share anything based on visual goodness | read the issue and give feed back surely | [email protected]
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Yang Patah Tumbuh Hilang Berganti
Sabtu 24 Februari 2018 merupakan hari penting bagi kesenian Sidoarjo, pasalnya di hari tersebut sedang diselengarakan Kongres Dewan Kesenian Sidoarjo (dekesda) dan sekaligus pameran lukisan oleh para perupa Sidoarjo. Kegiatan ini di adakan di Komplek Museum Mpu Tantular yang beralamat di Jl. Raya Buduran - Jembatan Layang, Jl. Raden Moh. Mangundipi, Siwalanpanji. Kongres Dewan Kesenian Sidoarjo ini merupakan agenda pertama yang dilakukan pada periode kepengurusan baru periode 2018-2023, kongres ini ditujukan untuk ajang seniman dari berbagai disiplin berkumpul seni rupa, tari, teater, musik, dan film. Para seniman berkumpul untuk merangcang strategi dan agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh kepengurusan Dekesda yang baru ini.

Selain kegiatan kongres di bangunan lain di komplek Museum Mpu Tantular juga sedang dilaksanakan pameran lukisan yang berjudul “Yang Patah Tumbuh Hilang Berganti” yang mana pameran lukisan ini memang merupakan rangkaian acara dari Kongres Dewan Kesenian Sidoarjo. Dalam pameran ini turut serta 36 perupa yang berasal dari berbagai kecamatan di Sidoarjo, tidak hanya seniman senior yang turut serta tapi perupa muda juga dilibatkan dan diberi kesempatan untuk turut unjuk gigi. Kesulitan yang dialami oleh penyelenggara pameran lukisan ini adalah untuk melacak dan menghubungi seniman yang tersebar di seluruh Sidoarjo, terutama seniman-seniman senior yang sangat sulit untuk dicara kontaknya dan dihubungi ujar Juniarto panitia sekaligus peserta pameran.

Di Sidoarjo sendiri menurut Juniarto banyak seniman bagus yang muncul di Sidoarjo, tapi mereka lebih memilih untuk meninggalkan Sidoarjo, karena memang ekosistem seni rupanya yang kurang sehat dalam artian kurang sarana yang dapat digunakan, kegiatan pameran yang sangat minim, dan sebagainya. Harapan dari para perupa yang berpameran adalah pameran semacam ini harus terus ada agar hubungan antara seniman senior dan seniman muda selalu terjalin dengan baik dan selalu sinergis. Dan juga dilakukan penggembangan terhadap kegiatan, jadi yang dipamerkan kedepannnya tidak hanya karya lukis saja tapi bisa lebih luas lagi, sehingga nantinya di Sidoarjo akan banyak kegiatan kesenian yang beragam dan mempersehat ekosistem. (dnm)
1 note
·
View note
Text
Review Gandeng Renteng #8 – Pitik Kalkun Ireng Meles
EXHIBITION TITLE : Gandeng Renteng #8 – Pitik Kalkun ireng Meles
KURATOR : Zuhkhriyan Zakaria dan Figo Dimas Saputra
ARTIST : Kaji Karno, Achmad Rosidi, Adi Djamal Wicaksono, Afifi Musthapa, Afreshaweeny Ika Yudiarti, Achmad Mirza Romadhan, Akbar Mahadi, Akbar Warisqianto, Akhid Khusnan Roziqi, Aldy Surya Dinarta, Anto Sukanto, Anwar Sanusi, Ariel Muhammad Zeian, Askha Bulkhafi, Bagus Karunia Setiawan, Banbang Sapto Priambodo, Bambang Sudarto, Bambang Sunoko, Bolo Kulon, Brian Lazward Aristya A, Candrani Yulis Rohmatulloh, M. Riski Firdaus, M. Nur Ikhsan, Dimas Nurudin Batomi, Dwi Nailatul Mufarokhah, Edy Santoso, Farid Ma’aruf, Farid Sugiharto, Findi Tia Anggraini, Irvan Nur R., Firdaus Alamien, Firdaus Muttaqi, Happy Wahyu Firdaus, Hafidz Ramadhan S., Garis Edelweiss, Gatoto Japet H. Oes, Gussyamsi Achmad, Kharisma Nanda Zenmira, Lail Lafi Iliyun, Lona Janesti Loppies, M. Medic, M. Khoiron, M. Riski Nugroho, M. Sulton Wahyudi, M. Sutrisno, M. Suyuti, Moch. Mischat, Muhdhor Rifa’i, Musa As’ari, Nur Ali, Otot Kecamba, Praba Agni Rizka Pradiptha, Randy Yulvianto, Rio Ari Firmansyah, Robet & Olga, Saiful Ridjal, Saiful Ulum, Sinwan Aliyafi, Siska Vitriyanti, Street Art Pasuruan, Subagyo, Suryadi, Teguh Purwanto, Tory Basuki, Triano Nanda Setia budi, Wahyu Nugroho, Yudha Prihantanto, Zaenal Arifin,
EXHIBITION DURATION : 11-17 Februari 2018
LOCATION : Gedung Kesenian Darmoyudo Pasuruan
Katalog : https://goo.gl/RpPkyt
Gandeng renteng adalah perhelatan pameran seni rupa yang rutin di selengaran setahun sekali di Pasuruan, Gandeng renteng sendiri adalah pameran yang digagas oleh Komunitas Guru Seni dan Perupa Pasuruang atau biasa disebut KGSP. Gandeng Renteng tahun ini adalah acara yang ke 8, dalam penyelenggaraan nya memang lebih banyak mengambil tempat di Pasuruan, namun selain di Pasuruan kegiatan ini pernah di selenggarakan di Taman Budaya Jogjakarta.

Selama penyelengaraan Gandeng Renteng yang pertama hingga yang ke-7 dilaksanakan secara kolektif hasil dari iuran peserta, namun di penyelenggaran yang ke-8 ini sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah Pasuruan. Saya rasa ini merupakan langkah yang tepat yang harus di lakukan oleh pemerintah mengingat Gandeng Renteng merupakan kegiatan seni rupa yang berdampak luas terhadap skena seni rupa di Pasuruan. Proses pembibitan terhadap perupa-perupa baru selalu terjadi di Gandeng Renteng, dalam tiap panyelenggaraan nya pameran ini tidak hanya di dominasi oleh perupa senior tapi perupa muda juga mendapat kesempatan untuk turut berpameran sama besarnya.
Menurut saya banyak munculnya ruang seni di Pasuruan seperti Pawitra Art Space dan Gang Wolu Art Space adalah dampak dari penyelengaraan Gandeng Renteng, Gandeng Renteng ibarat sebuah muara tempat berbagai aktifitas yang sudah dilaksanakan selama setahun da pencapaian para perupa di Pasuruan di rangkum dan di presentasikan kepada masyarakat. Tidak banyak kota-kota lain di jawa timur yang mampu melakukan pola kerja seperti ini, pola kerja yang terukur dan terus-menerus untuk menyehatkan skena seni rupa nya. Sangat pantas apabila kita menyebut Pasuruan sebagai salah satu corong seni rupa Jawa Timur yang selalu memunculkan perupa-perupa muda baru yang berprestasi.

Dalam penyelengaraan Gandeng Renteng yang ke 8 yang menjadi kurator adalah Zuhkhriyan Zakaria dan Figo Dimas Saputra, keduanya adalah pemuda asli pasuruan yang mana Zuhkriyan sekarang menjadi pengajar di Universitas Islam Malang dan Figo Dimas masih terhitung sebagai mahasiswa aktif di Universitas Brawijaya. Penyelengaraan yang ke 8 ini menjadi lebih spesial karena penyelengarannya menggunakan gedung baru pemerintah kota pasuruan yaitu Gedung Kesenian Darmoyudo, gedung yang memang di bangun untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kesenian di kota Pasuruan.
Selain pameran seni rupa yang memamerkan karya lukis dan instalasi, ada juga pameran poster yang diselengarakan sebagai rangkain kegiatan. Pameran ini dilaksanakan dengan menggunakan format open call yang mana pendaftar akan diseleksi oleh Tim Kurator Gandeng Renteng. Pameran poster yang diselengarakan adalah pameran poster untuk menggenang Bapak Guru Budi yang meninggal akibat terjadinya kekerasan di Sekolah. Terhitung ada kurang lebih 68 perupa yang terlibat, jumlah ini belum memasukan peserta pameran poster.
Pameran ini ramai dikujungi oleh penikmat seni dari berbagai kota dan pelajar Pasuruan, banyak pelajar yang datang ke pameran ini adalah salah satu upaya Guru seni rupa Pasuruan untuk melakukan pembibitan perupa muda, pelajar di beri tugas untuk mengapresiasi karya seni dan mengapresiasi perupa yang berpameran. Saya rasa pola ini sangat mengedukasi, mungkin banyak pihak yang melihat pola seperti ini kurang begitu baik karena hanya bertujuan untuk meningkatkan jumlah apresiator pameran dengan mewajibkan pelajar harus datang sebagai tugas pelajaran seni budaya. Namun di luar pandangan seperti itu saya rasa pola ini sanagat baik dan tepat untuk dilakukan sebagai bentuk edukasi untuk menyehatkan skena seni rupa di Pasuruan, berbeda seperti daerah lain yang mana masyaraknya sudah punya pemahaman yang baik terhadap seni rupa dan berbagai kegiatan nya, di Pasuruan tidak begitu pemahaman masyarakat harus benar-benar diabngun agar dapat mengapresiasi karya dengan baik, dan cara meningkatkan pemahaman masyarakat yang paling efektif adalah dimulai dari usia anak sekolah.

Kritik yang ingin saya samapaikan terhadap pameran yang harusnya digelar bulan desember tapi di undur hingga februari ini adalah kemasan display karya, secara alur saya rasa cukup baik namun saya rasa sangat kurang di sana-sini masalah kerapian dan kebersihan, mungkin bisa dimaklumi bila mengetahui bahwa gedung yang dijadikan pameran baru saja selesai dan berbagai alasan lain, namun ini memang menjadi hal yang perlu di koreksi dan ditingkatkan. Selanjutnya adalah saya rasa gandeng renteng harus memiliki rangkaian kegiatan tambahan yang dapat menjadi statement penjelas judul Gandeng Renteng itu sendiri, hingga saat ini saya masih belum begitu memhami judulnya ini sebenernya menjadi tema yang ingin di usung atau sekedar tempelan, tapi saya berharap ini bukan hanya sebuah tempelan melainkan sebuah sub tema yang memiliki makna dan di representasikan di dalam pameran ini, dan untuk dapat merepresentasikan sebuah tema saya rasa perlu ada sebuah penambahan kegiatan yang dapat mengejawantahkan temanya, seperti mengundang seniman yang diminta khusu untuk menjelaskan tema atau karya kelompok KGSP yang mengacu pada pemvisualisasian tema, atau opsi lain yang mungkin dapat diambil digunakan sebagai penjelas. (dnm)
----------eng----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gandeng Renteng is a regular exhibition of art that is regularly heard once a year in Pasuruan, Gandeng Renteng itself is an exhibition initiated by Community of Art Teacher and Visual Artist Pasuruan or so-called KGSP. Renteng Renteng this year is the 8th event, in the event it is more took place in Pasuruan, but in addition to Pasuruan, this activity was held in Taman Budaya Jogjakarta.
During the first Gandeng Renteng until the 7th held collectively the results of the contribution of participants, but in the 8th circulation has been getting help from the government of Pasuruan. I think this is the right step that should be done by the government because Gandeng Renteng is a visual art activity that has a wide impact on the art scene in Pasuruan. The process of cultivating new artists always happen in Gandeng Renteng, in every activity of this exhibition is not only dominated by senior artists but young artists also get the opportunity to participate in the exhibition.
I think the emergence of art space in Pasuruan such as Pawitra Art Space and Gang Wolu Art Space is the impact of the holding of Gandeng Renteng, Gandeng Renteng is like an estuary where various activities that have been held for a year and the achievement of artists in Pasuruan in summarized and presented to the public . There are not many other cities in East Java that is able to perform this kind of work pattern, a measurable and continuous work pattern to nourish the art scene. It is appropriate if we refer to Pasuruan as one of East Java's art mouthpieces that always bring new young artists who excel.
In 8th Gandeng Renteng who became the curator is Zuhkhriyan Zakaria and Figo Dimas Saputra, both are the original youth of Pasuruan which Zuhkriyan is now a lecturer at the Islamic University of Malang and Figo Dimas still counted as an active student in Universitas Brawijaya. This 8th anniversary became more special because of its hearing using the new building of Pasuruan city government, Darmoyudo Art Building, a building that was built to facilitate various arts activities in Pasuruan.

In addition to art exhibitions that showcase paintings and installations, there is also a poster exhibition that is held as a series of activities. The exhibition is conducted using an open call format in which the applicant will be selected by the Curator Team of Gandeng Renteng. The poster exhibition that was held was a poster exhibition to stagnate Mr. Guru Budi who died from violence in the School. There are approximately 68 artists involved, this number has not included poster exhibitors.
The exhibition is crowded by art lovers from various cities and students of Pasuruan, many students who come to this exhibition is one of Pasuruan art teacher's efforts to perform a young artist nursery, students are given the task to appreciate the artwork and appreciate the exhibiting artists. I think this pattern is very educational, maybe many people who see this pattern is not so good because it only aims to increase the amount of appreciation of the exhibition by requiring the students must come as a task of art and culture lessons. But outside of such a view I think this pattern is good and appropriate to be done as a form of education to nourish art scene in Pasuruan, unlike other areas where people already have a good understanding of art and its activities, in Pasuruan not many people's understanding must really be built in order to appreciate the work well, and how to increase the most effective community understanding is started from the age of school children.

The criticism that I want to share with the exhibition that should be held in December but in the retreat until February is the packaging of the display works, the flow I think is quite good but I think very less here and there the problem of neatness and cleanliness, maybe understandable that the building the exhibits have just been completed and various other reasons, but this is indeed something that needs to be corrected and improved. Furthermore, I think that the joints should have a series of additional activities which can be the explanatory statement of title of Gandeng Renteng itself, until now I still not so understand the title is actually a theme that wants in stretcher or just patch, but I hope this is not just a but a sub theme that has meaning and representation in this exhibition, and to be able to represent a theme I think there needs to be an addition of activities that can embody the theme, such as inviting artists who are asked specifically to explain the theme or work of the KGSP group which refers to visualizing the theme, or other possible options that can be taken is used as an explanation. (dnm)
2 notes
·
View notes
Text
Review Pameran “Cahaya dari Timur”
EXHIBITION TITLE : Cahaya Dari Rimur
CURATOR : HERI KRIS
ARTIST : Agung WHS, Agus Wicaksono, Basuki Ratna K, Budi Cahyono, Cahyo Dewanto, Dadang Widjanarko, Dwi Kartika R, Dwi Warno, Edo Adityo, Endah Pribiandari, Hardjito, Heru Kuntoyo, Kris Monika E, M. Ilham S, Muhajir, Nunung Wicaksono, Poetoet Rosso, Rengga AP, Rudi Asmoro, Rulianto, Satrio Lintang, Sugeng Ariyadi, Suharwedy, Sukarno, Surya Anggara, Susetya, Tri Moeljo, Triyono, Tulus Rahadi, Wachid Duhri S, Wasito, Zulfian Ebnu G, Zulfian Hariyadi
EXHIBITION DURATION : 6-30 January 2018
LOCATION : Indigo Art Space - Jl. Mayjend Sungkono No.137, Nambangan Lor, Mangu Harjo, Kota Madiun, Jawa Timur 63121

Review Pameran
Sebagai penanda awal tahun di kota Madiun digelar pameran seni rupa bertajuk “Cahaya dari Timur”, saat banyak kegiatan atau pameran seni yang di adakan di akhir tahun seperti pada akhir 2017 kemarin, di kota-kota besar seperti Surabaya atau Malang semakin mendekati ujung tahun kegiatan kesenian semakin meningkat intensitasnya, tetapi tidak begitu di Madiun meskipun tidak terlalu banyak terjadi penyelengaran kegiatan seni, namun kegiatan yang digelar di awal tahun ini seolah menjadi penyegar di awal tahun untuk medan seni rupa di Madiun. Dalam peta seni rupa Madiun tidak terlalu menonjol karena memang tidak terlalu banyak aktifitas seni rupa yang terjadi di kota ini, informasi yang saya dapatkan dari salah satu seniman yang ikut berpameran dalam pameran “Cahaya dari Timur” adalah pameran yang digelar setahun sekali oleh Pemerintah kota dan kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Aston per periodik, selebihnya tidak ada aktivitas lain.
Pameran “Cahaya dari Timur” ini dilakasankan di Galeri Indigo Art Space, Indigo Art Space sendiri adalah ruang pamer yang di inisiasi oleh pihak swasta, ruang ini berdiri mulai awal tahun 2017 dan diresmikan oleh Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn. Sampai sekarang terhitung ada 4 pameran yang sudah diselengarakan di Indigo Art Space.
Dalam pameran ini diplihnya tajuk “Cahaya dari Timur” bukan tanpa alasan , tajuk ini dipilih sebagai symbol kebangkitan seni rupa di wilayah ex-karisidenan Madiun yang meliputi 5 kota yaitu (Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan) ujar kurator pamaran ini Heri Kris, pameran ini sebenarnya juga menjadi sebuah upaya pemetaan seniman-seniman yang ada di ex-karisidenan Madiun, selama ini seniman masih secara sporadic mengelar berbagai kegiatan seni, dan pola yang sporadic ini membuat keterbacaan nya sangat sulit. Meskipu demikian pihak penyelengara pameran dan kurator juga menyadari bahwa upaya pemetaan tidak akan tuntas hanya dalam pameran ini, harus ada tidak lanjut dari pameran ini terkait pemetaan yang dilakukan.

Selain menjadi sebuah upaya pemetaan pameran in juga diharap mampu emberi pantikan kepada seniman-seniman yang ada di Madiun. Pembacaan kurator terhadap skena seni rupa di Madiun adalah seniman harus banyak belajar untuk mengejar ketertinggalannya, seperti dalam hal karya seniman Madiun masih banyak berkutat pada karya konvensional, seperti lukisan dengan corak mooi indie, yang mana seharusnya seniman mulai dapat membaca tren kekaryaan saat ini seperti halnya karya kontemporer ujar kurator. Lebih lanjut lagi menyoal tentang pengorganisasian sebuah kegiatan pameran, seniman di Madiun harus terus bayak belajar lagi sehingga penyelenggaran kegiatan seni rupa seperti pameran akan dapat dilaksanakan lebih baik dan lebih baik lagi.
Yang menjadi catatan saya adalah bangaimana kota Madiun mencoba untuk berbenah dengan menyelengaran sebuah pameran dengan melibatkan seorang kurator, saya rasa di kota-kota yang skena seni rupa nya tidak terlalu maju cukup asing untuk bekerja membuat sebuah pameran dengan seorang kurator. Terlebih lagi ada sebuah ruang yang di inisiasi oleh pihak swasta untuk digunakan sebagai muara aktifitas seni rupa di Madiun. Meskipun sebenarnya saya kurang begitu puas dengan pameran ini saya sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh perupa Madiun untuk berbenah dan membuat skena seni rupanya semakin sehat.
Mengapa saya tidak begitu puas adalah karena kerja kurator yang saya lihat hanya sebatas menerjemahkan tema, karya yang dipampang juga tidak ada kesinambungan dengan tema, jadi tema hanya terkesan sebagai tempelan untuk membuat garis tengah sebuah pameran, tapi saya juga menyadari bagaimana kesulitan kurator untuk bekerja dengan seniman. Tema harusnya menjadi benang merah terkait isu atau masalah yang terjadi dan kemudian dapat dimunculkan dalam karya-karya yang dipamerkan, hal itu akan menjadi sebuah daya tarik yang membuat pameran menarik, apabila pameran hanya bersifat perayaan untuk saling bertemu dan berpameran bersama, sebenarnya kegiatan itu tidak akan memiliki kepentingan untuk dilihat dalam kontek yang lebih luas. Selanjutnya adalah masalah pendisplayan karya, ini menjadi sesuatu hal yang vital dan harus diperhatikan matang-matang, dalam pameran ini saya merasa terlalu banyak karya yang dipamerkan sehingga ruang pamer begitu terlihat sesak dan karya kurang dapat dinikmati. Semoga untuk pameran selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik dan lebih baik lagi, sehingga apa yang dilakukan oleh seniman di Madiun membuahkan hasil seperti yang diharapkan (dnm)

--------------------ENG-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EXHIBITION REVIEW
As a marker of the beginning of the year in the city of Madiun held an art exhibition titled "Cahaya dari Timur", when many art events or exhibitions are held at the end of the year as at the end of 2017 yesterday, in big cities such as Surabaya or Malang getting closer to the end of the year the arts increased in intensity, but not so in Madiun although there were not too many artistic hearing events, the activities that were held earlier this year seemed to be the freshener at the beginning of the year for the art field in Madiun. In Madiun art map is not very prominent because it is not too much art activities that occur in this city, the information I get from one of the artists who participated in the exhibition "Light of the East" is an exhibition held once a year by the city government and activities performed at Aston Hotel per periodic, the rest no other activity.

This exhibition of "Light of the East" was performed at Indigo Art Space Gallery, Indigo Art Space itself is a private initiated space, this space was established from early 2017 and inaugurated by Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn. Until now there are counted 4 exhibits that have been held in Indigo Art Space.
In this exhibition, the title of "Light of the East" is not without reason, this headline is chosen as a symbol of art awakening in the ex-karisidenan Madiun area covering 5 cities (Madiun, Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan) said the curator of this pseudo Heri Kris , this exhibition is actually also an effort to mapping artists that exist in ex-karisidenan Madiun, artists have been sporadic in various art activities, and this sporadic pattern makes its readability very difficult. Even though the exhibitors and curators are aware that the mapping efforts will not be completed only in this exhibition, there should be no follow up from this exhibition related to the mapping done.
In addition to being an exhibition mapping effort, it is also expected to be able to welcome the artists in Madiun. The curator's reading of the fine arts sculpture in Madiun is that artists have much to learn to keep pace with, as in the case of Madiun artists still struggling on conventional works, such as mooi indie paintings, which artists should be able to read current workplace trends as they do contemporary works said the curator. Furthermore, questioning about organizing an exhibition, artists in Madiun must continue to learn again so that the implementation of art activities such as exhibitions will be done better and better.
What I note is how the city of Madiun tries to improve by hearing an exhibition by involving a curator, I think in cities whose artistic sciences are not too advanced enough to work in an exhibition with a curator. Moreover, there is a space that is initiated by private parties to be used as an estuary of art activities in Madiun. Although in fact, I am less satisfied with this exhibition I really appreciate the efforts made by Madiun artists to clean up and make the art scene seems to be getting healthier.

Why I am not so satisfied is because the curator's work I see is limited to translating the theme, the work that is displayed also does not have continuity with the theme, so the theme just impresses as a patch to make the centerline of an exhibition, but I also realize how difficult the curator to work with artist. The theme should be a common thread of issues or problems that occur and then can be raised in the works on display, it will be an attraction that makes the exhibition interesting, if the exhibition is only a celebration to meet each other and exhibit together, in fact, the activity is not will have the interest to be seen in a broader context. Next up is the issue of the presentation of the work, it becomes something vital and must be considered carefully, in this exhibition I feel too much work on display so that the showroom looks so crowded and less work can be enjoyed. Hopefully for the next exhibition can run better and better again, so what is done by artists in Madiun to fruition as expected (dnm)
1 note
·
View note
Text
Review ‘GURU’
Review ‘GURU’

EXHIBITION TITLE : GURU – kudhu ngGUyu ndelok RUpamu
CURATOR : Pugud Haidi Agusdilla
ARTIST : Firdaus Muttaqi
EXHIBITION DURATION : 16-20 December 2017
LOCATION : Semeru Art Gallery - Jl. Semeru No.12, Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang, Jawa Timur 65119
Video wawancara : https://drive.google.com/drive/folders/14bMPsZhnF2Wf5VmO-WovkNcdixY1iJ9s?usp=sharing

dokomentasi budidayabaik
Banyak seniman di Jawa Timur yang lahir dari akademi kesenian berbasis pendidikan, seperti Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Negeri Malang, atau kampus swasta seperti Universitas Adibuana Surabaya. kampus-kampus ini menjadi penyumbang terbesar seniman akademisi di Jawa Timur, meskipun tidak secara sepisifik di didik untuk menjadi seorang seniman namun banyak lulusanya dari kampus pendidikan ini yang memilih terjun di jalur seni praktis dari pada menjadi seorang guru.
Meskipun banyak seniman yang bersal dari akedemi berbasis pendidikan namun pameran seni yang bercorak pendidikan sangat jarang terselengara, yang lebih banyak terselenggara adalah pameran yang menyoal mengenai masalah lain dan seni itu sendiri.
Firdaus Muttaqi adalah salah satu alumnus Universitas Negeri Malang asal Asembagus Kabupaten Sitobondo yang sekarang berdomisili dan bekerja sebagai guru di kota Malang. Pada tanggal 16-20 Desember firdaus menyelengaran sebuah pameran bertemakan pendidikan dengan judul “GURU – kudhu ngGUyu ndelok Rupamu”, ini menjadi pameran yang menyegarkan saya rasa karena beberapa perhelatan seni yang terjadi di malang akhir-akhir ini hanya menyoal tentang seni, teknis, adapun pameran yang tematik namun tema yang disematkan hanya menjadi tempelan dari karya yang ditampilkan.

dokomentasi budidayabaik
Dalam pameran kali ini menarik melihat seniman membuat pameran dengan menyoal tema pendidikan, masalah yang dilontarkan adalah bahwa sebagai seorang guru seni budaya selalu menuntut siswa didiknya untuk berkarya, namun disisi lain guru itu sendiri tidak pernah berkarya, hanya bekerja atas dasar ekonomi tanpa ada hal lebih lanjut yang dilakukan. Dari permasalah inlah seniman mencoba untuk mengorganisir sebuah karya yang diaktivasi melalui kegiatan pameran.
Presentasi karya yang dilakukan oleh seniman juga sangat baik dimana seniman membuat sebuah ruang kelas yang interaktif yang bisa direspon oleh apresitor, seperti bangku yang apabila dikelas tidak boleh dicorat-coret, di kelas dalam ruang pamer ini bangu boleh dicoret-coret. Selanjutnya ada LJK (lembar jawaban yang biasa dibagikan saat ujian) yang diberikan kepada apresiator, untuk kemudian dapat di isi dengan sesuka hati, seniman menceritakan bahwa didalam kelas lembar tersebut menjadi sebuah momok yang menakutkan karena tiap lembar itu dibagikan berarti akan ada ujian, dan ujian adalah proses ukur kemampuan siswa yang harus diulang hinga siswa mampu mencapai nilai yang sudah menjadi standart. Selain itu untuk benar benar memunculkan kelas seniman menambahkan papan tulisa, dan beberapa aksen yang lain. Seniman juga memamerkan beberapa sketsa karyanya dalam ruang kelas, sebagai statemen bahwa dia juga berkarya tidak seperti guru seni rupa yang lain, yang hanya menuntut untuk siswanya selalu berkarya, namun tidak begitu dengan dirinya sendiri (guru tersebut).

dokomentasi budidayabaik
Pameran ini menjadi salah satu pemeran yang menarik, meskipun bukan menyoal masalah yang berat mengenai metode belajar, kurikulum, atau yang lain, tema yang diangkat seniman cukup umum di kalangan guru seni rupa atau seni budaya, dan seniman dapat memunculkan karyanya tidak hanya melalui satu dudut pandang tapi dilakukan dengan mengkontrusi beberapa sudut pandang melalui karya-karya nya. Dengan adanya karya yang bersifat partisipatif memungkinkan untuk terjadi antara karya, seniman, dan apresiator untuk berdiskusi lebih lanjut membicarakan tentang permasalah yang dimunculkan oleh seniman. (dnm)
--------------------------eng------------------------------------------------------------------------------------------------
Many artists in East Java are born from art academies based on education, such as Surabaya State University and Malang State University, or the Adibuana University. These campuses became the largest contributor of academic artists in East Java, though not as artistically determined to be an artist but many graduates from this education campus who chose to jump in the practical art path rather than become a teacher.

dokomentasi budidayabaik
Though many artists are coming from educational-based educational but educational arts exhibitions are very seldom illustrated, the more organized is the exhibition of questions about other issues and the art itself.
Firdaus Muttaqi is one of the alumni of Malang States Universitas from Asembagus of Sitobondo Regency who is now domiciled and works as a teacher in Malang city. On December 16-20, paradises heard an educational-themed exhibition titled "GURU (TEACHER) - kudhu ngGUyu ndelok RUpamu (wanna laugh look at your face)", this became a refreshing exhibition of my taste because some of the art events happening in Malang lately only question about the art, technical, as for thematic exhibits but the embedded theme only becomes the patch of the displayed work.
In this exhibition is interesting to see artists make the exhibition with the theme of education, the problem is that as a teacher of art and culture always requires students to work, but on the other hand, the teacher himself never works, only working on the economic basis without any more further done. From this problem, artists try to organize a work that is activated through exhibition activities.

dokomentasi budidayabaik
The presentation of the work done by the artist is also very good where the artist creates an interactive classroom that can be responded by the appreciator, such as the bench which in class should not be scribbled, in the classroom in this showroom can be doodled. Furthermore, there is LJK (answer sheet normally distributed during the exam) given to the appreciator, then it can be filled with the heart, the artist tells that in the sheet class becomes a frightening specter because each sheet is shared means there will be exam, is the process of measuring the ability of students who must be repeated until students are able to achieve the value that has become standard. In addition to actually bringing the artist class to add a whiteboard and some other accents. The artist also exhibited some sketches of his work in the classroom, as a statement that he also works unlike other art teachers, who only demand his students to always work, but not so with himself (the teacher).
The exhibition is one of the most interesting actors, although it is not a question of the difficulty of learning methods, curriculum, or anything else, the themes raised by artists are quite common among art or art teachers, and artists can raise their work not only through one angle view but done by contrasting some point of view through his works. With the existence of works that are participatory allows occurring between works, artists, and appreciators to discuss further talk about the problems raised by the artist. (dnm)
1 note
·
View note
Text
Animal Symbolicum

EXHIBITION TITLE : LOOK OF SILENT | solo exhibition
CURATOR : Dwiki Nugroho Mukti
ARTIST : Afif Mustapha
EXHIBITION DURATION : 21-27 November2017
LOCATION : Galeri Raos, Jl. Panglima Sudirman No.47, Ngaglik, Kec. Batu, Kota Batu, Jawa Timur 65311
Animal Symbolicum
Oleh : Dwiki Nugroho Mukti

Manusia adalah animal symbolicum1, atau binatang yang menghidupi dan dihidupi simbol. Ini adalah pernyataan Cassier perihal manusia dalam buku An Essay on Man, yang saya pinjam dan menjadikanya kalimat pembuka untuk tulisan ini, pernyataan ini saya letakkan di awal sebagai statement pembenar menggapa seniman membuat karya dan melakukan pameran ini. Manusia dalam berkomunikasi membuat simbol-simbol untuk dapat saling memahami, kebutuhan untuk saling berkomunikasi terjadi saat itu juga untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Namun tidak begitu dengan binatang, binatang tidak memproduksi simbol untuk berkomunikasi, hanya sebatas tanda.
Dalam pameran ini seniman menempatkan dirinya menjadi juru bicara hewan, seniman mencoba menjadi transmiter yang dapat memancarkan permasalahan-permasalahn hewan terkait kehidupanya yang terancam, kepada manusia. Manusia berkomunikasi melalui simbol yang disepakati, seperti halnya bahasa, gambar, gestur tubuh, dan sebagainya. Berkomunikasi artinya memperhatikan keadaan ektra-semiotis, fakta bahwa keadaan itu dapat diterjemahkan ke dalam term-term semiotis, tidak menyingkirkan kesinambungan kehadirannya dalam berbagai latar belakang fenomena yang meliputi produksi tanda.2 Namun untuk dapat terjadi komunikasi haruslah minimal ada 2 manusia yang sepakat terhadap simbol, bila ada 2 manusia namun tidak memiliki kesepakatan terhadap simbol yang sama, komunikasi juga akan sukar untuk terjalin, atau bahkan tidak sama sekali.
Seniman menangkap apa yang dialami oleh binatang, seperti, rusaknya habitat, menurunnya jumlah, merupakan petanda akan adanya sesuatu yang salah, yang dapat berakibat pada punahnya spesies binatang tertentu, yang mana hal tersebut dari sudut pandang seniman merupakan sebuah masalah yang harus dibicarakan, karena apabila tidak mungkin kepunahan benar-benar akan terjadi dan tentunya akan berakibat buruk karena saat satu unsur dalam ekosisitem hilang tentu saja hal tersebut akan berpengarung pada keseluruhan ekosistem.
Meskipun tidak secara langsung mencita-citakan karyanya menjadi sebuah solusi atas masalah, namun disini seniman ingin membuat sebuah pemantik agar masalah yang seperti ini diperhatikan dan menjadi perhatian, meskipun tidak secara langsung masalah mengenai binatang merupakan masalah yang menyasar kepada, namun saat masalah-masalah yang ingin ditampilkan seniman melalui karyanya benar-benar terjadi itu juga akan memberi dampak yang buruk bagi kehidupan manusia juga tentunya.


Dari gagasan-gasan inilah seniman kemudian membuat simbol-simbol yang sangat visual untuk mengkomunikasikan sudut pandanganya mengenai masalah-masalah yang terjadi terhadap binatang. Seperti dalam karyanya yang berjudul Anthropocene (age of man) disini seniman ingin menyampaikan bahwa melalui bentuk siluet manusia, bahwa di dalam diri manusia terdapat beberapa simbol yang melambangkan kekuatan dan sifat manusia, kepintaran dan keegoisan membuat manusia cepat berkembang dan mendominasi di bumi, sehingga menjadi spesies paling sempurna yang pernah dimuka bumi ini. Karena klain mengenai kesempurnaan inilah yang membuat manusia sering kali melupakan sekitarnya, simbol-simbol yang dimasukan seniman dalam karya ini adalah bahan pakain manusia yang tidak terpakai dan bahan itu adalah bahan jeans, seniman mengunakan simbol bahan-bahan bekas jeans sebagai bentuk simbolik terhadap manusia yang pandai untuk menciptakan sesatu namun seringkali lali untuk menggolah sampah yang dihasilkan dari apa yang ia ciptakan, dan alhasil hal tersebut akan menjadi masalah baru, dan dapat mengancam ekosistem mahluk hidup lain.
Dalam karya-karya yang lain seniman banyak menggunakan lebih dari satu medium untuk mengkontruksi sebuah karya, seperti dalam karya Antagonis, seniman berusaha menjelaskan konsepnya memalui 2 panel lukisan yang disusun secara pararel. Dalam karya ini seniman membicarakan mengenai para pencinta binatang itu senidiri, pecinta binatang adalah orang yang peduli akan kehidupan binatang tersebut, dalam persfektif ini pecinta binatang dibagi menjadi dua kelompok yang memiliki pandangan mereka masing-masing terhadap cara memperlakukan binatang tersebut, yaitu memiliki dan tidak memiliki. Kelompok memiliki disimbolkan oleh penulis berupa kepalan tangan, merasa memiliki seutuhnya dan menganggap binatang tersebut adalah miliknya, sehingga membuat binatang tersebut tidak dapat bertingkah sesuai keinginannya. Keterbatasan bergerak inilah yang membuat binatang tersebut perlahan kehilangan perilaku asli atau liarnya.
Secara garis besar karya seniman membicarakan tentang permasalah yang berkaitan dengan dunia binatang, seniman memvisualisakanya dengan gambar berwarna cerah lalu mengkombinasikanya dengan simbol-simbol sebagai pemertegas statement seniman perihal bagaimana dia mengingkan apresiatornya untuk bersikap. Jika hanya dilihat dari bagaimana seniman memvisualisasikan karya mungkin hanya sepotong yang bisa kita tangkap dari karya-karya yang dipamerkan, namun yang menjadi menarik adalah seniman membuat jembatan dengan menggunakan simbol yang jelas dan disepkati secara umum dalam karyanya agar karyanya dapat terbaca, dan apa yang ingin dia suarakan terkait dengan dunia binatang dapat tersampaikan dengan baik.

1 Ernst Cassirer, An Essay on Man, (Yale University Press, 1944), hlm. 15
‘manusia adalah animal symbolicum, atau binatang yang menghidup dan dihidupi simbol’
2 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, (Indiana University Press, 1976), hlm. 236-237
------------------------------------------------------------------------------------------------------------eng-----------------------------------------------------------------------
Animal Symbolicum
by : Dwiki Nugroho Mukti

Humans are animal symbolicum1 or animals that live and live symbols. This is Cassier's statement about the man in the book An Essay on Man, which I borrow and make it the opening sentence for this paper, this statement I put at the beginning as a statement justifying the artists make the work and do this exhibition. Humans in communicating make the symbols to be able to understand each other, the need to communicate with each other happening right then to meet the needs of human beings as social beings. But not so with animals, animals do not produce symbols to communicate, just a sign.
In this exhibition the artist puts himself into an animal spokesman, the artist tries to become a transmitter who can radiate animal issues related to his threatened life, to humans. Humans communicate through an agreed symbol, just like language, images, body gestures, and so on. Communicating means paying attention to the extra-semiotic state, the fact that it can be translated into semiotic terms, does not exclude the continuity of its presence in various background phenomena including the production of the sign.2 However, for communication to occur there must be at least two human beings who agree on the symbol if there are 2 people but no agreement on the same symbol, communication will also be difficult to establish or even not at all.
Artists capturing what animals experience, such as, habitat destruction, decreasing numbers, are a sign of something wrong, which can result in the extinction of certain animal species, which from the artist's point of view is a problem to be discussed, because if it is unlikely that extinction will really happen and it will certainly be bad because when one element in the ecosystem is gone, of course, it will be embedded in the whole ecosystem.
While not directly appealing to his work to be a solution to the problem, artists here want to create a lighter for this kind of concern to be noticed and noticed, although not directly the question of animals is a problem targeting, but when the problems want to show artists through his work really happened it will also give a bad impact on human life as well of course.

From this idea, the artist then makes highly visual symbols to communicate his or her point of view of the problems that occur with animals. As in his work entitled Anthropocene (age of man) here the artist wishes to convey that through the form of the silhouette of man, that in man there are several symbols that symbolize the strength and human nature, cleverness and selfishness make humans quickly develop and dominate on earth, the most perfect species ever on earth. Because the clause of perfection is what makes humans often forget about the surrounding, the symbols that included artists in this work is unused human gear and the material is the material jeans, artists use symbols of materials used jeans as a symbolic form of human clever to create one but often excavate to compensate for the waste generated from what he created, and as a result it will become a new problem, and can threaten the ecosystem of other living things.
In other works artists use much more than one medium to construct a work, as in the work of Antagonists, the artist tries to explain his concept through two parallel panel drawings. In this work the artist talks about the animal lovers themselves, animal lovers are people who care about the animal's life, in this perspective animal lovers are divided into two groups who have their own views on how to treat the animal, which has and does not have . The group has symbolized by the writer in the form of a fist, feels whole and assumes the animal is his own, making the animal unable to behave as he wishes. This limitation of movement makes the animal slowly lose its original or wild behavior.
Broadly speaking, the artist's work deals with issues related to the animal world, the artist visualizes it with a brightly colored image and combines it with symbols as an assertion of the artist's statement about how he wins his appreciator to behave. If only seen from how the artist visualize the work maybe just a piece that we can capture from the works on display, but the interesting thing is the artist makes the bridge by using the symbol clearly and generally blessed in his work so that his work can be read, and what he wants he is related to the animal world can be well conveyed.
1 Ernst Cassirer, An Essay on Man, (Yale University Press, 1944), page. 15
'Humans are animal symbolicum, or animals that live and live the symbol'
2 Umberto Eco, A Theory of Semiotics, (Indiana University Press, 1976), page. 236-237
1 note
·
View note
Text
LABPAS Kelas performa 1 -Respon Ruang-
LABPAS
Kelas performa 1
-Respon Ruang-
Di Lidah Wetan dekat Kampus Universitas Negeri Surabaya Lidah Wetan di area pintu masuk menuju perumahan citraland terdapat patung balerina, patung tersebut sudah ada disitu kurang lebih 15 tahun, namun minggu lalu kiranya patung tersebut kurang berungtung, patung tersebut diturunkan karena mendapat protes terkait dengan isu pornografi, karena pose yang ditampilkan tidak senonoh atau semacamnya.
Namun ini bukan menjadi soal, masyarakat selalu memiliki benar salah yang tidak bisa disalahkan. Daripada memprotes atau merespon masalah tersebut LABPAS melihat peristiwa ini sebagai kelahiran ruang baru untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan salah satunya adalah performance art. Performance menjadi sebuah medium berekpresi yang sangat bebas, mengunakan tubuh dan bentuk ekperimentasi lain untuk mengkontruksi karya yang dapat berkomunikasi kepada apresiatornya, secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam kelas performa pertama ini yang dilakukan adalah dengan merespon ruang. Kenapa performance art tepat untuk dilakukan disitu, karena tempat yang dulunya ditempati patung kini menjadi stage yang strategis karena berada ditengah-tengah jalan raya, dan memiliki penerangan yang sangat baik, sehingga akan sangat menarik untuk dimanfaatkan sebagai ruang untuk berbagai kegiatan seni.
Ruang baru ini bisa menjadi sebuah tempat alternatif yang dimanfaatkan untuk mensiasasi minimnya ruang berkesenian di Surabaya, mungkin lebih spesifik di Surabaya Barat sampai saat ini tidak ada ruang yang benar-benar dapat digunakan sebagai tempat berekpresi maupun apresiasi. Yang paling memungkinkan adalah Gedung-gedung pertunjukan di Universitas Negeri Surabaya, namun tentu pengunaanya sangat terbatas pada kegiatan perkuliahan saja, tidak serta merta dapat digunakan secara bebas untuk kegiatan seni yang tidak berkaitan dengan kegiatan akademis kampus. Galeri seni rupa juga hampir tidak ada. Mungkin yang tersisa tinggal Galeri Orasis di daerah Surabaya Barat atau lebih tepanya di derah Jl. HR. Muhammad, namun sekarang juga sudah sangat jarang digunakan untuk kegiatan seni. Tinggal beberapa ruang yang di inisiasi oleh kelompok kolektif seperti ruang /SANDIOLO, Studio 5, RSSK, dan beberapa lagi yang lain. Yang perlu digaris bawahi adalah peran pemerintah sebagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap seni dan budaya tidak melakukan apapun terkait dengan kurangnya sarana yang tersedia. Dengan adanya ruang baru yang muncul di lokasi yang strategis, dan memiliki tata cahaya yang baik saya rasa ini akan menjadi solusi alternatif untuk mensiasasti minimnya ruang.
Performance art 1
Seniman : Fathurrohman (Teddy)
Judul : Kekuatan Dari dalam
Durasi : 10 menit
Diskripsi Karya : konflik yang terjadi karena pesatnya kemajuan dan pengunaan sosial, masalah yang muncul bisa dalam latar belakang apapun seperti agama, politik, sosial, atau bahkan hal yang remeh temeh. Tapi penyelesaian terhadap masalah yang terjadi disosial media selalu di selesaikan di dunia nyata dengan mengedepankan kekuatan fisik, pertikaian dalam medium-medium digital menjadi wacana nisbih yang harus di selesaiakan secara fisik, dan tentu saja saat masalah yang di selesaiakan menggunakan fisik menang kalah adalah takaran kekuatan, siapa yang lebih kuat akan menang.



Performance art 2
Seniman : Ryzald Towenk & Erfano Fardika
Judul : Bajul Balerina
Durasi : 10 menit
Diskripsi Karya : menangapi isu yang terjadi di ruang yang direspon, yaitu masalah pencopotan patung balerian karena diangap patung tersebut mengambarkan pose yang tidak senonoh. Menampilkan ulang patung tersebut dalam bentuk performance dengan penambahan objek visual simbol pengekangan, dan topeng boyo sebagai identitas surabaya.






1 note
·
View note
Text
ARTS, TECHNOLOGY AND ARTIST AS A CULTURAL TRANSISTOR
EXHIBITION TITLE : Novart 2017 | Seni dan teknologi
CURATOR : Dwiki Nugroho Mukti
ARTIST : Benny Wicaksono, Zuhkhriyan Zakariya, Zalfa Robby, Yuan Alfansa, Ahmad Marwan Hadid, Rizka Azizah Hayati, Candra Pras, Blorok Project, Imanullah NA, DKV Stikom Surabaya, Figo Dimas, M. Reza Rizky Nazarudin, Febri Ari & Wahyu Aji, Deny Renanda Putra, Lavinia AS & Nadira AS, Ariel Muhammad Zein, Muhammad Aziz M, Alfian Setya, Muhammad Nur Ikhsan, Emiliano Karisma Tardifiasto, Fandi Ahmad Fajar, Anang Tsani, Rizky Eka S, Insan Scout, Akbar Warisqianto, Danang Triwahono, Benediktus Widiarinantaka, Ayax, Helmi Zuhdi, Raisa Hajar Matahati, Bagas Cahya W, Ageng Lucky, Febryanda Wahyu Ramdhany & Muthi Azizah, Dymas Nanda S, Bambang Purwanto & Devid Khoirur R, Cakra Magazine & Moch Rizki Nugroho, Adji Jamal Wicaksono, Mohamad Suyuti, Gara (Liu) Hidayat & Franciscus Xaverius, Alvin Cahya, Vlavac Art Division, Karimatus Sa’adah , Alif Sukma M.
EXHIBITION DURATION : 2- 4 November 2017
LOCATION : Gedung Sasana Krida, Univ. Negeri Malang

SENI, TEKNOLOGI, DAN SENIMAN SEBAGAI TRANSISTOR KEBUDAYAAN
Oleh : Dwiki Nugroho Mukti
Seni menjadi hal yang mengarah kepada esensi rasa, seniman memproduksi karya dengan cara yang unik, mengunakan daya imajinatif, kontemplatif, sehingga karya akan memiliki nilai filosifis yang mendalam. Meskipun tujuannya sama tapi cara untuk memproduksinya tidak selalu sama, atau bahkan terus berkembang sesuai dengan zaman nya, seniman mampu merespon hal-hal yang ada disekitarnya untuk dijadikan sumber ide dari penciptaan sebuah karya.
Beralih untuk membicarakan apa yang sedang terjadi sekarang, dan apa yang mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi. Teknologi menjadi salah atu faktor bagaimana pesatnya perubahan yang terjadi sekarang ini, teknologi adalah alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, manusia terus menggali untuk dapat menemukan alat yang dapat membantunya lebih dan lebih lagi, membuat usaha yang dikeluarkan lebih sedikit namun menghasilkan hasil yang lebih banyak, kurang lebih beginilah gambaran teknologi.
Bila diartikan secara sederhana maka kita akan mendapati bahwa teknologi menjadi buah kreasi manusia dengan pendekatan logis untuk mempermudah pekerjaanya. Sedangkan seni adalah buah kreasi manusia dengan pendekatan rasa. Pembedanya menjadi jelas dimana teknologi dengan pendekatan logika dan nilai fungsionalnya, sedangkan seni sebagai diciptakan dengan pendekatan rasan dengan berbagai makna filosofis yang terkandung didalamnya.
Namun untuk dewasa ini, sekat yang dijelaskan diberikan sebagai arti menjadi kabur antara seni dan teknologi. Penjelasan dalam paragraf sebelumnya menjadi nisbih, menjadi tidak berarti apapun, karena kaburnya batasan tersebut. Dewasa ini setelah teknologi diciptakaan untuk memenuhi kebutuhan primernya, maka kebutuhan muncul berbagai kebutuhan sekunder untuk teknologi tersebut agar dapat lebih diterima. Salah satunya adalah memasukkan unsur-unsur keindahan dalam teknologi tersebut, seperti dengan desain yang manarik, atau penambahan ornamen-ornamen. Hal ini ditujukan untuk mencuri perhatian dan akhirnya teknologi ini dapat diterima dengan baik. Tentu saja ini adalah efek dari pola industrialisasi yang terjadi, sehingga benda yang memiliki fungsi tertentu harus ditambahi dengan pelegkap sekunder atau bahkan tersier untuk dapat diterima dan dikonsumsi. Sudut pandang pemaparan dari kalimat sebelumnya adalah dimana teknologi memerlukan sentuhan seni. Lantas apa yang terjadi sebaliknya ? dalam pembuatan karya seni dengan menggunakan teknologi.

Seniman mengunakan teknologi sebagai medium untuk dijadikan sebagai bagian dari karya, atau bahkan teknologi yang ada di modifikasi sedemikian rupa sehingga menjadikanya sebuah karya seni.
“As collage technique replaced oil paint, the cathode ray tube will replace the canvas. Someday artists will work with capacitors, resistors, and semiconductors as they work today with brushes, violins and junk. There are 4,000,000 dots per second on one television screen, just think of the variety of images you can get. It's so cool. It's like going to the moon.â€.1
Kalimat di atas adalah kalimat yang di lontarkan oleh Nam June Paik, apa yang di ucapkan oleh Nam June Paik menjadi hal yang memang terjadi saat ini, dimana seniman bekerja dengan medium-medium berbasis teknologi seperti halnya seniman bekerja menggunakan kuas, dan ini bukan menjadi suatu hal yang mengejutkan, karena memang teknologi tersebut sangat dekat dengan seniman.
Seniman memilki cara pandang berbeda dalam penggunaan teknologi, atau bahkan tafsir yang unik terhadap fungsi. Penelusaran awal yang bisa didapati pada fotografi dimulai pada abad ke 18 saat kamera ditemukan, alat foto awalnya dibuat sebagai alat untuk dapat mengabadikan momen yang terjadi, bila sebelumya manusia menggunakan lukisan untuk mengabadikan momen, dan teknologi (kamera) digunakan untuk memutakhirkanya, namun setelah muncul teknologi fotografi dengan fungsi yang jelas, seniman menginterpretasikan alat fotografi sedemikian rupa, sehingga kita bisa mendapati karya fotografi yang sangat kental nuansa seninya, entah dari cara pengambilan gambar, objek yang diambil, atu hal-hal lain yang bersifat ekperimental dalam dalam praktik penggunaan kamera. Setelahnya lebih banyak lagi teknolohi yang digunakan untuk keperluan seni.
Karya seni memang tidak memiliki batasan medium untuk membuatnya dewasa ini, tanpa sebuah medium pun karya juga dapat dibuat dewasa ini, seperti karya yang hanya bebentuk gagasan, saat seniman mampu mempertanggung jawabkanya sebagai karya seni, maka apa yang dia buat akan sah menjadi sebuah karya seni. Kehidupan sehari-hari manusia dewasa ini, sangat tidak bisa dilepaskan dari penggunaan teknologi, seperti televisi, kompor gas, mesin cuci, handphone, dan banyak lagi yang lain. Ini lah yang membuat seniman untuk berkarya menggunakan teknologi, karena teknologi  fcmenjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya.

Yang menjadi tantangan bagi seniman adalah seberapa jauh mereka mampu menangkap gejala yang terjadi di sekitarnya, terkait bagaimana teknologi sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Di Dalam era mikroelektronika, objek tidak lagi sekedar perpanjangan tangan manusia seperti dikatakan McLuhan, tetapi kini merupakan ekspresi langsung dari diri manusia, menjadi diri manusia – semacam cyborg 2. Kemudian dapatkah seniman menjadi transistor gejala-gejala yang terjadi disekitarnya melalui karya yang dibuatnya, ataukan seniman hanya harus berkutat dalam ranah estetis sembari terus tenggelam dalam lautan teknologi yang di gunakan tiap hari.
1 Quote diambil dari laman https://en.wikiquote.org/wiki/Nam_June_Paik
2 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Berlari (Yogyakarta, 2004), 264
--------------------------eng--------------------------------------------------------------------------------------
ARTS, TECHNOLOGY AND ARTIST AS A CULTURAL TRANSISTOR
Art becomes a thing that leads to the essence of taste, the artist produces the work in a unique way, using imaginative, contemplative so that the work will have deep philosophical value. Although the goal is the same the way to produce it is not always the same, or even growing in accordance with its era, the artist is able to respond to the things around him to be the source of ideas from the creation of a work.
Toggle to talk about what is happening now, and what affects the changes that occur. Technology is one of the factors of how rapidly the changes are happening right now, technology is a tool to simplify human work, humans keep digging to find tools that can help it more and more, making fewer efforts but producing more results, less this is more the picture of technology.

Simply understood, we will find that technology is the fruit of human creation with a logical approach to facilitate its work. While art is the fruit of human creation with a sensing approach. Differentiation becomes clear where technology with its logical approach and functional value, while art as created with a sensing approach with various philosophical meanings contained.
But for the present, the limits described are given as meaning to be blurred between art and technology. The explanation in the preceding paragraph becomes relative, meaningless, because of the blurring of that boundary. Nowadays after the technology is created to meet its primary needs, the need arises a variety of secondary needs for the technology to be more acceptable. One of them is to incorporate the elements of beauty in the technology, such as with the attractive design, or the addition of ornaments. This is aimed at stealing the attention and finally, this technology is well received. Of course, this is the effect of the industrialization pattern that occurs, so that objects that have certain functions must be added with secondary or even tertiary to be acceptable and consumable. The exposure point of the previous sentence is where the technology requires a touch of art. So what happens otherwise? in making artwork using technology.

Artists use technology as a medium to serve as part of a work or even technology that is modified in such a way as to make it a work of art.
“As collage technique replaced oil paint, the cathode ray tube will replace the canvas. Someday artists will work with capacitors, resistors, and semiconductors as they work today with brushes, violins and junk. There are 4,000,000 dots per second on one television screen, just think of the variety of images you can get. It's so cool. It's like going to the moon.â€.1
The above sentence is the phrase that Nam Nam Paik puts forward, what Nam June Paik says is the thing that is happening right now, where artists work with technology-based mediums just like artists work using brushes, and this does not become a which is surprising because the technology is very close to the artist.
Artists have different perspectives on the use of technology or even a unique interpretation of the function. The initial exploration that can be found in photography began in the 18th century when cameras were invented, a photo tool was originally created as a means to immortalize the moment, if before man used painting to capture the moment, and technology (camera) was used to update it, photography technology with a clear function, artists interpret photographic tools in such a way that we can find photography that is very thick art nuances, whether from shooting, the object was taken or other things that are experimental in the practice of using the camera. After that more technology used for art purposes.
Artwork does not have the limits of medium to make it today, without a medium of work can also be made today, like a work that only takes the form of an idea, when the artist is able to account for it as a work of art, then what he makes will legitimately become a work of art . Everyday human life today, very cannot be separated from the use of technology, such as television, gas stove, washing machine, mobile phone, and many others. This is what makes the artist work using technology because technology becomes a part of daily life.
The challenge for artists is how far they are able to capture the surrounding phenomena, as to how technology has become an integral part of life. In the era of microelectronics, the object is no longer just an extension of the human hand as McLuhan says, but now it is a direct expression of the human self, becoming a human being - a kind of cyborg 2. Can artists transistor the symptoms around him through his work, artists only have to dwell in the realm of aesthetics while continuing to sink into the ocean of technology that is in use every day.

1 Quote taken from  https://en.wikiquote.org/wiki/Nam_June_Paik
2 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Berlari (Yogyakarta, 2004), 264
0 notes
Text
Review Biennale Logam kota Pasuruan

Dibelahan bumi manapun acara seni rupa yang bernamakan bienalle selalu akan mengiring opini kita kepada event pameran seni rupa yang besar, yang mewah, atau bahkan ekperimental. Karena memang nama biennale selain berarti event yang dilakukan tiap 2 tahun sekali, biennale juga memiliki sejarah yang panjang terkait dengan perkembangan seni rupa. Seperti kita tahu bienalle yang tertua adalah venice bienalle, lalu kemudian di susul oleh kota-kota besar lain didunia untuk membuat bienalle, dan tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia ada 3 perhelatan bienalle yang meiliki usia yang cukup tua dimulai dari Jakarta Biennale, Jogja Biennale, dan Jatim Biennale. Selain 3 perhelatan bienalle tersebut ada beberapa event bienalle yang muncul seperti Makasar Bienalle, Biennale Grafis di Bandung, Biennale Klaten, Biennale Sumatra, dan beberapa kegiatan lain yang menggunakan nama biennale.
Gejala biennalisasi juga terjai di Pasuruan, Pasuruan adalah salah satu kota di Jawa Timur yang memiliki perkembangan seni rupa yang signifikan, mulai dari banyaknya kegiatan yang muncul tiap tahun nya dan ruang-ruang alternatif yang bermunculan. Di Pasuruan Biennale menjadi kegiatan yang dibuat dengan mengabaikan konsepsi biennale yang umum selama ini, seperti biennale harus menjadi acara yang mampu memunculkan isu daerah, memetakan seniman lokal, melakukan internasionalisis diri, atau tujuan-tujuan yang lain yang biasanya di sematkan dalam penyelengaraan biennale.Yang terjadi di Pasuruan adalah biennale diadakan oleh KADIN (Kamar dagang dan Industri) kota Pasuruan, dan tujuan diadakan biennale ini adalah untuk memantik para pengrajin bisa menciptakan karya yang lebih kreatif dengan bentuk karya yang lebih dinamis, upaya yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan bienalle diharap para pengrajin akan semakin terpacu untuk membuat karya ekperimental, dan karya yang dihasilkan nantinya dapat menjadi sebuah produk unggulan.

Biennale yang diselengarakan di Pasuruan menjadi sangat menarik ketika mereka berani membuat dan mempermainkan konsepsi biennale dengan sangat leluasa, memang biennale tidak memiliki pakem yang mengikat dan harus dilakukan saat menyelengarakan biennale. Saat mendengar biennale opini kita akan selalu di giring pada acara yang sakral dan dikultuskan, namun yang terjadi di Pasuruan paradigman yang demikian benar-benar dibongkar dan dimaknai ulang dengan sesuka hati, menurut saya ini hal yang sangat menyenangkan, saat kegiatan yang sakral bagi seni rupa lalu di selengarakan oleh sebuah dinas pemerintahan yang mana mereka juga tidak terlalu paham dengan konsepsi penyelengaraan biennale, namun mereka berani untuk menyelegarakan dalam pemahaman yang terbatas, tentu saja ini menjadi hal yang terkesan prematur sekaligus ekperimental. Kenapa prematur, karena saat tidak dibarengi dengan pengetahuan dan referensi yang cukup biennale yang di adakan di Pasuruan hanya terkesan seperti pameran biasa yang diberi judul biennale. Kenapa ekperimental, kerena meskipun penyelengara buta mereka tetap mencoba meraba dengan meilibatkan Zuhkriyan Zakaria seorang kurator asli Pasuruan untuk membawa perhelatan biennale ini menjadi kegiatan yang seirus, lebih dari sekedar peran seperti pada umumnya. Meskipun kurator banyak bercerita bahwa kerjanya banyak mendapat pembatasan dari lembaga yang menginisisinya, namun dia sepakat untuk bienalle ini sebagai ajang ekperimentasi yang dilakukan oleh Kadin dan oleh pengrajin, bagaimana upaya lembaga pemerintah untuk dapat mendorong kreatifitas pengrajin lewat perhelatan yang saat namanya diguakan akan terlihat penting, yaitu ‘biennale’.Namun meskipun biennale yang diselenggarakan di Pasuruan sangat fleksibel dalam memaknai dirinya tanpa peduli dengan konsepsi biennale pada umumnya, mereka tetap berpegang bahwa bienalle adalah acara yang di laksanakan tiap 2 tahun sekali dan di selengarakan secara berkelanjutan.
Biennale yang di selengarakan di Pasuruan mengambil nama biennale logam, karena di tahun ini mereka berfokus untuk memarkan karya-karya berbahan logan dari para pengrajin. Logam dipilih menjadi tema juga karena Pasuruan adalah kota yang memiliki keunggulan industri di sektor logam. Untuk tahun depan mereka berencana untuk membuat biennale mebel, dan 2 tahun ke depan kembali ke biennale logam dan seterusnya.
Yang menjadi catatan penting adalah saat bagaiman biennale bisa menjadi perhelatan yang sangat cair dan bisa dimaknai dengan lelusasa, tanpa ada tendensi yang seriuspun biennale tetap bisa di selengarakan. Bila di kota lain mungkin dalam penyelengaraan biennale akan selalu menimbulkan pro kontra, karena nama yang terlalu berat dan terlanjur di kultuskan. Di Pasuruan biennale di selengarakan oleh sebuah lembaga, dan mereka berani memaknai bienalle dengan sangat leluasa. Ini merupakan entuk ekperimentasi terhadap nama biennale, dan tentu saja sangat menarik. Biennale hanya sekedar nama sebagai pemantik kreatifitas para pengrajin, atau seniman.
____________eng________________________________________________________________________
Whichever part of the earth any art event that is called Biennale will always lead our opinion to the big art exhibition event, which is luxurious, or even experimental. Because it is the name of biennale besides means the event is done every 2 years, biennale also has a long history associated with the development of fine arts. As we know the oldest biennale is Venice Biennale, then later followed by other major cities in the world to make biennale, and not least in Indonesia. In Indonesia, there are 3 Biennale events that have a fairly old age starting from Jakarta Biennale, Jogja Bienalle, and East Java Bienalle. In addition to these three biennial events, there are several biennial events that appear like Makasar Bienalle, Bienalle Graphics in Bandung, Bienalle Klaten, Bienalle Sumatra, and some other activities that use the name of the Biennale.

Biennialization symptoms also occur in Pasuruan, Pasuruan is one of the cities in East Java that has a significant visual development, ranging from the number of activities that appear each year and alternative spaces that appear. In Pasuruan Biennale is an activity created by ignoring the general biennial conception so far, such as a Biennale must be an event capable of raising regional issues, mapping local artists, self-conducting internationalism, or other purposes usually attended in the Biennale. occurs in Pasuruan is a biennale held by KADIN (Chamber of Commerce and Industry) of Pasuruan, and the purpose of this Biennale is to induce the craftsmen can create more creative works with more dynamic forms of work, the effort is to hold biennale expected of the craftsmen will be increasingly encouraged to make experimental work, and the resulting work will later become a superior product.
Biennale held in Pasuruan becomes very interesting when they dare to make and play a conception of biennale very freely, the biennale does not have a binding grip and should be done when conducting biennale. When we hear the biennale of our opinion will always be swayed at the sacred and cult event, but what happened in Pasuruan paradigm that is really dismantled and reinterpreted at will, I think this is very fun, when the sacred activity for art than on the list by a government agency which they are also not very familiar with the conception of the biennale, but they dare to hold in a limited understanding, of course, this becomes impressed premature as well as experimental. Why premature, because when not accompanied by enough knowledge and reference biennale that was held in Pasuruan just seemed like an ordinary exhibition entitled biennale. Why experimental, even though blind organizers they still try to feel with Zuhkriyan Zakaria Pasuruan a curator of the original to bring this biennale event into a serious activity, more than just a role as in general. Although the curator has much to say that his work has been heavily restricted from the institute which informs him, he agrees to this bienalle as an arena of experimentation by Kadin and by craftsmen, how the government agencies can encourage the creativity of artisans through the event which, when used, namely 'biennale'.However, although the biennale held in Pasuruan is very flexible in interpreting itself regardless of the biennale conception in general, they still hold that biennale is an event held every 2 years and held in a sustainable manner.
The biennale in Pasuruan takes the name of a metal biennale, because this year they are focusing on exposing works made from logan from the craftsmen. Metal is chosen to be a theme as well because Pasuruan is a city that has an industrial advantage in the metal sector. For next year they are planning to make furniture biennale, and 2 years ahead back to metal biennale and so on.

The important note is when the biennale can be a very fluid event and can be interpreted freely, without any serious tendencies biennale can still be held. If in another city may be in the implementation of the biennale will always cause the pros cons, because the name is too heavy and already in the cult. In Pasuruan biennale organized by an institution, and they dare to interpret bienalle very freely. This is an experimentation of the name of the biennale, and of course very interesting. Biennale is just a name as a creator lighters, or artists.
1 note
·
View note
Text
Review Lokakarya Kuratorial Seni Rupa Jember 2017

Di bulan Desember ada kegiatan seni rupa menarik yang diselengarakan di Jember yaitu Lokakarya Kuratorial Seni Rupa, acaranya berlangsung mulai tanggal 4 sampai tanggal 10 Desember, acara ini digagas oleh pegiat seni rupa Jember yaitu Jember Art Frame, the Anglo-Saxon Tavern sebagai cafe yang sekaligus menjadi ruang alternatif untuk berpameran, dan Ayos Purwoadji kurator independent asal Jember yang kini berdomisili di Surabaya.

Kegiatan ini menjadi sebuah kegiatan yang menarik karena kegiatan ini muncul di Kota Jember, posisi Jember dalam peta seni rupa di Jawa Timur sebenarnya tidak begitu menonjol dan masih lebih tertinggal bila dibanding Surabaya, Malang, Pasuruan, atau bahkan Gresik. Selama ini memang jarang ada perhelatan kegiatan seni rupa yang dilaksanakaan di Jember, kalaupun ada kegiatan itu hanya dalam lingkup lokal jadi sangat kurang terbaca. Beberapa kelompok seni rupa yang aktif di Jember adalah seniman yang menggelompokan diri dan membuat kolektif, selain itu ada juga peran UKM kesenian dari Universitas Jember juga menjadi pegiat-pegiat seni rupa yang aktif berkontribusi membuat kegiatan seni rupa di kota Jember.

Kegiatan lokakarya kuratorial ini adalah kegiatan lokakarya kuratorial pertama yang pernah di selengarakan di Jawa Timur, dan yang membuat menarik penyelengara kegiatan ini adalah para pegiat seni rupa yang merasa memiliki kebutuhan untuk tahu, dan membuka dirinya terhadap praktek-praktek yang mungkin di kerjakan dalam seni rupa selain menjadi seniman. Teman-teman pegiat seni rupa yang menginisiasi kegiatan ini sama sekali tidak terafiliasi dengan instasi kesenian pemerintah, seperti dewan kesenian kota, dinas pendidikan, dinas pariwisata atau instansi peerintah lain yang secara langsung memiliki kewajiban terhadap pengembangan dan pemajuan seni dan budaya, jadi kegiatan ini memang dilaksanakan secara kolektif karena pegiat seni rupa di Jember merasa ada kebutuhan yang harus dipenuhi, para pegiat seni rupa di Jember tidak hanya menuntut untuk di penuhi kebutuhannya, tapi mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan nya sendiri secara kolektif. ini menjadi pola gerak yang sehat untuk dilakukan oleh para pegiat seni rupa, alih-alih hanya menggeluh bergerak adalah solusi terbaik untuk memajukan.
Teman-teman pegiat seni rupa di Jember sebenarnya sudah pernah melakukan pola kerja kutator dalam menyelengarakan sebuah kegiatan seni, namun mereka belum benar-benar memahami dengan baik kerja kurator secara definitif, untuk menguatkan landasan kerja kurator yang dilakukan oleh teman-teman pegiat seni rupa di Jember maka diadakanlah kegiatan ini.

Total peserta yang terlibat adalah 6 orang, dengan asumsi bahwa bila peserta sedikit maka kelas akan lebih kondusif dan intens, sehingga materi yang diberikan akan lebih dapat diperbincangan dengan leluasa. Pemateri yang mengisi kegiatan ini adalah antara lain; Benny Wicaksono (Kurator Jakarta Bienalle 2015), Leonhard Bartolomeus (Kurator RURU Galeri), Dwiki Nugroho Mukti (Kurator /SANDIOLO Space), Ignatius Suluh (Seniman), Halim Bahriz (Penulis Seni), RZ Hakim (Founder Kalisat Tempo Doeloe), dan Rifandi Septiawan Nugroho (Arsitek).
Sebagai hasil dari proyek ini, peserta akan diminta untuk memutakhirkan proyek yang telah di submit sebagai persyaratan untuk mengikuti program lokakarya ini. Semoga program seperti ini dapat terjadi di daerah-daerah yang lain agar gambaran tentang seni rupa semakin luas, tidak hanyak berkutat kepada teknik dan pasar, namun untuk dapat menembus itu semua dan menjadi titik penting banyak kerja lain yang harus dilakukan, untuk menyehatkan ekosistem seni rupa tidak cukup hanya dengan semua pegiat menjadi seniman, namun kerja-kerja lain dalam ranah seni ruap yang menunjang sehatnya ekosistem juga harus mulai diperhatikan.(dnm)
_________eng____________________________________________________________________________________________________________________
In December there is an interesting art activity held in Jember, namely Curatorial Workshop of Visual Arts, the event took place from December 4 to December 10, the event was initiated by Jember art activist Jember Art Frame, the Anglo-Saxon Tavern as a cafe that at once become an alternative space for exhibition, and Ayos Purwoadji is an independent curator from Jember who is now domiciled in Surabaya.

This activity became an interesting activity because this activity appeared in Jember City, Jember position in the fine art map in East Java is actually not so prominent and still more left behind than Surabaya, Malang, Pasuruan, or even Gresik. So far, there is seldom any event of art activities conducted in Jember, even if there are activities that are only in the local scope so very unreadable. Some art groups that are active in Jember are artists who group themselves and make collective, in addition, there is also the role of artistic SMEs from the University of Jember also became activists who actively contribute to make art activities in the city of Jember.
The work of this curatorial workshop was the first curatorial workshop ever held in East Java, and which attracted the audience of this activity were artists who felt they had a need to know and opened themselves to practices that might be done in art besides being an artist. Friends of art activists who initiate this activity are not at all affiliated with government art agencies, such as city art councils, education offices, tourism agencies or other government agencies that directly have an obligation to the development and promotion of arts and culture, so this activity is indeed implemented collectively because art activists in Jember feel there is a need to be met, the artists in Jember not only demand to meet their needs, but they prefer to meet their own needs collectively. this becomes a healthy pattern of motion to be performed by art activists, Instead of just a grip move is the best solution to advance.

Friends of art activists in Jember have actually done the curator's work in performing an art activity, but they have not really understood well the curator's work definitively, to strengthen the curator's work foundation by friends of art activists in Jember then held this activity.
The total number of participants involved is 6 people, assuming that when the participants are few then the class will be more conducive and intense, so that the material given will be more freely discussed. The speakers who fill this activity are among others; Benny Wicaksono (Curator of Jakarta Bienalle 2015), Leonhard Bartolomeus (Curator of GURY Gallery), Dwiki Nugroho Mukti (Curator / SANDIOLO Space), Ignatius Suluh (Artist), Halim Bahriz (Art Writer), RZ Hakim (Founder Kalisat Tempo Doeloe), and Rifandi Septiawan Nugroho (Architect).

As a result of this project, participants will be required to update the submitted project as a requirement for this workshop program. Hopefully this kind of program can happen in other areas so that the visuals of art will be wider, not only focusing on technique and market, but to be able to penetrate it all and become an important point of many other work to be done, to nourish the art ecosystem not enough just with all activists to be artists, but other works in the realm of art that support the healthy ecosystem must also be considered. (dnm)
1 note
·
View note
Text
CROSSFADE 3.1

dokumentasi foto def-n
Rabu 15/11/2017, Def-n sebagai salah satu kelompok pengiat noise di surabaya menyelengarakan CROSSFADE 3.1, kegiatan ini diselengarakan di Duduk Duduk Aja Crative Workshop, Jl. Karah Agung 36A, Surabaya. Kegiatan ini menjadi menarik karena tidak hanya menjadi tempat kumpul dan tampil pegiat musik noise namun acara ini ada untuk menjadi fasilitator dari seniman musik noise asal US Ginny of VX Bliss dan Kirain Aurora, yang mana mereka sedang melakukan tur proyek “Indonesian Tour”.

dokumentasi foto def-n

dokumentasi foto def-n

dokumentasi foto def-n
CROSSFADE sendiri adalah even rutin yang diselengarakan oleh Def-n sebagai bentuk aktivasi skena musik noise di Surabaya, dalam kegiatan ini s seniman noise asal US yaitu Ginny of VX Bliss dan Kirain Aurora tidak hanya melakukan penampilan bermusik tapi mereka juga diminta untuk berbincang mengenai musik ekperimental dan musik noise. Kegiatan diskusi dimulai pukul 15.00 sampai 17.00. Barulah setelah itu dilanjut dengan penampilan musik noise, oleh; Karnivulgar x Hyperallergic, Noise Brut, 2key-M feat Fabrojoy, Trastrash (JKT), Thorn The Beauty (Gresik), VX Bliss (NY), dan Kiran Arora (LA).

dokumentasi foto budidayabaik
Selain ada duo seniman dari US, ada juga Trastrash asal Jakarta yang sedang melakukan proyek “coli-day” dan juga turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Tur Coli-day sendiri adalah proyek yang di inisiasi oleh Trastrash untuk berlibur ke beberapa kota di pulau jawa dengan melakukan live performance secara acak ke ruang-ruang seni di kota yang disinggahi. Karya Trastrash dalam melakukan performance adalah video yang berisi footage gambar yang terkumpul melalui format open call sebelumnya, jadi sebelum melakukan tur ini Trastras melakukan opencall untuk mengajak siapun untuk berpartisipasi menjadi footage yang akan di olah oleh Trastrash dan ditampilkan dalam penampilanya. Selain gambar bergerak dalam penampilanya Trastrah juga bermain main dengan audio. Sebelum singgah ke Surabaya Trastrash sebelumnya melakukan perform di Semarang, Salatiga, Solo, kemudian ke Surabaya, dan yang terakhir dilanjut ke Solo. (dnm)
1 note
·
View note
Text
EAST JAVA YOUTH ART FESTIVAL
JATIM Youth Art Festival

Fragmen Naratif
Jawa Timur, merupakan sebuah provinsi yang terletak di bagian paling timur Pulau Jawa. Dengan ibukota Surabaya, Jawa Timur merupakan provinsi dengan wilayah terluas diantara 6 provinsi di Pulau Jawa (47.922 km²). Di samping itu, Jawa Timur juga memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia, yakni 29 kabupaten, 9 kotamadya, 657 kecamatan, 784 kelurahan dan 8.484 desa. Namun, dari segi jumlah penduduk, Jawa Timur menempati urutan kedua setelah Jawa Barat. Dari segi sosio-kultural, Jawa Timur terdiri dari masyarakat yang sangat heterogen. Antropolog Ayu Sutarto dalam risetnya mengatakan bahwa Jawa Timur dapat dibagi ke dalam 10 Wilayah kebudayaan, yaitu kebudayaan : 1) Jawa Mataraman; 2) Jawa Panaragan; 3) Arek; 4) Samin (Sedulur Sikep); 5) Tengger; 6) Osing (Using); 7) Pandalungan (Mendalungan); 8) Madura Pulau; 9) Madura Bawean; dan 10) Madura Kengean. Bahkan dalam Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, dinyatakan ada 14 suku bangsa yang hidup di Jawa Timur. Plural, adalah sebuah kenyataan yang kita hadapi sebagai warga Jawa Timur. Hal ini penting untuk disadari, dan agaknya perlu pula untuk dirayakan. 38 kota, 10 wilayah kebudayaan, dan 14 suku bangsa, membentuk setiap diri kita menjadi entitas unik. Adapun karya seni tidak lahir begitu saja, ia menjadi ada karena ada seniman yang menciptakannya. Sebelum berjuang dengan medium seninya, seniman bersinggungan dengan kenyataan (realitas) baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Singgunggan itu kemudian memunculkan respon emosi, mengendap, lalu membucah dalam wujud karya seni. Pengaruh besar realitas eksternal seniman dalam penciptaan karya seni tentunya tidak dapat dinafikkan. Faktor-faktor eksternal, seperti lingkungan sosial, nilai-nilai, aktivitas, hingga objek-objek tentunya memiliki pengaruh yang cukup besar pada diri seorang seniman. Kesemuanya itu tentunya akan bersifat heterogen pada setiap kota, wilayah kebudayaan, dan suku bangsa di provinsi Jawa Timur ini. Seni, sebagai artefak kebudayaan, dalam hal ini tentunya akan menemukan narasi kecilnya sendiri, oleh karena ia dilahirkan dari setiap entitas yang unik. Dalam masyarakat yang multikultural, setiap entitas unik memiliki hak yang sama dalam berekspresi, mendapatkan apresiasi, ruang hidup, serta ruang dialog yang egaliter. Sebagai generasi milenial yang berada dalam fase ‘sturm und drang’, yang senantiasa menghendaki demokratisasi dalam berbagai aspek kehidupan, ruang bagi eksistensi dan subyektifitas, relasi yang egaliter, dan juga kebebasan dalam berekspresi, seolah menjadi penanda bahwa kita memiliki kesadaran sosial dan menjadi empu bagi adanya kehendak atas perubahan sosial. Dalam Fragmen Naratif, kita akan mencoba untuk menciptakan sebuah ruang dialog yang egaliter bagi setiap entitas unik, yang berpijak pada setiap identitas dan narasi kecilnya, sebagai buah atas singgungan dengan realitas sosial. Katakanlah kita merupakan fragmen-fragmen dengan identitas dan narasi yang plural, yang saling berdialog untuk membentuk jejaring makna. Dengan harapan bahwa fragmen-fragmen tersebut dapat bermetamorfosis menjadi ‘organ’ dengan karakteristik yang unik dan fungsi yang spesifik. Organ-organ tersebut dapat saling terhubung, untuk kemudian menjadi sebuah ‘tubuh’ dengan wajah yang dapat dikenali – Seniman Muda Jawa Timur.
Peta siasat
Jawa timur memiliki peta kesenirupaan yang menyebar, peta seni rupanya tidak bisa hanya dibaca di Surabaya dan Malang, namun banyak kota lain seperti halnya Pasuruan dan Gresik yang aktifitas kesenirupaan nya terus menggalami peningkatan yang signifikan, juga kota-kota lain seperti halnya Banyuwangi, Jember, Blirtar, dan lain sebagainya.Kota besar di jawa timur seperti Surabaya dan Malang tentu saja lebih maju dibanding kota lain yang ada di Jawa Timur, karena sarana dan prasarana yang tersedia lebih banyak dan juga terdapat instansi seni yang menunjang untuk sehatnya ekosistem seni rupa. Di kota-kota lain meskipun tidak memiliki instansi seni sebagai wadah untuk pengembangan potensi, namun banyak dari mereka yang melakukan ekpansi ke kota-kota lain untuk belajar di sekolah tinggi seni di kota lain. Sumber daya bukan menjadi soal lagi untuk perkembangan yang di inginkan, namun apakah setelah menempuh pendidikan seni rupa di kota lain dan pulang ke daaerah asalanya masing-masing sudah cukup untuk membuat ekosistem seni rupa di daerahnya menjadi lebih sehat ?, tentu saja tidak cukup dengan hal tersebut.Banyak kendala yang muncul saat seniman yang sudah menempuh pendidikan di sekolah tinggi seni di luar kota, kemudian kembali lagi ke daerah asalnya mereka malah menjadi asing dan bingung harus melakukan apa. Karena jelas apa yang terjadi tentu saja sangat berbeda, ambilah saat mereka belajar di Jogja, selain mereka mendapatkan ilmu selama mereka belajar, mereka akan berada di sebuah lingkungan yang mempunyai sarana dan prasarana yang baik dan sangat menunjang, pola kerja yang baik, dan kesempatan yang sangat banyak untuk melakukan berbagai aktifitas seni. Kemudian saat mereka kembali ke daerah asalanya lingkungan kerja seni rupanya tentu saja sangat berbeda, pola kerja, dan bisa dibilang kesempatan untuk melakukan kegiatan seni juga semakin sedikit. Banyak dari mereka yang telah menimba ilmu dikota lain, kemudian kembali ke daerah asalnya malah menjadi seniman yang tidak produktif, yang dihasilnya menjadi sebuah karya yang tidak dapat berbicara banyak, dalam artian saat mereka ingin hidup dari keahlianya sebagai seorang seniman entah itu menjadi seorang pelukis atau pematung mereka harus memulai lagi dari awal dengan men downgrade pemahaman yang mereka miliki agar dapat selaras dan diterima di lingkungan daerah asalnya, apakah memang hal itu harus dilakukan ?. tentu saja tidak sebagai seorang seniman seharusnya harus ada penyiasatan-penyiasatan yang dilakukan terkait untuk dapat beradaptasi dengan wilayah dimana ia tinggal.Bentuk penyiasatan yang dilakukan salah satunya adalah dengan menginisiasi ruang alternatif, sebagai ruang ekperimentasi dan apresiasi, ruang alterntive muncul sebagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh seniman-seniman muda kepada pola-pola kerja yang diangap tidak membangun, dan hanya melegitimasi pola kerja yang sudah usang. Di Surabaya dan Malang meskipun ada galeri yang yang dijadikan sebagai tempat untuk berpameran, namun seniman-seniman muda merasa galeri kurang dapat mengakomodir keliaran-keliaran yang dimiliki oleh seniman muda, bentuk ekperimentasi terhadap karya akan sangat terbatas saat dia berkatifitas di galeri, maka dari itu munculah ruang-ruang alternatif, seperti: /SANDIOLO, Satu Atap, C2o Library, Rumah Atas, Pangon 140 dan beberapa tempat lain yang muncul di Surabaya, kemudian di Malang ada Poharin sebagai ruang alternatif.Gelaja munculnya ruang alternatif juga terjadi di kota-kota lain, namun kiranya apa yang menjadi permasalahan mengapa muncul ruang alternatif ini sedikit berbeda, yang menjadi latar belakakang kemunculanya, adalah karena memang tidak ada ruang yang mengakomodir sehingga seniman-seniman muda ini membuat sebuah ruang alternatif sebagai muara aktifitas kesenian, seperti halnya Pawitra artspace dan Gang Wolu Art space di Pasuruan, kemudian ada Vila Art Space di Kediri.Selain dengan menggunakan platform ruang alternatif, teman-teman perupa muda di daerah-daerah juga mulai sadar untuk melakukan engagement dengan ruang-ruang publik untuk melakukan kegiatan kesenian. Banyak aktifitas kesenian yang dilakukan di Cafe, hotel, maupun taman-taman kota. Tempat tersebut dipilih karena fungsinya sebagai muara dimana orang dengan berbagai kepentingan berkumpul, maka saat di adakan kegiatan seni di ruang tersebut diharapkan akan muncul kesempatan-kesempatan selanjutnya.Fenomena bagaimana seniman bersiasat untuk tetap dapat melakukan aktifitas berkesenian ini yang coba ditangkap dan di presentasikan dalam kegiatan Jatim Young Artist Festival, kegiatan ini di rencanakan sebagai ajang pemetaan terhadap seniman-seniman muda yang terus bergerak, dan menampilkan karyanya dalam sebuah ajang pameran sebagai bentuk representasi apa yang mereka alami dan lakukan di dalam lingkup wilayahnya. Seniman yang berpartisipasi dalam kegiatan ini diharap mampu menyuarakan aspirasinya melalu karya-karya yang nantinya akan dipamerkan, terkait masalah, kendala, dan bagaimana mereka melakukan penyiasatan terhadapnya.
By : Aditya Nirwana, M.Sn. & Dwiki Nugroho
MAKSUD DAN TUJUAN •Mengingat kembali khasanah-khasanah kekayaan kebudayaan yang ada di Jawa Timur melalui citraan visual.•Membangun kembali memori sosio kultural kehidupan lokal masyarakat Jawa Timur dalam benak masyarakat modern dengan menampilkan ikonik, tanda, bahkan simbol yang telah dilahirkan di kehidupan masyarakat Jawa Timur.•Memperkokoh ikatan/jejaring keterkaitan seniman muda Jawa Timur. •Upaya memacu tumbuhnya infrastruktur dan suprastruktur seni rupa Jawa Timur yang kuat dimulai dari fragment lokalitas secara naratif untuk memenuhi keberagaman dunia seni di Indonesia umumnya. Sehubungan dengan hal yang menjadi tujuan diatas, besar harapan kami bisa bekerjasama dengan baik untuk kepentingan dan keikut sertaan dalam pameran Jatim Youth Artis Festival dengan tajuk Fragment Naratif.
I.NAMA KEGIATAN“EAST JAVA YOUNG ARTIS FESTIVAL” 2. TEMA KEGIATAN“ Fragment Naratif ” Tema yang kami angkat guna memantik kembali keberagaman fenomena masyarakat di Jawa Timur sebagai cerminan jati diri masyarakat Nusantara. 2. KONSEP PAMERAN Ajang pertemuan karya seniman muda, peningkatan mutu karya dan membangun kembali Heritage Budaya Jawa Timur dalam dunia rupa. Tempat dan waktu : Hotel Bumi Surabaya Resort, Pada tanggal 28 November s/d 2 Desember 2017Pembukaan pameran akan dilaksanakan pada: hari selasa 28 November 2017 pukul 14.00 wib.
Tata Tertib Pameran :
1. Jumlah karya yang dipamerkan 45 karya dua dimensi (lukis).
2..Untuk media bebas menggunakan, cat minyak, akrilik, drawing, kolase dan mix media ataupun karya seni grafis, serta dikerjakan secara maksimal.
3.Karya yang dipamerkan adalah karya terbaru (dikerjakan dalam kurun waktu 2014-2017).
4. Ukuran karya maksimal 130 cm x 110 cm, minimal 100 cm x 100 cm .
5.Karya rapi dan siap pajang.
6. Karya dipacking dengan rapi dan kuat, karena panitia tidak menanggung “kerusakan” dalam pengiriman. Panitia hanya bertanggung jawab keamanannya selama pameran berlangsung.
7. Setiap Perupa hanya diperbolehkan mengirimkan 2 foto karya untuk di seleksi oleh dewan kurator terpilih.
8. Setiap Peserta akan mengirimkan 1 karya yang terpilih oleh dewan kurator
9. mengirimkan konsep karya minimal 150 kata.peserta wajib membuat tulisan minimal 150 kata bercerita tentang ekosistem seni rupa di sekitarnya (contoh : cerita mengenai ekosistem sekitar yang sangat buruk, sarana yang tidak ada, dsb)
10. Mengirimkan dan mengabarkan tanda kesediaan ikut serta dan data karya paling lambat diterima oleh panitia tanggal 30 Oktober 2017 pukul 00.00 wib, dikirimkan ke [email protected] mohon diperhatikan guna kepentingan pembuatan katalog, diwajibkan mengirimkan CV (MS Word), Image Foto Diri dan karya (JPEG dalam format 400 dpi).
11. Pengiriman karya kepada panitian dimulai pada tanggal 14 November dan paling lambat diterima panitia pada tanggal 22 November 2017 dengan alamat Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Jl. Gentengkali 85 Surabaya, sebelum pengiriman karya sebaiknya konfirmasikan ke Dwi Tyas Febriyanti Cp 0831-2895-9283
12. Display karya 23 s/d 26 November 2017.
13. Bongkar karya tanggal 3 Desember 2017.
14. Karya yang telah dipamerkan diambil kembali oleh peserta pada tgl 4 s/d 5 Desember 2017 di kantor DKJT.
15. Peserta mendapatkan dana transportasi keikut sertaan dari panitia dengan menyerahkan foto Copy KTP/SIM.16. Dana transpotasi keikut sertaan dapat diambil di sekretariat kantor DKJT pada tanggal 4 s/d 5 Desember 2017. Surabaya, 14 Oktober 2017 Mufi Mubaroh, M.SnKomite Seni Rupa DKJT
Note : Jika berminat segera hubungi Dwi Tiyas Febriyanti untuk mendapatkan formulir pendaftarannya dan akan dikirimkan ke email saudara.cp. phone/wa 0831-2895-9283
0 notes
Text
SIMBIOSIS ANTARA PENDIDIKAN DAN SENI RUPA
Essay Curatorial
SIMBIOSIS ANTARA PENDIDIKAN DAN SENI RUPA
oleh : Dwiki Nugroho Mukti

Pendidikan adalah hal fundamental untuk membangun sebuah generasi. Dengan pendidikan diharapkan generasi yang akan datang siap menjadi peminpin-pemimpin yang cemerlang. Pengaharapan yang baik tentunya harus disertai dengan upaya yang baik pula, bila berbicara pendidikan dengan segala cita-cita baik yang diingini, adalah tugas pendidik dan semua pihak yang terkait untuk melakukan usaha keras, menjadikan pendidikan sebagai pintu untuk generasi mendatang untuk dapat mengetahui, mengakses, dan mengenggam dunia, atau bahkan terlebih lagi dapat membawa kebaikan untuk sekitarnya.
Menyoal dunia pendidikan dan seni rupa, dan seberapa jauh hubungan saling menguntungkan yang terjadi. Dalam tulisan ini saya akan memaparkan 2 pembacaan melalui sudut pandang seni rupa dan pendidikan.
Dari Sudut Pandang Seni Rupa
Pembacaan dari sudut pandang seni rupa, seni rupa menjadi keilmuaan yang perkembanganya sangat bergantung pada dunia pendidikan, mungkin ada yang berangapan bahwa banyak perupa yang tidak muncul dari dunia akademis atau pendidikan, seperti halnya perupa otodidak, perupa yang belajar dari sekitar, dari pelukis lain, atau cara lain, yang mana cara tersebut tidak ada kaitan nya dengan pendidikan kesenirupaan formal, namun harus dimengerti bahwa dunia seni rupa tidak dapat hanya dibangun dengan karya kuat yang lahir dari para seniman, tapi dunia seni rupa juga sangat tergantung pada pewacanaan, tergantung pada banyak aspek yang mampu landasannya untuk bertumpu seperti apresiator. Apresiator adalah bagian penting dalam ekosistem seni rupa, dan disini pendidikan berperan sebagai kontributor untuk menciptakan apresiator-apresitor yang mampu mengerti mengenai karya seni, sehingga karya seni yang diproduksi oleh seniman tidak menjadi karya yang hanya dapat dimengerti oleh si perupa nya saja, namun apresiator yang baik dapat membentuk bentuk apresiasi terhadapa karya, sehingga dapat memunculkan kesempatan-kesempatan berikutnya bagi para perupa. Seperti ditulis Hilton Kramer dalam New York Times untuk obituari Herbet Read pada 1968, Read menggangap seni sebagai “unsur yang paling mungkin paling pokok bagi jalinan sosial yang tercerahkan (enlightened social fabric)...suatu dasar bagi upaya untuk memperbaiki nilai-nilai sosial secara keseluruhan” dan dalam upaya itu “pendidikan memiliki peran utama”.1
Dewasa ini banyak seniman yang selalu membuat karya secara konseptual, dengan gagasan yang kuat perihal permasalah yang ada disekitarnya, karya yang dibuat bertindak sebagai media untuk mengkritisi, atau bahkan karya sebagai medium untuk melakukan penggalian lebih lanjut terhadap dirinya. Pola yang seperti ini mengharuskan untuk apresiator dapat menangkap apa yang dimaksudkan perupa, untuk dapat menikmati karya seniman dengan baik. Bayangkan saja bila tidak adanya bantuk pembelajaran yang menggenali hal tersebut, tentu saja perupa-perupa yang membuat karya dengan pola kerja seperti yang saya sebutkan di awal paragraf akan sangat berat untuk karyanya dapat diterima dan mendapatkan apresiasi lebih, dan bisa saja medan seni rupa akan menjadi sangat kering karena karya yang ada hanya sebatas bentuk visual yang melulu dinikmati melalui sisi estetisnya saja. Perlu disadari bahwa dunia seni rupa saat ini tidak dapat disamakan dengan dunia seni rupa pada zaman mooi indie 2, dimana karya seni rupa dibuat semanis mungkin, dilihat sebagai sesuatu yang indah dan dapat mencuri perhatian apresiator, dan pada akhirnya bantuk apresiasi yang terjadi hanya sekedar apresiasi yang bersifat estetis, meskipun tidak semua seperti itu, namun kebanyakan bentuk apresiasi terhadap karya pada zaman mooi indie memang seperti itu. Dunia seni rupa saat ini sudah sangat berbeda, apresiasinya tidak hanya dari sisi estetisnya namun banyak hal yang membuat karya itu dapat mencuri perhatian, seperti konsep yang ditawarkan, tujuan dari karya itu dibuat, dan banyak lagi alasan yang tidak hanya berkutat pada masalah estetis.
Bagi senimanya sendiri pendidikan menjadi sebuah pintu untuk kesempatan-kesempatan berbagai karya eksperimental yang dapat dipertanggung jawabkan secara tepat. Tentu saja seniman memiliki cara pandang yang unik terhadap sebuah masalah yang terjadi, bisa saja sudut pandang yang dimiliki sangat bertolak belakang dengan orang-orang pada umumnya. Dalam menyampaikan apa yang menjadi keresahanya dalam medium kanvas, betuk 3 dimensi, atau berbagai bentuk dan jenis lainya, perupa dapat saja memilih untuk membuah bentuk visual yang tidak menganut kesepakan penandaan yang ada di masyarakat, namun ia memilih untuk menyimbolkan menggunakan simbol-simbol yang sangat personal. Namun dengan pendekatan-pendekatan akdemik karya-karya yang demikian akan dapat di urai sehingga dapat menjadi hal yang mengguntungkan bagi seniman. Karyanya bukan diangap sebagai sesuatu yang membingungkan namun akan dipandang sebagai ke khasan yang sangat unik dari seniman.
Pendidikan adalah kontruksi untuk dapat terciptanya orang-orang yang mampu menjadi perupa hebat, yang membuat karya sebagai bentuk menifestasi pengetahuan, dan karya-karya hebat yang dapat dipertanggung jawabkan dengan baik, sehingga akan terjalin sinergi yang baik atara perupa-karya-medan seni. Selain konstruksi orang-orang yang mampu menjadi perupa hebat, pendidikan menjadi sebuah kontruksi untuk munculnya apresiator yang mampu menangkap maksud dan tujuan akan karya-karya yang dibuat tidak hanya sebagai produk, tapi sebagai manifestasi pengetahuan yang dapat memperi dampak untuk sekitarnya.

dokumentasi budidayabaik
Dari Sudut Pandang Pendidikan
Seni rupa dapat menjadi sebuah alternatif untuk bagaimana proses pendidikan berlangsung, untuk membuat proses belajar menjadi lebih menarik, dengan menambahkan instrumen-instrumen visual ke dalam nya. Proses belajar sering kali menjadi sangat membosankan saat kita hanya dituntut untuk paham terhadap sebuah materi, dan pada akhirnya materi tersebut akan di ujikan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman kita terhadapnya.
Belajar adalah kemajuan moral karena merupakan asketisisme, mengurai egoisme dan memperluas konsepsi kita tentang kebenaran, juga memberikan visi yang lebih dalam, lebih tajam, dan lebih bijak tentang dunia. Apa yang harus diajarkandi sekolah, yakni memeberi perhatian dan mengejarkan semuanya dengan benar. Kekuatan kreatif memerlukan kemampuan ini. Studi intelektual dan ketrampiln menghasilkan kualitas kesadaran baru, ke dalam presepsi, dan kemampuan mengamati. Semuanya mengubah keinginan, gerak naruliah keinginan dan keengganan kita. Memberi perhatian berarti peduli, yakni belajar untuk belajar.3
Fungsi seni sebagai media dapat disisipkan, dan digunakan agar pencapain dari pola belajar tidak hanya berkutat pada bentuk yang membosankan, namun menjadi sebuah proses yang menarik dan dapat lebih membuat peserta didik menjadi kreatif. Selain untuk menjadi kreatif penambahan penambahan unsur seni dapat pula digunakan sebagai stimulus agar pencapainya dari peserta didik tidak hanya tingkat pemahaman, tetapi lebih dari itu peserta didik mampu menjadi manusia yang paham terhadap situasi sekitarnya.
Di sisi lain guru sebagai orang yang berperan menciptakan situasi di dalam kelas. Guru menginginkan anak didiknya merasa bahwa guru mereka menarik, memberikan rangsangan, dapat dipercaya, membantu melihat diri mereka sendiri dan dunia dengan cara baru dan lebih luas, memenuhi kebutuhan mereka akan pengalaman baru yang melampaui keseharian.4 Dengan adanya keinginan yang seperti ini otomatis guru harus melakukan inovasi dalam menciptakan situasi kelas yang ideal dan sesuai dengan siswanya, bukan hanya siswa yang harus menyesuaikan diri dengan gurunya, atau harus menyesuaikan diri dengan segala metode ajar yang diberikan gurunya. Namun guru juga harus memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan dirinya dengan kelas.
Pendekatan yang menarik untuk menciptakan situasi dalam kelas agar menyenangkan adalah dengan berbagai kegiatan, dan seni rupa dapat menjadi salah satu alternatif yang memungkinkan untuk diaplikasikan terhadap kegiatan belajar dikelas.
...........

dokumentasi budidayabaik
Pemerintah memiliki banyak program di bawah kementrian pendidikan dan kebudayaan untuk menjadikan pendidikan mejadi seperti apa yang di cita-citakan, salah satu program yang di gagas adalah SM3T, detail dari program ini adalah untuk mengirim para sarjana pendidikan untuk mengajar di daerah terluar dan tertinggal, mereka yang mengikuti program ini harus menunaikan kewajibanya untuk mengajar di daerah pelosok selama kurang lebih satu tahun. Hingga tahun ini program ini sudah berjalan 6 tahun, Pemerintah menyadari bahwa terjadi ketidakmerataan pendidikan di Indonesia menjadi penghambat kemajuan bangsa, banyak daerah yang pendidikan nya sangat jauh tertingal, tertinggal dari segi sarana, prasarana, sumber daya pengajar, ataupun hal-hal lainya yang menjadikan pendidikan sulit untuk dilaksanakan dengan ideal.
Pameran pendidikan yang digagas oleh kawan-kawan SM3T angkatan ke-5 bidang seni rupa yang berasal dari berbagai Universitas di Indonesia, para alumnus SM3T angkatan ke-5 ini ingin membagi pengalam yang mereka dapatkan selama mereka berjuang menjadi guru di pedalaman dengan fasilitas yang alakadarnya. Yang ingin di bagiakan adalah bagaimana mereka belajar beradaptasi dengan budaya dan kebiasaan setempat dan meramunya dengan materi seni rupa yang harus di ajarkan, dan belajar bersama dengan siswa, tentu ini buka soal yang mudah. Belajar berarti membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang selalu menunjukan dirinya sendiri pada kita setiap saat...mengajar lebih sulit dari pada belajar karena apa yang dituntut dari belajar:membiarkan belajar.5 Bagaimana proses ini berlangsung akan menjadi sebuah pengalaman yang sangat berharga, dan pengalaman inilah yang ingin dimunculkan dan dirangkai dalam sebuah pameran.
Dalam pameran ini tema yang dibicarakan adalah mengenai masa depan seni rupa Indonesia, mengapa begitu jauh membicarakan masa depan seni rupa Indonesia, jelas ini sangat berhubungan karena yang berpameran ini adalah calon-calon guru seni rupa, guru inilah yang nantinya akan mengarahkan bagaimana generasi selajutnya dapat memahami seni dengan baik, terlebih lagi bila mampu mengunakan seni sebagai metode yang dapat menyejahterakan. Karya seni untuk dapat diterima dengan baik, maka penerimnya harus baik pula, agar terjadi titik simpul antara seniman dan apresiator terkait bagaimana karya itu dipahami. Untuk menumbuhkan aprsiator yang baik, sebagai pupuk dalam ekosistem seni rupa, maka peran guru menjadi sangat penting, meskipun tidak semuanya harus dibebankan pada guru.
Karya yang akan dipamerkan akan menjadi cerminan bagaimana mereka akan membangun generasi selanjutnya melalui seni rupa, dan juga apa yang sudah mereka pelajari selama berada di daerah yang sulit untuk melakukan pengajaran, namun mereka dengan susah payah dapat menyelesaikan tugasnya, pengalaman inilah nantinya akan disarig dan dipadatkan dalam bentuk karya sebagai rujukan bagaimana pendidikan dapat terjadi didaerah yang berada di pedalaman, agar masa depan pendidikan atau dalam kerangka seni rupa nantinya menjadi sebuah sektor yang lebih menjajikan tidak hanya untuk pelaku namun juga untuk masyarakat lebih luas lagi.
................
1 Hilton Kramer, New York Times, 30 June 1968, section II, hlm. 23.
2 Mooi indie yang dalam bahasa Indonesia berarti hindia molek atau Indonesia jelita adalah cara pandang seorang seniman terhadap karya seni lukis yang menampilkan atau menggambarkan keindahan alam yang ada di hindia belanda(sebutan bagi Negara jajahan belanda) atau Indonesia.
Istilah mooi indie muncul sekitar tahun 1920 sampai dengan 1938-an.
3 Irish Murdoch, Metaphysics as a Guide to Morals (London: Chatto & Windus, 1992), hlm. 179.
4 Sarason, Teaching as a Performance Art, op. cit., hlm. 6.
5 What is Called Thingking?, diterjemahkan J. Gray (London: Harper & Row, 1968), hlm. 14-15.
----------------------------------------------eng------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Essay Curatorial
SIMBIOSIS BETWEEN EDUCATION AND VISUAL ART
by : Dwiki Nugroho Mukti
Education is fundamental to building a generation. With an education, we expected future generations ready to become brilliant leaders. A good hope must be accompanied by good efforts too, when it comes to education with all dream that we desired, it is the duty of educators and all parties concerned to make great efforts, make education become a gateway for future generations to be able to know, access, and hold the world, or even more so to spread goodness around.
Questioning the world of education and fine arts, and how far the mutually beneficial relationship takes place. In this article, I'll describe two explaination through the viewpoint of art and education.
From the point of view of fine arts
The reading from the point of view of fine arts, the art of becoming a science whose development depended heavily on the world of education, there may be a thought that many artists do not emerge from the academic or educational world, as self-taught artists, artists who learn from around, from other painters, or other ways, in which way it has nothing to do with formal artistic education, but it must be understood that the world of art can not only be built with powerful artworks born from the artists, but the art world also depends on discourse, depending on many aspects that are capable of its foundation for such as appreciator. Appreciator is an important part of the art ecosystem, and here education serves as a contributor to create appreciator who is able to understand about the artwork, so the artwork produced by the artist does not become an artwork that can only be understood by the artist, but the appreciator can form a form of appreciation of the artwork, so that it can bring up the next opportunities for the artists. As Hilton Kramer wrote in the New York Times for the Herbet Read obituary of 1968, Read sees the arts as "the most likely element important for enlightened social fabric ... a basis for an attempt to improve social values overall "and in that effort" education has a major role ".1
Nowadays many artists always make conceptual works, with strong ideas about the problems around them, works that are made to act as media to criticize, or even work as a medium for the further digging of themselves. Such a pattern requires that the appreciator capture what the artist means, in order to enjoy the artist artworks well. Just imagine if there is no learning beliefs that recognize it, of course artists who create works with the pattern of work as I mentioned at the beginning of the paragraph will be very hard for his work to accept and get more appreciation, and could be the fine art field will be very dry because the work is only limited to the visual form that is merely enjoyed through the aesthetic side only. It should be realized that the world of art today cannot be equated with the world of art in the era of mooi indie 2, where artworks made as sweet as possible, seen as something beautiful and can steal the attention of appreciator, and in the end form of appreciation that happened just merely appreciation which is aesthetic, though not all that way, but most of the forms of appreciation of works in the mooi indie era are like that. The world of art today is very different, the appreciation not only from the aesthetic side but many things that make the work can steal the attention, such as the concept offered, the purpose of the work was made, and many more reasons that not only dwell on aesthetic problems.

dokumentasi budidayabaik
Education for the artist himself becomes a door to opportunities for a variety of experimental work that can be justified as appropriate. Of course, artists have a unique perspective on a problem that occurs, it could be that the viewpoint is very contrary to the people in general. In conveying what he feels in the medium of canvas, three-dimensional, or various forms and other types, the artist may choose to produce a visual form that does not embrace the existing symbol in society, but he chooses to symbolize using very personal symbols. However, with such academic approaches, such works can be described so that they can be of benefit to the artist. His work is not regarded as confusing but will be regarded as to the unique features of the artist.
Education is the construction to create people who are able to become great artists, who make works as a form of manifesting knowledge, and masterpiece artworks that can be properly accounted so that there will be a good synergy between artists-artwork-art fields. In addition to the construction of people who are able to become great artists, education becomes a construction for the emergence of an appreciator who is able to grasp the intent and purpose of works created not only as a product but as a manifestation of knowledge that can impact the surrounding.
From the point of view of Education
Visual art can be an alternative to the educational process, to make learning more interesting, by adding visual instruments to it. The learning process often becomes very tedious when we are only required to understand a material, and ultimately the material will be tested to find out how far our understanding of it.
Learning is a moral advance because it is asceticism, breaking down egoism and expanding our conception of truth, also giving a deeper, sharper, and wiser vision of the world. What to teach in the school, which is to pay attention and pursue everything correctly. Creative power requires this ability. Intellectual and skillful studies produce a new quality of consciousness, into perception, and observing ability. Everything changes our desires, our narrative moves of desire and our reluctance. Paying attention means caring, that is learning to learn.3
The function of art as a medium can be inserted, and used for the achievement of the learning pattern not only dwells on the boring form but becomes an interesting process and can make students more creative. In addition to being a creative addition of additional elements of art can also be used as a stimulus for the achievement of learners not only the level of understanding, but more than that learners are able to become human beings who understand the surrounding situation.

dokumentasi budidayabaik
On the other hand the teacher as a person who plays a role in creating the situation in the classroom. Teachers want their students to feel that their teachers are interesting, stimulating, trustworthy, helping them see themselves and the world in a new and broader way, meeting their need for new experiences that transcend daily.4 With this desire automatically teachers must innovate in creating ideal classroom situations and suited to his students, not just students who have to adapt to their teachers, or have to adapt to all the teaching methods given by their teachers. But the teacher must also have the flexibility to adapt to the class.
An interesting approach to creating a classroom situation to be fun is with a variety of activities, and visual art can be one possible alternative to apply to classroom learning
............
The government has many programs under the ministries of education and culture to make education what it is like to be, one of the programs that is SM3T, the detail of the program is to send educational scholars to teach in the outermost and backward areas, who follow this program must fulfill their obligation to teach in remote areas for approximately one year. Until this year the program has been running for six years, the Government realizes that the inequality of education in Indonesia is an obstacle to the progress of the nation, many areas whose education is very far behind, left behind in terms of facilities, infrastructure, teaching resources, or other things that make education is difficult to implement ideally.
The educational exhibition which was initiated by the fifth generation of SM3T visual art major from various universities in Indonesia, the 5th generation of SM3T wants to share the experience they get as they struggle to become teachers in the interior with its awkward facilities. What they want to share is how they learn to adapt to the local culture and customs and blend it with art material that should be taught, and learning together with students, this is an easy problem. Learning means making everything that we answer into the essence that always shows itself to us at all times ... teaching is harder than learning because of what it requires from learning: to let learning.5 How this process takes place will be an experience that very valuable, and this experience that wants to be raised and assembled in an exhibition.

dokumentasi budidayabaik
In this exhibition the theme discussed is about the future of Indonesian art, why is it so far talked about the future of Indonesian art, obviously it is very related because the exhibition participant is the candidates of art teachers, this teacher will direct how the next generation can understand the art well, especially if able to use art as a method that can prosper. Artwork to be well received, then the recipient must be good too, in order to occur the point of the knot between artist and appreciator related how the work was understood. To cultivate a good appreciator, as a fertilizer in the fine art ecosystem, the role of the teacher becomes very important, although not all of it must be charged to the teacher.
The work to be exhibited will be a reflection of how they will build the next generation through art, as well as what they have learned while in a difficult area to teach, yet they can painstakingly accomplish their tasks, this experience will be sought and solidified in the form of works as a reference to how education can take place in rural areas, so that the future of education or in the framework of fine art will become a sector that is more promising not only for the perpetrators but also for the wider community.
................
1 Hilton Kramer, New York Times, 30 June 1968, section II, page. 23.
2 Mooi indie which in Indonesian means beauty hindia or beauty Indonesia is an artist's way of looking at paintings that show or depict the natural beauty that exists in hindia Belanda ( the name for Dutch colony country) or Indonesia.
The term indie mooi appeared around the years 1920 until the 1938s.
3 Irish Murdoch, Metaphysics as a Guide to Morals (London: Chatto & Windus, 1992), page. 179.
4 Sarason, Teaching as a Performance Art, op. cit., page. 6.
5 What is Called Thingking?, diterjemahkan J. Gray (London: Harper & Row, 1968), page. 14-15.
0 notes
Text
Build a Bridges With Diversity as a Platform
JUDUL PAMERAN : TALKING ABOUT 4 (Diversity Order)
KURATOR : Dwiki Nugroho Mukti
SENIMAN : Hanifi S. Mahtione, Zalfa Robby, Arsya Deananda, Arif Mulyadi, Sony Himantoko, Dyan Condro, Fathur Rohman, Indra Prayoghi, M. One Abdillah, Krisna Esa, Yudha Ramadhana, Ebby Dwijaya
PERIODE PAMERAN : 8 – 30 September 2017
TEMPAT : Galeri House of Sampoerna,Taman Sampoerna 6, Surabaya 031-3539000

Esai kuratorial
Membangun Jembatan Dengan Landasan Keberagaman
Oleh : Dwiki Nugroho Mukti
Putaran dunia terasa semakin cepat dengan dimudahkannya manusia terhadap berbagai akses, mulai dari akses ilmu pengetahuan, data, barang, jasa, atau bahkan hal-hal lain yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Semua bisa di akses hanya dengan jantikan jari di gadget yang setiap hari kita pegang, kita tidak perlu pergi untuk bersusah payah bertemu penjual untuk melakukan transaksi. Makanan juga bisa dengan mudah bisa kita dapat melalui layanan pesan antar yang tersedia, barang pun demikian banyak laman-laman online yang bertindak sebagai katalog sekaligus penjual yang menjajakan barang dengan penawaran-penawaran yang menarik. Ini adalah hal yang melatar belakangi pemilihan tema dari pameran serbuk kayu, terinspirasi dari pola kerja delivery order 1, lantas di ubahlah kata-kata delivery menjadi diversity, yang dalam bahasa inggris berarti keberagaman.
Penjelasan di atas adalah penjelasan menggapa Serbuk Kayu menggunakan tema diversity order, kami ingin mengadaptasi pola kerja layanan pesan antar untuk mendistribusikan karya serbuk kayu sebagai informasi kepada apresiatornya, dan mendistribusikan seni sebagai pengetahuan pada saat bersamaan.
Keberagaman adalah sebuah narasi besar yang selalu di dengung-dengungkan, karena memang begitu adanya, Indonesia merupakan negara yang besar terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa yang kesemuanya ini membuat Indonesia begitu beragam, berbicara lebih lanjut mengenai keberagaman, kata ini dapat digunakan untuk menerjemahkan banyaknya hal yang terjadi terkait apapun, tidak terkecuali dalam karya seni maupun pola kerjanya. Keberagaman tentu saja akan menjadi kekuatan yang sangat besar, saat keberagaman ini dapat disatukan. Namun di sisi lain keberagaman juga merupakan isu yang sangat sensitif, karena bila di intepretasikan secara salah, atau bahkan disalah gunakan, maka keberagaman dapat menjadi senjata untuk memecah belah. Kita tahu dalam matematika bahwa pecahan akan dapat di jumlahkan apabila memiliki penyebut yang sama, begitu pula dengan isu ini, saat dari semua keberagaman ini mememiliki penyebut yang sama, atau dapat dibahasakan memiliki tujuan yang sama dengan adanya kesepakan, maka keberagaman ini akan dapat mejadi kekuatan yang utuh, dan tentu saja akan sangat mengguntungkan.
Serbuk kayu adalah komunitas kesenian yang tidak hanya berfokus pada seni rupa, namun lebih ke semua aspek seni, namun tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh serbuk kayu adalah mendistribusikan seni sebagai pengetahuan, maksudnya adalah agar seni dapat dimaknai lebih baik lagi, menjadi sesuatu hal yang dapat dipelajari karena seni buka hanya bentuk karya cipta yang bersifat kontemplatif, imaginatif, ataupun hanya bertumpu pada bakat si pelaku. Namun yang diharapkan oleh serbuk Kayu adalah seni menjadi sesuatu hal yang dapat dibaca, dan dipelajari, yang bertujuan agar tercipta kemajuan-kemajuan lebih lanjut dalam skena kesenian itu sendiri.
Dalam mengkontruksi sebuah karya seniman pasti memiliki metode yang unik untuk digunakan, memiliki pola distribusi yang berbeda, antara seniman yang satu dengan seniman yang lainya. Hal ini pula yang terjadi di dalam Serbuk Kayu, yang mana hal ini merupakan sebuah gambaran dari keberagaman yang akan di bahas, dan intepretasikan dalam kegiatan pameran yang dilakukan oleh Serbuk kayu.
Dalam mencapai tujuan yang di inginkan untuk mendistribusikan seni sebagai pengetahuan tiap anggota yang ada dalam serbuk kayu pun memiliki cara kerja yang beragam, tidak sama antara satu dengan yang lain. Setiap anggota memiliki kekuatan masing-masing dalam karyanya,yang mana hal yang mendasari karya menjadi kuat dapat dipertangung jawabkan secara konseptual. ini adalah alasan kedua mengapa mengunakan tema keberagaman.
Serbuk kayu dalam kegiatan kali ini membuat sebuah karya kelompok yang bernama ‘meja belajar’, meja belajar akan ditampilkan sebagai objek yang mana tiap anggota Serbuk Kayu dapat merespon meja tersebut sesuai dengan karya yang biasa mereka buat atau pola kerja yang biasa mereka lakukan. Karya ini akan menjadi karya yang bersifat partisipatif dimana apresiator nantinya dapat memanfaatkan meja yang tersedia untuk mengakses informasi yang disediakan diatas meja tersebut.
Untuk mengahantarkan pengetahuan kepada apresiator melalui karya partisipatif, adalah bentuk visual yang dipilih Serbuk Kayu untuk menyampaikan tujuan dalam pameran ini. Mengutip tulisan Benedict Anderson ‘Agar bisa merasakan perubahan ini, kita akan memperoleh manfaat apabila menelaah tampilan-tampilan visual’ 2, maksudnya adalah bentuk visual menjadi salah satu unsur yang penting sebagai medium, agar apa yang di harapkan dapat di distribusikan dengan baik.
Yang menjadi latar belakang adalah pola kerja yang kurang sehat, yang terjadi di skena kesenian dimana Serbuk Kayu berproses. Serbuk Kayu berproses di Kota Surabaya, di Surabaya aktifitas seni rupa terus mengeliat, dalam satu bulan kurang lebih rata-rata ada 4 sampai 5 kegiatan seni rupa yang di selengarakan, entah itu oleh seniman perorangan, ataupun secara kelompok. Namun yang terjadi adalah kebanyakan penyelengaran kegiatan ini hanya sebagai pentuk perayaan, dan celakanya para pelakunya tidak merencanakan itu. Para pelaku kegiatan tersebut merencanakan untuk menyelengarakan sebuah kegiatan untuk tujuan yang lebih luas, seperti agar karyanya dapat di apresiasi oleh masyarakat luas, atau agar karyanya dapat turut menyehatkan ekosistem kesenian disini dengan meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat, dan banyak lagi jenis tujuan yang ingin dicapai. Tapi yang terjadi adalah para pelaku ini menetapkan tujuan tanpa membuat jembatan untuk dapat menyebrang, angaplah seniman di sisi sungai sebelah kanan, dan masyarakat berada di sisi sungai sebelah kiri, agar seniman dan masyarakat dapat saling terhubung maka yang dibutuhkan tentu saja adalah jembatan. Tapi dengan pola yang dilakukan seniman bukanya membuat jembatan namun malah merayakan di sisi sebelah kanan sungai, berharap agar masyarakat yang di sebelah kiri sungai mau menoleh dan bersentuhan dengan apa yang mereka lakukan, tentu saja hal ini akan sangat sulit terjadi karena benar-benar tidak ada penghubung. Ini adalah ilustrasi bagaimana pola kerja yang terjadi disini.
Jika setiap proses komunikasi akan dijelaskan sebagai proses yang berkaitan dengan sistem signifikasi, maka amat perlu ditentukan struktur dasar komunikasi itu sendiri, karena struktur dasar inilah komunikasi secara umum dapat dilihat dalam elemen-elemen terdasarnya3. Agar menjadi karya atau kegiatan yang tepat sasaran, maka bentuk komunikasi dengan cara membuat penghubung inilah yang dilakukan oleh Serbuk Kayu. Jembatan inilah yang mulai ingin dibangun oleh Serbuk kayu, dengan sedikit mengkikis pengkultusan karya lukis sebagai hal yang di agungkan. Karya lukis beserta karya ‘meja belajar’ yang ditampilkan akan menjadi sebuah media untuk berinteraksi, antara seniman dengan apresiator. Terjadinya komunikasi dua arah terkait pertangung jawaban karya adalah hal yang harus dilakukan.
Semoga apa yang dicita-citakan oleh Serbuk Kayu untuk mendistribusikan seni sebagai pengetahuan dapat ditangkap dengan baik oleh apresiator melalui karya-karya yang ditampilkan, yang pada akhirnya terjadi pola kerja distribusi tidak hanya dari seniman namun juga dari dari apresiator.
1 Kata Delivery bisa mempunyai arti, yaitu pengiriman. Sedangkan karat order mempunyai dua arti, yaitu memesan dan pesanan.
Dalam kamus, kata deilivery order berarti pengiriman pesanan, Dalam bahasa sehari-hari dalam iklan, frase tersebut diatikan sebagai (melayani) pesan antar.
2 Dikutip dari tulisan Benedic Anderson dalam buku Imagined Communities: Reflections on the orign and spread of natinalism
3 Umberto Eco, A Teory Of Semiotics (Indiana University Press, 1976), 45
___eng__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Curatorial essay
Build a Bridges With Diversity as a Platform
By : Dwiki Nugroho Mukti
The world turns feel faster with the human can access everything easily, from access to knowledge, data, goods, services, or even other things we've never eaten before. All can be accessed only by touching a finger on the gadgets that every day we hold, we don't need to go to the seller to make transactions. Food can also easily be made through the inter-messaging service is available, the goods with many online pages that act as a catalog as well as sellers who peddle goods with interesting offers. This is the background of the election theme from Serbuk Kayu, inspired by the work pattern of delivery order 1, then changed the words delivery into diversity.
The explanation above is the explanation why Serbuk Kayu using diversity order as a theme, Serbuk Kayu want to adapt the interpersonal messaging service, to distribute Serbuk Kayu artworks as information to his appreciator, and to distribute art as knowledge at the same time.
Diversity is a great narrative that has always been buzzed, Indonesia is a large country consisting of many tribes, cultures, languages all of which make Indonesia so diverse, to talk more about diversity, this word can be used to translate the number of things that occur related to anything, not least in the art and work patterns. Diversity of course will be a tremendous force, as this diversity can be united. But on the other hand, diversity is also a very sensitive issue, because if misinterpreted, or even misused, diversity can be a divisive weapon. We know in mathematics that fractions will be able to be summed up if they have the same denominator, as well as this issue, when all of these diversities have the same denominator, or can be conceived of having a common purpose in the presence of the agreement, this diversity can be a force intact, and of course very profitable.
Serbuk Kayu is an art community that not only focuses on fine art but more on all aspects of art, but the purpose of the movement made by Serbuk Kayu is to distribute art as knowledge, the meaning is, that art can be interpreted better, into something that can be studied because therms of creative works not only contemplative, imaginative, or just rely on the talent of the perpetrator. But what Serbuk Kayu expects is the art of being something readable, and learned, which aims to create further advances in the artistry itself.
In constructing artworks, the artist sure have a unique method to use, it has a different distribution pattern, between one artist and another artist. This is also the case in Serbuk Kayu as an art community, which is a description of the diversity to be discussed, and is interpreted in the exhibition carried out by Serbuk Kayu.
In achieving the desired goal to distribute art as knowledge of each member in the Serbuk Kayu also has a variety of ways of working, not the same from one to another. Each member has their respective strengths in his work, in which the things that underlie the work become strong can be accounted for conceptually. this is the second reason why using diversity themes.
To transmit knowledge to the appreciator through participatory work is the selected visual form of Serbuk Kayu to convey the purpose in this exhibition. Citing Benedict Anderson 'To be able to feel this change, we will benefit when we examine visual displays'2, meaning that the visual form becomes one of the important elements as the medium so that what is expected can be distributed well.
The background is the unhealthy work patterns, which occur in the art scene where Wood Powder is processed. Wood powder processed in Surabaya, in Surabaya art activities continue to look, in one month more or less average there are 4 to 5 art activities held, either by individual artists or in groups. But what happens is most of the hearing of this activity is only a form of celebration, and unfortunately the perpetrators do not plan it. The actors plan to organize an activity for a broader purpose, such as that his work can be appreciated by the wider community, or for his work to contribute to the health of the arts ecosystem here by enhancing the understanding and appreciation of the community, and much more types of goals to be achieved. But what happens is that these actors set goals without making a bridge to cross, suppose the artist on the right side of the river, and the community is on the left side of the river, so that artists and the community can be connected together then what is needed is, of course, a bridge. But with the pattern of the artists instead of making bridges but instead celebrating on the right side of the river, hoping that people on the left side of the river would turn and come in contact with what they do, of course, this would be very difficult to happen because there really is no liaison. This is an illustration of how the pattern of work is happening here.
If each communication process is described as a process related to the signification system, it is necessary to determine the basic structure of the communication itself, since it is this basic structure of communication in general that can be seen in its basic elements3. In order to be a work or activity that is right on target, then the form of communication by making this liaison is done by Wood Powder. This bridge is starting to want to be built by Serbuk Kayu, with a little eroding the painting as a cult of the glorified. The paintings along with the work of the 'study desk' displayed will be a medium for interaction, between artists with appreciators. The occurrence of two-way communication related to the responsibility of the work answer is the thing to do.
Hopefully what the Serbuk Kayu desires to distribute art as knowledge can be well captured by the appreciator through the works displayed, which in turn occurs the pattern of distribution work not only from the artist but also from the appreciator.
1 The word Delivery can mean, ie, delivery. While rust order has two meanings, namely ordering and order.
In the dictionary, the word deilivery order means the delivery of the order, In the colloquial in the ad, the phrase is set as (serve) the message between.
2 Quoted from the writings of Benedic Anderson in the book Imagined Communities: Reflections on the orign and spread of natinalism
3
Umberto Eco, A Teory Of Semiotics (Indiana University Press, 1976), 45
0 notes
Text
Review - Pameran Fotografi dan Puisi ‘SATU’

JUDUL PAMERAN : Pameran Fotografi dan Puisi ‘SATU’
SENIMAN : B.G. Fabiola Natasha, Vika Wisnu, Haryo Suryo Kusumo, Didik Siswantono, Leo Arief Budiman, Heti Palestina Yunani, Mamuk Ismuntoro, Sol Amrida, Peter Wang, Wina Bojonegoro.
PERIODE PAMERAN : 11 Agustus – 2 Oktober 2017
TEMPAT : Galeri House of Sampoerna,Taman Sampoerna 6, Surabaya 031-3539000
Lima orang fotografer berkolaborasi dengan lima orang penyair, dirangkum dalam pameran fotografi dan puisi dengan judul ‘SATU’. Saat memasuki ruang pamer saya mendapati karya yang begitu menarik dari susunan display yang sangat dinamis, karya tidak disusun dengan rapi. Karya yang dipamerkan membuat ruangan House of Sampoerna begitu penuh dengan bentuk visual dan narasi.
Karena memang tajuknya adalah pameran fotografi, didalam saya menemui banyak karya foto, ada juga karya puisi, ada pula karya lukis dan instalasi. Kombinasi dari beberapa jenis karya ini membuat ruangan House of Sampoerna penuh. Karya disusun di tiap ruangnya saling berkesinambungan antara satu sama lain, sehingga terlihat seperti instalasi ruang.

dokumentasi budidayabaik
Karya yang ditampilkan mempunyai visual yang sangat menarik, tidak monoton pada bentuk bujur sangar yang di frame, atau bentuk sejenisnya. Yang menjadi kekurangan dari pameran ini adalah apresiator yang masuk akan sangat sulit untuk memahami karya, karena meskipun banyak narasi, narasi tersebut adalah bagian dari karya, yang bersiafat puitis, sehingga sangat sulit untuk dipahami oleh orang awam. Seharusnya ada sebuah narasi yang tersedia yang dapat menuntun apresiator menikmati karya. Saya melihat bahwa karya-karya ini sebagai karya yang dibuat dengan serius, namun apresiator sulit untuk merasakan keseriusan karya ini selain ketidak tahuan. Saya mengagumi sajak-sajak yang terlulis di beberapa bagian, tapi untuk dapat menangkap karya tersebut secara utuh saya merasa sangat kesulitan. Kiranya yang dapat menangkap esensi karya ini secara utuh adalah si seniman sendiri dan beberapa orang yang memiliki pemahamn setara dengan si seniman, bagi orang awam tentu akan sangat susah.
Mini katalog pun tidak dilengkapi dengan penjelas, hanya disertakan biografi singat seniman yang terlibat dalam pameran ini. Saya rasa pameran ini hanya mengarah untuk dinikmati secara estetis saja, atau hanya dapat dinikmati oleh orang yang memiliki pemahaman setara dengan si seniman.(Dnm)
____eng________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
EXHIBITION TITTLE : Photograph and Poetry Exhibitions ‘ONE’
ARTIST : B.G. Fabiola Natasha, Vika Wisnu, Haryo Suryo Kusumo, Didik Siswantono, Leo Arief Budiman, Heti Palestina Yunani, Mamuk Ismuntoro, Sol Amrida, Peter Wang, Wina Bojonegoro.
EXHIBIT PERIOD : 11 Agust – 2 October 2017
PLACE : Galeri House of Sampoerna,Taman Sampoerna 6, Surabaya 031-3539000

dokumentasi budidayabaik
Five photographers collaborated with five poets, summarized in a photography and poetry exhibition entitled 'ONE'. Upon entering the showroom I found a very interesting work from a very dynamic display arrangement, the work was not neatly arranged. The work on display makes the House of Sampoerna room so full of visual forms and narration.
Because it is the title of photography exhibition, in my meet many photographs, there is also poetry, there is also painting and installation. The combination of several types of work makes the House of Sampoerna room full. The works are arranged in each room continuously between each other, so it looks like a space installation.
The work displayed has a very interesting visual, not monotonous in the form of longitude in the frame, or similar shapes. The disadvantages of this exhibition are the incoming appreciator will be very difficult to understand the work, because although many narratives, the narrative is part of the work, which is poetic, so it is very difficult to understand by the layman. There should be an available narrative that can guide the appreciator enjoying the work. I see that these works as works that are made seriously, but appreciators find it difficult to feel the seriousness of this work other than ignorance. I admire the poems written in some parts, but to be able to capture the work in full I find it very difficult. The thing that captures the essence of this work as a whole is the artist himself and some people who have the same understanding with the artist, for the layman would be very difficult.

dokumentasi budidayabaik
Mini catalogs are not equipped with explanations, only included singers biographies involved in this exhibition. I think this exhibition only leads to aesthetically pleasing, or can only be enjoyed by people who have the same understanding with the artist. (Dnm)
0 notes
Text
Review - Bhineka Satu (Pameran foto koleksi Antara)

JUDUL PAMERAN : Bhineka Satu (Pameran foto koleksi Antara)
KURATOR : Oscar Motuloh
PERIODE PAMERAN : 28 Agustus – 1 Oktober 2017
TEMPAT : House of Sampoerna,Taman Sampoerna 6, Surabaya 031-3539000
Untuk memperingati hari kemerdekaan House Of Sampoerna (HOS) menyelenggarakan pameran foto, bila biasanya HOS hanya menyadi fasilitator seniman untuk menyelengarakan pameran seni di Galerinya, tapi kali ini HOS menjadi inisiator yang menyelengarakan pameran. Pihak HOS menyelengarakan pameran ini bekerjasama dengan LKBN ANTARA, pameran ini adalah pameran foto koleksi dari ANTARA.

Kegiatan ini tidak hanya berisi diskusi, bahkan sebenarnya kegiatan ini adalah seremonial untuk merayakan kemerdekaan, pameran hanya sekedar sisipan karena habitus yang dilakukan di HOS. Kegiatan dimulai pada tanggal 26 Oktober 2017 dengan kegiatan ‘Bincang Museum’ bertemakan ‘Demokrasi yang Pancasilais’ dengan narasumber KH Said Aqil Siradj - Ketua Umum PB NU. Di hari kedua diawali dengan kegiatan ceremonial dan diskusi, dengan tema ‘ Pancasila BUKAN PancaSilam’ dengan Moderator Meidyatama Suryodiningrat - Presiden Direktur LKBN Antara, dan Narasumber Yudi Latif - Kepala UKP - Pembinaan Ideologi Pancasila, Hilmar Farid - Direktur Jendral Kebudayaan, Hana Amalia - CEO Yayasan Pondok Kasih Surabaya. Di sesi terakhir sertelah diskusi dilanjutkan dengan pembukaan pameran.
Dalam pameran kali ini HOS menggunakan galeri yang biasanya tidak dibuka untuk umum, galeri baru ini terletak di sebelah kanan dari Museum Kretek Sampoerna. Konten pameran ini adalah koleksi Foto ANTARA, menurut kurator pameran Oscar Motuloh ini adalah upaya untuk merayakan kemerdekaan melalui bentuk visual.
Foto yang diperkan adalah foto mulai zaman kemerdekaan hingga foto apa yang terjadi saat ini, dari pameran ini yang ingin digugah adalah bagaimana apresiator memaknai Pancasila melalui apa yang sering kita temui sehari-hari, ataupun dari sejarah yang sebenarnya kita tidak pernah tahu dan salah satu cara agar kita dapat tahu adalah dengan mulai membuka lembar-lembar sejarah agar apa yang terjadi di masa lalu dapat menjadi pembelajaran untuk dapat melangkah kedepan dengan baik.

Isu perbedaan juga beberapa kali dikemukakan dalam diskusi dan dalam karya yang dipamerkan. Dalam diskusi jelas disinggung bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat beragam, namun keberagaman ini adalah hal menguntunggkan. Seperti yang di ungkapkan oleh Hilmar Farid, bahwa kota dengan penduduk yang beragam (dari berbagai suku) memiliki perkembangan ekonomi yang lebih baik daripada kota yang tidak beragam. Kesimpulanya adalah beragam dan berbeda bukan menjadi sesuatu hal yang harus terus menerus dipermasalahkan, namun kita harus dapat melangkah bersama dengan perbedaan dengan landasan yang sama yaitu Pancasila. (Dnm)
_____eng____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
EXHIBITION TILTTLE : Bhineka Satu (Photo exhibition of Antara collection)
CURATOR : Oscar Motuloh
EXHIBIT PERIOD : 28 Agustus – 1 Oktober 2017
PALCE : House of Sampoerna,Taman Sampoerna 6, Surabaya 031-3539000

To commemorate Independence Day House of Sampoerna (HOS) held a photo exhibition, if HOS usually only facilitates artists to hold art exhibitions in their Gallery, but this time HOS became the initiator who held the exhibition. HOS party held this exhibition in cooperation with LKBN ANTARA, this exhibition is a photo exhibition collection from ANTARA.
This activity not only contains discussion. in fact, this activity is ceremonial to celebrate independence, the exhibition is just an insert because habitus did in HOS. The activity started on 26 October 2017 with the activity of 'Bincang Museum' themed 'Demokrasi yang Pancasilais' with resource person KH Said Aqil Siradj - Chairman of PB NU. The second day begins with ceremonial activities and discussions, with the theme 'Pancasila NOT PancaSilam' with Moderator Meidyatama Suryodiningrat - President Director of LKBN Antara, and Resource Person Yudi Latif - Head of UKP - Pancasila Ideology Development, Hilmar Farid - Director General of Culture, Hana Amalia - CEO Yayasan Pondok Kasih Surabaya. In the last session, the discussion continued with the opening of the exhibition.
In this exhibition HOS uses galleries that are not usually open to the public, this new gallery is located on the right of the Kretek Sampoerna Museum. The content of this exhibition is ANTARA Photo collection, according to Oscar Motuloh exhibition curator, this is an effort to celebrate independence through visual form.

The photos that were published were photos from the time of independence to photos of what is happening at the moment, from this exhibition that wants to be inspired is how the appreciators interpret Pancasila through what we often meet every day, or from history that we really never know and one way So we can know is to start opening the pages of history so that what happened in the past can be a learning to be able to move forward well.
The issue of difference is also raised several times in discussions and in works on display. In the discussion, it is clear that Indonesia is a very diverse nation, but this diversity is a matter of the lawsuit. As revealed by Hilmar Farid, that city with diverse populations (from various tribes) has better economic development than cities that do not vary. The conclusions are diverse and different rather than being something that must be constantly questioned, but we must be able to move along with the differences on the same ground of Pancasila. (Dnm)
1 note
·
View note
Text
Review - Memorabilia 50 Tahun IFI Surabaya

dokumentasi budidayabaik
JUDUL PAMERAN : Memorabilia 50 Tahun IFI Surabaya
KURATOR : Benny Wicaksono
PERIODE PAMERAN : 18 - 31 Agustus 2017
TEMPAT : Galeri AJBS, Jl. Ratna No. 14, kompleks AJBS blok C2 Lt.2 Kota Surabaya 60246
Dalam perayaan ulang tahun yang ke-50 tahun ifi Surabaya menyelenggarakan pameran arsip dan konser musik. Pameran arsip berada di Galeri AJBS dan konser musik dilakukan di IFI Surabaya Barat. Pameran arsip yang dilakukan di Galeri AJBS adalah arsip-arsip yang dimiliki oleh IFI Surabaya mulai pertama ia berada di surabaya hingga sekarang, dalam kurun waktu 50 tahun tentu sangat banyak kegitan yang sudah dibuat oleh IFI Surabaya. Arsip yang dipamerkan adalah arsip kegiatan yang dipilah berdasarkan kategori kegiatan yang pernah dibuat, antara lain; film, seni rupa, seni musik, teater, mode/fashion, dan pendidikan.

poster kegiatan
Pameran ini sangat menarik untuk diamati karena kita bisa mendapati rekam jejak dari seniman-seniman Surabaya atau bahkan seniman dari kota lain, yang mana mereka sekarang telah menjadi seniman yang memiliki nama besar, seperti Heri Dono yang pernah berpameran di CCCL (nama sebelum berubah menjadi IFI Surabaya), atau pun Hafiz Rancajale yang pernah memberi workshop di CCCL bersama dengan Agus Koecing. Dari sini kita bisa melihat peran IFI menjadi penting dan dianggap sebagai tempat yang representatif untuk seniman-seniman melakukan aktifitas disana.
Banyak juga kliping-kliping koran mulai tahun 80’an, hingga koran yang terbaru, yang menulis mengenai gejolak seni rupa di Surabaya yang di tampilkan juga dalam pameran ini. Dan yang saya dapati adalah di sekitar periode tahun akhir 80’an hingga 90’an, tulisan menggenai seni rupa di Surabaya tidak hanya menjadi pemberitaan yang sekedarnya, namun juga banyak kritikan yang dituliskan. Saya sangat suka dengan pola yang seperti ini, pola yang sangat menyehatkan jadi seniman akan mendapat banyak masukan dari sekitar menggenai karyanya, dan peran wartawan tidak hanya memberitakan kegiatan namun sekaligus menjadi pengamat yang kritis. Tidak seperti sekarang, saya rasa dewasa ini media yang memberitakan mengenai seni rupa lebih banyak hanya memberitakan sekedarnya saja.

dokumentasi budidayabaik
Selanjutnya adalah poster, jumlah poster yang dipamerkan juga sangat banyak, hampir disemua sudut ruang pamer ada poster yang ditempelkan. Kurator pameran ini Benny Wicaksono mengatakan bahwa sebenarnya poster dan semua data yang disini bukan keseluharan dari arsip kegiatan IFI, banyak juga arsip yang tidak ditampilkan, namun ada juga arsip yang ingin ditampilkan namun tidak ada.
Kegiatan ini juga melibatkan 8 seniman seniman seni rupa yang pernah bekerja sama dengan IFI, untuk kembali menampilkan karyanya, beberapa diantaranya adalah; Taufik Monyong, Yunizar Mursyidi, Agus Koecing, Jenny Lee, Ars Dewo, dan X-go. Karya yang ditampilkan oleh seniman-seniman ini adalah karya mereka saat melakukan kegiatan bersama dengan IFI, jadi pameran kali ini memang ditujukan untuk menggenang kegiatan apa saya yang telah di lewati selama 50 tahun IFI Surabaya berdiri

karya Jenny Lee, dengan latar belakang poster kegiatan fotografi
dokumentasi budidayabaik
_eng________________________________________________________________________________________________________________________
EXHIBITION TITTLE : Memorabilia 50 Tahun IFI Surabaya
CURATOR : Benny Wicaksono
EXHIBIT PERIOD : 18 - 31 Agustus 2017
PALCE : Galeri AJBS, Jl. Ratna No. 14, kompleks AJBS blok C2 Lt.2 Kota Surabaya 60246
In celebration of the 50th anniversary, IFI Surabaya organizes archive exhibitions and music concerts. The archive exhibition is at the AJBS Gallery and a music concert is performed at IFI West Surabaya. The archive exhibition conducted in AJBS Gallery is the archives owned by IFI Surabaya starting from the first time he was in Surabaya until now, in the period of 50 years, of course IFI have a lot of activity made by IFI Surabaya. Archives on display are archives of activities sorted by category of activities ever made, among others; Film, art, music, theater, fashion, and education.

dokumentasi budidayabaik
This exhibition is very interesting to observe because we can find track record of Surabaya artists or even artists from other cities, which they have now become big name artists, such as Heri Dono who had exhibited at CCCL (name before turning into IFI Surabaya), or Hafiz Rancajale who once gave a workshop at CCCL together with Agus Koecing. From here we can see the role of IFI becomes important and considered as a representative place for artists doing activities there.
Many newspaper clippings began in the 80s, to the latest newspaper, which writes about the flare-up of art in Surabaya which is also featured in this exhibition. And what I find is around the period of the late 80's to the 90's, writing about art in Surabaya is not only a simple news but also a lot of criticism. I really like this pattern, a very healthy pattern so the artist will get a lot of feedback from around his work, and the role of a journalist is not only to preach the activities but also to be a critical observer. Unlike now, I think today the media that preach about art more just preach only.

dokumentasi budidayabaik
Next is the poster, the number of posters on display is also very much, almost in all corner of the showroom there is a poster that is affixed. The curator of this exhibition Benny Wicaksono said that actually the posters and all the data here is not the whole of IFI's archives of activities, many archives are not displayed, but there are also archives that are wanted to be displayed but none.
This activity also involves 8 artists of fine art artists who once worked with IFI, to re-show his work, some of which are; Taufik Monyong, Yunizar Mursyidi, Agus Koecing, Jenny Lee, Ars Dewo, and X-go. The work displayed by these artists is their work while doing activities together with the IFI, so this exhibition is intended to stagnate what activities have been through for 50 years by IFI Surabaya

dokumentasi budidayabaik
0 notes
Text
Review - Drawing-drawing on the Earth

JUDUL PAMERAN : Drawing – drawing in the Earth
NAMA SENIMAN : Elano Gantiano – Artisto Liberte
PERIODE PAMERAN : 21-26 Agustus 2017
TEMPAT : Galeri Prabangkara, Komplek Taman Budaya Jawa Timur (Jl. Gentengkali no.85, Surabaya)
“PAMERAN”
Senin (21/08/2017), Elano Gantiano mengelar pameran tunggal yang bertempat di Galeri Prabangkara komplek Taman Budaya Jawa Timur. Ini adalah pameran tunggal yang kedua yang pernah dibuat, pameran tunggal yang pertama dilaksanakan di Jogja pada tahun 2012. Elano adalah seniman beraliran art brut, ia menetap dan tinggal di Jakarta.

Elano membuat karya dengan banyak mengunakan unsur garis, bukan garis yang teratur namun bukan juga garis yang ekpresionis. Garis yang dibuat Elano dalam karyanya selalu memiliki beberapa pusat garis, sehingga sedikit demi sedikit garis yang dibuat Elano akan membentuk objek-objek tertentu, seperti wajah dan tangan. Karya yang dipamerkan oleh Elano ini adalah karya yang dibuat dalam rentang waktu 2011 hingga 2015, yang pembuatanya sebagian besar dilakukan di Jakarta dan sebagian di Bali.
Karya yang pamerkan sangat berwarna, Elano banyak menggunakan warna-warna cerah untuk membuat garis, atau malah terkesan seperti warna psycedelic. Selain karya yang berwarna ada juga karya drawing hitam putih saja. Bahan yang digunakan Elano tidak melulu menggunakan cat akrilik namun juga beberapa bahan lain seperti pensil warna, spidol, ballpoin, dan lain sebaginya. Karya yang ditampilkan adalah karya 2d dan 3d.

Judul Pameran ini adalah Drawing, Drawing in the Earth menggambarkan kerinduan seniman terhadap alam. Namun kerinduan ini tidak menjadi garis merah dalam karya yang dipamerkan, karya yang dipamerkan sebenarnya tidak memiliki hubungan khusus antara satu karya dengan karya lainya, karena Elano sendiri mengungkapkan bahwa ia hanya terus memproduksi karya secara spontan, ia tidak menyiapkan karya secara spesifik untuk sebuah pameran tunggal, “proses pembuatan karya nya, seperti saat saya mabuk lalu melalukan banyak hal dimalam hari, lalu ke esokan paginya saya akan mulai melukis tentang apa yang saya lakukan semalam”. Elano juga sempat menyingung seni rupa dan pendidikan dalam salah satu karya, dan beberapa cerita lain di karya yang lain pula.
Masuk ke ruang pamer kita akan disegarkan dengan melihat karya-karya seniman yang berwarna cerah, namun poin lain yang saya dapati adalah minimnya diskursus pengetahuan dalam pameran kali ini, maksud saya adalah pameran hanya menyadi ajang pamer dimana seniman hanya memamerkan karyanya yang sudah di produksi pada masa lalu, sehingga dalam pameran ini benar-benar tidak ada narasi yang dibangun oleh seniman, seniman hanya mengarahkan apresiator untuk menikmati karya lukisnya tanpa tahu lebih jauh lagi.
Penjelas yang diberikan seperti teks kuratorial pada umumnya, atau bentu penjelas yang lainya kiranya sangat diperlukan agar karya dapat di apresiasi dengan lebih baik lagi. Satu-satunya penjelas adalah kata pengantar yang diberikan oleh ketua Dewan Kesenian Jawa Timur dalam lembar mini katalog yang dibagikan, itupun saya rasa sangat tidak cukup untuk dapat menerangkan karya-karya Elano. Jadi menurut saya pameran ini adalah ajang untuk seniman berekspresi dan memamerkan karyanya saja, tanpa ada hal lain yang ingin dibangun dari kegiatan ini. (Dnm)
_ eng _____________________________________________________________

EXHIBITION TITTLE : Drawing – drawing in the Earth
ARTIST NAME : Elano Gantiano – Artisto Liberte
EXHIBIT PERIOD : 21-26 Agustus 2017
PLACE : Galeri Prabangkara, Komplek Taman Budaya Jawa Timur (Jl. Gentengkali no.85, Surabaya)
“EXHIBITION”
Monday (21/08/2017), Elano Gantiano held a solo exhibition held at Prabangkara Gallery of Taman Budaya East Java Complex. This is the second solo exhibition ever made, the first solo exhibition held in Jogja in 2012. Elano is an art brut artist, he settled and lived in Jakarta.
Elano makes a work with many lines, not regular lines but rather an expressionist line. The line that Elano made in his work always has several center lines, so that little by little the line made Elano will form certain objects, such as the face and hands. The work exhibited by Elano is a work made in the period 2011 to 2015, most of which are made in Jakarta and partly in Bali.
Works that showcase very colorful, Elano many use bright colors to create lines or even impressed like the color psychedelic. In addition to the colored works, there is also a black and white drawing work alone. The material used by Elano does not only use acrylic paints but also some other materials such as color pencils, markers, ballpoints, and so on. The works shown are 2d and 3d.

The title of this Exhibition is "Drawing, Drawing in the Earth" depicting artist's longing for nature. However, this longing does not become a red line in the exhibit, the work exhibited does not have a special relationship between one work and another, since Elano himself reveals that he only continues to produce the work spontaneously, he does not prepare the work specifically for a single exhibition, "The process of making his work, like when I was drunk and then do a lot of things at night, then to the next morning I will start painting about what I did last night". Elano also had time to dismiss art and education in one of the works, and several other stories in other works as well.
Going into our showroom will be refreshed by looking at the works of brightly colored artists, but the other point I find is the lack of discourse of knowledge in this exhibition, I mean the exhibition is just a show where the artists only show off his work in production at In the past, so in this exhibition there is absolutely no narration built by artists, the artist only directs the appreciator to enjoy his paintings without knowing any further.

Explanations given such as curatorial text in general, or another explanatory form will be necessary for the work can be appreciated better. The only explanation is the introduction given by the Chairman of the East Java Arts Council in a mini catalog sheet that is shared, and I think that is not enough to explain Elano's works. So I think this exhibition is a venue for artists expressing and showing off his work alone, without anything else to build from this activity. (Dnm)
0 notes