CERBUNG| Sakit Teraniaya Menahan Luka
LORO BRONTO NANDANG CIDRO
Chapter I
PROLOG
. . .
Kabut masih dingin menyelimuti malam, embunpun masih enggan membasahi
pucuk pucuk rerumputan. Semilir udara dingin masih memeluk larut dalam
mimpi dan semua matapun masih terpejam.
"jdog dog dog dog!!!" Tiba tiba pintu kamarku di gedor dengan begitu kasarnya.
"Pardi, masih tidur kamu ya?! Pemalas amat sih kamu jadi babu!" Lengkingan suara si penggedor pintu tak kalah kasarnya.
Kembali pintu kamarku di gedor dengan kasar untuk yang ke dua kalinya. "jdog dog dog dog!!!"
"bangun kampret!" Di cariin ibuk tu!" Teriakan kasar anak gadis Ndoroku memaksaku bangun dari tidur.
Malam masih dini hari dan Adzan subuh belum juga berkumandang, tapi aku
sudah di bangunkan dengan begitu kasarnya tanpa prikemanusiaan. Tak
bisakah aku di berikan sedikit saja waktu untuk menikmati indahnya hidup
walau hanya sekedar di dalam mimpi.
"mmmh.... iya iya, ini Pardi sudah bangun kok Non. Ada apa sih Non?"
Jawabku begitu bangun dan membuka pintu kamarku dengan mata yang masih
terkantuk kantuk.
"kamu itu kerjaannya tidur terus! di cariin ibuk tu! udah sana cepet!" Perintah Non Ega bernada kasar tak berprikmanusiaan.
Sayang sunguh teramat di sayang, wanita secantik Ndoro Ayu Gayatri -
nama anak ndoroku - harus bertabiat buruk seperti ini. Coba kalau Non
Ega sedikit saja berperangai lemah lembut, pasti Non Ega akan semakin
sempurna sebagai seorang seorang Raden Ayu yang memang berparas ayu itu.
Tak ingin membuat juraganku marah, aku langsung buru buru menemui Ndoro
Putri - ibu Ndoro Ayu Gayatri - yang sedang berada di dapur.
"nyuwun sewu Ndoro Putri."
("maaf Ndoro Putri.")
"wonten nopo nggih?"
("ada apa ya?") Tanyaku dengan sopan santun tingkat babu.
"wonten nopo wonten nopo!"
("ada apa ada apa!")
"tugasmu saben ndino ki ngopo?!"
("tugasmu tiap hari itu apa?!") Hardik Ndoro Putri garang sambil berkacak pinggang.
"wonten nopo nggih Ndoro?"
("ada apa ya Ndoro?") Tanyaku lagi karena benar benar tak mengerti apa kesalahanku.
Aku merasa kemarin apa yang seharusnya menjadi tugasku sudah aku
kerjakan semua. Tadi malam aku sudah mengerjakan tugas terakhirku
menimba air untuk mandi pagi keluarga majikanku ini. Benar benar aku tak
mengerti apa kesalahanku hari ini sampai aku harus di marah marahi di
pagi sebuta ini. Aku benar benar tidak mengerti.
"kowe ki jan ra nggenah babar blas dadi menungso."
("kamu itu nggak bener banget jadi orang.")
"wis tugase saben ndino kok sek iso lali."
("sudah tugasnya tiap hari kok masih bisa lupa.")
"kae motomu melek'o, jo kakean turu."
("itu buka mata kamu, jangan kebanyakan tidur.")
"wong jedhing ora ono banyune ngono kok sek takon ono opo ono opo!"
("orang bak mandi gak ada airnya gitu kok masih nanya ada apa ada apa!")
"penggaweanmu ki nyapo wae sih?!"
("kerjaan kamu tiap hari itu apa sih?!") Omel Ndoro Putri masih dengan berkacak pinggang.
Aku hanya bisa menundukkan kepala di caci maki seperti ini. Padahal aku
yakin seyakin yakinnya bahwa tadi malam aku sudah mengisi bak mandi
karena itu pekerjaan yang aku lakukan terakhir tadi malam. Jadi
bagaimana bisa sekarang tiba tiba airnya habis?
Tanpa berani membantah ataupun membela diri, aku kemudian buru buru
menimba air kembali mengisi bak kamar mandi rumah juraganku ini.
"nyuwun ngapunten Ndoro Putri."
("maaf Ndoro Putri.")
"mbok bilih kulo kesupen."
("mungkin saya lupa.")
"sepindah malih nyuwun ngapunten Ndoro."
("sekali lagi maaf ndoro.") Maafku tanpa berani menatap Ndoro Putri.
"ono opo sih Buk ne?"
("ada apa sih Buk?")
"pagi pagi kok sudah gemberah wae."
("pagi pagi kok sudah ribut.") Terdengar suara bariton Ndoro Kakung yang ternyata juga sudah bangun.
"kae loh Pak ne, bocah gemblung kae."
("itu loh Pak, bocah gemblung itu.")
"wis dadi tugase saben dino kok sek iso sampek kelalen."
(udah jadi tugasnya tiap hari kok masih isa lupa.")
"jian nyatu dasar bocah pekok."
("emang dasar bocah begok.") Jawab Ndoro Putri masih memaki maki ku.
"Buk, ngomong ki mbok yo sing nduwe unggah ungguh toto kromo to buk."
("Buk, kalau ngomong itu mbok yang punya tata krama apa buk.")
"ora usah kasar ngono yo iso toh?"
("nggak usah kasar gitu juga bisa kan?")
"priyayi kok omongane koyo wong ra nduwe aturan."
("bangsawan kok bicaranya kayak orang gak punya aturan.")
"pantesan Ega ki saiki omongane koyo bocah alasan."
("pantas Ega sekarang omongannya kayak ocah liar.")
"lha ibuk'e dewe tebak'e sing ngajari."
("ibunya sendiri ternyata yang ngajarin.")
"halaah... Bapak iki."
("halaah... Bapak ini.")
"Pardi kae ojo panggah di belani wae."
("Pardi itu jangan di belain terus.")
"suwe suwe marai nglunjak."
("lama lama bikin nglunjak.") Jawab Ndoro Putri tak mau kalah.
Mendengar itu semua aku hanya bisa menangis dalam hati. Apa sebenarnya
dosa hidupku sampai aku harus menjalani kisah hidup sepahit ini. Setiap
hari aku selalu di hujani dengan makian demi makian yang seakan tak ada
habisnya. Kesalahan sekecil apapun, bahkan tanpa kesalahan sekalipun aku
selalu mendapatkan marahan, omelan dan makian itu. Bahkan Ndoro Putri
(Raden Ayu Hartati / ibu Non Ega) tak segan segan main tangan kepadaku.
Tak ubahnya seperti Ndoro Putri ibunya. Non Ayu Gayatri juga bersikap
seperti itu. Belum pernah dalam ingatanku Non Ega bersikap lembut tanpa
di bumbui dengan makian setiap bicara kepadaku.
Semua penghinaan itu aku telan mentah mentah tanpa berani sedikitpun aku
melawan. Aku sadar diri siapa aku di sini. Aku hanyalah orang numpang
(ngenger dalam bahasa jawanya) di rumah Raden Mas Haryo Seto ini. Aku
sadar, tanpa budi baik mereka mungkin aku sudah mati atau terlantar
lontang lantung di jalanan.
Biarpun begitu paling tidak mereka mau menampungku di rumah megah mereka, memberiku makan dan hidup serta menyekolahkan aku.
Hanya Raden Mas Haryo Seto (ayah Non Ega) atau yang biasa aku panggil
Ndoro Kakunglah satu satunya orang di rumah ini yang bersikap baik
kepadaku. Ndoro Kakung selalu membelaku saat aku di hujani caci maki
oleh istri dan anaknya. Ndoro Kakung jugalah yang selalu menasehati dan
menguatkanku agar aku sabar dan tabah menghadapi semua ini. Wejangan
demi wejangan Ndoro Kakung itu yang membuatku bisa bertahan sampai
sekarang.
Ndoro Kakung juga selalu meyayangiku. Beliau berusaha tak membeda
bedakan aku yang hanya seorang abdi dengan Non Ega anak kandungnya. Apa
yang beliau berikan untuk Non Ega, Ndoro Kakung juga memberikannya
untukku. Walaupun itu harus di iringi dengan kemarahan dan omelan Ndoro
Putri istrinya.
"le Pardi, sing sabar yo ngger."
("le Pardi, yang sabar ya nak.")
"omongane Ibukmu kae ojo di lebokne neng ngati yho le."
("omongan Ibukmu itu jangan di masukin hati ya nak.") Kata Ndoro Kakung berusaha menghibur sambil menepuk pundakku.
Ndoro Kakung adalah sosok orang yang baik hati, arif dan bijaksana.
sosok seorang lelaki, bapak, dan pemimpin yang sempurna di mataku.
Seandainya saja beliau adalah ayahku, betapa beruntungnya aku.
"halah... mboten nopo nopo kok Ndoro."
("halah... gak apa apa kok Ndoro.") Jawabku mencoba menyembunyikan kegetiran hatiku.
Aku tak tau siapa sebenarnya jati diriku. Aku juga tak tau siapa
sebenarnya ibu bapakku. Yang aku tau dari kecil aku sudah di asuh oleh
keluarga Raden Mas Haryo Seto ini.
Dulu aku mengira mereka adalah kedua orang tuaku. dulu aku juga mengira
kalau Raden Ayu Gayatri adalah saudaraku. Dulu aku juga mengira kalau
aku juga seorang Raden, Raden Mas Supardi lebih tepatnya. Tapi
kenyataanya ternyata aku bukanlah siapa siapa. Aku hanyalah anak yang
entah dari mana asalnya yang di rawat keluarga priyayi ini sampai aku
dewasa seperti sekarang ini.
Yah beginilah nasib yang harus aku hadapi. nasib dari seorang anak yatim
piatu bernama Supardi bin pulan yang biasa di panggil Pardi atau
kampret oleh Ndoro Ayu Gayatri alias Non Ega.
Selesai mengerjakan apa yang sudah menjadi kewajibanku tiap pagi, aku
buru buru mandi karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh
pagi. Selesai mandi dan berseragam, secepat kilat aku sarapan dan
setelah itu segera berangkat ke sekolah.
Seperti biasa sebelum berangkat aku berpamitan cium tangan dulu kepada
Ndoro Kakung dan Ndoro Putri. Seperti biasa, setiap pagi Ndoro Kakung
selalu sibuk dengan burung perkutut kesayangannya sambil mendengarkan
kleningan gending jawa dari tape mini kompo kesayangannya.
"Ndoro, kulo nyuwun pamit badhe bidal sekolah rumiyen."
("Ndoro, saya pamit berangkat sekolah dulu.") Pamitku kepada Ndoro Kakung.
"yo ngger, ngati ati yho."
("iya nak, hati hati ya.")
"sekolah sing pinter."
("sekolah yang pinter.") Jawab Ndoro Kakung sambil menyodorkan tangannya.
Segara aku menyambut sodoran tangan beliau, menjabat dan mencium
tangannya. Setelah menyelesaikan rutinitas pamitan, aku segera
menggenjot sepeda jengki inventarisku.
==========LBNC==========
SMA Negeri 1 Trenggalek
Karena tugas yang harus aku selesaikan di rumah setiap pagi, hampir
setiap hari aku selalu terlambat datang kesekolah. Untung saja pihak
sekolah bisa memahami dan memaklumi itu karena nama besar Raden Mas
Haryo Seto. Karena pengaruh Ndoro Kakung jugalah aku bisa bersekolah di
sini, di SMU terbaik di kabupaten Trenggalek ini. Disini jugalah Ndoro
Ayu Gayatri bersekolah. Non Ega setingkat denganku hanya berbeda kelas.
Hari ini sudah lewat jam tujuh aku baru sampai di sekolah. Setelah
memarkir sepeda jengki alat trasportasiku setiap hari, buru buru aku
berlari masuk ke kelasku.
"tok tok tok...."
"nyuwun sewu pak.... permisi...."
"eh Pardi.... masuk di...."
"kamu telat lagi ya....?" Kata pak Bambang guru wali kelasku penuh wibawa.
"enggih pak... nyuwun sewu..." Jawabku sopan.
"yo wis.... ayo masuk...." Perintah pak Bambang.
Di sekolah ini aku bisa menemukan sedikit kenyamanan hidup walau tak
bisa sepenuhnya. Paling tidak disini tidak ada Ndoro Putri yang selalu
memandangku dengan dendam dan telingaku bisa sedikit beristirahat dari
teriakan dan cacian beliau.
"Pardi.... ke kantin yuk....?" Ajak Rudi teman sekelasku saat jam istirahat sekolah.
"enggak ah Rud.... terimakasih...." Jawabku menolak.
Aku memang lebih suka berada di kelas dan membaca buku buku pelajaranku
dari pada bermain atau sekedar jajan di kantin begitu jam istirahat
sekolah. Selain karena aku ingin belajar biar pintar, karena aku juga
tidak punya uang untuk jajan jajan di kantin.
Sebenarnya aku bukannya tidak punya uang sama sekali karena sejahat
apapun Ndoro Putri, beliau tetap memberikan aku uang saku. Tapi aku tak
ingin menghabiskan uang yang tak seberapa itu hanya untuk sekedar jajan
jajan di kantin. Lebih baik uang itu aku tabung buat bekalku setelah
lulus sekolah nanti.
"haiyaah.... ayo lah...."
"tenang aja tak bayarin...." Ajak Rudi lagi.
"beneran enggak Rud... terima kasih...." Jawabku lagi.
"yo wis lah.... aku ke kantin dulu ya di..." Kata Rudi sambil berjalan keluar dari kelas.
Sekeluarnya Rudi dari ruangan kelas, aku kembali membolak balik buku
pelajaranku. Satu tekatku bahwa aku harus belajar dengan giat karena aku
sudah di tingkat akhir sekolahku dan ujian nasional tinggal satu tahun
lagi. Aku ingin lulus dengan nilai terbaik, aku ingin membanggakan Ndoro
Kakung yang selama ini sudah teramat baik kepadaku. Aku juga ingin
membuktikan kepada Ndoro Putri dan Non Ega bahwa aku bukanlah sampah,
bahwa aku juga bisa berguna bisa membuat bangga keluarga. Mungkin hanya
dengan itu aku bisa membalas segala budi baik beliau semua.
"Pardi.... rajin banget Di...."
"udah ganteng, pinter, rajin lagi...." Canda Sri dan trio gerombolannya yang baru masuk kelas setelah beristirahat.
"haiyaah.... apa sih Sri....?"
"gak usah aneh aneh lah...." Jawabku sambil masih membolak balik buku.
"yeee... Supardi ini di bilang ganteng kok gak percaya..."
"kalau kamu mau aku mau kok jadi pacarmu Di..." Sambung Siti sobat segerombolan Sri.
"kamu jangan nyolong start duluan apa Ti..."
"emang kamu doang yang mau jadi pacarnya Pardi...?"
"kita kita juga mau tau... ya gak Sri...?" Sambung Eka salah satu anggota dari gerombolan trio macan itu.
"hehehehehe..... aku jadi malu....."
"kalau Pardi mau sih Sri gak bisa nolak..."
“pokoknya Pardi holic deh...” Jawab Sri dengan pipi merona merah menahan malu.
"haiyaah.... iki opo toh....."
"wong elek kok buat rebutan...."
"lagi pula...maaf ya nona nona yang cuantik..."
"Supardi bin pulan gak sempat buat yang namanya pacar berpacaran..."
"Supardi ingin belajar dengan tekun biar bisa menjadi orang yang berguna
bagi nusa bangsa dan agama..." Jawabku serius atas candaan mereka.
Sementara ini aku tak pernah ada niat dan punya waktu untuk yang namanya
asmara. Aku ingin belajar dengan tekun dan menjadi orang sukses
sebagaimana wejangan Ndoro Kakung.
Tapi aku juga tak bisa sepenuhnya menutup mata dan hatiku dengan yang
namanya asmara. Aku tau ada beberapa gadis yang menaruh hati kepadaku.
Selain Sri dan Siti yang selalu terang terangan menggodaku, sebenarnya
ada satu gadis lagi yang aku tau pasti bahwa dia sangat menaruh hati
kepadaku.
Dari tatapan matanya, dari senyumnya, dari sikapnya, dari segala gerak gayanya aku tau kalau dia menaruh hati kepadaku.
gadis itu bernama Triana Subur Lestari atau yang biasa di panggil Ana.
Ana adalah satu satunya gadis di sekolah ini yang sebanding dengan Non
Ega dari segala segi.
Hanya ada satu yang menjadi pembeda antara Ana dan Non Ega.
Ana yang tak kalah kaya cantik dan tenar dengan Non Ega itu lebih
bersifat ramah sopan santun baik hati dan tidak sombong. berbanding
terbalik dengan Non Ega yang angkuh sombong dan congkak. Karena itulah
mereka selalu menjadi musuh bebuyutan, karena hanya Ana jugalah satu
satunya yang berani melawan Non Ega di sini.
"jiaaaah... ada yang hancur tu hatinya..."
"hahahaha.... kasiaan deh trio macan..."
"ni Di...." Tawa Rudi terbahak bahak mendengar itu sambil memberikan seplastik minuman dingin kepadaku.
"oh... terimakasih Rud..." Jawabku sambil menerima sedekah Rudi tersebut.
"apaan sih Rud...?"
"nyamber aja kayak jambret sih..."
"sirik kamu ya mentang mentang gak laku....?" Jawab Siti manyun.
"yeeee.... ada yang sewot nie yee...."
"lagi pula emang kalian berani sama Ndoro Ayu Gayatri yang terhormat itu hah...?"
"tar di semprot pada tau rasa kalian..." Jawab Rudi ngeledek.
Tiba tiba saja....
"jgluaagh...!!!" Suara meja di gebrak.
Kami berlima terkejut mendengar suara gebrakan meja itu.
"heh...!!! pada ngomongin aku kalian ya...?!" Bentak Non Ega yang tiba tiba saja sudah berada di sini.
Inilah yang aku maksud tak bisa menikmati sedikit kenyamanan hidup
sepenuhnya. Karena di sini juga sikap Non Ega kepadaku tak ada bedanya
dengan di rumah. Non Ega tetap saja berlaku kasar dan semauanya sendiri
kepadaku.
"apa apaan sih kamu Ga...?"
"biasa aja kali..." Kata Siti sewot.
"iya ni... mentang mentang Raden Ayu belagunya minta ampun..." Sambung Eka tak kalah sewotnya.
"udah udah udah... kalian apa apaan sih...?" Kataku berusaha melerai Siti dan Eka yang sewot karena ulah Non Ega itu.
"apa kalian....?!"
"gak suka, mau ngajakin ribut hah...!" Balas Non Ega menantang.
"udah udah... yang waras ngalah aja..."
"kita keluar aja yuk, sebelum di gigit genderuwo..." Kata Siti mengajak
teman temannya menghindar dari konfrontasi dengan Non Ega.
"heh... apa kamu bilang...?!"
"sudah mulai berani kalian rupanya hah..?!"
"udah bosen hidup kamu ya...?!" Hardik Non Ega yang semakin tersulut emosi mendengar perkataan Siti itu.
Tanpa berani menjawab lagi, kemudian Sri dan gerombolannya keluar dari
ruang kelas dengan masih di iringi tatapan mata tajam menantang dari Non
Ega. Tak satupun di antara mereka ada yang berani membalas tatapan itu,
karena itu bisa berakibat fatal buat mereka.
"heh... ngapain kamu lihat lihat...?"
"jarang lihat cewek cakep kamu ya...?"
"sana pergi kamu... nyepet nyepetin mata aja kamu..."
"sana sana sana minggat...!" Kata Non Ega yang sekarang malah balik mengusir Rudi.
Tak ingin membuat aku semakin sulit, Rudi langsung bergegas keluar dari
ruang kelas meninggalkan aku dan Non Ega berdua. sudah bukan rahasia
umum lagi kalau aku sering di perlakukan Non Ega kurang manusiawi
seperti ini.
"ada apa ya Non...?"
"kok tuben kesini...?" Tanyaku.
"udah deh... jangan sok polos kamu jadi anak..."
"ya jelas aku ada perlu ama kamulah..."
"ni kerjain PR aku... nanti sore harus udah kelar...!" Kata Non Ega sambil memberikan buku PR nya.
"iya Non... baik..." Jawabku tak bersemangat.
"heh... gak usah pakek lemes gitu juga kali..."
"kerjain tu cepet.. jangan kebanyakan ngeluh..." Perintah Non Ega.
"oh iya... satu lagi...."
"jangan pernah lagi deket deket ama gerombolan cewek kampungan itu apa lagi dengan yang namanya Triana semprul Lestari itu...!"
"awas kalau kamu berani macam macam...!!!" Ancam Non Ega sebelum keluar dari kelasku.
"iyaaaa...." Jawabku terpaksa banget.
Yah begitulah nasibku tidak di rumah tidak di sekolah. Selalu saja di
intimidasi sama yang namanya Raden Ayu Gayatri. Bahkan Non Ega juga
mengatur dengan siapa aku boleh dan tidaknya bergaul di sekolah. Sungguh
sungguh penderitaan seorang kacung yang tiada akhir.
Belum sempat Non Ega keluar dari kelasku, Triana yang baru di omongin Non Ega itu tiba tiba juga muncul di kelasku.
"halooo... barusan kayaknya ada yang manggil aku ya...?" Suara lembut
Triana si gadis cantik berlesung pipit yang tiba tiba sudah berdiri di
pintu kelasku.
Mendengar dan melihat musuh besarnya berada di situ, tatapan mata Non
Ega tiba tiba berubah memerah mengisyaratkan permusuhan. Sepertinya Non
Ega sudah bersiap melancarkan konfrontasi dengan Triana.
Segera kau mendekati Triana dan memintanya segera keluar dari sini
sebelum terjadi konfrontasi antara dua gadis cantik ini dan sebelum aku
semakin di persulit Non Ega karena keberadaanya. Dan seperti biasanya
Ana selalu memahami kesulitanku sehingga di segera keluar dari sini
menghindari konfrontasi dengan Non Ega.
Sepulang sekolah aku langsung pulang ke rumah dan langsung menyerahkan
buku PR Non Ega yang sudah selesai aku kerjakan tadi di sekolah.
Tanpa sempat beristirahat walau barang sejenak, setelah makan aku
langsung kembali melakukan pekerjaan rutinku sehari hari. Di awali
dengan menimba dan mengisi bak mandi sampai penuh, bersih bersih rumah
dari nyapu sampai ngepel, mencuci piring dan pakaian yang segunung
banyaknya.
Setelah selesai melakukan semua pekerjaan di rumah, tanpa ada waktu
beristirahat aku kemudian pergi mencari pakan untuk sapi dan kambing
Ndoro Kakung yang lumayan jumlahnya. Selesai mencari pakan yang baru
selesai sekitar jam lima sore, aku langsung kembali melakukan pekerjaan
rumah lainnya.
Sehabis mencari pakan aku menyapu halaman depan dan belakang rumah joglo
yang lumayan besar ini. Rutinitas harianku ini di akhiri dengan menimba
air buat mandi keluarga Ndoroku besok pagi. Rangkaian pekerjaan itu
baru bisa aku selesaikan sekitar jam enam sore, setelah itu aku baru
bisa beristirahat.
==========LBNC==========
R.A. GAYATRI NOYOLESONO
Raden Ayu Gayatri Noyolesono binti Raden Mas Haryo Seto Noyolesono,
itulah nama lengkap anak gadis Ndoroku yang biasa aku panggil Non Ega.
Non Ega adalah gadis yang sungguh sempurna dari segi manapun kita ingin
melihatnya. Parasnya yang ayu khas putri priyayi bersenyum manis dengan
tatapan mata sayu. Wajahnya, bibirnya, hidungnya, alisnya, tubuhnya,
kulitnya semua indah sempurna.
Keayuan Non Ega membuat siapa saja yang memandang akan langsung jatuh
hati kepadanya. Siapa saja, tak terkecuali aku sang kacung.
Walaupun aku hanya seorang abdi di keluarga ini, tapi diam diam aku
menaruh hati kepada Ndoro Ayuku ini. Perasaan cinta kasih dan sayang
yang mungkin hanya akan bisa aku simpan rapat rapat selamanya di dalam
hati.
Mungkin karena rasa itulah aku bisa menerima segala perlakuan tak
manusiawi Non Ega kepadaku selama ini. Aku bahagia kalau Non Ega
memanggilku walau dengan bentakan. Aku bahagia kalau Non Ega menyuruhku
walau dengan makian. Aku bahagia walau harus teraniaya asal Non Ega
bahagia.
"Pardi..." Pangil Ndoro Kakung.
"enggih Ndoro... wonten nopo...?"
("iya Ndoro... ada apa...?") Jawabku sopan sambil menghadap beliau.
"bapak karo ibuk arep tinda'an neng Madiun..."
("bapak ibuk mau pergi ke Madiun...")
"kowe jogo omah karo Ndoro Ayumu kae yo..."
("kamu jaga rumah sama Ndoro Ayumu itu ya...")
"enggih Ndoro...."
"yo wis ngati ati...."
("ya udah hati hati...")
"bapak ibuk budal yho...."
("bapak ibuk berangkat ya...")
"ndok... Ega... bapak ibu budal ndok..."
("ndok... Ega... bapak ibuk berangkat ndok...")
"enggih pak..."
"pokoke ojo lali oleh olehe...."
("pokoknya jangan lupa oleh olehnya...") Teriak Non Ega dari dalam kamarnya.
Karena Ndoro Kakung dan Ndoro Putri sedang ada urusan ke Madiun yang
katanya selama tiga hari. Jadi selama tiga hari ini hanya ada aku dan
Non Ega berdua di rumah ini.
Selesai mengerjakan pekerjaan sapu menyapu halaman depan dan belakang,
aku berniat untuk menimba air. Tapi hari ini rutinitasku entah kenapa
sengaja atau tidak jadi terbalik. aku yang biasanya menimba air dulu
baru mandi, kini malah sebaliknya. aku berniat mandi dulu baru setelah
itu menimba air.
tanpa melihat kanan kiri atau ada tidaknya orang di dalam kamar mandi,
aku langsung saja menyelonong masuk karena pintu tak terkunci.
"kyaaaaaih...."
"uediaan kowe yo....?!" teriak non ega sambil menutupi aurat sekenanya.
ternyata di dalam kamar mandi itu ada non ega. walaupun sekilas aku bisa
melihat betapa mulus dan montoknya tubuh polos non ega. non ega yang
cantik semakin kelihatan cantik dengan tubuh telanjang dan rambutnya
yang basah.
"nyuwun sewu ndoro ayu...."
"saya gak sengaja..." kataku meminta maaf sambil bergegas keluar dari kamar mandi.
sumpah aku ketakutan setengah mati karena itu. Aku takut bukan karena
kemarahan non ega, tapi aku takut kalau kalau non ega sampai melaporkan
kejadian ini kepada orang tuanya.
biarpun tapi aku juga bahagia tak terkira, karena rupanya tuhan masih
berbaik hati kepadaku. tuhan masih menganugerahi dan memberiku
kesempatan untuk menikmati keindahan raga non ega walau hanya sekejap
mata.
"pardi.... sini kamu...!" panggil non ega membentak.
mendengar panggilan non ega itu aku benar benar ketakutan. takut kalau
ini akan menjadi bencanaku. apa jadinya kalau non ega sampai melaporkan
kecelakaan ini ke orang tuanya.
"heh... sini kamu kampret...!"
"kalau nggak aku laporin kamu nanti ke ayah sama ibuk..."
"mau kamu aku laporin hah...?!" teriak non ega lagi.
"ja... ja... jangan non...."
"sumpah pardi gak sengaja non ega..."
"pardi jangan di laporin ndoro kakung ama ndoro putri ya non..." kataku memohon.
akhirnya walau ragu aku memberanikan diri untuk mendekat memenuhi panggilan non ega.
begitu mendekat menghadap non ega, kembali aku terkejut setengah mati
dengan apa yang aku lihat. ternyata non ega hanya menutupi tubuhnya
dengan lilitan handuk yang tak sempurna menutup tubuhnya. sedetik aku
bisa menikmati lagi keindahannya.
tanpa berani bersikap lebih tidak sopan, aku segera menundukkan wajahku
di hadapan non ega walau sebenarnya aku ingin menikmati keindahan itu
lebih lama lagi.
"pardi mohon non ega...."
"pardi jangan di laporin ya non...?" kataku sekali lagi memohon.
"ya udah, kamu gak akan aku laporin..."
"tapi kamu harus di hukum karena sudah berani tidak sopan." jawab non ega yang sedikit bisa mengobati ketakutanku.
aku sedikit lega mendengar jawaban non ega itu. walau aku yakin seyakin
yakinnya bahwa hukuman dari non ega itu tak akan ringan. walau seberat
apapun hukuman yang nantinya akan non ega berikan aku siap, asalkan
jangan sampai aku di laporkan.
"iya non... terimakasih...."
"pardi siap di hukum asal jangan di laporin ke ndoro kakung dan ndoro putri..."
"ya udah... kamu pergi sana dulu..."
"ntar aku pikirin dulu apa hukuman yang pantas buat kamu..."
dengan sedikit kelegaan aku segera pergi meninggalkan non ega dengan
senyum penuh arti. selalu terbayang indah tubuhnya, ayu wajahnya, basah
rambutnya, wangi aroma tubuhnya. kemolekan raga sang putri dengan
kesempurnaan sejati seorang priyayi.
selesai non ega mandi, baru aku kembali lagi kebelakang dan melanjutkan pekerjaanku menimba air kemudian mandi setelah itu.
sebenarnya aku heran dengan keluarga raden mas haryo seto ini. bagaimana
mungkin rumah seorang priyayi sekaya beliau tapi di rumahnya belum
mempunyai sanyo maupun jet pump. sungguh sebuah tanda tanya besar.
hari itu hari minggu yang berarti dua setelah keberangkatan ndoro kakung dan ndoro putri dari urusannya di madiun.
"pardi...." panggil non ega dari dalam.
saat itu aku sedang di halaman belakang sedang memotong rumput teki yang sudah mulai rimbun.
buru buru aku masuk dan menemui non ega.
"iya non.... ada apa...?
"cepet kamu mandi trus dandan yang rapi..." perintah non ega.
"loh... emang mo kemana non..." tanyaku bingung tentang maksud non ega.
"udahlah.... jangan banyak cingcong napa..."
"mau kamu aku laporin ke bapak ibuk soal yang kemarin...?" ancam non ega.
mendengar ancaman non ega itu seketika keringat dinginku bercucuran.
buru buru aku menuruti perintah aneh non ega, jangan sampai non ega
melaporkan kejadian kemarin kepada kedua orang tuanya yang bisa
berakibat berakhirnya riwayat ku si anak yatim teraniaya ini.
selesai mandi dan berpakaian rapi, aku kemudian menemui non ega yang sudah menungguku di ruangan depan.
ternyata non ega juga sudah berdandan rapi. cantik sekali non ega kalau
berdandan seperti itu. mengenakan baju biru berbelahan dada rendah
dengan tank top putih di dalamnya di padu dengan celana hot pants coklat
setengah paha ketat yang semakin mempertegas keayuan dan kelincahan
seorang gayatri. dengan baju seperti itu, belahan dada non ega sedikit
mengintip dari celah kerah tanktop ya. dan dengan celana model begitu
kemulusan dan kemontokan paha non ega semakin jelas tersaji. rambut
hitam bergelombangnya yang panjang di biarkan indah tergerai yang
semakin memperayu parasnya.
menyadari kedatanganku, non ega memandangiku dengan lekatnya dari ujung
rambut sampai ujung kaki. bahkan non ega menyempatkan diri berputar
mengelilingiku untuk memastikan sudah pantas atau belumkah penampilanku.
aku yang mengenakan kaos oblong putih dangan celana blue jeans merasa malu dan risih di perhatikan seperti itu.
"emang kita mau kemana non...?" tanyaku sekali lagi.
"ya ya ya ya...lumayan..."
"ayuk jalan..." ajak non ega tanpa memperdulikan pertanyaanku.
langsung kami mengendarai sepeda motor F 1 ZR lansiran tahun 2001 warna
hitam orange milik non ega menyusuri jalanan kota trenggalek yang sepi
nan asri. tentu saja aku yang berada di depan selaku babu dan tukang
ojek non ega.
dengan navigasi non ega, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam
melintasi jalan yang berkelok naik turun pegunungan, akhirnya kami
sampai di sebuah pantai yang bernama karanggongso di prigi trenggalek.
sebuah pantai lepas yang indah dengan deburan ombak yang dahsyat
berpantai pasir putih nan indah. sebuah pantai yang masih asri alami
yang tak kalah indahnya dengan pantai kuta di bali. cuma sayang belum
melegenda dan mendunia seperti pantai kuta di bali.
hamparan batu batu karang besar banyak tedapat di bibir pantai yang
menjadi lokasi favorit para sejoli memadu kasih. hamparan pohon pandan
di luar bibir pantainya semakin memperidah panorama pantai karanggongso.
mungkin inilah yang di maksud trully paradiso.
sesampainya di pantai aku menghentikan motor di bawah teduhnya pohon kelapa.
"kita mau ngapain ke sini non...?" tanyaku penasaran kenapa non ega mengajakku ke sini.
"mau senam...!!!"
"begok amat sih kamu jadi kutu kupret...!"
"orang ke pantai kok masih nanya mau ngapain...!"
"udah deh jangan banyak bacot...!" jawab non ga dengan nada tinggi.
"iya iya ndoro ayu... sendiko dawuh..."
non ega kemudian turun dari motor dan berjalan di bibir pantai berpasir
putih bermain dengan riak debur ombak. aku hanya melihat dan
memperhatikan non ega dari tempatku memarkirkan motor.
terlihat bahagia sekali non ega berada di sini. dengan lincah dia belarian berkejaran dengan riak ombak yang membasahi kakinya.
sejenak non ega berhenti berlarian dan memandangku. terlihat dari gerak
tubuhnya non ega sedang memanggilku. suara non ega tak terdengar karena
kalah dengan suara deburan ombak.
aku yang sedang menikmati kelincahan sang putri tak menghiraukan
panggilannya. aku masih duduk diam di tempatku menikmati betapa bahagia
dan lincahnya sang putri bermain pasir putih di antara riak deburan
ombak yang membasahi kakinya.
"paardiiii....!!!"
"kesini kampreeet...!!!" teriakan non ega yang sayup terdengar di telingaku karena kalah dengan suara deburan ombak.
tersadar akan panggilan sang ndoro ayu, aku buru buru berlari menghampirinya.
"ada apa non ega...?" tanyaku.
"kuping kamu budeg kali ya...?!"
"di pangil pangil sampai serak kok gak denger..."
"temenin apa... jangan cuma nongkrong doang..." jawab non ega.
aku bingung mendengar permintaan non ega itu. di temanin yang seperti apa maksud non ega ini.
"maksud non ega gimana ya...?" tanyaku bingung.
"guoblog banget sih kamu..."
"udah deh jangan tolol tolol banget apa..." kata non ega sambil menarik lenganku.
aku hanya mengikuti apa maunya ndoro ayuku ini. ternyata non ega
mengajakku naik ke atas bukit karang di pinggir pantai. karena sulitnya
medan untuk naik ke bukit itu, terpaksa aku manahan tubuh non ega dari
belakang dan mendorongnya naik mendaki bebatuan terjal itu.
sumpah tanpa aku sengaja, saat mendorong tubuh non ega tanpa sadar aku malah menyentuh bokong montok non ega.
sebenarnya aku takut kalau non ega akan marah kepadaku, tapi ternyata
ketakutanku itu tak terbukti. non ega tidak marah ataupun menunjukkan
gelagat tidak suka.
setelah bersusah payah, akhirnya kami sampai juga di atas bukit. dari
sini kami bisa melihat pemandangan biru samudra lebih luas lagi. non ega
kemudian mengajakku duduk di bawah sebuah batu besar yang agak
tersembunyi. begitu kami duduk, kami mendengar ada suara suara aneh tak
jauh dari tempat kami duduk. sejenak tatapan mata kami beradu heran dan
mencari asal suara apa itu.
ternyata di balik batu besar tempat kami duduk ada sepasang sejoli
mesum. si cewek yang memakai rok itu sedang duduk di pangkuan cowoknya
sambil menggoyang goyangkan pinggulnya maju mundur.
“ooocch.... eeemmmh....” suara desah tertahan cewek itu.
mengetahui itu mata kami berdua melotot seakan tak percaya bahwa ada
yang berani berbuat senekat itu di sini. sedetik tatapan kami beradu.
terlihat sungging senyum misterius di bibir tipis non ega. sebuah senyum
yang sudah pasti berakibat buruk buatku.
BERSAMBUNG
0 notes