak perempuan dari Mudhadh, Ismail dikarunia anak oleh Allah sebanyak dua belas, semuanya laki-laki, yaitu: Nabat, Qaidar, Adba'il, Mibsyam, Misyma, Duma, Misya, Hadad, Taima, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah untuk sekian lama. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dari negeri Yaman hingga ke negeri Syam dan Mesir.
Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qaidar. Peradaban anak keturunan Nabat bersinar di Hijaz Utara, dan mendirikan pemerintahan yang kuat berpusat di Petra, sebuah kota kuno yang terkenal di selatan Yordania hingga datang pasukan Romawi yang menghabisi mereka.
Sementara itu, anak keturunan Qidar bin Ismail tetap tinggal di Mekkah dan membina keluarga di sana hingga mendapatkan keturunan, Adnan dan anaknya Ma'ad. Dari dialah keturunan Arab Adnaniyah masih bisa dipertahankan keberadaannya. Adnan adalah kakek-22 dalam silsilah keturunan Nabi. Dari keturunannya, silsilahnya sampai kepada Quraisy yang terbagi menjadi beberapa kabilah, termasuk Abdu Manaf bin Qushay.
Kemudian Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, Al-Muthathalib dan Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Sumber: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri: "Sirah Nabawiyah, Sejarah Hidup Nabi Muhammad", Cipayung, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2011.
1 note · View note
aldisaputtraa · 10 months
Text
Islam Ala Kadarnya
Fase perjalanan Islam sejak masa Kenabian, Khulafaur Rasyidin dan Dinasti, meletakkan berbagai kegemilangan yang mengafirmasi kiprah Islam sebagai suatu konsep keseimbangan dalam menata peradaban, meletakkan jawaban disetiap masalah yang hadir di tengah-tengah kehidupan manusia.
Kegemilangan tersebut membawa pada tantangan yang cukup berat pula, umat muslim selalu diperhadapkan pada pengelompokan atau golongan untuk memperdebatkan yang manakah yang paling dekat dengan kebenaran dan keselamatan.
Sejak runtuhnya Dinasti Ustmaniyyah pada tahun 1922 M, umat muslim kehilangan arah perjuangan, kehilangan institusi yang menjadi media dalam persatuan umat, keruntuhannya pun bukan karna faktor peperangan yang melibatkan fisik, tetapi melalui pikiran atau ideologi yang kemudian masuk ke jantung umat muslim sebagai upaya hegemoni untuk menjauhkannya dari aktivitas totalitas dalam ber Islam.
Alhasil, berbagai konfrontasi kemudian hadir, baik dari kalangan internal muslim maupun kalangan eksternal (non muslim). Munculnya istilah-istilah seperti Islam Modern, Islam Konservatif, Islam Garis Keras, Islam Sekuler, Islam Liberal dan Islam-Islam yang lain, menjadi suatu serangan yang telak dalam kubu umat, kehadiran berbagai istilah tersebut memberikan dampak yang signifikan, konfrontasi internal akhirnya tak bisa terelakkan, saling menghukumi satu sama lain, berdampak pada terpecahnya persatuan umat muslim.
Di samping itu, umat yang memilih untuk tidak terlibat di dalam konfrontasi tersebut, mengambil langkah yang lain dengan tidak melakukan aktivitas yang punya kecenderungan dengan berbagai pengelompokan istilah yang ada, menjadi umat yang biasa-biasa saja, yang kemudian melahirkan istilah baru yaitu, "Islam Ala Kadarnya".
3 notes · View notes