dewiros
dewiros
99dewiros
272 posts
Porsi yang tertakar, takkan tertukar.
Don't wanna be here? Send us removal request.
dewiros · 5 years ago
Text
Bayi 0 hariku
Bayiku? Benar, bayi yang Allah SWT amanahkan kepada kami, aku dan suamiku.
Kebersamaan saat di dalam kandungan, kurang lebih 40 Minggu, berbagi banyak hal, mulai dari nutrisi makanan, hingga ragam warna perasaan. Aku dan bayiku bersama-sama ke manapun aku beranjak.
Memang, perihal rejeki usia mutlak di tangan Allah Yang Maha Kuasa, tapi rasaku sebagai Ibu "yang baru hari itu", tetap saja "drop", sebutlah rasa sedih yang manusiawi saat belum genap sehari bersama bayi yang semalam baru dapat kutatap langsung wajahnya dan kukecup sekali pipinya. Jam 8 pagi harus berpisah jarak.
Bayiku dirujuk menuju rumah sakit berbeda dengan tempatku melahirkan. Bayiku berangkat menggunakan ambulance menuju RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) di pusat kota, yang terdapat peralatan lebih memadai untuk memulihkan kondisi bayiku. Bayiku tidak sakit, hanya saja menurut penuturan pihak rumah sakit, terjadi aspirasi mekonium (tersedak air ketuban yang sudah bercampur dengan kotoran bayi sendiri saat di dalam rahim), tapi juga ada indikasi kelelahan yang di alami bayiku karena proses melahirkan yang hampir 24 jam sejak awal darah keluar dari jalan lahir. Saat lahir, bayiku menangis nyaring, aku melihatnya. Dua jam setelah lahir, sudah dibawa ke ruang perawatan tempatku berada, dan dari informasi perawat yang mengantarkan, ritme nafas bayiku belum stabil, tapi bisa dicoba untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Tapi tak disangka, bayiku yang semula diam dan tertidur, malah menangis dan menolak untuk menyusu, hingga jam 02.00 dini hari kembali dibawa ke ruang bayi. Siapa sangka, shubuh suami diminta ke ruang bayi, dan ditawarkan rujuk untuk bayiku, karena ritme nafasnya masih belum stabil, sementara alat yang lebih canggih belum tersedia di RS tempatku melahirkan karena tergolong baru. Jam 08.00 pagi, bayiku benar-benar dibawa menggunakan ambulance menuju RSIA di tengah kota. Apalah daya, aku masih dalam pemantauan masa pemulihan, jadi hanya suamiku yang menemani bayiku. Sementara aku menyusul siang harinya setelah dinyatakan pulih dan boleh meninggalkan RS.
Setibanya di lokasi, aku disambut suamiku di depan gerbang IGD (Instalasi Gawat Darurat). Rasanya sudah tak karuan, tapi aku harus berusaha biasa saja, karena diantar oleh keluargaku. Selanjutnya, hanya aku dan suamiku yang boleh masuk. Hanya orang tua bayi yang boleh masuk ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Setibanya di depan ruangan kami memakai pakaian pelindung dan mencuci tangan, lalu masuk ke ruangan tempat bayiku dipulihkan. Aku menyebutnya dipulihkan, karena bayiku tak sedang diobati, hanya dipasang selang oksigen dari tabung bertekanan yang dapat diatur dan disesuaikan tekanannya dengan kebutuhan. Bayiku sehat, itu yang selalu kupegang, kuyakini. Bayiku hanya perlu dipulihkan, karena memang tak ada satupun obat yang diberikan selama pemulihan.
Setibanya di ruangan, sebutlah lebay atau alay, tapi lututku lemas, air mata langsung menetes tanpa permisi, ya Allah, bayi 0 hariku, sedang berbaring tertidur seorang diri ditemani tabung oksigen berukuran besar dan suara monitor untuk mengontrol kemajuan pemulihan yang dilakukan. Tak ada obat ataupun tindakan lain, selain selang oksigen di hidung dan infus di tangan, karena ternyata hari itu bayiku harus berpuasa dari ASI ataupun Sufor. Jiwa emak Newbie ku benar-benar protes, tapi astagfirullah, bukankah semua nyawa dalam genggaman Allah dan keselamatan murni kuasa Allah.
Bayiku hanya seorang diri di ruangan itu, karena di NICU dipisahkan ruangan bayi dengan diagnosa yang berbeda. Bayiku ditemani mba-mba perawat yang bergantian shift selama 24 jam, dan dikunjungi dokter jaga per sekian kali per harinya.
Hari pertama, kulihat bayi 0 hariku berpuasa, untuk membersihkan paru-parunya. Bayiku hanya dikasih dot kosong untuk menenangkannya saat menangis. Bayiku tidak dehidrasi karena terpasang selang infus di tangan kanannya yang mungil, ah lagi-lagi, tangisku pecah.
Hari kedua, aku menyimpan harap bayiku bisa kugendong pulang. Aku belum menggendongnya, karena malam itu masih pemulihan, aku baru mengecup pipinya nya sekali dan memangku saat IMD malam kelahirannya. Bayiku sudah boleh buka puasa, namun hanya 10ml sufor (saat itu aku belum pumping karena belum tau bayiku akan buka puasa). 10ml sangat sedikit dan diberikan per sekian jam, namun saat bayiku menangis kembali diberikan dot kosong. Pemulihan masih berlanjut, karena angka di monitor masih belum sesuai harapan.
Hari ketiga, aku tak berhenti berharap, agar bayiku bisa pulang besama kami. Allah, kondisi bayiku belum memihak, lagi-lagi harus ikhlas untuk tetap tinggal. Jujur aku drop, namun aku harus logis, bayiku membutuhkan bantuanku, dan ada 1 hal yang bisa kulakukan yakni memberinya ASI. Akupun mencoba pumping dan meski awalnya hanya sekitar 2 sendok makan, namun bertahap bertambah. Kebutuhan bayiku juga masih dibatasi, jadi masih bisa cukup dan diantarkan oleh suamiku ke rumah sakit, karena kami sementara memang menginap di rumah saudara kami sekitar setengah jam dari sana. Angka di monitor sudah sesuai harapan pada sore harinya, Alhamdulillah, semoga besok bisa pulang, dengan alasan harus mendapat izin medis dari dokter jaga.
Hari keempat hingga hari keenam, bilirubin anakku sangat tinggi (katanya), yakni diangka 16, sementara normalnya 10, agar bisa turun dengan cara dijemur di matahari pagi selama sekitar setengah jam setiap harinya. Awalnya kami ingin nekat membawa pulang bayi kami di hari ke empat, namun dokter belum bisa memberikan keterangan medis bahwa bayi kami siap dibawa pulang karena masih harus fotoscreen selama 3 hari ke depan. Kalaupun kami memaksa, maka statusnya pulang paksa dan kami harus menandatangani surat yang intinya pihak rumah sakit berlepas tangan apabila ada hal-hal yang terjadi di luar harapan karena kepulangan terpaksa bayi kami.
Benar, selama enam hari itu, yang bisa kulakukan hanya mengucap salam setiap memasuki ruangan bayiku, melantunkan ayat suci Al-Quran, mengajaknya mengobrol, menatapnya, menyentuhnya sesekali, dan menenangkannya saat menangis. Hanya itu.
*Ketika harapan tak bersanding lurus dengan yang ditakdirkan*
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta akan mendengar murattal Al-Quran bersama bunda di rumah, tapi takdir berkata lain, cinta harus mendengar suara monitor.
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta bisa bobo di samping bunda, berada di sekitar keluarga kita, tapi takdir berkata lain, cinta harus tidur sendiri, dan berada di sekitar tabung oksigen bertekanan tinggi itu.
Harapan bunda, cinta tidak perlu pakai popok sekali pakai dulu sampai 2 bulan, biarlah bunda cuci popoknya setiap hari, tapi takdir berkata lain, cinta sudah harus pakai popok sekali pakai sejak hari pertama.
Harapan bunda, cinta akan sering mendengar suara bunda yang cerewet, secara langsung, sejak hari pertama pulang dari rumah sakit, tapi takdir berkata lain, cinta mendengar banyak suara perempuan, ibu perawat dan ibu dokter yang datang secara bergantian, sedangkan suara bunda, hanya sesekali mengucap salam, ngaji, atau ngobrol sejenak.
Harapan bunda, wajah bunda yang akan paling sering cinta lihat secara langsung sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, cinta banyak melihat wajah ibu perawat saat di ruangan.
Harapan bunda, biarlah bunda belajar sejak awal, tentang banyak "perintilan" mengurus cinta, tapi takdir berkata lain, bunda belum bisa mandiin cinta, gantiin popoknya cinta, pakein bajunya cinta, gantiin bajunya cinta, semua masih belum, selama 6 hari itu.
Harapan bunda, bisa memangku cinta, menggendong cinta, peluk dan cium cinta sesering yang bunda bisa, sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, bunda baru bisa mencium dan menggendong cinta sebentar di malam pertama, sisanya bunda harus bersabar.
Sekian, cerita 6 hari pertama bayiku, ke depannya, harus terus kami syukuri kebersamaan kami, yang semoga Allah berkahi. Benar, kalau tentang usia, bukankah letak kuasanya bukan di tangan manusia?
*Ini murni curhatan pribadi dengan sudut pandang pribadi, jadi mohon maaf apabila terkesan berlebihan, atau terdapat kesalahan terkait beberapa istilah medis dan lainnya.
*Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan konten yang kurang jelas.
*Terimakasih admin telah meloloskan tulisan sederhana ini, semoga bisa menjadi pengingat bagi penulis sendiri, untuk mensyukuri anugerah yang diberikan Allah, berupa keturunan.
Emak Newbie, 09-07-2020
2 notes · View notes
dewiros · 5 years ago
Text
Gagal Caesar
Sejak awal kehamilan, hingga kontrol bulanan berlanjut mencapai usia kehamilan memasuki 7 bulan, aku pindah dari Ibu Kota menuju ke tempat kelahiran ku, sebagai salah satu persiapan menjelang persalinan. Tak ada catatan kesehatan khusus selama kehamilanku berlangsung, selain kadar Hemoglobin (Hb) ku yang sering rendah, atau anemia. Sepanjang itu pula, bidan atau dokter tempatku kontrol selalu memberikan multivitamin yang dapat menunjang peningkatan kadar Hemoglobin (Hb) ku.
Setelah tiba di kota kelahiranku, beberapa hari setelahnya, aku dan suami mempertimbangkan klinik bersalin yang akan kami jadikan tempat kontrol sekaligus persiapan menjelang persalinan nanti. Terpilihlah klinik BM, dengan berbagai pertimbangan, meskipun letaknya agak jauh ditempuh dengan sepeda motor sekitar 30 menit dengan kecepatan sedang. Proses pemeriksaan pertama pun dilakukan, dan catatan kesehatannya masih sama, yakni kadar Hemoglobin (Hb) yang masih belum cukup untuk kebutuhan aku dan bayiku. Bidanpun memberikan saran untuk cek Hemoglobin (Hb) per Minggu secara berkala, dan memastikan kenaikannya signifikan dengan berbagai asupan makanan yang mendukung, seperti jeruk, kacang tanah, dan sebagainya. Kami juga menyampaikan bahwa kami bermaksud melahirkan secara normal, serta menanyakan apakah ada hal yang menghambat itu dari sisi kesehatan ibu dan bayi. Ternyata untuk upaya melahirkan secara normal, ibu harus memiliki kadar Hemoglobin (Hb) normal, minimal 11.5, apabila kurang bisa memicu pendarahan saat persalinan. Mendengar itu, kami berusaha rutin kontrol dan mengikuti berbagai saran bidan, dan berharap bisa berjalan sesuai dengan harapan kami.
Memasuki bulan ke 9, kami memutuskan untuk USG ke dokter kandungan sebuah rumah sakit di daerah kami. Hasilnya, dokter tersebut bilang, semuanya baik-baik saja, aku dan bayiku sehat, saat itu sudah memasuki 38 Minggu, namun memang prediksinya masih sebulan lagi. Kami menjadikan itu sebagai second opinion, karena Hari Prediksi Lahir (HPL) sudah 2 minggu lagi sebenarnya kalau berdasarkan USG awal kehamilan dulu.
Merasa tidak puas dengan diagnosa dokter di rumah sakit tersebut (maklum katanya wajar meleset jauh kalau usia kehamilan sudah besar, karena sudah dipengaruhi oleh banyak faktor). Kamipun membuat janji dengan dokter kandungan di klinik tempat kami kontrol kandungan, pada Minggu ke 39 lebih, sekitar 3 hari sebelum HPL. Hasilnya mencengangkan, analisa USG menunjukkan bahwa bayi kami masuk kategori Giant Baby. Perkiraan bobotnya sekitar 4 kg, dan kondisi itu membuat peluang melahirkan secara normal menjadi kecil, karena ini kehamilan pertamaku. Tak ada catatan lain, kondisi air ketuban masih bagus, bayi sehat, dan kadar Hemoglobin (Hb) ku sudah meningkat di 13.5, namun apabila bayiku tidak segera lahir, dan melewati HPL maka aku diminta segera memutuskan untuk mejalani persalinan secara Caesar. Aku masih punya waktu 2 hari, pikirku.
Menurutku saat itu, aku hanya bisa berdoa, dan tentu saja hanya mengandalkan induksi alami, kalau suamiku ada, tapi kami LDM (Long Distance Married) sejak aku pindah ke kota kelahiranku, dan hanya pulang saat weekend, sebulan 2x. Iyah, hanya dengan terus lebih memperbanyak doa lagi yang bisa kulakukan, dengan harapan semoga Allah SWT izinkan aku melahirkan secara normal. Alasannya? Bukan, bukan karena aku memandang sebelah mata teman-teman yang melakukan persalinan Caesar, bukan juga karena aku melawan takdir, tapi bukankah semua yang dikatakan dokter semuanya masih prediksi manusia? Aku hanya mencoba untuk terus berprasangka baik pada semua kehendak Allah SWT ke depannya, sambil terus ikhtiar dengan doaku.
Aku dan suami berdiskusi tentang rencana Caesar di RS mana yang terdekat, kalau sampai melewati HPL dan bayiku masih belum lahir. Aku logis, aku memang berharap bisa melahirkan secara normal, dengan alasan pemulihan yang lebih cepat, itu saja, tapi aku tetap mempertimbangkan saran dokter untuk Caesar. Suamiku tidak memaksa Caesar, namun tetap akan memutuskan itu kalau demi keselamatan istri dan anaknya. Ini yang kurang lebih kusampaikan pada suami saat itu, "Beri aku kesempatan untuk mencobanya, setelah semua usahaku maksimal, aku akan melahirkan Caesar".
Benar, betapa keras kepalanya aku, bahkan aku sempat berpikir, bagaimana kalau induksi, tapi peluang itu kecil dan hampir tidak ada, kalau tanpa rujukan dokter secara medis, karena begitu ketat ketentuannya. Maka aku hanya fokus, Bismillah semoga bisa normal. Kami terakhir kontrol Kamis siang ke dokter kandungan di klinik tempat kami kontrol, dan malamnya, tepat jam 23.30, keluar darah dari jalan lahirku. Aku awalnya belum membangunkan ibuku, hingga jam 02.30 masih terus keluar, jadi kuputuskan untuk membangunkan ibuku, dan menanyakan mungkinkah aku akan melahirkan hari ini. Pukul 03.00 kami memutuskan untuk menuju klinik tempat bersalin, karena jarak yang cukup jauh, kami menggunakan mobil. Tak lupa, akupun mengabari suamiku agar pulang.
Setibanya di sana, ternyata masih jauh, baru pembukaan 1, tapi karena alasan jarak, kamipun tidak pulang lagi. Pembukaan terus naik satu persatu meski agak lambat, sampai tiba pada saat ashar, di pembukaan 6, aku dipindah dari kamar tunggu menuju kamar bersalin. Di situ, air ketuban ternyata sudah pecah, dan dorongan dari dalam untuk mengejan sangat kuat, dan membuatku merasakan nikmat yang begitu hebat, tapi tetap dilarang mengejan karena pembukaan belum lengkap, nanti jalan lahirnya bengkak dan mempersulit persalinan, begitu penjelasan bidan saat aku tanya.
Saat adzan Maghrib pembukaan sudah lengkap dan aku diminta mengejan, sesuai ritme dari dalam. Tak ada kemajuan, kepala bayiku masih belum keluar, hingga satu jam. Saat adzan isya berkumandang, suamiku keluar, dan menandatangani surat rujuk ke rumah sakit, untuk melahirkan secara Caesar. Aku sudah pasrah, pembukaan demi pembukaan sudah kurasakan nikmatnya, kini aku harus logis, demi keselamatan aku dan bayiku.
Proses rujuk dilakukan menggunakan ambulance, dengan kecepatan tinggi, dan sirine yang dinyalakan, melalui jalanan yang tak terlalu bagus, sungguh nikmat yang tak terlupakan. Di saat dorongan dari dalam semakin kuat untuk mengejan, sementara aku sudah diminta menahannya hingga tiba di RS. Setibanya, aku langsung dibawa ke UGD (Unit Gawat Darurat), dan ditangani beberapa perawat yang sudah memasang kateter, menyuntikkan detektor alergi di lenganku, dan memasang infus baru di lenganku. Sesaat setelah dokter kandungan tiba, langsung memeriksa jalan lahirku, dan mengatakan bahwa kondisiku tidak mungkin dilakukan operasi Caesar. Persalinan akan tetap dilakukan secara normal, karena bayiku posisinya sudah bagus di depan jalan lahir, panggulku pun tak sempit, dan prediksi dokter berat bayiku tidak sampai 4 kg, dan sudah sedikit lagi keluar, hanya pundak masih belum maju. Akhirnya suamiku menyetujui tindakan baru, yakni normal vacuum, sesuai saran dokter. Menurut keterangan dokter, kalau dipaksakan Caesar akan membuat rahim robek dan mengancam nyawaku. Dalam beberapa menit prosespun dilakukan, dan aku diminta mengejan sesuai dengan dorongan dari dalam, beberapa orang perawat membantu mendorong bayiku, dan setelah mengejan sekitar 5x, Hamdallah, bayikupun lahir dengan tangis nyaringnya. Alhamdulillah.. rencana Allah SWT selalu indah, tepat, dan berakhir menjadi yang terbaik, apapun itu, selama terus berusaha untuk berprasangka baik padaNya.
*Tulisan pertama, mohon maaf jika ada kesalahan dalam pengetikan, dan ide di setiap paragraf masih berantakan.
*Murni curhatan, tanpa ada maksud pro Caesar ataupun kontra, semua tergantung situasi dan kondisi kesehatan masing-masing, bahkan terserah berbagai pertimbangan lain yang sifatnya personal.
*Terimakasih admin telah meloloskan tulisan ini.
Emak Newbie, 08-07-2020
0 notes
dewiros · 5 years ago
Text
#verylatepost
#thelast (4th)
Dimulai dari hujan-hujanan (dan sebenarnya hampir sepanjang hari kami hujan-hujanan), kami masuk ke stasiun untuk menggunakan Seoul Metro Subway menuju beberapa lokasi di dua hari terakhir. Kali ini dengan rekan ngebolang yang berbeda dari sebelumnya, lebih spesial.
Keputusan awal menuju Gyongbokgung Palace (mohon maaf kalau ada salah ejaan pada nama-nama tempat berbahasa Korea, maklum bukan ahlinya), tempat yang begitu luas dan kental sekali dengan nuansa tradisional Korea yang terletak diantara gedung pencakar langit, masih asri, di sana kami juga mampir ke musium rakyat.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Myeongdong (meski ga jajan apa-apa karena serem, banyak olahan non halal). Terlintas membeli buah yang aman, tapi freezer nya kami lihat disatukan dengan daging, yang entah daging apa, jadi ya sudahlah, niat jajan kami urungkan, hanya window shopping. Eh shopping beneran di Nature Republic nya, aku sih engga hanya beli masker.
Terakhir menuju Itaewon. Salah satu distrik yang paling banyak muslimnya, katanya. Di stasiun Itaewon, kali pertama kami menemukan aksi misionaris sepertinya, yang promosi keyakinan mereka melalui sapaan hangat dan sebuah flyer menarik, iyah, karena melihat kami berjilbab sepertinya, dan Beliau dapat berbahasa Inggris dengan fasih (selama hampir seminggu di sana, dan berkali keluar masuk berganti-ganti stasiun di banyak distrik lain, hanya di Itaewon kami temukan yang seperti ini, tepat sasaran nampaknya). Kamipun sampai di tujuan, untuk menunaikan shalat di tempat yang lebih semestinya. Sebelum-sebelumnya, selain di kos-kosan Korea, di kamar hotel, di samping lemari pendingin, dan kali ini di sajadah sebuah mesjid. Iyah, Seoul Central Mosque.
Setelah selesai shalat, kami bergegas pulang, masih dengan rintik hujan, kami memutuskan makan nasi goreng dan sop di restoran Siti Sarah. Mengobrol dengan kokinya yang bertugas saat itu, Beliau adalah seorang mahasiswa S2 yang bekerja sampingan.
Setelah semua usai, keesokan harinya, adalah saatnya kembali ke tanah air, menggunakan bus jarak jauh, lebih tepatnya bus airport, kami meninggalkan Seoul menuju Incheon.
0 notes
dewiros · 5 years ago
Text
#verylatepost
#third
Mulai dari sarapan pagi, akupun mengikuti rangkaian seminar selama tiga hari.
Dimulai dari general session, dengan tema besar Artificial Intelligence (AI) dari pemateri Jepang dan Korea, dan memberikan materi menggunakan bahasa masing-masing, sehingga kami menggunakan translator yang terpasang di telinga (entah apa namanya), yang diisi seorang dubber untuk mengubah ke Bahasa Inggris real time.
Aku mengikuti beberapa sesi panel dengan topik seputar pendidikan dan sosial, lalu di hari terakhir, aku menikmati sensasi presentasi di depan evaluator.
Sepanjang di sana, berbagai menu makan hampir semuanya kurasa tak pas dengan lidahku yang ga neko-neko. Padahal menu-menu itu terkenal kalo kata yang suka nonton drama korea. Misalnya, kimchi yah, duh sama sekali tak pas dengan lidahku yang biasa aja, ada buah yang mirip apel, tapi bukan, pir juga bukan. Nanasnya enak, empuk banget. Kalau menu sedang tak bersahabat untuk kupilih, biasanya buah jadi pilihan terakhir.
Pada acara makan tertentu, misalnya saat closing party, bersanding antara bir, anggur dan menu-menu berbau daging non halal. Bagi kami yang muslim, panitia menyediakan air putih dan juga kursi. Yah memang, tak ada pilihan teh atau kopi, tapi untuk makanan, kami masih bisa memilih sayur dan buah.
Pada acara makan bersama di aula saat siang, kami yang muslim menunjukkan kertas bergambar "no pork" yang disimpan di belakang kartu peserta kami di leher. Meskipun muslimah sebagian besarnya berkerudung, tapi belum cukup menjadi tanda bahwa kami tidak mengkonsumsi daging babi. Awalnya diberikan padaku dan beberapa rekan muslim yang berada dekat dengan kursi tempatku duduk, daging yang sudah matang dan tampak enak. Kupikir sapi, tapi saat kutunjukkan gambar "no pork", panitia mengambil kembali menu itu dan menggantinya dengan menu sayur dengan telur ceplok setengah matang, itu yang di foto, entah apa namanya aku lupa, terkenal katanya.
Hingga tiba pada acara penutupan, yang diwarnai keragaman, di mana aku makan daging sapi, satu round table dengan salah seorang umat Hindu dari negara lain. Iyah toleransi, bukan tanpa ketegasan, tapi memanusiakan.
0 notes
dewiros · 5 years ago
Text
#verylatepost
#second (2nd)
Bertemu rekan setanah air, dari Solo dan Banjarmasin diantara salah duanya. Setelah berkali-kali ku ucap syukur, aku tiba utuh dan selamat, akupun melakukan pendekatan biar lebih akrab.
Sebelumnya, aku hampir kena modusan salah seorang oknum, oppa oppa berdasi yang saat aku tanya arah ke hotel (dengan bantuan bahasa isyarat tentunya), Beliau sempat menawarkan untuk mengantarkan dengan tarif 5.000 KRW, tapi dengan pedenya aku tolak, padahal mah asli bingung arah hotel ke mana, tapi ya sudahlah. Benar saja, letak hotel sudah begitu dekat, dan harga segitu terlalu mahal, untung saja aku tolak meski polos.
Setelah mengobrol sejenak, dua rekanku ingin mengunjungi salah satu tempat wisata di sana, karena memang masih ada waktu bebas sampai sore. Berbekal pengalamanku menggunakan Seoul Metro Subway kemarin (sebagian besar peserta menggunakan bus jarak jauh/ bus bandara langsung dari Incheon menuju hotel, engga ngalamin ngebolang kaya aku dan beberapa peserta tertentu), mereka memintaku menjadi "pemandu" menuju Namsan Seoul Tower (yang entah di mana, hingga kami bertemu anak sekolah di stasiun terdekat yang menyarankan Naver untuk search location). Iyah, Naver yah, cinta produk dalam negeri, jangan ngarepin Google di sana. Maklum polos, awal-awalnya masih setia dengan Google untuk mencari lokasi, meski berakhir kecewa, karena ga bisa.
Berbekal nekat dan bismillah, kamipun berangkat. Dari stasiun terdekat kami menggunakan Seoul Metro Subway sampai Dongguk Univ. dan selanjutnya menggunakan bus jarak dekat. Sesampainya di Namsan, hujan masih berlanjut, hari semakin sore dan kabut semakin menebal, serasa di Lembang. Kami bisa menikmati samar-samar kota Seoul dari ketinggian. Malamnya pun kami istirahat di hotel, dengan sisa petualangan singkat sore tadi.
0 notes
dewiros · 5 years ago
Text
#verylatepost
#first (1st)
Aku sampai, aku sampai.
Usai menikmati sedikit sensasi turbulensi, mungkin karena peralihan musim dari panas ke gugur. Ga tau juga ding, mungkin itu geh.
Aku yang menggunakan fasilitas roaming internasional dari provider ponselku, berkali kali mendapatkan pesan pop up dalam Bahasa Korea, yang setelah kutanyakan artinya, adalah peringatan kemungkinan terjadinya badai, sehingga dihimbau untuk tetap dalam ruangan, atau lebih berhati-hati saat terpaksa sedang beraktivitas di luar ruangan, dan menurutku ini layanan yang cukup keren.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan di bagian Imigrasi, mulai Bismillah. Mengalir seperti ikan mengikuti arus air, begitu saran seorang teman, ikuti saja ke mana orang-orang melangkah, termasuk menaiki sejenis Subway di dalam area airport.
Di tengah kemegahan airport, aku mencoba berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris seadanya dengan petugas keamanan Airport, menanyakan pintu keluar yang tepat menuju Seoul Metro Subway.
Sesampainya di penginapan sementara, sebutlah kos-kosan gitu, tempatnya sederhana (sesuai harganya, hihi tapi bersih dan rapi banget).
Oh iya, pemiliknya oppa oppa gitu, eh jangan salah fokus yah, maksudku aku mah malah malu, soalnya dua kali ga paham-paham dijelasin kode pintu keluar.
Kami berkomunikasi dengan bahasa isyarat, atau dengan bantuan WA (berfasilitas translate dari Bahasa Inggris-Bahasa Korea kayanya, hp punya Beliau, tapi ga tau juga sih, karena aku ga bisa Bahasa Korea dan Beliau ga bisa Bahasa Inggris). Aku beristirahat semalam, sambil murattalan, meski sedikit aneh kalo kedengeran ke kamar sebelah, tapi biarlah da ga bisa tidur tidur.
Aku melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju hotel tempat acara berlangsung.
Setelah melewati ragam momment nyasar dan diliatin mulu dari ujung kerudung sampe ujung sepatu (sambil pegang payung, bawa koper dan ujan-ujanan kopernya, akunya mah pake payung kan), serta dibantu oleh seorang supir bus jarak dekat yang baik hati (yang mengangkut aku dua kali karena tampak kebingungan), tapi akhirnya tiba juga di hotel, selanjutnya check in untuk menyimpan koper di kamar.
2 notes · View notes
dewiros · 5 years ago
Text
Sombong sekali.
Iyah, merasa memiliki, merasa bisa menjaga.
Ampuni.
Seperti terlupa, bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.
Bahwa yang hadir, ada saatnya akan pergi.
Bahwa yang dimiliki, eh dititipkan, akan ada saatnya diambil kembali oleh pemilikNya.
Bahwa setiap kondisi, dalam pengawasan dan pengaturan terbaikNya.
Bukan.
Bukan alasan untuk tak menjaga.
Itu sebuah keharusan, karena akan menjadi ladang kebaikan.
Semoga tak sombong.
Tak ada yang benar-benar milikmu, kecuali amal dan dosamu.
Ingatlah lagi, bukankah nafas ini saja, titipan dariNya?
1 note · View note
dewiros · 5 years ago
Text
Tak bisa kusebut "HANYA".
Setelah sekian waktu kebersamaan, Allah lengkapi dengan cinta yang dapat kulihat langsung, kusentuh langsung.
Setelah sekian ikhtiar tertuju, cinta mengajarkan langkah demi langkah merajut kekuatan, mengukir beragam prasangka baik pada skenarioNya.
Setelah sekian waktu bergulir, cinta menyadarkanku, betapa lemah dan perlu dikuatkannya aku terus dan terus, agar aku terjaga, dan tetap bersyukur.
Benar, semua itu terlihat HANYA, tapi sungguh, tak bisa kusebut HANYA.
Rasa yang tak akan ada yang mengerti, dan memang tak perlu.
Keramaian yang tak akan ada yang mendengar, dan memang tak akan.
Alhamdulillah.. Terimakasih untuk cinta yang Kau titipkan.
1 note · View note
dewiros · 5 years ago
Text
Cinta.
Perempuan itu, perlu bahagia.
Ada saatnya akan ada diri lain yang menitipkan kebahagiaannya melalui dirimu.
Perempuan itu, perlu cerdas.
Ada saatnya akan ada generasi penerus yang membutuhkan didikan dan keteladanan terbaik darimu.
Perempuan itu, perlu kuat.
Bukan untuk menandingi kekuatan laki-laki, tapi menguatkan diri dan orang-orang di sekitarmu, pada saatnya.
Menitipkan doa-doa terbaik pada pemilik kehidupan adalah ranah manusia.
Barakallah.
3 notes · View notes
dewiros · 5 years ago
Text
Bocil.
Sepulang sekolah tadi, sambil melepas sepatu sekolah, bocil boy said, "teh, nanti jam 3 jangan lupa pake kerudung yah". "Emang kenapa gitu?", tanyaku. Lalu dijawab, "Soalnya Ra** temenku mau main ke sini", jawab bocil, menyebutkan nama salah satu teman sekelasnya, laki-laki juga, kelas 1B. "Oh ok", balasku singkat.
Entah apa kelanjutannya kalau aku tanyakan lebih jauh, tapi kupikir biarlah sampai situ dulu percakapannya. Tentang dia yang mengingatkanku dan aku yang mendengarkannya.
Tentang dia yang sesekali bertanya, kenapa pake kerudung, atau kenapa pake kaos kaki, kenapa kalau ada "orang lain" laki-laki suka masuk dulu terus pake kerudung, kenapa kalau di dalam rumah (dan ga ada non mahrom ya pastinya) ga pake kerudung, dan pertanyaan spontan serupa, yang sudah berusaha kujawab sesederhana mungkin, namun semoga membangun sedikit-sedikit pemahamannya.
Usianya baru 7 tahun lebih beberapa bulan, bocilku tetap laki-laki, yang memiliki naluri melindungi. Yah, meskipun, belum tentu juga pemahamannya cukup baik tentang konsep "aurat". Tapi, dari sanalah para pemimpin dan pelindung keluarga kelak dimulai.
Hanya celoteh siang, pengisi beranda.
#99dewiros
#porsiyangtertakartakkantertukar
1 note · View note
dewiros · 5 years ago
Text
[Bandung]
Melangkah, mengantongi tekad, di sisa waktu pendaftaran ulang ke salah satu kampus impian, yang kuhafal nama dan alamatnya sejak sekian tahun silam.
Sendiri, berbekal izin dan sekian rupiah untuk sekedar bolak-balik, juga makan-minum, jajan pastinya.
Mengawali semuanya, Bismillah.
Dari sepi hingga hingar-bingar pergaulan, yang tentu saja--sangat butuh pertolongan Allah untuk melindungiku.
Menceritakan setiap kisahnya, akan cukup melelahkan bagi yang membaca--pun bagiku yang menulisnya.
3 tahun 10 bulan, amanah itu genap kutunaikan.
Bayarannya, kehadiran keluargaku di hari itu, lebih dari cukup, bahkan berlebih.
Kehilangan beberapa kilogram saat hampir 2 bulan menanti keputusan Allah, tentang di mana tempat terbaik pilihanNya, tempat aku akan belajar di "real life".
Meski sangat alot, adu argumen itu bisa terlewati dengan berujung izin untuk kembali melepaskan bocah ini melanjutkan langkah di Bandung.
Perlahan, perlu waktu untuk memperkuat izin yang telah dikantongi, setiap bulannya, setiap tahunnya.
Aku terus berusaha meyakinkan tekadku untuk sekedar belajar mandiri, ceritanya.
Di sebuah lembaga pendidikan swasta, aku memulai belajarku tentang banyak hal.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun, aku menjadi pendidik dan dididik di sana, dengan segala warna yang ada.
4,5 tahun berikutnya, aku dipertemukan dengan "cinta", bersama sebuah komitmen di hadapan Allah, Alhamdulillah.. kami bersama.
Kugenapkan 5 tahun di tempatku tumbuh di dunia pendidikan, sebelum menyudahi semuanya secara baik-baik.
Melangkah, melanjutkan hidup, dan menyusun harapan baru bersama "cinta".
Tak ada yang benar-benar sederhana, semua yang telah dilalui 9 tahun terakhir di Bandung, telah nyata terukir, indah.
Terimakasih untuk semua pengalaman, cerita, dan pembelajarannya.
Selamat melanjutkan kisah indah, bersama orang-orang terbaik.
0 notes
dewiros · 6 years ago
Text
Jarak.
Tak ada pilihan, mungkin itu kalimat yang sering diungkapkan, dibalik jarak.
Tapi bukankah, berjarak tetap saja disebut sebagai sebuah pilihan?
Atas kondisi, situasi, yang hanya dapat dipahami oleh pemilik cerita.
Melelahkan, mungkin itu salah satu rasa yang terkadang menyelinap masuk tanpa permisi.
Tapi bukankah selalu ada lebih dari satu warna rasa?
Dibalik menunggu, dibalik menikmati jeda, untuk bertemu cinta.
Memang tak ada yang sempurna, bagi yang berjarak ataupun yang tak mengenal jarak.
Tapi, bukankah selalu ada alasan untuk menyusun harapan terbaik melalui doa-doa, meski sambil menyeka air mata?
Kutitipkan lagi, jarak ini, pada pemilik hati, penguat jiwa.
Semoga tetap bersama.
Bersama hari, bersama hati, bersama nanti.
Kita.
0 notes
dewiros · 6 years ago
Text
Kumpulan keluhan
Masih manusia yah? yang hobinya berkeluh kesah
Loh itukan sebagian besarnya, pembelaanku.
So, jadilah yang sebagian kecilnya
Hem
Sejauh ini, its a half way
Warna warni jenis rengekanku
Ragam cerita
Saat sendiri, berdua, bertiga, berempat
Kutulis sedikit, biar hidup
Kisah unik setiap perempuan
Tak terlalu renyah untuk digeneralkan
Biarkan saja dengan ke-aku-annya masing-masing
Kesendiriannya, penantiannnya, kemandiriannya, manjanya, keluh kesahnya, riang tawanya
Biarlah satu, dengan syukurnya
Entah seperti apapun likunya
Lagi, perempuan
Tempat bertumpu banyak harapan
Di sisi lain, begitu rentan oleh pikirannya sendiri
Oleh tangis, yang kadang sulit ditemukan sebabnya
Oleh lisan, yang kadang dipikirkan belakangan setelah terucap
Aku, juga perempuan
Hidup dengan sejuta
Tangis, tawa, cerita, harapan, dan ketakutan
Bersama, satu
0 notes
dewiros · 6 years ago
Text
Jarang ngerti
Allah, aku mau ini
Eh malah Allah kasih aku itu
Allah, aku butuh ini
Endingnya, Allah kasih yang menurutku aku belum perlu
Allah, aku suka ini
Dikejar, diusahain, malah makin dijauhkan
Allah,
Aku sudah melakukan A, semoga hasilnya A
Setelah kutau hasilnya, B
Ah Allah, aku ga bisa C
Entah gimana, aku bisa melewati C dengan lancar
Loh loh, bentar
Aku,
Ngerti ga seberapa sempurna takaran Allah bagi skenario di hidupmu?
Aku,
Ngerti ga maksud kasih sayang Allah selama ini?
Ah aku,
Dasar aku,
Jarang ngerti.
1 note · View note
dewiros · 6 years ago
Text
Cinta
Bunda memang belum bisa melihatmu
Bunda juga belum bisa berinteraksi denganmu
Tapi, beberapa pesan yang Bunda terima
Mengabarkan keberadaanmu dalam rahim ini
Doakan Bunda
Agar sehat, kuat, dan selamat bersama kita
RahmatNya begitu tak hingga
Telah menghadirkanmu dalam penantian Ayah dan Bunda
Sehatlah, tumbuhlah dengan baik
Bunda titipkan sebait doa terbaik padaNya
Untuk kita, kamu, cintanya Ayah dan Bunda
Bagi bertemu dan bersamanya kita kelak, insya allah
Kamu, cintanya Ayah dan Bunda
Semoga dijadikan hambaNya yang hanya meng-EsakanNya
Semoga dijadikan anak yang bisa menyelamatkan Ayah dan Bunda
Semoga dijadikan salah satu ahli QuranNya
Jakarta, 25 Juli 2019 - 10 weeks of cinta
2 notes · View notes
dewiros · 6 years ago
Text
Mengelola perasaan asing
Ada beberapa situasi yang membuatku merasa asing, entah itu berkaitan dengan kondisi geografis, kondisi sosial, jenis kesibukan baru, atau semacamnya.
Merasa asing adalah sebuah fase awal penyesuaian, tapi juga bisa berujung pada perasaan tertekan yang berkelanjutan apabila gagal dikelola dengan baik.
Perasaan asing kerap kali aku alami, dan caraku mengelolanya adalah dengan melakukan beberapa jenis coping.
Pertama, biasanya aku banyak mengingat lagi apa tujuanku memutuskan untuk melangkah memasuki situasi itu.
Kedua, aku akan berdialog dengan diriku tentang berbagai kemungkinan yang aku hadapi di situasi asing tersebut.
Ketiga, aku akan lebih banyak mengingat Tuhanku, iyah tentu saja itu jurus terjitu, mengingat betapa rapuh dan baperannya aku.
Pada beberapa situasi dan beberapa hal yang kulakukan, tentu saja tak selalu berjalan sesuai harapan. Pada beberapa situasi yang masih terasa asing bagiku, setelah berusaha melakukan beberapa coping di atas tentunya, aku biasanya mengumpulkan berbagai referensi pengalaman berhasil dalam melewati perasaan asing selama perjalanan hidupku, yang masih tersimpan dalam otakku.
Iyah, bukankah sebenarnya harus terbiasa dengan berbagai pergantian perasaan asing dalam hidup ini, mengingat di dunia memang perlu asing, hanya tempat menanam, bersenda gurau, dan mempersiapkan cara kepulangan terbaik.
Perasaan asing dapat dijadikan pengantar rindu, pada tempat nyaman untuk pulang yang sesungguhnya.
Jakarta, 12 Juni 2019
1 note · View note
dewiros · 6 years ago
Text
Tentang
Hamdallah, kita bersama
Meski masih ada tentang lainnya
Tentang jarak
Hamdallah, kita satu
Meski masih ada tentang lainnya
Tentang menanti
4 notes · View notes