Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gagasan : Pasca 100 Hari Kerja Enos Yudha

100 hari kerja sudah H. Lanosin Hamzah, S.T. dan H.M. Adi Nugraha Purna Yudha, S.H. (Enos Yudha) menjalankan tugasnya pasca dilantik sebagai bupati dan wakil bupati OKU Timur. Menilai kinerja hanya dari 100 hari kerja tentu terlalu prematur. Namun, setidaknya 100 hari kerja ini adalah starting point (awalan) dari sebuah rezim politik. Jika 100 hari berjalan mengesankan, maka secara legitimasi politik didapatkan.
Dalam 100 hari kerja Enos Yudha banyak terobosan sudah diluncurkan, yaitu perwakilan Disdukcapil di Kecamatan Belitang, program Satu Pol-PP Satu Desa, OKU Timur TV, dan pengangkatan staf khusus serta penunjukan direktur baru PDAM Way Komering. Terbaru, Enos Yudha melaunching program 100 hari kerja di bidang kesehatan dan pertanian, yaitu Satu Perawat Satu Desa, BPJS untuk Perangkat Desa, mobil Ambulance untuk pengguna narkoba, berobat gratis dengan hanya menggunakan KTP di Puskesmas, dan pendirian Perusahaan Umum Daerah (PUD) Agrobisnis dan Pengelolaan Logistik.
Terobosan tersebut relatif baru untuk Bumi Sebiduk Sehaluan. Bahkan, untuk program Satu Pol PP Satu Desa dan Satu Perawat Satu Desa adalah bisa dikatakan terobosan perdana di Indonesia. Kita patut mengapresiasinya.
100 hari kerja Enos Yudha bagi saya pribadi sangatlah determinan mengingat durasi waktu periode pertama rezim ini tidak seperti normalnya rezim politik di Indonesia, yaitu lima tahun untuk satu periode. Rezim Enos Yudha untuk periode pertamanya hanya 3 tahun 8 bulan. Ini dikarenakan dalam Undang-Undang Pilkada mengamanatkan untuk melakukan pilkada serentak seluruh Indonesia pada tahun 2024.
Kerugian waktu sekitar 1 tahun 4 bulan untuk rezim Enos Yudha menjadikan 100 hari kerja harus dimaksimalkan dengan berlari cepat guna menutupi kerugian waktu. Ini terlihat dari relatif banyaknya launching program kerja dalam 100 hari kerja Enos Yudha.
Saya memandang relatif banyaknya program-program dan kebijakan-kebijakan diluncurkan dalam 100 hari kerja Enos Yudha adalah sebagai bentuk keseriusan pasangan ini untuk mengejar dan menutupi kerugian waktu yang mereka terima. Sebab, bukan perkara yang mudah untuk memberikan signifikansi hasil dalam waktu kurang dari lima tahun. Jadi, menggenjot di awal waktu dengan banyak meluncurkan program-program dan kebijakan-kebijakan adalah cara yang relatif tepat guna menjawab tantangan.
Namun, pertanyaan kita selanjutnya seberapa lama dan konsisten ritme cepat ini bisa dipertahankan oleh Enos Yudha? Bagaimana jika program-program yang relatif banyak banyak tersebut terdapat permasalahan? Apakah cukup waktu dan tenaga Enos Yudha mengantisipasinya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tergantung bagaimana rezim Enos Yudha mampu mengatur strategi guna mengantisipasinya. Namun, setidaknya saya ada sedikit masukan atau bisa juga dikatakan gagasan sebagai bagian dari relawan Enos Yudha dan masyarakat OKU Timur untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, optimalisasi peran staf khusus bupati. Staf khusus bupati merupakan posisi baru dalam pemerintahan OKU Timur. Ini berangkat dari janji kampanye Bupati Enos saat debat pertama di Hotel Excelton Palembang, yang berjanji akan mengangkat staf khusus bupati untuk membantu beliau jika terpilih. Staf khusus notabene diisi dari kalangan non PNS yang telah memiliki pengalaman di bidangnya masing-masing.
Staf Khusus Bupati OKU Timur menurut informasi saat ini berjumlah tiga orang. Jumlah ini relatif sedikit sebenarnya, namun kita bisa memahami ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh OKU Timur. Namun, saya berpendapat tiga orang staf khusus bupati bisa dioptimalisasikan oleh Bupati OKU Timur guna mengejar target yang telah ditetapkan dalam durasi periode kepemimpinan Enos Yudha yang relatif singkat dari biasanya.
Staf khusus bupati seperti nomenklaturnya terdapat kata khusus. Kata khusus tersebut harus memiliki kekhususan peran dan fungsi dalam periode kepemimpinan Enos Yudha yang relatif singkat ini guna mengkoordinasikan dan mengevaluasi target-target yang akan dicapai dari setiap program kerja yang telah dilaunching. Jika tidak diberikan tugas yang khusus, maka saya yakin rezim Enos Yudha akan keteteran untuk memenuhi target dari program-program kerja yang telah dibuat.
Hal ini disebabkan bupati dan wakil bupati biasanya akan disibukan dengan urusan-urusan urgen dan politis yang mengakibatkan sulitnya mereka untuk mengawasi perkembangan dan permasalahan dari program kerja yang mereka telah mereka launching dan canangkan. Selain itu juga, staf khusus bupati biasanya diisi oleh orang-orang yang memahami seperti apa keinginan bupati atau bahasa yang lebih gamblangnya staf khusus bupati berasal dari tim pemenanganya yang tahu seluk-beluk janji kampanye Enos Yudha. Jadi, relatif tidak terdapat perbedaan pandangan mengenai goal yang ingin dicapai antara Enos Yudha dan staf khusus.
Berbeda hal dengan jabatan yang berasal dari kalangan ASN seperti kepala dinas dan staf ahli yang cara berpikirnya rigid (kaku) dan bisa jadi kurang memahami latar belakang goal program dan kebijakan yang Enos Yudha canangkan. Maka, menurut saya pribadi sangat tepat jika staf khusus diberikan tugas yang khusus pula oleh Enos Yudha.
Kedua, jangan terjebak kepada kuantitas program kerja dan fokus pada dampak yang dihasilkan. Saya secara pribadi memaklumi ritme cepat dan banyaknya program kerja yang digenjot di 100 hari kerja. Namun, jangan sampai kuantitas program kerja yang relatif banyak ini menjadi boomerang bagi Enos Yudha.
Kuantitas dan kualitas tidak selamanya berjalan beriiringan. Pada kenyataannya kuantitas sering kali mengorbankan kualitas. Saya pikir rezim Enos Yudha dalam satu tahun ke depan untuk fokus kepada program kerja yang sudah diluncurkan pada 100 hari kerja ini. Sebab, sangat tidak mungkin dalam pelaksanaannya program kerja tersebut tidak mengalami permasalahan atau jauh dari yang diharapkan.
Waktu yang singkat periode Enos Yudha memang menuntut untuk gerak cepat tapi bukan berarti terkesan asal-asalan. Berikan waktu untuk melihat dampak yang dihasilkan dari program kerja, sehingga bisa diperbaiki apa saja yang harus diperbaiki dan ditingkatkan.
Ketiga, libatkan masyarakat dalam setiap program kerja. Tentu, masyarakat selalu terlibat dalam setiap program kerja Enos Yudha. Tapi, maksud saya disini adalah pelibatan masyarakat jangan hanya sekadar objek dari setiap kebijakan.
Masyarakat harus merasa sebagai owner (pemilik) dari setiap program kerja Enos Yudha. Sehingga, masyarakat akan secara suka rela ikut menyukseskan setiap program kerja Enos Yudha. Ini selaras dengan prinsip demokrasi yang digaungkan oleh Abraham Lincoln, Goverment of the people, by the people, for the people ( Pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ).
Dengan terlibatnya masyarakat secara aktif dalam setiap program kerja Enos Yudha akan memudahkan Enos Yudha untuk mencapai target yang diharapkan. Sehingga, Enos Yudha bisa menggenjot target program kerja yang dicanangkan dalam periode kepemimpinan yang relatif lebih singkat dari normalnya.
Sumbangan masukan dan gagasan yang saya tulis di atas mungkin bagi sebagian orang terasa bias dan tandensius (berat sebelah). Karena memang saya pribadi merupakan bagian dari tim pemenangan Enos Yudha dalam kampanye pada pilkada 2020 yang lalu. Ya tidak masalah, saya menerima jika ada yang memberikan penilaian atau bahkan judgement (penghakiman) seperti itu. Tapi setidaknya saya telah berusaha untuk seobjektif mungkin memberikan pandangan dan gagasan saya sebagai masyarakat OKU Timur. Untuk di luar itu semua, biarlah publik menilai pandangan saya seperti apa.
Mengakhiri tulisan saya kali ini. Saya sebagai masyarakat OKU Timur dan bagian dari Relawan Enos Yudha pada waktu kampanye lalu, memiliki harapan besar untuk periode kepemimpinan Enos Yudha sampai 2024 bisa terwujud seperti tagline digaungkan, OKU Timur Maju Lebih Mulia. Selamat bekerja Enos Yudha!
0 notes
Text

Pembangunan Manusia : Kunci Majunya OKU Timur
Pembangunan selalu diidentikan dengan bangunan, gedung, atau jalan aspal. Seringkali, masyarakat menganggap itu semua adalah patokan dari suksesnya pembangunan. Padahal, pembangunan tidak selamanya berwujud kebendaan. Ada pembangunan yang tidak berwujud kebendaan namun menentukan maju tidaknya suatu negara, yaitu pembangunan manusia (Human Development).
Pembangunan manusia merupakan modal penting (Human Capital) dalam pembangunan sebuah negara. Tidak ada negara maju dan sejahtera dimanapun di dunia ini yang maju tanpa maju manusianya. Standar penilaian pembangunan manusia disebut Human Development Index (HDI)/ Indeks Pembangunan Manusia (IPM). HDI/IPM melingkupi 3 aspek penilaian, yaitu pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Amerika Serikat yang menjadi mercusuar dunia dalam ekonomi memiliki IPM dengan angka, yaitu 92 di tahun 2019 menurut PBB (Wikipedia). IPM Amerika Serikat tersebut dikategorikan sangat tinggi.
Sedangkan, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki IPM pada tataran tinggi dengan indeks sebesar, 71,94 di tahun 2020 (BPS,2020). Tentu, tidak adil membandingkan Indonesia dengan Amerika secara apple to apple. Karena sudah tentu ukuran “Apel” yang berbeda. Namun, jika kita ingin mengejar ketertinggalan ke depannya dari negara-negara maju, maka menaikan IPM adalah harga mati.
Dalam lingkup kabupaten, OKU Timur merupakan kabupaten dengan IPM yang relatif mumpuni di Sumatera Selatan, dengan indeks 69,28 di 2020. OKU timur berada di peringkat 5 dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan. IPM OKU Timur masuk pada kategori menengah, sedikit lagi untuk naik tingkat pada kategori tinggi, yaitu di atas angka 70.
OKU Timur sudah memiliki modal untuk berkembang dan berkompetisi dengan kabupaten/kota di Sumsel. Terutama, guna menyongsong bonus demografi Indonesia yang diprediksi akan dipanen pada tahun 2030. Bonus demografi merupakan melimpahnya usia produktif (15-64 tahun) dibandingkan dengan usia belum produktif (<14 tahun) dan tidak produktif (>65 tahun). Tentu, melimpahnya usia produktif tidak serta merta langsung memberikan keuntungan. Hal tersebut ibarat pedang bermata dua, satu sisi mampu menebas musuh dan sisi sebaliknya dapat melukai diri sendiri. Tergantung seberapa handal si pemegang pedang.
Usia produktif yang terkristalisasi dalam angkatan kerja Indonesia rata-rata hanya lulusan SD. Ini menandakan angkatan kerja Indonesia banyak bekerja di sektor non industri dan kasar, seperti sektor pertanian. Menurut BPS, pada tahun 2019 di OKU Timur angkatan kerja yang mengais rejeki di sektor pertanian sebesar 60%. Sedangkan, di sektor industri hanya 12% dan sisanya 28% di sektor jasa. Persentase ini sangat jomplang anatara sektor pertanian dan non pertanian.
Dominasi angkatan kerja di sektor pertanian pada masa pandemi mampu menjadi penyelamat bagi OKU Timur dari pengangguran dan robohnya perekonomian. Namun, banyaknya yang berkerja di sektor pertanian mengakibatkan kue ekonomi yang dinikmati relatif sedikit. Sedangkan, untuk kemajuan OKU Timur pasca pandemi ke depan dibutuhkan peran sektor penunjang lain selain pertanian agar ketergantungan ekonomi tidak hanya bergantung pada satu sektor.
Di antara sektor-sektor yang ada di OKU Timur, sektor industri memiliki potensi untuk menjadi penyangga ekonomi, selain sektor pertanian. Sektor Industri adalah salah satu sektor yang perlu dikembangkan di OKU Timur dengan persentase dalam PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) 10,09% dan tenaga kerja yang terserap di sektor ini sebesar 12% dari angkatan kerja. Kue ekonomi sektor industri masih sangat potensial untuk diperbesar potongannya dengan menarik investor untuk berinvestasi. Namun, SDM yang ada di OKU Timur harus dipersiapkan dengan meningkatkan jenjang pendidikan angkatan kerjanya, minimal SMA/SMK. Jika tidak, angkatan kerja OKU Timur yang ada tidak akan terserap di sektor industri.
Urgensi pembangunan manusia adalah kunci bagi OKU Timur dalam upaya mengawinkan antara angkatan kerja dan bonus demografi guna memajukan kabupaten tercinta ini. Bupati OKU Timur H. Lanosin Hamzah memiliki komitmen besar untuk meningkatkan pembangunan manusia OKU Timur. Beliau bertekad untuk menaikan IPM OKU Timur pada kategori tinggi, yaitu di atas angka 70.
Di bidang pendidikan. Beliau berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan OKU Timur. Salah satunya, beliau merencanakan program beasiswa untuk pelajar berprestasi OKU Timur untuk bisa melanjutkan pendidikan tinggi, bahkan hingga ke luar negeri. Dengan harapan mereka yang mendapat beasiswa mampu melakukan transfer of knowledge di OKU Timur.
Di bidang kesehatan. Beliau menjanjikan masyarakat kurang mampu yang belum tercover oleh BPJS untuk mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan dengan hanya bermodalkan KTP. Dengan harapan, ini mampu meningkatkan akses pelayanan kesehatan terhadap keluarga yang kurang mampu yang selama ini sangat rentan dengan permasalahan kesehatan.
Di bidang kesejahteraan. OKU Timur berada pada peringkat pertama kabupaten yang persentase kemiskinannya terendah di Sumatera Selatan, yaitu 10,43% (71.100 jiwa). Tentu, hal ini tidak membuat beliau puas. Beliau berkomitmen untuk mengurangi persentase angka kemiskinan ini dengan program-program ekonomi kerakyatan. Salah satu janji beliau adalah membuat program “ Satu desa, Satu UMKM Pemuda”. Program ini bertujuan memberdayakan pemuda untuk mampu produktif dan mencegah kemiskinan baru yang tercipta dari klaster pemuda.
Komitmen Bupati OKU Timur H. Lanosin Hamzah terhadap pembangunan manusia sudah seharusnya kita dukung dan kawal pengejawantahannya. Pembangunan manusia OKU Timur sudah selayaknya menjadi fokus pemerintah daerah dan masyarakat. Pemikiran yang hanya tertuju kepada pembangunan secara fisik sebagai cerminan majunya sebuah daerah, harus kita imbangi dengan pembangunan manusia yang mumpuni.
0 notes
Text

PEMAKNAAN KEMBALI PANCASILA: TONGGAK KEJAYAAN INDONESIA
Pancasila, suatu hal yang selalu menarik untuk dikaji dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila buah pikir bernas dari para founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menyatukan keberagamaan yang ada. Pancasila dan NKRI dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Pancasila ada untuk menyatukan NKRI, NKRI bertahan karena ada Pancasila.
Menurut Fokky Fuad, Pancasila sebagai filosofi bangsa dalam kerangka filsafat. Pancasila dalam kerangka filsafat akan menerima perubahan-perubahan pemaknaan, karena filsafat memandang relatif segala hal. Dalam hal ini, pancasila harus mampu menerima pemaknaan-pemaknaan baru terhadap sila-sila pancasila. Maka, pancasila mutlak harus dipandang sebagai sebuah ideologi terbuka yang dinamis dalam elaborasi makna. Elaborasi tersebut harus berpijak pada dinamika zaman dan masyarakat agar tetap hidup dalam pikiran masyarakat.
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa Ideologi terbuka sangat diperlukan dalam demokrasi. Karena ideologi terbuka bukan suatu hal yang dimaknai once and for all (sekali dan untuk selamanya), akan membuat demokrasi dengan segala kekurangannya memiliki kemampuan untuk mengoreksi dirinya sendiri.
Pancasila dalam perjalanan sejarah cenderung dikuasai pemaknaannya oleh Rezim yang berkuasa. Tentu kita ingat pada waktu Orde Lama, Soekarno menyandingkan pancasila dengan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Tidak kalah dengan orde sebelumya, Orde Baru melakukan penerapan asas tunggal pancasila melalui indoktrinisasi ke lembaga pendidikan dan organisasi kemasyarakatan. Hal tersebut, membuat pancasila menjadi kaku dan tertutup terhadap dinamika zaman dan masyarakat.
Setelah Orde Baru berakhir dan datangnya Orde Reformasi, gaung pancasila seolah hanya sekedar simbol semata. Dihafalkan, namun tidak bermakna. Pancasila kehilangan tajinya, bahkan ada oknum yang mengubah nama pancasila menjadi PANCAGILA. Sungguh, hal tersebut sangat menyakitkan di tengah gencarnya arus globalisasi yang sangat berpotensi menggerus legitimasi pancasila sebagai filosofi bangsa.
Pemaknaan kembali sila-sila pancasila sangat urgen dilakukan agar pancasila mampu bertahan di tengah gempuran globalisasi. Pemaknaan pancasila berangkat dari dinamika zaman dan masyarakat Indonesia modern. Berikut ini pemaknaan kembali sila-sila pancasila dalam perspektif penulis:
Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini mengandung makna keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa sebagai causa prima. Causa prima artinya faktor utama yang tidak ada hal yang menyebabkanya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi faktor utama yang menentukan pemaknaan sila-sila berikutnya.
Sila pertama memberikan ruang kebebasan kepada setiap agama yang diakui di NKRI untuk mengamalkan ajaran agamanya baik berupa kewajiban maupun larangan. Hal ini dikarenakan hakikat agama mengandung dua hal tersebut. Namun pemaknaan sila pertama ini tak lantas menjadikan NKRI sebagai negara teokrasi (agama), yang membuat negara cenderung kepada satu agama tertentu. Lebih-lebih mengartikannya sebagai negara sekuler yang memisahkan negara dan agama. Kedua konsep negara tersebut bukanlah pemaknaan yang dipahami penulis dari sila yang pertama.
Penulis memaknai sila pertama dengan memposisikan negara berdiri diatas semua agama yang diakui. Tidak memihak satu agama tertentu, walaupun agama tertentu menjadi mayoritas. Negara harus memberikan ruang kepada semua agama yang diakui untuk mengekspresikan ajarannya baik kewajiban dan larangan.
Hal diatas, berbeda 180 derajat dengan kenyataan empiris yang ada. Dimana, menjamurnya tempat-tempat hiburan malam yang menjajakan hal-hal yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan budaya Indonesia. Sangat naif jika sila pertama hanya dimaknai pengakuan terhadap Ketuhanan yang Maha Esa, namun di satu sisi praktek-praktek yang berlawanan dengan itu masih dilegalkan.
Ini tidak berarti negara mencampuri urusan semua agama lebih dalam. Karena jika negara mencampuri urusan agama lebih dalam negara akan terjebak kepada teokrasi negara yang menghilangkan posisi negara berdiri diatas semua agama. Tidak juga berarti negara bertindak pasif terhadap agama, ketika hal-hal yang menganggu praktik-praktik nilai keagamaan diganggu. Jika negara pasif saat nilai-nilai keagamaan diganggu, maka hal tersebut akan menyebabkan konflik. Karena salah satu penyebab konflik di sebuah negara seringkali dasarnya pada isu identitas atau SARA.
Sila kedua : Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, memiliki pemaknaan pentingnya nilai-nilai kemanusian yang tercermin dalam masyarakat sipil atau madani. Namun terminologi masyarakat sipil atau madani ini harus berangkat dari nilai-nilai keagamaan dalam membangun keadaban, bukan masyarakat sipil dari pemikiran barat yang mengesampingkan agama.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Diderot bahwa agama dengan segala lembaga dan pranatanya adalah sumber segala kebobrokan masyarakat, dengan ciri utama tidak ada sama sekali toleransi. Akibatnya, toleransi dikembangkan hanya sebagai suatu cara agar manusia dapat menyingkir dari agama, atau agama menyingkir dari manusia. Itulah sebabnya di Barat ada keengganan besar sekali untuk menjadikan agama sebagai tempat rujukan otentikasi dan validasi pandangan hidup sosial politik yang diperlukan masyarakat.
Menurut Nurcholis Madjid, ”Pembentukan masyarakat madani sudah semacam agenda nasional, sepadan dengan agenda-agenda menegakan tertib hukum, mewujudkan masyarakat adil makmur, membangun kemanusian yang adil dan beradab, dan seterusnya. Keberadaan masyarakat madani adalah keniscayaan yang harus ada. Tanpa masyarakat madani sila kedua dan sila-sila selanjutnya mustahil akan termanifestasi. Masyarakat madani dapat kita ibaratkan katalisator yang akan merealisasikan cita-cita bangsa yang tertuang dalam UUD 1945.
Sila Ketiga : Persatuan Indonesia. Persatuan di Indonesia merupakan barang yang rentan untuk dijaga. Karena salah mengartikan persatuan Indonesia akan berimplikasi pada kata, “Persatean”. Persatean merupakan istilah yang dituliskan Bung Hatta sebagai kritik kepada Bung Karno. Bung Hatta menuliskan, apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tidak lain dari persatean. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing disate jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing.
Persatuan Indonesia bukanlah bangunan yang dibangun berdasarkan logika kekuasaaan yang mengorbankan asas dari masing-masing golongan. Cak Nur berpedapat bahwa keindonesian dibangun tidak lain dari hasil interaksi yang kaya dan dinamis antara golongan-golongan yang beragam di dalam suatu melting pot.
Interaksi yang resourceful masing-masing golongan adalah kunci dari tatanan persatuan Indonesia. Interaksi tersebut dapat kita tempuh dengan jalan berdiskusi atau bermusyawarah, sehingga suasana perbedaan selaras dengan bhineka tunggal ika. Budaya berdiskusi atau musyawarah tersebut dapat tumbuh dan berkembang hanya dalam tatanan masyarakat madani.
Kejadian penistaan agama (blasphemy) yang menimpa bangsa Indonesia merupakan indikasi hilangnya budaya diskusi atau musyawarah dalam menyikapi perbedaan yang ada. Maka, yang terjadi adalah budaya hujat menghujat perbedaan yang ada. Apalagi penghujatan membidik hal yang sakral, yaitu agama.
Ke depan kita harus membudayakan interaksi golongan-golongan dengan cara berdiskusi atau bermusyawarah. Sehingga perbedaan yang ada mampu kita kelola menjadi persatuan Indonesia, bukan persatean Indonesia atau penghancuran Indonesia.
Sila Keempat : Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila keempat merupakan perwujudan mekanisme pengelolaan bangsa. Penulis melihat ada 3 elemen pada sila keempat, yaitu kerakyatan, permusyawaratan, dan perwakilan.
Kerakyatan dalam pandangan penulis, bukanlah bangunan yang terpisah dari permusyawaratan dan perwakilan. Ketiga elemen tersebut harus dimaknai dalam satu hembusan nafas. Walaupun, mereka adalah bangunan yang berbeda satu sama lainnya.
Kerakyatan merupakan cerminan dari persatuan Indonesia. Kerakyatan dalam pembahasaan pancasila sekilas terkesan pasif atau objek (kata dipimpin). Namun, pemaknaan seperti itu adalah kekeliruan besar dan tidak sesuai dengan dinamika demokrasi. Demokrasi meletakkan rakyat aktif sebagai subjek dan juga objek (goverment of people, by people, for people).
Dinamika kerakyatan harus dikelola dengan musyawarah yang merepresentasikan rakyat (Permusyawaratan dan perwakilan). Menurut Fahri Hamzah, musyawarah dalam konteks penanganan konflik adalah pola penyelesaian konflik diluar hukum, yang mengutamakan persuasi (bujukan) daripada koersi (pemaksaan). Musyawarah adalah kanal yang mengalirkan masalah pada muara win-win solution (solusi sama-sama enak), bukan win-lose solution (solusi menang-kalah).
Permusyawaratan dalam ranah politik bukan hanya sekedar kanalisasi yang tak berjiwa. Ia harus hidup dengan ruh perwakilan yang lahir dari rahim kerakyatan untuk menghadirkan legitimasi. Sebuah pertanyaan yang patut diajukan, apakah perwakilan dalam politik Indonesia sudah senafas dengan kerakyatan?
Sila kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah tujuan paripurna kita bernegara. Tujuan yang sangat ideal, indah untuk dibayangkan. Keadilan untuk semua aspek sosial seluruh rakyat Indonesia.
Berbicara dari keadilan sosial dalam ranah wilayah, maka ada dua polarisasi, yaitu kota dan desa. Kota dengan industrinya menjadi stimulus yang efektif untuk menghadirkan fasilitas lengkap yang dibutuhkan oleh manusia. Hal tersebut menjadi magnet besar bagi orang-orang untuk berbondong-bondong mencari kehidupan yang layak.
Kontras jika kita bandingkan dengan desa yang kehidupannya serba sederhana dan tradisional, bahkan di banyak hal desa bisa dibilang sangat terbelakang. Desa yang penuh dengan kekayaan alam layaknya hanya penyedia kebutuhan perkotaan dengan ketimpangan sosial jika dibandingkan dengan perkotaan. Bernilai tapi tak berharga.
Ketidakadilan sosial antara kota dan desa, bukan berarti kita berkeinginan mengubah desa menjadi kota. Tentu, bukan seperti itu. Kita berkeinginan desa mampu merasakan setidaknya sedikit angin surga yang diberikan kepada kota, seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, dan kesejahteraan. Tanpa harus mengubah kehangatan dan kearifan pedesaan.
Kita tentu sangat mengharapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak bergaung hanya di bangunan tinggi menjulang perkotaan. Namun, mampu menembus hutan belantara suku pedalaman, menyeberangi lautan pulau-pulau terluar, dan mendaki desa-desa ditingginya pengunungan nusantara.
Pemaknaan kembali pancasila harus mulai kita lakukan dengan bersungguh-sungguh, kita resapi dan meaningful. Memaknai pancasila bukan dengan memisahkan makna antara satu sila dengan sila yang lain. Itu akan memberikan pandangan yang sempit.
Kita harus memiliki pemahaman yang meyeluruh dan utuh. Sila-sila pancasila bersifat hirarkis pyramidial, artinya setiap sila dijiwai oleh sila diatasnya dan menjiwai sila dibawahya. Jangan sampai kita fokus kepada tujuan kita bernegara yang terdapat dalam sila ke-5, tapi mengabaikan sila ke satu, dua, tiga, dan empat. Terutama sila pertama yang menjadi fundamen yang bersifat causa prima.
Pemaknaan kembali pancasila harus kita gencarkan dengan diskusi-diskusi yang dinamis dan egaliter. Agar pemaknaan ini berangkat dari kesadaran kita, bukan sebuah pemaksaan yang dogmatis. Serta mampu bertahan dari berbagai terjangan pemikiran asing yang tak selaras dengan kebudayaan kita. Negara kita berdiri dengan pancasila dan berjaya pun dengan pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Fokky, 2013, Filsafat Hukum Pancasila antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praksis, Jurnal Mimbar Demokrasi Vol. 13 No. 1, Jakarta.
Hamzah, Fahri, 2010, Negara, Pasar dan Rakyat, Faham Indonesia, Jakarta.
Madjid, Nurcholish, 2002, Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi Dalam Bernard Lewis et. al., Islam Liberalisme Demokrasi, Paramadina, Jakarta.
Surajiyo, 2014, Pancasila Sebagai Etika Politik di Indonesia, Jurnal Ultima Humaniora Vol. 2 No. 1, Tangerang.
Tjarsono, Idjang, 2013, Demokrasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Solusi Heterogenitas, Jurnal Transnasional Vol. 4 No. 2, Riau.
0 notes
Text
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak telah dihelat di 222 Desa se-OKU Timur. Pilkades merupakan pesta demokrasi masyarakat desa yang sangat rentan untuk tersulut konflik horizontal sesama pendukung calon kepala desa. Alhamdulillah, Pilkades serentak se-OKU Timur 7 April yang lalu berjalan aman, lancar, dan damai.
Meskipun, tidak bisa kita pungkiri pasti terdapat kekecewaan dari para calon kepala desa yang belum beruntung pada perhelatan tersebut. Ya, tidak ada satu pun di dunia ini manusia menyukai kekalahan. Tetapi, saya bersyukur rasa kecewa tersebut tidak mengkristal menjadi pertikaian dan konflik yang berujung kekerasan. Ini menandakan iklim demokrasi telah menyatu dengan masyarakat desa. Seperti yang dikatakan founding father Bung Hatta, bahwa demokrasi di Indonesia terjadi pada awal kemerdekaan dan masyarakat pedesaan.
Desa secara definisi menurut UU no. 6 tahun 2014, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari definisi legal formal tersebut, desa memiliki hak tradisional yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata “Tradisional” melekat pada desa sering kali dilekatkan dengan adat istiadat yang kuat dan sulit untuk menerima kemajuan zaman. Bahkan, pada tataran ekstrim kata “Tradisional” disandingkan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Pendapat sederhana tersebut diperkuat dengan data dan fakta di lapangan. Menurut BPS per September 2020, tingkat kemiskinan di pedesaan (13,20%) lebih tinggi dari pada di perkotaan (7,88%). Meskipun, selama masa pandemi tingkat kemiskinan pedesaan hanya naik 0,38% (250.000 jiwa) dibandingkan dengan perkotaan naik sekitar 0,5% (880.000 jiwa). Secara keseluruhan pedesaan tertinggal dalam rendahnya tingkat kemiskinan dibanding perkotaan.
Permasalahan kata “Tradisonal” dalam kaitannya dengan keterbelakangan dan kemiskinan seringkali dipersepsikan oleh kebanyakan orang, termasuk pemerintah desa dapat diselesaikan hanya dengan sekedar pembangunan infrastruktur pedesaan, seperti jalan, balai desa, atau yang bersifat kebendaan. Padahal, itu semua hanya penampakan luar yang tidak menyentuh tataran substansi tentang apa yang menyebabkan tidak berkembangnya kawasan pedesaan.
Penulis mengajukan beberapa poin masukan untuk para kepala desa terpilih guna memajukan desanya masing-masing dengan lebih substantif. Pertama, fokus kepada peningkatan kualitas pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) pedesaan. Masyarakat pedesaan menganggap pendidikan bukanlah suatu yang utama dan masih terjebak pada kebutuhan jangka pendek, seperti mau makan apa esok hari. Sehingga, permasalahan ekonomi tersebut mengakibatkan sulitnya SDM pedesaan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang strata satu. Padahal, urgensi pendidikan SDM desa sangat penting untuk investasi kemajuan pedesaan.
Selain permasalahan ekonomi, banyak terjadi di lapangan adalah keengganan SDM desa untuk kembali lagi ke pedesaan setelah menyelesaikan S1. Permasalahan terjadinya perubahan budaya dari budaya rural (pedesaan) ke urban (perkotaan) sehingga sulit untuk beradaptasi kembali dengan budaya rural, tidak menjanjikannya secara ekonomi jika kembali ke desa, dan alasan lainnya yang menjadi keengganan mereka untuk pulang ke kampung halaman.
Ada terobosan yang patut dicoba untuk menanggulangi permasalahan ini, yaitu pemberian beasiswa dengan perjanjian oleh pemerintah desa kepada SDM Desa yang kurang mampu secara ekonomi dan memiliki prestasi untuk bisa melanjutkan pendidikannya sampai S1. Setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka diwajibkan pulang ke desanya masing-masing guna melakukan transfer of knowledge dan pengembangan desa.
Manfaat lain dari kebijakan ini mampu menghambat urbanisasi penduduk agar desa tidak kehilangan SDM terbaiknya, sehingga orang-orang terbaik hanya terpusat di perkotaan . Kebijakan ini telah diterapkan oleh Pemerintah Desa Tarun, Kecamatan Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, yang menganggarkan dari APBDes beasiswa untuk 10 orang mahasiswa yang tengah studi di perguruan tinggi yang ada di Kota Manado dan sekitarnya dengan persyaratan yang ditetapkan.
Kedua, mengembangkan potensi pertanian menuju desa agrowisata. Potensi besar OKU Timur sebagai kawasan agropolitan, seharusnya memiliki potensi besar untuk mengembangkan Desa Agrowisata. Sebab, seluruh sumber daya untuk pengembangan menjadi desa agrowisata sudah tersedia dan tidak perlu usaha yang besar untuk itu.
Cukup keseriusan dari pemerintah desa untuk mengarahkan dan menata potensi pertanian yang ada menjadi bernilai wisata dan instagramable, contohnya Desa Besur Lamongan. Desa Agrowisata Besur Lamongan menyulap lahan persawahan seluas satu hektar menjadi lokasi agrowisata yang indah.
Efek ekonomi dari Desa Agrowisata Besur Lamongan sangat menjanjikan, dengan hanya membayar 2 ribu rupiah untuk tiket masuk, bisa menarik pengunjung pada hari kerja mencapai 2 ribu dan akhir pekan bisa sampai 6 ribu kunjungan. Bahkan, saat awal-awal dibukanya Desa Agrowisata Besur Lamongan bisa mencapai 11 ribu kunjungan dalam satu hari. Belum lagi biaya parkir 5 ribu rupiah per kendaraan. Bisa kita bayangkan perputaran uang yang ada hanya dari tiket masuk dan parkir.
Untuk penjaja makanan yang ada di Desa Agrowisata Besur Lamongan bisa mendapatkan omset sampai dengan satu juta rupiah dalam sehari. Ini sangat membantu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Selain itu, konsep desa agrowisata tidak hanya sekedar wisata mata tapi juga mampu memberikan edukasi bagi generasi muda tentang pertanian. Di Desa Agrowisata Besur Lamongan anak-anak dan generasi muda diajarkan bagaimana bercocok tanam dan memetik hasil pertanian langsung dari pohonnya. Hal ini dapat mengubah pola pikir generasi muda ke depan tentang pertanian, bahwa pertanian tidak selamanya kotor dan jorok. Tapi, pertanian itu bernilai ekonomis tinggi dan keren tentunya,
Setidaknya, dua poin yang saya ajukan kepada kepala desa terpilih hasil Pilkades serentak OKU Timur 2021 mampu dijadikan bahan pertimbangan guna mengembangkan potensi desanya masing-masing. Kita harus melihat desa sebagai potensi besar yang butuh sentuhan inovatif dari stake holder dalam hal ini pemerintah desa.
Kita harus mengawinkan tradisionalitas yang menjadi ciri khas desa dengan modernitas yang menjadi tuntutan zaman. Agar desa mampu menjaga eksistensinya di tengah hingar bingar perkotaan yang memiliki daya magnet yang tinggi, dengan tetap menjaga apa yang menjadi ciri khas pedesaan.
0 notes
Text

Muda itu kekuatan. Frase tersebut memang benar adanya. Di usia muda seluruh kemampuan mencapai klimaks, terutama kekuatan fisik. Sekarang kita lihat banyak sekali pemuda di usia muda mendapatkan kejayaan. Tengok saja, Mark Zuckerberg yang menciptakan Facebook sewaktu ia berkuliah di Harvard University atau di dalam negeri ada Nadiem Makarim yang di usia 20-an mendirikan Gojek dan sekarang di usia 30-an beliau sudah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Luar biasa!
Pada zaman awal-awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri bangsa pun merupakan anak muda pada masanya, seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain. Dengan keterbatasan dan kesulitan yang ada pada saat itu, Sukarno pada usia 26 tahun mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), Muhammad Hatta usia 25 tahun mendirikan Perhimpunan Indonesia, dan Sutan Syahrir di usia 36 tahun menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia.
Begitu luar biasanya menjadi pemuda. Bahkan, ada lirik dari lagu Superman Is Dead (SID) yang berbunyi, "Kita muda dan berbahaya". Lantas, jika menjadi muda adalah kekuatan apalagi yang menarik untuk dibahas? Bukankah dengan itu semua kita patut bangga sedang berada di usia muda ini?
Ya benar, kita patut bangga sedang berada di usia ini. Usia yang paling prima dari fase hidup manusia. Tapi, saya tidak pada kesimpulan bahwa dengan mengucapkan kata "Muda", abrakadabra lantas semua sempurna dan sukses.
Setidaknya, saya melihat ada beberapa poin yang harus menjadi perhatian pemuda. Pertama, pengalaman. Pemuda seringkali mencapai puncak kejayaan dalam usia muda disebabkan kepada kemampuannya dalam menghadirkan inovasi atau dalam bahasa yang sederhananya sesuatu yang baru dari yang ada. Disanalah, letak kekuatan pemuda.
Namun, sesuatu yang baru ini akan selalu hadir seiring berjalannya waktu. Sesuatu yang hari ini disebut baru bisa jadi akan menjadi usang pada keesokan harinya. Begitu pun seterusnya. Pada titik itulah pemuda menghadapi ujiannya.
Ada yang berhasil melewatinya dan tidak sedikit juga yang terjatuh. Disinilah, kata pengalaman memainkan perannya. Pengalaman hadir sebagai respon kita menghadapi guncangan dengan mempelajari keadaan yang lampau dan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu.
Contohnya Facebook (FB), pada saat awal kehadirannya ia mampu menyingkirkan aplikasi sosial media yang happening saat itu, yaitu MySpace dan Friendster. Hingga sampai hari ini FB bisa dikatakan rajanya sosial media dengan posisi yang relatif stabil, meskipun digempur sosial media yang lain. Dengan pengalaman MySpace dan Friendster yang tersingkir setelah FB hadir, FBmenyadari bahwa bisnis sosial media adalah bisnis yang dinamis dengan tingkat shifting (pergantian) yang tinggi. FB fokus membangun keterkaitan bisnis dengan platform aplikasi yang lain dimana untuk mendaftar ke aplikasi tersebut cukup dengan menggunakan akun FB. Selain itu, FB melakukan beberapa penyesuaian dengan mengikuti perkembangan zaman sosial media yang menjadi pesaingnya, seperti FB Story, Forum, dan lain sebagainya. FB menjadikan aplikasi mereka useful (berguna).
Saya tidak mengatakan serta-merta para pemuda tidak memiliki pengalaman. Dari cerita tentang FB di atas, dimana FB banyak diisi oleh para pemuda yang mampu membuat FB bertahan. Ini menunjukan usia muda bukanlah berarti minim pengalaman. Namun memang menemukan pemuda yang memiliki segudang pengalaman tidaklah banyak. Karena pada usia ini sangat jarang pemuda yang telah menemukan pola. Biasanya, pemuda pada titik ini sedang mencari pola.
Pengalaman mengajarkan pemuda untuk membaca kekurangan dan kelebihan yang mereka cipta serta perbuat. Dengan pengalaman mereka bisa menambal kekurangan yang ada dan mengoptimalkan kelebihan yang mereka miliki. Maka, relevanlah ungkapan yang mengatakan bahwa experience is the best teacher (Pengalaman adalah guru yang terbaik).
Kedua, konsistensi. Pemuda memiliki semangat yang berapi-api. Bahkan, saking berapi-apinya semangat itu cepat melahap apa saja dihadapannya. Pada saat tidak ada lagi yang bisa dibakar, akhirnya api itu pun padam dengan sendirinya.
Konsistensi menjadi kata kuncinya. Jarang sekali menemukan pemuda yang konsisten dengan apa yang ia pilih. Karena sifat dasar dari pemuda adalah labil.
Seringkali kita lihat dalam kehidupan nyata atau mengalaminya sendiri, saat pemuda sedang menuju titik tertinggi dalam karirnya dan mendapatkan kegagalan, lantas ia menyerah. Pada cerita yang berbeda, saat pemuda telah berada di puncak kejayaan, lalu jatuh. Lantas, merasa gagal untuk selama-lamanya.
Cerita mengenai konsistensi dapat kita pelajari dari cerita Thomas Alva Edison (1847-1931), saat ia menemukan lampu pijar. Perjalanan Edison untuk menemukan lampu pijar bukanlah perkara yang mudah. Ia mengalami banyak hambatan dan 1.000 kegagalan sampai berhasil menemukan lampu pijar yang sempurna saat itu.
Konsistensi Edison dalam menemukan lampu pijar meskipun gagal 1.000 kali menjadikannya penemu yang mahsyur. Bahkan, konsistensi Edison dalam menemukan teknologi-teknologi pada zamanya mengantarkan ia memegang rekor dunia dengan 1.093 hak paten atas penemuan-penemuannya. Sungguh, konsistensi berbuah manis.
Pada dua poin di atas sering kali pemuda bercela. Jika para pemuda di usia primanya telah menemukan kedua hal tersebut, maka pemuda itu bisa dikatakan paripurna.
Dari penjabaran singkat di atas, sudah saatnya kita pemuda mulai melengkapi diri kita dengan pengalaman dan konsistensi. Agar, pencapaian kita hari ini tidak lekas berakhir karena kelabilan diri sebagai pemuda. Beruntunglah jika pada usia muda sudah memiliki keduanya dan bagi kita pemuda yang belum, berproseslah. Karena dengan berproses, kita lambat laun akan menemukan keduanya dan menggapai paripurna.
1 note
·
View note