blaubrise
blaubrise
Katana Hilton
28 posts
She gracefully moved through the meadow, her flowing gown catching the gentle wind as she radiated an aura of serenity and tranquility.
Don't wanna be here? Send us removal request.
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumblr media
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Kau, saat sedang sedih.
Bibury akan menjadi tempat yang selalu Third rindukan. Sebelum akhirnya ia bertemu salah satu ciptaan Tuhan yang jauh lebih indah dari hijaunya pegunungan Bibury. Sore itu, untuk pertama kali dalam hidupnya Third menyukai laut. Saat netranya menangkap siluet pria jakung dengan kulit putihnya yang memerah di bawah cahaya matahari. Khai, nama yang terdengar sangat serasi dengan sang tuan. Detik seakan berhenti, hanya ada dia dan Khai di hadapannya. Rungunya seakan menuli, tidak ada deburan ombak, tidak ada suara burung camar.
“Khai.” Third paham, saat itu juga ia paham jika Khai akan mematahkan hatinya hingga berkeping-keping. Pria itu nampaknya sudah terbiasa dipuja. Hingga ia dengan santainya mengulurkan tangan untuk berkenalan saat Third bahkan tidak dapat mengedipkan matanya. Third menatap lama uluran tangan itu, hati kecilnya enggan untuk menyambut. Disisi lain, iblis di sebelah telinganya merapalkan mantra yang sangat kuat. Bahkan mantra itu merobohkan pertahanan dirinya.
“Third.” Satu helaan nafas berat terhembus, membuat Khai mengerutkan dahinya. Pria manis di hadapannya ini sejak tadi menatapnya penuh kagum. Namun malah memberikan gestur sedih setelah menjabat tangannya. Khai mengambil kameranya, tetap dengan sebelah tangannya menyelimuti jari-jari lencir lawan bicaranya. Ia mengambil satu potret. Sebuah kertas putih pun meluncur dari kamera polaroidnya. Khai menyodorkan hasil karyanya pada sang pemilik paras dalam fotonya.
“Kau, saat sedang sedih. Aku harap kau tahu jika ekspresimu menyinggungku,” ucap sang pemotret. Third melepaskan genggaman pada tangannya, ia mengambil foto pada kertas kecil itu. Memandanginya cukup lama, mengabaikan Khai yang mengamatinya tanpa henti. Seakan lelaki itu ingin menghafalkan tiap bagian pada tubuhnya. Third tersenyum miring, ia menatap Khai dan mengunci pandangan mereka. Kakinya maju selangkah lebih dekat dengan pencuri hatinya itu.
“Terimakasih Tuan atas jepretan indahnya. Namun lain kali mungkin Tuan harus meminta ijin.” Third berbisik pelan tepat di sebelah telinga Khai. Badannya yang lebih mungil dari pria itu terlihat sangat ringkih. Third mendekatkan wajahnya pada rahang Khai yang semakin mengeras. Jika saja Third boleh menjadi hiperbola, ia dapat mendengar detak jantung Khai yang sama cepatnya dengan kilat saat hujan. Khai semakin menengang saat satu sengatan hangat dan lembut menyapa rahang bawahnya.
“A peck won’t hurt right?” Khai dapat mendengar sang pelaku tertawa renyah. Ia juga dapat merasakan telinganya memanas. Pasti karena udara di Pattaya sedang panas, pikirnya denial. Khai merengkuh pinggang ramping itu, membawanya dalam sebuah pelukan posesif. Seketika tawa renyah Third sirna, digantikan dengan bibirnya yang disapa dengan tidak sopan oleh target kejahilannya beberapa menit lalu. Third seharusnya marah, tapi hatinya melunak. Ia hanya menjadi rasional, dirinya juga menginginkan ciuman ini.
Baru saja si pria manis hendak menutup kedua matanya, Khai menyudahi ciuman tiba-tiba diantara mereka. Ia mengecap bibir bawahnya, dengan sebuah garis sungging di wajahnya. “A kiss won’t hurt right, Mr. Stranger?” Ekspresi kesal pada wajah Third seketika terlihat, Khai paham jika Third hampir saja mengijinkan dirinya mengeksplor lebih dalam. Hanya saja ia tidak ingin terburu-buru, selagi hari masih panjang dan malam bahkan belum menyapa. Ia akan terus menggoda pria manis yang menarik perhatiannya sejak mereka di bandara.
1 note · View note
blaubrise · 1 year ago
Text
Tumbuh.
Tetesan darah segar mengucur dari pangkal hidung, menyentak kaget sang pemilik rupa. Disika-nya dengan cepat; sebuah reflek buruk. Merah darah melebur, mewarnai putihnya kulit dan menodai punggung tangannya. Sudah jauh dari keluarga, pun tengah malam di hotel. Cukup nilai-nilai pelajarannya saja yang berantakan, ia berharap besar pada tubuhnya.
Hielbee Archambeau.
Remaja yang menghabiskan waktu mudanya dengan bekerja keras tuk meluapkan dan membayar tuntas kelaparan ego masa kecilnya. Dulu, dia menangis dalam diam, meski terdengar pun tidak akan ada yang menoleh. Sekarang, bermodalkan satu potret separuh wajah dengan bercak darah pada parasnya dapat membuat ratusan ribu orang memeluknya iba.
Tangannya meletakkan ponsel pintar yang mulai memanas karena ratusan notifikasi baru yang membanjiri sosial medianya. “Sudah?” Ia mengangguk. Sebuah tangan hangat mengulur, membasuh bercak merah pada wajahnya dengan selembar tissue yang sudah basah. Elio Pearlman, sosok laki-laki yang menggantikan peran Hailee; kakak perempuannya.
Matanya menatap lekat pahat wajah Elio, semakin lama, semakin lambat detik yang ia lalui. Binar pada netranya meredup, genangan air mulai berkumpul disepanjang garis bulu matanya. Dan lalu terjun membasahi pipinya, juga lengan tangan Elio yang tengah berlalu-lalang membersihkan wajahnya.
“Did you know? What you are looking for right now is not there, Hielbee. It's not exist on that damn internet.”
Jemari hangat itu menyeka air matanya. Elio paham mengapa remaja tanggung di hadapannya menangis. Sesak di dada akan rasa yang membuncah setelah semua validasi yang ia dapat tak kunjung sembuh. Tak kunjung memudar, yang tersisa hanyalah serpihan mimpi. Entah kapan serpihan itu akan menumpuk untuk menjadi bukit pengisi kekosongan yang selama ini bersemayam.
“I thought, having everything I've been wanting for since young will make me forget how lonely I was back then. But the more I look around, the more I left everything behind. I couldn't bring them with me.”
Tangisnya semakin deras. Elio merengkuhnya, mendekapnya dalam sebuah pelukan hangat. Ia tidak paham bagaimana Elio dan kakaknya dapat menghadapi dunia saat mereka juga harus mendekap jiwa-jiwa yang lahir setelah mereka. Yang ia tahu, pelukan seorang kakak terasa bagai obat bius yang melumpuhkan seluruh sakitnya untuk sesaat. Dalam sepersekian menit, ia pulang pada rumah yang sebelumnya tidak pernah ia hitung.
“Things might can not getting better immediately, but we are fixing it one by one. Each piece will heal the wound you've been hiding all this time. I'm sorry if born in this universe need to make you work hard in such young age. But you need to know, everyone that you leaving behind are proud of you. And honestly, they just having a different path. It's not you who leaving them.”
Manik kembar itu berkedip pelan, mendengarkan suara berat yang sebelumnya sudah terendam dalam tidur dan terbangun karena pergerakan paniknya beberapa saat lalu. Elio menepuk pelan punggung ringkih yang dipaksa kokoh dari waktu ke waktu.
“Sometimes, not only a soul who is not meant to be with each others. But also places, works, and time. Secretly blaming yourself wouldn't fix anything except feeding your anger. So, now let's sleep. Tomorrow we will having a little vacation, I'll treat you some sweet dish.”
Ia mengangguk, pelukan itu berakhir. Tautan mereka terlepas kala Elio mengusak rambutnya. Elio tersenyum, begitu juga Hielbee Archambeau. Tekanan dalam dadanya memudar, seperti apa kata pria berdarah Inggris di hadapannya. Memperbaiki penggalan terkecil pun juga akan membantunya untuk terlepas dari belenggu masa kanak-kanaknya.
Lampu kamar mereka meredup, semua tissue sudah di tempatkan pada sampah kering di kamar mandi. Keduanya bergelung di balik selimut. Deru napas Hielbee terdengar halus, pun suaranya kembali serak. “Malam, Elio.”
“Malam...” jeda panjang menggantung ucapan Elio, tangannya sekali lagi meraih surai hitam ikal milik Hielbee. “... jagoan kecil,” lirihnya menutup hari.
1 note · View note
blaubrise · 1 year ago
Text
The Moon on April.
I found myself in disbelief.
Someone that smiles so dearly, shines and has a pretty crescent moon in his eyes is also someone who leaves tonight. Someone who always supports everyone he loves is also someone who decides to leave tonight.
Someone who grew up in this industry enjoying music, stage, dancing, and acting is also someone who gives up on everything tonight.
In all these denials, I never blame him. But who could I blame for making him give up on his precious life? Who could I be mad at when the boy who always speaks softly and happily is alone in his room, all cold and breathless?
Who could I blame because they are not just taking one life but also tearing apart his sister's world, his parents' hope and his friends' safest place? Who could I blame for letting a man walk into a room hoping he would wake up his star but end up sobbing from the lifeless soul?
A soul that rests, decides to rest, because he wants to rest. A soul that I hope now could find peace, maybe not tonight because everyone is mourning, yelling his name, wishing he would be back. Perhaps not tomorrow morning because people still wish they could hug him a little longer.
But he will, find the peace he is looking for.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Kamar Nomor Sembilan.
"Hahaha Loi, geser sedikit ya!" Potret jemari lentik bertabrakan dengan bulu putih dan abu-abu singgah untuk sepersekian detik. Seperti penggalan klise dari lintingan film. Ditemani dengan tawa renyah dari suara merdu yang familiar.
"Seran!" Masih dengan suara dan jemari yang sama. Jika tadi penggalan klise berlatarkan ruang beralaskan permadani, kali ini dapur lah tempat mereka berada. Jemari itu menari lincah mengusap surai hitam legam.
Ditemani dengan Loi, si kucing putih abu-abu yang mendengkur mengeluskan badannya pada kaki putih jenjang yang hanya beralaskan sendal karet. Wajah diantara gelombang panjang berwarna cokelat itu selalu buram.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
Seran terbangun. Penggalan ketiga diisi dengan teriakan memekkan telinga dan menginjak-injak habis kristal kaca pada ruang diantara rusuk-rusuknya berhasil mendorong si pemimpi keluar dari penggalan-penggalan film yang tak runtut. Bulir peluh membanjiri dahinya, bersama dengan helaan nafas yang tidak karuan.
"Kaluna." Nada kasar penuh tekanan membalut nama indah yang ia sebut. Dua tangan seputih susu bergerak mengacak-acak rambut serta mengusap kasar paras Seran. Mimpinya seperti dibajak tiada henti, tidak beda rasanya dengan terjerat di dalam kapsul waktu. Meski Seran belum pernah benar-benar ditelan paradoks manapun.
Diambilnya pematik dan selembar foto usang. Berisikan dirinya dan gadis berambut ikal berdiri bersama dan tersenyum menatap lensa yang membidik. "Kenapa bebal sekali, kalau sudah mati ya sudah berakhir." Belum sempat api menyambar kertas licin di tangan, bantingan pintu dari ruang tengah berhasil mendebarkan jantung Seran.
"Aduh Tuhan, ampun deh sama ini setan." Gerutuan kesal langsung meluncur bebas. Meski ingin rasanya Seran memaki arwah mantan kekasihnya, tetapi dia masih memikirkan cita-cita terkecilnya. Yakni sampai dengan selamat dan mengikuti kelas sore hari ini. Sebesar apapun nyali yang Seran tunjukkan, semuanya rusak hanya karena getaran foto pada genggamannya.
Urat yang timbul di dahi yang penuh keringat berhasil memecah tawa Kaluna, tentunya di alam lain. Entah digolongan apa Kaluna; si hantu mantan kekasih, ini. Jahat pun tidak, tapi jelas mengusik kedamaian hari-hari Seran. Bukan hanya perihal dendam, Kaluna hanya tidak bisa berpulang. Persis seperti janjinya sebelum nyawa tidak lagi menempati tubuh cantik itu.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Tentunya jika dilihat dari sisi seni, kematiannya bisa dibilang eksentrik. Tergulai lemah di dekapan sang kekasih dan masih sempat mengucap janji. "Aku enggak kemana-mana, jangan sedih ya. Dimanapun kamu berada, aku selalu di samping kamu, Seran." Sudah gila. Seran pikir itu hanyalah kata kiasan sebelum Kaluna dikebumikan. Nyatanya, mantan kekasihnya itu malah terjebak menjadi hantu karena janji anehnya.
Jika ditanya mengapa begitu, sebenarnya Kaluna hanya iseng. Ya dia tahu kalau dia akan menutup usia, tapi dia tidak tahu jika usilnya akan mengikat dia dan Seran seperti ini. Malaikat pun hanya ternganga mendengar kesaksian jiwa yang harum-harum amat juga tidak, menang cantik saja. Mungkin harumnya tercemar gaya pacaran yang terlalu bebas dan hanya mengejar puas.
Si hantu berhasil menjelaskan melalui paranormal yang dipanggil oleh Ibu Seran. Pasalnya anak laki-lakinya berlari terbirit-birit menggedor kamar sebelah karena melihat siluet Kaluna. "Lun, makanya kalau ngomong itu dipikir." Tidak ada satu hari tanpa Seran absen dalam mengomeli hantu di kamarnya. Tak lama ia terjingkat, dengan bulu kuduk yang berdiri dari atas hingga bawah.
"Ya kan aku cuma mau sok keren." Kira-kira begitu bunyi bisikan yang mengagetkan Seran beberapa detik lalu.
"Anjing, Kaluna kamu tuh kayanya ketempelan hantu jahat!" Jika saja Kaluna tidak kasihan karena Seran sudah hampir telat menghadiri kelas sorenya, ia pasti sudah menyahuti laki-laki itu dengan satu hadiah pukulan pada tengkorak belakangnya. "Ah, udah deh. Mau mandi."
Kacau, satu kata yang menggambarkan kehidupan bujang penghuni kamar nomor sembilan. Tentunya juga dengan hantu yang tidak kalah kacau menepati janji konyolnya. Ah iya, terlebih saat Seran tidak berani menggarap gadis manapun karena malu dilihat oleh si mantan.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Distance.
Coldness between expansive sphere of distance, a labyrinth of possibilities unfolds before us. Each step forward raises questions – where do our footsteps lead in this vast journey of existence? Is it a path of discovery, a subtle deviation, or perhaps a plunge into the depths of the unknown?
As the gap widens, a subtle uncertainty lingers. Am I losing my way, the familiar landmarks fading into the distance, or is this descent a deliberate choice into uncharted territories? The echoes of decisions reverberate, and the very essence of self seems to dance at the edge of comprehension.
Breath. A fundamental rhythm that ties us to life's grand symphony. Amidst the vastness, do we still share the same breath, our inhalations and exhalations harmonizing in the unspoken language of connection? Or does distance introduce a subtle dissonance, a reminder of the spaces that separate our physical beings?
These ponderings, like threads, weave through the fabric of our contemplation. The journey through distance becomes not just a physical traverse but a metaphysical exploration, probing the depths of self and the intricacies of connection. In the dance between solitude and togetherness, the very concept of "we" unfolds its nuanced layers.
So, onward we move, navigating the uncharted, contemplating the mystery of distance, and breathing in the essence of existence. The questions persist, their answers perhaps hidden in the folds of time and space, waiting to be unraveled in the course of our unfolding journey.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Hushed Sanctuary.
I embark on a journey of introspection, tracing the contours of my thoughts like a cartographer mapping uncharted terrain. Each moment spent in quiet reflection becomes a step into the inner recesses of my mind, where memories and aspirations intermingle in a dance of delicate threads.
As I wander through the corridors of introspection, I encounter the ghosts of moments past, each whispering fragments of a story written in the language of the heart. The pen becomes my companion, translating the silent murmurs into words that spill onto the page. It is a voyage of self-discovery, a pilgrimage within the self to unravel the enigma of identity.
The inked pages bear witness to the vulnerabilities laid bare, like petals unfurling in the soft glow of dawn. There is strength in this vulnerability, a recognition of the intricate tapestry woven from the threads of joy, sorrow, and everything in between. The reflection becomes a mirror, echoing the evolving self in the quietude of contemplation.
In the expanding landscape of my inner world, I confront the paradoxes that define me—the dichotomy of strength and fragility, the dance between resilience and vulnerability. It is a journey where shadows and light intertwine, creating a chiaroscuro of emotions that shape the canvas of my existence.
With each stroke of the pen, the labyrinth of my thoughts unfolds, revealing the unexplored chambers of my being. This introspective odyssey is not just a solitary venture but a communion with the essence of self, an exploration of the kaleidoscope of emotions that paint the canvas of my inner life.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
A little love, for us.
Perhaps, it's a lonesome night for today. But heretofore on that day, there is a wine crystal that will never stop beating for you. The butterflies that will always fly around you. And a lovely gaze that will always fall for you.
The flower blooming under the moonlight, it might be a cold night. Still, you will always be hugged by a warm love. From her, from him, from them. Maybe, holding hands is not the only one to affirm how much they love you.
Sometimes, they talk about you to every soul they've met. About how bright is your smile, about how soft is your voice, about how they fall for you even when they are not with you anymore.
They told all the angels about you, they whispering of your name every time they talk with their God. They write tons of love letters about you. You are the one that their playlist talk about.
Even, you never know it. There will always be, a little love for us.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Someone who feels like a holiday.
That beautiful boy with wavy hair. Blue eyes, and solemn face. The waves meet his soft skin. The sun shines in his gentle gaze. Melt me in silent conversation. I hold his hands, with a bright smile on my face. Thought about forever, thought about how cruel my life will be without him.
I just wanna live in this moment forever. Cause I'm afraid that living couldn't get any better. He keeps me safe in his love. In every touch, every laugh, every tear and every touch. He brings me back to life. He feels like a holiday.
He paints my blue world into red and yellow. He makes me falling love with little things. I want to keep listening to his secret. To all little things that matter. So whenever our holiday ends, I will always remember you.
You're my angel baby.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
I'd be a fool.
3.00 AM
She smells so lovely. The miss of my youth. The moon for my stars. Her soft skin under my warm finger feels so right. Just like we've made by heaven. I'd be a fool for not loving her. Everyone watching her, and my jealousy. I want to keep her close. It's not a comfortable crowd. We are not the realistic one, for them.
Block after block, sunrise is near. I gotta take her home, I give her a lily. A little gift to keep until we meet again. Hug her tight, because I couldn't hug her under the sun. We are always there when the moon light. And sometimes, we get tired. But still, this warm love keeps us tied.
"Don't ever change, stay the same."
I wish I know, it is the last thing she has said to me. I will hug her tighter than yesterday. It was beautifully tragic. The sky is falling, along with my lonely hands in the air. I have never told her, about the big house that I've always dreamed of. Her shoes, besides mine. About a cup of coffee and a glass of tea.
About being together forever.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
We are in the highlight.
I threw away my compass, just after you ask me to dive with you. You are the summer of my life, you are the memories that flashing right before I close my eyes. Let's drive far away from this town, we are the main character. Let's capture all the moments tonight.
We are in the highlight.
This is paradise only for us. Until the sunrise, hug me more as it will explode. Let's talk about everything, talk to our hearts. Even if it hurts in the cold, let it keep beating while I keep writing about us. Every day, I will dive with you. If only this one remains. I'll jump again, baby.
You are beautiful at the end of this time. Don't worry bout all, let's just jump into the sea of heartache. If you hold my hands, and we run together. If you not looking back, this place will shine. I'm picturing you and me, in every scene of romantic movies. I'll give you everything. When it touches the sky, it's like having the world.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Next Spring.
Marseille, a place where people say a good mother will be born here. A place where you can hear a ring of Ia Bonne Mère's old bell every morning. A place where you can hear the least terns sing along with the waves. Marseille, a place where people say love will last after a long road from Bordeaux. Dazzling city who can't shine brighter then it love, Paris.
Humming sound woke me up, sighing when I looked out at the window.
The dimming sunshine augurs the day will come to the end, leaving the golden sky with clouds full of twilight dust. The bluish flush above this lively sphere leisurely fading into an afterglow. The alluring azure waiting for the coming of the evening, whispering their sorrow under the halcyon of the heaven. Breeze of dusk turned grey along with the clock pointing at the five, harbingering the night will come.
"Saoirse, the snow will fall tonight. Come downstairs and open your first December gift."
Saoirse Primrose. When the first rose blooms in spring like a freedom, you'll fall in love with me. That's what my mom told me about my name. Sometimes when I see a bluebell, my heart aches. I know my mom will name my little brother after it. Because freedom and gratitude always comes together, sadly it is never happen to _us._
"Here come my dearest Irse. Happy snow day, dear. You are pretty, as always."
"Happy snow day, aunty Marry. Thank you for the gift."
My hands are full with four boxes. All the maids always greet me with their best wishes every time I walk. My cheeks went numb by giving my biggest smile whenever people give me their blessing. Just in view steps, I could reach my lovely bedroom. I could feel my legs couldn't stand longer than this, my spine benumbed.
"Happy snow day, Irse." Bucket of yellow roses and bluebell and Little Women under the ribbon. Lotus, cedar moss and apple scents blended with jasmine, mimosa and a little bit of citrus scent. Soft voice, beautiful white hands and blue ribbon. Waiting patiently for me to take her gifts.
Bailee Kalilinoe.
"You still use this musky apple white floral perfume?"
"It's aquatic floral, Saoirse."
Her alluring smile with the sound of the waves and hum of lovely music downstairs are turning this snowdrop tradition into an engaging night. I'm; Saoirse Primrose, escaping her luscious gaze with roses in my cheeks bone and flashes a smile while entering my bedroom. My heart races when I heard the sound of footsteps following me.
"Who invites you?"
"A lady with her blushing cheeks."
Our laugh becomes one, while I put all the gifts from my parents and her parents on the wood floor of my bedroom. And walk to keep the only gift with flowers on my davenport. I open my window, let the cold breeze blows, the soft snow falls on the roses and bluebells under the moonlight.
I look back at my Paris, she sits on my settees with her hands holding on one red rose. She shines, even in the darkest place. "Who gives red flower on snow day? Do they mean bloody curses of heartbreak or amorous love?" Besides happiness, yellow means jealousy. And, I'm the yellow flower.
"Would you like to dance with me? And tear the petals of this red rose. I prefer yellow."
"I'm not dancing in Marseille. Not in the city where you will marry a boy who doesn't even know where your heart belongs and what is your favorite flower ..." the thorn of those red rose thorns me, "... except you, a warm sea and sunset."
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
Sunset and a sea with the waves turning cold.
I use my black gown, gloves and black heels, sit on the rock with an envelope and three flowers. The sky turned red, I couldn't find her presence. _They_ hold her, also hold where my happiness is. In this life, their words are a dagger with two blades. Wherever they swing it, it kills both sides.
I smile, I found the answer when the dusk comes to meet me. It's time to go. I bring the other envelope with me. Left the black one with one yellow rose, bluebell, and one red rose. I'm turning it back to Bailee.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
"How cruel you could be? You took my wedding day as your funeral. You won't meet me on Christmas night. You left me with my last gifts for you and make it your last gifts, Irse." Bailee looking at the wooden door where she usually meets Saoirse. A room full of their memories, all the laugh, the tears, the love and the heartbreak. They will be locked forasmuch as the owner of the room will never come back.
Bailee hands bleeding from all the thorns of roses, and so her heart.
"Saoirse, we were so beautiful we were so tragic," she whispers.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
Writing for Bailee Kalilinoe,
Bai, I never see you coming. No matter how hard I turn my eyes blind and let my heart become numb. You never come, Bailee. Does dancing mean nothing to you now? What a pity greetings from this rosie girl.
Bailee, when you open this envelope it means we are not dancing on the warm sea. We are dancing with tears and I'm far away from home. When you read this, you belong to someone else now. When you read this, I let know that I let you go.
Go along with their dreams, not ours. Go along with a boy who maybe one day learns what flower you like but also learns that the flower is no longer blooming. Go along with little you who might become a beautiful girl like her mom.
Bailee Kalilinoe, my Paris.
Let me take a piece of your heart with me so it could keep me warm under this cold sea on this snowy day. Let me keep the story of Paris and this lonely city with me so you don't need to tell them. Let me go, Bailee.
No matter how many blessings I got last night, they couldn't help me to keep us. No matter how far we run away, there is no place for us. No matter how hard you are looking for me this morning, you won't meet me on the next spring.
But I promise, you can meet me on the first spring in our next life. You can meet me in the field full of roses.
Written by Saoirse Primrose.
0 notes
blaubrise · 1 year ago
Text
Puzzle.
4.05
Ruangan itu gelap gulita, tidak ada satu pun cahaya yang masuk. Langit yang belum tersentuh sinar matahari, mau pun lampu kamar yang telah di matikan.
Dua anak remaja berbaring bersebelahan, hanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berkelana hingga mungkin seratus abad jauhnya.
"Kok lo bisa sih, sama dia?"
Si anak laki-laki memecah kesunyian. Ada sedikit kekehan menyahuti jawabannya, sebelum rentetan kalimat menyapa indra pendengaran.
"Soalnya gue udah suka dia selama dua tahun mungkin?"
"Ck."
Decakan kesal dari anak lelaki berumur remaja tanggung itu kembali memancing tawa renyah gadis yang berbaring disebelahnya.
"Kenapa?"
"Selama ini lo cerita ke semua orang, kecuali gua."
"Iya, ke semua orang, tapi bukan semua hal. Cerita-cerita gue itu kaya puzzle, tiap kepingannya terpisah dan perlu di tata."
Jeda yang cukup lama memberikan celah bagi detik jarum jam bersuara, mengisi sepi.
"Tapi, kalau gue cerita sama lo itu beda. Lo gak perlu lagi nyusun puzzle-puzzle itu. Karena semua udah gue tata dan gue bingkai. Jadi, lo cuma perlu simpen potret yang udah jadi."
"Ada lagi yang mau diceritain ke gua?"
Gadis itu mengangguk, walau lelaki disebelahnya tidak dapat melihat pergerakan kepalanya. Tapi, ia mengangguk dengan penuh antusias.
"Gue suka sama dia udah lama. Tapi gak pernah berusaha buat me-reach out dia. Karena, mungkin gak bisa aja. Dia dingin waktu itu."
"Terus kenapa sekarang bisa?"
"Soalnya gue serahin ke Tuhan mungkin ya? Hahaha, jujur gak tahu juga. Tiba-tiba dia datang, bercerita, dan rasanya kaya gue dapat hadiah. For now, he is mine."
Alis anak lelaki itu bertaut, tidak tahu harus bereaksi bagaimana dengan cerita aneh milik sahabatnya. Yang ia tahu, sahabatnya cukup kuat untuk menyukai orang selama dua tahun dan malah terkesan bersiap diri untuk melepaskan.
"For now?"
"Iya, for now. Rasanya kaya saat ini gue cuma megang pita dari hadiah itu. Baru pitanya aja, gue udah hampir tumbang."
"Ya buka lah hadiahnya, masa dikasih hadiah sama Tuhan malah disia-siain."
"He is cold as usual. But back then, dia pernah hangat. Atau mungkin sesekali juga tetap hangat. Tapi, kalau mau bilang secara gamblang dan kasar. Kayanya bukan pegangan gue deh."
Dipahami, atau mungkin lebih condong pada kata memahami. Lelaki itu paham, beberapa hal datang bukan untuk dimiliki seutuhnya. Karena beberapa hal, datang untuk dilepaskan seluruhnya.
"Lo gak takut kehilangan dia apa?"
"Takut sih takut, tapi gini deh. Apa yang memang punya kita. Akan kembali, meski lama. Buat sekarang mungkin dia punya gue, tapi gak tahu kedepannya. Mungkin dia bakal kehilangan gue."
"Kok jadi kebalik dah, harusnya kan lo kehilangan dia."
"Sudah sering, kan selama dua tahun cuma mendamba. Rasa suka gue ke dia itu timbul tenggelam. Walau kadang padam, tapi rasa itu masih ada. Dan gue jadi terbiasa kalau semua tentang dia itu selalu dinamis."
Jika saja percakapan mereka adalah sebuah sahut-sahutan di linimasa. Mungkin banyak warga akan berkomentar miris, atau mengiba mendengar kisah si gadis.
Tapi, tidak. Anak laki-laki itu adalah rumah tempat semua bingkai puzzle itu dipajang. Sejauh apapun dia pergi, selama apapun mereka tidak menyapa. Puzzle-puzzle itu akan merekat apik padanya.
"Nama lo harusnya ganti jadi gadis baja."
"Otot kawat tulang besi?"
"Jayus lo, ya kali modelan lo jadi Gatot Kaca."
Tawa mereka pecah memenuhi ruangan yang sudah mulai terang, sinar mentari pagi menyapa dari balik jendela. Yah, walau sapaannya diabaikan karena kedua remaja itu justru bergelung dibalik selimut guna menjemput mimpi.
0 notes