Tumgik
#5CCday15
Text
Perjalanan ke 5
Pertanyaan kapan menikah sudah menjadi sangat familiar untuk perempuan yang sudah memasuki umur 25+. Apalagi saat memasuki nuansa lebaran. Rasanya semua harus sesuai standart masyarakat setempat.
Umur 25 tahun harus sudah menikah, harus sudah punya anak, umur 30 tahun sudah punya rumah dan kendaraan pribadi, apalagi didukung dengan aktifnya sosial media rasa membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain begitu semakin kuat.
Dewasa rasanya begitu komplit dengan segala bentuk problematikanya. Kita dituntut mampu beradaptasi untuk mengikuti segala situasi yang ada.
Rasanya begitu jahat sekali melabeli seseorang tanpa pernah tau cerita yang sebenarnya. Sudah umur 27 tahun belum menikah karena terlalu pilih-pilih, umur 28 tahun belum menikah karena sibuk sekolah, ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi ibu rumah tangga.
Yang berkomentar tidak tahu mungkin saja dia saat ini belum menikah karena sedang menata kembali hidupnya, yang mengalami trauma pengkhianatan dari orang terdekatnya.
Siapa yang tau dia sibuk bekerja dari pagi sampai malam karena ada yang dia tanggung biaya hidupnya seperti ibu dan adiknya.
Ah rasanya mudah sekali berkomentar tanpa pernah bertanya apakah dia baik-baik saja dengan hidupnya. Mungkin banyak yang dikorbankan seperti waktu bersenang-senangnya bersama teman seumurannya hanya karena tuntutan kehidupan.
Siapa yang tidak mau hidup baik-baik saja, punya keluarga yang lengkap dan hangat. Punya pekerjaan yang bagus, menjalani kehidupan yang santai dan berkecukupan. Punya pasangan yang setia. Dikaruniai anak yang lucu-lucu
Tapi lagi-lagi itu semua pemberian dari Allah yang mampu kita ikhtiarkan tapi yang menentukan hasil akhir hanya Allah.
Tetap semangat ya, bagaimanapun keadaannya kehidupan kamu harus tetap berjalan.
12 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep.5
5 tahun kemudian.
"Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
.
.
.
Saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya."
Setelah melafalkan sumpah dokter dan acara selesai, aku keluar ruangan. Aku mencari dimana orang tuaku.
Ketika sosok papa dan mamaku terpotret oleh mataku, aku segera berjalan menuju mereka dan memeluknya erat.
Keduanya membalas pelukanku sambil berbisik, "Papa dan mama bangga sama kamu, Nai."
Medengar bisikan itu, penglihatanku menjadi buram penuh dengan air mata. Tapi aku tetap menahannya.
"Makasih banyak Pa, Ma, sabar punya anak kayak Nai."
Cekrik, suara shutter kamera terdengar. Kami mengurai pelukan dan menoleh ke arah suara. Dia adalah sahabatku, Saka. Dia tersenyum lebar khasnya, dan menatapku.
"Selamat, Nai."
"Alhamdulillah. Akhirnya bisa nyusul juga.", balasku.
The End.
8 notes · View notes
setialrsti · 1 year
Photo
Tumblr media
Ketika Hidupmu Berada di Persimpangan - The End "Na, Kelanjutan kita gimana? Aku ga mau berlama-lama. Targetku bkn untuk pacaran, apalagi hanya sekedar dekat" Aku seketika terdiam membaca pesan dari mas Ali. Dia memang orang yg asik diajak ngobrol dan ga neko-neko, tp aku blm menemukan sesuatu yang membuatku merasa 'Klik' padanya. Kini, kepusinganku bertambah 1. Sepanjang malam aku berdoa, berharap aku bisa mengambil keputusan yg paling baik. Semakin hari juga aku semakin tdk nyaman dgn lingkungan kantor. Lalu, Aku bertekat mengajukan surat pengunduran diriku kepada pak Anwar, tdk ada pertanyaan apapun dari beliau. Bahkan beliau lgsg menyetujuinya. Apa lagi ini? Pikirku, jika semudah ini mengundurkan diri, berarti memang ini yang paling baik. --- Semakin hari, semakin pula aku merasa bersalah pada mas Ali. Aku tau ia berharap kepadaku, sayangnya aku blm berniat untuk memiliki hubungan yang serius dengannya. Sekarang, Aku sdh lebih tenang setelah meninggalkan pekerjaanku walaupun aku hrs jadi jobseeker lagi. "Ya Allah, maafkan aku kalau mas Ali jd pengalihan krn sebenarnya aku hanya merasa lelah dgn pekerjaanku" Aku lgsg teringat mas Ali. Makin tak tega aku padanya, tdk ada kenginan sedikitpun untuk menikah dengannya sampai detik ini. "Kamu gimana sm anak itu?" Tanya Mama tiba-tiba. Ah.. Mama memang sering kali melempar pertanyaan tiba-tiba. Mengagetkanku. Akhirnya aku jujur pada Mama mengenai mas Ali, tdk ada perasaan apapun padanya. Tdk ada kenginan untuk menikah dengannya. "Ya kalau ga mau bilang lah, kasian anak baik-baik cuma digantung" Mama ketus sekali kalau soal Mas Ali. Benar, kasihan mas Ali. Kebetulan sekali, mas Ali meminta izin untuk main kerumah besok. Keesokannya, "Mas Ali, aku minta maaf. Aku ga bisa untuk punya hubungan yg serius sama mas" Aku lihat betul raut wajahnya, ia menunduk, matanya seperti menahan tangis. "Gapapa Na, mungkin belum saatnya. Maaf ya Na kalau aku banyak salah" Kami kemudian bersalaman, saling melempar senyuman dan berusaha mencari topik obrolan lain untuk mencairkan suasana. Kini, aku akan memulai semuanya dari awal lagi. Karirku maupun percintaanku. #5CC #5ccday15 #careerclassqlc #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CoKj8VtStW9/?igshid=NGJjMDIxMWI=
8 notes · View notes
nonaatata · 1 year
Text
#05 : Lega
Aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun, termasuk Nendra. Mendengarkan penjelasan panjang lebar dari dokter tadi saja sudah sangat menguras tenagaku. Rasa-rasanya aku ingin pulang saja dan tidur sampai menjelang malam nanti. Tapi menolak ajakan Nendra adalah menguras energi dengan cara lainnya. Jadi untuk sekarang aku cukup mengikuti saja kemana kami akan makan.
Sembari menunggu Nendra memesan makanan kami, aku mengingat kembali apa saja yang disampaikan oleh dokter. Di tengah sedihku yang membuncah, aku merasakan kelegaan luar biasa. Aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tahu kenapa hatiku nyeri sekali. Aku tahu kenapa aku menjadi begini. Aku tahu apa yang nanti harus aku lakukan. Latihan apa yang harus aku fokuskan. Meski ini keberanian awal namun aku bisa pastikan kalau aku bisa menggulung keberanian menjadi sebesar itu.
“Sudah,” Nendra duduk di depanku setelah menyelesaikan misi memesan makanan kami. “Kira-kira mau cerita tidak?”
Aku tersenyum, “Kalau besok saja gimana.”
Nendra tersenyum sembari mengumam “Kapan pun kamu mau.”
“Kamu gak mau cerita tentang yang kemarin?”
“Tanpa aku cerita sebenarnya kamu pun sudah tahu, Ta. Aku sudah selesai.”
Kemudian kami menatap makanan yang baru saja datang.
 Finish.
9 notes · View notes
alfinamusfira · 1 year
Text
Tumblr media
Aku berjalan dengan ragu menuju ruang dosen pembimbingku. Rasa sesak dalam dada kuhempas dalam beberapa kali helaan. Batinku lirih menyapa seluruh ruangan, “Hai i’m back! Please be nice!” Aku memulai kembali untuk melanjutkan skripsiku yang terbengkalai setelah hampir satu tahun. Sebuah keputusan yang didasari oleh permintaan Mama dan juga kejadian besar beberapa waktu lalu.
Ya, sejak kejadian Nisa mengamuk waktu itu, Mama kembali bisa berbicara meski belum lancar. Papa juga akhirnya mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya bahkan ia memutuskan untuk mengganti nomor teleponnya dan keluar dari semua grup teman sekolahnya. Papa memang lebih dekat secara emosional dengan Nisa, jadi melihat putri satu-satunya berteriak bagai orang kerasukan mungkin membuatnya takut dan menyadari kesalahannya. Aku meminta Mama dan Nisa untuk berkonsultasi dengan psikolog, dan syukurnya mereka setuju. Papa juga lah yang setia mengantarkan mereka berkonsultasi. Papa, berubah kembali menjadi dirinya dahulu.
“Loh mas Raka!” Sapa suara yang amat ku kenal.
“Eh ya Ra.”  Dari sekian banyak mahasiswa, kenapa harus kamu yang pertama kali ku kenal Ra. Batinku
“Wah lama ngga ketemu mas, aku juga nggak bisa ngehubungi mas Raka sejak waktu itu. Apa kabar? Mama gimana kabarnya? Mau ketemu bu Diana ya?”
“Iya Ra, fokus ngurusi Mama kemarin. Baru lanjut nih skripsinya.”
“Ah begitu, semangat ya mas!! Oiya, lusa aku seminar proposal Mas. Kalau luang datang ya??”
“Nggak janji ya Ra, tapi akan aku usahakan.” sahutku.Rara tersenyum dan pamit untuk menemui dosen pembimbingnya.
Aku mengamati punggungnnya yang menjauh, aku berandai-andai, jika waktu itu aku jadi menyatakan cinta, akan seperti apa hubungan kira sekarang Ra?
“Hai Raka! Welcome back! Sudah nunggu lama?” Suara Bu Diana mengagetkanku.
“Selamat siang Bu, belum kok bu.”“Oke, kita langsung bahas saja ya, saya sudah menerima email dari kamu kemarin, bab 4 sudah saya baca, ada beberapa hal yang perlu kamu perbaiki. Target saya 2 minggu ini kamu selesaikan sampai bab 5 agar kita bisa segera sidang. Siap kan ngebut ngerjainnya?”
“Siap bu!” Jawabku tegas.Sepulang dari bimbingan, aku pergi ke perpustakaan untuk melengkapi materi yang aku butuhkan. Aku bertekat kuat agar aku bisa lulus semeter ini dan ikut wisuda di tahun depan, sesuai permintaan Mama. 
Dunia memang sedang berbaik hati kepadaku, di perpustakaan pun aku bertemu dengan Rara, ia sedang berkutat dengan buku dan laptopnya, entah kenapa tanganku reflek untuk memotretnya, Rara selalu cantik dalam kondisi serius maupun bercanda.
-----------------------------------oo------------------------------------
Mama terlihat sumringah dibantu Nisa memakai kebayanya. Papa terlihat beberapa kali berdiri di depan kaca, membenarkan posisi jas dan dasinya. Sesuai janjiku, aku berhasil menyelesaikan skripsi dan sidang tepat waktu, hingga tibalah hari ini, aku akan wisuda.
Aku mengenakan dasi pemberian Rara saat sidang kemarin. Padahal aku tak memberitaukan siapapun jadwal sidangku, namun rupanya dialah orang pertama yang aku lihat di depan ruangan sidangku. Dia juga yang membantuku mengurusi yudisium dan pemberkasanku. Sayangnya kami tak bisa wisuda bersama, sebab kami berbeda gelombang kelulusan. Yang aku tau, dia akan wisuda di pertengahan taun nanti.
Prosesi wisuda berjalan dengan lancar, aku memang gagal menjadi wisudawan terbaik, namun melihat swafoto yang Papa dan Mama yang sedang tersenyum lebar di grup keluarga sudah cukup bagiku. Nisa dan Rino tak mau kalah, mereka menunggu di luar sembari makan es krim kesukaan Rino. Tak ada kebahagiaan yang lebih lengkap daripada melihat keluarga kami utuh kembali.
Acara wisuda telah selesai,saat keluar dari gedung aku melihat banyak wisudawan dengan kondisi beragam, ada yang membawa pasangan, ada juga yang berkumpul bersama teman-temannya, ada yang sedang diarak satu fakultas, namun ada juga yang berjalan sendirian. Aku mengajak Papa dan Mama untuk berfoto di studio saja, jadi kuminta mereka langsung menunggu di mobil sementara aku masih menemui beberapa rekanku. Kami mengobrol dan berfoto bersama, mereka memberiku beberapa bucket bunga.
Ketika hendak berpamitan, aku melihat nama Rara muncul di panggilan teleponku. Dia menanyakan dimana aku, apakah sudah pulang? Aku menjawab posisi dimana aku berada. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Tak lama, suara Rara terdengar.
“Mas Rakaaaa, akhirnya ketemu juga!”
Dia menghampiriku setengah berlari, aku tersenyum kecil melihatnya.
“Pelan-pelan Ra.” ujarku
“Selamat ya sudah sarjana! Nih…” katanya sembari mengulurkan sebuah kotak kado.
“Wah, apalagi ini, kan kemarin sudah?”
“Ini, kemarin aku checkoutnya nggak barengan, jadi yang satu sampai duluan, yang satu telat haha. Yaudah aku kasih aja deh pas wisuda.” Jawabnya.
“Makasih lo Ra, repot-repot.”
“Tenang, nggak repot mas. Eh bentar, dasinya dipakai? Wahhh cakep ya ternyata.” Rara menyadari dasi yang aku pakai. Aku terkekeh.
“Kalian mau difotoin bareng ngga?” tawar temanku tiba-tiba.
“Boleh boleh.” Jawab Rara.
Dia kemudian berdiri di sebelahku, kami berfoto berdua, untuk pertama kalinya.
Tak lama Mama menelpon, memberitahukan kalau si Rino sudah protes berat, lapar dan ingn pulang. Mama pun menyuruhku segera ke mobil.
Aku berpamitan kepada Rara dan rekan-rekanku.
Baru beberapa langkah, aku menoleh kembali ke belakang, ku lihat Rara juga sudah berjalan ke arah berbeda. Ingin rasanya hatiku berteriak, memanggil Rara dan memintanya ikut denganku. Namun sekuat hati ku tahan, saat ini, belum waktu yang tepat. Masih banyak yang perlu aku usahakan untuk diriku sendiri dan keluargaku.
“Ra, aku berdoa semoga Tuhan dengan segala rencana baiknya, bisa mempertemukan kita kembali, dalam keadaan yang sudah lebih baik, dan dalam keadaan aku siap melamarmu. Boleh tunggu sebentar lagi Ra?” batinku sembari memandangi punggung Rara yang perlahan menghilang tertutup keramaian.
EPILOG Aku meminta Nisa untuk mengantarkan kotak kado yang sudah aku sediakan untuk Rara. Kotak kado yang ternyata butuh waktu hampir 4 tahun untuk aku sampai ke pemiliknya. Nisa protes, meminta kotaknya sekalian saja ditaruh di kotak seserahan, namun aku menolak, dia harus tau sebelum acara kami dilangsungkan besok. “Nisa gojekin aja ya mas, capek tau ngurus ini, ngurus itu.” “Hmmm, yaudah deh boleh. Duh kasian adek mas capek, mau ditransfer berapa?” Nisa langsung sumringah, “Ih, kalau ada duitnya ya aku aja yang anter.” ucapnya bersemangat dan berangkat untuk mengantarkan kotak tersebut. Aku tertawa melihat kelakuannya. Nisa sudah mahasiswa saat ini, semester 4. Dia mengambil jurusan kedokteran, sesuai cita-citanya dulu. 
20 menit berlalu, Nisa belum tiba di tempat kami menginap, namun sudah ada telepon dari Rara. “Halo mas! Assalamualaikum! Ya ampun ini apa mas? Ini dari kapan buatnya? Niat banget sih.” cecar Rara. “Waalaykumussalam. Inget nggak yang waktu aku ajak kamu ketemu di Cafe Ruang Baca waktu itu? Hehe aku mau kasih itu Ra.” “Ih, mas Raka udah suka sama aku ya dari dulu kalau gitu?” “Ya ampun mas, ini so sweet banget lo. Aduuuh, akadnya nggak bisa dipercepat aja?? Sekarang yuk nikahnya mas!” Aku tertawa mendengar celotehan Rara, calon istriku.
”Ra, akhirnya kesempatan itu rupanya memang milikku, sedari awal. Tuhan dengan semua kuasaNya mengizinkan kita untuk bertemu lagi, makanya aku pernah bilang kan, kalau pertemuan kita bukan kebetulan biasa.”
19 notes · View notes
aalyafrst · 1 year
Text
What Will I be? (5)
"Kamu semester berapa to mbak?" tanya Bu Tin, dosen pembimbing Feifei, saat ia menemuinya.
"Sekarang semester sebelas, Bu," jawab Feifei dengan jantung berdebar.
"Disambi kerja atau gimana? Kok baru bimbingan lagi?" tanya beliau lagi.
"Enggak, Bu. Dulu sempat takut setelah lulus mau ngapain" jawabnya.
"Takut gak dapat kerja? Yang penting itu kamu lulus dulu. Selesaikan tanggung jawabmu di sini. In syaa Allah nanti rezeki akan ngikut. Ini ada sedikit revisi. Segera diperbaiki ya. Jangan ngilang lagi," nasihat Bu Tin.
"Hehe. Baik, Bu," jawab Feifei sembari nyengir.
"Sekalian urus persyaratan sidang ya. Besok revisi terakhir langsung daftar sidang aja."
Mendengar perkataan itu, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa belum siap. Tapi ia juga tidak berani menyangkal perintah dosennya.
Beberapa minggu berlalu, kini ia tengah berdiri di depan mengenakan jas almamater dengan ditemani pancaran sinar proyektor yang menampilkan layar laptopnya. Setelah dua minggu ia sempat menghilang lagi pasca bimbingan terakhir kali, akhirnya kini ia menjalani sidang.
Selama dua minggu itu, ia memberanikan diri bertanya pada sahabatnya. Memberanikan diri meminta untuk bantuan temannya. Ia juga memberanikan diri untuk bercerita ketakutannya tentang kehidupan pasca kampus. "Pasca kampus itu jangan dipikirin, toh nyatanya aku baik-baik saja walau belum mendapat pekerjaan tetap. Selesaikan dulu tanggung jawabmu, jangan jadi donatur kampus," ucap salah seorang sahabatnya yang sudah lama lulus.
Setelah menyelesaikan presentasi atas skripsinya, Feifei dapat menjawab pertanyaan mengenai skripsinya dengan lancar. Namun di akhir, ia tak lepas dari pertanyaan kemana ia selama ini. Kembali Feifei menceritakan ketakutannya di depan ketiga dosennya. Dan jawaban yang ia terima pun sama, "setelah kuliah gak usah dipikirkan. Yang terpenting kamu dapat gelar dulu nanti rezeki akan ikut, Mbak," ucap salah satu dosen pengujinya.
"Ah, akhirnya lulus juga. Setelah ini ngapain ya? Kerja atau refreshing? Apa ikut volunteer kayak Mbak Nai?" Feifei bermonolog setelah ia mendapat surat kelulusannya.
SELESAI
-alfrst-
Smg, 02-02-23
7 notes · View notes
nithata · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
ririsxamelia · 1 year
Text
Kapan?! #5
Jagain Jodoh Orang
"Serius? Sejak kapan?"
"Ya serius lah, makanya aku kasih undangannya. Sekitar setahun lalu, waktu aku apply beasiswa ke UK, tapi gagal."
Ringgo tercekat. Dia belum bisa memproses kejadian barusan. Marsha akan menikah. Seketika keyakinannya akan masa depan yang dia impikan sirna.
Semua orang tahu bahwa Marsha dan Ringgo lebih dari sekadar teman. Sejak tahun pertama kuliah, mereka tak terpisahkan. Meski berbeda jurusan, mereka mengikuti organisasi kampus yang sama. Jika Ringgo jadi ketua, maka Marsha adalah bendaharanya. Jika Marsha menjadi seksi acara, Ringgolah seksi dokumentasinya. Semua orang mengira mereka akan wisuda bersama lalu menikah, menjadi couple legendaris dari fakultas ISIPOL.
Tidak ada yang menyangka bahwa Marsha akan menikah dengan salah satu dosen muda dari kampus sebelah. Mereka bertemu saat Ringgo hilang dari jangkauan Marsha. Awalnya dia yakin Ringgo akan segera kembali sehingga tak mau membuka hatinya untuk siapapun. Setelah menunggu lelaki yang disukainya tak pernah berkabar selama dua tahun terakhir, dia memutuskan untuk berhenti berharap.
Butuh beberapa hari bagi Ringgo untuk menjernihkan pikirannya. Awalnya dia menyalahkan keadaan, menyesali keputusan-demi keputusan yang ia buat sejauh ini. Hingga akhirnya dia sadar bahwa inilah yang terbaik bagi Masrha dan juga dirinya. Saat ini, posisinya berada terlalu jauh, jauh tertinggal dibelakang Marsha. Ringgo dengan skripsinya, Marsha dengan rencana S2-nya. Marsha sudah siap untuk membangun keluarga barunya, Ringgo baru selesai membangkitkan kembali keluarganya. Mereka berdua menempuh jalur yang berbeda. Ringgo belum siap untuk melangkah. Dia masih tertahan di persimpangan jalan.
~
"Kapan pulang Nak?"
"Sabar ya, Mah. Dua minggu lagi. Masih ada dokumen yang harus diurus. Mau sekalian legalisir ijazah juga."
"Yaudah diberesin dulu aja, jangan lupa foto wisuda kamu diambil. Biar bisa Mamah pajang di ruang tamu."
"Oke, siap Bos!"
Ringgo menutup telfon Ibunya untuk bersiap-siap pergi ke kampus. Sejak wisudanya sebulan lalu, dia tidak pernah rehat sedikitpun. Kesibukan barunya menuntut jam kerja dan fokus yang tinggi karena kalau tidak, sekali salah dia akan kena tegur selama tiga hari berturut-turut. Setelah resmi mendapat gelar sarjana, Bu Reva langsung merekrut Ringgo menjadi asistennya untuk mengajar mahasiswa baru. Tidak ada mahasiswa lain yang mampu bertahan dibawah limit kesabaran Bu Reva yang setipis tisu, selain Ringgo. Dia sudah terbiasa dengan pedasnya omelan Bu Reva yang mengalahkan seblak level 5. Justru berkat omelan-omelannya, skripsi Ringgo yang terancam gagal rampung, akhirnya berhasil dia selesaikan dan mendapatkan nilai nyaris sempurna. Setelah patah hatinya karena menjaga jodoh dosen kampus tetangga, Ringgo memutuskan tetap berada di lingkungan kampus untuk sementara waktu. Dia ingin lebih mengenal dirinya, menemukan apa sesungguhnya yang ia cari selama ini, mencari kesempatan dan petualangan baru.
The End.
4 notes · View notes
nadhifsyahramin · 1 year
Text
Tumblr media
[Laila Bagian 5]
Semenjak kepulangan Rose, aku menjadi lebih bersemangat. Walaupun pertemuan kami sebentar, namun dampak positif bagi hidupku amat terasa. Beginikah dampaknya bila bertemu teman se-frekuensi. Hari-hariku mulai dipenuhi dengan semangat dan optimisme. Daya tahan tubuhku lebih baik, aku sudah jarang sakit pusing dan demam. Aku mengingat apa yang Rose katakan  sebelumnya, aku harus mencari teman dan lingkaran kebaikan lainnya. Tak hanya menggantungkan semuanya pada Rose dan Kak Dian. Wah, aku bahkan sampai lupa pada Kak Dian karena terlampau senang bisa bertemu kembali dengan Rose.
Sabtu siang saat tanggal merah dan aku seharian berda dirumah sembari memotong pola jahitan baju, tiba-tiba ada tukang paket datang ke rumah. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata yang datang adalah sebuah mesin jahit. Aku menerimanya dengan rasa penasaran, siapakah pengirimnya. Dan muncul salah satu nama yang familiar bagiku pada sepucuk surat yang tertempel di salah satu sisi kardus paket. Aku melepasnya dan membaca surat itu..
“Dear Laila…, halo apa kabar? Semoga Laila dalam keadaan sehat walafiat ya. Maafkan kakak sudah lama tidak berkabar. Handphone kakak hilang saat berwisata bersama anak-anak TK. Sepertinya diambil orang. Kemarin kakak tidak sengaja bertemu Rose, temanmu di kereta api menuju Jakarta. Tempat duduknya bersebelahan dengan kakak. Kami mengobrol basa-basi awalnya sampai Rose bercerita semua tentangmu. Kakak juga merasa ikut bersalah karena tak lagi menghubungimu. Mohon maafkan kakak, Laila. Mohon terima  hibah mesin jahit kakak. Mesin jahit bekas ini masih bagus dan berfungsi dengan baik. Mesin ini salah satu mesih jahit kesayangan Bibi kakak. Dia seorang penjahit yang ulet, dan punya usaha konveksi sekarang. Aku memintanya satu dan membolehkannya hehe, tentunya dengan rayuan maut  dari kakak hihi. Pokoknya kamu pakai saja ya, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Salam untuk bundamu tersayang.”
Salam sayang dari Kota Hujan Dian Andini.
Aku mengucap syukur tak henti-hentinya. Air mataku mengalir deras. Surat kak Dian pun basah oleh tangisku. Ternyata Kak Dian tak melupakanku. “Terimakasih Rose, Kak Dian. Aku bersyukur Allah mempertemukanku dengan kalian. Semoga persahabatan ini kekal”, ucapku lirih.
-The End-
3 notes · View notes
fanicahya · 1 year
Text
Pilihan Hidup (selesai)
"Ma, kunci mobilku dimana ya?"
"Ma, jam tanganku dimana ya?"
"Ma, kacamataku taruh dimana ya?"
"Ada di atas meja Pa"
"Tidak ada Ma, sudah Papa cari tidak ada"
Seorang wanita menemukan barang yang dicari suaminya di samping laptopnya.
"Ini lho Pa, ada disini ini lho"
"Memang harus kamu yang cari biar cepet ketemu. Kalau sama aku barang-barang selalu ngumpet" usil Hendra
"Dasar kamu ya. Udah cepat berangkat, keburu Aksara nunggu lama di sekolahnya nanti merujuk minta ini itu"
"Siap Sayangku. Papa pergi. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" sang istri mencium tangan Hendra
Hendra pun bergegas menuju sekolah Aksara. Sesampai di sekolah dan menemukan putri tercintanya, langsung dipeluklah sang anak.
"Papaaaaaaaa....Papa lama sekali, Aksara udah nunggu lama lho" keluh Aksara
"Maafkan Papa ya anak Papa yang paling cantik. Yok kita pulang, Mama udah masakin makanan kesukaan Aksara, mie goreng dan nugget ayam kan" bujuk Hendra sambil mencium Aksara
"Yeayyy asikkk"
Saat menuju mobil, dia disapa oleh seorang wanita yang tak lain adalah Mama dari Jeni, teman sekolah Aksara
"Halo Hendra, gimana kabarnya? masih inget aku kan? Halo Aksara, Jeni sering banget ceritain kamu ke Tante lho, kapan kapan main kerumah Tante ya" sapa wanita itu kepada Hendra dan Aksara
"Hmmm Candra bukan ya? Oh, Long time no see. Alhamdulillah Aku sehat. Anakmu juga sekolah disini ternyata?"
"Iya ini. Syukurlah kalau keluargamu sehat-sehat" jawab Candra
"Papa kapan kapan boleh ya main ke rumah Jeni" pinta Aksara kepada Hendra
"Siap putriku" jawab Hendra dengan pose tangan ala tentara yang lapor kepada komandannya
"Oke Candra, saya pamit duluan ya"
"Oke Hendra. hati-hati dijalan"
Hendra dan Aksara pun masuk mobil dan melajukan mobilnya ke arah Toko Kue untuk mengambil kue ulang tahun yang sudah dipesan beberapa hari sebelumnya. Sesampainya dirumah, Hendra memberikan surprise kepada sang istri.
"Selamat ulang tahun Mamaku tercinta" Aksara memeluk sang mama
"Selamat ulang tahun istriku tercinta, barakallah fii umrik" diciumlah kening sang istri
"Terima kasih Papa dan Aksara" ucap istri Hendra sambil memeluk Hendra dan Aksara
Mereka bertiga melakukan selebrasi dan tak lupa berfoto bersama. Tiup lilin dan potong kue.
"Kue nya cantik sekali, sayang kalau di potong yaa. Ini pasti pilihan Aksara. Tau aja Mama suka coklat" cubit hidung manja sang istri kepada Aksara
"Hehe tau aja Mama, ayo Ma, Aksara sudah ingin makan kue. Lapar"
"Siap sayang"
Sang istri pun memotong kue warna coklat dihiasi dengan buah strawberry diatasnya dan bertuliskan "Happy Birthday Nisa (Istri dan Mama terhebat)"
(selesai)
------------------------------------------------------------------------------
8 tahun yang lalu Hendra memilih dan memutuskan untuk tidak menyetujui permintaan dari Mama dan Papa Candra. Terjadi adu mulut dan pertiakian yang sengit antara Hendra dan Papanya saat itu. Hendra bersikukuh untuk tetap melanjutkan keinginannya sebagai penulis dan creator komik. Mama Hendra membantu menengahi antara Hendra dan sang suami yang sama sama keras kepala. Singkat cerita, Hendra pun meneruskan perjalanan karirnya hingga sampai pada titik dimana dia bisa mapan secara finansial dan Papanya pun juga sudah berdamai.
2 tahun kemudian, Hendra mendapatkan kabar bahwa Nisa sudah kembali ke Tanah Air dan mengetahui bahwa ia belum memiliki pasangan. Dengan kekuatan tekad dan kesiapan yang sudah dia siapkan sejak berpisah dengan Nisa, Hendra tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Didatangilah rumah Nisa, dan meminta restu dari Mama dan Papa Nisa. Setelah mendapatkan restu dari kedua orang tua masing-masing, berlangsunglah pernikahan Nisa dan Hendra yang cukup sederhana namun penuh makna. Setelah menikah, Nisa dan Hendra mendapatkan karunia seorang putri yang cantik jelita yang lahir tepat 2 tahun pernikahan mereka yang diberi nama Aksara Firda Widhiani.
3 notes · View notes
tanyavanya · 1 year
Text
Tumblr media
Tak terasa 1 tahun berlalu setelah Ayah meninggal. Perasaan itu tetap saja tidak bisa ku terima. Keluarga dimana aku dapat bertumbuh memang mungkin tidak bisa kupilih, namun ini hidupku. Bukankah terus menerus menyalahkan pola asuh orang tua juga bukan sesuatu yang baik?
"Ayah, maaf baru sempat kesini lagi untuk menjenguk Ayah. Ayah, Kyo minta maaf ya atas perkataan Kyo kala itu. Terimakasih sudah menjadi Ayah yang baik bagi keluarga. Kyo sayang Ayah."
Tak terasa air mataku jatuh diatas pusara Ayah. Setelah setahun, baru hari ini aku berkunjung lagi ke pusara Ayah.
Hal yang tak aku pahami saat kecil, mulai terlihat ketika aku dewasa. Apa yang harus aku katakan. Apa yang harus aku lakukan. Aku mulai menyadari hal itu.
Dengan menyalahkan pun tidak dapat membuat aku berkembang, aku justru hanya focus pada kebencian itu. Melelahkan ternyata.
Sepanjang perjalanan 1 tahun ini, aku belajar banyak hal. Belajar dimana aku harus menerima. Menerima bahwa segala sesuatunya sudah terjadi dan tidak bisa diubah. Apa apa yang belum terjadi, itulah yang saat ini masih bisa ku ubah.
Teruntuk aku 1 tahun lalu, terimakasih sudah bertahan sejauh ini. Terimakasih untuk terus bersedia belajar dan menerima. Pasti tidak mudah bukan? Tapi inilah aku sekarang, tujuan hidupku sudah kutemukan. Bagaimana rasanya? Melelahkan sekali ya? Namun, demi menemukan tujuan hidup, bukankah langkah pertama yang harus ku lakukan adalah menerima?
=================
END.
2 notes · View notes
nqamariah · 1 year
Text
[PELABUHAN - SEGMEN 5]
“… satu hal yang pasti Kal, sejauh apapun sesuatu pergi pasti akan kembali menemui tempatnya bahkan dengan cara yang tidak disangka-sangka.” lanjut Bapa Ahad sembari memerhatikan Kale yang masih fokus dengan benda yang digenggamnya, kalung dengan liontin cincin yang diberikan ibu Kale kepada anak semata wayangnya. Benda yang selalu ikut kemana kaki Kale melangkah, benda terakhir yang diberikan sang ibu sebelum meninggalkan Kale dan ayahnya.
Sebelum didahului Kale, Bapa Ahad menyambung perkataannya, “Itu Bapa dapat di buritan kapal beberapa hari lalu. Simpan baik-baik jangan sampai hilang lagi. Lihat Kal terbukti kan, barangmu ini walupun sempat hilang tapi ujung-ujungnya Bapa yang temui dan kembali. Karena apa? karena ini sudah takdirnya kembali ke tanganmu.”
“Kamu tahu Kale Bapa sama Mama Alyona punya satu anak namanya Kaihulu, tapi dia lebih pergi lebih dulu dibanding Bapa dan Mama. Dia sering sakit-sakitan sampai satu waktu akhirnya tubuh kecilnya menyerah. Butuh beberapa waktu bagi Bapa untuk terima kenyataan itu. Bapa mengasingkan diri dari sekitar, tidak pernah berinteraksi dengan orang luar. Terlalu besar rasa bersalah Bapa ke Mama karena tidak bisa melindungi anak kami satu-satunya. Sampai satu waktu Kai datang di mimpi Bapa, dia minta Bapa melakukan sesuatu. Aneh betul kan, tapi dari situ Bapa memberanikan diri untuk keluar dan kamu bisa lihat sekarang bagaimana akhirnya. Satu hal yang Bapa sadari Kale berani itu bukan persoalan tidak takut tapi karena berhasil mengalahkan rasa takutmu makanya disebut berani. Semua keputusan ada ditangan kita Kale, mau hidup bagaimana yang dijalani.”
“Kale, orang lain tidak akan tahu kalau kamu tidak beritahu. Manusia itu bukan sosok yang bisa tahu segalanya hanya dari mengandalkan panca indranya, manusia bukan cenayang. Jangan hidup untuk orang lain Kale tapi hidup untuk dirimu sendiri. Tidak masalah kamu sempat salah arah tapi yakin akan ada lumba-lumba penunjuk arahmu semisal Banda Neira mungkin.” sambung Bapa Ahad.
“Lepaskan, Kale. Banda Neira selalu siap jadi tempatmu membuang sauh.” ucap Bapa Ahad sembari menepuk bahu Kale kemudian berdiri untuk menjalankan kapal.
Kale kembali termenung sembari menghayati segala ucapan Bapa Ahad yang berhasil membuka gembok perkara di dirinya. Setelah beberapa waktu Kapal Bapa Ahad pun menepi di tepi dermaga. Kale segera turun untuk membantu Bapa Ahad menurunkan hasil tangkapan mereka kemudian duduk di pinggiran dermaga dan mengambil ponsel yang ada di sakunya untuk mengirim pesan kepada seseorang nan jauh disana. Setelah mengirimkan pesan Kale menyimpan ponselnya dan berbaring di dermaga sembari menatap langit Banda Neira.
“Selamat datang kembali, Kaleandra. Mari hidup lebih baik dan berani!” ucap Kale pada dirinya sendiri.
Di belahan bumi lainnya seseorang sedang melihat pesan yang baru saja diterima di ponsel pintarnya, dialah Ara.
“𝘏𝘌𝘠𝘠, 𝘙𝘈𝘈𝘈. 𝘒𝘢𝘯𝘨𝘦𝘯 𝘺𝘢𝘢?? 𝘏𝘪𝘩𝘪, 𝘮𝘢𝘢𝘧 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘯𝘨𝘢𝘣𝘢𝘳𝘪𝘯. 𝘔𝘢𝘶 𝘪𝘯𝘧𝘰𝘪𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢 𝘬𝘦𝘳𝘦𝘯 𝘒𝘢𝘭𝘦𝘢𝘯𝘥𝘳𝘢 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬 3 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘫𝘦𝘮𝘱𝘶𝘵 𝘥𝘪 𝘣𝘢𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘢. 𝘕𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘸𝘢𝘬𝘵𝘶 𝘧𝘭𝘪𝘨𝘩𝘵 𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘶 𝘬𝘢𝘣𝘢𝘳𝘪𝘯. -𝘒𝘢𝘭𝘦, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘉𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘕𝘦𝘪𝘳𝘢.”
Ara pun tersenyum simpul melihat pesan yang baru saja masuk itu. Baru saja ingin menyimpan ponselnya tiba-tiba muncul lagi pesan lainnya.
“𝘙𝘢, 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘉𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘕𝘦𝘪𝘳𝘢 𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘥𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘴𝘪𝘯𝘪. 𝘖𝘩𝘪𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘙𝘢, 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘚𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘚𝘺𝘢𝘩𝘳𝘪𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘬𝘦 𝘉𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘕𝘦𝘪𝘳𝘢, 𝘩𝘦𝘩𝘦. 𝘚𝘢𝘣𝘢𝘳 𝘺𝘢𝘢 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘰𝘣𝘢𝘵𝘪.”
Satu pesan yang berhasil mengundang gelak tawa Ara.
Begitulah Banda Neira menjadi pelabuhan bagi manusia yang sedang mencari kemana hidupnya akan berlabuh. Banda Neira tidak pernah gagal menjadikan manusia, alam da hidup menjadi sedekat nadi.
0 notes
fajarrpriyambada · 1 year
Text
Asmaradana (end)
Tumblr media
"Assalamualaikum, Abah.. punten, kalau boleh saya mau minta tolong ", kataku
"Waalaikumsalam, bagaimana A? Sok atuh, kalau abah bisa bantu, Insya Allah abah bantu", jawab Abah
"Begini Abah, saya ada perasaan sama si neng geulis anak pak Haji, yang biasa ngajar ngaji di TPQ depan",
"Neng Nisa maksudnya?", Abah Meyakinkan lagi pertanyaannya.
Jujur, aku baru tahu namanya setelah abah mengatakannya tadi.
"Nah iya Abah",
Abah terlihat senang sekali, seperti gayung bersambut. Rupanya mereka tidak keberatan sama sekali untuk membantuku.
Keesokan harinya aku bertamu ke tempat Pak Haji. Dengan didampingi Abah dan Emak, aku menyampaikan niat baikku untuk ta'aruf dengan neng Nisa, sekaligus aku menyampaikan permintaan maaf karena bapak ibu belum bisa langsung hadir. Aku menyampaikan ke keluarga Pak Haji, kalau memang tidak mau berpacaran, jika ta'aruf ini cocok, tidak perlu waktu lama aku akan meng-khitbah-nya. Pak Haji sepertinya setuju dengan prinsipku, beliau mengijinkan kami untuk ta'aruf dengan mediasi orang lain tentunya.
Proses ta'aruf terasa sangat cepat, kami menemukan kecocokan dan juga menemukan kekurangan masing-masing yang tentu masih dapat kami tolerir. Tidak terasa, bulan depan kami akan melangsungkan pernikahan. Bapak ibu juga terlihat senang sekali dengan kesantunan dan keshalihahan Nisa, calon Istriku. Bayangan ketakutan mereka di masa lalu, asumsi-asumsi mereka telah terpatahkan semua. (End)
0 notes
agiretnopersada · 1 year
Text
#5
“keluar kamu!” ucap ibu dospem 2 ku. Beliau mengusir aku di depan teman-teman yang lain yang saat itu konsultasi. Alasannya karena aku tidak membawa buku referensi sebagai penguat dari latar belakang, bab 1 yang ku tulis. Sudah berminggu-minggu aku mencari referensi dari buku dan jurnal tentang jengkol ataupun kerupuk tapi tidak ada hasil. Kucoba kembali membujuk ibu dospem agar di acc perangkat validasiku tapi yang ada beliau makin marah dan aku berakhir menahan air mata. Sejak hari itu, 3 bulan aku vakum konsultasi, perpusnas, perpustakaan UI, perpustakaan IPB, jurnal online semua aku sambangi dan berakhir dengan tangan kosong tak ada referensi yang kucari. Hari itu entah sudah berapa kali aku menyambangi perpusnas, sudah capai dan menyerah tapi Allah baik sekali bantu semuanya, refernsi yang dicari akhirnya ketemu, tak tanggung-tanggung 5 buku sekaligus! Padahal sebelumnya buku itu tidak ada.
#5CC #5CCday15 #careerclassQLC #bentangpustaka
0 notes
arufikalam · 1 year
Text
-Gelisah-
Tumblr media
.
"Aku ingin menata hidupku sendiri, mengambil keputusan dan menjalaninya dengan caraku. Aku tidak ingin kelak menjadi manusia yang penuh penyesalan karena tidak pernah mencoba hal-hal yang benar-benar aku ingin lakukan,"jelas Tiyan panjang lebar setelah melihat raut ibunya masih terheran-heran.
"Mau jadi tukang foto seperti katamu itu?."
"Apapun itu, Tiyan ingin mencoba,"tutur Tiyan dan Ibunya hanya terdiam.
"Bu, Ijinkan aku merasakan jatuh bangunnya perjuangan. Biarkan aku mengerti bagaimana rasanya gagal dan manisnya keberhasilan yang aku capai dengan upayaku sendiri. Selama ini, aku selalu mengikuti semua kemauan ibu, mulai dari sekolah, jurusan kuliah sampai dengan pekerjaan selalu ibu bantu tanpa pernah ibu beri pilihan."
"Ibu hanya tidak ingin waktumu terbuang sia-sia, ibu berikan pendidikan yang terbaik, ibu bantu kamu masuk ke perusahaan yang bagus melalui Deva, supaya kamu tidak kesulitan, nak. Apalagi sepeninggal ayahmu, hanya kamu harapan ibu satu-satunya."
"Aku tau apapun yang ibu lakukan dan berikan untukku adalah yang terbaik, tapi akupun juga memiliki hak untuk hidupku sendiri. Aku perlu mengenali diriku, bu. Supaya kelak, ketika aku hidup sendiri, akupun punya kendali atas diriku, tidak mudah bergantung kepada orang lain dan juga punya kekuatan untuk menghadapi hidup yang serba tidak pasti di depan nanti. Yang aku butuhkan hanya kepercayaan ibu padaku."
Sang ibu mengangguk perlahan, mencerna setiap kata yang disampaikan putranya,"mungkin ada benarnya juga."
"Dua tahun, ibu berikan kamu waktu dua tahun. Buktikan dan buat ibu percaya bahwa jalan kamu pilih adalah benar-benar yang terbaik untukmu."
"Benarkah? Ibu memberiku restu untuk melakukan apapun yang aku mau?,"tanyanya memastikan dan ibunya mengangguk.
"Terima kasih ibu,"ucapnya lega sambil memeluk ibunya. Kekeliruannya selama ini adalah tidak mengutarakan dengan jelas apa keinginannya. Ibu yang ia kira sekaku itu, dan tidak akan mendengar apapun darinya, justru kini adalah orang yang harus dia percaya setelah dirinya dan kursus fotografi adalah hal pertama yang akan ia akan lakukan untuk memulai mimpinya.
(end)
.
1 note · View note
yunistya-nys · 1 year
Text
Our Blues: Episode 5 (The End)
"Ayah sama Ibu masih sama seperti yang dulu pernah aku ceritakan, Zik. Aku tuh pengen cerita yang sebenarnya ke beliau, tapi bingung harus mulai dari mana. Aku takut... Yaa kamu tau bagaimana orang tuaku yang sudah terlanjur menaruh harapan pada Kak Adit", ujar Naya.
"Kenapa harus takut, Nay? Siapa tau dengan kamu cerita, beliau akan berhenti menanyakan Kak Adit dan menunggunya setiap Sabtu", balas Zika penasaran.
"Orang tuaku berharap lebih jauh dari aku, Zik. Dengan semua yang Kak Adit pernah lakukan padaku, semua interaksinya yang akrab bersama Ayah, semua kebaikannya di mata Ibu... Ujung-ujungnya, ya aku lagi yang salah! Aku dibilang galak lah. Aku terlalu ketus lah. Aku pilih-pilih dan menyusahkan diri sendiri lah. YAAAA GITULAH!!!" "Capek aku, Zik, harus mendengar komentar semacam itu dari orang tuaku sendiri", celoteh Naya dengan suaranya yang bergetar.
Zika terdiam di ujung telepon. Ia merasa bersalah sudah bertanya lebih jauh. Ia tidak mengira kalau ternyata reaksi orang tuanyalah yang membuat Naya terluka. Luka lain yang ia sembunyikan bersama dengan luka yang diperoleh atas perasaannya pada Kak Adit.
"Zik, aku jadi terlalu percaya diri soal Kak Adit juga karena beliau-beliau ini kan... Kamu tau awalnya aku biasa aja. Tapi setelah berkali-kali mendengar respon orang tuaku, aku pikir benar... Ini saatnya aku membuka hati. Ternyata malah begini nasibnya!" "Aku masih kesal! Nanti saja lah ceritanya ke Ayah-Ibu! Aku belum tenang, takut yang ada malah marah-marah nggak jelas!"
"Nay, maaf ya aku sudah menanyakan hal yang seharusnya nggak ditanyakan..."
Bukannya merespon permintaan maaf Zika, Naya justru menimpali pembicaraan dengan kabar mengejutkan.
"Zik, kamu tau nggak?" "Kak Adit mau resign juga, Zik...", isak Naya tersedu-sedu. "Aku belum selesai sama perasaanku, tapi sudah mau ditinggal pergi!", timpal Naya. Ah sial, aku jadi teringat lagi memori kala itu...
---
Setelah melawati malam-malam panjang penuh tanya, akhirnya Naya memberanikan diri untuk menanyakan semuanya secara langsung kepada Kak Adit. Malam itu, keduanya kembali lembur bersama. Untuk kesekian kalinya juga, Kak Adit kembali membicarakan topik-topik aneh, yang menurut Naya tak lazim dalam ranah pertemanan.
Naya tidak mendengarkannya dengan seksama, yang dipikirkannya kali ini adalah bagaimana caranya mengutarakan agar tidak terlihat agresif dan tidak menyinggung. Yuk tarik napaaasss.... Fyuuhh, buang perlahan. Ayo Naya, kita sudahi drama perasaan ini.
"Kak Adit! Gantian aku dong yang nanya! Masa situ terus dari kemarin?!", pinta Naya.
"Weh tumben ada pertanyaan nih. Apa, Nay?", sahut Kak Adit.
"Kak, kok aku ngerasa selama ini ada yang aneh ya di antara kita..."
"Aneh gimana, Nay? Enggak ah"
"Aneh aja kalau aku minta tolong tuh kayak jadi prioritas banget. Padahal sekarang kita terlibat di banyak proyek yang berbeda, kembali ke awal dulu. Tapi kenapa kamu nggak balik kayak dulu juga ya?"
"Maksudnya?"
Naya terdiam. Rasanya sudah terlalu gemas menghadapi Kak Adit.
"Ini yang aneh aku atau kamu ya, Kak? Aku merasa kalau kamu tuh baik banget sama aku, beda sama kamu yang dulu awal aku masuk sini... Semua kebaikan kamu membuat aku bisa melihat kamu sebagai orang yang berbeda, Kak. Orang yang... Spesial, mungkin?"
"Kamu sengaja membuat perspektif itu, Kak? Atau aku aja yang baru sadar sekarang dan jadi berlebihan ya?"
"Jujur, aku nggak tenang kalau cara kita berinteraksi satu sama lain jadi begini. Awalnya aku terima... Terima kasih banget kamu sudah banyak menolong aku, bantu aku survive di sini. Tapi lama-lama ini nggak wajar, Kak"
Naya mengutarakan semua hal yang mengganjal dalam dirinya. Termasuk opini banyak orang yang menganggap ada kejanggalan di antara mereka. Telinga Naya tidak ingin mendengarnya, tapi suara-suara itu terlalu besar dan nyata adanya. Bukan hanya Naya yang merasakannya, melainkan juga orang-orang disekitarnya.
Kak Adit ikut terdiam sampai Naya melontarkan kalimat barusan. Mendadak ekspresinya berubah menjadi kaget sekaligus heran.
"Nay, kamu..." "Kamu baper sama aku?"
Naya tersentak. Tenggorokannya mendadak kering. Ia tersedak air liurnya sendiri. Harus jawab apa dan gimanaa?!
"Nay, aku sudah punya tunangan. Kamu nggak boleh baper sama aku"
"Lah terus selama ini itu maksudnya apa? Kakak sampai kenalan sama Ayah, ikut komunitas sepeda yang sama, main ke rumah? Trus pertanyaan tentang pernikahan, keluarga, dan hal-hal lain berbau masa depan... Itu maksudnya apa?" "Aku nggak paham, Kak. Kalau kakak nggak ada apa-apa, kenapa harus sampai sejauh itu sih?"
Kak Adit hanya memandang Naya bersama dengan wajahnya yang merah padam. Ia menghela napas panjang, beberapa kali. Ia mengambil kursinya, lalu duduk menghadap Naya.
"Nay, kamu itu sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Aku nyaman cerita sama kamu ya karena itu kamu. Kamu yang ramah dan benar-benar mendengarkan, bahkan sebelum aku mulai cerita, kamu sudah tau arahnya. Kamu itu beda dari kebanyakan teman-teman aku..."
"Aku mau melihat keluarga kamu secara langsung karena aku nggak punya itu, Nay. Aku nggak bisa belajar dari keluargaku dan keluarga pasanganku sendiri... Kita terlalu mirip. Keluarga yang dingin, yang hanya membahas hal-hal yang ingin mereka bahas. Kalaupun ada hal lain yang coba aku bicarakan, aku dianggap menyulut api, ngajak ribut. Padahal wajar kan, Nay, kalau aku punya banyak pertanyaan di kepalaku dan aku hanya mau membicarakan hal itu dengan keluargaku sendiri? Dari situ, aku sadar kalau aku nggak bisa ngobrol sedalam itu sama kedua orang tuaku. Sama halnya dengan keluarga pasangan aku, Nay. Tapi keluarga kamu tuh beda. Seyakin itu, aku mau belajar sampai bisa sedekat itu sama Ayah dan Ibu kamu"
Rasanya, kepala Naya mau pecah mendengar semuanya. Matanya mulai berkaca-kaca. Huft, tahan Naya, tahan. Kali ini nggak boleh nangis.
"Nggak semua hal bisa kita bagi dengan sembarang orang, Nay. Kamu dan keluarga kamu adalah salah satunya yang bikin aku nyaman"
"Kamu ingat kan, Nay, aku pernah cerita tentang orang tuaku yang kaget dengan kondisi mentalku lima tahun lalu? Kamu ingat betapa emosionalnya aku menceritakan hal itu ke kamu?! Ya seperti itu kebencian yang aku rasakan, saat beliau pernah berbisik kalau aku adalah anak yang menyusahkan dan bikin pusing keluarga!"
"Kamu ingat kan, bagaimana suara pacarku saat menelepon aku hanya untuk meluapkan kekesalannya dengan hal remeh? Saat itu, aku juga lagi capek, Nay. Kalau aku mau ikut melakukan hal yang sama, apa iya dia mau mendengar tanpa berpikir kalau aku ini mudah mengeluh, sedangkan dia boleh bebas menyatakan sumpah serapahnya?!"
"Aku sudah terlalu sering ditolak sama mereka, Nay. Di lain sisi, aku sudah terlanjur mengambil banyak pilihan dengan sadar. Aku nggak nyaman sama semua itu, tapi aku juga bingung... Berat untuk meninggalkan dia. Keluarganya dan keluargaku... Semua harus diberi penjelasan ulang..."
Kak Adit mulai menceritakan semua ketakutannya terkait kedua orang tuanya dan lingkungan keluarga pasangannya, termasuk calon istrinya sendiri. Penyebab ia mencari kenyamanan baru yang lain. Sungguh tidak habis pikir... Bagaimana bisa kamu merangkai masa depan dengan orang lain yang kamu anggap asing, bahkan untuk sekedar berbagi rasa satu sama lain? Apakah rasa itu hanya rasa cinta? Kan nggak sesederhana itu konsepnya?!
"Memang aku yang salah, Nay", ucap Kak Adit dengan lirih.
Setelah keduanya saling mengungkapkan perasaan, Naya merasa semakin lelah. Ia tak sanggup untuk melanjutkan pekerjaannya di kantor. Ia membereskan mejanya, lalu cepat-cepat pulang. Meninggalkan Kak Adit dalam keheningan malam. Haaaahh, sudah bawa pulang saja lah, dikerjakan di rumah.
---
"Kak, kamu tau kan dalam beberapa minggu terakhir, orang-orang departemen lain sering ke sini mencari kamu? Alasannya kamu sulit dihubungi, kamu lama merespon pesan, kamu ditelepon nggak diangkat... Padahal sama aku, nggak gitu tuh?! Kita aman-aman aja"
Kak Adit hanya terdiam mematung, menatap Naya yang cerewet melontarkan kalimat sepanjang itu. Tak lama sesudahnya, ia kembali mengetik pada layar laptopnya.
"Eh, Kak! Kok kamu diam aja sih? Kamu nggak tau kan kalau aku juga jadi kena marah orang-orang. Aku nggak tau ya mereka ketemu kamu gimana, tapi kalau ketemu aku bawaannya marah terus!"
"Yang hilang dan sulit dihubungi tuh kamu, tapi mereka marahnya sama aku!! Kamu sadar nggak sih, gara-gara kamu, aku juga jadi susah kalau mau minta bantuan orang-orang untuk mengejar ketertinggalan perkembangan proyek-proyek kita yang lain!!!"
"Kalau kamu ada masalah, ya hadapi! Ada kesulitan kerjaan bilang sama aku!! Sini, aku bantu!!! Jangan kayak gini, trus santai banget lihat aku jadi samsak amarah orang-orang?!!"
Kali ini, Naya mengoceh tentang keluhan orang-orang kepada Kak Adit. Ia meluapkan kekesalannya tiada henti. Kak Adit yang mulanya tidak mempedulikan ocehan Naya, sekarang telah memutar posisi duduknya menghadap Naya.
"Iya kah, Nay? Sampai segitunya?", tanya Kak Adit polos.
"LAH?!! Kamu masih bisa nanya kayak gini, setelah tadi kamu lihat aku dimarahin banyak orang?! ", balas Naya. Duh, tahan tahaaann. Sabar, Naya. Sabaaarrr.
Kak Adit tidak merespon. Ia hanya menarik dan menghela napas panjang berkali-kali.
"Maaf ya , Nay. Kamu jadi kena getahnya", ucap Kak Adit pelan. Suaranya benar-benar tidak bertenaga. Seolah Naya sudah menghisap seluruh energinya.
Malam itu, waktu lembur terasa sangat panjang. Entah karena rotasi bumi yang lebih lambat atau amarahku yang masih menderu.
"Nay...", panggil Kak Adit.
"Apa?!", tanya Naya yang masih fokus membolak-balik halaman dokumennya.
"Maaf ya buat semuanya", ucap Kak adit dengan lirih.
Sejenak, Naya berhenti mengetik, meninggalkan sisa suara AC ruangan yang bertiup pelan. Maaf Kak, aku belum bisa. Masih sakiiitt rasanya!
...
Beberapa hari setelah kejadian Naya mengamuk ketika lembur, ia menemukan kejanggalan yang berbeda dari Kak Adit. Saat Naya akan melaporkan perkembangan proyek harian di ruang Pak Bos, di sana selalu ada Kak Adit. Raut wajahnya terlihat sangat serius, seperti membahas sesuatu dengan yakinnya. Sekali-dua kali masih okelah. Tapi ini sampai tiga kali?!
Pada kali ketiga, Naya memiliki dokumen yang harus segera ditandatangani dalam waktu 10 menit. Ia sudah menunggu sangat lama. Mereka membahas apa sih sampai setengah jam masih belum selesai juga?
Naya sudah tidak bisa menunggu lebih lama. Ia mengetuk pintu. Pak Bos mempersilahkan dirinya untuk langsung berbicara. Bersamaan dengan itu, Kak Adit pamit keluar ruangan beliau.
"Kak, maaf ya tadi aku ganggu. Dokumennya sudah ditunggu", ujar Naya.
"Iya gapapa, Nay. Tadi itu akan jadi kali terakhir kamu menyelak aku", balas Kak Adit tersenyum.
Senyumnya beda, sangat lembut dan rapuh. Ada apa ya?
"Hah? Kali terakhir? Maksudnya gimana?"
"Aku mau resign, Nay. Sekarang lagi proses di tempat lain, tahap terakhir nih. Alhamdulillah ada dua tempat. Tolong bantu doain ya biar dikasih yang terbaik hehehe"
---
"YAK! Jadi begitu ceritanya, Zik", ucap Naya mengakhiri kilas baliknya yang tidak berkesudahan.
"Nay, kamu kan sudah bertanya. Bukankah itu lebih dari cukup untuk memastikan semuanya kepada Kak Adit? Semua sudah selesai, Nay", kata Zika perlahan di ujung telepon.
"Iya aku juga sadar dengan hal ini. Tapi sebentar aja... Aku masih perlu waktu untuk benar-benar menerimanya dengan kondisi seperti itu" "Aku mau mengakhirinya dengan perasaan lega. Soal Ayah dan Ibu, aku juga akan cerita kalau sudah siap. Sekarang bikin benteng pertahanan dulu, Zik!"
Keduanya larut dalam keheningan pikiran masing-masing. Zika mencoba untuk menerima carut marut segenap perasaan Naya. Ia sadar kalau Naya adalah manusia yang sulit jatuh cinta. Sekalinya sudah jatuh, ya beginilah... Sulit untuk bangkit lagi, melepaskan segala bentuk keterkaitan dengan perasaannya. Terlalu banyak memori yang Naya habiskan bersama Kak Adit, walaupun kebanyakan itu terjadi di kantor. Penyimpangan dalam urusan bisnis.
"Nay, kalian itu lagi dibantu Allah untuk bisa saling merelakan satu sama lain. Kak Adit dikasih kesempatan lebih baik di tempat lain. Lalu kamu diberi ruang untuk bisa menjaga jarak emosional dari dia... Aku tau ini berat buat kamu, mungkin juga buat Kak Adit. Tapi, barangkali ini cara terbaik yang harus kalian lewati... Sabar ya, Nay"
"Iya juga ya? Hehehe makasih yaa Zikaaaa"
"Iyalaaah! Kalian tuh lagi disayang sama Allah dengan cara ini. Kamu belum pernah kan, dapat pengalaman cinta bertepuk sebelah tangan kayak ginii?"
Naya mulai tertawa kecil. Suaranya terdengar lebih lega bersamaan dengan deru ingusnya yang coba ia keluarkan. Mungkin, memang harus begini; tidak ada jalan lain.
Beberapa kali, telepon sempat terputus. Naya dan Zika masih belum selesai meluapkan segala kisah yang terjadi di keseharian satu sama lain sehingga mereka terus melanjutkan pembicaraan. Ponsel Naya mulai terasa hangat. Ini pertanda kalau sesi keduanya harus segera dihentikan.
"Ya Allah... Semoga Naya semakin banyak sabar dan rezekinya. Semoga Naya diberi kekuatan untuk bangkit jadi manusia ambis kerja lagi di kantor tanpa Kak Adit. Semoga Naya tambah pintar dan gesit kerjanyaaa! Yuk bilang amin sama-sama yuuuukk", ujar Zika sesaat sebelum mengakhiri telepon.
...
Naya sedang berputar memainkan kursi di ruang kerja. Hari ini agendanya hanyalah mengikuti kegiatan tahunan kantor yang diadakan secara daring. Maklum, pandemi COVID ini belum mereda sehingga seluruh pegawai dianjurkan untuk tidak mengadakan acara secara tatap muka. Seketika ia menyadari sesuatu... Hari ini tanggal 29 Februari 2022. Hari terakhir Kak Adit berada di kantor ini.
Ia refleks menoleh ke arah kanan, melihat Kak Adit yang sedang menatap nanar pada layar laptopnya. Kak Adit tersentak, lalu batuk-batuk kecil dan ikut menoleh ke arah Naya. Keduanya saling bertatapan. Lega ya, Kak, sudah dapat tempat baru? Semoga di sana jauh lebih baik ya. Semoga targetnya bisa tercapai.
Kak Adit hanya tersenyum kecil, membalas tatapan Naya. Tidak satupun di antara keduanya melontarkan sepatah kata.
Naya teringat cerita Kak Adit, tentang janji-janji perusahaan yang disampaikan di hari pertamanya masuk kerja. Ia dijanjikan hanya akan menjadi karyawan kontrak selama enam bulan. Jika performanya baik, ia dapat langsung diangkat menjadi karyawan tetap. Sebuah bentuk kestabilan finansial yang ia idamkan.
Sayangnya, semua hanya janji belaka. Naya dan rekan-rekan kerjanya tau betapa bagusnya performa Kak Adit di kantor ini, dengan beban kerja yang cukup tinggi dan ketatnya standar perusahaan terhadap produk keluaran. Hal itu telah disampaikan jelas saat masa peninjauan performa individu, tetapi tetap tidak dapat mengubah keputusan akhir: Kak Adit harus perpanjang kontrak satu tahun. Itulah momen pertama yang memicu kekecewaan dalam benak Kak Adit.
Belum lagi, ada Pak Bos yang sering memutarbalikkan fakta. Pak Bos, adalah ketua departemen Naya dan Kak Adit. Ada beberapa proyek yang mereka kerjakan dan proses pelaporan rutinnya langsung kepada beliau. Naya pernah tertahan untuk melanjutkan proyek karena ada masalah mesin yang harus segera diperbaiki terlebih dulu, namun pihak vendor belum bisa memenuhinya dalam tiga hari ke depan. Hal ini mendorong Naya untuk menggeser skala prioritas, beralih menangani proyek lain yang juga memiliki tenggat waktu bersamaan.
Ketika pertemuan rutin, Naya menyampaikan permasalahan dan rencananya. Naya juga menanyakan tentang kesediaan beliau terkait penundaan proyek tersebut sampai mesin selesai diperbaiki, yang mana hal ini membutuhkan pergeseran tenggat waktu proyek. Ia jelas mendengar kalau beliau setuju dan tidak keberatan untuk memprioritaskan proyek lain. Namun, saat rapat bulanan para petinggi perusahaan, beliau menyampaikan hal yang berbeda. Katanya, tidak ada masalah apapun dalam menjalani proyek sehingga bisa selesai tepat waktu. Naya mendapatkan kabar ini dari salah satu rekan kerjanya yang tiba-tiba diminta untuk mengikuti pertemuan tersebut.
Berkali-kali masalah terjadi, sebanyak itu pula beliau menyampaikan kata "baik-baik saja" dan "bisa selesai tepat waktu" selama pertemuan bulanan. Hasilnya, Naya jadi kewalahan mengejar ketertinggalan proyek.
Awalnya, ia tidak percaya begitu saja pada rekan kerjanya. Sampai ada masanya, Naya mendengarkan kalimat tersebut dengan telinganya sendiri. Bahkan, nama Kak Adit juga disebut-sebut. Usut punya usut, setelah Naya menceritakannya pada Kak Adit, ternyata mereka merasakan hal yang sama. Tidak sekali-dua kali, berkali-kali dalam banyak proyek!
"Ya emang gitu beliau, Nay. Maunya kelihatan bagus, tapi ujung-ujungnya kalau sudah terlewat cukup jauh dari target waktu, pasti nama kita yang disebut. Seolah beliau tidak ikut berperan mengambil keputusan", kata Kak Adit dengan sedikit berbisik.
"Duh, capek lama-lama disalahin orang terus, Kak! Nggak mungkin juga kan, aku bilang kalau mundurnya jadwal dari yang seharusnya itu sudah didiskusikan dengan beliau. Lempar bola terus aja kalau gini caranya", balas Naya pelan.
"Lho? Kamu nih baru sadar ya? Selama ini, kerja di sini itu seperti main bola api, Nay"
Kemudian, Kak Adit membuka kedua tangannya seperti seolah sedang memegang bola api yang panas dan selanjutnya melempar bola itu ke arahku.
"Kamu nggak boleh lengah sedikit, Naya. Nanti kamu bisa terbakar"
Terbakar? Masa sih sampai segitu panasnya bola itu?
...
Bulan demi bulan Naya lalui dengan sepi. Tidak ada Zika dan Kak Adit. Tidak ada lagi keluh kesah spontan pelipur lara. Pekerjaan semakin menumpuk. Semua pihak meminta proyek-proyek ini bisa segera diselesaikan semuanya. Iya, s e m u a n y a.
Bola api semakin panas. Kelakuan pak Bos mulai menjadi-jadi. Jam lembur Naya mulai meregang. Ketika Naya pulang, jalanan sudah sangat sepi. Stasiun kereta hanya berisikan dua-tiga penumpang yang sedang menunggu kereta, termasuk dirinya.
Tiba-tiba, Naya mulai sering sakit leher. Rasanya mual, padahal jam makan siang sudah dilaluinya dengan mengisi kekosongan perut dan memberi jeda kekosongan pikiran. Naya, yang sudah memiliki riwayat tukak lambung dan dermatitis, mulai merasakan gejala itu kembali. Satu per satu muncul. Semakin parah, semakin perih menjalani aktivitas.
"Kamu itu lho, berteman kok sama obat-obatan! Rileks aja, kurangi minum kopinya! Itu dikurangi jalan-jalan ke pantry-nya ya!", celetuk dokter jaga di klinik kantor.
"Ibu, terima kasih atas kekhawatirannya. Yuk sekalian ikut saya aja kali ya, balik ke ruangan buat bantuin kerjaan?", tanya Naya sambil tertawa, menerima obat yang diberikan.
...
Perasaan ingin-menyerah-saja sangat intens dialami dalam satu bulan terakhir. Duh, nggak kuat lagi kalau kayak gini terus ritmenya. Iya banyak duit karena lembur melulu. Bisa-bisa duitnya nggak terpakai karena mati muda ini?!
Selama itu pula, Naya terus mempertimbangkan keputusannya untuk resign. Terlebih saat hasil koreksi pekerjaannya sering baru diberikan mendekati jam empat sore. Waktu yang paling ditunggu sejuta umat untuk pulang. Naya membenci masa-masa ini! Pekerjaan yang harus segera diselesaikan dengan dalih "bisa cepat kok", nyatanya tidak semudah itu. Hal ini membuat Naya semakin sering memundurkan waktu sholatnya. Nanti deh, ini dulu diselesaikan. Yuk bisa yuk, Naya.
"Aku kesal sih sama sifat beliau yang kayak gitu, laporan proyeknya bohong terus. Seakan-akan aku yang lama. Orang-orang nggak tau masalah proyek yang sebetulnya terjadi. Itu tuh menambah masalah baru tau nggak?! Dan aku nggak mau juga dong, sampai ibadahku ikut bermasalah kayak gini? Nggak tenang tau nggak?! Beliau nggak kasih izin aku buat sholat dulu. Nanti kalau main tinggal aja, aku lagi yang kena teguran", celoteh Naya saat bertelepon dengan Zika.
Hadeeeehhh, ribet deh!
...
Tiga bulan kemudian, Naya tersenyum mengingat semua peristiwa tersebut. Rangkaian takdir yang bisa membawanya sampai pada titik ini. Bersatu kembali dengan Zika. Benar-benar lucu hidup ini!
"Zik, anginnya enak banget ya", ujar Naya sembari berjalan dan merentangkan tangannya.
"Eh, ngaco! Ini angin menyambut musin dingin, Nay! Cepat pakai mantel kamu. Aku nggak mau ngerokin kamu yaaa kalau masuk angin!", balas Zika yang berjalan di sisi Naya.
"Keren juga ya, kekesalanku sama Pak Bos bisa mendorong aku untuk daftar leadership program dari perusahaan. Mana lolos sampai tahap akhir lagi! Jadi bisa menyamper kamu ke Australia!"
"Emang kamu kalau sudah marah dan kecewa tuh ya... Nggak main-main pelampiasannya! Suka gila! Untung gilanya bagus begini nih!"
"WOOOO IYAA JELAS! Naya gitu lhoo! Eh, besok jadi kan, ke kebun binatang?"
"IYAAA, berisik! Jadiii kok jadiiii! Nih lihat di layar ponsel aku. Tiketnya sudah dibeli"
Naya dan Zika tertawa kencang. Keduanya terus membicarakan banyak hal sambil menikmati gemerlap cahaya di sekitar Sungai Yara.
"Nay, kalau ada kesempatan jadi karyawan sini, kamu harus maju paling depan ya! Soalnya program kamu setahun lho, Nay! Siapa tauuu gitu kaann..."
Naya merangkul bahu Zika dan membalas perkataannya dengan anggukan penuh semangat. Ah iya juga ya? Semoga ada kesempatan itu ya, Zik. Biar aku benar-benar terbebas dari Pak Bos beserta rumitnya site Indonesia....dan kenangan Kak Adit juga, tentunya.
TAMAT.
P.s. akhirnya cerita ini selesai jugaa hahahaha soalnya habis ini mau mulai cerita baruu xD sungguh menghadapi diri sendiri itu seswatu yah!
0 notes