Tumgik
faizaalbi · 1 year
Text
Dibalik Writing & Publishing Workshop
PART 2
Dari workshop ini saya banyak belajar dunia kepenulisan, bagaimana membuat tulisan agar lebih terarah, sekaligus melatihnya secara langsung. Selain dilatih kepenulisannya, tapi juga dilatih kedisiplinan dan manajemen diri.
Saat tugas menganalisis novel juga membuat saya kembali mulai membaca novel. Sekarang kalau baca novel, ga cuma nikmatin sebagai pembaca, tapi juga berpikir dari sisi penulis. Respect sama penulis di seluruh dunia ini.
Alhamdulillah dengan mengikuti workshop ini juga merubah kebiasaan saya. Kebiasaan nonton drakor saya jadi berkurang drastis. Waktunya terisi untuk riset, nulis, dan mikirin ide. Serunya karena kalau menulis, kita bisa ciptain drama itu sendiri.
Jadi nemu temen sefrekuensi juga! Yang nilai dan valuenya mirip. Jadi kalau cerita, nyambung, dan bisa dapet perspektif baru.
Saya setuju tulisan kita menggambarkan diri kita. Dan saya juga setuju kita bisa mengenal seseorang dengan membaca tulisan seseorang itu. Karena kita paling mengenali diri sendiri. Kita paling tau perasaan kita. Apalagi disaat waktu yang mengejar, banyak kerjaan, tapi harus meriset dan menulis. Maka hal yang paling mudah untuk ditulis adalah memasukkan jati diri kita atau menulis tentang apa yang kita impikan. Walaupun tidak sama dan ada penambahan karena ini adalah fiksi.
Setuju banget Mas Gun, dengan dibuatnya forum khusus kepenulisan. Ditunggu! hehe.
Hari-hari ngerjain tugas ini sepertinya akan menjadi salah satu yang saya rindukan dari CC ini.
Terima kasih banyak Mas @kurniawangunadi, Mba Dhewi, Bentang Pustaka, Kak Alia, Mas Aryo, semua tim @careerclass, dan teman-teman CC23 yang tidak bisa saya sebutkan semua. Telah memberikan saya kesempatan untuk bertumbuh, belajar, dan menemukan 'saya' yang baru melalui writing workshop career class ini.
12 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Dibalik Writing & Publishing Workshop
PART 1
Sangat ga nyangka, ternyata saya bisa tetap bertahan sampai tugas 5 dan sedang proses tugas 6. Padahal awalnya ga ada niat mau jadi penulis. Karena latar belakang pendidikan saya yang jauh dari penulis. Cuma penasaran aja sama dunia kepenulisan dan suka baca novel.
Dulu pas kecil pernah coba menulis karena diajak teman. Tapi akhirnya ga berlanjut. Mungkin karena kurang ilmunya dan dunia saya waktu itu masih kecil. Kayaknya kalau dibaca sekarang akan geli, segeli-gelinya sendiri.
Pertama kali ada tugas workshop ini, hampir ga sempat nulis karena banyak kesibukan. Tapi didorong oleh teman-teman CC23 lainnya, jadi saling semangatin, dan akhirnya paksa diri sendiri. Walaupun mungkin keliatan banget tulisan pemulanya.
Selama workshop ini, setiap tugas baru muncul, saya memikirkan hari ini mau nulis apa ya? Kalau idenya tiba-tiba muncul langsung buka notes di hp.  Untuk ngembangin ide tersebut butuh riset, sampai dengerin podcast atau nonton youtube untuk bisa mendalami karakter pada tulisan itu. Riset juga menjadi salah satu proses yang saya nikmati. Banyak sudut pandang baru dan kedewasaan yang membuat saya ikut belajar.
Saat lagi buntu, tanya sesuatu yang random dan abstrak ke teman atau orang-orang sekitar, tanpa kenal waktu dan tempat. Berpikir lebih dalam, bagaimana kalau ini, atau bagaimana kalau itu. Mencoba merasakan kalau jadi tokoh tersebut bagaimana.
Saat lagi nulis dan ga ketemu kata yang bagus, buka google cari sinonim kata tersebut yang dapat melarutkan pembaca ke dalam suasana yang lebih indah.
Lama kelamaan, jadi ketagihan, kalo ketinggalan merasa sayang, udah sampai disini. Senang dan ada kepuasan tersendiri saat tulisan itu selesai, tulisan itu bermakna, dan tulisan itu bisa memberi manfaat bagi orang yang membacanya.
Bersambung ke part 2.
8 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #6 (Terakhir)
Satu minggu berlalu. Hari Sabtu. Pagi hari. Airi sedang menikmati waktunya sendiri membaca buku di kamarnya. Sementara aku baru saja menyelesaikan pekerjaan cuci piring sehabis sarapan bersama Airi. Ketika aku sedang mengelap tanganku yang basah, nada dering hpku berbunyi. Saat aku mendekat, hendak mengangkat telepon itu, aku terdiam mematung. Fatih. Nama itu muncul dalam layar hpku. Fatih yang menelpon. Semenjak pertemuanku dengan Nami di kafe itu, aku dan Fatih tidak saling bertemu maupun saling menghubungi. Teringat kalimat-kalimat yang diucapkan Nami, aku ragu untuk mengangkatnya.
Apa yang harus kukatakan? Pura-pura berbincang seperti biasa? Menanyakan kegiatan untuk minggu ini bersama Airi apa?
Terlalu lama ragu untuk mengangkatnya, hpku berhenti berbunyi.
Hah... aku menghela napas lega.
Tapi rasa lega itu tidak berlangsung lama. Nada dering hpku berbunyi kembali. Muncul nama yang sama. 
Aku panik. Langsung berjalan memasuki kamarku dan menutup pintunya. Takut terdengar oleh Airi.
Aku menarik dan melepas napas panjang sebanyak 3 kali untuk menenangkan diri. Kemudian aku mengangkat teleponnya. Walaupun sudah melakukan pernapasan panjang, jantungku masih berdebar keras.
"Assalamualaikum, Han."
"Waalaikumussalam, Tih."
"Han, aku udah ditabok sama Nami."
Mendengar kalimat itu, tak sadar aku menahan napas. Mengerti apa maksudnya.
"Kamu ga perlu jawab apa-apa disini. Cukup dengerin saya aja. Sebelumnya saya mau izin berbicara formal dulu ya, sepertinya akan lebih nyaman."
Aku terdiam. Meski kutau dia tidak bisa melihat, aku menganggukkan kepalaku sekali, tanda mengerti. Kedua tanganku menggenggam hp. Seakan tidak mau ada yang tertinggal atau tidak terdengar.
Haa... terdengar suara tarikan dan hembusan napasnya dari hpku. Sepertinya dia sama gugupnya denganku. Atau mungkin lebih ya? Suara salamnya tadi terdengar bergetar.
"Saya mau melamarmu, Han. Saya mau Hana jadi istri saya."
Ia berhenti sejenak.
"Saya kira kamu udah bisa menduganya dengan perilaku saya selama ini.
"Karena kamu bunda Airi. Kalau Hana mau tanya kenapa, itu alasan saya.
"Saya ingin menikah dengan perempuan yang bisa mendidik anak-anak saya nantinya. Kalau kamu bisa mendidik Airi sebaik itu, dan kalau kamu bisa sesayang itu sama Airi. Saya yakin kamu bakal melakukan hal yang sama untuk anak-anak saya dan kamu nanti.
"Pertama kali ngeliat Airi, saya bisa liat gimana Airi sayang banget sama bundanya. Saya tau kita sama-sama masih kurang untuk jadi orang tua Airi. Saya mau kita belajar bersama. Saya mau nanggung beban itu bersama.
"Saya ga akan tanya masa lalumu, Han. Tapi saya bisa mengira-ngira gimana perlakuan suamimu terhadapmu dulu, sampai kamu ga bisa egois untuk dirimu sendiri.
"Saya bersumpah, InsyaaAllah, ga akan main tangan kepadamu maupun Airi.
"Hana ga perlu jawab langsung. Gausah buru-buru. Ambil waktumu seperlunya."
Fatih menutup teleponnya.
Aku terdiam. Larut dalam pikiran. Menikah lagi?
Jika ditanya apakah aku menyesal atau tidak, telah menikah dengan Ivan, aku tidak menyesal. Karena dari pernikahan itu aku bisa mendapatkan Airi. ***
Tok tok....
Malam itu Airi memasuki kamarku.
"Bunda, hari ini Airi boleh tidur di sini?"
"Boleh banget, sayang."
Aku bergeser, meluangkan tempat untuk Airi tidur. Airi memanjat tempat tidurku, yang sedikit tinggi untuknya.
"Bunda matiin lampunya ya."
Airi mengangguk.
Kami berdua sudah berbaring bersama menghadap langit-langit kamar. Aku memejamkan mataku untuk siap tidur. Sambil memikirkan kalimat-kalimat tadi pagi. Tiba-tiba Airi memiringkan badannya ke arahku dan memelukku. Aku pun memiringkan tubuhku, membalas pelukannya. Membelai rambut panjangnya yang lembut.
Setelah beberapa menit, Airi menolehkan kepalanya yang tadinya tenggelam dalam pelukanku. Kini menatap wajahku. Suasana kamar sudah remang tapi aku masih bisa menatap wajahnya. Begitu pula sebaliknya.
"Bunda."
"Ya, sayang."
"Kalau memang Bunda suka sama paman, Airi akan dengan senang hati terima paman jadi ayah."
Aku terdiam. Sepertinya Fatih sudah pernah menyinggung hal ini kepada Airi.
Aku mengangguk pelan. "Makasih ya sayang."
Kemudian kami berdua terlelap.
***
Dini hari aku terbangun. Berniat untuk sholat tahajud dan istikharah. Berharap mendapat petunjuk dari-Nya. Jam menunjukkan pukul 02:36. Airi masih pulas dengan tidurnya.
Setelah berwudhu dan memakai mukena, aku menggelar sajadah empuk di kamarku dan memulai sholat dengan khusyuk. Menenangkan diri dan hanya berharap kepada-Nya.
Dalam sujud terakhirku aku berdoa.
Ya Allah, kalau mengikuti hati, aku sudah tau jawabannya.
Kalau mengikuti pikiran, aku sudah tau jawabannya.
Hamba meminta kepada-Mu, arahkan kepadaku jawaban terbaik dari-Mu.
Selesai sholat, aku membaca doa sholat istikharah dan menangis. Mengharapkan jawaban semata-mata hanya dari-Nya.
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah dengan pengetahuan-Mu, aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan sementara aku tidak mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam bagi agamaku, kehidupanku, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka takdirkanlah hal tersebut untukku. Mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka palingkanlah aku darinya dan palingkanlah dia dariku. Takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya. Sesungguhnya engkau Yang Maha Bisa atas segala sesuatu.
Aku keluar kamar menuju ruang tamu tanpa melepas mukenaku. Aku mengambil mushaf Al Quran dan membukanya secara acak. Hatiku merasa terketuk. Yang terbuka adalah Surah An-Nahl ayat 72.
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”
Ya Allah, apakah ini jawaban terbaik-Mu untukku?
***
Aku sudah mandi dan selesai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kemudian dengan hpku dalam genggaman, aku memasuki kamarku. Hendak menelpon Fatih untuk menjawabnya.
Seperti biasa aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Untuk menenangkan diri. Tapi suara detak jantungku tetap terasa.
Tuuut... Nada sambung pertama. Telponku langsung diangkat oleh Fatih.
"Assalamualaikum, Han."
"Waalaikumussalam."
Kami berdua terdiam. Fatih menunggu jawabanku.
"Sebelumnya ada yang aku mau tanyain, Tih.
"Aku kan janda dengan 1 anak. Apa keluargamu bisa nerima aku dan Airi nantinya?" Tanyaku.
"Aku udah bicara ke mereka. Dan ibuku juga janda dini. InsyaaAllah mereka udah mengerti. Kalian tinggal datang membawa diri aja."
"...."
"...."
"Kalau gitu, aku jawab iya dengan senang hati."
"Alhamdulillah. Makasih banyak, Han. Aku tau, mungkin ini bisa jadi jalan yang sulit. Aku mau menjalaninya bertiga. Dan aku yakin dibalik itu, ada kebaikan yang yang ga kalah indahnya."
Aku mengangguk.
***
Keesokan harinya, menjelang subuh, aku membangunkan Airi untuk sholat subuh. Kami sholat berjamaah.
Seusai sholat, berdzikir, dan berdoa, aku mengatakan kepada Airi, "Airi. Bunda mau diimamin sama paman fatih. Airi mau juga jadi makmumnya paman fatih?"
Airi tersenyum girang dan langsung memelukku. Aku ikut tersenyum senang dan membalas pelukannya.
***
Ini adalah kejadian yang baru kuketahui setelah 1 tahun menikah dengan Fatih.
Hari itu Fatih pertama kali datang ke rumahku, berjumpa dengan Airi dan membuat layangan bersama. Saat itu aku meninggalkan mereka berdua dan pergi ke dapur. Mereka banyak bertanya satu sama lain untuk mengenal lebih dekat.
"Paman kerja jadi apa?"
"Paman sekarang kerja sebagai dokter."
"Sama kayak bunda?"
"Sama-sama dokter.. Tapi bunda dokter gigi. Kalau paman dokter anak. Airi kalau sudah besar mau jadi apa?"
Airi terdiam sejenak. Tangannya sibuk untuk menempelkan kertas minyak layangan ke lidi bambunya.
"Airi ingin menjadi ibu seperti Bunda."
Selesai.
P.S. Terima kasih kepada teman-teman career class yang sudah membuat kesempatan ini dan teman-teman yang sudah membaca tulisan saya, mendorong saya untuk melakukan hal baru, yang akhirnya menjadi salah satu hal yang saya sukai.
Semoga tulisan saya dapat memberikan manfaat, sedikit hiburan, terutama untuk para single mom, yang senantiasa berjuang untuk anaknya.
7 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #5
Untuk kesekian kalinya, Fatih memergokiku sedang melamun. Hari itu Fatih memintaku untuk menemaninya makan siang.
"Han, kamu dengerin?"
"Eh, maaf, Tih. Tadi kamu bilang apa?"
"Aku tadi bilang, Airi keliatan bahagia. Tapi kenapa kamu keliatan sedih?"
"....." Aku terdiam. Kenapa ya?
"Kalau boleh aku tebak... Kamu ngerasa kurang banget jadi orang tua yang baik untuk Airi. Kamu ngerasa bersalah, kamu ga bisa hadirin sosok ayah buat Airi, tapi kamu juga sadar kamu ga bisa gantiin sosok itu."
Aku menutup wajahku. Malu. Sepertinya mataku tak bisa menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Apa yang dikatakan Fatih tepat pada sasaran. Mengapa setiap membicarakan soal anak, hati ini mudah sekali luluh hingga membuat ingin menangis.
Setiap melihat Airi yang semangat dan senang bermain dengan Fatih. Melihat Airi yang menunggu-nunggu datangnya hari Minggu agar bisa bertemu dengan Fatih. Atau ketika melihat Airi yang kecewa pamannya tidak bisa hadir karena ada halangan. Melihat wajahnya ketika menonton pertandingan sepak bola Fatih sore itu, berharap-harap agar pamannya bisa menang. Melihat wajahnya ketika bertanya hal-hal aneh kepada Fatih. Hal itu membuatku merasa bersalah karena tidak bisa menggantikan sosok ayah untuknya selama ini. Aku merasa selama ini Airi sudah menahan keinginannya untuk mempunyai sosok ayah. Karenaku.
Fatih mendekatkan kotak tisu untukku.
"Han, seperti ga ada orang yang sempurna, ga ada orang tua yang sempurna juga. Orang tua itu juga pertama kali jadi orang tua. Mungkin karena aku ga di posisimu sekarang, jadi aku bisa bilang ini ke kamu.
"Han, jangan stress. Hana udah besarin Airi sampe sekarang aja udah keren banget. Sendiri. Dan Airi tumbuh jadi anak yang baiknya MasyaaAllah. Bahkan aku juga banyak belajar darinya. Sering aku merasa terharu mendengar kalimat-kalimat yang diucapkannya terlalu dewasa untuk seusianya."
Meski tak menatap wajahnya yang mencoba menghiburku. Aku mendengar kata-katanya dengan saksama.
"Coba Han, lebih self care lagi. Lebih self love lagi. Jangan cuma hargain Airi, tapi hargain dirimu juga.
"Karena Airi juga akan bahagia sepenuhnya, kalau bundanya juga bahagia."
Kata-kata itu sangat berarti untukku saat ini. Walaupun Fatih bukan psikolog atau psikiater, ia bisa menebak apa yang mengganjal dihatiku. Mungkin karena pengalamannya bertemu dan berinteraksi dengan beratus anak dan orang tua.
Aku menarik dan membuang napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. Kemudian aku mengambil beberapa tisu untuk menghapus bekas air mataku. Akan tetapi, aku tetap menutup wajahku dengan tisu. Pasti wajahku seperti muka ikan sekarang, karena menangis.
"Aku ke kamar mandi dulu ya, Tih." Langsung bangkit dari kursiku.
Aku memasukin kamar mandi dan bercermin. Untung aku langsung ke kamar mandi. Mataku bengkak. Aku mencuci mukaku dan mencoba menutup mataku sejenak. Berharap dengan mengistirahatkannya, bengkak ini bisa mereda.
Sekiranya 5 menit aku berdiam diri. Kemudian aku keluar, kembali ke meja dimana Fatih berada. Sepertinya sekarang wajahku sempurna memerah karena mengingat, bisa-bisanya aku menangis di depan laki-laki. Kepribadian seseorang mungkin memang sulit untuk diubah. Kenapa sejak kecil aku mudah sekali menangis.
"Maaf ya, Tih." Rasanya aku ingin segera pulang, bersembunyi darinya.
"Aman, Han. Aku bakal rahasiain ini dari Nami."
Gurauannya membuat ku tertawa kecil. Kalau Nami tau hal ini, bisa-bisa dia akan menggodaku 5 tahun kedepan.
"Kamu tau dari mana, Tih?"
"Airi yang bilang, akhir-akhir ini kamu tidur di kamarnya terus. Kata Airi kalo kamu tidur di kamarnya, berarti kalo ga kamu abis mimpi buruk, kamu lagi sedih, atau ga kamu lagi stress."
Bahkan disaat ku tak sadar, Airi memerhatikanku. Ya Allah, terima kasih Engkau telah menitipkan Airi kepadaku. Airi memang selalu menjadi mood boosterku.
"Airi tau alasannya, Tih?"
"Aku bilang, kayaknya Bunda lagi stress ngurusin mahasiswanya susah banget diatur."
Aku tertawa lagi mendengar gurauannya. Entahlah. Apa itu gurauan? Kenapa aku bisa tertawa dengan hal receh seperti ini?
Tapi syukurlah. Aku tidak ingin Airi mengetahuinya. Jangan sampai kebahagiaan kecil bersama pamannya rusak karena rasa bersalahku.
"Makasih ya, Tih. Selalu." Ucapku. Dia membalasnya tersenyum. Matanya berkata, "Senang bisa membantu. Selalu."
Sepanjang perjalanan pulang aku memantapkan hati kembali. Aku harus memperbaiki suasana hatiku. Aku harus bahagia. Dengan itu, Airi juga akan bahagia.
*****
10 bulan kemudian.
Aku dan Nami sedang menikmati minuman favorit kami berdua, yaitu kopi di sebuah kafe. Sambil mengerjakan tugas dosen.
"Han, kamu bukannya ga peka kan sama perasaan Fatih?"
Sejenak aku menjadi patung yang memegang cangkir kopi. Kaget mendengar ucapannya. Tiba-tiba. Disaat seperti ini? Emang ya si Nami.
"Kamu sadar kan, Han? Fatih dengan sabarnya hampir setahun, setiap minggu main sama Airi untuk ngedeketin dirimu?
"Kayaknya aku harus tabokin dia si biar kedorong buat nyatain perasaannya."
Aku menunduk malu. Meletakkan cangkir dan menatap kopi yang tinggal tersisa seperempat gelas. Tapi aku perempuan bekas. Apa aku layak untuk laki-laki seperti Fatih? Apa mungkin karena keraguannya, dirinya hanya bermain dengan Airi tanpa menyatakan perasaannya kepadaku?
Terlebih lagi, pernikahan? Sejujurnya aku takut untuk mengulangi kehidupan itu lagi. Tapi kalau laki-lakinya adalah Fatih?
"Kamu ga mau nikah lagi Han? Umurmu masih terlalu muda untuk menyerah dalam menyempurnakan lagi keluargamu. Apa 1 tahun ini... Eh masih 10 bulan ya. Intinya, apa 10 bulan ini belum cukup untukmu bisa percaya sama Fatih?
"Kalo kamu khawatir sama Airi, aku yakin Airi bisa ngerti. Malah seneng mungkin paman favoritnya jadi ayah."
Aku diam saja. Tetap menunduk. Tidak menangguk maupun membalas ocehannya.
Bersambung.
2 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #4
Seusai aku dan Airi sarapan, Fatih menelponku. Ia mengajakku, Airi, dan Nami untuk bermain layang-layang sore ini. Karena lokasinya sedikit terpencil dan jalannya sulit, Fatih menyarankan untuk pergi bersama. Nami akan datang ke rumahku dan meletakkan mobilnya. Kemudian Fatih akan menjemput kami dan kami akan pergi bersama-sama.
"Kalau mau menang lari estafet, yang terpenting team work. Aku mau kenalan dan deket dulu sama Airi, biar nanti ga kagok ngasih baton ke aku." ujarnya ketika menelponku. Aku sangat berterima kasih dengan Fatih, Ia sudah mau meluangkan waktu liburnya untukku dan Airi. Bahkan ia menawarkan untuk berkenalan terlebih dahulu dengan Airi.
Sore itu, Fatih ternyata tiba di rumah terlebih dahulu. Aku dan Airi keluar untuk menyambutnya. Setelah Fatih memarkirkan mobilnya, ia mendekat dan berlutut, merendahkan tubuhnya di depan Airi. Dengan maksud agar tatapan mata dengan matanya bisa sejajar. Fatih tersenyum.
"Assalamualaikum, Airi. Kenalin ini Paman Fatih, temen bunda dan Onty Nami" Sambil menjulurkan tangannya ingin bersalaman. Tangan kiri Airi menggandeng tanganku. Tangan kanannya mambalas salaman Fatih.
"Waalaikumussalam, Paman." Airi tersenyum.
"Hari ini paman mau ajak Airi buat dan main layang-layang. Udah pernah?"
Airi menggelengkan kepalanya. Meski wajahnya masih terlihat malu-malu, matanya berbinar. Aku tersenyum melihatnya senang.
"Masuk, Tih."
Fatih bangkit dari duduknya dan masuk ke rumah.
"Kita buat layangannya disini dulu aja boleh?"
"Boleh. Butuh apa aja, Tih?"
"Ga ada, Han. Airi aja." Fatih mengeluarkan alat dan bahannya. Ada lidi bambu, tali layangan, kertas minyak, lem fox, dan gunting.
"Kita buat dua layangan ya." Jelasnya.
Saat telepon tadi pagi, Fatih meminta waktunya berdua dengan Airi dengan tujuan ingin lebih akrab dengan Airi. Jadi aku meninggalkan mereka, pergi menuju dapur. Menyiapkan minum dan cemilam untuk Fatih dan Airi. Aku mengelurkan jus jeruk dari kulkas dan memotong apel.
"Airi mau coba buat sendiri?"
Airi mengangguk.
"Oke deh, kita coba step per step yaa. Kalo kesulitan nanti paman bantu."
Suara obrolan mereka terdengar sampai ke dapur. Fatih banyak menanyakan hal tentang Airi. Entah itu sekolah dimana, hobinya apa, biasanya kalau liburan ngapain aja, dan lain-lain. Tetapi ada obrolan mereka yang sambil berbisik, jadi tidak terdengar jelas di telingaku.
Sesampainya Nami di rumahku, dua layangan siap diterbangkan dan sudah masuk ke dalam plastik hitam besar. Aku ingin melihat hasilnya, tetapi.. "Pas udah terbang aja Bunda liatnya ya." ucap Airi melarangku. Fatih menghabiskan jus dan apel yang sudah kusediakan. Kemudian kami semua langsung berangkat.
Matahari sudah mulai turun. Sinarnya sudah tidak terlalu tarik. Kami sampai tujuan, dimana ada lapangan luas dengan banyak angin yang menyertai.
"Paman udah nyari tau tempat yang cocok untuk main layangan." Ujarnya kepada Airi.
Airi sangat semangat, berharap layangan yang dibuatnya bisa ia terbangkan. Dan seperti yang Fatih bilang, tujuan bermain hari ini adalah untuk menjadi kompak. Airi dan Fatih sudah terlihat seperti paman dan keponakannya sendiri.
Aku dan Nami menggelar tikar di lapangan. Duduk menikmati sejuknya angin dan melihat Airi bermain. Fatih mengeluarkan layangan pertama. Layangan pertama berwarna putih polos. Fatih melatih Airi berulang kali sampai akhirnya bisa menerbangkannya.
"BUNDA! LIAT LAYANGAN AIRI TERBAANG!!" Semangatnya Airi mununjukkan layangannya. Aku dan Nami tersenyum bangga. Setelah berlari dan mencoba berulang kali untuk kesekian kalinya, akhirnya Airi sudah bisa menerbangkannya.
*****
Matahari semakin turun. Warna senja mulai memenuhi langit. Tiupan angin-angin mereda. Saatnya untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami singgah di restoran pinggir jalan untuk makan malam.
Selama perjalanan pulang, kepala Airi sudah bersandar pada bahuku. Terlelap. Walaupun Airi sudah berlari-lari untuk menerbangkan layangan, lelah tidak tergambar pada wajahnya. Melainkan ada senyuman tipis pada sudut mulutnya, seakan-akan sedang bermimpi kembali pengalaman pertamanya menerbangkan layangan.
"Airi tidur. Boleh aku gendong ke dalam, Han?" Tanya Fatih sesampainnya di rumah.
Aku berniat untuk membangunkan Airi. Tapi melihat pulasnya ia tertidur aku tak tega. Setelah mendapat izinku, Fatih membawa Airi ke kamarnya.
Seusai menidurkan dan menyelimuti Airi, sambil melihat wajahnya, "Han, Airi bener terdidik jadi anak yang baik."
"Iya? Alhamdulillah, Airi masih bisa tumbuh dengan baik dengan didikan ibu kayak aku."
Sebelum Fatih dan Nami pulang, aku mengucapkan lagi terima kasih kepada mereka.
*****
Alhamdulillah. Festival olahraga terlewati dengan lancar. Walaupun Airi tidak juara, ia tidak merasa kecewa. Karena sekarang ia punya paman.
Semenjak hari itu, Fatih mulai rutin dan lenih sering mengajak Airi bermain. Dari belajar sepeda sampai pergi ke sungai untuk menangkap ikan, kemudian membakar dan memakannya. Bermain layangan juga menjadi aktivitas rutinnya sekarang. Airi semangat menunggu hari-harinya bermain bersama Fatih.
Seharusnya aku senang melihat Airi yang bahagia. Seharusnya aku senang melihat Airi yang semangat mencoba hal-hal baru. Seharusnya aku senang melihat interaksi Airi dan Fatih yang kompak.
Aku senang. Tapi kenapa ada hati kecilku yang merasa sedih?
Bersambung.
3 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #3
Tumpukan laporan mahasiswa yang terjilid rapih menumpuk di atas mejaku. Aku berniat untuk membacanya dan memberi nilai laporannya. Saat aku membuka laporan pertama dan siap membaca, nada dering teleponku berbunyi. Yang menelpon adalah Bu Tina, wali kelas Airi. Aku mengangkatnya.
"Assalamualaikum Bu. Maaf mengganggu waktunya. Saya Tina wali kelas Airi. Saya boleh minta waktunya sebentar, Bu?"
"Waalaikumussalam, Bu. Silahkan, Bu. Ada apa ya?"
"Begini, Bu. Saya mau mengonfirmasi mengenai kehadiran orang tua pada festival olahraga tahun ini, tanggal 5 minggu depan. Karena sepertinya Airi belum cerita-cerita ke ibu. Kali ini kami membuat acara ini dengan berharap orang tua bisa ikut berpatisipasi. Ada perlombaan untuk orang tua juga. Untuk ayahnya, ada lomba estafet bersama anaknya. Untuk ibunya, ada lomba lompat tali bersama anaknya. Sorenya ada pertandingan sepak bola para ayah antar kelas. Kalau berhalangan hadir bisa juga digantikan dengan paman atau saudaranya, bu."
"Tanggal 5 hari Sabtu ya."
"Iya, bu."
"Kapan terakhir konfirmasinya ya?"
"Apa boleh malam ini ya, bu?"
"Malam ini ya. Baik, bu. Secepat mungkin saya kabarif ya, bu."
"Baik, uu. Terima kasih ya, bu."
"Terima kasih kembali, Bu."
Aku terdiam, memikirkan kenapa Airi tidak cerita?  Teringat kata Fatih kemarin, peran ayah bisa digantikan. Tapi kalau lomba estafetnya khusus ayah, tidak mungkin bisa kuikuti. Siapa ya? Kepada siapa aku minta tolong? Aku tidak ingin Airi sendiri tidak bisa mengikuti lombanya. Dan aku takut Airi merasa sendirian.
Fatih? Gapapa aku meminta tolong kepadanya?
Aku langsung keluar dari ruangan, menuju ruangan Nami.
Setelah mengetuk pintunya, aku memasuki ruangannya dan langsung bercerita tentang festival olahraga Airi.
"Nam, jadi kan di sekolah Airi ada acara. Tapi orang tuanya kalo bisa ikut. Ada lomba buat ayah, ada lomba buat ibu. Siapa ya yang bisa aku minta tolong?"
"Tanggal berapa?"
"Tanggal 5, hari sabtu."
"Minta tolong Fatih aja. Sini aku yang nelpon." Nami dengan gesitnya membuka handphonenya. Nada dering berbunyi.
Tuut.... tuut....
"Assalamualaikum. Halo? Iya Mi?"
"Waalaikumussalam, Tih. Lu tanggal 5, hari Sabtu nganggur ga?"
"...Kayaknya nganggur. Kenapa, Mi?"
"Diajak main estafet bareng Airi, anaknya Hana."
"Boleh. Mau banget."
"Jam berapanya nanti dikabarin lagi sama Hana ya. Makasih, Tih."
Nami menutup teleponnya. Percakapan yang singkat, padat, dan jelas.
"H-1 kamu ingetin lagi aja, Han. Kasih tau juga jam berapa dan lokasinya ya." Gesitnya Nami emang ga ada yang bisa ngalahin ya.
*****
Tok tok
Aku mengetuk pintu kamar Airi.
"Bunda boleh tidur bareng Airi lagi?" Sambil menolehkan kepalaku ke dalam kamarnya. Tanganku memeluk bantal.
"Boleh, bunda." Airi yang sudah siap untuk tidur, bangun untuk duduk dan membuka selimut untukku. Aku masuk ke kamarnya dan duduk di sampingnya.
Aku membelai rambutnya yang panjang dan harum.
"Airi udah ngantuk?"
Airi menggelengkan kepalanya.
"Boleh bunda nanya sesuatu ke Airi?"
Airi mengangguk. Menatap kakinya yang terselimuti.
"Airi kenapa ga pernah nanya tentang ayah lagi?"
Airi terdiam.
"Airi ga kangen sama ayah?"
Airi tetap terdiam.
"Airi... Boleh Airi lihat mata bunda?"
Ia melihat mataku. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa Airi bahagia tinggal sama bunda aja?"
Air matanya menetes. Ia mengangguk.
"Apa bunda juga bahagia tinggal sama Airi aja?"
Aku langsung memeluknya. Saat itu tangisannya pecah. Air matanya mengalir deras.
"Apa bunda ga terlihat bahagia di mata Airi?" Aku tidak menyangka Airi akan menanyakan seperti itu. Apa selama ini aku terlihat sengsara hidup bersamanya?
"Airi tau, bunda udah susah payah membesarkan Airi sendirian. Bunda kerja dari pagi sampai sore, tapi tetep masakin sarapan buat Airi. Tetep buatin bekal untuk Airi. Tetep antar jemput Airi. Kapan bunda ada waktu untuk bunda sendiri?" Mendengar suaranya yang serak, dadaku terasa sesak. Kenapa Airi harus menjadi dewasa sebelum waktunya?
"Setiap ngeliat Airi makan masakan bunda dengan lahap. Setiap bunda ngeliat bekal Airi bersih, ga ada sisa makanan. Setiap bunda ngeliat Airi bangga dengan rambut Airi yang bunda kuncir. Setiap Airi peluk bunda. Itu buat bunda bahagia. Itu buat bunda kuat.
"Bunda sayang banget sama Airi. Ngeliat Airi tumbuh besar aja, bunda udah seneng banget." Aku tetap memeluknya. Kali ini aku yang ingin memberikan pelukan hangat untuknya. Aku ingin Airi yakin bundanya selalu ada untuknya.
Aku ingin mengajarkan kepada Airi, kita memang hidup di keluarga yang tidak sempurna. Tapi bukan berarti kita ga bisa bahagia dengan cara kita. Aku berharap dengan Airi melihat kegagalanku, ia bisa tumbuh dengan lebih kuat, lebih bijak, dan mengerti kebahagiaan itu hal yang harus diperjuangkan. Kebahagiaan itu tidak tergantung oleh orang lain, tapi tanggung jawab diri sendiri.
Setelah Airi mulai tenang, aku melepas pelukannya dan berkata, "Hari Sabtu minggu depan, bunda datang ya." Sambil tersenyum nyengir.
"Bunda tau?"
Aku mengangguk. "Bunda bakal dateng sama paman, temennya Bunda dan Onty Nami. Nanti bunda kenalin."
Sejak Airi kecil, kami sudah pindah ke kota ini. Tidak ada saudara dekat. Aku anak tunggal dan orang tuaku sudah meninggal. Tidak ada orang yang bisa Airi panggil sebagai paman. Hanya Nami, satu-satunya Onty bagi Airi. Mungkin mulai sekarang aku harus membangun relasi, tidak hanya untukku, tapi juga untuk Airi.
Bersambung.
15 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #2
Perkenalan yang singkat. Fatih bercerita tentang rencananya untuk menetap di sini, setelah 4 tahun menyelesaikan sekolah doktoralnya di UK. Ia mengajak Nami bertemu untuk menanyakan kehidupan di kota ini.
"Kenapa lo milih tinggal disini?" tanya Nami padanya. Mungkin Nami bingung apa bagusnya kota ini.
"Dulu gue maunya kuliah disini. Ngerantau. Suka aja karena orang-orang disini lembut, ramah, dan sopan-sopan. Yang lebih suka lagi makanannya si enak dan murah, Hehe. Memperjuangkan mimpi yang tertunda lah ya istilahnya."
"Rencana lo disini ngapain?"
"Kerja mungkin. Sambil istirahat bentar abis kejar-kejaran di sekolah 4 tahun.." Fatih terdiam sejenak, "Kok jadi cerita tentang gue terus. Lu juga cerita dong. Hana juga."
"Aku janda. Single mom. Tinggal disini udah sekitar 4 tahun lah ya." aku menjawabnya.
Ini menjadi salah satu prinsipku setelah bercerai. Terbuka dengan kondisiku saat ini, 'janda dan single mom', sebelum membangun relasi baru. Dengan siapa pun, entah itu laki-laki atau perempuan. Kupikir itu akan lebih baik daripada menyembunyikan semua itu, kemudian setelah suatu hari orang itu tau, mereka akan menjauh atau men-judge kehidupanku dulu.
Di usia segini, aku tidak lagi memerlukan teman yang melihat 'cangkang'ku saja. Aku hanya butuh teman yang bisa melihatku seutuhnya. Kami. Aku dan Airi adalah satu set. Teman-teman itu akan terseleksi dengan sendirinya.
Satu bulan setelah aku bercerai memang sangat menyakitkan. Beban yang kutanggung sangat berat. Mungkin setiap malam aku menangis dalam tidur. Meratapi kenapa kehidupanku menjadi seperti ini? Bagaimana aku hidup setelah ini? Apakah aku bisa membesarkan Airi sendirian? Meskipun demikian, hatiku lebih tenang karena tidak perlu khawatir lagi akan ada kekerasan terhadap tubuhku.
Salah satu tantangan yang kuhadapi saat itu adalah berusaha untuk tidak tersakiti oleh tatapan dan perlakuan orang lain terhadapku. Aku mencoba mengebalkan telinga dan mataku seperti kulit badak. Berusaha menghibur diri dengan mengucapkan berulang kali seperti mantra, 'Gapapa. Sabar aja. Itu karena mereka ga pernah ngerasain di posisi ini, gimana sulitnya membesarkan anak sendirian.' Itu sebabnya juga aku pindah ke kota ini. Untuk memulai lagi dari nol. Dari awal. Aku khawatir lingkungan itu menyebabkan Airi terluka selama ia bertumbuh.
"Aku selalu kagum sama ibu yang kuat." Fatih tersenyum. Tatapan matanya tidak menghakimi atau kecewa. Malah terlihat tulus, serasi dengan kalimatnya. Mungkin karena dia seorang dokter anak. Sudah terbiasa menunjukkan rasa empati kepada pasiennya. Atau mungkin dia sudah terbiasa juga bertemu dengan single mom lainnya.
Aku tersenyum lega dengan sikapnya. "Terima kasih."
"Permisi Pak, Bu." seorang pelayan membawakan makanan yang sudah kami pesan. Ia meletakkan 3 lemon tea, nasi liwet siliwangi untukku, nasi ayam bakar sereh melayu untuk Fatih, dan nasi ayam betutu untuk Nami.
"Emang ga berubah ya Mi, dari dulu sukanya yang pedes." canda Fatih kepada Nami. Nami hanya membalas dengan tertawa.
Kami memulai makan. Selama lima menit aku dan Nami sibuk dengan makanan kami masing-masing. Tanpa memulai obrolan seperti tadi. Sepertinya Fatih menatap kami bingung dengan tatapan 'Ini dua orang emang lagi kelaperan atau doyan?' atau 'Ini berdua emang kompak banget si'. Kemudian ia tertawa dengan kelakuan kami.
Lima menit kemudian piringku dan Nami sudah bersih, tidak ada yang tersisa. Berbeda dengan piring Fatih yang masih tersisa seperempat porsinya.
"Han, katanya tadi mau konsul gratis?"
"Ga perlu diperjelas juga kali 'gratis'nya." balasku kesal.
Fatih tertawa lagi. Sepertinya dia sangat mudah tertawa ya. Mungkin karena itu juga dia cocok menjadi dokter anak.
"Ini bukannya gimana-gimana si. Aku mau nanya sesuatu aja. Gausah dibawa terlalu serius ya. Sambil makan aja."
"Iya, gapapa Han. Tanya aja. Semoga aku bisa jawab pertanyaanmu itu tapi ya." ujarnya sambil bercanda.
Aku mengangguk.
"Jadi gini. Menurutmu sosok ayah bagi anak seperti apa?"
".....Belum apa-apa udah pertanyaan yang berat ya.", katanya sambil tertawa. "Sebelum itu, aku mau pastiin dulu. Anaknya laki-laki atau perempuan dan sekarang usianya berapa?"
"Anaknya perempuan. Enam tahun."
"Untuk anak perempuan yang usianya masih anak-anak, biasanya masih mempertanyakan dimana ayahnya ada. Teman-temannya ada ayah, tapi kenapa dia gaada, misalnya. Disini kita bisa beri dia pengertian pelan-pelan. Ayahnya kemana. Kenapa ibu dan ayah berpisah."
"Kalau udah mulai besar, gimana Tih?"
"Terus kalau udah mulai remaja, ayah itu bisa jadi role model untuk anaknya. Misalnya untuk membangun hubungan sama orang, bagaimana dia tau hubungan yang baik dan buruk seperti apa, dia melihat hubungan orang tuanya.
"Saat anak udah mulai suka sama lawan jenis, kecenderungan perempuan itu akan suka dengan laki-laki yang mirip dengan sosok ayahnya.
"Tapi sosok ayah itu bisa digantiin kok. Misalnya diganti dengan paman atau kakeknya, diganti ibu juga bisa, Han.", fatih menjelaskannya panjang lebar.
"Gimana cara memerankannya, tih?" Airi gapunya paman maupun kakek lagi. Cuma aku yang bisa gantiin peran itu.
"Biasanya, ayah berinteraksi sama anaknya dengan lebih challenging. Kalau ibu kan lembut, maunya yang aman-aman aja. Ayah yang mendorong anaknya biar jadi lebih berani mencoba hal-hal baru. Ini nantinya akan berpengaruh ke self-esteem anak."
Aku menganggukkan kepala berulang-ulang, menunjukkan kepahamanku. Ini hal baru bagiku.
"Tadi katanya jangan dibawa serius. Tapi kayaknya kamu yang jadi lebih serius, Han."
"Maklumin lah, Tih. Begini dia kalo lagi mode belajar."
Keduanya menjailiku.
"Nam, udah jam 2. Aku mau ngajar lagi jam setengah 3.", ucapku tanpa menghiraukan kejailian mereka.
"Oke deh. Kalo gitu, kami duluan pergi ya, Tih."
"Makasih banyak ya, Tih." ujarku sambil tersenyum dan menundukkan kepalaku.
"Sama-sama, Han. Kalo mau konsul lagi, telpon aja." balasnya tersenyum.
*****
Sepanjang perjalanan menuju kampus, aku memikirkan Airi. Bertanya-tanya kapan terakhir kali Airi menanyakan tentang ayahnya.
Bersambung.
10 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #1
Aku terjatuh dengan pukulannya yang kuat mengenai kepalaku. Napasku seakan berhenti saat itu. Menahan rasa sakit dan pukulan lainnya yang berangsur mengenai tubuhku. Aku meringkuk. Seakan ingin mendapat perlindungan dari siksaan laki-laki itu. Akan tetapi, tidak ada satupun yang dapat menjadi pelindungku saat itu. Lelaki itu menggenggam rambutku dan menariknya sekuat tenaga, hingga aku memaksakan tubuhku untuk terseret mengikuti tarikan itu. Dia menarik tubuhku ke dapur. Setelah ia puas, ia melepaskan genggamannya. Kini tidak tersisa tenaga dalam tubuhku. Aku tergeletak di lantai dengan tatapan kosong yang penuh air mata.
Kapan semua ini akan berakhir?
Kejadian ini sudah berulang-ulang. Apakah masih ada harapan?
Saat itu aku teringat dengan buah hatiku sedang tidur dalam kamar. Airi. Buah hatiku. Ia adalah harapanku. Alasan aku dapat bertahan. Alasan aku harus kuat. Karena aku harus melindunginya. Aku tidak ingin anakku besar dalam lingkungan seperti ini.
Belum puas dengan menyiksaku, ia melangkah ke kamar itu. Dimana Airi sedang tidur. Seketika itu aku langsung sadar dan menahan kaki kirinya melangkah lebih jauh dengan tangan dan sisa tenagaku.
"Jangan Mas.. Tolong jangan Airi. Aku aja. Aku aja, Mas.." ujarku lirih, memohon kepadanya berulang-ulang.
Tapi ia tetap bersikukuh untuk ke kamar itu.
Jangan!! Aku berteriak dalam hatiku.
Seketika itu, tak sadar bagian setengah atas tubuhku langsung terbangun, terduduk tegak, dan mataku terbuka. Aku terkaget. Wajah dan leherku penuh dengan keringat dingin. Napasku tersenggal-senggal. Tanganku mencengkram selimut. Aku menoleh dan melihat sekeliling. Membutuhkan tiga puluh detik untuk sadar kembali itu hanya mimpi.
Alhamdulillah, itu udah lewat.
Itu udah lewat. Aku mengulangi kata-kata itu dalam hati untuk meyakinkan, itu hanya mimpi buruk. Itu kejadian 6 tahun yang lalu.
Setelah mulai tenang, aku meraih gelas di meja sebelah tempat tidurku. Kemudian meneguk air dalam gelas itu hingga tak tersisa lagi.
Aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar. Menuju kamar Airi. Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 00.30. Airi sedang tidur dengan mulutnya sedikit terbuka. Aku tersenyum melihatnya. Bahkan wajah tidurnya sangat cantik. Aku membuka selimut Airi, dan berbaring memeluknya dari belakang. Tercium harum Airi dari rambutnya yang khas. Menikmati harum Airi. Lama kelamaan kelopak mataku terasa berat hingga tak mampu membukanya lagi. Aku terlelap.
*****
"Airi, sini Bunda keringin dan kuncirin dulu rambutnya."
Ini kebiasaan kami sebelum Airi berangkat sekolah. Setelah bercerai dengan Ivan, aku bisa menjalani pagi yang damai bersama Airi. Airi mendekat kepadaku dan duduk di atas karpet sebelah tempat tidur. Sementara aku duduk di atas tempat tidur dan mulai mengeringkan rambut Airi.
"Bunda mimpi buruk lagi ya?" tanya Airi kepadaku. Kebisingan hair dryer memang membuat suara Airi kurang terdengar, tapi aku tau apa yang Airi jelas tanyakan.
"Bunda kangen aja tidur sama Airi. Udah lama kan, kita ga tidur bareng?"
Airi mengangguk. Aku tetap lanjut mengeringkat rambut Airi.
"Bunda, hari ini Airi ada pelajaran olahraga. Jadi rambut Airi dikepang aja ya."
"Oke, sayang."
Aku mulai mengepang rambut Airi. Dari bagian seperlima atas, kemudian aku tambahkan berangsur-angsur helaian-helaian rambutnya ke dalam kepangan hingga mencapai ujung rambut.
"Udah, gimana rambutnya? Udah cantik kan?" tanyaku dengan bangga.
Airi menoleh kepadaku. Ia menatap mataku dan tersenyum. Tubuhnya makin mendekat, melingkarkan kedua tangannya ke leherku dan mendekapku.
"Makasih Bunda. Kapanpun Bunda mau, tidur aja ke kamar Airi."
Aku membalas dekapannya. Walaupun tubuhnya masih kecil, pelukannya sangat hangat. Seakan dia tau kegelisahan dalam malamku. Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan mutiara yang sangat indah kepadaku.
Setelah kami sarapan bersama, aku mengantar Airi ke sekolah. Kemudian aku pergi untuk menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Rutinitasku setelah mengantar Airi adalah mengajar. Selain untuk membiayai kehidupan Airi, pekerjaan ini juga menjadi hobiku. Aku mulai mengajar juga sejak bercerai dengan Ivan, karena diajak oleh sahabat dekatku, Nami, menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Gigi universitas swasta. Walaupun aku tidak menyangka ternyata tugas dosen sebanyak itu. Tidak hanya mengajar mahasiswa, tapi dikejar untuk melakukan penelitian, menulis jurnal serta mempublikasikannya, dan harus selalu update ilmu yang tak berhenti berkembang. Mengajar mahasiswanya juga tidak hanya S1, tetapi juga mahasiswa koasnya.
"Han, makan siang keluar yuk.", tanya Nami yang tiba-tiba membuka pintu ruang dosen.
"Udah kelar kerjaan, Nam?"
"Nanti aja abis maksi. Aku diajak makan bareng temen kampung."
"Aku harus ikut? Lagi males ketemu orang."
"Temenin aku dong, Han. Dokter anak. Bisa konsul gratis kan.", ujar Nami sambil menyengir khasnya. Nami sangat mengenalku. Ia tau cara merayuku. Aku suka belajar, apalagi ini mengenai parenting mungkin. Ini juga salah satu alasan Nami mengajakku untuk menjadi Dosen. Karena aku suka belajar.
Aku menghela napas. "Naik mobilmu ya.", jawabku. Aku kalah.
"Siap!"
*****
Sampai dua ratus meter di depan meja tujuan, aku berhenti melangkah.
"Nam, kamu ga bilang temenmu cowo?"
"Kamu ga nanya, Han."
"....."
"Udah gapapa, Han. Ayok." ajar Nami sambil menarik lenganku, melanjutkan berjalan.
Okelah. Mau gimana lagi. Udah terlanjur nyampe sini dan aku lapar. Setidaknya aku bisa dapet ilmu parenting darinya. Sepertinya.
Laki-laki itu menoleh dan sepertinya langsung mengenali Nami. Ia bangkit dari duduknya dan menyambut Nami. "Mi, ga ada berubah ya lo."
"Lo juga lagi, Tih. Ga jadi bareng Yogi?"
"Tiba-tiba ada operasi darurat. Jadi ga bisa ikut. Nanti nyusul kalo keburu katanya. Ini siapa Mi?", tanyanya ketika menyadari adanya kehadiranku bersama Nami.
"Kenalin, ini temen gue dari pas kuliah. Sampe sekarang masih kerja bareng."
"Fatih.", ujarnya sambil menundukkan sedikit kepalanya dan tersenyum.
"Hana.", jawabku membalasnya.
Bersambung.
21 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Sunset Bersama Rosie
Tumblr media
Penulis: Tere Liye
Tahun terbit: 2011
Halaman: 429 halm
Premis: Tegar—Laki-laki yang dulu sangat mencintai sahabatnya Rosie dan telah kehilangan kesempatan untuk menyatakannya—sangat ingin tinggal di Jimbaran, Bali untuk mendampingi anak-anak Rosie, yaitu Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili, yang kehilangan sosok ayah dan berpisah dengan ibunya yang depresi, tetapi Tegar memiliki janji kehidupan bersama Sekar di Jakarta.
Tema: Keluarga, Kesempatan, Berdamai
Plot: Tragedi (Rosie dan keempat kuntum bunganya yang tiba-tiba kehilangan Nathan sebagai suami dan ayah karena kejadian meledaknya bom di Jimbaran, Bali)(Tegar yang kehilangan kesempatan mengungkapkan cintanya kepada Rosie)
POV:  Sudut pandang orang pertama, Aku (Tegar)
Alur: Campuran (Mayoritas alur maju, tapi ada alur mundur, yaitu ketika Tegar mengingat kejadian 15 tahun lalu (menyaksikan Nathan menyatakan perasaannya kepada Rosie dan kehilangan kesempatan untuk menyatakan perasaannya kepada Rosie) dan ketika Tegar tidak sengaja mengungkapkan perasaannya 15 tahun yang lalu untuk menenangkan Rosie yang kalap karena depresi berat).
Ritme: Lambat. Suasana, perasaan, raut muka, gestur tubuh digambarkan secara detail dengan bahasa yang indah.
Latar: Gili Trawangan, Pantai Jimbaran Bali, Gunung Rinjani, Bali, Jakarta
Tokoh
Tegar: 35 tahun. Bertanggung jawab. Baik dan sabar. Bisa diandalkan. Atletis, bisa mengendarai mobil, motor, dan kapal cepat dengan ngebut. Terlalu mencintai Rosie. Cintanya melebihi cinta Rosie ke Nathan ditambah cinta Nathan ke Rosie. Terlalu mencintai anak-anak. Om, uncle, dan paman yang paling hebat, keren, dan super bagi anak-anak Rosie.
Rosie: 35 tahun. Sahabat terdekat Tegar, suami Nathan, ibu dari Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Sangat menyukai sunset. Terlambat menyadari perasaannya kepada Tegar. Mengalami depresi berat setelah ditinggal mati Nathan, suaminya.
Sekar: Gadis cantik. Lebih cantik daripada Rosie. Mudah menangis. Sangat mencintai Tegar. Cintanya melebihi cinta Tegar ke anak-anak, ditambah dengan cinta anak-anak kepada Tegar, ditambah cinta Tegar kepada Rosie, juga ditambah cinta Oma kepada anak-anak.
Nathan: 35 tahun. Suami Rosie.13 tahun menjalani pernikahan dengan Rosie dengan intensitas kebahagiaan tinggi. Lebih agresif daripada Tegar. Dua bulan mengenal Rosie, langsung menyatakan perasaannya. Meninggal dunia akibat kejadian bom di Jimbaran
Anggrek: Sulung Rosie dan Nathan. 12 tahun. Wajahnya mewarisi gurat muka Rosie. Keibuan dan bisa diandalkan. Rambutnya lurus tergerai. Senang membaca buku. Pandai menulis cerita, pandai menjelaskan banyak hal dan selalu bertanya hal aneh dan ganjil. Memanggil Tegar dengan sebutan Om
Sakura: Anak kedua Rosie dan Nathan. 9 tahun. Lancar empat bahasa asing. Menyukai segala hal yang berbau komik. Rambutnya suka dikepang.Aktif, memiliki otak kanan yang sama hebatnya dengan otak kiri. Pandai bermain musik, biola. Jahil dan super-ngeles. Memanggil Tegar dengan sebutan Uncle.
Jasmine: Anak ketiga Rosie dan Nathan. 5 tahun. Pendiam, pemerhati yang baik, penurut, dan tidak banyak membantah. Rambutnya ikal. Kalimat-kalimatnya selalu menyentuh. Bisa memerjemahkan perasaan orang lain dengan baik. Suka merajut dan merawat Lili.  Memanggil Tegar dengan sebutan Paman.
Lili: Bungsu Rosie dan Nathan. 1 tahun. Selalu digendong Jasmine. Setelah berusia 3 tahun, hanya dengan Jasmine, ia berbicara. Rambutnya panjang hitam. Kelak memanggil Tegar dengan sebutan Papa.
Oma: Nenek kandung Rosie dan nenek bagi Tegar. Mengetahui perasaan Tegar kepada Rosie dan Rosie kepada Tegar.
Ayasa: Dokter psikiater perempuan yang merawat Rosie ketika depresi berat. Masih muda, Seumuran Tegar, Cantik. Tidak pakai kacamata.
Clarice: Peneliti dari Sydney yang memperkenalkan dr. Ayasa untuk perawatan depresi Rosie. Punya helikopter. Menyayangi Tegar dan keluarga Rosie dan Nathan.
Michell: Turis yang langganan menginap di Resort Rosie. Dokter Anestesi.
Linda: Mantan sekretaris Tegar saat Tegar bekerja di Jakarta. Sahabat Sekar.
Bagi kamu yang udah baca novelnya,
pilih tim Tegar-Rosie atau Tegar-Sekar?
Pic: google
13 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ramadhan Journal: 2. Setiap Cerita butuh Figuran
Dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kita mengenal figur-figur menonjol dalam kiprahnya masing-masing. Jika disebutkan nama mereka radhillahu ‘anhuma ‘ajmain, maka kita akan dengan mudah menyebutkan satu kata sifat dan atau satu peristiwa yang secara khusus melekat pada mereka. Kecuali satu nama.
Keislaman beliau radhiallahu ‘anhu adalah doa dari ayahnya yang Allah kabulkan. Sebagai pengikut agama Ibrahim 'alaihissalam yang hanif, di akhir hidupnya Zaid ibn Amir berdoa kepada Allah agar Allah izinkan bagi anak-anaknya untuk menikmati cahaya Islam. Sebagaimana ayahnya, beliau radhiallahu ‘anhu juga masih mengikuti agama Ibrahim 'alaihissalam. Beliau tidak pernah menyembah berhala, tidak pernah memakan sesembahan untuk berhala dan tidak pernah beragama dengan agama berhala.
Beliau radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat mulia yang sangat sedikit ditemukan riwayat tentangnya. Bukan sebab tidak berperan, justru di usianya yang panjang dan Allah berkahi, beliau berkiprah pada hampir setiap peperangan melawan musuh-musuh Allah.
Beliau adalah tokoh pendukung dalam cerita mashyur keislaman Umar ibn Khattab radhiallahu ‘anhu. Pada kisah yang populer itu, beliau dibuat pingsan sebab hantaman dalam upaya melindungi istrinya dari kemarahan sang kakak. Kemarahan ini terjadi sebab Umar mengetahui keislaman adik dan adik iparnya di tahun ke enam kenabian.
Lalu di kisah yang lain ketika ditugaskan memata-matai kafilah dagang Abu Sufyan, beliau tidak sempat menunaikan tugas sebab kafilah dagang Abu Sufyan malah menempuh rute yang berlainan. Setelah “tidak berhasil” dalam misi mata-mata, beliau menyusul pasukan Muslimin menuju Badar dengan niat ikut berperang. Namun lagi-lagi beliau tidak berkesempatan sebab Perang Badar telah selesai ketika beliau sampai.
Pada masa kekhalifan Umar Ibn Khattab radhiallahu ‘anhu, beliau diamanahi sebagai gubernur di sebuah wilayah bekas Persia yang miskin. Selama tiga tahun, beliau tidak pernah melaporkan zakat, mengirimkan pendapatan daerahnya untuk negara sehingga hal ini membuat Umar ibn Khattab radhiallahu ‘anhu menyurati beliau untuk pulang dan melapor. Beliau kemudian pulang dengan hanya membawa pakaian yang melekat di tubuh, sedikit air dan beberapa roti kering yang sangat kering yang bahkan tidak lagi layak untuk dinikmati. Lalu ketika Umar ibn Khattab menanyakan mengapa beliau tidak melaporkan apa-apa selama tiga tahun maka jawabannya adalah sebab di daerah yang beliau pimpin orang miskin adalah golongan mayoritas. Mustahik lebih banyak daripada muzakki. Sehingga zakat yang masuk habis “berputar” disana. Kemudian Umar ibn Khattab radhiallahu ‘anhu dengan bijaksana menawarkan apakah beliau ingin melanjutkan kepemimpinan? Lalu beliau menjawab tidak. Tidak sama sekali.
Kisah terakhir yang diriwayatkan tentang beliau adalah konflik tanah yang beliau hadapi dengan seorang wanita di masa Bani Umayyah. Dengan segala tipu daya berikut saksi palsu yang telah bekerjasama, sang wanita memfitnah beliau telah menggeser patok tanah dan mengakibatkan kerugian. Menghadapi tuduhan ini, beliau menyanggahnya dan menutup sanggahan dengan doa
"Ya Allah, wanita tersebut telah menuduhku mendzaliminya. Maka jika ia telah berbohong atas tuduhannya tersebut, butakanlah matanya. Ceburkanlah ia di sumurnya yang ia sengketakan padaku, tampakkanlah kebenaranku sebagai cahaya bagi kaum Muslimin bahwa aku tidak mendzaliminya"
Tidak berselang lama, ternyata doa beliau terkabul. Kedua mata wanita itu menjadi buta dan sumur menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Kisah ini akan ditutup dengan kerendahan hati beliau ketika menyampaikan nama-nama sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga kepada sahabat yang lain. Setelah menyebutkan sembilan nama, beliau mengambil jeda. Kemudian sahabat bertanya tentang siapa satu nama yang tersisa. Kemudian beliau berkata bahwa
satu orang lagi akan aku beritahu jika kalian mau.
Lalu semua orang mengangguk, kemudian beliau meneruskan. Satu orang lainnya ialah Said Bin Zaid. Kemudian sesaat setelah menyebutkan namanya sendiri, beliau berlalu.
Said Bin Zaid radhiallahu ‘anhu memberikan teladan kepada kita bahwa menjadi mulia di sisi Allah tidak selalu harus menjadi yang nomor satu, menjadi yang selalu terlihat, berperan besar, penentu kebijakan dan lain sebagainya. Bisa jadi ketulusan dan keikhlasan yang menyertai saat menjalankan peran-peran yang sederhana mampu mengantarkan seorang hamba pada derajat mulia.
Radhiallahu ‘anhu, Said ibn Zaid.
9 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ahlan bagi kawan kawan tumblr yang mau cetak kuartet ini sebagai sarana pembelajaran mengenal Islam dan jadi hiburan ketika bulan Ramadhan 😁
Disana juga ada Ramadhan Tracker yang bisa teman teman jadikan wasilah untuk memantau amalan harian
Izin tag para suhu tumblr ya supaya jejak kebaikan ini bisa semakin luas tersebar ✨
@jejaringbiru @yunusaziz @alizetia @makarimanaily @herricahyadi @kurniawangunadi
130 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Perjalanan ke 5
Pertanyaan kapan menikah sudah menjadi sangat familiar untuk perempuan yang sudah memasuki umur 25+. Apalagi saat memasuki nuansa lebaran. Rasanya semua harus sesuai standart masyarakat setempat.
Umur 25 tahun harus sudah menikah, harus sudah punya anak, umur 30 tahun sudah punya rumah dan kendaraan pribadi, apalagi didukung dengan aktifnya sosial media rasa membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain begitu semakin kuat.
Dewasa rasanya begitu komplit dengan segala bentuk problematikanya. Kita dituntut mampu beradaptasi untuk mengikuti segala situasi yang ada.
Rasanya begitu jahat sekali melabeli seseorang tanpa pernah tau cerita yang sebenarnya. Sudah umur 27 tahun belum menikah karena terlalu pilih-pilih, umur 28 tahun belum menikah karena sibuk sekolah, ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi ibu rumah tangga.
Yang berkomentar tidak tahu mungkin saja dia saat ini belum menikah karena sedang menata kembali hidupnya, yang mengalami trauma pengkhianatan dari orang terdekatnya.
Siapa yang tau dia sibuk bekerja dari pagi sampai malam karena ada yang dia tanggung biaya hidupnya seperti ibu dan adiknya.
Ah rasanya mudah sekali berkomentar tanpa pernah bertanya apakah dia baik-baik saja dengan hidupnya. Mungkin banyak yang dikorbankan seperti waktu bersenang-senangnya bersama teman seumurannya hanya karena tuntutan kehidupan.
Siapa yang tidak mau hidup baik-baik saja, punya keluarga yang lengkap dan hangat. Punya pekerjaan yang bagus, menjalani kehidupan yang santai dan berkecukupan. Punya pasangan yang setia. Dikaruniai anak yang lucu-lucu
Tapi lagi-lagi itu semua pemberian dari Allah yang mampu kita ikhtiarkan tapi yang menentukan hasil akhir hanya Allah.
Tetap semangat ya, bagaimanapun keadaannya kehidupan kamu harus tetap berjalan.
12 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Perjalanan keempat
Semakin hari aku semakin percaya hidup itu adalah roda yang berputar kadang diatas kadang ditengah-tengah kadang juga di bawah. Rasanya terlalu bodoh untuk bersikap angkuh.
Mungkin saat ini, Allah beri kita rezeki yang baik, orang tua yang mendidik, anak-anak yang membanggakan. Tapi siapa yang tahu 5 tahun, bahkan 20 tahun yang akan datang akan seperti apa.
Bagaimana pun keadaannya semoga kamu selalu santun pada siapapun yang kamu ketemui karena kita tidak tahu setiap nasib orang.
Masalah itu pasti datang jika kita masih berpijak pada bumi Allah. Yang membedakan hanya cara bagaimana menyikapinya saja.
Yang punya duit juga punya masalah
Yang punya pasangan juga punya masalah
Yang punya anak juga punya masalah
Yang kita anggap hidupnya sempurna juga punya masalah. Hanya saja setiap orang punya cara bagaimana menyikapinya. Ada yang diumbar ada disimpan rapi.
Percayalah, kamu tidak sendirian, meski dunia kini tidak memihak padamu tapi kamu perlu tahu Tuhanmu tidak tidur dan tidak akan meninggalkan kamu.
4 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Perjalanan ketiga
Namanya Raya, perempuan berhati baik yang selalu menjadi pendengar baikku. Pertemanan yang sudah memasuki angka ke 7 tahun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengenal dan percaya.
Kali ini bukan tentang ceritaku tapi kisah raya. Perpisahan bapak dan ibunya masih menjadi topik utama pada masalah hidupnya. " ca rasanya setahun ini berat banget ya, bisa bertahan dari hari ke hari saja sudah anugerah banget buat aku" katanya waktu itu.
"Sudah tidak ada back up apa-apa lagi dari orang tua, mau ini itu, butuh sesuatu dan harus dipenuhi sendiri itu rasanya berat ya ca". Air matanya sesekali tidak dapat dibendungnya
Hai ra walaupun saat ini kita jarang ketemu tapi aku yakin kamu bisa melewati beban berat ini. Ingat ya ra, kamu pernah bilang ke aku, kalau takdir Allah itu baik.
Kamu lagi mau naik level makanya Allah uji kamu, bukannya setelah kesulitan ada kemudahan. Walaupun kita udah jarang komunikasi apalagi bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi aku tau kamu orang baik dan aku selalu berdoa semoga kamu selalu dikelilingi orang-orang baik dan ditemukan oleh orang baik juga.
11 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Perjalanan kedua
Hari-hari masih terasa begitu berat, bertanya kembali kepada diri sendiri karir apa yang akan dijalani hari ini dan seterusnya benarkah selinier dengan jurusan kuliah yang kuambil selama 4 tahun.
Rasanya memamasuki fase diumur 20-35 tahun benar-benar masa pencarian dan butuh explore berbagai kegiatan untuk bisa menemukannya.
Dan kalaupun sekarang ada hal yang membuat kita tertarik dan 5 tahun kedepan ketertarikan itu berubah juga tidak buruk. Bukannya manusia itu dinamis. Suka berubah-ubah.
Pada salah teman yang baru saja menyelesaikan study magister psikolognya kubagikan sekelumit ceritaku ini dan dia berujar kalau tidak apa-apa kalau keputusan yang diambil sekarang kurang tepat. Karena bisa saja ada pembelajaran didalamnya.
Hidup ini bukan tentang kenapa hal itu terjadi untuk kita tapi, apa hikmah yang bisa diambil dari kejadian yang terjadi saat ini untuk pembelajaran
8 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Perjalanan pertama
Saat itu tepat di penghujung akhir tahun tepatnya di awal bulan November statusku resmi menjadi alumnus di salah satu kampus di kotaku
Hari itu mungkin menjadi hari yang sangat membanggakan untuk ibu dan bapak, yang sudah sangat bersemangat berangkat H-1 sebelum acara ke ibukota tempat dimana lokasi kampusku.
Untukku sendiri hari itu hari yang sangat mencemaskan karena itu hari terakhirku menjadi seorang mahasiswi. Dimana keadaan menuntutku dewasa lebih tepatnya bertanggung jawab dengan diri sendiri.
Dunia kerja itu kejam kata salah satu cerita senior kampus yang pernah ku dengar.
Setelah acara selebrasi itu berjalan dengan lancar. Malamnya menjadi ajang perenungan untukku.
"Setelah ini aku akan melanjutkan hidup bagaimana ya? Ada gak ya instansi yang akan menerimaku dalam waktu dekat ini." Bisingnya saat itu pikiranku.
Rasanya dulu fikiranku tidak sekelumit ini, setelah sd udah tau mau lanjut ke smp dan seterusnya sampai ke jenjang perkuliahan.
Tapi sekarang rasanya dunia menuntutku lebih bekerja keras lagi.
Malam itu pencarian social mediaku penuh dengan history akun-akun lowongan kerja. Dan ditutup dengan sebuah pengharapan semoga hari esok ada kabar baik.
8 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep.5
5 tahun kemudian.
"Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
.
.
.
Saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya."
Setelah melafalkan sumpah dokter dan acara selesai, aku keluar ruangan. Aku mencari dimana orang tuaku.
Ketika sosok papa dan mamaku terpotret oleh mataku, aku segera berjalan menuju mereka dan memeluknya erat.
Keduanya membalas pelukanku sambil berbisik, "Papa dan mama bangga sama kamu, Nai."
Medengar bisikan itu, penglihatanku menjadi buram penuh dengan air mata. Tapi aku tetap menahannya.
"Makasih banyak Pa, Ma, sabar punya anak kayak Nai."
Cekrik, suara shutter kamera terdengar. Kami mengurai pelukan dan menoleh ke arah suara. Dia adalah sahabatku, Saka. Dia tersenyum lebar khasnya, dan menatapku.
"Selamat, Nai."
"Alhamdulillah. Akhirnya bisa nyusul juga.", balasku.
The End.
8 notes · View notes