Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
You don’t need to apologize for you overexcited on something you like, just because others think that is trivial.
You don’t need to apologize for not being responsive on things that doesn’t worth your energy
You don’t need to apologize for posting things that you think thats spam for others rather than your expression of joy. That is your way of having fun and they always have options not to bother, to skip.
No need to apologize to others for being you.
Apologize to you for being other than you.
0 notes
Text
I am a museum,
A collection of people I have met,
A glimpse of places I’ve been,
Pain I have suffered
And discoveries of emotions I thought never exist.
0 notes
Text

Suatu hari di musim panas, kita berbaring di atas dipan di halaman depan rumah penduduk Chitral. Menghadap langit. Menerka-nerka wujud masa depan.
Keras sekali aku mengingat gumamanku di kegelapan itu. Tapi semua kata seolah membisu seperti kaset tua yang tak bisa bersuara.
0 notes
Text
Beberapa hari lalu ibuku menelfonku dan menanyakan berentet hal tentang salah satu temanku. Aku sebagai orang yang tidak suka mengurusi hidup orang lain pun menyeletuk
“ga usah lah urus hidup orang lain, biarkan aja terserah dia!”.
Setelah melihat raut wajahnya, akupun berfikir. Bodoh! Mana mungkin aku menyuruh seseorang yang selama hidupnya tidak pernah melakukan hal itu. Yang hampir seluruh hidup dan fikirannya telah dicurahkan untuk selain dirinya. Mengurusi aku dan adikku sudah makan atau belum, kami sudah solat atau belum, bagaimana ranking kami disekolah, dan beribu 5W1H lainnya.
Aku memang belum mengerti banyak hal tapi sering berlagak bijak. Duh.
0 notes
Text

Ternyata begini rasanya.
Merasa sangat kehilangan seseorang yang kita sayang. Orang yang sering menceritakanku kisah nyata masa2 penjajahan dan dongeng sblum tidur. Orang yang  sering kutemani menonton pertandingan bulu tangkis d depn TV. Orang yang selalu membawakanku mainan atau sepatu baru ketika pulang melancong. Orang yg paling penyayang yang ku tahu, yg selalu tenang, yg hampir tidak pernah kulihat marah. Termasuk aku dulu, saat tidak perlu ada alasan untukku duduk disampingmu, menertawakan candaan mu yg jarang sekali gagal.
Memori2 masa kecilku dengan Uwa, yg kukira sudah kulupa tiba2 datang. Memenuhi dadaku. Sesak. Tapi hangat. Memori2 yang baru aku sadari mengajarkanku banyak hal. Saat2 aku mengagumi uwa yang khusyu membaca novel kesukaannya, menanyakan kapan majalah edisi terbaru langganan dari sekolahku datang. Saat uwa direbutkan cucu2 nya yg minta digendong. Saat uwa mengobrol dengan salah satu sahabatnya, orang gila di kampungku yg dia perlakukan layaknya teman akrab ketika org lain enggan mendekatiny. Iya, memang beliau sangat humble dengan semua orang dan selalu menjaga silaturrahmi.
Kini orang itu disitu. Tak bs lagi aku menemukannya duduk di depan teras rumah sambil mencabut sisa sisa jenggot tipisnya. Atau di depan mesin jahit khusyu menjahit celanaku yang kedodoran. Atau di depan TV 14 inc saat ada kejuaraan badminton.
Hari ini banyak tangis dan duka kehilangan sosok yang disayang. Tapi disitu juga kulihat anak kecil yang dgn polosnya girang bahagia karena keluarganya berkumpul lengkap di momen ini. Hidup memang begitu, kan.
Selamat jalan, Uwa. Terimakasih dan sampai jumpa di taman surga.
اللّهمّ اغْفِرْ لهُ وَارْحَمْهُ وَ عافِهِ واعْفُ عَنْهُ ، واكرِمْ نُزُلَهُ و وسِّعْ مَدْخَلَهُ ، وَاغْسِلْهُ بِالمَاءِ، والثَّلْجِ البَرَدِ ، وَ نَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وابْدِلْهُ دارًا خَيْرًا مِنْ دارِهِ وَ أَهْلاً خَيْرًا مِنْ أهْلِهِ ، وَ زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأدْخِلْهُ الجَنَّةَ ، وَ أَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ وَ عَذَابِ النّارِ
الفاتحة
0 notes
Text

A little late to welcome mas Agus. Cheers to the next 5 months before 2023 :)
8 notes
·
View notes
Text
Setipis Kertas Ijazah
“Tidurlah dirumah, tak usah dipikirkan panjang sebab jalan sempit, tujuan jauh, perbekalan sedikit.” (HAMKA)
Suatu kali Ibnu Hibban al Busti dalam bukunya raudlatul ‘uqala wa nuzhatul fudhala’ menyebutkan satu hikmah yang sangat mahal harganya. Beliau berkata, “Siapa yang kuat berangan-angan, maka akan lemah berbuat dan mengerjakan.” Dalam pembahasannya beliau mengingatkan bahwa orang berakal itu, tak panjang khayal, tapi lugas dan selesai berbuat. Dari hal-hal sederhana ia tidak luput, pada hal-hal yang besar sangat teliti.
Sore itu kami berkesempatan untuk duduk bersama para santri membaca salah satu karangan Imam Nawawi, Bustanul Arifin. Waktu yang kami gunakan tidaklah lama, sehabis ashar hingga sekitar pukul lima sore. Yang dibaca juga tidak panjang, hanya sekitar tiga halaman. Namun apa yang didapat dari majelis itu sangatlah memuaskan. Beberapa santri mengangguk dan tersenyum seakan ingin berkata, “kami haus, tambahkan lagi curahan ilmu itu.” Begitulah kiranya betapa manusia sangat membutuhkan pengetahuan dan tambahan ilmu.
Namun mengapa pula jiwa terasa berat untuk bergerak mencari dan mendatangi majelis-majelis ilmu? Mengapa para mahasiswa dengan sangat bersemangat melangkah menuju kampusnya, namun tak ada semangat untuk datang ke tempat-tempat diskusi, pengajian, seminar dan sebagainya. Bukankah yang dituju adalah sama, ilmu?! Namun mengapa semangat untuk itu, tidak sebesar semangat untuk yang ini.
Mahasiswa yang telah mentasbihkan dirinya sebagai abang tertua dalam dunia pendidikan kita hari ini, seharusnya punya semangat yang berlipat-lipat dari yang sebelumnya. Namun begitulah adanya, semangat menuntut ilmu ini, tipis. Setipis ijazah yang selalu kita banggakan. Apakah kita bersemangat dan rajin mendatanginya karena ada imbalan berupa ijazahnya? Pada hal itu, yang sejatinya kita membayar dan mengeluarkan dana yang cukup banyak, sangat semangat mendatanginya? Namun mengapa pada majelis-majelis ilmu dan tempat-tempat diskusi yang gratis itu sangatlah berat adanya.
Adakah kiranya jiwa yang malas, atau niat yang sudah amblas dan menerobos batas. Semangat yang tipis tadi semakin menipis ditambah dengan seabrek ‘kesibukan’ yang tak bertuan itu. Tepat apa yang disampaikan oleh salah seorang ulama bahwa perbedaan kita dengan ulama-ulama dan tokoh-tokoh hebat itu adalah perbedaan pada hitungan detik. Detik waktu mereka berkah dan menghebatkan, sedang detik waktu kita payah dan menghanyutkan. Detik mereka ibadah dan jihad, detik waktu kita pasrah dan penuh hasad. Hasad mereka pada ilmu dan ketaatan, hasad kita pada harta dan kepunyaan.
Segala kemudahan sudah didapat, namun semangat kami masih setipis ijazah. Semakin terkikis dengan semua kebodohan yang dibanggakan. Semangat semakin pipih, tersisih oleh rintih kesombongan yang terus ditumbuhsuburkan. Akhirnya jadilah kami manusia berpendidikan yang tak terdidik, manusia pendidikan yang tak menikmati ilmu dan pengetahuan. Semangat kami hanya mengejar secarik kertas, bukan segunung ilmu yang tak berbatas. Mungkin kalau ijazah kami agak sedikit tebal, kiranya tebal dan besar juga semangat kami yang belajar dan menuntut ilmu?!
366 notes
·
View notes
Text
You are not close to someone bcz you have same hobbies, share same favorite songs, hang out together oftenly, nod at most decision, never miss ur birthday, or have that 'quality time' caption. Neither they who can calm you down in your every chaos situation saying that everything is gonna be ok. Nah! My sleep does it best !
You are stick with someone who is able to argue your mad thoughts, slap on ur face whenever u do wrong, cursing ur ego and stubborness, saying its not ok and should be fixed.
That what makes you grow, I guess.
0 notes
Text
Penilaian
Kita tidak akan pernah mencapai kesempurnaan, itulah keniscayaan yang harus kita akui. Untuk itu, mengharapkan itu ada pada orang lain pun akan sulit. Untuk itu, menginginkan sesuatu yang sempurna dari manusia juga sulit.
Sebab itu, ruang penerimaan kitalah yang sebijaknya kita luaskan. Ruang yang sanggup menerima upaya orang lain untuk terus berbenah, ruang yang selalu bisa memaafkan. Ataupun jika kita tidak bisa memaafkan, paling tidak kita bisa berdamai.
Kadang, ukuran yang kita buat terlalu berlebih. Bahkan secara tidak sadar, ukuran itupun tidak bisa kita capai tapi kita menjadikannya tolok ukur untuk orang lain. Kita juga lupa untuk tidak menilai orang lain secara parsial, melainkan menyeluruh. Saat satu saja ada hal yang keliru darinya, kita menutup mata atas semua kebaikannya yang lain.
Bukankah itu tidak adil?
Yogyakarta, 3 Juli 2019 | ©kurniawangunadi
727 notes
·
View notes
Text
AKU, GINCU, DAN WANITA ITU
Entah mengapa setiap kali aku melihat benda yang jarang absen di tas kaum hauwa itu seketika aku teringat pada sesosok wanita yang kukenal bebereapa tahun lalu. Sosok yang pertama kali mengenalkanku kepada pemerah bibir, yang banyak mengajariku kehidupan manusia dewasa, baik dia sadari ataupun tidak.
“Ca, kamu ko ga pernah pake gincu sih, udah gede loh” ungkapnya suatu hari di kamar kosan kami. Dia adalah teman sekamarku di sebuah kos-kosan di Pare. Kami mengikuti kursus Bahasa Inggris untuk mengisi kekosongan liburan, biar berfaedah katanya. Tujuan yang sama dengan hampir semua anak muda yang berada di kampung Inggris tersebut.
Bisa dibilang aku adalah orang yang hampir tidak pernah memakai make up, selain aku tidak suka karena ribet, akupun tidak punya, he. Mungkin dia lebih membaca alasan kedua ku lalu memberiku sebuah lip stick, gincu warna agak keoranye an merek Wardah, masih baru. Dia memberiku karena warnanya tidak cocok dengannya, warna faforitnya merah tua, mungkin warna gincu itu disesuaikan dengan umur hahaa. Aku masih ingat peresis karena itu gincu pertamaku.
Pertama kali aku tidak tahu cara memakainya, walhasil ku putar sampai stick nya keluar seluruhnya, dan “tek!”, patah! (aslinya ga ada suara, biar sedikit mendramatisir saja). Atas ke goblokan ku itu aku ditertawai habis-habisan olehnya. Mungkin anak gadis yang sudah berkepala dua tapi menggunakan gincu saja tah becus itu adalah hal yang lucu baginya, dan mungkin bagi kebanyakan orang, huft. Memang wajar, bibirnya kan tidak pernah absen dari polesan merah.

Tutorial memakai gincu yang baik dan benar adalah salah satu pelajaran yang kudapat dari hasil berguru padanya. Ada banyak hal yang kudapat dengan hidup dan tidur berdampingan dengannya selama hampir tiga bulan. Pemikiran nya yang terkadang berbeda denganku membuatku lebih open minded, lebih menghargai dan memahami perbedaan. Teman-temannnya yang rata-rata sudah bisa disebut mapan juga mengajariku banyak hal, mereka luar biasa. Memang berbeda dengan kebanyakan teman-teman nongkrong ku pada saat itu yang mrupakan remaja-remaja yang baru menetas dari kurungannya, baru keluar pesantren. Duduk ku dengan teman ku yang ber haha hihi berbeda dengan duduk ku dengan teman-temannya (terkadang aku diajak untuk gabung dengan mereka), ada saja hal baru yang ku dapat, walaupun itu hal kecil.
Aku masih terbayang-bayang warna gincu dibibir nya, merah tua yang kutafsirkan sebagai kedewasaan, kematangan dan jiwa wanita independen. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah kesan ku yang hingga kini melekat padanya. Kesan yang apa adanya, dimataku. Terkadang kita tidak bisa memilih siapa saja orang-orang yang akan dating dalam kehidupan kita, mereka hadir begitu saja. Tapi itu adalah salah datu hal yang aku syukuri, dengannya aku bisa menemukan sesuatu yang baru, yang belum aku temukan sebelumnya. Dengannya aku bisa belajar cara beradaptasi, cara bertoleransi dan menghargai. Kita tidak bisa hanya meladeni hal-hal yang kita sukai, yang kita terbiasa dengannya. Pendewasaan akan berangsur menngerdil dengan menilai hal buruk dan hal baik menurut kita lalu kemudia tidak mau berkompromi dengannya. Tidak ada yang benar-benar buruk, tidak ada yang benar-benar baik. Pandangan setiap oranglah yang menentukan. Dan pandanganku terhadap wanita ini salah satunya.
Mungkin kini kami sudah tidak lagi bercengkrama, bercerita, makan soto dan ayam pak gendut bersama seperti dulu. Sesekali aku menyapanya kmudian dilanjutkan candaan khas a la kami yang tak berlangsung lama. Itu saja sudah cukup untuk menjaga tali dengan orang-orang yang berharga dalam hudupmu. People always come for a reason, setiap orang yang datang dalam kehidupan kita pasti membawa pelajaran tersendiri, entah yang membereikan kesan indah atau sebaliknya yang membuat kita lebih dewasa untuk menghadapi kenyataan yang tidak selamanya indah.
1 note
·
View note
Text
Kadang kita harus merasa kecewa, sesekali, untuk jadikan hati lebih luas. Tidak semua kekecewaan itu negatif.
Ibu Venny
5 notes
·
View notes
Text
Cepat mengeluh karena kurangnya kesyukuran, cepat lelah karena kurangnya keihlasan. Nikmati dan cintai !
Ibu Farah Mayuni
2 notes
·
View notes
Text
haruskah ada alasan untuk memberi ?
saya baru saja membaca blog seseorang yang menulis pengalamannya dengan ‘pengemis’ yang tidak mengenakan. saya jadi teringat akan pengemis-pengemis di tempat saya menimba ilmu sekarang, Islamabad, yang tidak jauh berbeda. tanpa ada maksud meremehkan, merendahkan atau merasa sombong, saya igin bercerita tentang hal yang sejak lama sering menimbulkan gejolak d fikiran maupun hati saya, ‘how to be good to a beggar ?’.
dulu waktu kecil, wang (panggilan saya kepada ayah) mengajari saya untuk tidak memberi kepada pengemis, “itu artinya kita mendidik dia untuk manja dan ndak berusaha untuk cari kerjaan lain” katanya. sometimes i admit it’s true, but sometimes, even always saya merasa kasihan saat liat mereka dengan pakaian kumuh, baju compang camping, apalagi kalau sudah tua, duh ga kuat hati ini bang. Meskipun saya akan sangat lebih menghargai ktika mreka mmpunyai usaha untuk dptin rizki halal slain mngemis.
tapi di sini, Islamabad, saya menemukan banyak sekalli bentuk gemah rupa loh jinawi mereka, yang berbeda dengan pengemis di indonesia pada umumnya, yang duduk kalem di pinggiran mall, ruko2, jalan2, dengan aqua gelas legend, menengadahkan tangan dan ga lupa berdoa ketika ada yang bermurah hati berbagi rezki, dan bersabar kalo aqua gelas nya belom keisi. mereka disini beda, bukannya bikin mata menitikan air malah pngin ngusir. Astagfirullaah, saya tau ini sama sekali tidak mencerminkan ciri-ciri muslimah sejati, sayar’i berprestasi dan menginspirasi, but you should try to know it.
gak jarang ketika ke tempat perbelanjaan didketin sama pengemis entah ibu2, adek2, cowo, cewe, bahkan cowe (you know what i mean). Dan kalo kita ga ngasi bakal di ikutin sampai beberapa meter bahkan bisa sampai di towel2 atau narik2 tas seolah ngerengek minta dikasi, dari pada pengemis mereka lebih kaya tukang palak yang tidak galak (tapi gak semuanya seperti itu sih). sebagai orang asia tenggara yang menjunjung sopan santun dan etika, pastinya saya dan kebanyakan teman2 indonesia merasa risih, apalagi ga semua dari kita paham bahasa urdu, dan akhirnya ga jadi ngasih duit, padahal punya. belum lagi doktrin2 seperti yang ditanamkan oleh ayah saya tadu atau alasan terkait takut uangnya bakal dipake buat macem-macem lah,tidak mengedukasi lah, nanti jadi kebiasaan lah, hidupnya gak akan maju2 lah etc etc yang menghalangi kita untuk memberi sedikit rizki yang ga lebih dari duit jajan sehari, tapi itu ckup buat mereka bersenang hati.
Tapi yang saya renungi disini adalah apakah pantas kita meramal bukan2 yang akan terjadi setelah mereka diberi uang ? apakah dengan tidak memberi itu adalah cara yang tepat untuk mengedukasi mereka ? apakah niat kita yang katanya untuk kebaikan mereka itu lebih penting dari skedar mengisi sedikit ruang diperut mereka ? apakah ini benar2 jalan Allah menjadikan tangan kita perantara untuk menyambung hidup mereka?
Entahlah, padahal islam memerintahkan untuk menyantuni anak yatim dan mengasihi fakir miskin. Sudah, smpai dstu saja, tanpa ada embel2 pngcualian mereka itu suka towel2 atau maksa2. mungkin kita terkadang berfikir, 'kalau aja mereka berperilaku baik kita pasti udh gw kasih tuh'. Hmmm bukankah tidak ada alasan untuk berbuat baik ? Begitu kata ceramah2 yang sering saya dengar. Tapi nyatanya tidak semua manusia sampai ke tahap itu, termasuk saya yg msh awam tntang agama. tapi setidaknya dengan keadaan yang berkecukupan ga ada salahnya untuk sekedar mmberi sedikit rzki sbgai tnda syukur. Karena kit ga tau amal baik mana yang benar2 akan diterima, dan bisa jadi rzki yg kt bagi wlopun sdikit tp iklas hati bkal jd pemulus urusan kita d dunia bhkan diakhirat nanti. Wallahu a'lam. Jadi, masih fikir panjang untuk memberi ? Ushikum wa iyya yaa nafsi.
0 notes
Text
Namanya mimpi.
Kuberi kaki untuknya berdiri.
Kudorong pelan demi ia berjalan.
Kusiram keringat agar ia berlari.
Kugelarkan sajadah agar lelahnya tercium oleh penghuni langit tertinggi.
Dan kubangunkan rumah agar ia tak lupa pulang kembali.
0 notes
Text
Aku ingin diPoligami
Jika aku dinikahi, aku ingin dipoligami. Aku ingin ditemani. Tapi poligami aku hanya dengan sehabat-sahabatku. Harus.
Jangan khawatir, nanti kuperkenalkan kepada mereka, biar kau lebih akrab dan bisa mencintainya juga.
Pertma akan kuperlenalkan kepada mimpiku, ahh dia ini hampir sempurna, jauh melebihi aku. dia yang selalu menyemangtiku, mengingatkanku untuk tetep 'hidup', panutanku. kau pasti suka.
Kemudian kelebihanku , dialah yang selalu membelaku di depan orang lain, membuatku terlihat baik walau terkadang itu semua berlebihan buatku.
Dan terakhir kekuranganku, dia lah yang benar2 kuinginkan untuk kau cintai, setelah aku. Dengan mencintainya kau akan belajar ketulusan, keikhlasan dan pengorbanan. Dia idaman bukan ?!
Nah sudah empat. Bagaimana, bukankah sudah lebih dari cukup ?
2 notes
·
View notes
Photo

Sosok penampakan makhluk jadi-jadian yang belum jadian jadian. (at Badshahi Mosque Lahore)
0 notes