Text
Dilan,
kalau dulu aku lahir di waktu berdekatan dengan kelahiranmu, aku yakin ibuku tak sengaja merencanakan itu.
Untungnya, aku lahir jauh setelah itu. Di tahun yang sama ketika kamu sedang mesra-mesranya dengan Milea.
Coba kalau enggak.
Aku pasti patah hati. Padahal kau tahu kan kalau patah hati itu memang nggak lebih sakit dari patah kaki. Cuma menyiksanya setengah mati.
Dilan,
aku enggak heran gimana Milea bisa sebegitu jatuh hati padamu. Itu mungkin adalah hal yang mutlak seperti pohon yang dikenal karena buahnya.
Aku juga enggak heran kenapa Susi mau ke kamu.
Kalau Wati, ya jelas enggak mau karena dia sepupumu.
Yang aku heran, kenapa Rani dan Revi enggak mau?
Aku curiga, mereka seperti aku.
Sebenarnya mau, tapi hanya bisa diam dan mendoakanmu.
0 notes
Text
Sampai Jumpa!
Satu bulan yang lalu, beredar kabar bahwa Gelanggang Mahasiswa UGM akan benar-benar dirobohkan setelah tahun-tahun sebelumnya hanya merupakan kabar burung saja.
Hari itu, banyak foto dan berita muncul di sosial media. Banyak mahasiswa dan mantan mahasiswa berbagi cerita tentang pengalaman mereka, tentu saja banyak kerinduan dan kenangan yang tercecer di antaranya.
Bagiku, gelanggang adalah rumah. Tempat di mana aku bisa datang kapan saja dan tidak akan pernah merasa kesepian. Di sana, aku bertemu dengan banyak orang-orang keren yang bisa selalu kuanggap sebagai keluarga. Gelanggang seringkali menjadi tempat berangkat dan beristirahat. Aku bisa menjadi diri sendiri dan apa adanya di sana. Aku bisa menjadi orang yang lebih baik karena lingkungannya. Gelanggang juga seperti seorang tua yang ku minta persetujuan setiap kali ada yang mengajak berkencan.
Tentu sedih tidak akan bisa lagi singgah ke gelanggang ketika ke Jogjakarta namun lebih bersyukur pernah punya kesempatan untuk bertumbuh di sana.
Sampai jumpa lagi!
1 note
·
View note
Text
Seperti Pelangi
Dulu ketika masih SMP, aku pernah menjalin cinta monyet ala-ala dengan seorang adik kelas. "Pacaran"nya hanya dua bulan namun patah hatinya bertahun-tahun. Haha, kurang pengalaman dan hanya mengedepankan perasaan memang sebuah kebodohan.
Patah hati itu kemudian membuat aku menyukai band-band super melow seperti Dygta, Flanela, dan The Rain -meski begitu aku juga suka T-Five dan Funky Kopral kok hehe-. Dari band-band tersebut, yang paling mengena di hatiku adalah Dygta. Seolah, band tersebut memang mengajak patah hati berjamaah lewat albumnya yang bertajuk Persembahan Jiwa. Dari 16 lagu patah hati di dalamnya, ada satu track yang benar-benar membuatku sedih. Judulnya Seperti Pelangi. Setiap dengar lagu itu, otomatis aku akan menangis. Astaga, ada apa dengan diriku yang dulu?
Suatu hari saat sedang bersiap ganti pelajaran selanjutnya, aku cari masalah dengan menyetel lagu Seperti Pelangi selagi gurunya belum tiba. Pas lagi seru-serunya meneteskan air mata, Guru Sejarahku; Ibu Istidjati tiba. Jelas beliau bingung ini anak kenapa, begitu tahu aku menangis karena mendengarkan lagu patah hati yang mengingatkan pada sang mantan, beliau pasti ingin berkata "yaelah". Alih-alih begitu, beliau mengajakku keluar. Menenangkan dan memberi nasehat bahwa dunia ini tak akan kiamat meski cerita cintaku tamat.
Sebelum kejadian ini, aku memang merasa memiliki kedekatan dengan Ibu Is. Apalagi, beliau adalah wali kelasku saat itu. Menurutku, Bu Is adalah guru yang asik. Beliau membuat pelajaran sejarah menyenangkan.
Setelah lulus SMP, aku tidak pernah melakukan kontak sama sekali dengan beliau. Ketika akan menikah, aku juga tidak berhasil menemui beliau untuk sekedar memberi undangan dan memohon doa.
Kemarin malam, tiba-tiba teman SMA ku menghubungiku. Kami berbincang tentang beberapa hal. Ternyata saat ini, dia bekerja sebagai guru di SMP ku dulu. Otomatis aku menanyakan kabar dan keberadaan Ibu Is saat ini. Usut punya usut, beliau sudah purna tugas. Satu hal yang membuatku kepikiran adalah karena temanku bilang, Ibu Is tinggal sendirian ketika kesehatannya sudah tidak sebaik dulu lagi. Bahkan temanku bilang kalau dirinya pernah mengantar Ibu Is ke IGD karena tidak ada sanak keluarga yang menemaninya.
Aku mencoba meminta informasi nomer kontak beliau, namun temanku sendiri tidak memiliki kontak beliau yang terkini. Padanya, aku menitipkan salam jika kebetulan dia bertemu Bu Is kembali. Aku juga berdoa semoga Ibu Is sehat dan selalu ikhlas dalam menjalani.
Kalau saja waktu bisa kembali, aku berjanji enggak akan menangis di awal jam pelajaran beliau lagi.
1 note
·
View note
Text
Ibu Hebat
Ketika anakku berusia lebih kurang hampir dua tahun, aku memutuskan untuk berhenti mengikuti beberapa akun teman sesama ibu dan sejumlah akun “mamagram”. Mungkin beberapa orang beranggapan hal tersebut berlebihan. Ya enggak masalah. Tapi itu ku lakukan for the sake of my serenity and it works!
Pada saat itu, aku merasa kemampuan berbicara anakku agak terlambat. Orang -orang di sekitarku mengatakan bahwa “wajar anak lak-laki telat berbicaranya”, “enggak apa-apa nanti juga bisa bicara sendiri”, “kamu terlalu insecure”, dll. Alih-alih merasa tenang, sebagian dari hatiku yakin bahwa anakku butuh bantuan. Aku banyak mencari informasi seputar masalah ini setelahnya. Tentang langkah apa yang harus aku persiapkan, screening tumbuh kembang seperti apa yang paling tepat di lakukan, dsb. Berbekal beberapa informasi yang aku dapatkan (tentunya bukan dari Instagram ya hehehe), aku pergi ke sebuah rumah sakit untuk melakukan screening tumbuh kembang dengan seorang Dokter Rehab Medik. Hasilnya menunjukkan bahwa anakku harus menjalani terapi wicara karena benar, kemampuan bicaranya agak terlambat.
Jadwal terapi anakku dua kali dalam seminggu dan berlangsung selama 45 menit di setiap sesinya. Terapi tersebut dilakukan di sebuah Klinik Tumbuh Kembang. Tidak hanya memfasilitasi terapi wicara saja, klinik tersebut juga memfasilitasi terapi lainnya seperti Sensori Integrasi yang mayoritas pasiennya adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Selagi anakku menjalani terapi, aku banyak berinteraksi dengan ibu-ibu hebat yang sedang mengantar anaknya terapi juga. Suatu hari, aku duduk bersama seorang ibu yang menyapaku duluan. Dia berkata “kenapa anaknya Bu? Kelihatannya sehat-sehat aja?”. Aku tersenyum dan menjelaskan bahwa anakku sedikit terlambat berbicara. Dirinya kemudian bercerita bahwa dulunya, anaknya juga sehat, lincah, dan cerewet sekali, hingga tiba-tiba demam tinggi (hingga 40 derajat) dan syaraf telinganya terputus. Sejak saat itu, anaknya tidak bisa mendengar apa-apa. Masih banyak ibu-ibu hebat lainnya yang meski menghadapi kesulitan mengurus administrasi BPJS, tetap menggendong anaknya yang kesulitan berjalan. Ada pula yang sambil menggendong anak keduanya, tetap sabar menenangkan anak “special”nya yang sedang tantrum berguling-guling di lantai. Setiap ke sana, ada saja cerita yang bikin menitikkan air mata. Jadi malu karena betapa ujian keibundaanku tidak ada apa-apanya dibanding apa yang harus mereka tanggung.
Dari ibu-ibu hebat itu, aku belajar bahwa menjadi ibu -selamanya- adalah sebuah tantangan, tinggal bagaimana kita menempatkan syukur dan keikhlasan.
Eh pulang dari klinik, nemu unggahan seorang mamagram yang ngomong panjang lebar tentang speech delay. Rupa-rupanya, isinya adalah tips and trick AGAR SEORANG ANAK TIDAK SPEECH DELAY. Bertanya-tanya apakah anaknya speech delay dan menjalani terapi juga? Eh kok terus kebaca kalimat “bersyukur banget anakku selalu tepat tumbuh kembang dan ngomongnya juga lancar banget”.
Loh, gimana sih Bunda? Bingung akutu (:
0 notes
Text
Asa
Aku masih ingat pertemuan kita siang itu.
Semua seperti berbalik menjadi semu. Tapi anehnya, terasa baku.
Dan hmm, aku suka begitu.
Seperti biasa, pertemuan itu menyenangkan.
Seperti biasa, kamu membuatku nyaman.
Seperti biasa, aku tak ingin pulang.
Sebelumnya, kita pernah selalu mengitari jalanan yang sama.
Berjalan berdua dari Jalan Kaliurang, ke Sagan belakang Galeria.
Sesekali, kita berhenti di KFC depan Mirota.
Walau seringnya, langsung melintas Jalan Solo dan tiba di Babarsari pada pukul tiga.
Kita pernah bermimpi untuk menjadi bersama selamanya.
Namun ternyata, bersama bukan hanya tentang mengitari jalan.
Asa. Karena yang berlari bukan kita. Tapi angan. Angan kita. Percuma.
0 notes
Text
Untuk yang Bertanya
Setelah tiga tahun lebih sedikit menjadi ibu, baru kali ini sempet nge-review (barang kali wk).
Beberapa waktu yang lalu, jagat sosial media Twitter sempat diramaikan dengan isu “Ibu Rumah Tangga Shaming” oleh sebuah akun yang melabeli dirinya sebagai Indonesia-based feminist webmagazine. Menanggapi hal tersebut, seorang netizen mengungkapkan bahwa yang membuat feminis disepelekan adalah feminis itu sendiri. Aku ya cuma senyum-senyum aja membaca semua komentar tersebut. Jangankan perdebatan tentang Ibu Rumah Tangga VS Ibu Pekerja, menjadi seorang ibu itu sendiri sudah menjadi sesuatu -yang kalau enggak dijalani dengan menutup telinga untuk omongan-omongan enggak penting-, pasti cuma bikin pening.
Aku sendiri adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang tadinya bekerja kantoran. Keputusan untuk berhenti bekerja dan menjadi IRT disepakati oleh aku dan suamiku dengan mempertimbangkan banyak hal. Setahun lalu ketika anak kami mulai “sekolah” dan tidak menyusu, aku mulai mencari pekerjaan lagi namun belum mendapat kesempatan hingga kini. Enggak apa-apa, syukuri saja.
Tapi apakah aku kemudian berpikir bahwa ini semua karena usia dan “kungkungan” statusku yang sudah memiliki anak? Enggak juga sih.
Untuk aku pribadi, tahun 2019 kemarin menjadi tahun pembuktian (untuk diriku sendiri) bahwa menjadi seorang Ibu Rumah Tangga sama sekali bukan sebuah kungkungan. Atas peran dan bantuan suami dan support system (dalam hal ini pengajar Asta di sekolah), aku tetap bisa mengerjakan pesanan makanan, kerajinan tangan, design undangan, juga beberapa pekerjaan lainnya. Aku juga tetap bisa bertemu dengan saudara dan teman-teman, nonton konser, dan berpergian naik kendaraan umum baik di dalam maupun luar kota bersama anakku. Mengapa aku mengatakan itu adalah sebuah pembuktian? Jujur, diriku 3 tahun yang lalu (ketika baru saja menjadi seorang ibu) selalu merasa sedih karena enggak punya kehidupan lain selain mengurus anakku. Hal itu disebabkan oleh perasaan insecure yang dilatar-belakangi oleh trauma menitipkan anakku pada orang lain. Sehingga, 1x24 jam dalam sehari, aku selalu bersamanya.
Katanya sih, itu yang dinamakan baby blues.
Enam bulan pertama menjalani peran sebagai ibu, menjadi masa tersulit dan traumatik untuk aku. Padahal saat itu kegiatan wajibnya “hanya” menyusui, memandikan, dan mengganti popok.
Memang waktu itu aku “terpaksa” tinggal di sebuah tempat yang tidak aku inginkan. Aku terus merasa ketakutan akan keselamatan anakku. Aku juga takut anakku diambil karena ketika pulang dari rumah sakit setelah melahirkan pun, aku tidak bisa menggendong anakku sendiri. Aku merasa sedikit tenang hanya ketika ada suamiku. Saudara dan teman-temanku datang bergantian namun ketika mereka pulang ketakutan itu kembali datang.
Ketika sedang tidak bersama anakku (untuk mandi atau makan), aku terus-terusan mendengar tangisan. Ketika melihat akun media sosial Ibu-Ibu lain, aku merasa tertekan melihat si ini sudah bisa ini, si itu berat badannya naik segitu. Hampir setiap hari aku menangis dan merasa marah. Di depanku, pernah ada seseorang yang mengatakan bahwa otak anakku bisa tidak berkembang jika terus-terusan hanya minum ASIku saja. Mendengar hal tersebut, ASIku yang terus menerus dibilang minimalis jadi makin menipis. Hampir setiap malam aku mimpi buruk. Masih kuingat mimpi-mimpi itu selalu berwarna hitam putih, menunjukkan anakku kesurupan dan berteriak “enggak mau nenen” berulang-ulang.
Sekarang, jadi tahu kan kenapa tiap ditanya kapan mau punya anak lagi aku cuma tersenyum saja?
:)
1 note
·
View note
Text
Sebelah Tangan
Aku punya mimpi yang selalu kau tanggapi dengan tak peduli. Aku juga punya rayu yang sering kau balas dengan tak mau. Pelukku kerap bersambut dengan engganmu.
Harapku acap kau jawab sambil lalu dan rinduku tak pernah punya arti untukmu. Mungkin benar, bahwa ada perasaan-perasaan yang tidak bisa dipaksakan meski sudah sekuat hati diperjuangkan.
Tapi sayangnya ada juga perasaan-perasaan yang tidak bisa diikhlaskan, meski sudah setengah mati dihilangkan.

Maka nanti, jika akhirnya aku lelah dan menyerah, jangan sengaja cari aku ya?
Mungkin kamu hanya rindu atas puja-pujiku.
0 notes
Text
Catatan Akhir Menyusui
Dua tahun kami terikat dan bertumbuh bersama kasih yang hangat.
Membuat aku dan dirinya begitu melekat namun tidak sampai merasa diikat.
Meski butuh lebih banyak waktu dari tenggat, akhirnya sama-sama merasa nyaman dan bersemangat.
Hingga tiba waktu yang tak kami tunggu.
Terima kasih Gemintangku.
Sudah mau berjuang bersama dan mengijinkan aku menyusuimu.
Hiduplah dengan sangat hidup.
Sekarang dan seterusnya.
Tenang saja, aku akan selalu ada.
0 notes
Text
Doa Ibu
Tadi pagi, di sesi silaturahmi online bersama orang tua, kakak, dan adik-adikku, ayahku berkata “lebaran kali ini kita belum bisa berkumpul dulu. Mohon sabar dan tabah karena ini untuk kebaikan kita semua. Kita juga harus bersyukur karena masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk bisa hidup seperti biasa ditengah kondisi yang tidak biasa ini. Untuk bisa terbebas dari stress, kuncinya cuma satu; ikhlas. Opor ayam bisa kita nikmati di lain hari. Okeeee?” Kami semua menjawab “okeee” secara berjamaah meski kami sadar, tak semudah itu untuk ikhlas. Aku sendiri, sudah lama menanti hari ini. Maklum, sejak menikah aku baru lebaran bersama keluargaku sekali.
Aku masih ingat, itu adalah dua tahun yang lalu. Kebetulan pada saat itu, aku adalah yang terakhir tinggal di rumah ketika tiga saudarku yang lain sudah kembali ke perantauan. Suatu ketika, aku sedang ingin ke toilet yang berada di seberang kamar adik-adikku. Iseng aku membuka kamar itu. Rasanya seisi rumah jadi begitu sepi setelah kemarin-kemarin semarak. Otomatis aku jadi membayangkan bagaimana perasaan orang tuaku yang sehari-hari hanya berdua, terus anak dan cucunya rame-rame berdatangan, tapi abis itu sepi lagi karena harus kembali ke perantauan. Jujur aku yang masih sering bertemu saudara-saudaraku saja langsung mellow.
Di depan kami, ibu dan ayahku hampir tidak pernah menunjukkan kesedihan. Ku perkirakan, mereka sepakat untuk menjadi orang-orang yan menghargai pertemuan. Sehingga, ketika harus berpisah yang mereka ingat adalah kebahagiaan ketika bisa berdampingan.
Malam itu, ibuku juga kembali mengingatkan tentang doa yang selalu dipanjatkan agar kami anak-anaknya selalu diberi kekuatan. Salah tiganya adalah kuat agamanya, kuat badannya, juga kuat finansialnya. Biar apa? Biar mandiri.
Beliau bilang, bersama ayahku mereka juga sebisa mungkin mencoba untuk mandiri. Ya sepanjang ingatanku mereka memang jarang sekali minta itu atau ini. Salah satu kemandirian itu adalah dengan mempersiapkan diri untuk kematian dengan terus menjalankan kewajiban, menambah amalan, juga membeli tanah makam sebelahan.
Duh tiba-tiba aku jadi enggak nafsu makan sambel goreng ati lagi!
“Nanti kan kalian udah pada punya kehidupan sendiri. Enggak tahu juga akan tinggal dimana lagi. Jadi ibu sama bapak beli tanah makam sebelahan. Udah sekalian biaya perawatan loh.”
Bicaranya enteng banget, sementara saat itu juga sepertinya aku langsung ketusuk pedang Goblin. Perih banget!
Ya begitulah. Orang tuaku memang tidak pernah ingin merepotkan anak-anaknya. Bahkan mereka seperti selalu ingin memberi tanpa menerima. Mereka juga menghidupi hidup dengan sederhana namun mesra. Hampir setiap akhir pekan mereka kirim foto sedang makan atau pergi berdua. Selain mandiri, aku juga banyak belajar menerima dan menghargai pilihan orang lain dari mereka.
Semoga, aku bisa terus bikin mereka bahagia.
0 notes
Text
Dua Jenis Inspirasi
Di dunia ini, ada dua jenis manusia.
Pertama, yang menginspirasi kita untuk bisa menjadi lebih baik karena dirinya.
Kedua, yang menginspirasi kita untuk tidak melakukan apa yang dia lakukan.
Aku sendiri cukup sering terinspirasi oleh hal kecil yang dilakukan oleh orang-orang terdekatku.
Dulu ketika masih pacaran dengan suamiku saat ini, aku begitu terinspirasi dengan semangat belajarnya. Hal itu membuat aku menjadi semangat juga. Meski beda kampus dan jurusan, kami menyelesaikan skripsi bersama. Tiap hari, kami pergi ke perpustakaan kampus masing-masing. Hingga akhirnya bisa wisuda di waktu yang sama juga.
Aku juga sangat terinspirasi dengan bagaimana anakku Asta begitu mudah memaafkan dan merasa bahagia dengan hal-hal sederhana.
Aku bersyukur banyak orang terdekatku yang sering membawa hal baik untukku. Bagaimana ibuku memperlakukan orang-orang yang menyakitinya, bagaimana kakakku tidak pantang menyerah menjalankan perannya sebagai ibu pekerja, bagaimana adik-adikku belajar giat untuk menggapai cita, juga bagaimana teman-teman baikku menghidupkan kehidupannya. Mereka semua memiliki satu sisi alami yang begitu menginspirasi.
Di sisi lain, aku sedang sering-seringnya berhenti mengikuti akun sosial media beberapa orang yang menyebut atau disebut sebagai influencer. Hal itu membuat aku lebih tenang menjalani kehidupan 😊
Tipe orang kedua, memang suka membuat kita mengelus dada. Namun paling tidak, kehadirannya membuat kita bisa tahu apa-apa yang sebaiknya tidak kita lakukan dalam berkehidupan.
Berkat tipe orang kedua dalam hidupku, aku bersyukur di usia Asta yang masih tiga, aku tahu apa yang harus kusiapkan dan kulakukan ketika nanti Asta sudah memiliki kehidupan sendiri.
0 notes
Text
Hingga Kini
Awal tahun kemarin, aku berjumpa dengan seorang teman. Kami mengobrol banyak hal, termasuk topik pertemanan di usia sekarang. Kami sama-sama sepakat bahwa seleksi alam itu nyata adanya. Juga, pertemanan yang hingga kini masih ada adalah sesuatu yang layak dijaga.
Temanku juga bilang, bahwa hampir mustahil menemukan “teman” di tempat kerja. Kali ini aku harus menyangkal karena beberapa teman baikku hadir di masa-masa itu.
Pertama kali merantau ke Jakarta, aku bekerja sebagai seorang trainee di sebuah agensi (media). Masa-masa itu bisa ku bilang sebagai masa yang sulit. Bukan karena kerasnya Jakarta namun lebih kepada ketidak mampuanku bertahan di lingkungan dan pekerjaanku saat itu. Enam bulan aku bertahan hanya agar tidak kena pinalti, juga karena di sana aku menemukan teman baik sesama trainee. Namanya Adisthya. Tiap hari kami makan siang bersama. Ketika merasa tertekan, aku akan mengirim pesan lewat Yahoo Messenger untuk mengajaknya beli gorengan di lantai empat atau bertemu di tangga darurat. Di saat-saat yang berat, aku terus bersyukur masih ada Adisthya situ. Saat akhirnya aku berhasil mengeluarkan diri dari tempat itu, kami pergi minum teh dan foto bersama di hari terakhirku. Ketika aku sudah bekerja di tempat baru, kami tetap saling bertemu. Kami pernah bersama hingga larut, menangisi laki-laki yang pada akhirnya kami nikahi :))

Kantorku setelah itu, seperti dunia yang baru untukku. Di situ, aku bertemu dengan banyak orang baik dan seru. Salah satu yang kutemui pertama kali namanya Lya. Dia tampak canggung dengan kedatanganku saat kami sama-sama sedang di musholla. Di kesempatan lain, aku mencoba menebalkan muka dengan menghampirinya di meja. Sejak itu, kami bisa santai bicara dan sama-sama menggemari Yong-Hwa. Betul, Lya menumbuhkan gejolak kekoreaan dalam diriku. Haha. Aku dan Lya juga berlatih yoga bersama. Dia bahkan menemani beli matras yogaku yang pertama. Selalu ada waktu yang Lya sempatkan untukku. Kemungkinan besar, Lya enggak tahu kalau itu sangat berarti untuk aku yang sering merasa sendiri dan dijauhi.
Aku juga bertemu dengan seseorang bernama Adzra. Dia datang ketika aku hendak keluar. Hanya sebentar menjadi tetangga meja, namun rasanya seperti sudah berteman sejak lama. Adzra banyak membantu meningkatkan kualitas pekerjaan sebelum kutinggalkan. Dia juga selalu tanggap membalas pesan-pesanku yang mayoritas isinya hanya sampah saja. Aku yakin, Adzrapun enggak tahu bahwa aku bersyukur ada dia di hidupku.
Bersama beberapa teman lainnya, kami masih sering berkomunikasi dan saling jumpa ketika aku sudah tidak tinggal di Jakarta. Mereka bahkan naik kereta ekonomi untuk datang ke pernikahanku. Ketika akhirnya aku kembali tinggal di Jakarta, seringkali aku nimbrung di acara makan siang mereka. Bersama Tasia, Adzra pernah bela-belain makan mie ayam padahal sudah kenyang hanya karena aku ngidam. Dia juga pernah membantu mengirim sop buah di dekat kantor yang sedang kuidam-idamkan ketika aku sedang hamil besar.
Selain itu, Lya dan Adzra selalu memberi dukungan untuk mentalku yang payah banget ini, juga untuk bisnis-bisnis yang coba aku jalani.

Aku senang karena hingga kini aku masih punya kesempatan berteman baik dengan Adisthya, Lya, dan Adzra. Orang-orang yang mematahkan mitos bahwa mustahil menemukan teman baik ketika sudah bekerja. Orang-orang yang kudoakan semoga senantiasa sehat dan bahagia. Juga, orang-orang yang kuharapkan mau terus tabah menjadi temanku selamanya.
1 note
·
View note
Text
Tetap Ada
Barusan karibku Giany mengunggah fotoku dan dirinya ketika masih aktif-aktifnya berkegiatan alam (asik) di laman Instagramnya. Hal ini pas sekali dengan aku yang juga menelusuri foto-foto lama setelah tujuh tahun hanya menggunakan Facebook untuk bekerja.
Melihat foto-foto itu, sama seperti masuk ke pusara waktu yang lain. Rasanya seperti bertemu kembali dengan manusia dan momen-momen lama.
“Ah, ini yang waktu itu ya.”
Sebisa mungkin, masing-masing dari kami hadir di ujian dan wisuda yang lain. Ketika hendak berangkat KKN, yang masih bertahan di Jogjapun selalu datang mengantar hingga waktu keberangkatan tiba.






Melepas kepergian Giany ke Belanda
“Ah, ini yang waktu ada kegiatan itu ya.”

Bersama anak-anak UFO ke pertunjukan Dinosaurus. Waktu itu mengira kalau bakal ada dinosaurus beneran. Gimana sih???

Acara pembukaan pamerannya Wahy.
“Wah, ini waktu masa-masa ini nih.”



Waktu tiap hari dari pagi sampai pagi lagi ngumpul sama anak-anak Launge untuk ngerjain mata kuliah PMI dan PNI.
“Anjir, alay banget bosss. Geli, enggak kuat lihatnya lagi.”

Begitu lihat foto ini langsung WA Shelvi, nanya maksud editan foto ini tu apa ya? :((((
Nostalgic banget!
Dari pengalaman menelusuri kembali Facebook itu, aku menemukan bahwa diriku yang dulu super alay! Apalagi pas jaman SMA. Aku juga suka berbagi status enggak penting, yang kalau dibaca sekarang kaya pengen bilang ke diri sendiri “NGAPAIN AS??” gitu.
Di sisi lain, aku menemukan versi terbaik dalam diriku ketika kuliah. Banyak berkarya, banyak ke pameran, banyak ke pantai, banyak ke gunung, banyak nonton konser, banyak berkegiatan sosial. Dulu juga kayanya enggak banya mikir kalau mau melakukan apa-apa. Ke pantai naik motor ya ayo, ke gunung pakai sandal jepit ya enggak masalah. Bebas!

Banting tulang agar jadi pameran.


Camping di pantai adalah hal biasa.


Menjadikan artis sebagai background foto bersama.

Setelah malamnya nonton konser UNGU (UNGU??) kemudian Makan Sate Klathak dan muncul obrolan “Ke Bali yok.” Besoknya beneran ke Bali.

Sebelum ada koreo terjebak di pulau tak bertuan.

Ke Bali naik kereta ekonomi, di sana motret pakai baju adat.
Dari foto-foto itu juga jadi kepikiran sama orang-orang yang dulu sering ada tapi sekarang sama sekali enggak tahu kabarnya. Tapi tentunya sangat bersyukur dan bahagia atas orang-orang yang sampai sekarang tetap ada dan seperti keluarga.
Terima kasih masa muda!
0 notes
Text
Candu
Malam ini, hujan datang tiba-tiba.
Menyenandungkan banyak kata dengan sedikit asa.
"Halo." Begitu kamu menyapa.
Hangat seperti biasa.
"Yang lain saja biar kamu bahagia."
Tuturmu sepuluh tahun kemudian.
Tak usah ku jawab, kamu pasti tahu apa yang ku rasa.
Ya,
Mau bagaimana lagi?
Mungkin kamu memang dilahirkan untuk menjadi candu.
Dan jika yang ditakdirkan untuk kecanduan itu aku,
kamu, aku, dia, dan mereka bisa apa?
0 notes
Text
Mengulang Tahun
Bagi aku, Mei adalah bulan penuh peringatan. Setelah aku dan kedua adikku, hari ini giliran pasanganku; Mameta yang memperingati hari kelahirannya.
Dulu di tahun pertama kami bersama, aku menghadiahinya seorang ahli genteng untuk memperbaiki atap kamar kosannya yang selalu bocor. Tahun berikutnya, aku ke Blok M untuk mencari Komik Naruto dengan nomer seri tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Tahun-tahun berikutnya agak lupa ya haha.
Tadi sesaat sebelum buka puasa, aku mulai mempersiapkan hidangan khusus yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Karena bosan makan yang manis-manis, aku pikir cake dengan bahan dasar mie cukup menarik. Eh, waktu asyik memasak, tiba-tiba gasnya abis :))) Jadilah aku minta tolong dirinya yang sedang berulang tahun untuk beli gas dulu. Maaf ya Mameta! Ahaha.

Aku dan Mameta adalah teman KKN tadinya. Selama dua bulan bersama di pedalaman Lampung sana, kami jarang berbicara. Dia sibuk godain anak-anak cewek lainnya, sementara aku sibuk dengan kemuramanku haha. Tapi aku cukup terkesan dengan dia karena setiap jadi imam sholat berjamaah, dia selalu baca surah selain An-Nas, Al-Falaq, dan Al-Kafirun. Dia juga pernah mengalah menunda buang hajat karena membiarkan aku yang menggunakan kamar mandi dulu. Haha. Begitulah Mameta, meski sering kali menyebalkan, dia selalu melakukan hal kecil namun manis bagai puding vanila. Hingga akhirnya, di awal Bulan Oktober 2012, dia menawarkan diri untuk membantu aku move on dari masa lalu dengan sukarela :)))
Hoah, untungnya tadi sebelum buka puasa hidangan yang aku buat sudah siap. Sebelum menyantap, kami berdoa bersama. Kusampaikan padanya, semoga tahun ini tetap menjadi tahun yang berkah juga musim yang baik untuknya. Juga, semoga keluarga kami selalu diberkahi dukungan, kasih sayang, dan kesetiaan sampai selama-lamanya.
0 notes
Text
Tanda-tanda
Badan rasanya pegel semua
Lemes tiada terkira
Enggak semangat melakukan apa-apa
Emosi terus membara
Lebih sensitif dari biasanya
Dan cuma pengen makan yang pedes-pedes aja
Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah tanda-tanda
Giliran datang bulan akan segera tiba
Semoga pasanganku selalu tabah menjadi korban keganasan PMSku selamanya
0 notes
Text
Pertama Kali
Waktu masih kecil dulu, aku diarahkan untuk menekuni musik oleh orang tuaku. Mulai dari TK, aku diberi kesempatan untuk belajar main organ di sebuah tempat kursus musik bernama Alegro. Hingga SD, aku terus menekuni alat musik tersebut meski enggak pernah bisa lebih jago dari kakakku.
Aku lupa sih awalnya gimana, tapi tiba-tiba aku jadi lebih suka main gitar. Jadi, orang tuaku minta bantuan seorang guru di SD ku untuk memberi bimbingan main gitar untukku. Namanya Pak Karman, guru baru di sekolahku pada saat itu. Enggak cuma gitar, aku juga les Matematika padanya. Beliau sering mengarang lagu untuk membantu aku menghafal rumus. Masih ingat sekali bagaimana aku bisa menghafal konversi satuan berat, panjang, dan volume berkat lagu karangan beliau.
Suatu hari, Pak Karman memanggil aku untuk memberitahu bahwa aku terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk lomba mata pelajaran seni musik. Selain teori dan pengetahuan musik, aku juga harus menguasai alat musik Seruling Recorder. Lomba demi lomba aku jalani, hingga akhirnya berkat bimbingan Pak Karman, aku menjadi perwakilan kota untuk bertanding di tingkat provinsi.
Persiapanku untuk maju cukup lama pada saat itu. Setiap hari aku belajar dan berlatih memainkan lagu-lagu. Kadang aku sampai bolos latihan karate untuk latihan main recorder di toko nenekku, jika mengalami kesulitan aku enggak segan telepon rumah Pak Karman untuk minta bimbingan. Begitulah, aku dan keluargaku jadi sangat dekat dengan Pak Karman.
Sebelum aku lulus SD, Pak Karman dipindah tugaskan. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melakukan kontak dengan beliau. Namun, aku tak pernah lupa akan sosoknya.
Menjelang hari pernikahanku pada 2016 yang lalu, aku mencoba kembali mencari informasi tentang Pak Karman. Sedihnya, aku diberi tahu bahwa Pak Karman sedang sakit, dimana terjadi sesuatu pada kepala beliau. Keesokan harinya, aku memutuskan pergi sendiri ke kediaman beliau untuk memberikan undangan. Asli, deg-degan sekali macam mau ketemu mantan yang sudah lama tak berhubungan. Pas aku datang, beliau sedang duduk di halaman dan tampak melamun, tak bersemangat seperti dulu. Beliau juga tidak mengenaliku. Sedih banget huhu. Dibantu istrinya, beliau mulai pelan-pelan mengingat nama dan tempat tinggalku. Kemudian beliau berucap "saya lagi sakit." Langsung nangis lah aku! Kebetulan pada saat air mata udah enggak bisa ditahan-tahan, ada orang memberi tahu bahwa kendaraanku harus dipindahkan. Buru-buru aku menjadikan momen itu kesempatan untuk pamit karena enggak mau kebablasan nangis.
Ketika aku sudah hampir keluar pagar, Pak Karman memanggil namaku.
"Astrini."
"Ya Pak?"
"Kamu semakin cantik." Ujarnya dengan lirih dan tatapan yang tetap kosong. Jauh berbeda dengan Pak Karman yang dulu selalu begitu bersemangat.
Huhu. Setelah bilang terima kasih, aku mendoakan agar beliau selalu diberi kesehatan. Rasanya ingin terus berpanjang lebar dan mengungkapkan rasa terima kasih atas bimbingan beliau, sehingga aku bisa bermain gitar dan recorder untuk pertama kali.
Namun urung, karena takut semakin pilu.
Di hari pernikahanku, beliau datang mengenakan baju biru.
0 notes
Text
Setelah 15 Hari
Enggak terasa sudah lewat 15 hari menulis lagi di Tumblr ini. Rasanya senang karena seperti diterapi.
Sudah berbulan-bulan (atau bahkan tahun ya?) aku sulit tidur ketika malam, namun juga terlalu letih untuk berkegiatan. Jadi aja kerjaanku hanya nonton serial di Netflix atau siaran ulang Tonight Show Net di YouTube. Kalau enggak begitu, cuma scrolling social media yang memicu kecemasan untuk aku.
Kalau dipikir-pikir, pertama kali aku jadi sulit tidur itu ketika mulai jadi ibu. Saat itu aku memang harus bangun setiap dua jam sekali untuk menyusui, kemudian keterusan. Banyak juga hal yang terjadi sejak itu, sedangkan solusi belum juga ketemu hingga kini. Jadi ya begitulah. Kadang ketika hendak memejamkan mata, suka melihat hal yang mengganggu pikiran. Jadi aku lebih memilih melek untuk mengalihkan perhatian.
Menulis bagiku memang satu kegiatan yang menyenangkan. Sehingga sejak dapat kabar 31 Hari Menulis kembali digerakkan, aku tidak ragu-ragu untuk mendaftar. Harapanku kala itu adalah agar malam-malam insomniaku bisa sedikit bermanfaat -paling tidak untuk diriku sendiri-. Aku pikir, aku juga butuh pengalihan agar enggak melulu nontonin Vincent Rompies yang menawan itu. Asli, takut naksir aku!
Beberapa hari lalu, aku bisa tidur jam delapan malam dan tidak terbangun hingga tepat waktunya menyiapkan sahur. Kurasakan, mungkin ini salah satu manfaat menulis secara teratur karena apa yang aku pikir dan ingin sampaikan bisa tersalur. Juga, aku merasa sedikit keren karena sejauh ini masih bisa konsisten.
Untuk itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada Bang Wiro atas tempat dan kesempatan yang diberikan!
0 notes