Cara simpel menumpahkan keramaian isi kepala di kesepian pertemanan dunia maya
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Tak Nyata
Aku adalah pencerita yang tak nyata. Bukan. Bukan sosoknya yang sedang kau baca, lain wujudnya yang sehari lalu kau kenali. Aku adalah pencerita yang tak sungguhan mewujud asli.
Di selipan titik dan koma hanya ada warita yang tersusun dari riuhnya maya. Seperti menyimak sang Amir yang sedang berpuisi, ia bertugas memainkan diksi sembari memberi ruang khayalmu berimajinasi.
Di balik manisnya sapaan dan cantiknya rima yang berkicauan, hanya ada sebuah radio tua yang tak berlisan apalagi berwajah menawan. Ia susunan gelombang tak terindera. Tak serupa dengan peranti yang dikarya cipta.
Lembar puisi tidak mengukir karikatur pena, dan radio tak membunyikan gaduh transmisinya.
Kau hanya mendengar serindai pada batas siar. Terhijab oleh kemahaan Sang Penumpat Riak dan Badai.
Maka mari memaraf janji, sebab enigma hanya saling mengungkap pada bentuk sandi yang tak mudah dipahami, peneliknya hanya saling menyiar dalam frekuensi yang sulit dienkripsi.
Hingga bertemu titik di akhir paragraf ini, tak akan kau temukan aku di sana.
Mungkin sampai kau menemukannya dalam bait-baitmu sendiri.
Dan aku sungguh hanya pencerita. Bukan pendusta.
@audadzaki
Qoof, 9 Agustus 2024
1 note
·
View note
Text
Kerja Keras Manusia adalah Omong Kosong
Kalau ditanya apa sebab dirimu berhasil, jawablah, itu taufiq dan nikmat dari Allah. Kalau ingin menceritakan perjuangan dirimu di baliknya, tahan dulu, pastikan ada salah satu perjuanganmu di sana yang bernama ikhlas.
Jika saja manusia sadar prestasi adalah sepenuhnya takdir mungkin dia tidak akan sombong. Tapi prestasi itu selalu bias, seolah terbangun oleh kerja keras dan usaha, tersusun dari sebab-sebab dan kumpulan rencana. Manusia jadi sulit jernih menyadari bahwa keberhasilan adalah sama seperti menang undian: sepenuhnya taufiq dari Allah dalam suratan takdir.
Bedanya di sana ada unit takdir bernama usaha yang karenanya manusia diganjar pahala. Tapi usaha sendiri adalah taufiq dari Allah juga. Lalu apa yang tersisa dari manusia?
Hanya omong kosongnya.
Bayangkan suatu kondisi dimana umat Islam pernah mencapai prestasi paling out of mind dalam sejarah perang kabilah Arab. Tepatnya di tahun 5 Hijriyah. Nabi berhasil membawa pasukan satu resimen memukul mundur koalisi lima kabilah dengan jumlah lebih dari tiga kali lipatnya. Perang Khandaq namanya.
Keberhasilan itu secara literal dihasilkan dari ide cemerlang Salman untuk menggali parit, ditambah dengan kerja keras mengeksekusi proyek di sepinggiran kota Madinah yang tidak masuk akal itu. Deadline sempit, logistik sekubit.
Nabi dan para sahabat sampai-sampai tertinggal waktu shalat demi kejar target, perut-perut diganjal batu demi menekan tenaga tanpa suplai pangan yang cukup.
Kisah berhasilnya, sepuluh ribu personel koalisi mandek di depan parit. Tak sampai tiga pekan setelah itu mereka buyar. Masing-masing kompi mundur teratur dari palagan.
Tapi bayangkan, bukan strategi gemilang dan kerja keras itu yang diklaim Al-Quran sebagai faktor utama kemenangan, melainkan ini: “Ingatlah nikmat Allah kepada kalian saat pasukan datang lalu kami kirimkan angin dan pasukan yang tak terlihat.”
Lalu ini, “Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka (juga) tidak memperoleh keuntungan apa pun. Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan. Dan Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”
Tidak ada secuil pun Allah menyinggung strategi parit dan kerja keras proyek itu dalam surat manapun di dalam Al-Quran. Semua adalah pertolongan Allah.
Bahkan surah tentang perang itu dinamai surah Al-Ahzab yang bermakna pasukan koalisi. Bukan Surah Al-Khandaq atau parit yang menunjukkan kerja keras membangun strategi. Nama lain surah Al-Ahzab juga Al-Fadhihah, yang bermakna perang yang mempermalukan, bukan Al-Mujahadah yang bermakna perjuangan dan kesungguhan.
Kalau ada satu perjuangan yang disinggung di dalam perang ini maka itu adalah perjuangan keikhlasan.
“Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang dahsyat.”
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”
Allah tidak sedang menafikan usaha, atau menginginkan manusia uji nasib berperang tanpa perjuangan apa-apa. Allah justru ingin menekankan bahwa tanpa Allah semua usaha itu tidak ada gunanya.
Tidak heran Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menyimpulkan satu pemahaman dari peristiwa ini, bahwa bagi muslim, pokok utama dari sekian banyak faktor keberhasilan adalah keikhlasan beribadah dan kebergantungan penuh pada Allah.
Kalau sumber kekuatan satu ini sudah dilalui, maka tak mengapa ceritakanlah tentang kerja keras dan faktor keberhasilan lainnya. Tapi kalau tidak ada? Omong kosong.
Sebab yang memberikan manusia kekuatan untuk berjuang adalah Allah, yang memberikan keteguhan, ketepatan momentum, dan alam semesta yang mendukung adalah Allah. Manusia hanya pengundi nasib yang bahkan tak cukup mampu melempar sendiri dadunya yang bernama usaha.
Kalau berhasil hanya karena kerja keras maka contohnya adalah Qarun, “Dia berkata, "Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.”
Tapi Allah segera membantahnya, “Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta?”
Lagi-lagi, kerja keras manusia adalah omong kosong semata.
@audadzaki
Compound Gannah, 6 Agustus 2024.
36 notes
·
View notes
Text
Alasan Laki-laki Menangis
Viktor Axelsen atlet tepok bulu peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 itu kini lolos lagi ke final Paris. Tampak usai memenangi laga semifinalnya kontra Lakshya Sen, pemain India, ia menangis di lapangan ungu.
Tangisan pemain tunggal unggulan Denmark ini mungkin dipertanyakan, sebab kemenangannya mudah diprediksi. Axelsen memiliki rasio menang hampir 80% selama karirnya. Ia meraih rekor tertinggi 39 kemenangan beruntun dalam event BWF World Tour melangkahi jejak Lin Dan dan Lee Chong Wei. Seharusnya, lolos final Olimpiade untuk kedua kalinya bukan lagi barang yang seemosional itu.
Tapi tidak.
Di hadapan awak media ia mengutarakan alasan air matanya tumpah, “A man like me must show emotions, because I'm very passionate about what I'm doing.”
Badminton adalah bagian fundamentalnya dalam hidup, ia harus melibatkan emosinya. Mungkin hal yang sama juga berlaku untuk semua atlet di pagelaran olahraga terbesar di dunia itu.
Laki-laki memang tidak dilarang menangis. Untuk membuktikan gairahnya pada hal-hal yang fundamental luapan emosi itu menjadi wajar, bahkan harus.
"If men can't cry, what world do we live in?" Kata Axelsen.
Kita mungkin perlu menangis meskipun tidak ada yang terlalu mengejutkan. Tapi pikirkan, pada bagian fundamental hidup manakah yang perlu kita suguhkan emosi itu di sana?
Rasulullah SAW, sebagai contoh, pernah menangis di perang Badr. Beliau begitu takutnya pertempuran itu menjadi akhir bagi umat Islam bila harus kalah di tangan musuh. Kalau itu terjadi lalu siapa yang akan melanjutkan agamanya ini?
Ali bin Abi Thalib bercerita bahwa Nabi menangis di bawah pohon saat pasukan istirahat di malam hari. Tangannya terangkat berdoa dan gemetaran. Ibadahnya tak putus-putus.
Padahal perang Badr itu sudah dijamin menang. Allah tidak akan membiarkan Islam hilang apalagi sebelum risalahnya selesai tersampaikan. Pertolongan Allah itu pasti datang. Rasulullah juga tahu sejak Allah mengizinkan beliau berperang meskipun winrate masih 0% probabilitas kemenangannya sudah melonjak menjadi 100%.
Tapi Rasulullah menangis sebab agama ini adalah bagian paling krusial dalam hidupnya. Umat ini adalah potongan yang tak terpisahkan dari nyawanya. Beliau meletakkan emosinya di sana.
Rasa emosional pada umatnya itu sama terluapkannya seperti saat beliau membaca kata-kata Nabi Isa dalam Al-Quran, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Beliau terisak-isak di sini sambil berbisik, “Ya Allah, umatku, umatku,” nasib umat adalah gemuruh batinnya.
Kepedulian pada agamanya tergambar pula dengan tangisan beliau di malam-malam lainnya meskipun tahu dosanya telah diampuni, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Ibadah pun telah menjadi hal yang fundamental bagi jiwanya.
Hari ini seperti perang Badr, umat Islam sudah dijamin menang, Yahudi sudah dijamin kalah. Kemenangan ini hanya soal waktu dan alur takdir yang naik turun sebelum sampai ke titik klimaksnya.
Tapi saat kita melihat pembantaian Gaza dan kita tidak pernah menangis, tanyakan, sereceh itukah maslahat umat Islam dalam hidup kita?
Kalau bukan itu, lalu di bagian hidup manakah emosi kita mendapatkan ruang ekspresinya?
Mari mengingat-ingat, sebenarnya selama ini kita menangisi apa?
@audadzaki
AUC Avenue, 4 Agustus 2024.
14 notes
·
View notes
Text
...dan Mereka Tetap Saja Berselisih
“Apa pendapat baginda guru—” tanya seorang murid kepada Syaikh Muhammad Awwamah, muhaddits asal Suriah suatu ketika, “—jika dilakukan usaha untuk menyatukan madzhab dan menggabungkan umat Islam dalam satu warna saja?”
Pertanyaan itu diabadikan Syaikh Awwamah dalam kitab Adabul Ikhtilaf fil Ilm wad Din. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1390 H.
Jawaban beliau sederhana; Tidak mungkin. Usaha seperti ini menyelisihi kehendak Allah dalam menetapkan syariat, sekaligus menyelisihi Rasulullah SAW, sahabat, dan para ulama setelahnya, serta menyelisihi akal sehat.
Menyatukan madzhab adalah kemustahilan.
Tokoh Al-Azhar penerus Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah ini lalu menjelaskan alasannya.
Allah itu Maha Mengetahui sejak awal bahwa penggunaan lafadz al-qur'u bagi orang Arab memiliki dua makna: haid dan suci.
Allah juga Maha Mengetahui bahwa kelak akan ada Zaid bin Tsabit yang mengatakan qur'u artinya suci, dan akan ada Ibnu Mas'ud yang mengatakan qur'u itu haid.
Lalu mengapa Allah tetap menggunakan kalimat ambigu itu dalam ayat iddah, (ثلاثة قروء), sehingga kedua Ikhtilaf itu pun tidak terelakkan. Zaid mengatakan masa iddah itu tiga kali suci, sementara Ibnu Mas'ud berpendapat masa iddah adalah tiga kali haid.
Mengapa Allah tidak menggunakan saja lafadz (ثلاثة أطهار) atau (ثلاث حيضات) sehingga perselisihan tidak pernah terjadi, dan Zaid maupun Ibnu Mas'ud tidak perlu berpendapat.
Nyatanya Allah tidak berkehendak demikian.
Argumen ini berlaku di semua ayat Al-Quran yang mengandung multi makna.
Hal yang serupa juga terjadi pada hadits Nabi SAW. Mengapa Allah tidak mewahyukan beliau untuk mengeluarkan kata-kata yang saklek saja?
Di hari Bani Quraidzah beliau berpesan kepada pasukan sahabat, “Jangan shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah,” sehingga sahabat berselisih: sebagian shalat ashar di jalan meski belum sampai tujuan, sebagian lain shalat setelah sampai, meski matahari sudah tenggelam.
Kenapa Rasul tidak mengatakan, “Jangan shalat ashar di jalan,” atau “Bersegeralah berjalan supaya kalian tiba sebelum matahari tenggelam.” sehingga dengan itu sahabat tak perlu berbeda pandang?
Faktanya wahyu tidak menghendaki seperti itu.
Begitu pula akal manusia itu sendiri nyatanya berbeda-beda. Perbedaan itu lahir dari kultur kehidupan dan kondisi kemasyarakatan yang menuntut demikian.
Di mana ada akal yang pendapat, di situlah ada perbedaan.
“Maka pilihlah,” kata Syaikh Muhammad Awwamah kepada muridnya, “usaha menyatukan menjadi satu madzhab itu antara dua: sebuah kegilaan atau secercah kesesatan,”
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat).” (Hud: 118).
@audadzaki
Gannet Mishr, 25 Juli 2024.
1 note
·
View note
Text
Pemuda Rajin Organisasi yang Malas Sholat
"Orang yang menanggung beban besar di tengah masyarakat wajib memiliki syiar keimanan yang kuat." Begitu kata Dr. Nawwaf Hael Takruri, ketua Himpunan Ulama' Palestina, beberapa bulan lalu.
Beliau adalah inisiator dari Simposium Pemuda Internasional yang digelar tahunan sejak 2019. Tujuannya adalah menghidupkan pergerakan pemuda di setiap negara khususnya dalam menyikapi isu Palestina.
Nasehat beliau untuk pemuda salah satunya adalah memperhatikan diri sendiri; keimanannya, keilmuannya, dan kekuatan fisiknya.
Dalam sisi keimanan ada yang disebut dengan syiar. Syiar adalah sebuah penanda atas wujudnya keimanan itu sendiri. Bentuknya secara umum adalah dengan menjalankan perintah-perintah ibadah amaliyah dengan baik; shalat, sedekah, puasa, mengaji, dan lainnya.
Tapi ibadah itu sendiri memiliki tingkatan. Secara khusus Rasulullah saw memberi beban tingkatan ibadah itu sesuai dengan kadar orangnya. Tidak semua orang harus sempurna, tapi tidak semua juga boleh menjalankan sekenanya.
Misal saat ada seorang Arab badui dari Najd bertanya tentang Islam, Rasulullah saw hanya memberikan beban yang wajib saja. Kata beliau Islam itu "lima kali shalat dalam sehari semalam," lalu, "puasa Ramadhan," lalu zakat.
Sang badui mengatakan "Demi Allah aku tidak akan menambahnya dan mengurangi." Mendengar itu Rasulullah bergumam, "Ia akan beruntung kalau jujur (seperti yang dikatakan),"
Hadits itu secara lengkapnya tercatat di Shahih Al-Bukhari nomor 1891 diceritakan oleh Shahabat Thalhah bin Ubaidillah.
Apa yang berlaku untuk sang badui itu akan berbeda dengan kasus tokoh sahabat jempolan seperti Abdullah bin Umar, putra dari orang nomor dua di samping Rasulullah, sekaligus adik ipar beliau. Semoga Allah meridhainya.
ٍSaat masih muda, Ibnu Umar yang merupakan copycat Rasulullah itu pernah dikomentari Sang Rasul, "Pemuda terbaik adalah Abdullah," Kata beliau, tapi ada lanjutan syaratnya, "seandainya ia menjalankan shalat malam,"
Semenjak saat itu beliau tidak tidur malam kecuali sebentar, sebab untuk orang setokoh Ibnu Umar menjalani yang wajib saja tidak akan cukup.
Hadits itu diceritakan oleh Ibnu Umar sendiri dalam Shahih Al-Bukhari nomor 1121.
Seperti Ibnu Umar, pemuda yang menanggung peran strategis di tengah masyarakat tidak cukup hanya berpegangan pada ibadah yang ringan-ringan, memilih amalan yang mudah-mudah, apalagi mencukupkan dengan yang penting kewajiban gugur saja.
Semakin berat konstruksi atap bangunan maka pilar betonnya juga harus lebih kokoh. Kalau tidak, seluruhnya akan ambruk.
Syiar keimanan itu adalah pilar yang harus dimiliki pemuda. Pegang ibadah yang paling mulia, shalat jamaah, tahajjud, puasa sunnah, sedekah, rutinkan Quran, dekat dengan hadits, dzikir setiap waktu.
"Kalau ada orang yang sibuk sana-sini, aktif membantu ini-itu, tapi ia kurang dalam syiar agamanya, saya meragukan apakah semua kerja kerasnya itu ikhlas hanya untuk Allah saja, atau untuk yang lain?" pungkas Dr. Nawwaf.
Semoga Allah jaga beliau, dan semua jaringan ahli ilmunya di seluruh dunia.
@audadzaki
AUC Avenue, 22 Juli 2024. Masih jauh sekali, harus banyak berlatih.
27 notes
·
View notes
Text
Yang Tersingkir di Restoran Al-Awda
Tahukah Restoran Al-Awda itu, yang terselip di deretan apartemen mewah Mushthafa Nahhas, yang bergambar Masjid Al-Aqsha di papan namanya, dan yang menyajikan menu khas Palestina itu. Puan, Al-Awda adalah simbol optimisme.
Selama duduk di bangkunya dua jam menunggu listrik padam senja hari itu pikiranku berputar-putar. Menu maqlubah yang teracak-acak, lalu tersuap perlahan-lahan, itu sama seperti kondisi isi kepala ini, ia berusaha mencerna pikiran yang berserakan.
Puan, pelayan yang lalu lalang dengan seragam biru dongker dan emblem bendera palestina di dada itu mungkin adalah bagian dari orang-orang yang selama ini dekat di telinga, tapi terasa jauh di dunia nyata.
Mereka bisa menyajikan puluhan jenis menu, roti feta, hummus, falafel, nasi musakhan, lengkap dengan salad tabouleh hingga hidangan penutup selembut kunafa. Tapi di saat yang sama keluarga di seberang sahara sana, jangankan kunafa, setetes air keruh pun terpaksa diminum demi hidup.
Puan, seporsi maqluba berisi nasi campuran kentang dan rempah yang terhidang bersama sepotong ayam ini adalah khas Palestina juga. Entah mereka menanaknya sambil menahan sedih, marah, geram, atau cukup dominan tawakkal karena sudah terlalu lelah dikecewakan.
Banyak yang buta pada kebenaran, tapi kita terlalu sehat untuk melihat mereka seolah di dunia ini tak pernah terjadi apa-apa.
Bangsa penjaga Baitul Maqdis ini sedang tersingkir. Sebagian bertahan di kejauhan untuk menghitung-hitung langkah, menimbang-nimbang bekal, dengan keyakinan suatu saat pasti akan kembali. Optimistisme itu yang terlihat dari slogan di sudut lembar menunya di antara siluet peta Palestina:
"Kami dalam perjanjian, sepakat untuk menjaga identitas dan kepribadian,"
Optimisme itu juga yang kudapat dari Abu Hasan Gaza sekitar sebulan lalu.
"InsyaAllah sebentar lagi kita bangun Gaza kembali,"
Optimisme itu pula yang disebut Syaikh Raed Salah sebagai bagian dari keimanan. Kehilangan optimisme untuk menang kembali berarti pengkhianatan pada Masjidil Aqsha, Baitul Maqdis, dan generasi umat Islam mendatang.
Seperti nama al-Awda sendiri, puan, yang menyimpan makna "kembali", entah kapan. Meskipun kini harus tersingkir sejengkal jarak, tapi keyakinan untuk kembali itu terus utuh tertanam.
Kecuali jika Allah takdirkan pintu untuk mereka tertutup, dan pemainnya harus berganti. Sebab kita memang tidak abadi.
Cahaya sore meredup, listrik menyala. Seorang pelayan Al-Awda bertubuh jangkung menata piring-mangkok sisa maqlubah di meja yang mulai tercerna. Kepalaku juga mulai sama.
Tidak hanya mereka, siapapun yang tersingkir juga punya hak yang sama untuk bertahan di kejauhan, menanti kepastian kapan Allah tutup semua pintu, atau Allah beri kesempatan untuk kembali.
Tapi sayangnya, tak semua harus optimis seperti Al-Awda.
@audadzaki
Daar Ashfahany, 16 Juli 2024. Mendefinisikan kedamaian.
0 notes
Text
Kedekatan yang Menghalangi Kita
Imam Az-Zarkasyi, penulis Al-Burhan yang fenomenal itu, pernah tidak memiliki buku. Beliau datang ke toko buku membaca bait-bait ilmu yang bisa ia baca lalu berlari pulang untuk menulis apapun sebelum lupa.
Cerita itu ada di Shafahat Syaikh Abdul Fattah.
Imam As-Syafii, pencetus madzhab, pemilik gelar Faqiihul Millah, dalam proses belajarnya pernah menulis apa yang didengar di atas kulit lengannya, beliau sedang tidak memiliki buku untuk mencatat.
"Siapa yang hari ini masih menulis di tangan?" Syaikh Hisyam Kamil bertanya kepada kami di sela mengisi materi daurah hari ini. Kita dengan mudah bisa lari ke toko alat tulis mengambil notebook bergaris, sebilah pulpen, dan harganya bisa lebih murah dari seporsi kusyari.
Hari ini ada internet, ada buku digital, versi cetak pun harganya murah, mendapat ilmu mudah. Tapi faktanya dibanding mereka kita bak seupil tanah liat di antara gugusan bintang yang berkilat-kilat.
Ainats tsaraa minats tsurayya?
Ada ironi dalam hidup bahwa sesuatu yang dekat seringkali bisa menjadi penghalang. "Syiddatul qurbi hijaab" Begitu bunyi pepatah Arab yang dinukil Syaikh Hisyam.
Terlalu berdekatan kadang jadi penghalang.
Tukang jagal tidak memakan daging, ia mungkin memakan kusyari. Tapi tukang kusyari tidak memakan kusyari, ia berharap bisa makan daging.
"Kita sih berharap makan dua-duanya," kelakar Syaikh.
Orang yang punya banyak buku tidak membaca, orang yang meminjam justru membacanya. Orang yang hidup di sekeliling Al-Azhar tidak mengikuti kajian, mereka berjualan jus dan pernak-pernik. Tapi orang dari ujung dunia rela membeli tiket pesawat puluhan ribu pound, mereka datang ke kajian dan rajin menyimak.
Sayangnya, mungkin juga orang yang sudah di Mesir justru malas, tapi yang jauh di kampung halaman mati-matian belajar dari apapun yang bisa dijangkaunya.
Menangis.
@audadzaki
Jannah, 23 Juni 2024.
6 notes
·
View notes
Text
Kapan Umat Islam Boleh “Ribut” Sendiri
Masyarakat maya Indonesia, kita akui saja, memang hobi ribut sendiri. Media sosial menyebabkan sedikit percikan api bisa meledak di seisi jagat, apalagi pada hal yang sensitif seperti perbedaan pendapat dalam cara beragama kita.
Tapi bagaimana seharusnya sebuah perbedaan pendapat dalam agama Islam itu “diributkan”?
Kemarin, pembahasan tentang objek apa yang perlu dan tidak perlu diributkan sudah dipost.
Sekarang adalah penjelasan Syaikh Adham Al-Asimi tentang tiga kondisi di mana “keributan”, atau diskusi dan perdebatan pendapat itu seharusnya dilakukan.
1. Perkara keilmuan hanya diperdebatkan oleh ulama' atau ahli ilmu, bukan masyarakat umum
Sama seperti permasalahan kesehatan, pasien kanker misalnya, hanya akan relevan jika kasusnya diperdebatkan oleh tenaga medis. Jika satpam, petugas kebersihan, bahkan profesor ekonomi sekalipun ikut berdebat, tidak akan ada ujungnya, tidak akan melahirkan solusi, dan tidak akan akurat menyelamatkan pasien.
Ulama seperti apa yang berhak didengar pendapatnya dalam diskusi perkara syariat telah dituliskan kriterianya dalam kitab-kitab ushul fiqh. Kualifikasinya tidak mudah. Tidak perlu kita merasa berhak hanya karena bisa bahasa Arab dan mengeluarkan maqulah-maqulah saja. Sebab ada banyak tangga ilmu yang harus dilewati.
Kita yang bahkan tidak bisa bahasa Arab dan belum tahu apa itu ushul fiqh cukup memilih saja pendapat ulama' mana yang nyaman diikuti. Tidak perlu ikut berdebat, apalagi dengan sesama orang yang tidak tahu menahu, sebab hanya akan membuat keributan.
Kita juga tidak perlu menjelekkan ulama' yang tidak kita setujui pendapatnya. Sama seperti satpam yang tidak perlu memprotes dokter dalam memutuskan amputasi meskipun terlihat kejam. Tidak ada relevansinya secara profesionalitas.
Beberapa hal yang tidak kita fahami bukan berarti sepenuhnya salah. Perbedaan itu memang ada. Seperti kemarin kita bahas dalam pembagian kulliyyat dan juz'iyyat.
2. Perdebatan dilakukan di pusat-pusat keilmuan, bukan di wilayah umum
Perdebatan ilmiah perkara syariat tidak dilakukan di halaman media sosial, tidak juga di jalanan, pasar, atau tempat umum lainnya.
Kembali lagi pada dokter, ia tidak akan tuntas jika mendiskusikan obat-obatan hanya melalui berbalas postingan, saling kirim video reels, atau beradu argumen di jalanan.
Siapa yang menjadi penengah dari sebuah diskusi jika tidak dilakukan pada tempatnya?
Perdebatan hanya dilakukan di atas meja diskusi ilmiah, sehingga tidak memancing keramaian dan menambah kebingungan. Jikapun ujungnya sepakat untuk berbeda maka tidak perlu melahirkan perpecahan.
3. Diskusi dilakukan saat suasana aman dan tenteram, bukan di zaman fitnah dan musibah
Bahkan dengan Budha, Yahudi, Kristen sekalipun jika terjadi kebakaran yang mengancam sebuah bangunan kita tidak perlu memperdebatkan mengapa Tuhan bisa mati di tiang pancang. Tidak ada yang lebih penting selain bersatu menyelamatkan nyawa.
Memperdebatkan hal-hal furu' di saat kondisi darurat dan lemah hanya akan membuka kesempatan musuh untuk semakin mudah melawan.
Pepatah Arab mengatakan, serigala dengan mudah menerkam domba yang berkelahi.
Saat ini misalnya, jelas sekali ada peristiwa Gaza yang sedang mengalami genosida. Perlukah kita membahas kesesatan-kesesatan Asy'ari, kesesatan-kesesatan Salafi? Hukum musik halal atau haram?
Bahkan umat non-muslim bisa bersatu untuk gerakan pro-palestina.
Tidak ada pentingnya memilih warna baju saat kepala sedang terpisah dari tubuhnya. Tidak ada gunanya mengecat tembok saat bangunan rubuh hingga rata pondasinya. Perpecahan hanya menambah kelemahan.
"Irshadan liman haraballah min Qabl"
"Untuk memberikan amunisi bagi musuh-musuh yang menentang Allah sejak dahulu." kata Al-Quran.
@audadzaki
Al-Khalil Compound, 21 Juni 2024.
5 notes
·
View notes
Text
Irama Kediktatoran
Patuh kadang candu. Seperti perintah-perintah di telinga yang kini serupa suapan adiksi yang bertubi-tubi. Tak ada pilihan kecuali taat, atau belulang akan terguncang memelas dan seutuh tubuh meriang lemas.
Suara-suara itu curang. Saat aku tersadar hanya ada jalan buntu masih saja langkahku menggelandang maju. Aku tahu harus berhenti, tapi sial, sebab sehirup ketunduk-patuhan terlanjur menjelma hubungan ketergantungan.
Tak sadarkah suara bahwa dirinya adalah siksa, seperti kenari yang riang bernyanyi tapi menyimpan berita mati?
Telinga bisa jujur ia mendengar siul yang menghibur. Tapi tahukah bahwa jiwa menikmati dengan mata terpejam suram?
Diamlah.
Atau kau runtuhkan dulu singgasana itu hingga tak ada lagi kepatuhan tanpa alasan, turunkan mahkotamu hingga iramanya bukan lagi instruksi kediktatoran.
Biarkan ia kembali menjadi gambus yang bermelodi, sehingga bersama iramamu bisa kulantunkan dzikir dalam kesatuan harmoni.
Atau diamlah sudah. Dzikir pun sudah biasa berbisik pada sepi.
@audadzaki
AUC Avenue, New Cairo, 18 Juni 2024.
9 notes
·
View notes
Text
Yang Perlu Diketahui Sebelum Kita Ribut Sendiri
Menyambung perkara ikhtilaf kemarin, rasanya perlu saya kutipkan penjelasan Syaikh Adham Al-Asimi saat beliau menyampaikan tajuk "Kulliyyat yang Mempersatukan, dan perbedaan Juz'iyyat yang Tidak Mempengaruhi Keutuhan".
Penjelasan beliau termasuk salah satu yang mudah untuk dirangkum. Tidak rugi untuk menyempatkan sedikit membaca.
Ada tiga jenis perkara syariat yang masing-masing menentukan sikap kita terhadap perbedaan pendapat; kapan berhenti mentoleransi, kapan harus lapang dada, dan kapan justru harus bahu membahu meski berbeda.
1. Qath'iyyat: Perkara yang kebenarannya satu, dan pemahaman ulama' di sana satu.
Perkara ini berdasar pada dalil (dari Al-Quran atau Hadits) yang qath'i dilalah alias jelas dan pasti sehingga tidak melahirkan perbedaan. Kebenarannya satu, dan pemahamannya satu.
Misal dari Qath'iyyat adalah bahwa Allah itu satu, kiblat shalat itu Ka'bah, haji itu di Makkah, puasa Ramadhan itu wajib, dll. Tidak ada satupun ulama' sampai kapanpun yang menyelisihi pemahaman itu.
Karena tidak menerima perbedaan maka ini menjadi batasan toleransi umat. Siapa yang menyelisihi berarti keluar dari umat.
Tapi selagi masih sejalur pada hal-hal qath'i, perbedaan apapun di luar itu tidak mengharuskan adanya permusuhan, ulama' menerima keleluasaan perbedaan pendapat yang didapat dengan kaidah tertentu.
2. Dzanniyyat: Perkara yang kebenarannya satu, tetapi pendapat ulama' di sana berbilang.
Perkara ini lahir dari dalil yang dzanniyu tsubut, mengandung sahih dan tidak, dan dzanniyu dilalah, mengandung multi interpretasi makna.
Misalnya adalah apakah meletakkan tangan saat shalat di atas pusar atau di bawah pusar? Dua pendapat ulama' ini ada. Tapi tidak ada satu ulama' pun yang menganggap kebenaran salah satunya seperti kebenaran "Allah itu satu".
Adanya pendapat yang berbilang ini artinya kita tidak bisa menghilangkan perbedaan itu. Ia akan tetap ada. Pilihannya bergantung pada kecondongan dzann seorang mujtahid.
Tidak bisa diputuskan mana yang benar dan salah, yang ada adalah dua kemungkinan yang dikuatkan salah satunya berdasarkan kaidah pembandingan yang hasilnya bernilai relatif.
Imam As-Syafii secara terang mengungkapkan, "Pendapatku benar tapi mengandung kemungkinan salah, pendapatmu salah tapi memiliki kemungkinan benar,"
Lalu apakah Allah yang menyebabkan terjadinya perbedaan ini? Iya.
"Dan mereka masih saja berbeda-beda. Dan untuk itulah Kami ciptakan mereka," (QS. Hud)
Sehingga ulama' mengganggap bahwa empat madzhab adalah empat akal dalam menjalankan Islam, sebab Islam terlalu luas untuk dibatasi dengan pemahaman satu akal saja.
3. Perkara yang kembali pada pengalaman dan penelitian.
Ini perkara yang tidak ada hubungannya dengan dalil, di mana umat Islam semestinya saling menyempurnakan, dan bukan saling berbenturan.
Misalnya, ada kelompok yang melihat bahwa perbaikan itu harus dimulai dari puncak piramida: kekuasaan. Sebaliknya ada kelompok lain yang memandang bahwa memperbaiki umat itu dimulai dari akar rumput: dakwah dan pendidikan. Kelompok yang lainnya memandang perbaikan itu dimulai dari diri sendiri: tazkiyah.
Hal ini tidak bisa dibenturkan. Masing-masing sejatinya sedang menempati pos yang tidak dimiliki kelompok lainnya. Jika berjalan lancar maka tujuannya akan tetap bertemu di titik yang sama.
Adapun kekurangan yang ada pada salah satu bukan berarti yang lain sempurna, setiap manusia memiliki titik lemahnya.
Itulah tiga jenis perkara syariat untuk patokan dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Kesimpulannya, poin Qath'iyyat adalah bagian Kulliyyat dalam agama Islam. Mencakup pokok-pokok beragama yang cukup untuk menganggap seseorang dalam barisan umat Islam. Sebaliknya, poin kedua dan ketiga adalah juz'iyyat yang tidak mempengaruhi status seseorang dalam persatuan umat.
Tapi yang menjadi catatan, semua ini adalah bidang pembahasan ulama'. Perbedaan pendapat yang diakui juga perbedaan yang dikeleluarkan oleh para ulama'.
Kita sebagai masyarakat awam cukup memilih ulama' mana yang akan diikuti (taqlid), sebab kekurangan alat dalam menggali sumur hanya akan menjerumuskan amatir dalam galiannya sendiri.
@audadzaki
Gannet Mishr, 16 Juni 2024. Mendinginkan kepala melihat perdebatan receh orang bodoh.
7 notes
·
View notes
Text
Sesama Abu-Abu
Perbedaan bukan hanya hitam dan putih. Ia bisa beragam warna atau berupa ribuan gradasi meski sama-sama abu-abu.
Sebelum mengenal seorang sosok kita bisa anti dengan apapun yang berupa unsur pemikiran yang berbeda. Untuk menilai selain golongan kita kadang-kadang selain rasa ingin tahu dasarnya adalah rasa curiga.
Ternyata dengan melompati sejengkal ketidaknyamanan sekat-sekat itu mudah sekali runtuh. Bahkan kita bisa jadi merasa sama meskipun tidak sewarna.
Yang lucu kesamaan saya dengan Ali, kawan sesama petugas masjid, adalah karena sama-sama abu-abu. Dia berlatar belakang Al-Washliyah (corak NU) beririsan dengan Hizb, dan saya adalah Hidayatullah (asalnya Muhammadiyah) beririsan dengan pemahaman Salafi dan secuil pergerakan Tarbiyah.
Sejak dulu saya cukup sering ngobrol dengan Ali, sebagai sesama pelajar hadits, seputar dalil pengamalan. Tapi seharian lalu kami spesifik mengobrolkan perbedaan, dari landasan ideologi para tokoh sampai isu-isu sensitifnya.
Lagi2 kesimpulannya adalah: selagi bertujuan ke Darrasah anda bebas hendak menaiki tremco atau bus 80/. Asal masing-masing sanggup membayar ugrohnya dan kalau kebetulan berpapasan tidak lantas adu bumper.
Kita bersyukur lahir di generasi yang tidak asing dengan perbedaan. Warna-warna itu beririsan di samping kanan-kiri. Tidak ada pertemanan yang harus putus karena pilihan madzhab, apalagi yang sosoknya sebaik Ali.
Hari ini muadzin yang hendak pulang alatul ini mengingatkan saya pada keluhan Abu Firas,
إذا خليلي لم تكثر إساءته ** فأين موضع إحساني وغفراني
“Kalau kawanku tidak banyak berbuat salah, lalu dimana harus kuletakkan kebaik-hatian dan jiwa memaafkan-ku?”
Pun kalau berbeda menyebabkan lahirnya kesalahan di mata, kita masih punya sejuta maaf dan ribuan toleransi untuk tetap bersama. Apalagi yang tak tampak terlalu salah untuk membesar menjadi masalah.
Akhirnya ustadz yang suaranya diidolakan warga Compound Raya ini harus pulang kampung juga.
Tushal bissalaamah sampai ke Singkil ustadz InsyaAllah.
@audadzaki
Gannet Mishr, 15 Juni 2024. Di tengah siang yang muwalla' abangku.


11 notes
·
View notes
Text
Menikmati Pertandingan
Sebagai orang yang mengenal nama orang hidup saja susah, mengenal orang yang sudah wafat jadi pekerjaan berat untuk saya.
Padahal ilmu hadits, sebagai jurusan yang saya pilih di kampus, adalah ilmu yang penuh dengan penelitian tokoh. Untuk mencapai tujuan belajar ilmu hadits ada ilmu jarh wa ta'dil, kaidah mendalami karakter setiap periwayatnya.
Ada ribuan orang di sana. Bahkan buku-buku tentang kumpulan biografi mereka termasuk buku paling panjang dibanding ilmu lainnya. Seperti siyar, taqrib, dll.
Ketika ada soal ujian berkaitan nama, nasab, dan tahun wafat, saya meriang.
Tapi ada analogi menarik dari salah satu duktur hadits. Bayangkan kita pertama kali menonton pertandingan bola, apakah mungkin kita langsung mengenali semua pemainnya? Tidak.
Kita cukup menikmati pertandingan berulang-ulang.
Pelan-pelan kita tahu siapa penyerang yang langganan cetak gol, kemudian siapa kiper yang rapat jarang kebobolan, lalu siapa pelatih bertangan dingin di balik para pemain. Atau bahkan kita sampai tahu pemain yang hobi blunder atau cuma duduk di bangku cadangan.
Semakin lama tanpa terasa kita akan tahu daerah asal para pemain, kelebihan dan kekurangan masing-masing, sampai hal-hal pribadi beberapa bintang yang secara tidak langsung menjadi “idola” kita.
Imam Ibnu Hajar menyimpulkan pembagian menjadi dua belas generasi periwayat hadits, seperti beliau tulis dalam "Taqribut Tadzhib". Dari sana diringkas kembali ada dua ratus tokoh unggulan yang dicatat oleh Dr. Adil Abdussyakur. Mereka dua ratus yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Nah, daftar pemain sudah ada, tinggal kita cari info pertandingannya di mana.
@audadzaki
Rendang Tante, 14 Juni 2024. Ngobrolin hadits yang gak habis-habis.

1 note
·
View note
Text
Memilah Ilmu
Ada batas terakhir masa penulisan hadits, yaitu abad ke-5 hijriyah. Setelah itu ulama' berpindah pada proses meneliti kembali ketsiqohan rawi dan keshahihan hadits, yang menyebabkan lahirnya ilmu mushthalah dan cabang-cabangnya.
Kini penelitian hadits (dengan makna mengumpulkan sumber sebanyak mungkin) juga telah berakhir sejak komputasi ditemukan. Teknologi telah memudahkan kita mengumpulkan ribuan sumber literatur dalam sepersekian detik. Semua hadits dan rijalnya sudah pernah dibahas.
Itu juga adalah hasil jerih para ulama, yang secara tidak langsung, telah menyiapkan sistemnya dengan penomoran hadits, penyusunan kategori, perumusan indeks, pengurutan bibliografi, hingga dibukukannya beragam ensiklopedia.
Saat ini, seperti kata Dr. Samih, peneliti tugasnya bukan lagi mencari sebanyak-banyaknya, tapi memilah mana yang perlu dikutip dan mana yang tidak perlu berdasarkan kebutuhan.
Benar juga.
Perpustakaan fisik dan digital kita sebenarnya sudah penuh dengan buku, media penuh dengan maklumat. Tapi kita tetap semakin bodoh karena tidak tahu mana yang menjadi prioritas untuk dikonsumsi.
@audadzaki
Maktabah Kulliyyah, 12 Juni 2024. Ujian takhrij amali, sesi terakhir dari yang terakhir. Husnul khitam ya rabb.

0 notes
Text
Keluarga Gaza dan Mental Pengungsi Kita
"Ini hari pertama Dzulhijjah, saya baru saja menulis tentang amalan-amalan terbaik. Salah satunya silaturahim.” kata alumnus Magister Fiqih Muqarin Universitas Gaza ini.
Beliau adalah Syaikh Abu Hasan Al-Ghazawi, muhajirin thufan Al-Aqsha yang berhasil menyeberang Rafah di hari ke-90. Sementara tinggal di kawasan Zamalek, Propinsi Giza, Mesir.
“Ini berkah sekali. Antum memudahkan silaturahim tanpa saya perlu keluar rumah,” kata beliau sambil menyiapkan piring-piring thomiyyah, ful, baba ghannug, gibnah, serta salad irisan tomat dan timun segar.
Saya bersama Mas Dzulfi dipaksa sarapan.
Kami sedang bersilaturahmi mewakili Yayasan KITA untuk persiapan Idul Adha Garis Depan 1445 H. Program khidmah kemanusiaan dari Indonesia untuk umat Islam korban konflik di seluruh dunia.
Beliau sekeluarga adalah korban perang, seharusnya kami adalah anshar yang menjamu beliau. Kami yang mestinya memberikan jamuan di negeri yang sudah lima tahun kami tinggali ini.
Tidak.
“Kalian jauh-jauh dari Indonesia, menuntut ilmu di Al-Azhar, ahlul hadits, dan ahlu ushulil fiqh. Seharusnya saya menyembelih kambing untuk menyambut kalian,” katanya bersemangat.
MasyaAllah.
Tangannya masih sibuk menepikan secangkir teh maramiyah, “Ini teh khas Gaza,” kata beliau.
Ya Rabb. Beliau ramahnya minta ampun.
Kami bercerita hampir satu jam. Nasab keluarganya di Mesir, pendidikannya di Gaza, pekerjaannya di sekolah yang kini rata dengan tanah, sampai pengalamannya safari Ramadhan di Indonesia beberapa bulan lalu.
Tidak ada sama sekali ungkapan kecewa, atau mengeluh. Yang ada adalah semangatnya untuk yakin sebentar lagi kita akan membangun Gaza kembali.
Saya yang datang untuk berbela sungkawa jadi serba salah. Mentalnya terlihat positif sekali. Beliau bukan tipe korban yang memelas bantuan. Meskipun kita tidak tahu seberapa mendidih hatinya menyaksikan kedzaliman seumur hidupnya.
Beliau malah mempedulikan pendidikan saya, “Kenapa tidak meneruskan magister? Hadits itu masih jarang diisi oleh pelajar,”
Beliau sendiri dulu pernah mengusahakan doktoral di Al-Azhar Kairo tapi terkendala jarak saat melakukan administrasi. Kami yang sudah berkesempatan mendapat S1 di kampus yang sama seharusnya lebih mudah.
“Tidak apa pulang, menikah, lalu bawa istrimu kemari,” seloroh beliau, “Seperti Dzulfikar,” Mas Dzulfi senyum-senyum.
Saya hampir saja menjawab, beasiswa saya habis. Saya tidak cukup dana untuk melanjutkan magister. Tapi entah kenapa seketika malu sendiri.
Saya hanya terdiam.
Harusnya saya seratus persen lebih optimis dengan kehidupan yang seberuntung ini. Fisik sehat, keluarga lengkap, beban pikiran tak banyak.
Tapi tidak. Kita terlanjur terbiasa beralibi untuk merasa kurang, bergantung pada bantuan, memacing lirikan simpati, menikmati kerja keras orang lain.
Apa kabar beliau dan empat orang anaknya yang sekarang melanjutkan pendidikan di Al-Azhar meski perang sedang meletus?
Beliau lahir dari rahim perjuangan, terdidik untuk menghadapi tantangan. Jiwanya optimis untuk menjalani hidup senormal mungkin, meski statusnya pengungsi.
Beliau secara fisik boleh jadi pengungsi, tapi mungkin yang bermental pengungsi itu kita.
@audadzaki
Zamalek, 9 Juni 2024.

0 notes
Text
Dua Orang Kampung
Seorang imam bernama Muhammad bin Ismail pernah mendapat fitnah, dibanned oleh pemerintah hingga tidak bisa mengajar di kampungnya sendiri.
Apalah artinya kampung, beliau lalu mengajar di Naisabur, kampung tetangganya. Ternyata satu musibah itu melahirkan keajaiban, dua orang guru bermurid ini menjadi dua imam tertinggi dalam pembukuan riwayat hadits shahih: Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan Imam Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi.
Dua nama ini adalah pemilik kitab rujukan agama Islam paling otentik setelah Al-Quran. Keduanya bersatu dalam istilah "muttafaq alaih", hadits yang ditulis bersamaan oleh keduanya berarti disepakati keabsahannya oleh umat Islam.
Jadi kampung yang dimaksud di atas itu adalah Bukhara. (/bʊˈxɑːrə/ buu-KHAR-ə, romanized: Buxoro, pronounced [buχɒrɒ]) Hari ini dinaungi negara bangsa bernama Uzbekistan. Kampung tua peninggalan Persia, hanya berukuran seperempat luas Kabupaten Sleman, populasinya juga setara hanya berkisar 2.000 penduduk di setiap kilometer persegi.
Jangan-jangan Bukhara dulu hanyalah sebuah kampung seperti Sleman. Tapi siapa orang asing yang mengenal Sleman?
Kampung hanyalah sebidang tanah. Tapi Imam Ibnu Hajar menuliskan kaidah ilmu hadits dalam Nukhbatul Fikr, “Penting untuk mengetahui thabaqat para rawi, lahirnya, wafatnya, dan nama kampung halamannya,” maka kampung menjadi bukan sekadar kampung. Ia objek belajar. Setiap pelajar hadits akan tahu nama-nama kampung para rawi dan muhaddits.
Melalui wasilah muhaddits nomor wahid itu—terlebih karena nisbat utama kepada kampungnya, maka Bukhara menjadi mendunia. Namanya disebut-sebut di manapun Islam diajarkan. Setiap kali dikutip hadits dari kitab Shahih Al-Bukhari, disebutlah nisbat itu, "diriwayatkan oleh Al-Bukhari", sebagai jaminan keshahihan.
Dari Makkah kiblat umat Islam hingga ke daerah antah berantah bernama Donoharjo, Ngaglik, Sleman, nama kampung Bukhara jadi tidak lagi asing di telinga penduduknya.
Siapa yang tidak familiar dengan Bukhara?
Bahkan mungkin "Bukhara" lebih familiar daripada "Uzbekistan"—nama negaranya sendiri meskipun sedikit viral setelah membekuk garuda muda di lapangan hijau baru-baru ini.
Mengenal nama kampung bukan hanya untuk mengetahui identitas seorang rawi. Itu juga wasilah untuk merenungi bagaimana ajaibnya kampung non-Arab yang berjarak 4.500 km dari Makkah, berjeda empat negara bangsa, berbulan-bulan perjalanan dengan jalan kaki, bisa melahirkan penulis kitab mega best-seller nomor dua setelah Al-Quran untuk 12 abad bahkan hingga kiamat nanti.
Itu bukan kampung biasa. Ada benih keberkahan yang Allah tanamkan di sana untuk menumbuhkan pohon paling rindang itu.
Kita yang menikmati naungannya mungkin perlu sesekali melirik Ashomiddin, kawan saya orang Bukhara tulen ini, mungkin saja ada rahasia yang diwariskan di Uzbekistan sana.
Saya ingin sekali bertanya, kalian hobi belajar apa saja di kampung, selain latihan MMA dan belajar diving?
@audadzaki
Jami' Al-Azhar, 30 Mei 2024.

10 notes
·
View notes
Text
Berhentilah Belajar Agama
"Berbeda antara orang yang "baik" beragama dengan orang yang pemahaman agamanya "tinggi"."
Kalimat itu mucul dari Buya Yahya. Sebuah konfirmasi dari ahli agama tentang sebuah kerancuan beragama di era saat ini. Beliau mendefinisikan bahwa orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi--yang bisa menjelaskan banyak hal tentang agama, biasa menjadi penceramah misalnya, adalah belum tentu memiliki pengamalan agama yang baik.
Sedangkan orang yang baik agamanya adalah orang yang mempraktikkan amalan agama dengan tekun, meskipun tidak didasari dengan pemahaman yang terlalu dalam.
Dua jenis manusia ini kadang bisa menjadi dua individu yang berlawanan sebab seringkali motivasi beragama keduanya berbeda. Orang yang "baik agamanya" kadang berpikiran lebih konservatif tentang agama, bahwa itu adalah cara hidup yang praktikal, sedang orang yang berilmu tinggi kadang-kadang memandang sisi agama yang lebih abstrak dan teoritik; agama adalah objek belajar sebagai cara memandang kehidupan.
Buya Yahya tidak sedang menyimpulkan mana yang lebih baik, karena konteksnya adalah sedang menjelaskan tentang makna sekufu dalam pernikahan.
Orang yang berilmu agama "tinggi" jika bertemu dengan orang yang agamanya "baik" bisa jadi mempermasalahkan praktik-praktik yang tidak disandarkan pada pengetahuan yang tepat. Sebaliknya, orang yang baik agamanya bisa jadi kecewa dengan yang memiliki ilmu tinggi jika, misal, tidak rajin shalat, tidak disiplin membaca Al-Quran, tidak rutin berdzikir, dan lain-lain.
Keduanya salah, tapi yang terakhir akan jauh lebih dicela. Bagaimana mungkin berilmu tinggi tapi tidak beramal?
Mungkin orang awam akan kaget jika mendengar fakta bahwa di antara orang yang belajar agama secara mendalam lebih banyak yang "tidak baik" agamanya dibanding yang "baik". Ironi yang sudah cukup membudaya.
Di lingkungan Al-Azhar saja misalnya, sebagai salah satu pusat keilmuan Islam tertua di dunia, kita bisa sangat mudah mendapati mahasiswa Indonesia yang tidak shalat shubuh apalagi tahajjud, tidak pernah mucul di masjid, terlambat shalat Jum'at, tidak pernah membaca Al-Quran, jarang membaca dzikir harian, dan lain-lain.
Mereka pasti tahu apa itu lima hukum taklifi: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Mereka tidak asing dengan kaidah-kaidah ushul fiqh, definisi-definisi istilah dalam ibadah, bahkan sumber-sumber dalil dan wajah istidlalnya. Mereka juga sudah biasa berbahasa Arab memahami secara umum teks Al-Quran, bahkan kitab-kitab tafsir, syarah-syarah hadits dan literatur para ulama'. Tapi itu dimensi teoritis. Secara fakta, praktik beragama adalah dimensi yang lain lagi.
Ini tentunya ironi. Sebuah kesalahan fatal yang terjadi di lingkungan para pembelajar agama.
تعلَّمُوا ما شئتم، فلن ينفعكم الله بالعلم حتى تعملوا.
Pesan salah seorang sahabat bernama Muadz bin Jabal begini, "Belajarlah sesuka hatimu, tapi ingat tidak ada yang menjadi bermanfaat kecuali yang engkau amalkan,"
Pesan ini seharusnya menjadi bahan renungan untuk pembelajar agama di era modern ini. Kita hidup di zaman di mana tuntutan tujuan belajar menjadi sangat duniawi: gelar, pekerjaan, atau jabatan. Mungkin karena itu entitas "ahli agama" tanpa "baik beragama" ini marak bermunculan di mana-mana.
Tentu saja pesan tersebut bukan hanya untuk pembelajar di kampus agama, faktanya diskusi di masyarakat umum juga sama, agama sebatas bahan perdebatan, praktiknya masih diabaikan.
Betapa sering masyarakat--seperti baru-baru ini, membahas hukum sesuatu tapi pada praktiknya tidak ada budaya yang terasa berubah.
Musik haram, tapi yang mendengarkan tetap mendengarkan. Zina haram tapi yang prostitusi masih tetap prostitusi. Khamr haram, tapi miras masih dilegalkan dan masih saja dinormalkan. Korupsi haram, tapi koruptor masih saja langganan diberitakan.
Di saat fenomena tahfizh Al-Quran di negeri ini mulai membanggakan, tokoh-tokoh agama populer diidolakan, prestasi sekolah-sekolah Islam mulai meninggi, kampus-kampus Islam mulai digemari, kita patut curiga, jangan-jangan Indonesia hanya akan menjadi lebih "faham" agama tapi tidak lebih "baik" agamanya.
Seandainya berilmu tanpa amal itu baik maka Allah tidak akan mencela bangsa Yahudi:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
"Apakah kalian memerintahkan manusia berbuat baik namun kalian lupa pada diri kalian sendiri sedangkan kalian adalah kaum yang membaca Al-Kitab? Tidakkah kalian berpikir?"
Rasulullah juga mengajarkan berdoa meminta perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat:
اللَّهمَّ إنِّي أعوذُ بِكَ منَ الأربعِ: مِن عِلمٍ لا ينفَعُ، ومِن قَلبٍ لا يخشَعُ، ومِن نَفسٍ لا تَشبعُ، ومِن دُعاءٍ لا يُسمَعُ
"Ya Allah aku berlindung pada-Mu dari empat hal: Ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu', jiwa yang tidak kenyang, dan doa yang tidak didengar,"
Sufyan Ats-Tsauri, salah seorang tabiin yang masyhur juga memiliki pesan yang jelas sekali:
اذهب فاطلب العلم... فإذا كتبت عشرة أحاديث؛ فانظر هل في نفسك زيادة فابتغِهِ، وإلا فلا تتعنَّى
"Pergilah menuntut ilmu. Jika engkau dapatkan sepuluh hadits, lihatlah; jika ada perubahan pada dirimu lanjutkan, jika tidak maka berhentilah belajar,"
Mari cek diri kita, berhenti belajar, dan mulailah beramal!
@audadzaki
Compound Jannah, 27 Mei 2024. Menjalani ujian hidup menjadi pelajar di Al-Azhar


3 notes
·
View notes
Text
We're too Blessed
Yahya “John” Grant, masuk penjara US tahun 2003 karena kriminalitas, lalu ternyata menemukan Islam di dalam sel di tengah meledaknya isu Islamopobhia. Beliau bersyahadat tahun 2004.
Berat sekali mempraktikkan syariat di dalam penjara, katanya. Puncaknya mereka pernah mogok makan demi diizinkan untuk berjamaah shalat. Sebaliknya, waktu puasa mereka pernah ditahan jatah makannya hingga lewat waktu subuh. Mereka sering berpuasa tanpa sahur dan dengan buka yang tertunda.
Sebagai muallaf, setelah dibebaskan dari penjara tahun 2013, menurut beliau hidup di tengah masyarakat jauh lebih berat, khususnya dalam mendidik keluarga.
Di tengah keterbatasan penjara beliau bisa memaksa dirinya dan membuat lingkungan Islam-nya sendiri, sekalipun berat. Sedangkan di luar penjara, masyarakat Amerika sangat heterogen. Dalam mendidik anak nilai yang harus beliau ajarkan selalu kontradiktif dengan fakta yang terlihat di sekeliling, dan itu adalah tantangan berat.
Sepuluh tahun kemudian beliau hijrah ke Mesir, Februari 2024, bertetangga dengan saya di Gannet Misr, dan selalu shalat paling depan setiap waktu.
"Jauh lebih nikmat, di mana-mana orang puasa, di mana-mana orang sholat, di mana-mana orang memakai hijab," ujar John.
Kemarin kami undang beliau untuk buka bersama di Rumah Peradaban, Nasr City, satu jam dari Gannet Misr. Cerita hidup dengan bahasa American English-nya yang kental mengalir dengan penuh semangat, dialihbahasakan oleh Hasby, disimak oleh puluhan kawan Himayah.
Satu hal yang beliau sulit terima dari takdirnya sebagai keluarga non-muslim adalah bahwa ia tidak mungkin berkumpul lagi dengan keluarganya yang sudah wafat di surga nanti. "Kalian seharusnya merasa beruntung,"
“Kalian tidak pernah tahu betapa berharganya dilahirkan sebagai muslim itu.”
@audadzaki
Ruhid, 29 Maret 2024. It's such an honour, brother, to have these talks, even I did it with my broken English, and now—also with broken feeling. THANKS.



0 notes