dealectica
dealectica
Dealectica
55 posts
Pikiran-pikiran kecil
Don't wanna be here? Send us removal request.
dealectica · 7 years ago
Text
Keyakinan 1.0
Waktu itu awal 2017, aku datang ke sebuah gedung di bilangan Slipi untuk menghadiri walk in interview sebuah perusahaan e-commerce terkenal. “kalau memang jalan rezekiku di e-commerce hijau ini, maka semua pasti dimudahkan. Tp to be honest, aku msh setengah hati kalau memang hrs bekerja disini. Aku tidak bisa meninggalkan keseruan bekerja di ‘lembaga hijau’ tempatku bekerja skrg. Tp ya sudahlah, apapun jalannya, insyaAllah itu yang terbaik.” Batinku.
Benar saja, hari itu juga aku mendapat kabar bahwa aku gagal diterima di e-commerce hijau itu. Sebelah hati bersedih, sebelah lagi bersorak. Itu berarti aku msh bisa ‘bersenang-senang’ di lembaga hijau tempatku bekerja saat ini.
Waktu itu adalah waktu dimana hati ‘sok2an teguh’ untuk cari tempat kerja lain. Waktu itu adalah waktu dimana hati sudah tak tahan dgn godaan kata2 “Emang gaji disitu berapa sih? Lu bisa dapet yg lebih gede.”, atau “gak usah lama2 lah disitu kalo mau sukses mah, sayang.” Akhirnya aku masukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan lembaga lain yg kupikir saat itu, “Gajinya lebih gede, lebih enak.”
Tapi ternyata sepulang dari walk in interview di e-commerce hijau itu, Mama bilang, “jangan lagi-lagi ikutin kata hati yang setengah2. Gak akan bagus hasilnya. Kamu emg sukanya disini (di tempat kerja skrg), kenapa gak jalanin aja?”
Hmmm.. Iya juga. Bukannya udah berkali-kali kamu, Dea, menjalani sesuatu dgn setengah hati dan hasilnya gak ada yg berhasil? Bukannya udah berkali-kali kamu, Dea, melaju tapi meragu, hingga akhirnya justru berujung pada kegagalan dan kekecewaan?
Jadi, kenapa harus terus memaksa melaju jika keyakinan akan berhenti ditempat begitu besarnya? Kenapa harus mengikuti ragu yang hanya menggiring kepada kegagalan? Sedang keyakinan tidak menawarkan apapun selain ketenangan?
3 notes · View notes
dealectica · 7 years ago
Text
Sudut Pandang
Seminggu setelah menikah,tiba-tiba Saya diminta mama mertua untuk datang ke makassar untuk fitting baju resepsi disana. Tentu saja saya sangat senang,karena itu berarti bisa jalan-jalan, apalagi saya belum pernah samasekali ke Makassar. Pasti seru *batinku*. Tapi ternyata karena satu dan lain hal, suami tidak bisa ikut. Itu berarti saya harus ke Makassar sendirian. SENDIRIAN. Sebenernya sih sudah biasa jalan kemana-kemana sendiri dari sebelum nikah *eaaaa*, tp jujur untuk NAIK PESAWAT SENDIRIAN, saya gak berani. Wong terakhir saya naik pesawat itu thn 2012/2013 gitu, itupun serombongan. Dan waktu itu,seumur hidup saya baru naik pesawat 2 kali itupun selalu rombongan. Jadi saya takut banget karena untuk cek in aja pun saya gak bisa! Mau bilang jujur ke suami, ku gengsi sekaliii. Akhirnya kutahan2 sampai nangis sendiri di Damri menuju bandara *lebay kali macem sinetron* Yang terlebay lagi adalah waktu itu saya mikir, kok suami tega banget nyuruh saya pergi sendiri. Tega banget biarin istrinya naik pesawat sendiri, dst. Langsug deh suudzon ‘apa dia emang tegaan gitu ya orangnya? Jangan-jangan nanti blablablabla’ *jangan ditiru ya yang kaya gininya hahaha* Beberapa hari setelah itu,setelah di jakarta lagi, barulah cerita jujur. Kalau kemarin saya ngerasa ‘tidak terlindungi’ untuk pergi jauh sendiri *cieee* Dan, ya! Suamik langsung kaget! Iya kaget. Dia gak nyangka saya bakal sampai se-sedih dan se-takut dan se-bete itu disuruh pergi sendiri. Mungkin dalam benaknya cuma mikir ‘Yaelah, masa sih gitu doang ngambek’Tapi ternyata setelah tukar pikiran,hal ini ada kaitannya sama cara pandang kita terhadap lawan jenis. Dan itu ada kaitannya dengan figur orangtua kita. Figur laki-laki yang menjadi acuan hidup saya dan yang selalu tergambar sebagai sosok yang ideal adalah Papa. Maka, semua penilaian saya terhadap laki-laki, acuannya adalah Papa. Dan saya terbiasa dengan sosok Papa yang selalu ‘mengawasi’ dan ‘melindungi’ Mama. Karena mama saya bukan wanita karir, otomatis saya lebih sering melihat Mama pergi diantar Papa, entah itu dekat ataupun jauh daripada melihat Mama pergi sendiri. Dan Papa pun tipikal laki-laki yang sangat protektif kepada keluarganya. Kalau pergi kemana-mana, pasti segerombolan diajak. Sangat jarang Papa pergi berdua hanya dengan Mama, pasti semua (saya dan 2 adik saya) diajak ikut walau cuma ke Indomaret. Jadi kupikir semua laki-laki akan seperti Papa yg sangat protektif kepada istrinya. Sedangkan suami saya terbiasa dengan sosok ibu yang bekerja. Dan ia terbiasa melihat sosok wanita yang mandiri, bisa pergi dan kesana-kemari sendiri. Maka di benaknya, figur wanita itu ya seperti ibunya. Dari situ saya baru sadar kenapa Pak Suamik ‘se-tega’ itu membiarkan saya pergi sendiri ke Makassar. Karena menurut dia, itu adalah hal yang biasa saja untuk seorang wanita pergi-pergi jauh sendiri seperti yang selama ini dia lihat dalam keseharian Mamanya. Sedangkan saya yang terbiasa melihat laki-laki yang sangat protektif, melihat kejadian itu sebagai sesuatu yang salah banget membiarkan istri bepergian jauh sendiri. Disitu saya baru belajar bahwa ternyata sangat kuat pengaruh dari figur orangtua terhadap cara pandang anaknya. Dan bagaimana seorang anak merekam utuh tindak-tanduk ortunya bahkan sampai dia dewasa.Bukan hanya dalam hal pernikahan, hal ini juga ada kaitannya dengan kehidupan bersosialisasi kita sehari-hari dengan teman, rekan kerja, atau rekan bisnis. Bisa jadi, apa yang kita pandang salah, belum tentu dipandang salah pula oleh mereka. Hal itu bergantung pada faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perspektif orang tersebut. Maka, mengerti dan empati adalah jalan tengah yang bisa kita ambil untuk mengatasi perbedaan pandangan tersebut.Semoga curhatan ini ada manfaatnya bagi kita semua yaaa :)) hehe
9 notes · View notes
dealectica · 7 years ago
Text
Cahaya di Gulungan Mendung
Oktober 2017 genap 5 bulan usia pernikahanku dan di bulan itu pula, Aa (begitu kupanggil suamiku) mendapat panggilan pendidikan pegawai baru di sebuah BUMN. Siapa yang tak senang mendapat kesempatan itu, begitupun aku dan Aa. Walaupun konsekuensinya kami harus menjalani hubungan jarak jauh (LDR) selama satu tahun. Bayangkan, satu tahun! Awalnya karena terlalu excited dengan kabar itu, aku tak ambil pusing dengan konsekuensinya. Tapi semakin dekat dengan hari dimana Aa akan masuk asrama, hatiku semakin galau. Terbayang nanti aku akan pergi kesana kemari sendiri, mengurus keperluan rumah sendiri, dan yang pasti berbeda dari 5 bulan terakhir adalah aku akan tidur sendiri. Sedangkan Aa, akan masuk asrama yang saat itu kupikir akan sulit berkomunikasi dengannya. Ah, itu yang sangat aku takutkan! Sulit berkomunikasi! Tapi bukankah Allah ciptakan cinta dalam pernikahan itu sekuat-kuatnya cinta? Lalu, megapa harus menyerah hanya karena jarak?                Waktu itu pun tiba, aku mengantar Aa masuk asrama dengan hati yang campur aduk. Senang sekaligus sedih melepas suami yang baru bersama selama 5 bulan. Berat saat harus melepas belahan jiwa yang selama 5 bulan terakhir menjadi sahabat bertukar selimut dan cerita. Lalu, kapan lagi Aa akan menciumku diam-diam saat aku sudah di alam mimpi? Berapa lama lagi sampai aku bisa menggoyang-goyangkan badannya, dan mencubit-cubit pipinya agar dia bangun di pagi hari? Aih, untung saja hari itu sangat ramai, jadi aku bisa menahan tangisku.                
Bulan pertama dilalui dengan dramatis. Aku menjenguk Aa seminggu sekali dengan menyewa kamar hotel di dekat hotel tempat Aa tinggal. Seminggu sekali aku memacu mobilku hampir seratus kilometer pergi-pulang untuk sekedar berbagi cerita dan mencubit-cubit manja pipinya yang semakin gembul sejak masuk asrama. Semua berubah. Aku yang tadinya seringkali kesal karena hampir 24 jam sehari bertemu dengan lelaki ini, kini menjadi sangat menghargai waktu bersama kami yang sedikit.               
 Kini, pesan singkat “Sudah makan apa belum?” atau “Lagi apa?” menjadi sesuatu yang sangat bermakna. Seperti kisah-kisah ABG yang sedang berpacaran, telefon malam hari menjadi suatu yang selalu aku tunggu-tunggu. Larut dalam cerita dan suaranya menjadi warna tersendiri bagi malam-malam sunyi di kamar kosku.                
Kesibukanku di kantor membuatku sedikit demi sedikit melupakan dukaku karena jauh dari Aa. Yang tadinya setiap malam menangis sendiri, kini karena seringkali sudah lelah karena pekerjaan, malam-malamku kuiisi dengan istirahat, bertukar kabar dengan Aa lewat pesan, dan terkadang melukis atau menggambar.                
Tak terasa waktu telah berjalan ke bulan Desember. Awal-awal Desember diwarnai dengan kondisi fisikku yang naik turun. Dalam seminggu hampir 2-3 kali tak masuk kantor. Tapi tiap akhir pekan, tetap kupacu mobilku ke tempat Aa untuk sekedar bermanja-manja. Sampai pada akhirnya Aku menyadari telah lewat tanggal menstruasiku. Ku beranikan diri membeli alat tes kehamilan. Dan bulan Desember, 2 bulan jauh dari Aa, 2 bulan awal LDR kami, 2 bulan bertemu di hotel setiap akhir pekan, tanpa diduga, aku hamil! :’) Semua duka karena jauh dari Aa seketika sirna. Semua itu berganti menjadi keceriaan tersendiri bagiku seorang wanita. Akhirnya aku hamil lagi setelah dulu pernah gagal. Aku senyum-senyum sendiri melihat hasil tes uji kehamilan dan langsung berkabar kepada Aa. Alhamdulillah, cahaya itu akhirnya muncul ditengah mendung yang menggulung, ditengah risaunya hati akibat derasnya pertanyaan "Sudah hamil atau belum?" Fabiayyi alaa irabbikumma tukadziban.
1 note · View note
dealectica · 8 years ago
Quote
Karena kita dipersatukan, bukan untuk menghakimi masa lalu masing-masing, melainkan untuk menjahit masa depan bersama
0 notes
dealectica · 8 years ago
Text
MANAGER TERBAIK
Rencana. Saya adalah orang yang paling senang bikin-bikin rencana. Mulai dari rencana hidup yang skalanya besar, sampai rencana perjalanan yang skalanya kecil. Gak tahu kenapa, senang aja ngatur-ngatur jadwal gitu. Habis ini melakukan itu, setelah itu selesai, melakukan yang lain. Habis ini kesitu, habis kesitu, ketempat yang lain. Ada kepuasan tersendiri rasanya. Makanya kalau nge-trip bareng teman2, saya senang bgt kalo disuruh bikin jadwal acara Hehehe.
               Tapi dalam kenyataannya, karena terlalu senang, saya jadi sering terlalu kecewa juga kalau pada akhirnya rencana itu berjalan gak sesuai jadwal yang ditentukan. Saya jadi agak risih kalau ada perubahan-perubahan. Dan setelah mengalami kekecewaan itu berkali-kali, Saya baru nemu hikmahnya setelah meninggalnya ayah saya tahun 2014. Saat itu, Ibu saya sangat down dan sangat trauma. Salah satu traumanya adalah beliau gak mau liat kalender.
“Mamah udah gak mau liat kalender lagi, karena kalau liat kalender mamah jadi ngitungin melulu berapa lama Papah udah pergi. Dan mamah juga gak mau bikin-bikin rencana lagi, karena segimanapun kita berencana, toh pada akhirnya tetap tangan Allah yang bekerja. Jadi mamah pasrahkan aja semuanya ke Allah. Rencana pendidikan kamu dan adik-adik, masalah uang dan makan, semuanya mamah pasrahkan aja ke Allah. Karena Allah sebaik-baik perencana.” Kata Ibu saya.
Iya juga. Jadi ingat, Saya sering banget ‘memaksa’ Allah agar kemauan dan rencana saya segera terwujud. Padahal Allah adalah sebaik-baik manager, Dia tahu kapan waktu yang paling pas untuk rencana dan kemauan kita. Jadi seharusnya kamu gak perlu se-kecewa itu kalau kemauan atau rencanamu gak terpenuhi, Dea. Karena kemauan dan rencanamu itu hanya mengandalkan akalmu yang terbatas. Dan ketahuilah bahwa tangan Allah terus bekerja dalam setiap rencana-rencana kita. Karena kita berencana hanya mengandalkan akal kita yang terbatas.
 “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah:216)
0 notes
dealectica · 8 years ago
Text
CATATAN BULAN KE-11
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi daerah Sulawesi Selatan. Ada tiga daerah yang saya kunjungi, Pare-Pare, Gowa dan Maros. Kebetulan ada event dari lembaga saya di Pare-Pare, namun karena setelah itu weekend, jadi saya teruskan saja perjalanan. Karena kebetulan rumah orangtua suami saya ada di Makassar, jadi gak perlu pusing mikirin biaya hotel hehehe. Jadi hanya teman saya saja yang menyewa hotel.
               Perjalanan dimulai pada Rabu malam (9/8). Saya berangkat berdua dengan satu orang teman, Mas Dian namanya. Pesawat kami berangkat dari Halim menuju Bandara Sultan Hasanuddin pada pukul 22.00 dan sampai di Makassar sekitar pukul 02.00, agak lama,  karena ada kendala parkir saat landing. Setelah menginap semalam di Makassar, kami pun langsung menuju Pare-Pare dengan menyewa mobil. 2 hari di Pare-Pare, kami pun kembali ke Makassar pada Jumat (10/8) sore.
               Keseruan dimulai saat kami memutuskan untuk pergi ke peternakan di Maros dan Gowa pada Sabtu (11/9). Semenjak di Jakarta sebenarnya kami sudah merencanakan kunjungan ini, namun agak sempat ragu karena teman-teman kantor cabang Makassar yang tadinya mau menemani kami, tiba-tiba berhalangan karena satu kantor mereka mengadakan outing ke Malino. Untung masih ada satu orang yang bersedia menemani kami pergi ke peternakan. Kebetulan peternakan yang akan kami kunjungi ini adalah binaan dari lembaga tempat saya bekerja, dan yang mendampingi kami kebetulan pendamping program peternakan tpendamping program peternakan tersebut.
               Singkat cerita, pertama kami mengunjungi peternakan yang ada di Gowa. Kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah Ibu mertua saya di Sudiang, Makassar. Kami masih menumpang mobil yang kami sewa saat ke Pare-Pare. Beruntung supirnya sangat baik, tidak minta macam-macam, dan menguasai medan, jadi kalau mau cari makanan enak, tinggal tanya, HAHA. Di Gowa, kami mengunjungi sentra ternak kambing. Program pemberdayaan disini baru berjalan 4 bulan. Meski baru seumur jagung, para peternak binaan merespon positif program ini. Mereka yang sebelumnya bekerja serabutan, kini mereka memiliki harapan dengan menggembala domba. Yang unik dari peternakan ini adalah, para peternak tidak perlu repot-repot bersaing dengan peternak besar yang modalnya lebih tinggi. Mereka memiliki  kepastian pasar, yaitu lewat program Tebar Hewan Kurban Dompet Dhuafa. Iya, saya kerja di Dompet Dhuafa, hehehe.
               Tebar Hewan Kurban sendiri adalah salah satu program tahunan Dompet Dhuafa. Berbeda dengan kurban-kurban pada umumnya, kurban yang disalurkan lewat Dompet Dhuafa, akan disebar ke berbagai daerah di Indonesia dan juga negara-negara lain yang membutuhkan. Latar belakang diadakannya program ini sederhana, yaitu terlalu banyak daging kurban menumpuk di kota. Sedangkan di daerah-daerah terpencil diujung sana, banyak masyarakat yang bahkan makan daging setahun sekali pun sudah Alhamdulillah. Kita mungkin sering merasakannya sendiri, saat Idul Adha tiba, kulkas kita akan penuh dengan berkantung-kantung daging kurban. Ibu saya sendiri bahkan seringkali bilang “Bingung ini daging mau diapain lagi, dari di sate sampe di gule, tapi kok gak habis-habis.” Dan pastinya banyak ibu-ibu lain di daerah perkotaan yang merasakan hal yang sama. Untuk itulah Dompet Dhuafa dengan program Tebar Hewan Kurban nya, berinisiatif untuk menyebar kebahagiaan dari tiap potong daging kurban tersebut ke daerah-daerah.
               Kembali ke perjalanan “tugas sekaligus pulang kampung” Saya. Setelah dari pemberdayaan kambing di Gowa, kami melanjutkan perjalanan ke peternakan Sapi di daerah Bantimurung, Maros. Terletak dibawah bukit-bukit, peternakan sapi ini dikelilingi oleh padang rumput yang luas. Berada disitu, membuat saya merasa berada di padang rumput di film-film koboy Amerika HAHA. Disitu, kami mengobrol panjang lebar dengan peternak binaan Dompet Dhuafa. Mereka sangat amaze dengan progres yang mereka rasakan semenjak ikut program Tebar Hewan Kurban. Kelompok peternak ini yang tadinyahanya mempunyai 4-8 sapi, kini bisa sampai 20-an sapi. Dan itu semua ludes habis terjual saat Idul Adha. Jadi bukan hanya menyebar kebahagiaan daging kurban ke pelosok, program ini juga ternyata membantu hajat hidup para peternak yang berpotensi tapi terbatas kemampuan manajerial maupun tergerus persaingan pasar. Unik!
               Setelah 4 hari di Sulawesi Selatan, dan disusul suami *harus banget ditulis, De?* HAHA, akhirnya pada hari Minggu (13/8) Saya kembali ke Jakarta dengan sejuta hikmah *Lebay*. Setidaknya, walaupun tak banyak orang yang mengerti, perjalanan kemarin menjadi catatan indah yang akan saya sampaikan ke anak cucu saya. Bahwa bekerja itu tidak harus melulu di gedung pencakar langit, atau menjadi birokrat handal berpenampilan necis. Tapi filosofis bekerja adalah lebih dari sekedar menimbun kepingan uang, tapi juga harus menimbun kepingan hikmah. Dan perjalanan ini menjadi suntikan tenaga untuk saya di bulan ke-11 bekerja di lembaga ini. Semoga serum vitamin dari perjalanan kemarin bisa terus bertahan hingga nanti Allah benar-benar meminta saya untuk undur diri J
“So remember Me; I will remember you. And be grateful to Me and do not deny Me.” QS.Baqarah:152
 Jakarta, 24 Agustus 2017
Dari Gedung Filantropi lantai 2, tempat Saya ‘bersenang-senang’
 Cheers!
Dea Putri Noviani Pratiwi.  
2 notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Photo
Tumblr media
[AKU DAN DEBU-DEBU] Debu-debu itu menempel di dinding jendela tanpa diminta Lalu, debu-debu itu lalu terbang menghilang tak tentu arah Karena ia begitu ringan, maka terbangnya jauh tak terengkuh Debu-debu lain lalu datang silih berganti Terus begitu setiap hari Lalu, bagaimana agar ia tak terbawa angin? Jakarta, 18/8/17 Fotonya gak nyambung euy.
1 note · View note
dealectica · 8 years ago
Text
Tentang Ilmu (2)
Ini adalah tulisan kedua saya tentang ilmu. Dulu pernah bikin judul yang sama di Tumblr, tapi udah dihapus hehehe. Bicara tentang ilmu, jadi semakin sadar kalau ilmu itu penting sebagai dasar dari melakukan sesuatu atau terjadinya sesuatu. Hari Jumat yang lalu, lembaga tempat saya bekerja mengadakan seminar parenting. Ini sebenernya bukan seminar parenting pertama yang saya datangi, kurang lebih yang ketiga. . . Tapi sombongnya si Dea, sempat terlintas di fikirannya “paling juga sama kaya seminar-seminar yang sebelumnya.” So, di awal-awal acara, *sesuai tugas*, saya Cuma jeprat-jepret foto-foto aja. Sambil sesekali bantuin temen-temen lain di registrasi. . . Ditengah acara, karena pegel berdiri karena sok-sokan pake high heels seharian, saya memutuskan duduk dan mendengarkan pembicara.Pembicaranya dari yayasan kita dan buah Hati. Yg namanya udah ketinggalan pembicaraan hampir setengah acara, otomatis saya gak mudeng sekarang lagi ngomongin apaan. Tapi pas banget saya pay attention, pas lagi membahas tentang 7 pilar mengurus anak. Dan poin pertama adalah “Siap”. Iya, satu kata doang, siap. Tapi bisa bikin jleb. . . Jadi ingat kejadian h+3 lebaran yang lalu. Dimana Allah berkehendak untuk mengambil kembali kandungan saya yang berumur kurang lebih 5minggu. Walaupun belum lama, tapi namanya juga naluri wanita, tetep aja sedih. Sedih banget. Kehilangan ‘bayi kacang merah’ *karena kurang lebih masih sebesar kacang merah* yang selama beberapa minggu terakhir baru kenalan dan jadi tempat cerita bundanya. . . Tapi dari seminar itu, saya baru sadar. Bahwa mungkin, Allah mengambil kembali bayi kacang merah saya karena saya belum siap. Masih banyak yang harus dibenahi, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dipahami tentang mengurus anak. Bcs i realize that i will educate a generation. Jadi gak bisa main-main. Jadi, Dea, apa udah siap? Hehehe . . Jadi hikmahnya adalah, jangan pernah meremehkan sesuatu atau seseorang. Karena kita gak tahu, kita bisa dapat ilmu darimana dan dari siapa. Dan senang, Alhamdulillah, akhirnya bisa nemu hikmah kejadian kemarin. Dan gak sedih lagi, yeay! Hehe
0 notes
dealectica · 8 years ago
Photo
Tumblr media
TEORI COCOKLOGI
“Karena teori cocokloginya manusia gak se-sempurna dan se-ciamik teori cocokloginya Allah.”
Saya adalah salah seorang yang dulu menganut paham “Jodoh gue adalah orang yang pastinya sifatnya sama kaya gue, nyambung dalam segala hal, punya pandangan tentang berbagai hal yang sama, pokoknya nyaman adalah nomor satu.” Bahkan seperti yang orang umum percaya, katanya, kalo wajahnya mirip, itu berarti berjodoh. Sehingga saya (dulu) pernah ‘merengek’ kepada Allah untuk dijodohkan dengan orang yang menurut saya ‘cocok banget’ sama saya.
Tapi ternyata, teori cocoklogi saya terlalu ecek-ecek, terlalu standar. Dan siapa lagi yang punya teori cocoklogi super awesome dan diluar batas pikir saya, selain Allah.
Teori cocokloginya Allah, ternyata sukses membuat hamba-Nya terbengong-bengong sambil mikir “Ini takdir gue? Kok bisa ya Allah bikin rencana se-canggih ini? Bener nih dia yang Allah takdirin buat gue? Apa gue cocok sama dia? Dia tuh diluar kriteria gue, kok bisa sih?”.
Jawaban dari pertanyaan2 itu ternyata gak sehari-dua hari munculnya. Tapi setiap hari, dan insyaAllah seumur hidup. Ada cerita dan hikmah baru setiap harinya. Ada misteri yang terpecahkan setiap harinya. Ada kesal-kesal-cinta, sebel-sebel-tapi rindu gitu deh, dan perasaan nano-nano lainnya (manis, asam, asin, ramai rasanya). Jadi, yaaaa.....dinikmatin aja, disyukurin. Berantem-berantem dikit, ngerasa gak cocok, merasa ragu tentang perasaan dia ke kita dan kita ke si dia, it’s just a matter of process aja *cie...berasa udah senior hihi maafkan ya*. Karena percaya deh, teori cocokloginya Allah itu paling canggih. Kalau merasa belum bisa menemukan kebahagiaan setelah menikah, yaaaa ciptain aja sendiri. Senyumin, doain, dan cari solusinya aja. Jangan sendiri. Berdua, kan udh gak sendiri hehehe
*tulisan sok bijak  ini dibuat sebagai pengingat untuk si Dea kalau lagi ngambek-ngambek-cinta atau bete-bete-rindu. Jadi kurang lebihnya mohon dimaafkan* hehhehe
Cheers!
7 notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Text
Kekhawatirannya
Khawatirnya perempuan itu seperti pepatah; mati satu tumbuh seribu. Seolah tidak ada habisnya. Sesuatu yang kalau ia perbincangkan dengan laki-laki mungkin akan ditanggapi; ah santai saja. Dan itu membuatnya semakin jengkel, juga bertambah khawatir.
Khawatirnya perempuan itu tumbuh seperti ombak, bergulung-gulung. Siang-malam tak pernah berhenti sepanjang angin terus mengalir. Dan kita tidak bisa melihat angin, hanya bisa merasakannya. Dan seperti itulah sebab-sebab khawatirnya. Tidak kelihatan, tapi dirasakan terus menerus.
Dari khawatir tentang fisiknya seperti kulit putih, rambut berbagai model, tinggi redahnya badan, cantik tidaknya, gigi yang rapi atau tidak, dan segala sesuatu yang seringkali diam-diam diresahkan tentang dirinya. Dari khawatir tentang pakaiannya, menarik atau tidak, luwes atau tidak, norak atau tidak. Sampai khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentangnya.
Ketika masih remaja, khawatir pada peer group, masuk ke dunia berikutnya khawatir tentang pekerjaan dan karir, juga khawatir tentang jodoh. Setelah menikah, khawatir pada perekonomian keluarga, godaan dari luar dsb. Khawatir pasangannya tidak setia, dan lain-lain. Ada saja yang memenuhi ruang-ruang dipikirannya. Ada saja hal-hal yang membuat resah khawatir.
Dan ketika ia menemukan seseorang yang mampu meniadakan kekhawatirnya, membuatnya percaya bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Ia akan dengan senang hati mencurahkan segala daya dan pikirannya untuk orang tersebut. Sekalipun mungkin itu menyakiti dirinya.
Kadang ini membuatku percaya bahwa kemampuannya melihat sesuatu dari sisi negatif (hal yang buruk) membuat perempuan jauh lebih jeli dan hati-hati daripada laki-laki, yang terburu-buru, grusah-grusuh, kurang terliti. Dan kekhawatiranya itu adalah kekuatan yang hebat kala berumah tangga. Saat ia sanggup berhitung atas situasi dan membuatnya selalu bersiap dalam kondisi terburuk. Dan kekuatan itulah yang sadar atau tidak, membuatnya menjadi kuat.
Yogyakarta, 14 Juli 2017 | @kurniawangunadi
2K notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Text
Pada Secangkir Teh
Aku bercerita pada secangkir teh
Tentang hidupku dan tawa tangisnya
Aku bercerita pada secangkir teh
Tentang rindu yang kunikmati
Aku bercerita tentang secangkir teh
Tentang hitungan hari yang semakin rajin ku hitungi
Aku bercerita pada secangkir teh
Tentang kamu yang memagut berawal ragu
Aku bercerita pada secangkir teh
Sebelum ku bercerita kepada kamu
 Bogor, 3 Mei 2017 08 days 20 hours left
2 notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Text
Untuk Hati Yang Tak Pernah Mati
Kau menuliskan angan-anganku yang bahkan aku sendiri tak mampu membayangkannya
Kau menciptakan lagu-lagu yang bahkan aku tak tahu bahwa itu tentang aku
Maknanya bersembunyi dibalik hitam kelam luka yang tersirat
 Kau mencipta roman yang bahkan aku tak sadar bahwa akulah aktornya
Kau mendekatkan jiwa-jiwa yang bahkan tak pernah saling memikirkan satu sama lain sebelumnya
Kau menautkan dua hati yang bahkan saling memungkiri dulunya
 Untuk-Mu hidup dan matiku
Jiwa raga ini berserah pada setiap titik koma hidup yang Kau cipta
Aku mencintai-Mu
0 notes
dealectica · 8 years ago
Text
Sebuah Tanya
“Kenapa? Kok akhir-akhir ini seperti banyak pikiran”
.
.
Karena wanita begitu lemah, bahkan hanya karena cintanya sendiri.
0 notes
dealectica · 8 years ago
Quote
Surat cinta, puisi, dan roman-roman yang mengharu biru adalah segala hal yang ditujukan padamu. Kata-kata, rindu, dan air mata adalah hal yang kau cipta untuk aku yang merana. Dan kau adalah tinta dari setiap titik dan koma diatas aku sang kertas durjana
2 notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Mungkin memang bukan tanganmu yg akan berpagut dengan tangan lelakiku Tapi jiwamulah yg akan mengisi seantero dinding hati dan berkata "selamat berjuang" Malam ini dingin Maka peluklah aku, sekali saja.
2 notes · View notes
dealectica · 8 years ago
Text
Waktu-waktu itu telah berlalu
Tersenyum dan mengucapkan selamat
Waktu-waktu itu telah berlalu
Melambaikan tangan mengucap selamat tinggal
Hari-hari berat itu beranjak pergi
pamit undur diri kepada hati yang berhasil melewati
Pedih-pedih itu tak mau lagi disni
Waktu-waktu yang lain akan segera hadir
Menyapa manis tersenyum malu
Waktu-waktu yang lain akan erkunjung
Entah membawa bunga atau luka
Yang pasti tangan ini terbuka untuk setiap langkah dan suratan yang akan tercipta
Jakarta, 3 Maret 2017
1.094 hours left
0 notes
dealectica · 8 years ago
Text
Pesan purnama
Ia menyala dibalik pekat malam Sabtu pertengahan februari Katanya "Tenanglah, dua purnama lagi"
2 notes · View notes