cacamembaca
cacamembaca
Drunken Reader
9 posts
catatan seorang pembaca mabuk yang gemar mendengar dangdut
Don't wanna be here? Send us removal request.
cacamembaca · 3 years ago
Text
Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya: Dari Pisuhan Slimicinguk hingga Anomali Penamaan Tokoh dan Judul
Atmodjo, Gunawan Tri. 2016. Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya. Yogyakarta: Divapress. 402 halaman.
                 Slimicinguk! Slimicinguk! Slimicinguk!
Setelah membaca kumpulan cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya, sepertinya kata slimicinguk wajib diucapkan secara lisan ataupun tulisan sebanyak tiga puluh tiga kali setiap hari. Ritual tersebut dilakukan sebagai wujud penghormatan tertinggi kepada Gunawan Tri Atmodjo yang telah melegakan hari-hari sumpek dengan 22 buah rangkaian ceritanya. Suatu rangkaian cerita yang menggelikan dan kerap memancing tawa sehingga karya Gunawan Tri Atmodjo ini rasanya susah sekali dilupakan, bahkan untuk ditinggalkan dari pikiran. Sangat tidak terduga!
Tumblr media
Yang paling membekas dari kumpulan cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya tentu saja kata slimicinguk. Sebuah kata yang terlahir dari rahim pikiran Gunawan yang diejawantahkan sebagai umpatan dengan nuansa makna yang lebih ramah lingkungan. Sebuah kata yang memiliki garis keturunan dengan kata bajinguk, varian dari kata bajingan. Hanya bedanya, slimicinguk lebih minim dosa dibanding umpatan lainnyadan jugabelum terealisasi menjadi umpatan yang membumi. Karena kata itu hanyalah khayalan Gunawan dalam salah satu cerpen dengan judul Slimicinguk.
Sebetulnya, slimicinguk bukanlah satu-satunya umpatan yang semena-mena dibuat oleh Gunawan, terutama dalam cerpen berjudul Slimicinguk.
Cerpen Slimicinguk mengangkat cerita tentang Cipto Hadi, seorang penerjemah komik yang sedang kerepotan mencari padanan kata untuk sebuah umpatan. Awalnya, Cipto Hadi menggunakan kata slimicinguk untuk kata umpatan dalam komik yang ia terjemahkan. Akan tetapi, ketika komik telah sampai ke tangan Dodi selaku direktur utama penerbit dan pembaca pertama komik tersebut, Dodi merasakan kejanggalan akan kata itu.
Kata itu dirasa terlalu lembut untuk sebuah umpatan. Selain itu, Dodi juga merasa tidak pernah menemukan kata itu, baik di kamus besar bahasa Indonesia maupun kamus online. Oleh karena itulah, akhirnya Cipto Hadi dipanggil oleh Dodi untuk menghadapnya dan memerintahkan Cipto untuk mengganti slimicinguk dengan umpatan lain. Cipto pun mempersembahkan pilihan-pilihan umpatan kepada Dodi sebagai ganti slimicinguk, misalnya pakenton, kemasu, hajingter, dan lakimbin. Namun, semuanya ditolak Dodi. Dodi malah mengajukan umpatan inisiatifnya sendiri, yakni bagero.
Kehadiran umpatan-umpatan seperti slimicinguk, pakenton, kemasu, hajingter, dan lakimbin membuat cerpen Gunawan tidak membosankan. Gunawan lihai memilih dan merangkai kata-kata yang mengundang dan memperkuat komedi tapi bukan komedi yang picisan. Karena saya merasakan komedi yang dibangun Gunawan melalui kekuatan (salah satunya) kata, sangatlah mengalir. Tidak memaksa dan tidak berlebihan.
TAWA DALAM KETRAGISAN
Meskipun sampul buku kumpulan cerpen ini tidak mengesankan lucu atau berbau komedi sama sekali, tapi tawa tak bisa ditahan ketika membaca cerita-cerita dalam Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya. Banyak tawa yang kita tuai dari peristiwa tragis yang dialami tokoh.Terutama yang memang dikemas dengan bahasa yang humoris.
Akan tetapi, tidak semua cerpen dalam Tuhan Tidak Makan dan Cerita Lainnya bernuansa komedi. Ada beberapa bagian yang murni serius, baik isi maupun pilihan kata yang dipakai. Misalnya, cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan, Perjalanan ke Pacitan, Legenda Sepasang Pria, dan Paloma.
Dalam penataan urutan, cerpen diurutkan secara berselang-seling untuk memperkuat komedia dalam tragis. Tidak melulu komedi dan tidak melulu serius. Semuanya membaur sehingga membentuk ritme yang bagus dan tidak menjemukan. Baik yang berunsur dominan humor maupun serius disajikan secara seimbang. tercapailah dulce et etile. Menghibur sekaligus bermanfaat.
ANOMALI PENAMAAN TOKOH DAN JUDUL
Penamaan tokoh ataupun pemberian judul memang tidak selalu berkaitan dengan isi atau maksud yang disampaikan pengarang. Namun, dalam Tuhan Tidak Makan Ikan dan Lainnya, penamaan tokoh dan judul cukup memperkuat suasana yang dibangun pengarang. Juga, semakin memberikan kekuatan kumpulan cerpen ini.
Gunawan banyak menamakan tokoh-tokohnya dengan nama-nama yang tidak biasa disematkan pada manusia pada umumnya. Baik dengan menciptakan nama-nama baru, merusak nama-nama yang sudah ada, atau menyomot kata-kata tertentu sebagai nama tokoh. Misalnya, nama yang merusak nama yang sudah ada antara lain nama: Presiden Sergob, Kolonel Aduren, dan Zapoivatco dalam cerpen Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi. Ketiga nama ini kemungkinan merupakan inversi dari nama-nama pengarang atau penyair dunia, yaitu Borges, Neruda, dan Octavio Paz.
Selain itu, ada nama yang menyerupai nama bulan dalam kalender hijriyyah, yakni Didik Rabiulakhir. Ada juga nama yang mengarah pada hal-hal yang di masyarakat sudah kadung memiliki nuansa negatif, contohnya penamaan seorang pengusaha di Beijing yaitu Ha Jingang atau plesetan dari umpatan “bajingan”; dan penamaan penjaga warung Mbak Perek.
Kemudian, ada juga penamaan yang berkaitan sekali dengan plot, misalnya penyematan nama Sapardi yang membuat tokoh pencetak kalender dalam cerpen Kalender, Undangan Nikah, dan Puisi merasa berbunga-bunga karena ada seseorang yang bernama Sapardi meneleponnya dan memuji puisi di dalam kalendernya. Ia pikir, Sapardi yang dimaksud adalah Sapardi Djoko Pramono, tapi ternyata ia salah paham.
Setelah penamaan tokoh, diksi yang dipakai dalam lima dari dua puluh dua buku judul cerita kumpulan cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya amat menyilaukan mata. Cukup menarik. Lima judul itu terekam dalam memori untuk sekian lama, padahal sebetulnya, mungkin bagi orang lain, terlalu biasa, receh, atau malah garing. Namun, bagi saya, judul-judul yang antara lain: Tentang Prawiro Oetomo dan Palonthen, Slimicinguk, Cabe-Cabean Berkalung Tasbih, Anak Jaranan, dan Riwayat Sempak menyisakan kesan khusus. Ya walaupun kesan tersebut juga terbangun karena ada andil dari pembacaan cerita secara menyeluruh atau hal-hal lain.
Kesan-kesan itu biasanya timbul karena ada kata aneh atau ceritanya lucu. Kalau yang berjudul Tentang Prawiro Oetomo dan Palonthen, kata Palonthen-lah yang paling berjasa menanamkan kesan. (Hayo, apa itu palonthen?). Kalau pada Slimicinguk, tentu saja pada kata slimicinguknya. Kalau pada Cabe-Cabean Berkalung Tasbih, jalan cerita dan imajinasi tokoh yang Gunawan Tri Atmodjo tanamkanlah yang paling melekat dalam ingatan. Kalau Anak Jaranan, yang menjadi daya tariknya adalah plotnya. Sedangkan, cerpen Riwayat Sempak, tentu saja karena daya tarik judulnya.
Walau mungkin ada yang mengatakan judul kelima cerpen itu cukup receh, Gunawan sebagai pengarang kumpulan cerpen ini sepertinya tidak peduli. Toh, isinya tetap ada bobotnya. Ya, sepertinya, Gunawan hanya ingin merdeka alias bebas tanpa paksaan atau tuntutan dari pihak-pihak lain. Seperti yang Gunawan katakan dalam sebuah diskusi buku pada Oktober 2017, “Santai saja untuk menulis. Menulislah tanpa paksaan. Berbahagialah. Untuk diri sendiri, untuk satu teman.”
Jika misi utama Gunawan dalam menulis, yaitu merdeka, membahagiakan diri sendiri, dan satu teman, maka tercapailah misinya pada penulisan kumpulan cerpen Tuhan Tidak Makan Ikan. Sebab, saya yakin, Gunawan pasti merasa merdeka dan bahagia ketika menulis kumpulan cerita tersebut. Pun, misi membahagiakan satu teman juga sepertinya berhasil. Setidaknya, saya bisa menjelma menjadi satu teman yang merasa berbahagia karena tulisannya.
Yogyakarta, 2017
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Membasuh Luka
Seperti biasa, muara dari lelah-lelah yang singgah di sepanjang hari ini adalah ritual membasuh buliran luka. Lampu sudah kupadamkan, sementara speaker gawai mulai mendengungkan alun album Mantra-Mantra. Aku pun berbaring dalam gelap. Ragaku di atas ranjang, tapi pikiranku terasing di belantara masalah yang entah.
Tengah malam rasanya menjadi momen paling mengerikan. Sebab di sana, emosi dan segala prasangka bergumul jadi satu dan merebut kendali energi positif dalam tubuh. Lalu aku menjelma menjadi pusat dari kesalahan-kesalahan yang terjadi di dunia. Aku menyalahkan aku. Aku kembali membodoh-bodohi aku. Aku kembali mengutuk diri bahwa aku bukanlah orang yang layak dilahirkan dan dicintai oleh sesama.
Setiap kali merasa tak pantas dicintai, selalu saja kutaruh curiga pada orang-orang di sekitar, terutama pada kekasih. Hampir setiap malam aku dirundung paranoia. Frasa seandainya dia… atau bagaimana kalau… menjadi kalimat pembuka atas pernyataan dan pertanyaan di dalam kepala.
Lantas, aku meluap. Aku marah hanya karena ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi. Parahnya, kalau tengah malam kekasihku masih terjaga, pesan penuh emosi kulesatkan padanya. Kulibatkan dia. Kutuduh dia berbuat macam-macam. Kulampiaskan semua. Kutanyakan hal-hal yang meresahkan, tetapi jawabannya jauh dari ekspetasi, bahkan mengundang ketakutan-ketakutan lain.
Kami ribut akibat hal-hal sepele. Hampir tiap malam ketika mata hendak terpejam, aku mengulang drama yang sama. Dimulai dari membanding-bandingkan diri dengan wanita di masa lalu hingga berujung pada keraguan atas perasaan sayangnya. Namun, aku bersyukur dia sosok yang baik. Dia terus bersabar. Diulurnya satu per satu masalah sebagai biang resah. Dia coba dinginkan kepala: yang kau takutkan takkan terjadi. Bulir basah pecah. Katanya, “tenangkan hati, kau hanya perlu istirah”. Setelah itu, aku izin rehat lalu meminta maaf berkali-kali padanya dan pada diri sendiri.
Berkali-kali aku coba menenangkan diri. Atas saran kekasih, kuputar lagu Rehat saat pikiran-pikiran negatif kembali bergejolak. Katanya, manusia berhak merasa kurang, tapi bukan berarti hal itu dijadikan alibi untuk terus menyalahkan diri sendiri. Sebab, keputusan menyalahkan diri bukanlah pilihan yang tepat. Ia bisa melahirkan hal-hal yang lebih dahsyat: ketidakpercayaan terhadap orang-orang dan ketakutan tentang masa depan yang belum tentu akan terjadi kelak.
Pada akhirnya, ketika aku bertemu lagi dengan tengah malam dan terbaring dalam gelap, pikiran negatif kukepul jadi satu lalu kumusnahkan. Aku mencoba jalani ritual yang bisa mengobati luka rasa dan karsa. Sebelum tidur, aku berbincang dengan diriku sembari meminta maaf dan memaafkan atas banyak luka yang telah kucipta.
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Tionghoa dan Pribumi dalam Cerita Oey Se Karya Thio Tjin Boen
Thio Tjin Boen merupakan salah satu sastrawan Melayu Tionghoa kelahiran Pekalongan tahun 1885. Novel yang ia hasilkan cukup banyak, antara lain Njai Sumarah dalam dua jilid (1917), Se Tjaij Kim (Nona Kim) dalam tiga jilid (1917), Cerita Oey Se (1903), karya adaptasi dari La Dame aus Camelias, Dengan Duwa Cent Jadi Kaya dua jilid (1920), dll. Thio Tjin Boen, selain dikenal sebagai novelis, juga dikenal sebagai wartawan dan penerjemah.
Thio Tjin Boen juga pernah bekerja sebagai editor di surat kabar antara lain Taman Sari, Warta-Warna Warta, Perniagaan (1926-1929) dan mingguan Moestika yang didirikan di Semarang pada tahun 1927. Thio Tjin Boen meninggal pada tahun 1940 di Bandung.
Salah satu karya yang dihasilkan oleh Thio Tjin Boen dan akan dibahas dalam makalah ini berjudul Cerita Oey Se, yaitu satu cerita yang amat endah dan lucu yang betul sudah kejadian di Jawa Tengah atau kerap disingkat dengan Cerita Oey Se.
Cerita Oey Se merupakan karya sastra bergenre novel. Meskipun novel, cerita yang disajikan tidak terlalu panjang, hanya berjumlah 73 halaman. Cerita Oey Se terbit jauh sebelum sumpah pemuda diikrarkan yakni tahun 1903. Saat ini, Cerita Oey Se masih dapat dijumpai di kumpulan karya berjudul Kesastraan Melayu Tionghoa jilid 1 bersama dengan karya-karya sastrawan Melayu Tionghoa lainnya.
Cerita Oey Se sendiri sebenarnya lebih banyak mengangkat konflik keluarga  yang mengarah pada permasalahan perkawinan antarbangsa.
Banyak hal yang menarik dari cerita karangan Thio Tjin Boen ini. Cerita ini tidak sekadar menyajikan struktur cerita yang dapat menghibur pembaca, tetapi juga mampu membawa pembacanya dapat menelisik lebih jauh budaya, bahasa, dan kehidupan masyarakat (terutama orang-orang peranakan Tionghoa) ketika cerita ini dikarang. Yang lebih istimewa, cerita ini juga menyajikan cara suatu bangsa memandang bangsa lain yang diwakilkan oleh tiga bangsa, yaitu Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
Untuk meneliti lebih jauh tentang keistimewaan karya Thio Tjin Boen ini, akan dilakukan analisis dengan pendekatan struktural Robert Stanton. Analisis struktural yang dimaksud juga akan dibatasi hanya analisis karakter tokoh dan latar tempat.
Karakter Oey Se dan Kim Nio dalam Cerita Oey Se
Stanton (via Pujiharto, 2012:43) mengartikan kata character dengan ‘sikap, keterikatan, keinginan, emosi, dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki tokoh. Tokoh adalah individu-individu yang muncul dalam cerita (Pujiharto, 2010:43).
 Tokoh beserta karakter yang akan dianalisis pertama kali dalam makalah ini adalah Oey Se. Oey Se dalam Cerita Oey Se diceritakan sebagai seorang Cina Totok yang sudah tinggal lama di Pekalongan. Oey Se telah pandai memakai bahasa Indonesia dan bahasa setempat (bahasa Jawa) sehingga terkadang orang-orang pun sudah sulit membedakannya dengan orang pribumi. Hal tersebut mencerminkan bahwa pada tahun diterbitkannya novel itu, Pekalongan menjadi salah satu kota pelabuhan terbesar yang sangat strategis untuk melakukan aktivitas perdagangan antarbangsa. Dibuktikan dengan banyaknya bangsa Tionghoa dan juga Eropa yang tinggal di daerah itu.  Hal dapat dibuktikan dengan kutipan narasi berikut ini.
…si tetamu yang sesungguhnya satu Cina toto yang sudah lama sekali tinggal di Pekalongan. Oey Se namanya. Sebab itu ia pandei omong Jawa, lebih lagi di itu tempo ia berpeakeian cara orang selam maka orang tida kira bahwa orang itu satu Cina adanya (hal.181).
Thio Tjin Boen melalui tokoh Oey Se juga menggambarkan bahwa tidak semua orang Tionghoa itu kaya, tetapi ada yang sangat miskin. Namun, melalui tokoh Oey Se yang dibantu tokoh istri pertamanya juga menggambarkan masyarakat Tionghoa pandai mengembangkan usaha.
Selain itu, Oey Se juga mencerminkan orang Tionghoa yang masih sangat memegang kepercayaan terhadap huum karma. Ia percaya bahwa nasib buruk yang menimpanya adalah buah dari perbuatan tercelanya di masa lalu. Kedua hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan berikut.
Oey Se sudah tinggal di rumah lain, yang ada sedikit besar dan buka toko kecil,...makin lama tokonya makin besar dan berdagang banyak rupa macam barang (hal.190).
“Ya Allah, ya Tuhan. berat sekali tanganmu menimpa kepalaku, ach! Vigni,. Vigni…O, inilah pembalesannya. Ya Tuhan…ampun” (hal.241).
Oey Se juga digambarkan menikah lagi padahal sudah memiliki istri. Hal tersebut mencerminkan bahwa di dalam nilai tradisional Tionghoa, seorang laki-laki diperbolehkan nemiliki gunduk dan seorang istri tidak boleh menentang tindakan suaminya itu.
…lagi menurut aturan orang Cina boleh beristeri lebih dariseorang jadi si isteri tiada boleh bicara apa lagi,…. (hal. 226)
Selain Oey Se, tokoh yang mewakili orang Tionghoa dalam novel ini adalah Kim Nio. Kim Nio adalah anak perempaun Oey Se.
Awalnya, dia merupakan anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tua. Akan tetapi, rasa baktinya terhadap orang tuanya dirasa berkurang ketika ia kawin lari dengan Regent Pekalongan.
Alasannya, karena sebetulnya orang tua Kim Nio sangat mewanti-wanti anaknya untuk tidak menikah dengan orang berlainan bangsa. Secara tidak langsung, novel ini menggambarkan bahwa pernikahan antaretnis, antar bangsa, antaragama akan sulit dilakukan. Juga digambarkan bahwa sangat sulit jika seorang Tionghoa akan menikah dengan etnis dan agama yang lain. Oleh karena itulah, orang Tionghoa lebih baik menghindari perbuatan tersebut daripada mendapatkan malapetaka.
Kim Nio menganggukan kepalanya seraya katanya: “Tapi susah sebab lain bangsa” (hal.236).
Cumah setiap malam sampe beberapa bulan lamanya di kuburannya Fatimah orang dapat denger suara perempuan mangis, dan merintih, katanya: “Gatel! gatel! gatel!” Sebab itu, orang bilang akan Fatimah itu. Cinta tanggung-Jawa wurung-mayitnya tiada diterima oleh bumi (hal.249).
Karakter Oey Se dan Kim Nio secara tidak langsung dapat menunjukkan kehidupan beserta karakter masyarakat Tionghoa pada saat karya itu ditulis. Namun, di sisi lain, ada sebuah narasi yang juga menggambarkan betapa orang Tionghoa memiliki daya saing yang begitu tinggi, seperti tercermin pada nukilan berikut ini.
Memang orang Cina tida bisa hidup rukun satu sama lain, hanya bersaingan selamanya, kalu dapat lihat satu orang ada bersobat dengan pegawai negeri, maka yang lain pun mau turt juga ambil persobatan biar dengan jalan menghabiskan banyak uang, hal itu tida lain cumah mau cari senderan (hal.215).
Karakter Merto dan Regent Pekalongan dalam Cerita Oey Se
Pada bagian sebelumnya, telah dianalisis karakter Oey Se dan Kim Nio yang merupakan representasi masyarakat Tionghoa ketika tulisan itu ditulis. Di dalam bagian ini, selanjutnya akan dianalisis karakter Merto dan Regent Pekalongan yang mencerminkan sebagai masyarakat pribumi pada saat itu.
Merto merupakan ayah dari si anak kecil yang bermain layang-layang. Merto digambarkan sebagai sosok yang bodoh dan pencuri. Merto dipandang bodoh jika dilihat dari narasinya yang mudah dikelabuhi oleh si Oey Se. Hal tersebut tampak seperti representasi pandangan orang nonpribumi terhadap pribumi yang dianggap bodoh, miskin, pencuri, dan mudah ditipu.
Tuan rumah itu Merto namanya sungguhnya bukan orang baik, ia ini orang jahat, adapun sering terjadi terbitlah kejahatan sebab kekurangan, begitu juga sesudah jadi dengan si Merto yang miskin dan sangat bodoh itu (hal.181-182).
Selain Merto, citra pribumi lain juga dihadirkan melalui tokoh Regent Pekalongan. Regent Pekalongan digambarkan sangat menyukai Kim Nio dan ingin sekali memperistri Kim Nio. Karena untuk melancarkan niat mempersunting Kim Nio, Regent Pekalongan ini menghalalkan segala cara, misalnya melakukan guna-guna dan mengirim jampi-jampi untuk Kim Nio agar takluk padanya. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa praktik perdukunan masih sangat dipercayai saat itu.
Tiada lebih baik pake saja kuasanya aer ludah (jopo=guna-guna) ia dapat ingat khiai Sentono di Dieng, itu orang tua yang masyhur dari pada pekerjaannya jadi dukun besar, kalau perkara pengrangkap buat orang perempuan belon tau gagal, lantas juga regent suruan orang pergi panggil itu dukun (hal.229).
Latar Tempat dalam Cerita Oey Se
Di dalam Cerita Oey Se, latar tempat yang paling menonjol, yaitu Pekalongan. Kota Pekalongan pada kenyataannya terletak di jalur pantai Utara Jawa yang mengubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya. Karena berada di jalur pantai yang menghubungan 3 kota besar di Indonesia itu, Pekalongan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah.
Oleh karena itulah, tidak salah apabila di dalam Cerita Oey Se gambaran Pekalongan sangat ramai dengan aktivitas perdagangannya, bahkan dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa berkumpul di kota itu. Misalnya, pedagang Tionghoa, Pribumi, dan Eropa.
Penutup
Berdasarkan analisis di bagian-bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Cerita Oey Se bukan sekadar sebagai hiburan semata, tetapi merupakan salah satu karya sastra Melayu-Tionghoa yang mampu mencerminkan realitas sosial yang ada ketika karya tersebut ditulis.
Tidak hanya itu, melalui Cerita Oey Se ini juga dapat dijumpai kritik-kritik terhadap berbagai hal di antaranya, kritik terhadap orang-orang Tionghoa pada generasi tersebut yang melakukan pelanggaran terhadap norma, adat, dan tradisinya yang dicerminkan oleh tokoh Kim Nio.
Di samping itu, Thio Tjin Boen juga menyampaikan beberapa gambaran tentang hubungan antaretnis dan antarkelas sosial ketika teks itu ditulis. Misalnya hubungan antaretnis ditunjukkan oleh perkawinan antaretnis sangat menjadi sesuatu yang haram pada waktu itu. Untuk hubungan antarkelas (kelas berdasarkan pembagian kolonial: eropa, timur asing, pribumi) juga tercermin dalam Cerita Oey Se. Misalnya, penggambaran betapa bodoh dan miskinnya orang pribumi, betapa rendahnya orang pribumi pada saat itu dibanding orang Eropa atau orang Tionghoa, serta penggambaran betapa orang Tionghoa sejak dahulu sudah menguasai, memegang, dan mengendalikan laju perekonomian.
Daftar Pustaka
Pujiharto. 2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Sinopsis Cerita Oey Se Karya Thio Tjin Boen (Sastra Peranakan Tionghoa)
            Oey Se merupakan seorang Cina Totok yang telah lama menetap di Pekalongan, tepatnya di Kampung Cina Pasar Keplekan. Oey Se sudah beristri dan memiliki dua orang anak bernama Kim Nio dan Kacung (Oey Jin). Namun, Oey Se adalah seorang yang miskin sehingga seringkali istri dan anaknya mengalami kelaparan.
            Suatu hari, Oey Se berniat untuk melakukan perjalanan ke Wonosobo hendak membeli kopi. Ia berjalan terus sampai pada suatu kampung, ia bertemu dengan anak-anak selam yang sedang bermain layang-layang. Ketika terjadi peristiwa itu, hari sudah sore dan matahari hendak terbenam. Untuk itulah, sambil merehatkan dirinya sejenak, Oey Se berhenti dan mengamati layang-layang yang sedang diterbangkan anak-anak. Setelah lama mengamati, Oey Se terheran-heran pada layangan yang sedang terbang itu. Ia heran karena layangan itu terbuat dari kertas uang.
    Bertanyalah Oey Se pada anak yang menerbangkan layang-layang. Ia menanyakan orang yang membuat layang-layang itu. Kemudian, si anak mengatakan bahwa yang membuat layang-layang itu adalah ayahnya. Oey Se dengan semangat memberikan pernyataan lagi kalau ia ingin belajar membuat layang-layang sebagus itu. Karena itu, Oey Se meminta si anak untuk mengatarkannya ke rumah supaya bisa belajar membuat layang-layang sebagus buatan bapak si anak. Maka, diantarlah Oey Se ke rumah.
            Sesampainya di rumah si anak, bapak anak tersebut bertanya maksud kedatangan Oey Se. Oey Se pun mengatakan bahwa ia kagum dengan layang-layang anaknya, terutama kagum pada kertas yang dipakai sebagai bahan pembuatan layangan itu. Lalu bapak si anak yang bernama Merto itu pun bercerita bahwa ia masih memiliki banyak kertas serupa itu yang ia dapatkan dari mencuri peti orang Belanda. Merto tidak tahu kalau sesungguhnya kertas-kertas itu adalah uang karena bentuk uang yang ia tahu hanyalah logam. Oleh karena itu, mata Oey Se langsung berbinar-binar. Ia langsung meminta Merto untuk membawakan semua kertas-kertas itu kepadanya. Merto pun menuruti permintaan tersebut. Semua kertas diserahkan pada Oey Se lalu dibayar langsung oleh Oey Se. Oey Se sangat bergembira karena mendapat uang yang banyak sehingga anak dan istrinya tidak lagi kelaparan di rumah. Begitu pun Merto dan keluarga. Mereka juga bahagia karena mendapatkan uang. Akhirnya, untuk malam itu Oey Se menginap di rumah Merto sampai keesokan harinya ia kembali ke Pekalongan.
            Oey Se tidak jadi pergi ke Wonosobo karena ia sudah mendapatkan uang secara instan  dalam jumlah yang sangat banyak. Oey Se kembali ke rumahnya di Pekalongan untuk menemui istri dan anaknya. Oey Se ingin memberi kejutan kepada mereka. Ya, kejutan itu pun berhasil. Istri dan anaknya senang. Mereka tidak lagi kelaparan. Justru, semakin lama, keluarga Oey Se semakin kaya karena uang yang ia dapatkan dari layang-layang itu sebagian digunakan untuk membangun usaha jual-beli.
            Kini tidak ada Oey Se si miskin lagi. Oey Se telah menjadi hartawan yang kaya raya. Namanya terkenal. Karena selain kaya, ia juga mudah membaur dengan orang-orang dari berbagai bangsa. Hingga pada suatu hari, ada seorang Eropa datang kepadanya.
            Seorang Eropa itu bernama Vigni. Vigni ingin membeli kopi dari gudang Oey Se. Vigni sangat percaya kepada Oey Se hingga ia sampai menitipkan peti yang berisi uang emas pada Oey Se sampai waktunya kopi yang ia pesan datang. Namun, sayangnya kepercayaan Vigni dikhianati oleh Oey Se. Oey Se yang penasaran terhadap peti yang dititipkannya akhirnya berbuat curang. Ia memerintah Drono yang pandai membuat kunci untuk membuatkan kunci peti itu. Drono patuh saja. Ia membuatkan kunci dan berhasil. Peti pun terbuka. Oey Se gembira sekali melihat dua peti di hadpannya benar-benar berisi uang emas yang bersinar.
Oey Se kalap. Ia menukarkan uang emas itu dengan uang perak yang ia miliki. Siapa pun tidak boleh ada yang tahu atas perbuatannya itu termasuk Drono yang membuatkan kunci.
            Dua minggu kemudian, Vigni datang untuk mengambil pesanan kopi yang siap dimuat ke kapal. Pada waktu itu juga, Vigni sangat bersemangat dan akan segera membayar kopi tersebut langsung. Vigni pun membuka peti uang emasnya. Vigni sangat terkejut ketika uang emasnya berubah jadi perak. Oey Se pun merasa gusar dan gemetar. Takut kalau perbuatannya ketahuan. Namun, Oey Se tetap bersikap tenang seolah-olah tidak mengetahui yang terjadi pada uang emas Vigni.
            Vigni sangat kecewa. Ia sangat yakin kalau semua itu merupakan perbuatan Oey Se, meski Oey Se tidak mengaku. Vigni pun akhirnya pergi dengan berat hati dan berkata-kata seolah menyumpahi orang yang menukar uangnya itu akan dibalas oleh Tuhan.
            Selang beberapa waktu setelah pertemuan terakhir antara dirinya dan Vigni, Oey Se mendengar kabar Vigni bunuh diri. Sejenak, Oey Se pun merasa bersalah karena Vigni bunuh diri tidak lain karena perbuatan dirinya yang telah menukar uang emas dengan uang perak. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Oey Se tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya bisa meminta ampun kepada Tuhan.
****
            Tahun terus berganti. Oey Se tampaknya sudah lupa dengan masalahnya dengan Vigni. Yang jelas, Oey Se menikah lagi dengan gadis dari Macau. Anak perepuan Oey Se yang bernama Kim Nio pun menikah dengan dambaan hatinya. Pesta dilaksanakan. Baik Oey Se maupun Kim Nio merasa senang. Apalagi kemudian Kim Nio dikaruniai seorang anak.
            Kebahagiaan Kim Nio ternyata tidak berlangsung lama. Suami Kim Nio meninggal. Kim Nio menangis sekeras-kerasnya dan sangat bersedih. Begitu juga Oey Se. Ia dan dua istrinya turut bersedih melihat anaknya sedih bekepanjangan.
            Kesedihan yang dialami Kim Nio pasca ditinggal suaminya menghadap sang pencipta justru menjadi kesempatan emas bagi sang regent; seorang yang dari dulu mendamba untuk mempersunting Kim Nio. Regent yang merupakan bangsawan kabupaten memanfaatkan kesempatan ini. Sang regent melakukan segala cara untuk menaklukan hati Kim Nio, mumpung sudah tidak ada lagi batu yang menghalangi langkahnya. Ia mengirimkan perantara berupa perempuan tua untuk membujuk secara halus Kim Nio. Kemudian, sang regent juga pergi ke Kiai Sentono. Oleh Kiai Sentono, sang regent diperintah untuk melakukan berbagai tahapan ritual agar keinginan menaklukan hati Kim Nio tercapai.
            Oleh karena kegigihan sang regent dalam melakukan ritual, Kim Nio akhirnya takluk padanya. Sebenarnya, Kim Nio memang termakan jampi-jampi yang dikirim sang regent. Ia mulai tertarik pada sang regent, tapi Kim Nio ragu-ragu karena ia tidak mungkin bisa menikah dengan orang yang berbeda bangsa dengannya. Ia cina sedangkan regent jawa islam.
            Perempuan tua yang sering datang memijat Kim Nio berusaha meyakinkan bahwa tidak masalah bila menikah dengan berlainan bangsa. Kim Nio pun termakan omongan perempuan tua itu. Akhirnya, ia bersedia dipersunting sang regent tapi tanpa persetujuan ayahnya karena ayahnya tidak akan merestui Kim Nio menikah dengan lelaki yang berlainan bangsa. Dengan kata lain, Kim Nio kawin lari. Lalu, masuk islam dan namanya berganti menjadi Fatimah Radhen Ayu Kanoman.
            Sementara di rumah, orang-orang ribut mencari Kim Nio karena ia tidak pulang berhari-hari. Oey Se dan kedua istrinya sudah mengira kalau Kim Nio mati bunuh diri ke sungai. Namun, pada satu hari, Oey Se mengetahui kalau ternyata Kim Nio belumlah mati. Oey Se mengetahui ternyata anaknya telah kawin lari dengan sang regent. Oleh karena itu, marahlah si Oey Se. Ia mengatai anaknya macam-macam dan menyebut anaknya durhaka. Ia tidak mau mengakui anaknya lagi karena ia telah menikah dengan orang lain bangsa. Beberapa kali, Oey Se juga mengumpat bahwa kejadian ini merupakan wujud dari sumpah atau doa Vigni yang pernah ia curangi.
      Rumah Oey Se pindah ke Banten. Kota Pekalongan ia tinggalkan supaya bisa melupakan kenangan-kenangan buruk dalam hidupnya. Oey Se pindah bersama kedua istrinya, anaknya, dan cucu yang merupakan anak Kim Nio yakni Lien Nio.
            Tahun berganti tahun. Suami Kim Nio atau Fatimah yang merupakan seorang regent Pekalongan telah pensiun. Kim Nio kini menjadi bekas Radhen Ayu Kanoman.
Pada suatu hari, Kim Nio alias Fatimah bekas Radhen Ayu Kanoman datang kembali ke bekas rumahnya yang dulu di Pekalongan. Rumahnya itu sekarang sudah menjadi milik seorang hartawan kaum Oey juga juga bersahabat baik dengannya. Ketika berkunjung ke bekas rumahnya itu, Fatimah berkeliling ke kebun dan ia terkejut. Ia terkejut karena mendapati sebuah kuburan yang terpahat nama Cinanya, yaitu Oey Kim Nio anak dari Oey Se. Menurut Fatimah, kuburan itu merupakan simbol bahwa ayahnya telah menganggap dia mati dan tidak ada di dunia ini lagi. Kalaupun pada dasarnya sekarang ia masih hidup, dia bukan lagi anak ayahnya. Pulang dari situlah kemudian Fatimah sakit keras dan akhirnya ia meninggal. Namun, diceritakan bahwa menurut orang-orang, Fatimah itu Cina tanggung Jawa werung dan mayatnya tidak diterima di bumi.
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Lingkar Tanah Lingkar Air: Sebuah Cermin Sosial Pemberontakan DI/TII 1949
Setelah merdeka, kondisi NKRI tidak lantas menjadi ‘adem ayem’ tanpa ancaman. Masa peralihan dari negara terjajah menjadi negara republik justru membuat keutuhan NKRI rentan mengalami pergolakan. Pergolakan itu terjadi di beberapa daerah dengan alasan-alasan tertentu. Baik karena ingin mengganti dasar negara, maupun ingin mendirikan negara baru. Salah satu bentuk pergolakan itu dikisahkan oleh Ahmad Tohari melalui novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yakni peristiwa DI/TII tahun 1949 yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia.
Tumblr media
Membaca karya Ahmad Tohari selalu memberikan pengalaman kemanusiaan yang berharga bagi pembacanya. Meskipun bacaan ini berjenis fiksi sastra, tapi bumbu sejarahnya tergambar sangat masuk akal. Alur dan cara bercerita pun jauh dari kata membosankan. Apabila Anda seorang penyuka kisah-kisah sejarah atau seorang yang berjiwa patriot tinggi, tidak ada salahnya membaca buku ini sebagai refleksi diri.
Sebagai penutup, ada satu hal yang perlu diingat. Membaca karya sastra bukanlah untuk mencari kebenaran sejarah, tapi dari peristiwa-peristiwa di dalam karya sastra, kita bisa memetik hikmahnya. Maka, jangan sampai negeri ini dikutuk untuk mengulang sejarah kelam DI/TII hanya karena kita tidak mau membaca!
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Membaca Burung-Burung Rantau—Membaca Sebuah Potret Keluarga
Hampir setengah tahun Burung-Burung Rantau tergeletak di rak-rak. Beberapa kali sempat ingin dibuka kemudian dibaca, tapi entahlah, ketika berusaha membaca peristiwa pembuka, saya mencukupkan diri untuk menuntaskaan beberapa lembar saja. Setelah itu Burung-Burung Rantau kembali saya makamkan di rak buku dan saya memilih untuk membaca yang lain. Perkaranya sepele, Burung-Burung Rantau susah dibuka secara maksimal dan berat untuk dibaca sambil berbaring karena volume halamannya cukup tebal.
Tumblr media
Walau dengan alasan yang bisa dikatakan tidak masuk akal alih-alih untuk cuci tangan dari menyelesaikan Burung-Burung Rantau, toh pada akhirnya buku berjenis novel tersebutterbaca secara intensif juga. Ya mau bagaimana lagi, selain penarasan, tentulah ada rasa tidak tega untuk melanggar kodrat buku yang seharusnya dibaca malah dibiarkan tersimpan layaknya sebuah barang pusaka. Kalau barang pusaka sih ada nilainya ketika disimpan, kalau buku? Ya, nilainya terkuak ketika dibuka dan dibaca, bukan hanya teronggok di rak.
BURUNG-BURUNG RANTAU
Membaca Burung-Burung Rantau  ibarat menyelami sebuah keluarga dengan anggota yang hetero dan memiliki orientasi masing-masing. Dari keluarga itulah, Romo Mangun berusaha mengeksplorasi satu per satu karakter tokohnya. Memang, dalam cerita ini, tidak banyak konflik fisik atau ketegangan-ketegangan antar tokoh. Sepertinya fokus Romo Mangun lebih pada konflik batin setiap karakter yang dikupas sangat dalam. Melalui pengupasan karakter-karakter tersebut, banyak sekali pemikiran-pemikiran Romo Mangun yang sangat membuka pengetahuan, mulai dari kemanusiaan, nasionalisme, filsafat, sampai soal fisika dan biologi.
Keluarga yang dikisahkan Romo Mangun dalam Burung-Burung Rantau adalah gambaran sebuah keluarga over cerdas yang dilahirkan dari pasangan Wiranto, seorang purnawirawan letnan jendral, gerilyawan 45 dan mantan duta besar, dan Yuniati. Meski saya katakan over cerdas, tapi keluarga ini tidak terlepas dari berbagai kemelut. Kemelut tersebut lebih sering menimpa batin-batin tokoh.
Dari pasangan Wiranto dan Yuniati, terlahir lima orang anak dengan minat berbeda-beda. Si sulung, Anggraini, merupakan anak yang sangat berorientasi pada bidang ekonomi. Dia seorang wanita karier sukses dan cenderung kaku. Setiap hal yang ia lakukan pasti harus mempertimbangkan untung atau tidak bagi dirinya, meski untuk urusan persaudaraan sekalipun.  
Ketika Romo Mangun sedang membahas sesuatu dari sudut pandang Anggraini, saya kerap berpikir, kok ya ada orang seperti ini. Apa-apa disangkut-pautkan dengan ekonomi, dengan berbagai perhitungan, dan kesannya sangat idealis. Tidak hanya Anggraini, tokoh-tokoh lain pun demikian idealisnya, mulai dari Bowo yang memegang keilmiahaannya karena seorang pakar fisika nuklir, Candra yang nasionalis, Marineti si pekerja sosial, tidak terkecuali si bungsu Edi yang terperangkap dalam jurang morfinis. Saking idealisnya, setiap berpendapat, pasti akan muncul ilmu-ilmu dari bidang yang mereka kuasai.
Keasyikan membaca Burung-Burung Rantau tidak bisa dipisahkan dari bahasa Romo Mangun yang sangat mengalir dan khas. Dialog-dialog dan narasinya tersusun secara panjang, tapi tidak menjemukan. Berbagai bahasa asing kadang-kadang masuk dalam dialog-dialog tokohnya, tapi tidak jadi masalah berarti. Malah kadang-kadang dengan adanya campur bahasa itu, saya jadi tahu, oh bahasa Belandanya “ini” tuh “ini”; oh bahasa Perancisnya “ini” tuh “ini”; oh bahasa Yunaninya “ini” tuh “ini; dan sebagainya. Kalau bagi pembaca yang ingin membaca secara cepat sepertinya akan malas untuk mengerakan bola mata ke atas bawah untuk melihat catatan kaki terjemahan dari bahasa asing.
Bagi pembaca yang ingin mendapat hiburan sekaligus moral-moral melimpah, Burung-Burung Rantau adalah solusinya. Meski dicetak pertama kali pada tahun 90-an, isi novel ini masih sesuai dengan perkembangan dan pemikiran masa kini.
0 notes
cacamembaca · 3 years ago
Text
Pemberontakan dan Luka di Tana Toraja
 “Bukankah adat  tidak boleh kaku. Batu saja bisa dipahat, masa iya adat harus terus menjadi bongkahan batu, Ambe?” (PKP:15)
Begitulah pendapat tokoh ciptaan Faisal Oddang yang bernama Allu dalam novel Puya ke Puya.  Sepanjang 215 halaman, novel ini seolah berusaha mengajak para pembaca untuk tidak menelan mentah-mentah sesuatu yang ada di dunia. Kutipan dialog di atas adalah salah satu buktinya. Melalui dialog tokoh Allu, Faisal dengan berani mempertanyakan kembali persoalan adat yang terlalu kaku, khususnya adat di Tana Toraja.
Allu sendiri diciptakan untuk mewakili sosok terpelajar yang berpandangan maju dan selalu berpikir logis. Ia memegang kukuh pendapat yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah produk manusia yang selalu berkembang dan fleksibel. Kesesuaiannya dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk tetap melakukan atau justru meninggalkan suatu tradisi.
Cara pandang Allu membuat Puya ke Puya terkesan selalu menyajikan pertikaian antara adat dan prinsip yang mengarah pada kemoderenan. Adat yang menjadi target utama untuk dipertikaikan terfokus pada perihal upacara rambu solo. Upacara rambu solo adalah upacara adat kematian di Toraja. Menurut pandangan Allu, upacara ini sangat membebani keluarga si mayat, terlebih kalau yang meninggal adalah kaum bangsawan seperti ayahnya. Sebab, keluarga si mayat harus mempersembahkan puluhan kerbau dan ratusan babi sebagai simbol kendaraan si arwah untuk menuju puya atau surga.
Macam-macam persembahan itu membuat Allu resah. Pasalnya, ketika ayahnya meninggal, kondisi ekonomi keluarga Allu sedang tidak baik. Padahal, untuk membeli hewan persembahan diperlukan modal yang harus berlimpah. Oleh sebab itu, Allu mecoba berontak pada adat dengan didukung alasan yang masuk akal dan sesuai prinsip kemoderenannya. Allu pun berencana memakamkan ayahnya di Makassar tanpa upacara rambu solo. Sementara itu, kewajiban pada adat dan gengsi kebangsawannnya ditanggalkan sejenak walau mendapat protes dari pihak kerabat. “…biarlah saya tepiskan dulu gengsi, toh ini buat kebaikan kami juga. Saya tidak ingin merayakan dengan mewah lalu selepas upacara saya hidup di emperan toko.” (PKP:18)
Sayangnya, prinsip Allu yang sempat merajai novel ini tidak konsisten hingga akhir. Prinsip Allu harus takluk pada adat hanya karena dirinya ingin menikah. Upacara pernikahan tidak boleh dilaksanakan sebelum kewajiban upacara rambu solo digugurkan. Supaya keinginan menikah tercapai, Allu pun akhirnya terpaksa mematuhi adat. Ia banting setir untuk menggelar upacara rambu solo sekaligus upacara pernikahan. Namun, di titik balik ini Allu malah melakukan kesalahan. Demi upacara rambu solo dan pernikahan, Allu rela menjual mayat bayi Toraja dan tanah tongkonannya kepada proyek asing.
Pada akhirnya, bukankah sangat ironis ketika pemberontakan gagal dan adat hendak Allu patuhi, kemoderenan—ah, atau keegoisan—itu justru hadir mencederai adat itu sendiri?
Daftar Pustaka
Oddang, Faisal. 2016. Puya ke Puya. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
1 note · View note
cacamembaca · 3 years ago
Text
Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri?
(Hubungan Intertekstual Puisi Manurung dengan Epos Agung Bugis I La Galigo)
Tumblr media
A. Analisis dengan Model Pendekatannya terhadap Karya Sastra
            Puisi karya Faisal Oddang yang berjudul“Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuat buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri?” adalah sebuah karya unik yang menarik untuk dikaji menggunakan berbagai model pendekatan. Model pendekatan yang hendak digunakan untuk mengkajinya, yaitu model  pendekatan mimesis, pragmatis, ekspresif, dan objektif. Berikut ini hasil kajian berdasarkan keempat model pendekatan tersebut akan dijabarkan satu per satu secara lebih rinci.
1.  Model Pendekatan Mimesis
          Model pendekatan mimesis memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia (Pradopo, 2007:34). Dalam model pendekatan ini, kriteria utama yang dipakai sebagai penilaian karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendaknya digambarkan. Dengan demikian, baik buruknya karya sastra dinilai dari kemiripan karya sastra dengan hal yang ditirunya dalam semesta.
          Puisi yang akan dikaji pada tulisan ini adalah puisi Faisal Oddang yang berjudul  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri? dan puisi ini adalah salah satu dari 13 puisi berbentuk pertanyaan  untuk 3 nama yang terdapat dalam buku puisi Manurung. Manurung dengan segenap rentetan pertanyaanitu sengaja dilahirkan Faisal sebagai bentuk respons terhadap kisah purba I La Galigo. Khusus untuk puisi  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri?, Faisal Oddang mempertanyakan sekaligus membuka kembali kisah salah satu tokoh dalam epos I La Galigo yang bernama Sawerigading.
Pendapat Teeuw (via Dewojati, 2010: 102) yang mengatakan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan tanggapan terhadap teks sebelumnya, tentu saja akan memperjelas kenyataan bahwa puisi  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri? memiliki hubungan intertekstual dengan salah satu kisah dalam epos I La Galigo. Hubungan intertekstual itu terlihat ketika puisi  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri? mempertanyakan segala kejadian-kejadian dan kelakuan tokoh Sawerigading sekaligus merekonstruksi ulang kejadian-kejadian tersebut.
Pada bait kedua sampai dengan bait keempat, puisi ini mencoba menyusun ulang kejadian ketika Sawerigading mengetahui bahwa Patoetoe atau Tuhan sebetulnya menciptakan cermin untuknya di tubuh seorang perempuan. Dengan kata lain, sebenarnya Sawerigading memiliki saudara kembar perempuan. Akan tetapi, mereka telah dipisahkan karena tradisi melarang orang kembar dan berlainan jenis dipelihara dan dibesarkan bersama-sama. Kembaran Sawerigading bernama Wen Tenri Abeng sebagaimana yang termaktub dalam bait keduabelas /”Aku We Tenri Abeng, adikmu, kau Sawerigading?”/.
Kemudian, dikisahkan bahwa Sawerigading jatuh hati kepada We Tenri Abeng dan ingin menikahinya tetapi perkawinan dua orang bersaudara sangat dipantangkan. Meskipun demikian, Sawerigading keras kepala dan bersikukuh untuk tetap memperistri We Tenri Abeng tanpa takut mati ataupun terkena petaka. Kejadian ini tercermin pada penggalan puisi berikut.
/kau ingin menikahi dirimu sendiri/, //keinginan dan kenyataan yang kauhadapi seperti jeratan kuat/, //Kau berseru, burung-burung saling bertukar kabar tentangmu/ kau tidak mendengarnya. Terkenang sebuah pamali, kau bersedih.//, /Pada waktu yang sama, keinginan telah memiliki utuh tubuh dan jiwamu.//, //Buah dadanya yang mengkal, membuatmu siap mati atau membunuh/ atau mengelabuhi Tuhan. Langit telah menyiapkan sejumlah bala/ untuk hal itu. Saya siap untuk semua yang disiapkan Langit, katamu.//
          Potongan-potongan kisah dalam puisi karya Faisal Oddang di atas ternyata memiliki kemiripan alur cerita dengan epos I La Galigo. Dalam Sure’ I La Galio disebutkan:
“Cuku’ makkita Pamadengllette, lenasiduppa mata datue massilingereng, natakkajenne’ Sawerisompa natengnge kissing naimpung waji’ naleppe’laing leininnawa leba sitasa’inanret tudang. (Pamadenglette melihat ke bawah dan pada saat itu bertemu pandanglah kedua bersaudara dan terpesonalah Sawerisompa (Pamadenglette=Sawerigading) terpikat oleh kecantikan, dirayu oleh keayuan, pingsanlah di sepetanak nasi). (Matulada, dkk, 1990: 196-197).
“Nafeppe’tto leluwu’e, nassajatito lelolangengnge tarosia najajimoa leminasaka.” (Biar orang-orang Luwu punah, biarpun kerajaan hancur lebur asalkan keinginanku tercapai.) (Matulada, dkk, 1990: 198).
Selain adanya kemiripan antara puisi  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri? dan epos I La Galigo, dalam puisinya itu penyair seolah-olah sedang berdialog dengan karya sebelumnya (epos I La Galigo). Penyair mengisahkan, sekaligus memastikan. Penyair juga seakan masuk ke dalam dunia masa silam I La Galigo. Misalnya dalam baris /setelah pulang dari Sama dan Maloku –kau menyesali banyak hal/ karena kau menyesali satu hal: kenapa Tenri Abeng ditakdirkan jadi adikmu?//.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, puisi  Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu  Sendiri? cukup berhasil dalam mencerminkan, meniru, menggambarkan kebenaran semesta sekitarnya dengan ditemukannya kemiripan-kemiripan antara teks dalam puisi tersebut dan teks dalam epos I La Galigo.
2.  Model Pendekatan Pragmatik
Kritik sastra dengan model pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai (mendapatkan) efek-efek tertentu pada audience (pendengar, pembaca), baik berupa efek-efek kesenangan estetika ataupun ajaran/pendidikan, maupun efek-efek yang lain (Pradopo, 2007: 26). Dengan kata lain, karya sastra dianggap baik apabila berhasil menyampaikan tujuannya pada pembaca (Pradopo, 2007: 26). Selain itu, pendekatan pragmatik menitikberatkan peranan pembacanya sebagai penyambut dan penghayat karya sastra (Pradopo, 2002: 24).
I La Galigo merupakan sebuah karya sastra Bugis klasik, yang memiliki hampir 300.000 bait, menyalip semua karya sastra dunia, dan kemudian dikukuhkan sebagai Memory of the World oleh Unesco (Rahman dalam Oddang, 2017: 6).
Sapardi Djoko Damono (via Oddang, 2017: 6) berpendapat bahwa sebagai karya dan tradisi agung Bugis, I La Galigo seharusnya tidak dibiarkan tersimpan dalam lemari es atau membiarkannya tanpa makna kecuali meresponnya dengan karya baru yang kreatif.
Melalui puisi Manurung, khusunya bagian   Apakah Kau Menatap Sepasang Matanya Sebelum Cinta Membuat Buta dan Bahkan Tak Mampu Melihat Dirimu Sendiri? yang akan kita bicarakan di sini, Faisal Oddang membuktikan bahwa Ia serius ingin menghidupkan kembali tradisi agung Bugis. Ia mencari makna baru sambil menerima semua hal yang diceritakan dalam epos mitologis Bugis itu. Sekali-sekali Ia justru secara kritis mempertanyakan kejadian-kejadian dan perlakuan tokoh dalam cerita panjang itu (Koolhof dalam Oddang, 2017: 7).
Puisi ini merupakan puisi yang dapat membuat pembacanya kembali merenungkan kekayaan tradisi dan karya sastra daerah. Berangkat dari cerita yang terkandung di dalam I La Galigo, salah satu masterpiece sastra Sulawesi Selatan, puisi ini kemudian ditulis dengan mengambil sari yang bermanfaat tapi tak menyimpan untuk selamanya tradisi yang tidak menunjang perkembangan negara yang sehat dan keberadaban (McGlynn dalam Oddang, 2017: 8).
Puisi ini menyajikan pertanyaaan-pertanyaan yang merupakan mata rantai dan transformasi tentang nilai masa lalu yang diberi makna tentang nilai masa kini sehingga kita paham apa yang baik dan indah untuk masa lalu belum tentu baik dan indah untuk masa kini (Rahman dalam Oddang, 2007: 6). Selain itu, dengan kehadiran puisi ini pembaca dipaksa untuk membuka buku-buku literatur yang berkaitan dengan karya tersebut. Sehingga pembaca akan menemukan makna-makna baru dalam karya puisi ini ataupun dalam karya I La Galigo.
Dengan gaya bahasa yang sederhana, puisi ini mudah dipahami oleh pembacanya. Keinginan-keinginan pun tersampaikan secara mengalir, sebab gaya bahasa yang digunakan layaknya gaya bahasa seseorang ketika berkisah. Hal itu membuat tujuan puisi ini tersampaikan secara baik pada pembacanya dan pembaca akan mengetahui bahwa terdapat karya agung yang dimiliki masyarakat Bugis, yakni I La Galigo.
3.  Model Pendekatan Ekspresif
          Model kritik ekspresif (expressive criticsm) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri (Pradopo, 2007: 27). Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imaginasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya (Pradopo, 2007: 27). Pada pendekatan ini, penilaian sastra menitikberatkan pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang (Yudiono, 2009: 43).
          Sebagai seorang yang lahir di daerah, Faisal Oddang adalah penyair dan pengarang yang hobi mengangkat lokalitas ke dalam karyanya. Lokalitas yang diangkat Faisal tidak terbatas pada daerah yang menjadi kelahirannya yakni Bugis. Di karya-karya sebelumnya, Faisal justru lebih sering membicarakan budaya dan adat di Tana Toraja, misalnya dalam cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon dan novel berjudul Puya ke Puya. Kegemaran dan ciri khas Faisal Oddang membawakan tema lokal ini kerap kali didukung dengan mengangkat isu nasional yang dibawa ke daerah, misalnya dalam cerpen Gelang Tali Kutang, Faisal Oddang membicarakan pergerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
Karya-karya sebelumnya
          Apabila kita membaca karya-karya Faisal Oddang, yang akan kita temukan pasti berhubungan erat dengan Sulawesi. Seperti ketika membaca novel Puya ke Puya, Sulawesi itu hadir begitu lekat, karena membicarakan adat-adat di Tana Toraja. Dalam novelnya itu, Faisal lebih banyak berkisah tentang pandangan-pandangan tokohhnya terhadap suatu upacara adat kematian atau Rambu Solo. Terkadang, ia menitipkan sejumlah argumennya untuk mempertanyakan ulang sejumlah upacara adat yang dianggap terlalu memberatkan.
          “Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan” (Oddang, 2016: 26).
          Kutipan di atas adalah contoh bagaimana Faisal Oddang menjadi seorang yang pro-lokalitas tetapi selalu mempertanyakan segalanya secara kritis. Kutipan yang berwujud argumentasi itu muncul sebagai respons atas upacara kematian Tana Toraja yang memberatkan sebagian orang, yaitu dengan penyembelihan hewan persembahan; puluhan kerbau dan ratusan babi yang harganya tidaklah murah dan kadang tidak bisa disesuaikan dengan kemampuan sebagian orang.
          Selain isu tentang adat dan tradisi di daratan Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan, Faisal Oddang juga kerap menyisipkan kritik terhadap pemerintah melalui karyanya. Contohnya, dalam puisi Jangan Jatuh Cinta di Kota Ini yang terdapat dalam kumpulan puisi Perkabungan untuk Cinta, Faisal mengatakan bahwa ada hal yang lebih penting di kotanya daripada sekadar jatuh cinta. Ada hal yang perlu dipikirkan selain jatuh cinta, yakni tentang keadaan kota itu sendiri, tentang lebih pentingnya kehidupan material, dan tentang pemerintahnya. Berikut ini adalah puisi yang dimaksud.
JANGAN JATUH CINTA DI KOTA INI
Kita menjadi pendiam dan semakin jarang
berbicara kepada diri senidri
; kita memiliki pemerintah yang punya banyak mulut
mereka membutuhkan kata
yang akhirnya mereka rampas
dari kita.
Cinta bukan hal yang penting di kota ini, katamu
kau hanya butuh mobil dan mal yang lengkap
meski jalan-jalan semakin menyempit
dn kemiskinan satu-satunya yang
masih memercayai cinta.
2017
(Oddang, 2017: 55)
          Faisal Oddang kecil tumbuh bersama dengan I La Galigo yang sering dikisahkan oleh Ayahnya tanpa ia tahu bahwa yang dikisahkan Ayahnya sebelum tidur itu adalah I La Galigo, sebuah karya agung dari Bugis. Berdasarkan kata pengantar dalam kumpulan puisi Manurung, Faisal memulai perkenalannya dengan I La Galigo ketika menjadi mahasiswa baru di jurusan Sastra Indonesia Unhas.
Kemudian ia tertarik untuk mulai mengumpulkan sebanyak mungkin bahan bacaan mengenai La Galigo, baik buku, makalah, karya fiksi maupun karya-karya lain. Pengumpulan bahan-bahan bacaan itu bukan tanpa alasan. Setelah membaca La Galigo, sejumlah pertanyaan menumpuk di otak Faisal dan ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan itu. Pertanyaan yang dimaksudnya muncul karena I La Galigo terkesan sangat istana sentris. Segala hal dan detail tentang ritual, upacara, dan pernak-pernik istana akan mudah ditemukan di sana, tetapi sangat terbatas tentang penggambaran orang-orang di luar istana (masyarakat golongan bawah atau para budak. Hal itu membuatnya menulis puisi ini sebagi tempat kepada para budak bersuara dengan sejumlah pertanyaan. Faisal percaya, ketika sebuah pertanyaan tidak mampu dijawab, maka ia harus bertanya berkali-kali hal yang sama dengan bentuk yang berbeda-beda dan puisi itulah salah satu bentuk pertanyaan tersebut (Oddang, 2017:12).
          Dalam puisinya ini, Faisal mempertanyakan dan mengisahkan kembali segala kelakuan dan kejadian tokoh I La Galigo yang bernama Sawerigading. Sawerigading adalah seseorang berkeinginan keras yang sulit tertahankan meskipun keinginannya sangat terlarang. Sawerigading digambarkan sebagai sosok pemimpin yang nekat demi meraih keinginanya; demi wanita, cinta dan nafsunya, Sawerigading bahkan di puisi selanjutnya dikatakan bahwa ia menjemur bayi, memisahkannya dengan ibu mereka, dan menebang pohon Walanreng yang banyak menghabiskan darah masyarakat Luwu. Hal ini kadang mengingatkan kita pada sosok-sosok pemimpin di negeri kita yang melakukan cara-cara tidak baik misalnya  korupsi, menyebar makar dan fitnah demi mencapai keinginan mereka.
4.  Model Pendekatan Objektif
          Kritik sastra model pendekatan objektif (objective criticsm) mendekati karya sastra sebagai yang berdiri sendiri dan lepas dari dunia kepengarangan penyair, pembaca, dan semesta di sekitarnya. Karya sastra itu merupakan sebuah keseluruhan yang mencukupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalin erat secara batiniiah, dan menghendaki pertimbangan-pertimbangan dan analisis dengan kriteria intrinsik berdasarkan keberadaannya (Pradopo, 2002: 20). Pada pendekatan objektif, yang menjadi titik berat penilaian yakni terletak pada unsur instrinsik atau struktur karya itu sendiri.
          Puisi Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuat buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri? terdiri dari 25 bait pendek yang prosais dan setiap baitnya  berkisar antara 1 sampai 5 baris. Tercatat ada 8 bait yang hanya terdiri dari 1 baris, 7 bait yang terdiri dari 2 baris, 4 bait yang terdiri dari 3 baris, 3 bait yang terdiri dari 4 baris, dan 3 bait yang terdiri dari 5 baris. Sebelum masuk ke badan puisinya, di atas puisi tersebut terpampang sebuah judul yang berbentuk sebuah pertanyaan dan serangkaian kata yang panjang (16 kata). Kemudian, di dalam puisinya, pengarang seperti berkisah dan seolah sedang menjawab pertanyaan yang terdapat pada judul, apalagi didukung dengan puisinya yang prosais itu. Ditemukannya 8 bait yang berbentuk percakapan atau kalimat langsung memperkuat bahwa puisi ini adalah puisi yang berkisah.
//”Siapa yang telah menyembunyikannya dariku?”//, //”Telah hamba temukan surge yang baru, Tuhanku!”//, //”Saya menemukannya, saya menemukannya, saya menemukannya!”//, //”Saya menemukannya!”//, dsb.
1 note · View note
cacamembaca · 3 years ago
Text
Metafora dalam Cerpen Grhhh! Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Wacana
ABSTRAK
            Kajian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan makna harfiah dan makna figuratif dalam wacana cerpen Grhhh! karya Seno Gumira Ajidarma. Cerpen Grhhh! merupakan cerpen terakhir dari trilogi penembakan misterius. Dalam cerpen ini, Seno Gumira Ajidarma menyampaikan sebuah gugatan terhadap penembakan misterius pada tahun 1983. Penyampaian kritik tersebut tidak dilakukan secara ekplisit, tetapi disampaikan oleh Seno Gumira Ajidarma dengan gaya bahasa yang metaforis. Untuk memperoleh pemahaman dan interprestasi makna cerpen Grhhh!, dalam penelitian ini dilakukan analisis dengan menggunakan teori metafora Paul Ricoeur. Metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif analitis. Hasil dari analisis ini salah satunya berupa hubungan makna harfiah dan makna figuratif judul Grhhh!. Grhhh! secara harfiah berarti sebuah geraman yang secara figuratif sebetulnya mengacu pada makna dendam kesumat mayat korban penembakan misterius. Dengan demikian, kajian ini diharapkan mampu mengungkapkan makna-makna baru atas segala yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Grhhh! ini.
1. PENGANTAR
            Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra berbentuk prosa yang secara kuantitas memiliki karakter terbatas dan sangat padat. Di Indonesia salah satu orang yang menekuni dunia karang-mengarang cerpen adalah Seno Gumira Ajidarma.
Dalam karyanya, Seno seringkali mengangkat isu-isu sosial dan politik yang terjadi pada bangsa Indonesia. Misalnya, dengan pengangkatan kasus kekerasan militer Dili ke dalam cerpen Saksi Mata dan novel Jazz, Parfume, dan Insiden. Juga, pengangkatan kasus penembakan misterius (petrus) ke dalam cerpennya yang terhimpun dalam trilogi: Keroncong Pembunuhan, Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!
            Pada kajian ini, yang menjadi fokus utama untuk dianalisis yakni cerpen Grhhh! Cerpen Grhhh! berkisah tentang kebangkitan mayat-mayat preman yang menjadi korban penembakan misterius. Mayat itu bangkit layaknya zombie mengerikan yang mengeluarkan suara geraman berupa grrrhhh dan mengeluarkan ulat-ulat dari lubang tubuhnya. Zombie-zombie tersebut dikisahkan sangat sulit dilawan, meski dengan menggunakan senjata secanggih rudal TOW sekalipun.
            Penggambaran cerita, alur, dan penokohan yang dipilih Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya kali ini memang terkesan surealis. Namun, sesungguhnya, apa yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma mengacu pada hal-hal lain. Surealis tidak sebatas surealis, tetapi di baliknya terkandung makna-makna lain.
2. LANDASAN TEORI      
Dalam Rosyidi, dkk. (2010:155), metafora dapat menghubungkan makna harfiah dengan makna makna figuratif dalam karya sastra. Pemaknaan menurut Ricouer adalah suatu dialektika antara penjelasan dan pemahaman (Rosyidi, dkk., 2010:165). Maksudnya, penjelasan dapat diperoleh dari analisis struktur dalam karya dan pemahaman diperoleh ketika melihat hubungan karya dengan dunia di luar teks. Dalam hal ini, teks wacana yang dikembangkan Ricouer ini mengacu pada dialektika antara peristiwa dan makna (Rosyidi, dkk., 2010:153). Dengan demikian, wacana diaktualisasikan sebagai peristiwa; semua wacana dipahami sebagai makna (Ricouer dalam Rosyidi, dkk., 2010:153).
3. METODE PENELITIAN
            Metode yang dilakukan dalam kajian ini adalah metode deskriptif analitis. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain, pertama analisis dan deskripsi aspek semantik pada metafora dalam cerpen Grhhh!, yang kedua menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (reference), yang bersifat non-linguistik, dan terakhir yakni berpikir dengan menggunakan metafora sebagai titik tolaknya.
4. PEMBAHASAN
            Pemahaman pada metafora dapat berfungsi sebagai panduan untuk memahami karya sastra. Sudut pandang ini berhubungan dengan penjelasan, yaitu metafora berhubungan dengan aspek makna yang disebut sense. Sementara itu, dari sudut pandang pemahaman, metafora mengembangkan aspek makna reference, yaitu orientasi kepada sebuah dunia dan orientasi refleksi kepada diri sendiri (Ricoeur dalam Rosyidi, dkk., 2010:165).
            Oleh karena itu, untuk mendapat pemahaman terhadap cerpen Grhhh! ini, perlu panduan khusus dengan menganalisis penggunaan metaforanya. Sebab, sejak awal cerpen ini selalu menyajikan metafor dan simbol-simbol.
Diawali dari judul. Cerpen ini berjudulGrhhh!. Jika ditilik secara leksikal, “grhhh!” ini tidak memiliki arti apapun. Kata ini sebatas rangkaian huruf yang bahkan jika diucapkan tidak berarti apapun. Namun, jika dipandang dengan aspek maknanya, judul cerpen ini mengandung sebuah makna berupa geraman. Ketika seseorang ataupun hewan menggeram, suara yang keluar adalah bunyi demikian. Geraman tersebut biasanya merupakan bentuk dari ekspresi kemarahan akibat menyimpan dendam. Lalu, mengapa tiruan bunyi geraman itu menjadi judul sebuah cerpen?
            Ternyata, jika kata “grhhh!” ini dipandang dengan jalan pemahaman atau interpretasi, “grhhh!” merujuk pada aspek makna reference. Grhhh memiliki orientasi kepada sebuah dunia. Dunia itu bisa saja merupakan peristiwa dalam teks itu sendiri maupun peristiwa di luar teks.
            Apabila “grhhh!” dimaknai sebagai ekspresi kemarahan akibat dendam yang terpendam, maka dendam yang dimaksud ini mengacu pada sebuah peristiwa dalam cerpen. Dendam di sini mengacu pada peristiwa kebangkitan mayat-mayat korban petrus. Diceritakan bahwa orang-orang yang menjadi korban penembakan bangkit dari kematiannya karena merasa tidak rela mati. Mereka tidak rela dengan cara kematian mereka; penembakan yang tidak manusiawi dan perlakuan orang-orang terhadap mayat mereka.
“Pembantaian itu kesalahan besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati Pak! Mereka membalas dendam!” (Ajidarma, 1999: 36).
Ketidakrelaan mayat-mayat pada cerita itu sebetulnya merupakan bentuk gugatan pengarang atas ketidakadilan yang menimpa korban peristiwa penembakan misterius yang pernah terjadi di Indonesia. Sikap gugatan itu juga dilayangkan pengarang dengan dimunculkannya simbol-simbol yang tidak lazim dalam cerita. Misalnya, rudal, ulat yang berkruget-kruget, dan lubang-lubang di tubuh zombie.
Semua simbol ini sejatinya mengacu pada satu makna yakni gugatan atas ketidakadilan korban petrus. Misalnya saja rudal. Rudal sendiri berarti senjata yang berasal dari akronim peluru kendali. Rudal adalah salah satu senjata canggih yang dapat mematikan seseorang. Sebagaimana peran rudal dalam cerpen ini. Dalam cerpen ini, rudal sebetulnya digunakan aparat keamanan untuk melawan serangan zombie. Namun, dikisahkan bahwa rudal paling canggih yang diobral sekalipun ternyata tidak mampu mematikan zombie-zombie itu.
Pada bagian itu pengarang seolah mengacu pada peristiwa penembakan misterius yang dilakukan untuk membunuh orang-orang yang diduga sebagai penjahat sesungguhnya adalah suatu perbuatan sia-sia. Sebab, membasmi kejahatan dengan membunuh pelakunya tanpa menaati alur hukum bukanlah langkah yang tepat. Alih-alih ingin memberantas masalah, justru malah menambah masalah. Hal ini diejawantah melalui peristiwa serangan balik zombie yang memakan kaki aparat kemanan (Reserse Sarman).
Reserse Sarman berteriak ngeri. Zombie mulai mencaplok kaki itu (Ajidarma, 1999: 36).
Pada bagian penyelesaian cerita, ditemukan sebuah titik terang bahwa cerpen Grhhh! berisi dendam-dendam mayat yang maknanya menuntut keadilan atas hidup dan mati mereka.
Mereka bersuara berbarengan seperti koor dari neraka. Grrrh! Grrhh! Dhendam khesumath! Dendam kesumath! Grhhh! (Ajidarma, 1999: 37).
5.  PENUTUP
Setelah analisis penggunaan metafora dalam cerpen Grhhh! karya Seno Gumira Ajidarma selesai dilakukan, dapat ditemukan hubungan makna harfiah dan figuratif.
Hubungan makna harfiah dan figuratif itu dapat dilihat dari makna tuntutan dan gugatan terhadap ketidakadilan yang menimpa korban penembakan misterius yang  terepresentasi dalam metafora dan simbol-simbol seperti kebangkitan zombie, munculnya ulat, rudal, dan suara menggeram para mayat.
Dengan ditemukannya pemahaman terhadap hubungan makna-makna tersebut, berarti peran metafora memang bukanlah hiasan wacana karena lebih dari itu metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstruksi oleh wacana.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 1999. Penembak Misterius: Kumpulan Cerita Pendek. Yogyakarta: Galang Press.
Rosyidi, M. Ikhwan, dkk,. 2010. Analisis Teks Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
0 notes