basosurga
basosurga
Summer Shower!
9 posts
Eno / f / 20+ Sekarang aktif nulis di Genshin Impact dan buka komisi utuk semua fandom. Jika ingin menghubungi atau kenalan lebih jauh bisa via twitter (BasoSurga).
Don't wanna be here? Send us removal request.
basosurga · 3 years ago
Text
Tartaglia x Stark - Drabble
Semula Stark membiarkan dirinya terkapar di atas altar. Tubuhnya yang panas dan lengket oleh peluh maupun mani, kini perlahan mengering sebab suhu Snezhnaya yang dingin. Setelah Fatui terakhir yang menyetubuhi Stark, tak ada yang datang sekalipun Stark sudah sengaja menunggu lama di sana. Stark pun paksakan untuk berdiri. Ia seret kakinya, lalu memungut pakaian yang terlantar di atas lantai. Stark kini telah berpakaian lagi. Lengketnya mani dan nyeri pada dubur membuat Stark melangah dengan tak nyaman.
Tartaglia tidak datang ke ruang pelatihan khusus, tidak seperti petinggi Fatui yang lain. Secuil rasa kecewa hinggap di dada Stark kala ia berjalan menuju kamar. Padahal, sepanjang tubuhnya dijamah oleh yang lain, ia kerap membayangkan sosok Tartaglia untuk membuat Stark bertahan. Maka, alangkah terkejutnya Stark sewaktu membuka pintu kamar dan melihat Tartaglia duduk di atas kasur kamarnya.
“Tartaglia-sama, kenapa Anda di sini?” Stark bertanya dengan mata yang membeliak kaget dan mulut gemetar.
“Aku kira kamu bakal senang melihatku di sini.”
“Te-tentu saja aku senang,” sanggah Stark dengan cepat.
“Tapi kamu tidak tersenyum dan lekas menghampiriku.”
Stark menyeret kakinya dengan lebih cepat, lalu menyunggingkan senyuman. “Aku hanya, mm, kaget, Tartaglia-sama.”
Tartaglia membuka kedua tangannya dengan lebar, lalu menangkap tubuh Stark dan memeluknya sambil merebahkan tubuh di atas kasur. Jemari panjang Tartaglia menyisiri rambut pirang Stark yang kusut, lalu mengecup pelipis, turun ke pipi, dan mengunci bibir.
“Aku menunggu Tartaglia-sama di sana, tapi Anda tidak kunjung datang.”
“Kamarmu lebih nyaman.” Tartaglia mengendur leher Stark, lalu mendengus sebal. Kesepuluh rekannya tak pernah melewatkan momen untuk memberi pelatihan khusus pada Stark. Tartaglia yang selalu mendapat jatah paling terakhir selalu mendapati Stark yang terlanjur lesu, atau ruang pelatihan yang amburadul bentuknya.
Tartaglia menggulingkan tubuh Stark kesamping, lalu ia bangun dan barulah ia gendong tubuh Stark yang melenting kaget.
“T-Tartaglia-sama ... kita mau ke mana?” tanya Stark dengan pipi yang merah dan jantung yang berdegup cepat.
“Kau harus mandi,” jawab Tartaglia sambil berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam sana. Ia dudukkan Stark di dalam bak mandi, lalu ia nyalakan air hangat dan menuang sabun berbusa untuk menghilangkan bau pada tubuh Stark.
Memandikan Stark tak ada bedanya dengan memandikan peliharaannya, pikir Tartaglia. Kala tubuh Stark gemetar akibat guyuran mendadak pada kepala, Tartaglia lekas mengusap pipi Stark untuk menenangkan.
“Stark,” panggilan yang jarang terucap itu membuat Stark lekas menoleh. Bibirnya kemudian dikecup lamat-lamat selagi tangan Targtaglia mengusap sekujur tubuh.
“Kamu kuat untuk berlutut dan menghadap ke arah dinding, kan?”
Meski Tartaglia memberi penawaran yang bisa saja ditolak Stark, si pirang itu sudah pasti akan mematuhi kemauan pria yang menjadi idolanya.
“Baik, Tartaglia-sama,” jawab Stark sambil berusaha bangun dan memposisikan tubuh seperti yang Tartaglia mau.
“Hadapkan bokongmu padaku,” pinta Tartaglia. Dengan pipi yang merona, Stark menunggingkan bokongnya ke arah Tartaglia.
Tujuan utama Tartaglia sudah jelas untuk membersihkan dubur yang dijadikan mainan oleh rekan-rekannya yang lain. Dengan telunjuknya, Tartaglia membuat Stark meringis syahdu.
“Ta—ngghh,” desau Stark selama jemari tuannya menginvasi dubur.
“Ssh, tahanlah,” bisik Tartaglia sambil mengusap bokong Stark yang lebam. Saat membuka celah di antara bokong Stark pun, Tartaglia bisa melihat dubur yang merah dan bengkak itu.
“M-maaf, Tartaglia-sama, aku nggak—“ isak tak mampu Stark tahan lagi. Perihnya dubur, yang kini telah dibasuh dengan air bersih, membuat Stark menitikkan air mata.
Kemudian, Tartaglia cabut penyumbat di dasar bak mandi, lalu mengguyur tubuh Stark dengan air bersih. Cipratan air membuat pakaian Tartaglia basah, tapi ia tidak peduli. Toh sehabis ini ia akan lebih basah karena menggendong tubuh Stark menuju kasur. Sambil berjalan, Tartaglia endus leher Stark yang sudah wangi. Tartaglia tersenyum puas karena miliknya kini sudah tidak terasa bekasan lagi.
Tartaglia telentangkan Stark di atas kasur, lalu si harbinger ke sebelas itu mengeluarkan salep dari saku celana. Kemudian, ia buka bajunya yang basah, pula dengan celana; ia kini ikut telanjang seperti Stark yang menatapnya dengan kilatan nafsu.
“Aku mencurinya dari lab Dottore,” kata Tartaglia, “tapi ini bukan sesuatu yang berbahaya. Kamu bisa sembuh lebih cepat dengan ini.”
Stark mengangguk. Padahal ia akan menurut juga sekalipun racunlah yang Tartaglia berikan padanya.
“Aaah~,” pekik Stark kala duburnya diolesi salep yang terasa dingin. jemari Tartaglia yang mengolesi tiap liang duburnya yang bengkak itu membuat pinggul Stark menyentak pelan.
“Sssh, tenanglah,” bisik Tartaglia, yang kemudian mengusapkan bibirnya pada batang penis Stark yang menegang.
Masing-masing tangan Stark mencengkeram seprei dengan erat. Ia tahan agar pinggulnya tidak lagi menyentak, dan membuat kedua kakinya menggeliat. “Ta-Tartaglia-sama—aah~,” desah Stark sambil menurunkan pandangannya, melihat bagaimana penisnya kini dikulum dan skrotumnya dipijat lembut.
Nama Tartaglia terus terucap oleh bibir Stark berulang kali. Stark sentakkan pinggulnya sesekali, sambil mendongak dan memandang langit-langit dengan mata yang berair. Mulut yang tak hentinya mendesah itu makin tak jelas apa yang diracaukan. Liur kini perlahan mengucur, bersamaan dengan air mata yang bergulir turun.
“Tartaglia-sama, aku mau—aah!“ Stark tercekat saat Tartaglia tak lagi mengulum, melainkan menggenggam erat penis Stark dan menekan lubangnya agar mani tidak menyembur.
Stark mencicit, tapi Tartaglia lekas mencium. Ngilu menjalar dari penis yang tak bisa menuntaskan birahi. Stark merangkul leher Tartaglia dan memeluknya erat sambil menahan ejakulasi dengan susah payah.
“Kamu harus tahan, Stark. Malam masih panjang,” ucap Tartaglia selepas kecup, sebelum mengolesi salep di luka-luka lainnya di tubuh Stark; sebab ia ingin mengembalikan keadaan si pirang seperti sedia kala sebelum dirinya kembali merusak dan mengacak-ngacak tubuh itu selama mereka bercinta.
0 notes
basosurga · 3 years ago
Text
ZhongTao - Drabble
Sequel dari Kadaluwarsa
————
Genap seminggu sejak Hu Tao berpura-pura menjadi pegawai magang. Sampai akhir, Hu Tao tetap menutup mulutnya rapat-rapat perihal fakta bahwa dirinya merupakan CEO perusahaan tersebut. Zhongli pun tak jauh beda, kekasih penurut itu mengikuti alur yang Hu Tao buat sampai-sampai mengadakan acara perpisahan karena Taotao si pegawai magang amatlah disukai oleh para senior.
Gadis muda yang lugu, gadis ceria pengusir lesu; ada banyak julukan selama Hu Tao menjadi pegawai magang dan tak ada satu pun yang Zhongli anggap sesuai. Namun, yang lalu biarlah berlalu.
Karena Hu Tao tidak lagi menjadi pegawai magang maka janji untuk tidak berhubungan seks kini telah ditiadakan. Zhongli merasa dirinya tengah merdeka. Ia yang selama ini harus menuntaskan birahi seorang diri bisa kembali bercinta dengan sang kekasih dengan teratur. Kendati begitu, Zhongli baru tersadar bahwa harapannya sebatas ide yang mengawang di angan. Dengan kembalinya Hu Tao pada pekerjaan asli, yaitu sebagai seorang CEO, tumpukan tugas yang terbengkalai menyita waktu sang wanita karir.
"Astaga! Aku lupa belum mengecek ulang bahan untuk rapat direksi besok," ucap Hu Tao pada suatu waktu ketika dirinya sedang beradu kecup dengan Zhongli di sofa ruang tamu.
Tangan Zhongli yang sudah meraba-raba perut hingga dada Hu Tao terabaikan begitu saja. Prioritas Hu Tao langsung beralih sekejap waktu. Seks? Nanti dulu. Kerjaan itu nomor satu.
Hari bertambah menjadi minggu, minggu berlalu dan bulan baru menyambut. Tak terasa, musim pun ikut berganti; dan nyaris setahun Zhongli dan Hu Tao tidak benar-benar bercinta.
Dari sekian banyak kontemplasi, yang terkadang melintas saat sedang ejakulasi sendiri, Zhongli mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Di hari ulang tahun Hu Tao, yaitu pada tanggal 15 Juli, Zhongli tak sekedar memberikan selebrasi.
"Aku tidak bisa kalau terus begini," kata Zhongli sewaktu mereka makan di restoran.
"Seperti apa, hm?"
"Hubungan kita. Sejak kamu memutuskan untuk jadi pegawai magang dan yah, bikin aturan begitu, aku kurang suka. Kukira semua bakal berakhir setelah kamu berhenti main-main jadi pegawai magang."
"Aku tidak main-main, Zhongli. Kamu tahu aku juga ikut andil meningkatkan kinerja pegawaimu secara langsung," balas Hu Tao yang tidak terima dengan pernyataan Zhongli.
"Ya, tapi karena itu kamu nggak punya waktu untukku. Setelahnya juga ... Aku selalu melakukannya sendiri," keluh Zhongli.
"Kita masih menghabiskan waktu bersama. Tidak seks, bukan berarti aku nggak punya waktu buat kamu. Astaga, sejak kapan otakmu jadi merosot ke selangkangan?"
"Hu Tao," ucap Zhongli untuk membungkam Hu Tao yang mulai menarik perhatian pengunjung sekitar.
"Lalu sekarang apa? Kamu mau kita putus?"
Zhongli menggeleng dan tertawa ringan, "Aku bisa tidak bercinta setahun, tapi bukan berarti aku bisa hidup tanpamu. Nona Hu," sebuah kotak cincin dikeluarkan Zhongli dari saku serta ia buka, "mau kah kamu menikah denganku?"
Hu Tao ingin berteriak, ada pun bisikan untuk mencak-mencak. Namun, hanya satu kata terucap, diiringi bulir air mata yang menetes turun karena emosi yang bercampur aduk di dada.
"Ya," dan jawaban itu membuat Zhongli merekahkan senyuman.
————
Dari restoran, mereka pergi menuju hotel di seberang. Hotel itu sudah Zhongli pesan jauh hari. Berikan kamar terbaik dengan pemandangan dan fasilitas yang paling spektakuler, katanya. Padahal, ia memilih hotel semerta-merta agar tidak repot membereskan seprei pasca bercinta.
Lantaran sudah jelas tujuannya di sini apa, ketika Hu Tao mandi lebih dulu, Zhongli mengambil ponsel kekasihnya dan mengganti mode dering ponsel kekasihnya, pun miliknya sendiri. Setelah itu, Zhongli menyusul ke kamar mandi, yang memang sengaja tidak dikunci.
Hu Tao berendam di bak mandi, dengan busa-busa wangi seharum mawar dengan ekstrak vanili.
"Bilas dulu, baru masuk," halau Hu Tao yang melempar pandangannya sekilas ke arah Zhongli.
Zhongli dahulukan kemauan rasional Hu Tao, sekalipun kejantanannya telah berdiri. Barulah habis itu Zhongli ikut berendam di hadapan Hu Tao.
"Kamu tahu, kan, melakukannya di sini tidak baik?" Tanya retorik Hu Tao sampaikan seraya ia merangkak untuk berpindah tempat dan duduk di atas pangkuan Zhongli.
"Ya, tapi yang seperti ini, tidak apa, kan?" Zhongli menggapai tangan kanan Hu Tao, lalu membimbing tangan itu untuk menyentuh kejantanannya. Zhongli  menunduk untuk mengecup bibir Hu Tao, sembari tangan yang lain membawa tangan kiri Hu Tao untuk ikut menggenggam kejantanannya.
Pada bibir, pipi, rahang, dan ceruk leher milik Hu Tao—kecup berlabuh. Desah dan kecipak air saling mendesak satu sama lain. Usai satu ejakulasi, Zhongli gendong tubuh Hu Tao dan keluar dari bak mandi. Dibilasnya tubuh mereka di bawah air pancuran. Pada peluk yang enggan terlepas, mereka masih mencumbu meski air sesekali menghalau napas dan desah mereka untuk terus berderu. Kemudian, mereka melangkah keluar dari kamar mandi, dengan Hu Tao yang berlari lebih dulu dan tertawa geli, membuat Zhongli gemas dan ingin segera menyetubuhi.
Hu Tao melemparkan tubuhnya ke atas kasur, lalu Zhongli pun menyusul—menimpa tubuh sang dara dan langsung meraup bibir. Semula, Zhongli berikan kecupan ringan, tapi kian turun, kian lekat isap bibirnya pada tubuh polos Hu Tao—yang mendekap kepala Zhongli dan makin membuat wajah Zhongli terbenam di dada Hu Tao yang membusung.
Satu kelopak, dua kelopak, ..., enam kelopak, dan kian banyak kelopak mawar yang ditabur Zhongli pada tubuh kekasihnya di tiap kecup yang ia beri.
“Tunggu apalagi, Sayang?” Hu Tao seka helai eboni milik Zhongli, lalu pertemukannya tatap yang saling memantulkan sirat birahi.
“Kan, sudah lama,” lirih Zhongli dengan satu jemari yang menggelitiki liang vagina milik Hu Tao.
Satu, dua, tiga—ini bukan aba-aba, melainkan jumlah jemari yang mengisi liang Hu Tao.
“Ayolah~,” dayu sang dara sambil mengeratkan liangnya.
Zhongli lekas menarik jemari tangannya, lalu ia buka selangkangan Hu Tao dengan kedua tangan. Ujung kejantanannya pun menggesek-gesek bibir vagina. Bisikan naluri yang kerap menyuruh Zhongli untuk mendorong dalam-dalam, menariknya dengan kilat, lalu menyentak masuk keras-keras. Kendati begitu, Zhongli terus menahan diri. Ia tidak mau bercintanya mereka usai dalam sekejap. Ingin ia nikmati tiap kontak fisik antara kemaluan masing-masing; hangat dan ketatnya liang sang dara ingin Zhongli resapi lama-lama;
Meski karena itu semua ia lupa dengan mani yang kemudian menyembur, mengisi liang tanpa dihalau apa-apa.
1 note · View note
basosurga · 3 years ago
Text
La Vie en Noir – 14
6.30
Childe mengenal Zhongli cukup lama, kurang lebih setahun semenjak La Vie en Noir dibuka. Bar itu sering kali menjadi tempat Zhongli untuk rehat, walau sesekali ia akan pergi ke Angel’s Share sejak direkrut di Divisi Operasi Khusus Favonius; itu pun karena Kaeya, rekan kerjanya, merupakan pemilik bar pesaing.
“Kali ini giliran barku?” ledek Childe yang saat itu duduk di sebelah Zhongli.
La Vie en Noir masih ramai sekalipun tersangka pengedar narkoba L.Y.U telah tertangkap dan mati bunuh diri. Obrolan tersebut tersiar oleh para pengunjung La Vie en Noir, yang membisikkan puluhan praduga di tengah alunan musik yang menenangkan raga.
“Aku tidak membuat jadwal khusus, tapi untuk hari ini … Angel’s Share, tidak dulu.”
“Karena yang punya keluarga petinggi Favonius?” bisik Childe.
Zhongli menahan mimik wajahnya agar tidak tampak kaget mendengar pertanyaan lugas dari Childe. Dari pupil cokelat keemasan yang mengecil, Childe menerka dengan mudah dan berkata, “Itu rahasia umum. Alasan kenapa banyak anggota Favonius memilih bar itu, jelas karena orang dalam. Tapi, ya, Favonius memang didominasi oleh pekerja asal Mondstadt, tapi kan, penduduk Mondstadt bukan hanya pekerja Favonius, benar?”
Zhongli mengangguk, lalu menyesap martini.
“Aku menghindar membahas pekerjaan di sana.”
“Kasus L.Y.U, ya … kau terlibat?”
“Semua orang di Favonius saat ini terlibat.” Zhongli hela napasnya dengan berat. “Dan aku kemari bukan untuk membahas itu.”
“Ya, aku tahu. Kau kemari untuk melepas penat, kan? Mau kuberi tahu eskapis yang jauh lebih memabukkan dari alkohol?”
“… Apa—ah, kau … narkoba?” Zhongli menatap curiga, tapi tawa Childe serta rangkul pada pundaknya membuat Zhongli sedikit lega.  
“Bercandamu nggak lucu,” ujar Childe meski ia tahu bahwa Zhongli menuding dengan sungguh-sungguh. “Ingat beberapa bulan yang lalu, kan? Aku patuh pada hukum. Lagi pula, aku nggak mau cek-cok dengan Favonius dan ingin bar-ku aman.”
“Lalu apa?”
“Cinta, pilihan tepat untuk menghibur diri.”
“Atau mengubur diri,” timpal Zhongli.
Tawa Childe mengalun tepat di telinga. “Tapi, sungguh, kau tidak mau coba? Bercinta setidaknya. Meski namanya bercinta, kadang tidak perlu cinta.”
Sesap pada martini terhenti. Zhongli letakkan gelas kaca itu di meja lalu menoleh ke arah Childe.
“Kau tidak tahu? La Vie en Noir, ini kafe gay, Zhongli.”
“Oh, begitu rupanya.” Zhongli kira memang semua bar di Mondstadt melegalkan semua orientasi. Setelah ia mengingat dengan jeli, di Angel’s Share ia tidak pernah menemukan pasangan sejenis; dan selain itu, Zhongli tidak punya bar pembanding karena di Mondstadt hanya dua bar saja yang ia kunjungi.
“Bagaimana, hm?” tangan Childe yang kanan turun meraba paha Zhongli, membuat si kriminolog itu ikut menurunkan pandangan dan mencibir,
“Ini pelecehan seksual.”
“Tapi kau tidak melakukan penolakan meski bisa?” rangkulan tangan kiri pada pundak Zhongli mengerat. “Belakangan kamu kelihatan lebih stres, kutebak … naik jabatan, ya?” tangan kiri kini membelai selangkangan. “Sudah berapa lama dia nggak dihibur?” jemari Childe menekan, membuat si empunya selangkangan melirihkan erang.
“… Childe,” Zhongli menangkup tangan asing pada selangkangannya, “Nggak di sini.”
Childe membalikkan tangan kirinya, menangkup tangan kanan Zhongli yang mengepung lebih dulu; lalu mereka beranjak pergi, melupakan Arlecchino yang sedari tadi berdiri di hadapan mereka.
━━━━━━━
“Kalau kau pikir tempat ini merangkap rumah bordil, enggak, aku enggak buka bisnis itu,” kata Childe sewaktu mereka berjalan meniti tangga. “Biasanya kalau sudah ada yang kebelet, kami menyarankan untuk pergi ke Hotel Goth, tepat di seberang jalan. Tapi karena ini kamu dan aku, kita lakukan di sini saja. Nah, ini kamarku, dan itu punya Arlen.”
“Arlen?”
“Babuku—maksudku, bartenderku.”
“Oh, dia ….”
“Aku kira semua orang di Favonius selalu siap siaga, rupanya kau … cukup teledor?” Childe membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Zhongli untuk masuk lebih dulu.
“Ini di luar jam kerja.” Zhongli melangkah masuk dan mengamati seisi kamar Childe, sembarang lalu.
“Bukannya akan berbahaya kalau kau lengah di luar jam kerja sekali pun?”
Zhongli yang sudah berjalan masuk kini membalikkan badannya dan bertanya, “Kapan kita bercinta?”
Tawa Childe mengudara, tapi tidak sampai keluar sebab pintu telah ditutupnya. Ia melangkah mendekati Zhongli lalu memberikan ciuman sebagai pembuka. Childe melumat perlahan, menanti reaksi Zhongli karena ini kali pertama mereka mencicip bibir satu sama lain. Zhongli balas pagutan demi pagutan, yang kemudian makin cepat dan membuat napasnya tercekat. Sewaktu mulutnya terbuka, lidah si empunya bar menginvasi. Namun, rasa martini yang tercecap oleh lidah membuat Childe melepas tautan pada bibir mereka.
“Kamu suka martini yang agak sepat?”
Zhongli mengerjap, memadatkan fokus pada si penanya yang tiba-tiba. “Kamu nggak?”
“Bukannya kamu biasa pesan yang agak manis?”
“Kali ini ingin yang sepat,” jawab Zhongli yang kembali mencumbu bibir Childe, melanjutkan lagi gulat yang tertunda.
Seiring dengan ciuman yang merosot turun pada leher Zhongli, tangan Childe aktif menanggalkan kemeja hingga meloroti celana Zhongli.
“Nah, kamar mandinya di sebelah sana.” Childe menepuk pundak Zhongli.
“Ya?”
“Aku nggak mau seks dengan orang yang baru pulang kerja seharian—ah, semalam lembur, nggak? Apalagi kalau lembur. Aku sudah mandi tepat sebelum bar buka, jadi kau saja. Oh, ya!” Childe berjalan menuju laci di bawah meja kerja, lalu mengambil gelas dan menuangkan air dari teko.
“Aa?” Childe meminta Zhongli untuk membuka mulutnya,. Zhongli menurut begitu saja dan membiarkan obat sebutir obat masuk ke dalam mulut, lalu segera meneguk air yang Childe berikan untuknya.
“Serius, deh, kamu ini kurang waspada. Bagaimana kalau yang barusan itu L.Y.U?”
“Hah?”
“Pencahar, nggak usah sekaget itu. Siapa tadi yang bercanda soal narkoba lebih dulu?”
“Tadi aku nggak bercanda dan ini serius bukan L.Y.U?”
“Pencahar, percaya padaku. Kapan aku bohong padamu?”
“Selalu.”
“Kan itu hanya bercanda, lagi pula aku selalu mengaku. Yang barusan sungguh obat pencahar.”
“Tapi buat apa?”
“Nanti kau bakal tahu—oh, ya, itu obatnya cukup kuat jadi buruan ke kamar mandi. Aku nggak mau ngepelin feses kamu … ew.”
“Ew?”
“Ya, ew.” Childe mendorong Zhongli menuju ke kamar mandi. Semenit kemudian, Zhongli tak mampu menahan mulas dan segera mengurusi diri.
━━━━━━━
“Baru pertama kali pakai obat pencahar seumur hidup?” ucap Childe yang bersandar pada kepala ranjang.
“Seperti martini,” sahut Zhongli.
“Jadi malam ini, semuanya bakal yang pertama?” Childe menekan rokoknya pada asbak di atas nakas, mematikan bara.
“Maksudnya?”
“Kamu juga baru kali pertama bercinta, kan?” Childe mengibaskan tangannya, memanggil Zhongli agar mendekat.
Zhongli lantas duduk di tepi ranjang.
“Kan! Kalau ini bukan yang pertama, kamu tahu harus melakukan apa.”
“Bisa saja aku pura-pura?”
“Nggak percaya,” balas Childe sambil menepuk sisi kanan ranjang yang lenggang.
“Apa tidak bisa kau yang bergeser saja?”
“Aku mau lihat kamu merangkak.”
Zhongli berdecak.
“Nggak?”
“Nggak.”
“Baiklah, aku bakal mengalah.” Childe melepas kemeja marun yang ia kenakan, lalu menjatuhkannya pada lantai. Ia mengambil lub pada nakas, tepat di samping asbak, lalu turun dari ranjang hanya untuk berlutut di hadapan Zhongli.
“Ini mengalah?”
“Iya, kapan lagi kau dapat blowjob dariku?” Childe lepas handuk yang meliliti pinggang Zhongli. Lekas Childe hidu selangkangan Zhongli—seharum cendana, sebab itu aroma sabun yang Childe punya. Kecup-kecup ringan serta pijat pada pelir membangkitkan adrenalin masing-masing. Pada kepala pelir yang menodong, Childe buka mulutnya dengan legawa dan mengebut batang pelir itu.
Sambil Childe gelitiki kepala pelir dalam kemutan dengan lidahnya, ia mendongak. Dilihatnya Zhongli menggigit bibir, meredam desah, sekaligus memejamkan mata. Pria berambut cokelat eboni itu malu-malu, tapi Childe maklum karena pasangannya perjaka. Kalau sudah begini, ia harus buat tempo bercinta yang teliti dan jangan kelamaan mengayomi; sebab Childe tidak bisa sesabar itu dalam mendidik. Karena itu lah, Childe mendorong perut Zhongli sewaktu pria itu mulai menyentak-nyentak pinggulnya. Zhongli yang terlena membiarkan tubuhnya rebah di atas ranjang.
“Chil—ahhh … ngapain?” desahnya lolos sebab Zhongli, yang sudah mengangkang, merasakan sesuatu menyelip di satu-satunya lubang selangkangan yang ia punya.
Mata cokelat keemasan itu melirik turun, bertemu dengan biru gerau yang balik menatap. Kemut pada penis masih berlanjut, tapi pada buah pelirnya berganti di dalam dubur yang ditekan oleh satu persatu jemari Childe. Zhongli terus menyentak dan mendesah. Pandangan yang tertuju pada langit-langit kamar berwarna abu itu sesekali kabur, sesekali fokus.  Lalu, ketika ia rasa dirinya sudah sampai ejakulasi, Childe melepas diri: baik itu mulut yang sejak tadi mengemut maupun jemari yang memijat bibir.
Mani bercampur saliva itu menetes pada batang kemaluan Zhongli. Childe seka poni oranye miliknya, lalu menyobek bungkus kondom dan segera memasang (tentu, ia sudah melepas celana dan bertanjang bulat sama halnya dengan Zhongli), juga langsung memasukkan penisnya tanpa aba-aba.
Sekonyong-konyong tubuh Zhongli melenting bersamaan dengan pekik yang menggaung di dalam kamar itu.
“Childe, pelan—,“ ucapan Zhongli terhalang oleh desahnya sendiri. Tangan yang semula meremas seprei, kini merengkuh tubuh Childe di atasnya, menikam pundak pria itu dengan jemari kukunya dalam-dalam sambil merintih perih.
“Sshh,” desis Childe terdengar halus di telinga, seperti kecup yang mendarat di bibir, sekalipun dubur milik Zhongli terus diterobosnya kuat-kuat. “Rileks … seperti tadi. Bayangin lagi mulut ahh—ku, sama jari … tadi jari aja suka, ini lebih suka, kan?” Childe tekan pada titik yang melayangkan getar pada tubuh Zhongli.
“Di sini,” bisik Childe, “Enak, kan?”
Zhongli mengangguk-angguk sambil mengiyakan dengan lisan, tapi lafalnya tak karuan sebab desah terus menginterupsi ucapannya.
“Jangan diapit begitu, Zhongli, aku nggak—mmh!“
Zhongli memagut bibir Childe, menggigit hingga membuat si pemilik bar meringis. Mani mengucur membasahi perut, tapi Childe tidak di situ.
“Pa-panas … Childe, ngghh,” desau terkubur oleh kecup di bibir. Panas pada dubur sedikit terlupakan dan rasa takut akan kotorannya keluar pun luntur.
Bulir air mata yang bergulir di sudut mata Zhongli lekas dijilati oleh Childe seraya ia menarik penisnya keluar dari dubur. Childe bergeser untuk kembali di posisi awal sebelum mereka bercinta: duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kali itu, Zhongli mau merangkak dan menghampiri Childe. Sebagai hadiah untuk pasangannya yang berinisiatif, Childe hadiahkan kecup serta remas pada bokong sintal milik Zhongli; kiranya, bokong wanita saja bakal kalah dengan padatnya bokong pria ini.
Gairah yang terpanggil membuat mereka lanjut bercinta, bergonta-ganti posisi, meski tidak sampai pagi.
Pukul delapan malam lebih lima menit ponsel di atas nakas berbunyi.
“… hngg?” desau Zhongli sewaktu tubuh di belakangnya bergeser mengambil ponsel di atas nakas. “Kenapa?” tanya Zhongli.
Ajax kembali menyentakkan pinggulnya, sekalipun jemari maupun mata membagi fokus untuk membalas pesan di grup keluarga.
“Ada acara keluarga, tapi nggak apa. Masih bisa setengah jam lagi, kamu masih kuat, kan?” Childe remas pada bokong yang merah padam.
“Mhhm,” sahut Zhongli.
Dan mereka berlanjut lagi.
━━━━━━━
“Terima kasih karena sudah kooperatif, Arlen.”
“Arlen?” Arlecchino yang berdiri di dekat tangga itu menatap Childe dengan heran.
“Namamu.”
“Aku?”
“Ya, aku baru bikin nama itu buat kamu. Bagus, kan?”
“Ada-ada saja.” Arlecchino menggelengkan kepala, menepis omong kosong Childe. “Pria itu di mana?”
“Masih di kamar, tidur.”
“Lalu bagaimana? Kita ke Snezhnaya habis ini.”
“Aku sudah bilang ada acara keluarga tadi dan harus pergi. Aku tidak tahu dia masih sadar atau nggak saat aku bilang dia boleh menginap, tapi nanti pagi aku bakal chat dia.”
“Misi sukses?”
“Sedikit.” Childe menunjukkannya dengan telunjuk dan ibu jari kanan yang sedikit merapat.
“Ngomong-ngomong.” Arlecchino melempar sebuah kotak ke arah Childe. “Dari Signora, seminggu yang lalu dia titip itu padaku.”
“Ini bom?”
Arlecchino mengangkat bahu. “Ada dia tipe yang memberi bom sebagai kado ulang tahun?”
Childe tahu Signora tidak seusil itu sehingga ia simpan dulu kotak dari Arlecchino. Toh, kini, mereka harus menjemput Signora dan lekas pulang ke Snezhnaya.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
wither away
Ariake terus diam sejak dirinya dibawa pergi secara paksa oleh Ryuuki dari apartemen Tomomi. Tak ada sesuap makanan yang masuk ke dalam mulut, tidak ada pula jawaban atas tawaran untuk mengecek tubuh ke rumah sakit saat itu. Ia terus diam sampai siang, sampai Ryuuki lengah dan membiarkan Ariake sendiri di kamar, mengambil pisau kertas yang biasa ia pakai untuk membuka surat-surat pada meja, tapi kali itu pada pergelangan kiri, ia sobek dalam-dalam.
 Darah mengucur tanpa henti, matanya terus melihat pada pergelangan yang tersayat. Lama kelamaan kepalanya terasa pening hingga tubuhnya ambruk ke lantai. Dari luar kamar, Ryuuki bergegas mengecek keadaan, membebat luka agar darah berhenti mengalir, dan melarikannya ke rumah sakit.
 Saat terbangun, dokter menanyainya macam-macam, tapi tidak ada satu pun balasan oleh mulutnya yang membisu atau tatapannya yang tidak pernah lepas dari langit-langit kamar rumah sakit itu. Tidak ada lagi hal yang memberikannya alasan untuk tetap makan, bersuara, hingga mencurahkan air mata—apalagi tawa. Semuanya hilang ketika Tomomi menyuruhnya pergi dan tidak menghubunginya sama sekali.
 Hingga keesokan harinya, saat Hana ada di sisinya dan memegang tangannya, barulah Ariake berkata, “Aku enggak mau di sini.”
 Hana belai wajah cucuknya itu dengan lembut dan bertanya, “Ariake-san ingin pulang ke rumah?”
 Lalu Ariake kembali diam.
Keesokan harinya, Hana mengusap tangannya dan berkata, “Ariake-san, lihat, Tomomi-san datang berkunjung.”
 Ariake menoleh ke arah pintu. Ia melihat Tomomi yang datang dengan sebuklet lili dan krisan putih, tapi tidak beranjak dari dekat pintu yang telah tertutup.
 “Tomomi-san, tidak apa, kemarilah,” ujar Hana, sambil tersenyum dan mengangguk. Wanita paruh baya itu pun berdiri dengan perlahan, lalu menyambut Tomomi dengan pelukan hangat. Ia bisikan lagi, “Tidak apa-apa,” pada pemuda pirang itu, lalu mengambil buket bunga tersebut.
 “Ariake-san, lihat, bunga-bunganya cantik, ya,” kata Hana. Ia bawakan buket itu pada pelukan tangan kanan Ariake, lalu tersenyum senang melihat cucuknya lebih banyak merespon kata-kayanya dari kemarin. “Tomomi-san duduklah dulu. Saya siapkan teh, ya.”
 “... Tidak usah repot-repot, Ito-san,” katanya dengan ragu, lalu melirik Ariake, pula pada tangan kiri yang menggapai. Tomomi ulurkan tangannya dengan hati-hati, sebagaimana ia menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlihat sedih adan menahan air matanya tidak menetes jatuh. Tangan di genggamannya terasa kurus dan dingin, di lengannya terbebat pula perban yang membuat Tomomi segera mengalihkan perhatian dan memaksakan senyuman saat tatapannya bertemu dengan kedua pasang kadru yang berkaca-kaca.
 “Tomo—mi.” Rona menjalar pada wajah pucat yang menjadi tirus dalam hitungan hari. Setelah tiga hari lamanya bermuram durja, senyum terbit di bibir. Ia merasa senang melihat Tomomi ada di sana dan sempat berpikir bahwa ajal telah menjemputnya dengan mendatangkan malaikat maut dengan wujud Tomomi di sana. Ariake pejamkan matanya saat Tomomi mengecup kening. Bisik lirih yang mengatakan, “Aku di sini,“ membuat Ariake merasa tenang lebih dari biasanya.
 “Ariake-san belum lama makan siang dan diberi obat,” ujar Hana yang kembali dengan secangkir teh yang ia taruh di atas nakas dekat Tomomi. Lansia itu pun berjalan ke sisi lain ranjang dan membelai pipi sang cucuk. “Ariake-san tidak perlu memaksakan diri, tidur saja. Ada saya dan Tomomi-san di sini,” jelasnya.
 Ariake mendengarkan ucapan Hana sekalipun tatapan matanya tidak lepas melihat Tomomi. Sekalipun telah diberi obat, selama tiga hari ini ia kerap terbangun oleh mimpi buruk. Namun, untuk siang itu, Ariake mencoba percaya pada ucapan Hana.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
Salut d’Amour 16.5
Warning: R18.
Itu merupakan sore hening di ruang musik. Katakanlah, keheningan itu hanya berlaku bagi mereka yang berada di luar lantaran di dalam sana, kecup terus menggema dan desah saling beradu siapa yang paling panjang dan siapa yang memanggil paling mesra.
Awal mulanya begitu sederhana. Hari itu Tomomi datang ke sekolah membawa biola yang baru dibelinya. Ia meminta Ariake untuk memainkan biola itu, seolah-olah menguji keahliannya pemuda berambut cokelat itu padahal hanya ingin mewujudkan apa yang ingin ia lihat: seseorang bermain biola di depannya, lalu mengamati ceruk leher orang itu lama-lama.
Tomomi mencoba menahan diri. Cukup lama ia bersabar sampai-sampai mencari distraksi dengan bermain piano sebagai pengiring Ariake memainkan Salut d’Amour, sempat pula memainkan lagu Selamat Ulang Tahun padahal keduanya berulang tahun di musim semi, sementara sekarang sudah musim gugur.
Namun, terlalu lama memperhatikan dan sempat pula digoda sebentar, Tomomi berhenti mengiringi dan memeluk Ariake yang masih bermain biola, membuyarkan fokus Ariake oleh kecup di leher dan tangan yang menggerayangi lengan yang memegang bow biola. Izin pun terucap dan afirmasi diberikan. Tomomi melepas pelukan mereka, menepis properti yang dijadikan alasannya untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Ariake, lalu menyusun barang krusial di atas piano.
Kemudian Tomomi menghampiri Ariake yang menanti untuk dijamah lebih. Tangan Ariake memegang kedua pundak Tomomi. Bibir saling pagut, mata terpejam erat. Jejak saliva terasa membasahi  leher. Dinginnya gigi, isapan lama, dan remas di bokong tak mampu membuat Ariake berhenti mendesah.
“Ngghh ... Sayang, jangan ... pelan-pelan,” ucap Ariake yang merasa dasi di bawah kerah mengendur. “Maksudku ... jangan terburu-buru, Tomomi.” Ibu jarinya menyentuh bibir Tomomi, menghentikan serangkaian kecup di sekujur leher.
Tangan Tomomi menelusup di bawah blazer, merayap ke atas pada pundak, lalu menanggalkannya perlahan bersamaan dengan bibir yang dikulum lama.
Decap mengawali ucapan dari Tomomi, “Segini cukup?”
Blazer Ariake dihempas ke lantai, menyisakan rompi dan kemeja. Ariake mengangguk, melepas rompi abu-abu itu sendiri untuk mengurangi gerah dan memberi akses lebih mudah agar Tomomi bisa menjamah. Namun selanjutnya, pada kancing kemeja yang melintang di dada, Tomomi lah yang membuka. Bibirnya pun ikut turun dari rahang, leher, pada tulang selangka yang disapu oleh lidah lalu dikemut lama, turun pada dada, dan mencecap ujung puting yang menegang sambil masih membuka semua kancing kemeja yang tersisa. Sentuh dari gigi menghasilkan tawa di antara desah. Diiringi alunan tawa, tangan Ariake merosot turun, menyelip masuk di bawah kaos Tomomi, dan menekan pusar dengan ibu jari.
“M-maaf,” kekeh Ariake tertahan sewaktu mulut Tomomi menekan secara mendadak, membuat dirinya pun tersentak. Tangan Ariake beralih melepas blazer, membuka kancing, namun gerakannya tertatih karena fokusnya terbagi.
“Ini yang ke berapa?”
“Apa?”
“Ciumannya. Yang barusan, sudah ke berapa, hm? Ingat?” Jemari tangan melepas kemeja putih, menyisakan kaos tanpa lengan pada tubuh Tomomi. Ariake kecup ujung pundak Tomomi. “Seperti ini,” kata Ariake. “Yang pertama. Mulai sekarang, kamu hitung,” tuntutnya.
“Hanya itu?”
“Iya, mudah, kan?”
Dan Tomomi mulai menghitung. Kecup pertama pada otot dada, bergeser pada areola kiri—ciuman kedua—yang kemudian ia cecap dengan lidahnya hingga menyenggol puting kiri, mengapitnya dengan bibir, lalu berhenti tiba-tiba hanya untuk bertanya, “Yang barusan terhitung cium, kan?”
“Mm, tiga.” Walau hanya sekejap, walau alpa decap, Ariake menganggap ciuman itu ada.
Lalu Tomomi mendorongnya duduk, permintaan verbal pun terucap. “Duduk saja, dari tadi kamu kan berdiri.”
“Hee, bukan karena ingin ini?” Disinggungnya kejantanan Tomomi dengan miliknya.
“Kamu bilang pelan-pelan,” balasan Tomomi bukan hanya melalui verbal, tapi juga gesek yang serupa di bawah sana.
“Pintar.” Ariake melumat bibir Tomomi, menyelusupkan lidah di antara gigi, mendorong kepala Tomomi agar lidahnya bisa menjamah lebih dalam sembari mengadu abaimana di balik celana yang mulai menyesakkan.
Ariake melangkah mundur ia seka bibirnya yang basah dengan ujung lengan kemeja. Dilepasnya kemeja itu seutuhnya, lalu ditinggalkan di lantai bersamaan dengan pakaian mereka yang lain. Kemudian Ariake duduk seperti yang Tomomi kehendaki. Bibir pemuda berambut pirang itu pun kembali meninggalkan jejak di sekujur tubuh, pun pada kulit yang tak lagi terhalang oleh celana. Kadru dan pirus itu pun bertukar tatap.
“Aku mau,” pinta Ariake, sekalipun Tomomi belum menyuarakan tanya. Kakinya membuka, menambah ruang agar Tomomi bisa meraba dan merasa dengan leluasa. Sekilas ia melihat ke arah pintu yang tertutup rapat, bertanya-tanya apa yang akan Tomomi lakukan semisal ada yang lewat dan mendengar mereka, bukan alunan musik ataupun tarikan suara untuk melantunkan lagu. Hanya desahan nama atau pujian-pujian ringan yang terputar di ruangan itu.
“Tomomi,” tangan Ariake menjambak helaian pirang itu, memaksa pemiliknya untuk mendongak, tapi tidak memberikan mulut itu berhenti mengenyam kejantanannya. Napasnya berat, wajahnya panas. “Kalau aku,” ludahnya ditelan, “... punyaku, bakal kamu—“ ucapannya kali itu terhalang oleh desah yang menginterupsi. Matanya terpejam, mengerang selagi mengeluarkan air mani hingga tuntas. “Habiskan?”
Tomomi menghisap, mengumpulkannya dalam mulut, lalu bibir itu terbuka menampakkan isi di dalam sana sebelum menelannya. Degup jantung keduanya sama kencang, tapi Ariake yakin miliknyalah yang bertalu lebih keras saat itu, terlebih saat Tomomi tersenyum menggoda sehabis menjilat bibirnya, tidak mau meninggalkan setetes mani pun di sana.
Ariake menunduk, meraup bibir itu. Tangan Tomomi mengusap pinggul kiri dengan kanji namanya sendiri pada tubuh Ariake.
“Ini ... ke berapa?” Ariake bertanya di sela kecup.
“Delapan,” lalu Tomomi melanjutkan kecup. “Sembilan, di bibir.”
Tomomi berdiri, menarik Ariake pula untuk berdiri. Ariake kira mereka akan melanjutkan dalam posisi berdiri atau malah Tomomi ingin berdansa dulu—bermain-main lebih panjang. Namun rupanya Ariake diminta duduk pada paha Tomomi yang ditepuk. Senyum Ariake merekah, senang karena Tomomi ingat apa yang dirinya suka. Ia pun duduk usai melepaskan celana Tomomi dan sempat meninggalkan kecup pada pinggul kiri Tomomi dengan sepenggal kanji nama Ariake yang terpatri. Tangan Ariake melingkar di leher Tomomi, lalu kepalanya menoleh ke samping untuk berbisik, “Kamu pernah membayangkan yang seperti ini?” Tomomi bilang pelumas maupun kondom yang ada di dalam tas terbawa karena kebiasaan lama . Namun, sudah sepatutnya Ariake menaruh curiga dengan tipu daya senyum Tomomi ataupun gelagatnya yang menahan nafsu sejak memperhatikannya bermain biola.
"Aku membayangkan kita melakukannya di depan piano, atau di depan pintu saat sekolah masih ramai,” aku Tomomi.
Tawa Ariake mengawali desah panjangnya saat satu jari menjelajahi dubur.
“Aku ... sudah bersihkah, loh.” Sebelum bertemu dengan Tomomi ia sudah pergi ke toilet, mengosongkan isi perut. Bukannya ia berpikir akan melakukannya di sini. Hanya saja, siapa tahu Tomomi ingin meminta buru-buru ke kamar dan mereka melanjutkan kegiatan ekstra mereka yang tidak terencanakan itu di sana. Sebab belakangan, tiap tangan Tomomi mulai menggerayangi bokongnya, lebih-lebih pinggulnya, Ariake selalu merasa,
“Aku mau kamu.”
Karena, “Kamu terlalu menggoda.” Tatapan sayunya tertuju pada sepasang pirus milik Tomomi. Wajah si pirang ditangkup oleh sebelah tangan. Kadru itu pun kembali bersembunyi di balik kelopak mata ketika satu jari ditambah. Ariake lumat bibir Tomomi agaknya lebih keras dari yang biasa, terlebih saat terdengar cekikik tawa murid-murid perempuan yang melintas di lorong sekolah.
“M-maaf,” gumamnya, memastikan tidak ada luka di bibir Tomomi.
“Tidak apa.” Tomomi kecup bibir dan pipi Ariake dengan singkat, lalu menanamkan sekuntum rona di leher Ariake yang ia hisap lama. Ariake balas pada sisi yang sama, yang menurutnya persis di sana dan intensitas yang sama.
“Kalau di apartemenmu—lain waktu, kita lakukkan di depan piano.” Kalau saja Tomomi membeli grand piano, Ariake bisa mengajaknya melakukan di atas sana. Namun, ide itu Ariake pendam dalam-dalam karena tahu Tomomi bakal menuruti kemauannya. Sayang, kalau piano mahal malah beralih fungsi menjadi ranjang tempat bercinta.
Jemari Tomomi meninggalkan dubur, Ariake pasangkan kondom pada kalam yang menyembul di bawah sana. Lalu kedua lututnya bertumpu di sisi tubuh Tomomi, pada kursi yang menopang bobot mereka berdua. Kedua tangan Ariake meremas pundak Tomomi, bersamaan dengan remasan pada bokong yang diarahkan turun. Napasnya tercekat ketika ujung kalam yang menyentuh bibir dubur, perlahan masuk mencari celah di antara desah dan decap kecupan. Sempit dan sesak kian terasa, membuatnya memeluk lama setelah milik Tomomi berhasil masuk ke dalam.
Dalam pelukan, tak ada yang tahu degup siapa yang memulai mars lebih dulu dan siapa yang terseret dalam tempo itu. Pun keduanya tidak lagi peduli selain pada gesek yang tercipta, yang sekalipun pelan masih mampu membuat jantung mereka terpacu cepat.
“Tomomi, kamu ... kamu pernah belajar berkuda?”
“Mhm,” balas Tomomi selagi menciumi leher Ariake yang semakin penuh oleh bekas kecup.
“Aku belum. Begini ... enggak sih?”
Gelak tawa Tomomi membuat gerakan Ariake terhenti. Kerut menghiasi kening Ariake yang kemudian dibubuhi kecup. “Berkuda, tuh, lebih sulit daripada ini. Mau coba?”
Ariake bergeming menatap Tomomi. Ia masih sulit untuk membedakan kapan Tomomi bercanda, menggoda, atau berbicara serius. Ariake kira, ucapan Tomomi barusan diajukan untuk menggodanya sehingga pikiran liarnya berlabuh pada satu dewa dari mitologi Yunani.
“Mau meniru Zeus? Melakukannya di atas hewan.” Ia balas dengan jenaka karena pikirannya yang mengada-ada.
“Mau coba?” tapi Tomomi membalasnya dengan tanya.
“Enggaklah.” Ariake bergerak lagi. “Kotor, enggak enak, lalu kalau jatuh—kan, bahaya.” Aset mereka perlu dijaga baik-baik, Ariake mulai memperhatikan hal itu sejak menjadi milik Tomomi beberapa bulan yang lalu.
“Tapi kalau berkuda saja ... aah—ku mau,” tambah Ariake yang masih saja penasaran dengan kehidupan orang berpunya.
Gerakannya masih setia di tempo yang sama, moderato, mengikuti detik jam dinding yang suaranya teredam oleh desah yang saling bersahut. Kata-kata cinta terbisik di telinga Tomomi, membuat telinga itu memerah dan menambah keinginan Ariake untuk mengembuskan napas dan terus membisikan kata cinta sampai akhirnya ia mengulum daun telinga itu selagi mani membasahi kaos Tomomi yang masih terpasang, berbeda dengan Ariake yang telanjang seutuhnya.
“Seperti ini dulu,” pinta Ariake ketika bibirnya menyapu pipi Tomomi.
Berhubung itu musim gugur sekalipun penghangat ruangan menyala, Tomomi bertanya, “Nggak kedinginan?” tawa pelan dari Tomomi menggelitik telinga. Punggung Ariake diusap dan ciuman pada leher maupun pundak bertambah.
“Berapa?” Kepala Ariake bersandar di pundak, memejamkan matanya selama mereka masih saling mendekap.
Tentu, Tomomi masih ingat dengan kuis dadakan yang sempat Ariake berikan beberapa kali di pertengahan.
“Dua puluh lima di leher, sembilan—mmph, sepuluh di pundak kiri.” Tomomi menyudahi dan menyisiri rambut cokelat Ariake yang lembap oleh peluh. Ia tatap lama sepasang kadru milik Ariake lalu bilang, “Aku menyayangimu.”
Pelukan Ariake mengerat, pada tangan pun liang dubur. Matanya basah oleh air mata yang menggenang, tapi ditahannya agar tidak terjatuh segenap tenaga. Haru dan suka cita bercampur aduk di dalam dada. Bisa mendengar Tomomi, yang selalu bodoh dalam menerjemahkan emosi, mengatakan sayang selalu memberikan kesenangan yang berbeda.
“Mhm,” kecupan mendarat di pangkal hidung Tomomi. “Aku mencintaimu,” balas Ariake yang mengunci luapan suka cita itu pada kuluman lama di bibir, mengakhiri sepenggal kisah kasih mereka di ruang musik sekolah.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
Epilogue: Day 4
trigger warning: jika kamu perasa, siapkan gula. Ini emo banget—buat yang peka. Ada d-word, disensor, dan ya—metafora.
Itu hari keempat, dan masih tidak ada niatan untuk minggat. Kawan Ariake kurang dari empat, sehingga tidak ada lagi orang yang waktunya bisa ia embat.
Mau itu untuk membuka mata, bergerak, hingga bernapas—semuanya terasa berat. Waktu seolah bergerak amat lambat. Tiap kali ia ingin memikirkan hal-hal yang menyenangkan, selalu saja ada yang menghambat. Ujung-ujungnya, ia menyerah dan memilih untuk—
mangkat.
.
Ariake tidak pernah berpikir hal itu membuatnya merasa menjadi teh celup. Ia berada di wadah yang besar, lalu terpapar basah sebentar. Ia lakukan berulang dan lama kelamaan ia jadi kuyup.
Awal-awalnya terasa ringan dan cepat, tapi semakin sering ia lakukan, semakin panjang jeda di antara celupan. Jika itu memanh benar teh, air sudah menjadi pekat. Dan kalau ia menjadi liliput, sulit untuk melihat ketika ia berenang di dalam air teh yang pekat, benar?  Seperti yang ia lihat tadi. Atau kemarin? Ia tidak tahu. Ia belum bertanya apa pun mengenai waktu, mengenai dirinya, mengenai orang-orang yang bersamanya, atau sosok asing yang berada di sana. Sejak tadi, ia hanya menerima pertanyaan, dan ia hanya menjawab apa adanya.
“Ada. Aku dengar dia meminta dibuatkan teh,” jawabnya ketika ia ditanya apakah ia mendengar sesuatu sebelum itu. “Ia bilang, buat yang pekat. Rendam agak lama. Jadi aku rendam lama. Sampai gelap. Kupikir dia bakal suka, tapi ternyata ... tidak datang juga, ya?” Tawanya terdengar kering.
“Lalu aku ingat, Bibi Ito bilang kalau Ayah senang teh hijau yang diseduh sebentar. Dua menit. Airnya hangat. Jadi, warnanya tidak pekat. Ringan, rasanya seperti minum air—tapi yang kuteguk waktu itu, berat. Bikin ... sesak.” Ia meremas dada. Setidaknya, hari itu ia sudah bisa bernapas agak lega, tidak perlu ada alat bantu.
“Enggak,” ketika ditanya apa suara itu masih ada, Ariake menggeleng. “Tapi aku merasa terus-terusan mengantuk dan—tenang. Aneh.” Ia perhatikan infus di tangan.
Lalu ia mendengarkan penjelasan yang padat dari pria yang terus mengajaknya bicara sambil mencatat; yang duduk di sebelah ranjang dan memperhatikannya dengan pandangannyang teduh sebagaimana dengan suaranya yang membuat perasaannya tentram.
“Ya, aku mau,” ia menggumam pelan. “Mohon bantuannya, Sensei.”
Jika kemarin-kemarin ia berpikir ini adalah akhir dari kisahnya, hari itu yang terpikirkan adalah sebaliknya: Ini bukan lagi epilog, melainkan telah menjadi prolog dalam kehidupannya.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
白日
Trigger Warning: (a lil’ bit of) depression, suicidal, and bdsm ref: 白日, kido's
1
Ariake bertemu dengan gadis itu di musim panas secara kebetulan. Bagaimana gadis itu mengecup dirinya atau Ariake yang membiarkannya melakukan segalanya. Itu semua membuat dirinya tersadar bahwa ia bisa memiliki sesuatu yang dirinya inginkan; hanya untuk dirinya seorang; tidak ada sangkut pautnya dengan ayah atau pun persona yang ia buat untuk mendapatkan simpati orang. Lantas, hubungan itu terus berlanjut sampai-sampai ia melakukan hal yang gila.
“Lebih dalam,” gadis itu pinta, membuat Ariake menekan jemarinya pada punggung gadis itu. Atau dia akan bilang, “Lebih keras,” setiap kali Ariake menggigit bibir gadis itu.
Mulai dari menggenggam tangan, hingga mencium bibir. Gadis itu selalu ingin ada luka yang tersisa di tubuhnya. Ia bilang, “Ini tandanya kau menyukaiku. Semakin banyak yang kau torehkan, semakin besar cintamu padaku.”
Dan Ariake menurut. Ia lakukan segala hal yang gadis itu suka. Hal-hal gila yang melewati batas moral yang selama ini ia banggakan.
Lalu, tiba-tiba gadis itu hilang di bulan yang sama ketika mereka bertemu. Mungkin itu karena sikapnya yang acuh-tak acuh. Atau pula, gadis itu semakin takut karena ia kerap kali menorehkan luka lebih dalam dan tidak menahan dirinya yang melewati batas yang hanya akan menambah duka.
Ariake dengan segala egonya yang tinggi, menganggap itu semua salah gadis itu. Ia mencerca tiap tingkah yang gadis itu lakukan padanya. Sampai suatu hari kabar itu datang. Ia geram, pada mulanya, karena tidak sekalipun mendapat telepon dari nomor yang telah lama tidak ia lihat. Namun, bukan suara gadis itu yang terdengar di seberang, melainkan seseorang yang tidak ia kenal. Yang membuatnya lari meninggalkan kelas seperti orang kesetanan. Yang membuatnya menunggu untuk hal yang sia-sia semalaman.
Keesokan harinya, pertama kali di hidupnya, sang ayah memberi atensi: untuk kelakuan gilanya; untuk gadis yang menyesatkan anaknya; dan untuk hasil dari kebodohan anak satu-satunya.
2
Sejak saat itu Ariake terus menutup diri. Ia akan menyalahkan gadis itu setiap kali tingkah lakunya salah. Setiap kali kebiasaannya bangkit ke permukaan. Tanpa ia sadari, semua itu membuatnya menyiksa diri. Dan itu semua dilakukan sepanjang hari. Yang membuatnya terus berbaring di UKS dengan sejuta alasan. Atau membuatnya kebablasan.
Perempuan dan laki-laki tidak punya pembeda di matanya. Ia mendua, mau itu bersama dengan perempuan dan laki-laki. Posisinya pun bakal berubah-ubah: kadang menerima, kadang memberi. Apabila dirinya ketahuan, hanya bisa menyerahkan diri. Dia tidak pernah melawan, tidak pernah menentang, karena itu memang kesalahannya. Karena yang Ariake butuhkan adalah tempat pelampiasan. Dia senang menyiksa sampai mereka tidak berdaya. Itu semua tidak ia lakukan dengan suka cita. Dia gigit sampai beradarah, mencengkeram hingga tertanam luka, atau pun menggenggam menjadi biru. Namun, semua yang ia lakukan bukan lagi caranya untuk menunjukkan cinta. Karena suara yang ia dengar, yang merintih riang, bukan lagi suara_nya_.
Lalu Kido Akihiro itu memasuki kehidupannya. Penampilan maupun tingkahnya tidak biasa. Sampai pula Ariake berpikir bahwasanya sesi belajar mereka, dibuatnya untuk berpura-pura. Tangan yang bertaut, serta bibir yang dikecup. Setelah malam yang kasar itu, pemuda tersebut masih meminta untuk menghabiskan waktu bersama. Di tempat-tempat yang tidak terduga. Ia juga yang jadi alasan mengapa wajahnya bonyok di bulan Desember karena ketahuan membawa masuk Akihiro ke apartemennya.
Setelah itu, Ariake tidak mengira, bahwa ia telah membuat ruang untuk Kido Akihiro. Ruangan yang berbeda dengan Amagase Taiyou, tetapi masih membuatnya masih bertahan untuk tetap ada. Namun, Ariake menyadari, tanpa perlu pemuda itu mengatakannya dengan lugas, Akihiro enggan disebut dengan nama depan maupun tidur bersama dan membuka mata dengan orang tidur dengannya kala pagi datang. Ia tahu itu semua dan masih memaksa. Ia gunakan kesedihannya, bertingkah seolah dirinya manusia paling merana sedunia, bahkan berani merangkai dusta hanya untuk tetap bersama, dan ditempatkan khusus di hatinya. Ia menggunakan Akihiro yang selalu tega untuk tetap bersamanya.
Namun, di saat bersamaan Ariake terus menekan perasaannya dan berusaha membuat Akihiro tidak curiga. Ia takut dirinya ditinggal karena memendam perasaan. Di saat Akihiro memangkunya, Ariake selalu menyembunyikan wajahnya di sisi kepala Akihiro, atau menunduk sehingga tidak jelas ekspresinya yang menyukainya dan ingin terus bersamanya.
Ariake tidak pernah mau melepas pelukannya. Mau itu ketika Akihiro mendorongnya pada pintu, atau membuat kedua tangannya bertumpu pada meja, atau melakukan yang lainnya di tempat yang berbeda-beda dan tidak biasa: toilet, studio, di hadapan cermin, dan banyak lagi. Dari semua yang pernah ia lakukan, yang Ariake paling suka adalah ketika ia berada di pangkuannya (—dan ia berpikir Akihiro juga sama), sedangkan yang paling sulit ialah di depan kaca karena susah untuk mengatur ekspresinya.
Ariake terus melakukannya. Ia membiarkan Akihiro memperlakukannya seperti kawan dengan hobi yang sama. Padahal, di tiap kecupan mereka yang dalam, Ariake selalu berharap agar Akihiro menyadari perasaannya tanpa harus meninggalkannya.
Mungkin ini semua terjadi jadi karena Ariake yang begitu ahli dalam berpura-pura. Ia bahkan bisa menutupi ekspresinya ketika Akihiro mengenyamnya, membuat pikirannya melayang—sungguh—, tetapi ia redam suaranya, menutup wajahnya pula, dan berkata, “Jangan lakukan itu lagi,” usai melihat bayangan mereka di depan kaca. Ia merasa takut. Jika Akihiro menyadari perasaannya, ia akan pergi meninggalkannya. Dan ini bertentangan dengan harap sebelumnya.
3
Dan rupanya kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Belum ada setengah tahun perasaan itu ada. Tetapi semuanya hilang dengan tiba-tiba.
Itu semua terjadi ketika Akihiro datang padanya. Ariake heran melihatnya nestapa. Ia pikir Akihiro kenapa-kenapa. Ia tidak ingin berburuk sangka, tapi, ya, ini Akihiro—yang selalu mendahulukan nafsu daripada logika. Tetapi pemuda itu menciumnya. Dengan cara yang berbeda. Dengan memejamkan mata. Ariake pikir, dirinya telah mendapatkan hati Akihiro tanpa perlu berpura-pura. Tanpa harus menorehkan luka. Atau perlahan mampu menunjukkan rasa suka dengan terbuka.
Lalu Ariake pun menyadar: mimpi hanya akan menjadi mimpi. Ia tengah bersedih, tapi disembunyikan ekspresinya dengan baik. Toh, ia pandai melakukan ini.
“Kau mau mencoba mainan baru?” Ia tertawa, untuk kebodohannya sendiri, dan kembali berpura-pura. Ia tuli dibuatnya. Pertanyaan Akihiro tidak ia dengarkan dengan saksama.
“Atau sekarang kau makin brengsek, Akihiro?” tawa yang ia berikan saat itu merupakan cemoohan. Akihiro mempertanyakan. Dan Ariake membuatnya kembali mengingat percakapan di pagi hari yang membuatnya berharap karena Ariake tahu hal apa yang bisa menahannya untuk tetap bersama, menyebut namanya, atau mengenalinya lebih banyak.
Ariake biarkan pemuda itu menyentuh dirinya sesukanya. Seperti yang sering ia bilang, “Kau bisa melakukan apa saja padaku.” Ariake mengakui, suaranya tidak secerah biasanya. Tidak ada pula senyum yang biasa menyertai. Di saat yang sama, Ariake tidak pernah mengaku kalau ia telah memberikan perlakuan khusus pada pemuda itu. Sebab sepulangnya mereka dari Fukuoka, ia tidak lagi bermain-main dengan orang lain selain Kido Akihiro. Ia hanya melihat Akihiro seorang, melabuhkan pandangan penuh cinta, atau pula berusaha terbuka.
Namun, hal yang terus Ariake pendam tidak lagi bisa ia tahan selamanya. Luka terus mengiris; dari semula tipis, tapi semakin lama hatinya semakin terkikis. Sulit bagi Ariake untuk melihat Akihiro dengan cara yang sama. Akihiro yang memejamkan mata, yang tidak lagi melihatnya, bukanlah hal yang Ariake suka. Memang, selama ini Ariake selalu mencoba menyembunyikan ekspresinya. Namun, melihat Akihiro yang kali itu melakukannya, membuatnya kehabisan kata.
Pelukan, mau itu dipangku atau sewaktu berdiri, yang Ariake rasakan adalah semakin dingin. Atau kecup pada bibir, pada leher, atau di mana pun yang Akihiro sukai tidak lagi membuat Ariake berdebar. Bahkan tiap kali mereka berdiri di balik pintu untuk melepas nafsu, Ariake tidak lagi peduli apabila semua orang mendengar.
Mungkin ini memang sudah saatnya, pikir Ariake. Waktunya telah tiba. Akihiro akan membuangnya. Semakin lama Ariake mencoba untuk menghindari pemuda itu. Ia gunakan berbagai alasan hanya untuk membuat jarak di antara mereka. Ariake hanya tidak ingin dia terluka lagi untuk kedua kalinya karena menyimpan rasa terlalu dalam. Meski begitu, sulit bagi Ariake untuk memungkiri. Tangannya selalu terbuka untuk Akihiro. Ia masih memberikan apa yang Akihiro suka. Meski itu membuatnya terluka.
Dan Akihiro tidak berhenti sekali itu saja. Ia terus bersinggah, meminta macam-macam padanya, dan menjadikannya tampak seperti boneka. Ariake tidak pernah suka ketika orang yang bersamanya tidak memberi perhatian padanya. Atau memikirkan orang lain, sebenarnya. Tetapi ia masih melakukan itu semua untuk Kido Akihiro.
Dan jika kau bertanya, “Mengapa?”
Tentu, luka yang ia torehkan menjadi penyebabnya.
Karena itulah peninggalan gadis yang mengajarinya cinta.
4
Ariake tidak pernah tahu siapa yang ada dalam bayangan Akihiro. Ia tidak pernah ingin tahu. Ia membiarkan Akihiro memejamkan mata, membayangkan orang lain di sisinya. Bahkan Ariake sampai-sampai menahan suara. Karena jika ia bersuara, imajinasi Akihiro akan buyar. Ia mencoba untuk menjadi sosok yang pengertian. Dan menahan sakit di dada.
Ariake pikir dirinya bisa bertahan lama. Ariake pikir tak apa jika Akihiro tidak lagi melihatnya dengan cara yang sama.
Tetapi niatannya dan usahanya itu tidak bertahan lama.
Ketika nama Hongo Makoto disebutnya di sela mereka bersama, Ariake tidak lagi bisa menahan sakit yang ia pendam begitu dalam. Ia dorong tubuh Akihiro, membuat mereka berhenti di pertengahan, membuat pemuda berambut merah itu kebingungan.
Ariake marah, pun kecewa. Ia tidak pernah menatap Akihiro dengan cara yang sama seperti sekarang. Menatapnya seolah pemuda itu makhluk paling hina sejagat raya. Ariake masih berdiri agak lama. Ia mengerjapkan mata, berharap emosinya terpendam seperti sedia kala. Tapi ia tidak bisa. Ini limitnya.
Jika Ariake berlama-lama di sana, tangisnya bakal pecah. Dia bakal menjadi orang tolol yang menderita hanya karena sebuah nama. Ketakutannya muncul ke permukaan, tetapi ia gantikan itu semua dengan ego serta dusta.
Sudah dibilang, Ariake paling jago bersandiwara dan punya ego setinggi angkasa.
Ariake pergi dari sana dengan kelihatan marah, bukan karena kecewa. Ia tahan air matanya dengan sebuah tatapan tajam. Ia berpakaian dengan asal, tidak peduli apabila orang lain menerka yang kedua remaja itu lakukan di dalam kamar. Ariake keluar dengan tangan yang terkepal. Di belakangnya, ia dengar Akihiro memintanya berhenti dan melolongkan namanya. Ariake tidak berpaling. Jika ia menatapnya, apa yang ia sembunyikan akan muncul ke permukaan. Ia bahkan menyalak, “Pergi,” tanpa menoleh, dan setajam belati suaranya.
Ariake memejamkan mata. Ia tepis tangan yang menahannya dan dengan ucapan yang masih sama dinginnya, “Kenapa tidak kau lakukan langsung dengannya?” seringai terlukis di bibirnya. Bukan itu yang ingin ia katakan sesungguhnya. Yang ingin ia katakan adalah, ”Mengapa aku tidak bisa menjadi satu-satunya?” Tentunya kau sudah hafal dengan sifat yang ia banggakan: dia pandai berdalih dan itu dapat ia lakukan sekejap saja.
“Atau lakukan saja dengan orang lain. Sudah pasti kau bisa melakukannya, kan?” lagi, bukan itu yang hendak Ariake katakan. Ia ingin bilang, ”Jangan tinggalkan aku. Aku tidak suka melihatmu dengan yang lain.”
Ariake tahu, Kido tidak hanya melakukan semua itu padanya seorang. Namun apa salah untuk berharap? Meski dengan bodohnya ia terus berdalih dan menyembunyikan segalanya.
Ariake, yang hanya bisa bertahan sampai di situ saja, berjalan meninggalkan Akihiro tanpa kejelasan. Namun, Akihiro masih menahannya. Hentikan. Kesedihan ia ganti dengan amarah, sama seperti dulu—pada gadis itu. Jadi ia gerakan tangannya, menujukan sisi kejamnya di depan umum, tapi bukan untuk mengasihi, bukan pula untuk memberi tahu bahwa itu adalah caranya menunjukkan cinta. Ia lakukan itu semua karena sakit hati, juga karena benci.
Ariake mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatnya berantakan—baju dengan bagian bawah yang keluar, blazer yang ia tanggalkan dan dibawanya pada lengan, maupun rambut cokelat yang acak-acakan. Pada akhirnya, ia bisa meninggalkan Akihiro yang membisu.
5
Bukan kamarnya yang kini ia tuju. Langkah kakinya membawa dirinya dengan cepat ke gedung sebelah. Ketika sampai di depan pintu kamar Taiyou, ia mengetuk. Ia jadikan pintu seumpama drum yang ia ketuk terus-terusan sampai Taiyou keluar.
Ariake langsung memeluk Taiyou yang baru saja membukakan pintu. “Aku sedang kesal … dan sedih kurasa,” ia diam sejenak. “Teman sekamarmu ada di dalam?”
“Ya,” Taiyou menjawab dengan datar dan mengedik ke belakang.
“Boleh aku pinjam dirimu? Ke tempatku.”
Taiyou, anehnya, setuju. Ariake meninggalkan asrama dengan menggenggam erat tangan Taiyou. Pandangannya bergetar dan ia gigit bibirnya lama-lama. Ketika ia sudah sampai di tempat tinggalnya yang kedua, semuanya tumpah. Tubuh Taiyou dipeluknya. Taiyou mengernyit heran. Ia tidak mengerti mengapa Ariake melakukannya atau terdengar sedih. Lantas ia dengar sebuah pengakuan dari mulut temannya.
“Aku berhubungan dengan laki-laki. Kurang lebih … semacam simbiosis mutualisme,” berkat catatan yang ia buat, ia belajar banyak tentang Biologi untuk mengisi buku hariannya. “Bukannya aku suka padanya,” ia mengelak. Ariake menarik napas seolah-olah dirinya sedang berenang dan hendak kembali menyelam. “Makin lama aku makin capek, tapi … si brengsek itu … aku tidak senang kalau dilupakan atau tidak diperhatikan.”
Ariake sudah muak dilupakan, tidak diperhatikan, pula ditinggalkan.
“Lalu kenapa kau menangis?”
Ariake terkejut. Ia pun tidak menyangka pipinya akan basah oleh air mata. Ia mulai menyekanya dan tersenyum sumir. Ia tercenung cukup lama untuk memikirkan alasan. Namun, ia tidak menemukan jawaban.
Jika itu tertawa, biasanya karena bersandiwara atau mencerca orang. Jika ia merasa kesal, itu karena Ariake orang yang mudah mendendam. Akan tetapi, Ariake tidak pernah paham apabila dirinya menangis. Ia tidak pernah mengerti. Tidak pernah tahu kalau dirinya yang kehilangan berkali-kali sudah tidak tahan dengan itu semua. Dan jika dirinya mencoba mengingat, ia selalu menangis untuk dirinya sendiri atau untuk dia seorang.
Ariake rasa dirinya sudah lelah membendung segalanya. Pelukannya pada Taiyou mengerat. Ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Suaranya gemetar dan air matanya menetes tanpa henti. Ia menunduk dan terus membenamkan wajahnya pada pundak Taiyou yang basah.
Ariake tidak melepas Taiyou dari pelukannya. Ia gigit bibirnya dan berusaha untuk menghentikan air mata.
“Aku tidak suka sendirian,” Ariake mengaku. Dan untuk satu itu, Taiyou mengingatnya dengan baik pengakuan Ariake sewaktu mereka hanya berdua, yang sampai sekarang masih membuatnya sakit kepala. Ia juga tahu alasan Ariake mengatakan, “Aku lelah berpura-pura. Kau bilang lebih baik aku menunjukkan diriku yang sebenarnya, kan?”
Taiyou tidak mengerti mengapa. Dari cara Ariake menarik napasnya dalam-dalam dan memberi pengakuan, “Jangan tinggalkan aku.” Kesedihan tidak mampu pemuda itu bendung. Remas pada punggung, serta permintaan Ariake makin membuat Taiyou bingung.
Ariake tidak pernah bilang pada Taiyou. Atau Ito. Atau juga Ruri.
Ariake tidak pernah mengatakan pada siapa pun selama ini. Bukannya dia membenci untuk mengakui, tetapi itu semua hanya karena dia sendiri pun tidak mengerti. Dia baru menyadari bahwa pedih rasanya jika tidak pernah dianggap sebagai anak oleh ayahnya. Dia juga tidak mengerti mengapa orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya, padahal ia telah berjanji untuk bersamanya hingga mati. Dan ia juga tidak tahu, mengapa orang yang ia percaya malah menutup mata dan telinga untuk keegoisannya sendiri.
“Kau tahu, Taiyou,” ia tarik napasnya dalam-dalam, “… aku pernah berpikir lebih baik aku mati.“
Hari itu, di bulan Desember, ia bertekad untuk bunuh diri. Pipi yang lebam, penyesalan yang ia rasakan makin menjadi, dan juga lokasinya berada saat itu amat pas untuk melenyapkan diri. Namun, ia ingat hal sekecil Winter Cup yang membuat Taiyou bersemangat. Dan di antara kepura-puraannya, Ariake memang berusaha untuk mewujudkan itu semua—harapan Taiyou agar mereka ikut lomba.
Ariake pun pergi ke Fukuoka untuk kabur dan menahan diri. Ia tidak tahu hal gila apa yang bisa ia lakukan apabila terus berada di Tokyo. Bisa saja ia merokok dan minum-minum tanpa henti sampai mampus. Atau meminum obat dengan dosis tinggi.
Namun, niatan itu pun mampu ia tepis. Keberadaan Taiyou yang berusaha untuk peduli maupun Kido yang menghampiri.
“Dia datang ke tempatku. Aku tidak mengerti kenapa dia peduli. Aku tahu kau juga begitu, saat itu,” lalu kekeh tawanya terdengar, “Tapi aku juga tahu, pergi ke tempatku bakal sulit untukmu,” ia tahu Taiyou tidak sekaya itu untuk menghambur-hamburkan duit. Pemuda itu berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Kesederhanaannya itu membuat Ariake belajar untuk bersyukur. Ayahnya terus mengirim uang meski mereka tidak akur.
Ariake melanjutkan cerita.
“Tapi dia datang … aku pikir, aku tidak boleh berhenti; untukmu maupun dirinya yang susah-susah menghampiri. Atau Ito-san. Apa jadinya kalau ia menemukan aku gantung diri, atau memasrahkan diri pada kendaraan yang berlalu, atau menusuk diri,” tangannya mulai terasa dingin. Perlahan ia mengakui apa yang dirinya pendam selama ini, “Aku percaya padanya, memperlihatkan segalanya, hingga membagi hal yang belum bisa kukatakan padamu. Darinya aku mempelajari hal baru. Aku menyadari semua yang kulakukan selama ini salah dan terus melekat padanya bagai parasit,” mungkin hanya Ariake yang tahu mengapa dirinya berusaha untuk mencintai dengan sederhana: hanya ingin diterima apa adanya, hidup bersama selamanya. Dan ia merasakan itu semua dari Kido Akihiro. Perlakuannya berbeda dari apa yang Ariake mengerti sebelumnya. Dan ketika Akihiro menyentuhnya dengan lembut, Ariake merasa dicintai.
“Tetapi dia tidak pernah menganggap itu semua,” pikirnya. “Aku tahu … tidak seharusnya aku berharap … tapi kau pun tahu, aku tidak suka sendirian,” ia hela napasnya dengan berat, “Kupikir ia menyadarinya, alasan yang aku sembunyikan saat ingin melihat pagi bersamanya dan menahannya tiap malam menjelang. Tapi itu semua cuma jadi bahan candaan,” selama empat bulan lamanya Ariake mencoba membuatnya punya rasa yang sama tanpa sepengetahuan pemuda itu, tetapi semuanya sia-sia. Dengan mudahnya Akihiro menantang Ariake untuk membuatnya jatuh cinta.
Padahal ia sampai mengaku jika 14 Maret bukanlah tanggal yang ia suka atau dirinya bakal menangis karena menahan diri. Tidak perlu ia jelaskan dengan detail, sebab jika pemuda itu tahu, dirinya bakal kena olokan. Yang mungkin juga, apabila dia berkata jujur, bukannya mengalihkan topik pembicaraan, hubungan mereka akan berbeda. Karena hari itu, mungkin merupakan hari yang membuatnya menjadi manusia brengsek sedunia—menghamili mendiang kekasihnya. Ia bisa gunakan alasan itu agar dirinya mendapat simpati dari Akihiro. Sayang, dia tidak melakukan itu sepenuhnya. Hanya setengah saja. Karena ia tidak mau memanipulasinya lebih jauh dan memanfaatkan rasa tega yang selalu pemuda itu berikan padanya.
“Sehingga aku biarkan dia memakaiku sesukanya, dan menekan perasaanku,” begitu mulanya. Di awal memang ia tidak merencanakan itu semua. Lalu, ketika ia merasa ada yang janggal pada dirinya—mulai dari pandangannya yang sering berlabuh ke arah pemuda itu, atau bagaimana ia membicarakannya pada orang lain, atau pula membiarkan Akihiro menggunakannya.
Tapi kali ini, Ariake tidak bisa menahan diri. Hal yang selama ini ia pendam meledak hanya karena satu nama.
Taiyou tepuk punggung Ariake. Ia tidak sedingin itu untuk terus terdiam tanpa melakukan apa-apa. Ia terkejut, tapi mana mungkin ia terus diam selagi mencerna ucapan kawannya.
“Taiyou … kau tidak akan pergi, kan? Kau tidak akan membiarkan aku sendiri, kan?” Ia sudah tidak peduli lagi dengan suaranya yang serak maupun matanya yang sembab.
“Kau ingat perkataanku sewaktu di UKS?” Taiyou menjawab tanya dengan tanya. Ia ingin mengerti apa yang ada di pikiran Ariake, meski tidak semua ia pahami. “Aku juga sudah bilang kalau aku bodoh untuk hal-hal seperti ini, jadi katakan dengan jelas apa yang kau mau? Aku akan mencoba membantumu.”
Napasnya mulai teratur dan tangisnya mereda perlahan. Ariake mulai membaik selama mendengar pengakuan Taiyou untuk kedua kalinya.
“Kau tidak masalah kita tidak kembali ke asrama?” Tanya Ariake yang belum melepas pelukannya.
“Tidak apa.”
“Bahkan membolos besok?”
“Iya, kita main PS sampai besok. Atau kau punya mainan lain?” Toh tidak ada latihan basket.
“Aku belum beli, tapi katakan saja mainan apa yang kau mau. Akan kubelikan langsung hari ini.”
Taiyou menghela napas. Ia ingin mengatai Ariake yang memamerkan harta. Tentu saja cercaannya hanya bercanda. Dan melihat Ariake yang sudah bisa menghinanya, Taiyou merasa kawannya itu mulai merasa baikkan.
“Aku mandi dulu. Tadi aku ... dengannya ... berhenti di pertengahan,” Ariake tidak menjelaskan maksud dari kata-katanya. Ia membiarkan Taiyou diliputi ketidaktahuan. “Kau main duluan saja.”
Taiyou membiarkan Ariake pergi, tapi kemudian ia menunggu di depan kamar mandi. “Pintunya jangan dikunci,” Ariake terdiam saat Taiyou memberi peringatan. Ia mampu memahami kekhawatiran Taiyou saat itu sehingga ia tidak mengunci pintu kamar mandi.
Kala ia membersihkan diri, ia teringat lagi dengan kejadian tadi: sewaktu Akihiro menghujaninya dengan kecupan; dan membuatnya mendengar nama lain tepat di telinga. Ia biarkan tubuhnya basah dan terpaku cukup lama. Tiba-tiba Taiyou memanggil dan membuyarkan lamunannya.
Kemudian mereka main gim seperti yang dijanjikan. Selama bermain, Ariake bersandar di pundak kawannya, ditemani beberapa kotak tisu yang berhasil ia habiskan satu untuk malam itu—entah kalau besok. Di setiap jeda, mereka—bermain gim meski lebih sering Ariake terdiam atau mengelap air mata.
Mungkin inilah karma karena hobi mendua. Ariake tidak pernah merasa gundah gulana. Ia terbiasa untuk tidak peduli pada pasangannya. Namun, kali ini yang ia rasakan berbeda. Dia malah berada di posisi yang sama seperti mantan-mantannya.
Dan hari itu, Akihiro tidak lagi datang padanya. Pemuda itu pastinya tahu ke mana Ariake pergi meski ponselnya telah ia matikan dari tadi. Maka dari itu, ia blokir saja nomornya. Sedikit, Ariake berharap, pemuda itu akan mengetuk pintu apartemennya, meminta maaf, menciumnya, dan menghabiskan malam bersama.
Hanya tidur saja, tidak lebih, lalu bangun bersama-sama seperti yang pernah Akihiro bilang, yang Akihiro inginkan: Cuma pasangan yang saling jatuh cinta yang tidur seranjang, suatu saat, kau akan bangun, melihat wajah orang yang tidur di sebelahmu dan jatuh cinta, Akihiro. Ariake berharap itu terjadi padanya. Ia mencoba menahan pemuda itu tetap berada di sampingnya. Tapi itu percuma. Pemuda itu terus membuka mata dan setelahnya pun meminta Ariake bangun duluan—yang jelas-jelas Ariake tolak karena dalam hati ia menganggap itu tidak ada gunanya.
Namun, dibandingkan Akihiro yang kiranya perasa, malah Taiyou yang tetap berada di sisinya. Bahkan, setelah hal buruk yang dilakukannya semalam, Taiyou masih bertanya, “Apa aku perlu menemanimu lagi hari ini?”
“Tidak perlu,” Ariake menjawab. “Pergi saja—ah,” ia terdiam sesaat lantaran ingat bahwa mereka tengah membolos. “Kau bisa di sini sampai sore kalau mau, tapi pergi sekarang pun tidak apa kalau memang ada tempat yang bisa kau tuju.” Ariake berdiri, ia memilih pergi. “Tidak perlu menemaniku, aku bisa sendiri.” 
Padahal ia paling tidak senang menyendiri. Sepi. Ia paling tidak bisa kesepian.Waktu berlalu. Perutnya mengaduh dan kerongkongannya terasa kering. Ia belum makan dan minum sedari pagi, dan ketika ia membuka mata kembali, hari telah sore. Di luar, ia tidak lagi melihat keberadaan Taiyou di sana.Ia sendirian, padahal tidak bisa ditinggalkan. Maka, ia mengirim pesan pada temannya yang lain.
“Datang ke tempatku. Kita bisa menangisi nasib sial kita bersama, Ruri.”
Karena jika tidak begitu, entah ia bisa bertemu dengan hari esok.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
Kawan Karib
Kalau ditanya, apa benar Ariake memanfaatkan Taiyou? Ia tidak akan mengelak. Dengan tegas dan kilat, ia akan bilang dirinya memang benar memanfaatkan persahabatan mereka. Semua itu bermula sejak Taiyou terang-terangan mengajak kembali berkawan, serta Ariake yang menyebutkan beberapa syarat merepotkan untuk menerima permintaan Taiyou. Di antara tiga dari permintaannya, Ariake mengaku kesepian dan memang butuh kawan—atau tepatnya, seseorang yang bisa ia sentuh dan menyadarkannya, bahwa masih ada orang lain yang mau bersamanya. Ariake terus memanfaatkan keberadaan Taiyou. Mereka kawan, tapi ia senang menjadikan bahu Taiyou sebagai sandaran saat bersama di kamar asrama. Ariake bakal datang tanpa diundang, tahu-tahu sudah ada di depan kamar, dan bertingkah seenaknya seolah itu kamarnya sendiri. Tanpa diberi izin, dia bakal tidur di kasur Taiyou, atau mengecek buku-buku pelajaran Taiyou dan mencoba memahami isinya—sesekali bertanya bagaimana cara memecahkan satu persoalan, atau mendebat soal manusia masuk ke dalam Kingdom Animalia.
Dari berpegangan tangan, juga menjadikan pundak Taiyou sebagai sandaran, makin hari tuntutannya makin menjadi. Suatu hari, di pertengahan bulan Mei, Ariake mengajak Taiyou ke apartemennya. Alasan yang ia gunakan adalah mengajak Taiyou main gim. Ariake sampai-sampai membeli PS dan beragam kaset dengan tipe permainan yang berbeda-beda. Itu semua ia lakukan untuk mendapatkan izin serta mencari-cari alasan untuk bersama. Mereka bermain, memberi jeda saat makan malam, lalu kembali bermain. Taiyou menikmati secangkir jus, sementara Ariake meminum bir—mengelabui Taiyou dengan bilang itu minuman bersoda. Mungkin akibat alkohol, mungkin juga karena bermain seharian, mereka berdua tidur di sana, di lantai, duduk bersandar pada sofa. Tiba-tiba Ariake terbangun. Napasnya memburu akibat mimpi buruk. Ia lihat ke kanan dan ke kiri, panik jikalau saat ini masihlah mimpi. Lantas ia sentuh Taiyou di sebelahnya, pada pipi. Satu, dua kali, punggung jemari tangannya menepuk pipi Taiyou. “Bangun, Taiyou.” Dengan sabar Ariake menanti. Tentu ia tidak lupa dirinya pada niatan awalnya mengajak Taiyou kemari. Akhirnya Taiyou terbangun. Mata mengerjap lamat-lamat, mulutnya menguap sewaktu mengucek mata. “Ayo pindah ke kamar!” Ajak Ariake. “Hah? Oh ....” kesadaran yang masih belum terkumpul membuat Taiyou tidak pikir panjang saat berdiri, berjalan ke kamar dengan Ariake. Kemudian ia pun tersadar, saat dirinya duduk di tepi ranjang dan Ariake berada di sisi seberang. Taiyou mengerjapkan mata. Tanpa bersuara, Ariake tahu apa yang Taiyou ingin katakan. “Temani aku tidur,” bilangnya. “Hah?” Taiyou diam sesaat. Ariake ulangi ucapannya selali lagi, tapi Taiyou belum mengerti dan bertanya, “Apa maksudmu, Ariake?” Bingung terlukis jelas di wajah pemuda berambut kelam itu. Yang warnanya kadang tampak seperti langit malam. Dan jika Ariake mencoba menggambar Taiyou, dia akan memberi sedikit warna biru, yang ia padukan dengan warna hitam yang pekat. “Kau tahu, kan, manusia perlu tidur? Di buku pelajaranmu, dijelaskan kalau setelah pukul 10, tubuh manusia mulai bekerja meretas makanan-makanan yang kau konsumsi dari siang hingga malam hari. Lalu menumpuk jadi feses, yang normalnya, bikin ingin buang air di pagi hari—bukan cuma menangani yang di depan saja.” Sebagai sesama lelaki, Ariake harap Taiyou bisa langsung mengerti. “Aku tahu,” ia terdiam. Bukan sekali dua kali Ariake mengalihkan topik pembicaraan. “Tapi coba katakan dengan jujur.” “Hari ulang tahunku. Aku tidak pernah tidur sendirian tiap hari itu tiba.” Sebenarnya ia berulang tahun kemarin, tanggal 19. Sementara Jumat itu tanggal 20. Di rumah, ada Ito-san yang menemaninya tidur. Sejak SMA, Hinami lah yang menemaninya. Ariake mengaku, “Biasanya pengasuhku yang menemani, lalu tahun kemarin ... ada orang lain, tapi sekarang sudah pergi jauh. Aku bisa cari yang lain, tapi mereka bakal menuntut hal lain.” Tidur berdua di atas ranjang, mau dengan laki-laki atau perempuan, bakal sulit menahan godaan kalau lawannya menunjukkan gelagat untuk bercinta. Sedangkan dengan Taiyou, pemuda yang lurus-lurus saja pikirannya, yang tulus menganggap mereka berteman, tidak akan punya pikiran untuk bersenggama. “Ibuku mati saat aku lahir,” dia bergumam pelan. “Tiap tahun aku tidak pernah merayakan ulang tahunku, kecuali tahun lalu. Biasanya hanya memperingati hari kematian ibuku,” yang hanya ia ketahui rupanya dari foto atau video kompetisi karuta tingkat nasional. Hadiah dari ayahnya selalu sampai ke rumah, tapi tahun ini ia tidak kedapatan apapun. Lantas ia mengingat dan berasumsi, selama ini sekretaris ayahnya lah yang memilihkan barang, bukan ayahnya yang bahkan tidak datang saat dirinya sakit. “Kau hanya meminta itu? Tidak yang lain?” Balas Taiyou. Ariake terhenyak. Apa Taiyou tahu hal lain yang selama ini Ariake sembunyikan? “Hanya tidur. Tidak lebih dari itu.” “Tidak mau kutraktir besok?” Ariake tertawa, dugaannya tepat perihal isi kepala Taiyou. “Enggak, aku kaya. Tidak perlu traktir, aku hanya minta tidur bareng, kuanggap itu hadiah dari Taiyou-kun,” ledeknya diiringi tawa. “Sial!” Keluhan itu bukanlah isi hati yang sebenarnya. Taiyou hanya bercanda karena tidak lama setelahnya ia bilang, “Baikah, kalau itu maumu,” Taiyou memberi apa yang Ariake mau. Ia kira mereka hanya akan tidur bersebelahan di atas kasur lebar itu, tetapi Ariake merapat padanya, memeluknya ibarat guling. Taiyou yang memunggungi Ariake tersentak. Ia kaget saat Ariake mendadak melingkarkan tangan di pinggang. Kepala Taiyou terteleng ke belakang, melihat Ariake yang terpejam, lalu menjadikan tengkuk Taiyou sebagai sandaran. Geli Taiyou rasakan berkat helai rambut cokelat itu mengenai tengkuknya secara tiba-tiba, atau ketika deru napas Ariake menerpa di tempat yang sama sebagaimana bibir pemuda itu menyentuh tengkuknya, rasa aneh memenuhi dada. Taiyou berpikir, amat keras untuk menemukan alasan rasa aneh itu. Baru pertama kali ia tidur dan dipeluk dengan orang lain. Baru begini pula Ariake menyentuhnya lebih jauh dari sekedar berpegangan tangan, memeluk, atau bersandar. Taiyou terus berpikir. Tanpa sadar, jam di meja menunjukkan tengah malam, sepuluh menit dari angka 12. Taiyou melirik lagi pemuda di belakangnya, yang memeluknya seperti bocah. Apa ini hal yang wajar dilakukan teman? Atau memang ini cara Ariake berkawan? Sulit untuk melawan kantuk. Taiyou mencoba mempercayai perkataan Ariake. Ia pun akan menanyakannya besok pagi. Memaksanya menjawab dengan sungguh-sungguh serta bersiap-siap menghadapi jawaban ngalor-ngidul dari mulut Ariake.
0 notes
basosurga · 4 years ago
Text
Gone
Nama Hinami muncul tiba-tiba di layar ponselnya setelah sekian lama tak menyahut. Ariake yang kesal, tidak memedulikan ajakan gadis itu bertemu. Bahkan ketika sore itu tiba, ia tetap menyibukkan diri. Bahkan ketika nomor itu menghubunginya berulang kali, ia tetap mencoba mengacuhkannya.
Tapi tidak bisa.
Dering ketiga ia angkat.
"A— " "Maaf, ini benar Ariake-san?"
Suara yang menyahut terdengar asing.
"Ya, benar. Saya sedang berbicara dengan siapa, kalau boleh tahu?" Kekesalannya hilang, gaya bicaranya formal seperti biasa.
"Saya dari Rumah Sakit Ohkubo. Apa anda mengenal pemilik ponsel ini?" Lalu Ariake mengkonfirmasi.
"Benar. Ada apa?"
Dan orang di seberang telepon menerangkan apa yang terjadi pada Hinami, membuat Ariake segera meluncur ke rumah sakit dengan taksi. Dalam perjalanan, ia segera menghubungi sekretaris ayahnya. Ia tahu, ia akan menerima konsekuensi besar dari sang ayah. Namun, Ariake tidak tahu harus meminta pertolongan siapa.
Di ruang UGD, bersama seorang ibu dari anak yang dilindungi Hinami, Arake menunggu. Karena pembawaannya selalu begitu, Ariake menenangkan wanita itu. Lalu seorang dokter keluar. Kabar baik untuk si wanita hingga membuatnya menangis haru, sementara untuk Ariake ... Ia terpaku habis berujar bahwa sang wali akan segera tiba.
Si wanita seolah lupa dengan Ariake. Wanita itu segera mengikuti anaknya di ruang rawat inap. Sementara itu Ariake masih berada di sana, menunggu Iseya yang lebih tua tiba. Tapi pria itu tidak kunjung datang. Hanya sekretarisnya. Hanya sekretarisnya saja yang menjadi wali dan menangani duduk perkara.
Ariake dibawa pulang dan menghadap sang ayah. Selama perjalanan ia bungkam, bahkan saat bertatap-tatap dengan ayahnya dia bungkam. Berulang kali wajahnya dihantam, langsung dengan tangan atau diadu dengan lantai, tapi ia tak kunjung bicara. Ia salah. Ia tidak punya pembelaan.
Ayahnya pun pergi. Pergi ke Fukuoka untuk menenangkan diri. Sementara Ariake, ia tinggal di kediaman ayahnya. Wajahnya penuh luka, orang sekolah akan bertanya-tanya. Surat izin sudah dikirim ke sekolah dengan tanda tangan ayahnya. Semua aman, tapi tidak dengan isi kepalanya yang belum bisa memproses segala hal.
Tentang Hinami maupun mendiang anaknya.
0 notes