Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Nic & Mar - Review Yang Tercerahkan
Saya nge-fans sama Nicholas Saputra. Begitu juga dengan teman saya Novia. Kami biasa saling bertukar postingan media sosial yang ada Nicholas Saputra-nya, dan saling ber-halu ria tentang Nicholas Saputra. Memanggil Nicholas Saputra dengan sebutan pacar atau suami seperti sudah biasa saja. Habis bagaimana lagi, sejak kemunculannya di film Ada Apa Dengan Cinta, tatapan tajamnya seperti menyayat-nyayat hati para perempuan (serta mungkin saja para lelaki), dan kata-kata singkat tapi pedas yang keluar dari bibir tipisnya seakan selalu saja penuh makna dan bikin meleleh sehingga spontan kami yang menonton akan bergumam “Aaaawww”, setiap kali mas itu “bersabda”.
Film Nicholas Saputra sebagian besar sudah saya tonton. Bukan cuma karena gantengnya ya, tapi karena cool dan tatapan matanya. Eh itu sih sama aja ya? Maksud saya, selain karena hal-hal fisik itu, aktingnya juga keren Mas Nicholas ini. Terutama di film Aruna dan Lidahnya. Santai banget dan seperti keluar dari karakter Rangga di film AADC yang membesarkan namanya. Saya juga sudah nonton film-film pendeknya yang ditayangkan di Youtube yang disponsori baik oleh salah satu merk ponsel maupun aplikasi chat. Salah satu yang saya paling suka, adalah yang berjudul Nic & Mar. Tak terhitung sudah berapa kali itu film pendek saya tonton. Nggak ada bosen-bosennya. Setiap kali sedang rindu pada Amsterdam, saya selalu putar itu film pendek. Meskipun latarnya di Paris dan Praha, tapi suasananya nggak jauh beda lah, lumayan mengobati rindu. Yang saya suka juga karena di film pendek itu Nicholas beradu akting dengan Mariana Renata – mantan pacarnya. Saking alaminya itu akting, saya sampai mengira itu nggak pakai naskah lho. Mereka seperti sedang menjadi diri sendiri saja. Kayak ngobrol biasa di antara dua teman lama yang sudah ratusan purnama nggak ketemu. Kalimat-kalimat yang diucapkan juga sangat puitis dan bermakna. Ekspresinya pas betul. Kerlingan matanya, senyum malu-malunya. Hal-hal itu yang membuat saya nggak bosan-bosannya memutar ulang film pendek tersebut. Termasuk ketika saya dan Novia staycation bareng, menonton Nic & Mar tentu saja ada dalam agenda kami.
Setelah berjalan kaki makan bakso di dekat hotel, kami lalu kembali ke kamar dan membersihkan diri. Novia kemudian mengecek TV apakah bisa mengakses Youtube dari situ, yang ternyata tidak bisa. Saya lalu mengeluarkan laptop, membuka Youtube, lalu mencari Nic & Mar. Reaksi kami ketika melihat wajah Nic terpampang di layar adalah seperti biasa, mengeluarkan suara-suara “aaaaaaaaa”, “waaaaaaa”, disusul dengan komentar “ganteng bangeeeettt”, atau “gantenge ra uwis-uwis”, atau “yaampun tatapan matanya setajam silet”. Yaaah, komentar-komentar “biasa” yang kita temukan ketika Nicholas Saputra memperbaharui halaman Instagramnya dengan foto-foto yang bahkan nggak ada rupa dirinya.
Sampai di situ masih aman.
Kami lalu melanjutkan menonton. Mungkin karena sudah sering menonton, komentar-komentar kami jadi naik level. Kami mengomentari soal kenapa dulu Nicholas Saputra dan Mariana Renata putus. Gosipnya sih (gossip ya, karena kami nggak tahu kebenarannya dan untuk tahu kebenarannya harus tanya langsung ke Nicholas Saputra dan kami nggak punya akses ke situ, daaaan kayaknya nggak kuat juga kalau harus berhadapan dan ngobrol langsung dengan yang bersangkutan itu, bisa klepek-klepek nggak konsen) karena Mariana Renata ingin mengejar cita-cita sampai ke negeri Cina – eh salah, itu kan peribahasa ya – sampai ke Amerika dan Eropa maksudnya, untuk sekolah lagi dan jadi model internasional. Sedangkan Nicholas Saputra mau stay aja dan berkarir di Indonesia. Mereka nggak bisa mencapai kata sepakat untuk LDR-an, jadi putus deh. Tapi sekali lagi ini kan cuma gosiiiip yaaa, yang makin digosok makin sip, heuheu. Lalu kami utak-atik gathuk antara alasan mereka putus itu dengan alur cerita miniseri Nic & Mar ini. Kesimpulan akhir kami, Nic itu toksik bangeeeeet sodari-sodari. Sekian lama nonton Nic & Mar, bertahun-tahun, selalu terkagum dengan sosoknya dan jalan ceritanya dan latarnya, kenapa kami baru ngeh sekarang siiih. Lalu kekaguman tadi itu jadi terasa sia-sia dan percuma. Kami agak-agak patah hati.
Kok bisa sih Nic itu toksik? Begini obrolan sotoy kami.
Nic itu sadar kalau walaupun hubungannya dengan Mar sudah selesai, dia masih punya rasa ke Mar. Entah beneran rasa cinta, penasaran, sekedar testing the water aja, atau cuma kangen ketemu dan ngobrol-ngobrol sama Mar. Dia juga tahu Mar seperti masih menyimpan sesuatu di hatinya untuk dia. Secara mereka pisahnya baik-baik kan, bukan karena ada orang ketiga atau apa gitu (sekali lagi, ini sotoy karena based on gossip). Jadi yah, kayanya bisa deh ini dijajaki lagi, mungkin begitu pikir Nic saat mengajak Mar ketemuan saat dia sedang liburan di Paris.
Mar seperti biasa. Cantik, ramah, super baik, dan sangat perhatian. Dia ngajak Nic jajan roti, meminjamkan sarung tangannya ke Nic sehingga dia sendiri nggak pakai meskipun sedang musim dingin (sudah biasa, katanya), ngobrol-ngobrol, dan naik ferris wheel. Pas lagi makan roti, obrolannya jadi rada berat, sedikit banyak membuat keduanya merenung akan masa lalu: rela berpisah demi meraih mimpi masing-masing yang sekarang sudah terwujud (tapi pas terwujud kok juga nggak persis-persis banget seperti yang dibayangkan). Pas di ferris wheel, Mar kedinginan, gosok-gosok tangan. Nic lalu merangkul Mar, ethok-ethok e biar hangat. Di sini kami berkomentar: “Iyuuuuuh, modus bangeeet”. Mar yang sepertinya masih punya rasa, merasa gamang. Mau ditolak nggak enak, kan mereka “teman” lama. Akhirnya ya cuma senyum-senyum aja dirangkul begitu sambil memandang keluar jendela. Lalu pas minum kopi dan Mar lagi cerita tentang masa kecilnya dia, kok bisa-bisanya Nic menimpali “Kalau kata Warhol, people should fall in love with their eye closed”.
Di sini saya dan Novia kompak berseru “Moduuuuuus!”.
Pantas saja Mar lantas bertanya maksudnya apa, yang dijawab Nic dengan nggak ada maksud apa-apa. Tapi di situ jebakan betmen sudah disebar. Mar yang masih gamang, tambah gamang lagi digodain begitu.
Lalu hari berikutnya, saat Nic tersadar kalau sarung tangan Mar tertinggal, alih-alih kirim pesan bilang kalau mau mengembalikan sarung tangan, dia malah kirim pesan bilang “Temenin dong”. Laaaah, jelas aja Mar jadi galau. Meskipun balasannya ceria, tapi di film itu digambarkan Mar sedang berpikir keras setelah menerima pesan itu. Bersandar di tembok, menerawang, lalu ada orang lewat sambil lalu menggumam: kadang-kadang, laki-laki tidak sadar betapa istimewa perempuan yang ada di hadapannya. Nah lho! Nic sukses menciptakan badai di hatinya. Badai itu semakin hebat ketika Nic mengajaknya ke Praha.
“Cheers to our last night” Mar
“Well, does it really have to be our last night?” Nic
“Maksudnya?” Mar
“Ikut ke Praha yuk, kita buktikan mana yang lebih romantis, Paris atau Praha?” Nic
“Ya nggak lah” Mar
“Kenapa? Kita kan udah lama banget gak jalan-jalan bareng.” Nic
Sampai di sini, saya dan Novia sudah bersorak-sorak. Woooy, modus banget woooy Nic ya ampuuuun. Kalau Mar sudah bilang nggak, ya sudahlah ya. Jangan dipaksa, jangan dirayu-rayu. Apalagi setelah Nic pamit dari apartemen Mar, dia masih berusaha membujuk dengan mengirimkan pesan. Yakin deh saya tahu apa yang berkecamuk di hati Mar. Ia masih ingin mencoba. Ia masih kepingin menjadi ‘kita’ dan bukannya ‘aku’ dan ‘kamu’. Nic mungkin tahu itu, ah bukan, Nic PASTI tahu itu. Mungkin dia juga punya keinginan yang sama, mungkin juga enggak. Ya cuma testing the water seperti yang sudah disinggung di atas tadi. Kalau berhasil, syukur, kalau enggak ya sudah.
Tapi Mar sudah terlanjur punya harapan. Dia melihat secercah sinar yang menyeruak dari kegelapan. Mungkin ‘aku’ dan ‘kamu’ itu bisa menjadi ‘kita’ lagi. Mungkin kali ini akhirnya mereka punya sesuatu untuk diperjuangkan bersama. Mar berpikir, mungkin Nic juga merasakan hal yang sama kuatnya. Mungkin Nic juga ingin kembali. Nyatanya, sejak kemarin Nic selalu berusaha supaya pertemuan mereka berlanjut. Setelah menimbang-nimbang, Mar akhirnya mengiyakan dengan membawa harapan. Dan ketika di Praha harapan itu perlahan pudar, Mar tersadar kalau tidak akan pernah lagi ada ‘kita’, Nic cuma sedang rindu masa-masa mereka bersama. Masalah yang mereka hadapi masih sama seperti dulu.
Bagian paling menyebalkan, setelah menebar harapan dengan semua flirting dan modus itu - termasuk menyewa satu kamar dengan double bed alih-alih mencari yang lain - Nic lalu bilang:
“Hubungan dua orang itu nggak gampang ya. Meskipun udah cocok, udah saling kenal, tapi kayanya itu aja gak cukup” Nic
“Jadi kurang apa?” Mar
“Ya, maksudnya nyaman aja gak cukup. They need to share the same things, they need to want the same things” Nic (Di sini kami berkomentar, ya kan memang sudah sejak lama mereka tidak menginginkan hal yang sama. Yang satu mau melanglang buana, yang satu mau stay aja di Indonesia).
“Trus kamu maunya apa?” Mar
“…….” Nic diam, lalu ada latar narasi: aku cuma ingin semuanya jadi lebih sederhana aja.
Sederhana my ass, Nic. Pikiranmu aja yang bikin rumit, iya gak sih? Ditanyain maunya apa, jawabannya malah abstrak banget. Padahal pertanyaannya Mar sudah konkrit banget itu. Pertama Mar tanya kurang apa, jawabannya sok-sok filosofis. Lalu kedua Mar tanya lagi, maunya Nic apa, tapi jawabannya diam, malah dijawab dalam hati: maunya lebih sederhana. Kampret deh.
Nic juga sudah tahu kan dia masih di Indonesia sedangkan Mar juga masih berkarir sebagai seorang model internasional. Posisi mereka masih sama. Kenapa juga mesti tebar-tebar pesona lagi, flirting-flirting lagi, pake alasan minta ditemenin, ngajakin ke Praha sekamar berdua, pake modus taruhan lebih romantis mana antara Paris dan Praha. Memanfaatkan perasaan Mar yang dia tahu pasti masih menyimpan harapan. Modus banget banget. Inilah yang kami sebut Nic itu sebetulnya toksik, ahahaha.
Kembali ke premis awal, menurut kami jelas kalau Nic sebetulnya sadar kalau hubungannya dengan Mar sudah selesai dan nggak mungkin lagi kembali bersama. Itu bukan cinta. Itu penasaran, itu testing the water. Nic bermain-main dengan keberuntungan – dan dengan hati dan harapan yang dimiliki Mar. Itu jahat. Jadi sebetulnya benar kata Cinta, yang Rangga lakukan ke Cinta itu jahat. Seperti juga yang dia lakukan ke Mar. Kalau Cinta kebetulan bertemu Mar, jadi teman, dan bercerita tentang kehidupan cinta masing-masing, mereka pasti akan curhat tentang Nic dan Rangga. Betapa Nic dan Rangga itu hobi melakukan permainan mental kepada pasangannya, ahli manipulasi, pengecut, dan nggak berani menghadapi kenyataan. Hih.
Jadi begitulah. Malam staycation yang dicita-citakan, leyeh-leyeh sambil menonton wajah ganteng Nicholas Saputra dan pujian yang biasanya dilontarkan, berganti dengan misuh-misuh dan analisis sotoy ala-ala kami. Analisis sotoy yang kalau dipikir dan ditonton lagi ada benarnya juga sih. Jelas yang dirugikan adalah Mar soalnya. Nic memanfaatkan kerapuhan itu untuk dirinya sendiri. Untuk mengetes dirinya sendiri. Nic terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan yang sebenar-benarnya.
So girls, kalau pacarmu ganteng seperti Nic atau Rangga, jangan terlena dulu. Dilihat dulu dia toksik atau enggak. Berani menghadapi kenyataan enggak. Jangan sampai suatu saat nanti harapanmu sudah melambung terlalu tinggi, tiba-tiba dihempaskan oleh sunyi yang menyergap saat kamu bertanya apa maunya dia dan dijawab dalam diam. Kalau sudah begitu, lari! Lari yang jauh dan ciptakan kebahagiaanmu sendiri.
0 notes
Text
Kami sekeluarga suka makan. Tepatnya Bapak saya, yang suka makan. Hobi beliau saya rasa bermula dari keahlian Mama saya yang memang jago dan suka masak (dan kelak punya usaha katering). Standar rasa beliau jadi lebih tinggi. Hobi ini didukung oleh pekerjaannya yang memungkinkan beliau untuk mencoba-coba makanan baru di berbagai tempat. Dinas luar kota yang durasinya bisa sampai satu bulan sangat memfasilitasi beliau untuk eksplor makanan-makanan di lokasi kerjanya. Sampai suatu ketika saat saya sudah besar dan berkesempatan bertemu dengan salah satu anak buahnya, anak buahnya akan bercerita betapa Bapak suka sekali mengajaknya jalan kaki dan mencoba makanan-makanan lokal saat sedang berdinas, sejauh apapun. Anak buahnya tentu saja sebetulnya lebih suka leyeh-leyeh di hotel, tapi bagaimana lagi, atasan sudah memanggil. Anyway, hobinya itu juga jadi tantangan bagi Mama. Bapak akan pulang dengan request-request masakan, yang kemudian akan dicoba oleh Mama. Bereksperimen. Bapak lalu akan mencicipi, dan dengan gayanya bilang kurang ini, kurang itu, atau sudah oke. Lalu beliau akan memakan masakan tersebut sambil bercerita pada kami anak-anaknya: "Dulu Bapak pernah makan ini di sini, blablabla.."
Bapak juga senang mengajak keluarganya makan di luar. Sejauh apapun, dilakoninya. Lumayan, saya jadi punya memori tentang petualangan kuliner. Yang saya bingung, kok ya nemuuu aja tempat makan itu. Kadang cuma warung tenda pinggir jalan, kadang resto fancy. Seperti waktu kami niat banget pagi-pagi, sarapan soto di bilangan Jakarta Pusat. Sayang saya lupa namanya. Pernah juga soto di daerah Pengadegan, Jakarta Selatan. Betul-betul cuma sarapan aja, lalu pulang. Seringkali juga tanpa mandi. Sungguh niat mengingat rumah kami ada di Tangerang. Lalu yang paling waw (menurut saya), Bapak mengajak kami untuk sarapan di seputaran Gambir. Sebuah rumah makan yang menjual masakan-masakan dari Aceh. Pemiliknya pun orang Aceh. Rupanya, beberapa hari sebelumnya Bapak ada rapat di kantor dan makannya pesan dari rumah makan ini. Kebetulan kantor Bapak ada di seputaran Gambir. Jadilah kami, hari Minggu pagi, sarapan di sini. Sarapan yang sungguh berat karena menunya gulai kepala kakap. LOL.
Rumah makannya masih sepi ketika kami datang. Kursi-kursi plastik merahnya sebagian masih ditumpuk, sebagian lagi sedang diturunkan dan ditata oleh pegawainya. Rumah makannya tampak seperti warteg dengan kaca-kaca besar. Tampaknya kami adalah pelanggan pertama. Saya lupa dulu kami pesan apa saja, tapi yang paling disarankan oleh Bapak yaitu gulai kepala kakap. Rasanya memang maknyus, bahkan saya masih bisa membayangkan rasanya setelah sekian lama. Kami cuma satu kali makan di situ, tapi kenangannya teringat terus.
Saya nggak tahu deh, kebiasaan Bapak mengajak keluarganya kulineran atau memang keahlian memasak Mama yang mempengaruhi lidah saya. Bikin susah kalau makan. Otomatis menganalisis soalnya. Wkwkwk. Kebiasaan ini juga dilakukan Mama ke makanan-makanan yang kami beli. Hmm, Mama bisa nih bikin. Hmm, bumbunya Mama tahu nih. Hmm, enakan Mama yang bikin nih. Saya sih akan iya-iya saja. Memasak memang salah satu kebanggaannya, jadi hampir bisa dipastikan yang beliau katakan itu benar. .
Kebiasaan kulineran ini, tampaknya menurun ke saya. Saya suka banget menjajal tempat-tempat makan. Pernah dulu ke Wonosari cuma demi makan siang sayur lombok ijo yang autentik. Atau blusukan untuk menemukan tempat makan yang jual ikan gabus goreng dengan sambalnya yang nendang. Nggak semua enak sih, ada banyak juga yang rasanya nggak sesuai di lidah saya yang terlanjur punya standar tinggi terhadap rasa ini. Di era media sosial seperti sekarang ini, makin mudah lagi menemukan tempat-tempat kulineran baru. Kadang Mama atau Bapak mengirimkan link Instagram ke saya dan bertanya apakah saya sudah pernah mencoba ini dan itu, dan saat mereka di Jogja, tentu aja kami akan keliling mencoba ini dan itu :))
Bapak, di usianya yang ke 70 sekian ini, yang harusnya sudah mulai mengurangi dan mengatur pola makan, tentu saja masih hobi mengunyah yang enak-enak. Tapi karena mobilitas terbatas, hanya di waktu-waktu tertentu saja beliau bisa memuaskan petualangan kulinernya. Beruntunglah beliau, punya istri jago masak dan suka bereksperimen. Lidahnya masih bisa berpesta menikmati hidangan yang disajikan. Meskipun saat ini hanya tinggal berdua, tapi Mama seringkali membuat masakan lengkap untuk dinikmati, dan hampir selalu difoto lalu dikirim ke anak-anaknya yang cuma bisa menelan ludah dan membayangkan rasanya. Glek!
0 notes
Text
Anak Tetangga
Saya ini anak tetangga.
Bukan, maksudnya bukan secara biologis, tapi secara, apa ya namanya, sosial?
Dulu, masa-masa saya SD-SMP, Ibu saya aktif banget berkegiatan di Dharma Wanita. Sebuah organisasi yang anggotanya adalah istri-istri para Pegawai Negeri Sipil alias PNS. Selain punya tujuan mulia yaitu meningkatkan kualitas hidup anggota, Dharma Wanita ini ternyata juga punya fungsi bayangan, bisa mendongkrak karir suami masing-masing. Meskipun belum terbukti sih, ini cuma asumsi saya aja. Kenapa saya berasumsi demikian? Soalnya itu adalah tempatnya para istri-istri berkumpul, semua tingkat. Pertukaran informasi berputar sangat cepat, dan – sekali lagi ini adalah asumsi saya –mungkin saja mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang akan diambil oleh para suami-suami di level atas, terutama tentang karir dan jabatan seseorang.
Anyway, bukan karena soal dongkrak mendongkrak karir suami Ibu saya aktif di Dharma Wanita. Atau kalaupun pada akhirnya iya, bukan itu niat awalnya. Sesederhana beliau memang suka aja bersosialisasi dan berorganisasi. Suka bertemu orang, bercerita, bersenda gurau, dan mengembangkan diri. Ketika wadah itu ada, maka beliau nyemplunglah dengan sukacita. Dan maksimal. Karena maksimalnya itu, beliau jadi sangat aktif dan bahkan menjadi pengurus inti selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, ada hari-hari di mana beliau harus rapat ini itu, pelatihan ini itu, arisan, dan lain-lain sejak pagi sampai sore hari, seperti orang bekerja pada umumnya. Tapi ada satu masalah. Anaknya masih kecil nih, usia sekolah. Siapa yang bisa menjaga? Siapa lagi selain tetangga rasa saudara.
Jadi begitulah, selama bertahun-tahun, sepulang sekolah saya akan pulang ke rumah tetangga saya. Ibu pemilik rumah akan menawari saya makan, mengajak ngobrol, dan saya akan menelusuri rak buku milik anaknya yang sedang kuliah di kota lain, mengambil satu, lalu membacanya sampai bosan. Lalu menonton TV, setelah itu Ibu pemilik rumah akan menyuruh saya tidur. Tapi ya mana bisa kan ya, tidur di kamar orang lain, kasur orang lain, saya biasanya lebih memilih untuk mengobrol saja dengan Ibu pemilik rumah. Di dapur.
Yang saya ingat, rumah itu besar, dengan halaman belakang yang luas. Macam-macam pohon ada di situ. Belimbing, mangga, rambutan, delima, dan beberapa tanaman hias. Dapurnya adalah sebuah ruangan yang juga luas, semi-outdoor. Di tengah-tengah ada meja makan kayu bundar dengan 6 kursi besar. Saya biasanya duduk di situ sedangkan Ibu pemilik rumah akan mondar-mandir entah memasak, menyiangi sayuran, menyiapkan bumbu, atau menyapu halaman. Saya sudah lupa kami ngobrol apa. Karena waktu itu saya tidak tahu bagaimana harus berbasa-basi dan melakukan small-talk, pada akhirnya lebih sering bertanya ini itu saja supaya tidak terlalu canggung. Dan Ibu pemilik rumah akan menjelaskan dengan sabar.
Ada masanya saya bosan sekali. Ibu pemilik rumah sepertinya punya kesepakatan dengan Ibu saya untuk tidak membiarkan saya keluar sebelum jam 4 sore. Pokoknya, setelah pulang sekolah saya harus di dalam sampai jam 4 sore, terserah mau melakukan apa. Tapi, menunggu waktu itu sungguh menyiksa, kan? Energi anak sekolah itu nggak habis-habis. Apalagi ketika mengintip melalui jendela, banyak teman-teman seusia yang wira wiri. Ada yang naik sepeda, ada yang pakai in-line skate, ada yang lari-lari. Sungguh saya iri. Padahal itu baru jam setengah 4. Tiga puluh menit sungguh lama sekali. Saya lalu mengecek situasi. Ibu pemilik rumah tidak ada di mana-mana, tapi melalui pintu kamarnya yang sedikit terbuka, saya melihat kakinya ada di atas tempat tidur. Oh, aman. Saya lalu mengendap-endap, membuka kunci pintu dengan sepelan mungkin sehingga tidak menimbulkan bunyi. Lalu tertegun. Pagar rumah sangat tinggi dan kokoh. Tapi besi itu berukir, ada celah untuk saya menaruh kaki sehingga tidak sulit untuk dipanjat saya yang memang hobi panjat memanjat. Jadi ya sudah, memanjatlah. Pelan-pelan, sampai di ujung lalu saya melangkah keluar, dan memanjat turun. Yeay!
Saya lalu berlari ke lapangan basket tempat teman-teman saya berkumpul. Happy! Sebuah kebahagiaan yang hanya beberapa jam sungguh, karena malamnya, ketika Ibu saya pulang, tentu saja saya kena marah. Ibu merasa tidak enak kepada tetangganya yang sudah dititipi. Tetangga juga merasa tidak enak karena seperti tidak becus dititipi. Sementara saya, tidak enak karena dimarahi, tapi tidak menyesal karena bisa bermain dengan teman-teman. Hahaha.
Setelah kejadian saya kabur dengan memanjat pagar itu, Ibu masih menitipkan saya beberapa kali pada tetangganya itu. Lalu berpindah ke tetangga lain, dan pada akhirnya membiarkan saya memillih saja mau dititipkan atau mau di rumah saja. Tentu saja saya mau di rumah saja. Paling nyaman dan bisa tidur siang dengan nyenyak di kamar dan kasur sendiri. Tapi pengalaman dititipi tetangga itu sangat berkesan bagi saya, jadi memperkaya wawasan saya yang masih kecil dan yah, jadi cerita di waktu dewasa begini.
0 notes
Text
Adulting is hard.
Pernah membayangkan gak sih ada di posisi saat ini? Jadi harus bertahan hidup; harus menelan kenyataan bahwa kita tu hidup pakai uang lho, so wake up you have to make money; harus membuat keputusan cepat di waktu yang singkat - nggak jarang a life-changing decision; dan harus harus lainnya. I wonder bagaimana orangtua kita dulu menghadapi ini semua.
Tapi saya tahu jawabannya sih kalau saya tanya ke orangtua saya: ya dijalani aja, mau gimana lagi?
Adulting is hard terutama menghadapi kenyataan bahwa akan tiba saatnya orangtua akan pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Lalu, belum cukup menghadapi perpisahan itu, kita dibenturkan sama kenyataan bahwa, segala yang tadinya jadi tanggung jawab orangtua, berpindah ke kita. And by saying all, I mean all, everything. Semua semuanya. Kita jadi orangtua. Nggak ada lagi yang ditanya-tanya gimana ini gimana itu. Nggak ada lagi yang ayem-ayem. You on your own, now.
Its a cycle.
Cycle of life. Ready or not. It will come to you.
Kadang-kadang saya kepingin banget membelah diri antara Jogja dan Jakarta. So I can be both with my parents and my own family because of course I can’t choose. Tapi mau gimana lagi, hidup itu selalu tentang pilihan kan, seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Often it’s a life-changing decision and there is no turning back. Di posisi ini, saya cukup lega sih orangtua saya nggak banyak menuntut saya macam-macam. Sak polah-polahmu lah Nin, sak senengmu mau gimana, mau hidup di mana. Kalaupun nggak bisa sering-sering datang ya nggak apa-apa. Tapi justru itu yang membuat saya selalu merasa kurang dan kurang dalam hal menyayangi mereka. Pengennya selalu standby ada terus untuk mereka, tapi tentu saja tidak mungkin. And this, is also part of fuckin’ adulting *sigh
Jadi selain doa mereka akan baik-baik saja dan sehat-sehat saja, saya juga berdoa untuk diri sendiri semoga jika nanti ada sesuatu (mudah-mudahan enggak), saya nggak banyak menyalahkan diri sendiri, nggak banyak bermain dengan pikiran seandainya seandainya, dan nggak merutuki pilihan-pilihan hidup yang sudah saya buat. Hence, setiap pilihan pasti punya konsekuensi ya kan. I hope I made the right one.
So see you later, Jakarta. Take care of them, okay?
3 notes
·
View notes
Text
Memberi, Menerima, Dan Art Journaling Di Antaranya
Setelah beberapa hari bolak-balik rumah - rumah sakit, energi rasanya terkuras habis. Ada rasa belum ikhlas yang sedikit menyelinap, tapi yasudahlah, mari kita mengingat salah satu alasan resign: ingin lebih dekat dengan orangtua (termasuk jadi yang paling ready kalau ada apa-apa dan sigap memberi tanpa harap menerima). Pun setelah pulang dari rumah sakit, here comes the visitor, berbondong-bondong datang menjenguk. Bagus sih, tapi untuk orang yang nggak suka keramaian dan berbasa-basi seperti saya, fiuuhh, it was draining.
So there I was. Setelah malam sebelumnya sibuk mencari-cari apa yang bisa dilakukan untuk mendapatkan energi positif ini kembali, saya menemukan workshop Mindful Art Journaling. Ah sekalian studi bandinglah, kayak apa sih workshop di Jakarta ini. Mindful Art Journaling ini sejenis journaling, tapi pakai gambar. Gak bisa gambar? No problem. Fokusnya bukan di bisa atau nggak bisa gambar kok. Tapi bagaimana kita hadir utuh, menuangkan apa yang kita rasa, apa yang kita pikir, apa yang kita risaukan, ke dalam media gambar. Gambar saya tadi cuma bulet-bulet aja warna warni memenuhi kertas HVS ukuran A4. Yang nggambar benang kusut ya ada. Yang nggambar pohon, taman, bintang-bintang, bahkan nggambar orang juga ada. So, terserah gimana tanganmu bergerak aja. Ga ada benar atau salah. Ga ada bagus atau jelek.
Workshopnya tadi diadakan di sebuah kafe kecil gitu. Kafe kecil dengan banyak buku. Love banget, suka banget. Enak buat silent date. Tahu silent date, kan? Dulu saya sering melakukannya sama mantan pacar yang sekarang jadi suami. Kami kencan, tapi berbekal buku masing-masing. Baca aja terus sampai selesai. Lalu setelah selesai baca, selesai pula kencan kami. Pulang deh ke kost masing-masing. Just like that. Tapi bondingnya justru terasa tanpa banyak kata-kata *halah
Aaanyway, kafe itu kecil, lebih kecil dari rumah saya. Tapi homy dan yang terpenting bukunya banyak. Suasananya nyaman dan tenang. Interiornya dominan kayu, dan banyak art piece-nya. Mengingatkan suatu hari nanti, saya punya cita-cita pengen bikin tempat serupa yang lebih inklusif. Lokasi kafe ini ternyata kok ya deket buaanget sama rumah orangtua saya. Cuma 15 menitan kali ya. Yang jelas naik gocar cuma bayar 23rb, naik goride cuma bayar 15rb, ehehehe. Tahu gitu tadi saya bawa motor aja dari rumah, lumayan tuh bisa menghemat 38 ribu. Matcha lattenya enak, tapi nomor satu masih matcha latte-nya Awor lah. Baristanya juga. Eh.
So, did I get my positive energy back? Yes, I got my positive energy back. And yes, jadi berlatih mindful mendengarkan diri. Menyadari diri ini sedang bagaimana, dan menyadari emosi yang muncul. Lalu tuangkan dalam secarik kertas. Hal-hal ini ternyata butuh disediakan waktu khusus. Nggak lama kok, paling satu jam sudah selesai. Kalau butuh lebih ya silakan, nggak ada batasannya. Yang jelas, beri diri ini jeda. Berjarak dulu sebentar. Seperti saya yang memberi jarak dari hal-hal yang bikin nggak bersemangat. Seperti diingatkan bahwa untuk memberi kepada orang lain, kita harus memberi kepada diri sendiri dulu.
Penuhi cangkir cinta kita kepada diri sendiri sampai maksimal, supaya kita bisa membagi cinta itu dengan optimal kepada orang lain atau orang yang membutuhkan. Bisa? Pasti bisaaa. Yuk, latihan.
0 notes
Text
Ja.karta
Jakarta, Jakarta
Kadang kunista, kadang kupuja
Tapi tak pernah sekalipun aku lupa
Akan parasmu yang bermuka dua, tiga, atau lima
(Iya, sengaja kulongkap sehingga puisi ini ber-rima)
Tapi aku selamanya suka
Jakarta, Jakarta
Kurasa, semua orang tak akan percaya
Kalau kubilang kaulah pelipur lara
Kalau kubilang kau yang menyalakan bara dalam jiwa
Aku tahu, karena aku sendiri juga tak percaya
(Gimana sih ya?)
Jakarta, Jakarta
Meskipun kau jahat seperti ibu tiri
Tapi jahatmu mengandung candu, membuat hati ingin terus mencicipi
Duh, Jakarta
Mau sampai kapan berdiam dan tak pergi-pergi?
*sebuah tulisan yang ditujukan untuk diri sendiri yang tak kunjung berhasil mengusir pergi Jakarta
*semacamloveandhaterelationshit
0 notes
Text
My best year sih, but I’m not ready to let it go.
Not yet.

1K notes
·
View notes
Note
HUJAN dan SENJA sepertinya dominan dalam potret dan tulisanmu. Aku lebih suka EMBUN dan PAGI.
I'm not a morning person.
0 notes
Note
I think I am good..what about you? are you good?
Am good, don't tell me to repeat it again.
0 notes
Note
saya mau tanya dong. kenapa belakangan ini up date di tumblr lama sekali ya? sedang krisis kreativitas?
Sort of.
0 notes
Note
Was it for me? Sorry for that. And, Hai, Apa kabar?
Am good. And no. It's not for you :)
0 notes
Text
Is it okay to fall in love with other while having a relationship?
Pertanyaan itu jadi topik yang cukup “hot” akhir-akhir ini di antara teman-teman saya yang usianya ada di akhir kepala 2, kepala 3 dan sudah masuk di kepala 4. Cukup menarik sih sebetulnya mendengarkan pendapat dan argumen-argumen yang mereka punya. Menyadarkan saya bahwa oh iya ya, Tuhan memang menciptakan manusia itu sungguh beragam dan bermacam-macam, wkwkwk. Kenapa jadi bawa-bawa Tuhan dalam urusan “affair”, sih Nin?
Anyway, ini jadi menarik karena, ternyata rentang usia yang berbeda punya pendapat yang berbeda-beda pula. Tapi tentu saja nggak mewakili satu kelompok besar ya, secara isi kepala orang kan beda-beda.
Jadi, menurut yang ada di akhir kepala 2, naksir orang lain pas kita udah punya pasangan itu nggak boleh. It’s not fair buat pasangan kita. Kasihan lah, itu namanya berkhianat sejak dalam pikiran (dan perasaan). Normatif sekali jawabannya ya.
Lalu setelah mendengar jawaban itu, saya lalu bertanya: “Tapi, rasa suka kan nggak bisa dikontrol, ya? Kita kan nggak tahu tiba-tiba aja kita merasa suka sama orang lain. Atau bisa?”.
Ya bisa saja, katanya. Kalau tahu nggak bisa ke mana-mana (a.k.a hubungannya nggak bisa berlanjut), kan sejak pertama muncul rasa suka itu harusnya bisa dibunuh aja pelan-pelan (sadis banget ni membunuh perasaan).
Tapi hey, itu berarti kita nggak bisa kontrol munculnya rasa suka itu kan? Jadi jawabannya harusnya nggak bisa. Kita nggak bisa kontrol rasa suka itu muncul tiba-tiba. Yang bisa kita kontrol adalah, setelah rasa itu muncul, lalu mau diapakan? Dibiarkan tumbuh subur berseri, atau dibunuh pelan-pelan seperti kata teman saya tadi?
Lalu muncul jawaban lain. Dari teman yang usianya akhir kepala 3.
Naksir orang lain saat kita masih berhubungan dengan satu orang itu adalah hal yang wajar. Sangat mungkin terjadi. Kita nggak bisa kontrol, it just happen. Bisa saja orang lain itu punya sesuatu yang nggak dimiliki oleh pasangan kita saat ini. Atau dia punya sesuatu yang sudah lama kita impikan. Misalnya, kita sebetulnya pengen punya pasangan pintar main musik, tapi ternyata dia nggak bisa, dan along the way, ketemulah kita sama orang lain ini. Sudah enak diajak ngobrol, punya minat yang sama, pintar bermusik pula. Jreng jreeng, nyalakan tanda bahaya sudah. Bibit-bibit cinta mulai muncul. See? It just happen. We can see it coming. Menurut teman saya ini, ya nggak apa-apa rasa itu ada. Jangan dibantah. Tapi kan ada yang namanya sumpah setia, akad, janji, atau apalah itu namanya antara kita dengan pasangan kita saat ini. Apakah kita akan melanggar itu “hanya” karena kita bertemu orang yang sepertinya adalah orang yang kita impikan? Lalu mau dikemanakan semua kenangan bersama pasangan? All those laugh and tears together. Apalagi kalau pasangan nggak punya salah.
Okey, so far ada dua jawaban. Bunuh, atau kontrol.
Lalu bagaimana dengan yang usia kepala 4? Mereka lebih hati-hati dengan definisi. Naksir? Naksir yang gimana dulu nih? Sekedar suka, kagum, atau gimana? Kalau sekedar naksir, tiap ketemu happy, ya nggak apa-apa. Tapi kalau sudah mencandu, ingin selalu bertemu, komunikasi intens dan mendalam, wah, hati-hati. Jadi lebih ke mengidentifikasi perasaan. Kalau sudah mengarah ke hubungan yang lebih serius, pilihannya jelas, hentikan. Kalau untuk having fun aja, lanjuuuut (tapi dipikir-pikir kok serem juga ya, having fun with others? define having fun, please).
Well, all in all, saya rasa yang namanya berkomitmen itu ya pastinya tahu lah ya, apa yang akan terjadi di depan kita. “Godaan” itu pasti ada, pasti muncul, namanya juga kita interaksi sama orang lain sehari-hari. Di tempat kerja, di tempat berkegiatan, atau di tempat yang nggak kita duga. Tapi godaan itu datang bukan dari orang lain, godaan itu datang dari dalam diri sendiri. I’m not saying that orang-orang yang selingkuh itu adalah orang-orang yang kurang bersyukur ya, I’m saying that they choose to let their feelings grow bigger and bigger despite of the commitment that they already had. And for what? Happiness?
I’m not sure.
Terus, gue gimana? What is my opinion?
Well I guess I’ll just keep my opinion for myself, hahaha.
3 notes
·
View notes
Text
Not necessarily intended for mother out there, I know. But I think this is a reminder that as a mother, you often lose yourself in another person. In your spouse, in your children. Their happiness is your happiness. Your me time is always with them. It’s precious, it’s irreplaceable, but you lose yourself in it. You lose yourself in a role called mother.
Don’t you miss yourself?

"you are your own home"
-Bianca Sparacino, "The Strength In Our Scars"
10K notes
·
View notes
Quote
Note to self: You’ve gotta do this for you. This is for you. This isn’t about anybody. Live for you. Honour you. Never lose sight of that.
Unknown (via quotemadness)
908 notes
·
View notes
Quote
It is hard work and great art to make life not so serious.
John Irving (via emotional-algebra)
Ha!
63 notes
·
View notes
Text
A Gift For Myself

“Anyway, are u okay Mbak?” Pertanyaan itu muncul dari Oci di sela obrolan kami tentang konten. Saya, yang waktu itu sedang merasa nggak kenapa-kenapa malah jadi bingung.
“Oke2 aja, hahahahaa. Kenapa e?” Saya malah bertanya balik. Ternyata itu karena Oci melihat postingan Tumblr saya beberapa waktu yang lalu. Waktu saya menulis itu, memang rasanya lagi galau sih. Saya merasa tidak baik-baik saja. Perasaan itu hilang timbul seperti mood. Setiap harinya saya jalani seperti zombie, tanpa semangat, tanpa gairah. Banyak pertanyaan seliweran di kepala. Apa yang saya jalani saat ini, sekarang ini, benarkah hidup yang saya mau? Benarkah keputusan yang saya ambil? Apakah saya keliru menafsirkan kata hati saya? Saya merasa gelisah terus menerus. Perasaan itu datang dan pergi beberapa bulan terakhir. Sampai akhirnya kemarin, tepat di ulang tahun yang ke 30 sekian, saya memutuskan untuk memberi diri saya sendiri hadiah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: sebuah janji temu dengan psikolog.
Pertemuan dengan konselor atau psikolog adalah sebuah satu langkah besar dan berani menurut saya, karena nanti hidup kita bakal dikulik-kulik sampai dalam, sampai ke pengalaman masa lalu, masa kecil, relasi dengan orang tua - supaya si psikolog bisa menemukan akar permasalahan dan menemukan model terapi yang pas untuk kita. Tapi itu hanya bisa terwujud hanya jika si klien mau terbuka dan nggak defense di depan psikolog. Dan itulah yang saya lakukan. Rasanya nggak nyaman awalnya, berbicara tentang diri saya, perasaan saya kepada orang yang sama sekali belum saya kenal. Tapi saya mengingatkan diri bahwa sayalah yang memilih dia. Sayalah yang butuh bantuan. Dengan berbekal keyakinan itu, saya yang biasanya susah untuk terbuka sama orang asing, akhirnya lancar bercerita.
Entah psikolognya canggih, entah saya yang membuka diri, rasanya semua yang saya ceritakan memang ada pangkalnya. Pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar dari psikolog, membuat saya ber-refleksi jauh ke belakang. Satu perasaan pada sebuah kejadian mempengaruhi perasaan yang muncul di kejadian yang lain. Sebuah kejadian itu pemicu, tapi penyebabnya berakar jauh di masa lalu. Begitupun dengan nilai yang saat ini saya ugemi, ternyata ada asal usulnya mengapa nilai tersebut saya kekepi sebegitunya dan saya menjadi sangat marah ketika nilai itu bertabrakan dengan nilai orang lain. Orang lain yang seharusnya menjadi panutan dan menjadi contoh. Tidak, tidak ada yang salah dalam hal ini. Cuma itu pelan-pelan mengikis hal yang saya miliki dan saya percaya sejak lama. Saya juga jadi merasa, ah, seandainya saja saya pergi dari sana lebih cepat, hahaha.
Satu sesi kemarin juga membawa terang pada hal-hal yang saya ingin lakukan. Baru terbuka sedikit sih, setidaknya benang merahnya sudah mulai terlihat. Buat saya yang minatnya dari A sampai Z, benang merah itu sangat saya butuhkan biar gak oleng dan gampang terpikat kanan kiri. Setidaknya untuk mengafirmasi diri, oke, saya sudah di jalur yang tepat. Meskipun di perjalanan masih mikir juga sih, duh bener ga ya? Hahaha. Saya juga berusaha menerima kembali diri saya yang need for achievementnya tinggi ini, dan mengakui bahwa saya memang orangnya idealis, ambisius, restless, suka nggak sabaran, dan nggak bisa diem. Entah kenapa kok itu saya tekan ke alam bawah sadar ya? Apakah secara bawah sadar saya masih terhegemoni nilai bahwa perempuan ambisius yang nAch-nya tinggi itu socially unacceptable? Tidak sesuai norma? tapi norma yang mana? Norma yang dibuat oleh laki-laki? Ha! Jadi begitulah, pelan-pelan saya kenali lagi diri saya. Saya bangun lagi sedikit demi sedikit. Saya yang sekarang, sedang membangun sesuatu yang baru dengan sisa-sisa diri, sembari berusaha mengembalikannya menjadi utuh.
“Jadi, kalau kamu melihat lagi ke dalam diri, dengan semua yang telah dilakukan dan dimiliki saat ini, apakah itu kemajuan, atau kemunduran?” Psikolog saya bertanya, dan dengan cepat saya menjawab, itu kemunduran. Karena bukan tentang apa yang saya telah lakukan, pelajari, miliki, melainkan lebih ke kualitas diri saya yang sekarang, yang jauh berbeda dari saya yang saya kenal dulu. Saya yang sekarang terasa asing. I just can’t recognize myself anymore. Sejauh yang saya ingat sih ya, ehehehe. Yang saya ingat-ingat juga dari sesi itu, tidak apa-apa mengakui bahwa kita sedang mengalami kemunduran. Dalam setiap sepuluh langkah maju, pasti ada dua atau tiga langkah mundur, kan? Tapi saya paham kok, ini keterampilan yang kalau tidak diasah, ya susah juga. Memang nggak apa-apa, tapi tidak semudah itu juga untuk mengakui dan menerima. Easier said than done, sis. Bahkan buat saya yang sehari-harinya banyak menyarankan begitu ke orang lain hahaha. Payah nih, gak walk the talk, gue. But, hey, I finally did it! It takes time, but I did it. Satu langkah yang baik karena setelah itu saya bisa duduk dan berpikir, setelah mengalami kemunduran ini, terus mau apa?
Saya belum tahu mau apa sih. Tapi energi yang sempat hilang kemarin pelan-pelan mulai muncul lagi. Gak apa-apa, memang itu yang dibutuhkan. One step at a time. Lagi-lagi ini mantra yang suka saya terapkan ke orang lain, tapi menerapkan ke diri sendiri rupanya perlu tekad yang kuat, wkwkwk. Mudah-mudahan yaa, setelah energi lalu muncul motivasi, lalu muncul action. Pelan-pelan, gak apa-apa, kok Nin. One step a a time, one step at a time, even if it’s a baby step, it is still a step. So it’s okay. It’s okay.
0 notes