Tumgik
#5CC19
khoridohidayat · 1 year
Text
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 4
Setelah drama menyampaikan gagasan dengan nuansa sidang tesis pekan lalu, aku semakin harap-harap cemas dengan hasilnya. Apakah ayah Fathia mau menerima lamaranku atau tidak. Jika aku lihat kemarin, sepertinya sih ayahnya oke oke saja dengan kehadiranku. Bahkan ketika aku ditanya beberapa alasan mendasar mengapa ingin menikahi Fathia, aku bisa menjelaskan alasannya dengan baik juga. Syukur alhamdulillah.
Tapi entah kenapa tetap saja ada rasa was-was. Bagaimana jika aku tak diterima, bagaimana jika ada syarat yang harus aku penuhi dan mustahil aku lakukan. Misalnya aku harus mempunyai penghasilan dua digit baru bisa menikahi orang yang aku cintai. Tapi ya sudahlah. Yang jelas aku sudah memberikan yang terbaik untuk diriku sendiri. 
Hari ini, aku sedang menunggu Fathia di cafe tempat kita biasanya rapat organisasi di Universitas Indonesia. Dulu, aku ingat sekali ketika kami sudah selesai rapat BEM UI, pasti kami mampir disini untuk melepas penat dan mengevaluasi beberapa divisi yang tadi tak terbahas. Aku beruntung sekali bisa bertemu Fathia ketika pertukaran pelajar di UI. Aku yang sedang belajar psikologi di Universitas Brawijaya mendaftarkan diri untuk exchange ke UI. Bukan tanpa alasan, UI adalah salah satu universitas terbaik di bidang psikologi.
Di waktu pertukaran pelajar yang singkat itu, aku memanfaatkan waktu untuk bergabung di beberapa organisasi di kampus ini. Salah satunya BEM, yang kemudian ini menjadi momen aku bertemu Fathia, anak fakultas kedokteran yang cerdas dan rendah hati. 
Sebetulnya aku sudah memiliki rasa padanya sejak kami awal-awal bertemu. Aku kagum dengan pribadinya yang sopan, rendah hati, dan pintar. Pernah suatu saat, ketika kami sedang melakukan pengabdian bersama ke korban banjir di Bogor, dia menunjukkan jiwa peduli yang besar kepada kami semua. Ketika itu rombongan kami semobil sedang berhenti sejenak di Indomaret di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor. Kebetulan ketika itu kami memang berhenti cukup lama untuk beristirahat, jam sudah menunjukkan 11 malam. Ketika rombongan semobil sudah masuk satu per satu, kami sadar, ada yang kurang. Fathia menghilang. Kami panik. Menelpon dia tak berdering sama sekali. Aku yang juga panik langsung turun dari mobil dan mencoba kembali ke gerai Indomaret tadi. Dan kau tahu? Dia sedang belanja dengan seorang anak kecil lusuh yang terlihat seperti dua hari tak mandi. 
“Fathia, ini kami sudah mau berangkat.” Kataku dari ujung pintu
“Iya Mas, bentar ya. Udah mau selesai kok.” Jawabnya
Ternyata dia membelikan satu keranjang penuh jajan dan bahan makanan untuk anak kecil kusam tadi. Bagi kita, anak gelandangan seperti itu memang sudah menjadi fenomena biasa di Indonesia. Bahkan beberapa dari mereka memang sengaja berprofesi sebagai gelandangan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Oleh karena itulah, terkadang aku malas untuk memberikan uangku kepadanya, takut jika ternyata orang itu hanya berpura-pura sudah, padahal mempunyai rumah yang cukup bagus di kampungnya.
“Kenapa kamu menolong dia? Kan dia pengemis, orang yang malas, Fathia?” Tanyaku heran sambil berjalan bersama ke arah mobil.
“Ya memang sih dia gelandangan. Tapi barangkali memang hanya itulah pekerjaan yang bisa mereka lakukan, kita kan ngga tahu. Kita mah bisa enak kuliah, kerja dan berorganisasi juga karena privilege kan. Ayahku misalnya, dia adalah seorang pengusaha tambang, ya otomatis aku ngga harus living paycheck to paycheck. Hidupku ya udah fokus belajar aja dapet nilai yang bagus terus kerja. Kalau mereka, gimana mau belajar? Sedangkan mereka harus memikirkan juga mau makan apa hari ini karena ngga punya stok bahan makanan.” Jelas perempuan itu dengan lugas, dan diberi studi kasus yang simpel dan mudah dimengerti.
“Ohh gitu yaa.” Jawabku setengah melongo karena penjelasan yang lengkap dari Fathia.
Sejak saat itulah sepertinya aku mulai memiliki rasa kepada Fathia. Dan karena dia jugalah aku mempunyai semangat untuk melanjutkan studi S2 ku di UI, agar bisa bertemu dia lebih sering dan aktif mengikuti komunitasnya di berbagai kegiatan. 
Sekarang, dia sedang sibuk koas di jurusan kedokterannya. Sedangkan aku dalam proses penyelesaian tesis di magister psikologi klinis. Masuk di bidang psikologi klinis juga membuatku lebih sering berdiskusi tentang ilmu kedokteran dengan Fathia. Bagi kalian yang belum tahu, psikologi klinis adalah bidang ilmu psikologi yang juga menggabungkannya dengan ilmu kedokteran. Memang lebih pusing, tapi penerapan ilmu ini lebih scientific dan lebih dapat dipertanggungjawabkan olehku selaku calon praktisi. 
Karena aku dan Fathia bisa dikatakan masuk di rumpun keilmuan yang mirip, sama-sama klinis, tak jarang kita jadi sering berdiskusi mengenai suatu isu. Dan dari situlah aku menjadi lebih kenal perempuan itu. Aku menjadi tahu segalanya, tentang apa yang diungkapkan, dan apa yang tak diungkapkan.
Dengan ilmu yang dipelajari di kelas, aku menjadi tahu bahwa Fathia mempunyai ambisi sosial yang tinggi, tak heran jika dia pernah mendirikan komunitas sosial di UI ketika masih aktif di BEM. Namun, namanya manusia, pasti dia juga mempunyai kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah dia belum bisa berdamai dengan inner childnya.
“Hayoloo ngalamun apa” Tiba-tiba suara perempuan menghancurkan lamunanku. Disertai cekik tawa.
“Eh dasar Lo ya.” Aku menjawab dengan nada yang juga tak kalah keras. 
Perempuan itu adalah Syifa, teman baik Fathia. Ternyata Fathia tidak datang sendiri ke cafe ini, dia datang bersama sahabat dia, yang sekaligus teman dekatku juga ketika organisasi. FYI, Syifa adalah orang yang membantu proses kami taaruf dari awal hingga akhir ini. Dia sudah menikah tahun lalu dan sedang mempersiapkan studinya ke Inggris. Dari dulu Syifa memang ingin S2 di Inggris bersama pasangannya, dan secara ajaib, ternyata harapannya terkabul. Gila ini orang emang, entah wirid apa yang dia amalkan kok bisa se perfect itu terkabulnya.
“Eciye yang lagi deg dengan nunggu hasil dari Abinya Fathia yaa? Eciyee.” Kata Syifa meledekku.
“EHH DIEM LU YAA, kalau aja bukan senior yang bantu prosesku sama Fathia, pasti udah aku geprek lu Kak.” Kataku yang kesal tapi sambil senyum-senyum karena omongan Syifa.
“Jadi gimana?? Udah siap jadi suami? Kata dia menimpali lagi
“Hushh! Suami suami. Emang yang mau kasih jawaban ente? Kan Fathia, dihh.” Aku menjawabnya dengan wajah merah tak keruan antara salah tingkah dan menjaga wibawa didepan Fathia.
Sepertinya jawaban doa-doaku semakin dekat. Fathia, perempuan yang aku kagumi sepertinya mau untuk hidup bersamaku dan membangun keluarga kecil tapi bahagia. Sepertinya inilah memang jawaban atas penantian panjangku untuk tidak berpacaran dengan siapapun selepas SMA. Aku berkomitmen untuk tak pacaran lagi ketika itu karena aku ingin fokus untuk masa depanku. Dan hari ini, tibalah saatnya untuk menerima konsekuensi dari cinta itu sendiri. Dan aku telah siap dengan itu semua.
Fathia dan Syifa mulai duduk di meja yang telah lama aku pesan. Kami duduk di sudut cafe agar mendapatkan privasi obrolan kami. Meja kami yang berbentuk bulat semakin membuat kami harus lebih saling berdekatan satu sama lain dan tak perlu bicara keras-keras. Kombinasi yang pas untuk menjaga rahasia obrolan kita!. Aku menurunkan laptop yang sedari tadi sudah berada di meja itu. Tak lupa aku juga menutup beberapa buku, tablet, dan gedgetku agar lebih khusyuk mendengarkan penjelasan Fathia. Ini akan menjadi salah satu momen yang bersejarah di hidupku.
Aku berdehem lirih, menandakan bahwa aku ingin menanyakan hasil diskusi Fathia dengan keluarganya, apakah kita akan melanjutkan kepada proses taaruf selanjutnya atau tidak. Aku lihat juga Syifa sudah senyum-senyum sedari tadi, apakah ini pertanda baik?
“Jadi, Mas, setelah didiskusikan dengan Abi dan Umi.” Fathia berbicara lirih
Aku menjadi semakin deg degan tak keruan. Apa, iya apa hasil diskusinya??. Jangan dipotong-potong gitu ngomongnya, Fathia. Dari dulu dia memang orang yang paling pandai mengatur intonasi dan ritme berbicara.
“Sepertinya proses taaruf kita tidak bisa dilanjutkan lagi karena Abi kurang cocok denganmu Mas.” Fathia melanjutkan bicaranya.
Waktu terasa berhenti. Suara bising bartender menyiapkan kopinya menjadi semakin nyaring di telinga. Dunia seakan-akan berhenti sejenak, atau setidaknya menjadi slow motion. Aku menghirup nafas lebih panjang dari sebelumnya. Mencoba mencerna apa yang tadi Fathia katakan. Orang tuanya menolak aku? Bukankah kemarin seperti baik-baik saja? Apakah semangatku belajar dan gelar S2 psikologi klinis yang akan aku dapatkan bulan depan masih terasa kurang? Apakah aku masih dirasa kurang bisa merawat anak gadisnya? Atau ada apa? Mengapa jika ada sesuatu yang masih mengganjal tidak ditanyakan saja ketika itu? Apa yang harus aku lakukan?
“Ta, tapi. Apa alasannya, Fathia?” Tanyaku yang masih setengah tak percaya dengan jawaban itu. Dia menunduk seperti merasa betul-betul bersalah. Sedangkan Syifa yang sedari tadi meledekku bahwa aku akan diterima juga menjadi bengong tak mengeluarkan satu patah katapun. Dia masih bingung mencerna jawaban Fathia tadi. Sepertinya ini hasil yang diluar dugaan Syifa.
“Ada beberapa alasan mengapa Abi menolak, yang pertama . . .” Sahut Fathia.
Bersambung (4/6)
Menjadi yang Kaucintai - Bagian 4
@careerclass @bentangpustaka-blog @langitlangit.yk
12 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Yang Lekat dari Yang Lalu: Bagian Keempat
Dinsos adalah kepanjangan dari Dinas Sosial. Tidak berhenti di situ, ada lagi kepanjangannya: Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan. Hidupku dengan Bapak dan Ibu, juga adik-adik adopsi lainnya tidak begitu miskin. Kami masih makan tiga kali sehari. Bapak dan Ibu masih menyekolahkan kami—meski kami tahu SPP sekolah kami gratis, tapi mereka tetap membelikan kami perintilan untuk sekolah yang cukup banyak. Intinya, kami tidak miskin-miskin amat. Tapi, memang, beberapa bulan sebelum tragedi lemparan keramik berdarah itu, makan kami kian berkurang. Dari tiga, jadi dua kali sehari, lalu jadi sekali sehari. Aku ingat karena sebelum tragedi keramik itu, terjadi perang piring antara Ibu dan Bapak. Aku berusaha menengahi (dasar bocah sok pahlawan) dan berakhir dengan pecahan piring menusuk telapak kakiku. Aku tidak begitu sadar, hingga kemudian lukanya makin parah. Aku meriang tiga hari tiga malam setelahnya.
“Bapakmu bikin salah, jadinya sekarang kamu dan sodara-sodaramu jadi tanggung jawab kami.” Bu Daria menjelaskan kepadaku selembut dan sesederhana mungkin. Tentu saja, ia tidak tahu bahwa yang ada di tubuh anak empat belas—atau lima belas—tahun ini adalah jiwa dari masa depan. Padahal, ia bisa jelaskan dengan gamblang bahwa Bapak ditangkap temannya sendiri karena melakukan sesuatu yang entah apa. Ya. Bapak memang polisi. Awalnya dia jadi detektif, tapi naik pangkat menjadi entah apa dan tergoda pada entah apa sehingga ditangkap karena melakukan sesuatu yang entah apa.
“Ibu?” Tanyaku. Aku lupa apa yang terjadi pada Ibu saat Bapak ditangkap.
“Polisi masih nyari Ibu kamu.” Pandangannya terlihat iba. Bu Daria jelas mengasihaniku. Katanya, saat Bapak ditangkap, polisi mendobrak kamar dan menemukanku tergeletak dengan kepala penuh darah. Aku koma tiga hari setelahnya. Artinya, sudah empat hari Ibu menghilang jika dihitung dengan hari ini.
“Kamu fokus sehat aja, ya.” Bu Daria mengelus lembut lenganku.
“Kalau udah sehat, terus saya gimana?” Pertanyaanku agak membuat Bu Daria kaget. Mungkin ia tidak menyangka anak buangan ini akan bertanya demikian. Betul. Julukanku berubah dari anak pulung jadi anak buangan lagi. Jika hidup disebut-sebut sebagai hal yang perlu ada ‘kenaikan’ meski sedikit, status hidupku malah lebih banyak mengalami kemunduran.
“Gak usah dipikirin dulu, ya. Serahin aja sama saya. Nanti saya yang urus.”
Jawaban plegmatis itu tak begitu berarti. Aku sebetulnya sudah tahu—lebih tepatnya, sudah ingat—akan diantar ke panti asuhan yang bersedia menampungku. Aku hanya menguji kemampuan Bu Daria sebagai ‘orang Dinsos’. Kau juga pernah, kan, iseng-iseng menanyakan hal yang sudah kau tahu jawabannya?
Hidupku selanjutnya tidak jauh dari hidupku di rumah dengan Bapak dan Ibu karena saudara adopsiku banyak. Bedanya, saudaraku kini lebih banyak. Artinya, aku pasti harus berbagi segalanya dengan mereka-mereka yang nasibnya mirip-mirip denganku.
Jiwaku singgah di fase ini cukup lama. Aku tidak tahu maksud tukang hipnosis yang membuatku hidup di fase yang biasa-biasa ini lebih lama. Aku makan, tidur, berkenalan, berak, melamun, dan bertanya-tanya. Kenapa aku harus kembali ke masa lampau hanya untuk mencicipi pahit yang sebentulnya sudah agak kulupakan? Apa yang masa depanku alami hingga aku harus mengingat ini semua? Apakah aku jadi gila dan kehilangan diriku sendiri di masaku yang sebenarnya?
Tiba-tiba, aku dipanggil ketua panti. Namanya Umi Yahya, tapi semua orang di panti memanggilnya Umi. Umi, penampilannya mirip dengan Mamah Dedeh di masaku. Kalau kau belum tahu, Mamah Dedeh adalah guru spiritual yang rutin muncul di salah satu stasiun televisi. Perawakannya agak gendut, bermuka ramah, berbicara dengan tegas, berkerudung menutupi hingga setengah badannya. Gelagat Umi, sangat mirip dengan Mamah Dedeh.
Umi yang biasanya bicara dengan tegas, kini berbicara dengan nada yang begitu lunak.
“Umi dapat kabar soal Ibumu.”
Aku diam saja, menantinya melanjutkan kabar yang sudah kuketahui.
“Ini mungkin jadi berita sedih. Ibumu sudah meninggal.”
Aku tidak kaget. Meski tidak kaget, ada yang mengusikku sejak lama. Aku tidak pernah tahu Ibu meninggal karena apa dan bagaimana. Jadi, kuputuskan untuk bertanya. Umi lalu menjawab dengan berbelit-belit. Yang bisa kutangkap dari yang Umi katakan adalah, Ibu melukai dirinya sendiri hingga akhirnya mati. Mungkin, aku yang masih remaja tidak begitu paham dengan jawaban Umi, tapi aku yang sekarang ada di tubuh ini paham maksud Umi.
Lagi, telingaku berdenging amat keras. Kupegangi kedua telingaku dengan tangan. Saking kerasnya, rasanya aku ingin mati. Kuimbangi dengingan keras itu dengan teriakan yang paling kencang yang bisa kukeluarkan. Umi beranjak dari kursinya dan langsung kebingungan dengan teriakanku. Aku tahu, jiwaku akan melompat lagi ke persinggahan selanjutnya. Atau, mungkin, akhirnya aku pulang.
Hilang sudah sadarku. Kuharap, aku bangun di tempat yang dapat membuatku tak lagi perlu memikirkan kejadian-kejadian masa lampau.
***
“Gen? Gena? Bangun!” Suara seorang laki-laki samar terdengar. Ia menepuk-nepuk bahuku. Mataku mulai dapat melihat samar seorang lelaki yang ribut dan heboh. Kepalaku rasanya sangat sakit. Aku memang sering migrain, tapi kali ini rasa sakit menjalari seluruh sudut kepalaku. Saat aku hendak bangun dari tempatku terbaring, lelaki itu langsung menahanku, “Jangan dulu bangun. Santai aja dulu. Baringan dulu sampai kepala kamu gak begitu sakit.”
Kenapa ia bisa tahu kepalaku sakit bukan main? Seluruh anggota tubuhku memang agak berat juga, jadi kuikuti saran lelaki itu.
“Kamu inget saya siapa?” Tanyanya.
Alisku berkerut, aku berpikir keras. Rasanya kenal, tapi agak asing. Suaranya memang familiar, tapi aku tidak ingat siapa. Suara dengingan kembali muncul. Kecil, agak keras, hingga sangat keras. Aku kembali berteriak.
“STOPPPP! PLEASE BERHENTIII!” Teriakku. Sosok lelaki itu kebingungan. Kenapa ia bingung? Bukankah seharusnya aku yang bingung?
“GIMANA CARANYA SUARA DENGINGAN INI ILAAAANG????”
Lelaki itu kemudian langsung terlihat paham apa yang terjadi. Ia lalu terlihat mengambil vial dan syring, berisap menyuntikku dengan obat yang tak kutahu apa isinya. Kuharap obat itu membantuku. Kuharap dengingan kencang itu hilang.
Kuharap, aku hilang sekalian dari dunia yang tak kuketahui ini.
Bersambung…
5 notes · View notes
reistuwidias · 1 year
Text
SEPUCUK SURAT MASA LALU
Minggu, 27 Mei 2035
Pagi ini metro park residance tower telah di sambut butiran air hujan. Aku tengok jalanan dari lantai sepuluh tak terlihat ramai seperti biasanya. Alarm jam digital kamarku menunjukan pukul 06.30, tapi tak ada pergerakan dari aku untuk bergegas mandi dan berisap-siap berangkat ke airport. Aku masih menikmati secangkir seduhan teh chamomile sambil mengamati lalu lalang orang-orang yang mengenakan payung dan mencoba merelekskan pikiran.
Drrttt Drrttt
Suara telpon yang masuk seketika mebuyarkan lamunanku. Aku raih ponselku yang berada di nangkas samping. Dilayar ponselku tertara nama Aisyah
[Hallo Assalamu’alaikum Ara] ucapnya salam dari sambungan disisi lain panggilan ini
[Waalaikumsalam Ais, gimana Ais?]
[Ra aku mau ngabarin ini setengah jam lagi aku otw ke apartemntmu ya.]
[Ok Ais. Ati-ati ya nanti]
[Assalamu’alaikum] tutupnya panggilan tersebut yang belum sempat ku balas ucapan salamnya.
Panggilan tersebut akhirnya membuat aku untuk segera bersiap-siap, sebelum sahabatku mengomel ketika sampai di apartement. Ah iya sahabatku ini kalau sudah mengomel serasa lagi di omelin emak-emak komplek. Tawaku ketika membayangkan tempo hari yang mengomel hanya karena aku lupa membereskan kamar tiga hari.
Bersambung...
2 notes · View notes
sitihajrul · 1 year
Text
Dunia Rana (Bagian 4)
Rana memulai kehidupan barunya di kampus sebagai mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru, ia sibuk beradaptasi dengan lingkungan, suasana, dan cara belajar yang baru. Selain beradaptasi dengan ilmu baru, ia juga beradaptasi dengan teman-teman baru. Teman-temannya berasal dari sekolah yang berbeda. Bahkan berasal dari kota atau pulau yang berbeda. Tidak seperti Rana yang berasal dari kota yang sama dengan kampusnya.
Rana dikenal sebagai anak yang aktif di kelas. Ia selalu menanyakan materi-materi yang belum ia pahami. Tak jarang ia bertanya kepada dosen atau langsung mencari jawabannya di perpustakan. Ia sangat dikenal di kalangan mahasiswa seangkatannya maupun di kalangan senior. Ia sangat giat belajar sampai tidak pernah mementingkan hal-hal lain. Ia sudah bertekad akan selesai kuliah tepat waktu dan membantu perekonomian keluarganya.
 “Ran, lagi sibuk?” sapa Kak Seto.
“Hah? Eh? Enggak, Kak. Aku cuma lagi rapihin catatan. Kenapa, Kak?” jawab Rana sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.
“Kamu mau ngajar di Bimbel Elite? Dekat kok dari kampus tinggal naik metromini sebentar.”
“Oh, yang ada di perempatan dekat rumah sakit ya, Kak?”
“Nah, iya betul. Di sana kekurangan pengajar biologi.”
“Emang bisa, Kak? Aku kan baru semester tiga.”
“Bisa kok, kamu part-time aja, paling ngajar jam empat sore sampai tujuh malam. Nanti harinya disesuaikan sama jadwal kuliahmu. Gimana?
“Hmmm… aku izin bapak dulu ya, Kak. Boleh?”
“Oke, besok kasih jawaban ya soalnya butuh cepat nih.”
“Iya, Kak. Terima kasih ya, Kak, atas tawarannya.”
“Santai, Ran. Ditunggu ya. Daaah…”
Rana sebenanrnya ingin langsung menerima tawaran kak Seto. Namun, ia harus meminta izin kepada bapaknya. Rana memang selalu meminta izin kepada orang tuanya, apa pun kegiatan yang akan ia lakukan.
Sepulang kuliah, Rana menghampiri ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Kemudian ia mencuci tangan dan segera membantu ibunya di dapur. Setiap ada kesempatan untuk membantu pekerjaan ibunya, Rana selalu berusaha membantu karena ia sudah jarang membantu pekerjaan rumah semenjak kuliah. Setelah makanan tersaji di meja, mereka langsung berkumpul di meja makan, seperti hari-hari sebelumnya.
“Bu, Pak, Rana boleh mengajar di bimbel?” Rana membuka pembicaraan tanpa ada ragu sedikit pun. Ia sudah pasrah dengan apa pun jawaban dari kedua orang tuanya.
“Loh, memang Rana kekurangan uang jajan, Sayang?” jawab sang bapak dengan lembut sambil menatap wajah anak gadisnya.
“Tidak, Pak. Uang jajan cukup kok, tetapi Rana tadi dapat tawaran dari kakak kelas Rana, katanya mereka kekurangan pengajar biologi. Setelah Rana piker-pikir, lumayan juga, Pak, sebagai batu loncatan untuk Rana. Di sana juga bisa menambah pengalaman Rana dalam mengajar. Hitung-hitung latihan, Pak.”
“Oh, begitu. Bapak tidak melarang Rana untuk mengambil kesempatan itu, tetapi Rana tetap harus memprioritaskan kuliah ya. Jangan sampai terlalu asik bekerja sampai lupa dengan kewajiban utama. Janji?”
“Insyaallah, Pak. Kalau Rana tidak bisa mengatur waktu dengan baik dan belajar Rana terganggu, Rana akan segera mengundurkan diri.”
Keluarga Bahagia itu pun melanjutkan obrolan mereka malam itu dengan penuh kebahagiaan. Satu per satu anggota keluarga saling bercerita tentang perjalanan mereka hari itu. Seperti itulah pemandangan setiap hari di keluarga Rana. Keluarga yang penuh keharmonisan.
*
Rana pun menerima tawaran mengajar tersebut. Baginya itu adalah kesempatan untuk menambah pengalaman mengajarnya. Selain itu, ia juga bisa mendapat uang tambahan untuk meringankan beban orang tuanya. Rana pun semakin sibuk dengan seluruh kegiatannya di kampus maupun di bimbel. Penghasilan yang ia peroleh dari mengajar juga sengaja ia simpan sebagian dan sebagian lagi terkadang digunakan untuk membeli buku referensi, pakaian, atau membelikan jajan untuk adik-adiknya. Sedikit pun tidak ada perubahan pada diri Rana, ia justru semakin menampakkan auranya menjadi wanita dewasa yang kuat.
Tidak terasa Rana sudah berada di tahun terakhir kuliahnya. Ia tidak sabar untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada semester tujuh ini, Rana dan teman-temannya malakukan kegiatan praktik mengajar selama enam bulan di sekolah. Kegiatan wajib ini dilakukan untuk memberi kesan mengajar sesungguhnya kepada para mahasiswa keguruan. Para mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok mengajar. Setiap kelompok terdiri atas 4 – 6 orang. Setiap kelompok akan ditugaskan di sekolah yang sama.  
Rana dan ketiga temannya, Nana, Lita, dan Saka, ditugaskan di sebuah SMA di daerah Duren Sawit. Kebetulan rumah Rana berada di daerah Cempaka Putih. Setiap hari, Rana harus sudah berada di sekolah sebelum pukul tujuh pagi. Akhirnya sang bapak selalu mengantarnya ke sekolah setiap pagi agar Rana tidak terlambat ke sekolah dan tidak memberi kesan kurang baik.
Suatu hari, setelah mengantarkan Rana sampai ke depan gerbang sekolah, bapaknya bergegas pergi ke pabrik –tempat ia bekerja– di daerah Pulogadung. Namun, bapak Rana mengalami kecelakaan di tengah perjalanan. Motor yang ia tumpangi oleng setelah tak sengaja masuk ke lubang. Ia tak bisa mengendalikan laju sepeda motornya dan akhirnya terjatuh. Kepalanya menghantam aspal. Darah mengalir deras dari kepalanya karena helm yang ia gunakan terlepas dari kepalanya saat menghantam aspal. Bapak Rana segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawanya tak tertolong. Seorang Bapak dengan empat anak itu wafat tanpa berpamitan kepada istri dan empat anaknya. Kejadian itu pun seperti petir di siang bolong. Istri dan keempat anaknya tak pernah membayangkan kepergian kepala keluarga mereka akan secepat itu. Rana histeris memeluk sang Bapak yang sudah tak bernyawa itu. Rana tidak percaya bahwa pagi itu adalah kenangan terakhir antara ia dan bapaknya. Banyak andai-andai yang ia pikirkan, tetapi itu semua sudah terjadi dan tidak mungkin kembali.
Dunia Rana runtuh. Dunia Rana berubah. Dunia Rana berantakan. Ia tidak tahu bagaimana cara melalui dunianya yang baru ini. Dunia yang secara mendadak datang menghampirinya. Dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia kembali menangisi kepergian cinta pertamanya, bapak yang sangat ia cintai.
“Bapaaaaaak, kenapa tidak menunggu Rana lulus, Pak. Sebentar lagi Rana lulus kuliah, Pak. Bapak belum melihat Rana diwisuda, Pak!” tangis Rana pecah di atas gundukan tanah yang mengubur jasad bapak dan dunianya. Teman-teman dan kerabat yang menghadiri pemakaman itu turut menangis melihat kepedihan Rana sore itu. Tika memeluk Rana, ia mencoba memahami kepedihan yang Rana rasakan.
*
“Ran, bapak kamu selalu mendukung pilihan hidup kamu kan?” suara Farraz di telepon.
“Iya.”
“Apa syarat dari bapakmu?”
“Aku harus tanggung jawab dengan pilihanku.”
“Nah, berarti kamu harus menyelesaikan tanggung jawabmu sekarang, Ran. Ini pilihan kamu untuk jadi guru, kamu harus selesaikan kuliahmu dan jadilah guru hebat seperti yang kamu cita-citakan. Bapak kamu pasti sedih kalau tahu kamu terus terpuruk seperti ini.”
Awalnya Rana tidak memikirkan ucapan Farraz atau Tika. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan bapaknya. Bapaknya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menangis menatap Rana. Sejak saat itu, Rana menata kembali dunianya. Ia kembali ke kampus dan menyelesaikan praktik mengajar di sekolah setelah hampir dua minggu ia tidak datang sama sekali. Rana telah kembali meski bukan Rana yang dahulu. Dunia Rana kembali tertata meski berbeda dengan dunia Rana sebelumnya.
***
2 notes · View notes
adhindatb · 1 year
Photo
Tumblr media
Setelah tawaran itu diberikan, Atsiri menimbang-nimbang hal itu dengan baik, memperhatikan setiap detail yang akan dia lakukan sebagai Atsila, begitupun apa yang Atsila lakukan sebagai dirinya.
"Oke, aku terima challenge nya, tapi hanya dua minggu ya." Atsiri menyodorkan tangannya dan bersalaman dengan Atsila tanda setuju.
"Mulai kapan kita bertukar posisi?" Atsiri bertanya kembali.
"Kalau besok gimana?" Atsila sangat bersemangat, Ia seperti tak ada beban akan menjalani kehidupan seorang Atsiri yang berat dan penuh perjuangan itu.
"Deal, dua minggu."
***
         Atsiri masuk ke dalam rumah besar itu dipamdang nya setiap inci dari barang-barang yang ada disana, semuanya mewah dan tampak elegan, rumah itu hanya ditinggali oleh ayah, Atsila, Bi Mijah sebagai pembantu di rumah, Bi Sari sebagai juru masak, dua orang satpam yang bergantian jaga, dan dua orang supir yang hanya datang pagi serta pulang sore hari. Benar-benar sepi untuk seukuran rumah bak istana tersebut. Kini Atsiri menjalani peran nya sebagai Atsila, walaupun demikian Atsiri kerap merasa iri, mengapa baru sekarang dia mengetahui kalau memiliki ayah dan saudara kembar yang kaya raya. Hidup nya dirundung pilu sedang saudara kembar nya penuh dengan kenikmatan. Ia merasa sedih karena ia hanya jadi si anak tukang kue yang tidak punya masa depan. Andai dulu ayah dan ibu tidak bercerai, pasti Atsiri telah merasakan rasanya berkuliah, hidup enak, bahkan tidak perlu capek-capek kerja sepulang sekolah atau menunda untuk berkuliah.
"Non, makannya sudah bibi siapin di meja makan ya." Tepukan pundak bi Sari membuat lamunan Atsiri terpecah.
"Eh… Iya bi, terima kasih. Oiya bi, ayah kemana ya bi?"
"Ihh non teh gimana siii, ayah kan ke Bandung sudah 2 minggu, orang pergi nya aja sama Non Harum kan waktu itu? Terus non pulang duluan."
"Harum? Harum siapa bi?"
"Ih si non teh gimana sii sama nama sendiri masa lupa"
"Ohh iyaa!!! Aku kan sedang menjalani peran Atsila, yang mana dia punya nama Panjang Atsila Harum Melia dan biasa dipanggil Harum saat di rumah." Atsiri tiba-tiba tersadar akan peran baru nya itu.
"Hahahaha maaf bi agak ngelag." Ia tersenyum kepada Bi Sari.
"Istirahat gih non, kayaknya capek banget ya."
"Iya Bi, ini aku makan dulu terus habis itu istirahat ya." Atsiri menyantap makanan yang tersedia di meja, banyak sekali dan semuanya enak. Beberapa makanan bahkan baru kali ini Ia makan. Untuk kali ini Ia merasakan hidup yang sempurna, tapi tiba-tiba pikirannya melayang, bagaimana keadaan Atsila disana bersama ibu.
[POV Atsila]
Di rumah yang sederhana itu Atsila berperan sebagai Atsiri, menjalani kehidupan yang serba terbatas. Ia seringkali merasa iba dengan kehidupan sang ibu. Atsila senang karena kali ini dia bisa merasakan rasanya kehangatan sang ibu.
"Buu, Ibu nggak capek bikin kue setiap hari?" Atsila berusaha melakukan pendekatan dengan ibu, Ia sangat hati-hati agar bisa sempurna terlihat sebagai Atsiri.
"Yaaaaa kalau ibu nggak buat kue nanti apa yang dijual? Kita kan belum jadi saudara nya Rafi Ahmad hahahhaaha." Ibu memecah pembicaraan itu dengan lelucon nya.
"Hahahah ibu bisa ajaaaa, maksud Siriii, ibu jangan capek-capek yaa, kalau ibu capek nanti sakit, kita harus sehat terus bu, soalnya ngurusin orang sakit." Atsila memeluk ibunya lekat dari sisi samping. Mata nya berkaca-kaca, sosok yang Ia rindukan kini berdekatan tanpa spasi.
"Kokk kamu tumben sih manis beginiii, gak biasanya lhooo. Makasih ya nak kamu udah selalu mau berjuang buat kehidupan kita. Bahkan kamu rela nggak kuliah demi bisa kerja. Ibu bangga sekali jadi ibumu" Kali ini giliran Atsila yang dibuat terharu, ternyata walaupun tak menjadi-apa-apa perjuangan Atsiri di keluarga ini berat dan merelakan cita-cita.
"Walaupun nanti Siri nggak jadi apa-apa? Ibu masih bangga nggak sama Siri?"
"Bangga donggg, Kamu bisa jadi apapun yang kamu suka, cita-citamu suatu hari nanti akan jadi dekat nak dengan keterbatasan kita, ibu yakin."
"Ibu nggak berusaha mencari tahu keberadaan ayah? Siapa tahu kehidupan ayah lebih baik jadi kita bisa minta bantuan ayah, lagi pula harusnya kan aku tu masih harus dinafkahi sampai kapanpun." Pertanyaan Atsila itu membuat ibu terdiam. Selama ini ibu memutus komunikasi dengan ayah, sehingga ayah pun kesulitan untuk menjangkau kehidupan ibu dan Atsiri.
"Kenapa bu? Kenapa ibu nggak mau mencari ayah? Padahal kan ayah meninggalkan ibu juga bukan karena kehendak ayah, bisa saja saat itu ayah memang masih ingin bersama ibu kan. Kalau ibu memutus hubungan seperti ini, ayah juga kesulitan bu untuk melakukan tanggung jawab nya untuk menafkahi aku sebagai anaknya."
"Ibu belum siap nak, ibu merasa bersalah karena perceraian itu juga karena ibu." Ibu kembali teringat kejadian masa lalu yang akhirnya membuat mereka berpisah. 
            Menikah tanpa restu orangtua ibu. Kejadian itu dilakukan oleh ibu dan ayah bertahun-tahun hingga Atsiri dan Atsila lahir. Kemudian orangtua ibu menemukan mereka dan memaksa mereka berpisah. Ayah tak punya kendali, saat itu orangtua dari ibu begitu kuat kedudukannya sehingga suami nya itu tak punya daya untuk mempertahankan pernikahan mereka. Mereka berpisah dengan perasaan yang masih cinta satu sama lain. Dan kini anak mereka lah yang menjadi korban dengan kesepakatan membawa tanggung jawab masing-masing. Ibu dengan Atsiri dan ayah dengan Atsila.
"Bu, Siri akan berusaha cari ayah, siapa tahu ayah bisa bantu perekonomian kita, atau paling tidak membantu biaya sekolah Siri." Atsiri membuat strategi pertemuan antara ibu dan ayah. Ia akan membuat seolah-olah pertemuan itu tidak disengaja walaupun Ia tahu persis dimana ayah nya saat ini berada.
"Kamu mau cari dimana? Memangnya kamu tahu?"
"Yaaaa aku akan coba cari tahu bu. Oiya bu, ayah tu tinggal sama siapa ya berarti? Setelah bercerai sama ibu, ayah sendiri gitu bu?" Ibu terdiam, sampai dengan detik ini Atsiri belum tahu bahwa Ia punya saudara kembar. Atsila juga sengaja melempar pertanyaan ibu untuk mengetahui apa jawaban ibu.
"Ibu nggak tau nak, bisa aja ayah sudah menikah lagi kan? Terus sekarang hidup bersama istri dan anak-anak nya." Ibu berusaha menjawab dengan netral dan sama sekali tidak menjurus kepada pernyataan bahwa mereka memiliki saudara kembar.
"Kalau ternyata belum menikah lagi, kasihan juga yaa ayah hidup sendiri. Malah jangan-jangan ayah masih menyimpan perasaan sama ibu? Iyakann? Mungkin aja kaannn???"
"Husshh sudah-sudahh, ini kue nya nanti nggak jadi-jadi lhooo. Sedikit lagi sudah mau jam 3 sore." Ibu mengalihkan pembicaraan. Atsila gagal memancing ibu untuk bercerita.
[Bersambung……]
5 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Aku ingin dirimu bahagia #4
Seusai aku dan Airi sarapan, Fatih menelponku. Ia mengajakku, Airi, dan Nami untuk bermain layang-layang sore ini. Karena lokasinya sedikit terpencil dan jalannya sulit, Fatih menyarankan untuk pergi bersama. Nami akan datang ke rumahku dan meletakkan mobilnya. Kemudian Fatih akan menjemput kami dan kami akan pergi bersama-sama.
"Kalau mau menang lari estafet, yang terpenting team work. Aku mau kenalan dan deket dulu sama Airi, biar nanti ga kagok ngasih baton ke aku." ujarnya ketika menelponku. Aku sangat berterima kasih dengan Fatih, Ia sudah mau meluangkan waktu liburnya untukku dan Airi. Bahkan ia menawarkan untuk berkenalan terlebih dahulu dengan Airi.
Sore itu, Fatih ternyata tiba di rumah terlebih dahulu. Aku dan Airi keluar untuk menyambutnya. Setelah Fatih memarkirkan mobilnya, ia mendekat dan berlutut, merendahkan tubuhnya di depan Airi. Dengan maksud agar tatapan mata dengan matanya bisa sejajar. Fatih tersenyum.
"Assalamualaikum, Airi. Kenalin ini Paman Fatih, temen bunda dan Onty Nami" Sambil menjulurkan tangannya ingin bersalaman. Tangan kiri Airi menggandeng tanganku. Tangan kanannya mambalas salaman Fatih.
"Waalaikumussalam, Paman." Airi tersenyum.
"Hari ini paman mau ajak Airi buat dan main layang-layang. Udah pernah?"
Airi menggelengkan kepalanya. Meski wajahnya masih terlihat malu-malu, matanya berbinar. Aku tersenyum melihatnya senang.
"Masuk, Tih."
Fatih bangkit dari duduknya dan masuk ke rumah.
"Kita buat layangannya disini dulu aja boleh?"
"Boleh. Butuh apa aja, Tih?"
"Ga ada, Han. Airi aja." Fatih mengeluarkan alat dan bahannya. Ada lidi bambu, tali layangan, kertas minyak, lem fox, dan gunting.
"Kita buat dua layangan ya." Jelasnya.
Saat telepon tadi pagi, Fatih meminta waktunya berdua dengan Airi dengan tujuan ingin lebih akrab dengan Airi. Jadi aku meninggalkan mereka, pergi menuju dapur. Menyiapkan minum dan cemilam untuk Fatih dan Airi. Aku mengelurkan jus jeruk dari kulkas dan memotong apel.
"Airi mau coba buat sendiri?"
Airi mengangguk.
"Oke deh, kita coba step per step yaa. Kalo kesulitan nanti paman bantu."
Suara obrolan mereka terdengar sampai ke dapur. Fatih banyak menanyakan hal tentang Airi. Entah itu sekolah dimana, hobinya apa, biasanya kalau liburan ngapain aja, dan lain-lain. Tetapi ada obrolan mereka yang sambil berbisik, jadi tidak terdengar jelas di telingaku.
Sesampainya Nami di rumahku, dua layangan siap diterbangkan dan sudah masuk ke dalam plastik hitam besar. Aku ingin melihat hasilnya, tetapi.. "Pas udah terbang aja Bunda liatnya ya." ucap Airi melarangku. Fatih menghabiskan jus dan apel yang sudah kusediakan. Kemudian kami semua langsung berangkat.
Matahari sudah mulai turun. Sinarnya sudah tidak terlalu tarik. Kami sampai tujuan, dimana ada lapangan luas dengan banyak angin yang menyertai.
"Paman udah nyari tau tempat yang cocok untuk main layangan." Ujarnya kepada Airi.
Airi sangat semangat, berharap layangan yang dibuatnya bisa ia terbangkan. Dan seperti yang Fatih bilang, tujuan bermain hari ini adalah untuk menjadi kompak. Airi dan Fatih sudah terlihat seperti paman dan keponakannya sendiri.
Aku dan Nami menggelar tikar di lapangan. Duduk menikmati sejuknya angin dan melihat Airi bermain. Fatih mengeluarkan layangan pertama. Layangan pertama berwarna putih polos. Fatih melatih Airi berulang kali sampai akhirnya bisa menerbangkannya.
"BUNDA! LIAT LAYANGAN AIRI TERBAANG!!" Semangatnya Airi mununjukkan layangannya. Aku dan Nami tersenyum bangga. Setelah berlari dan mencoba berulang kali untuk kesekian kalinya, akhirnya Airi sudah bisa menerbangkannya.
*****
Matahari semakin turun. Warna senja mulai memenuhi langit. Tiupan angin-angin mereda. Saatnya untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kami singgah di restoran pinggir jalan untuk makan malam.
Selama perjalanan pulang, kepala Airi sudah bersandar pada bahuku. Terlelap. Walaupun Airi sudah berlari-lari untuk menerbangkan layangan, lelah tidak tergambar pada wajahnya. Melainkan ada senyuman tipis pada sudut mulutnya, seakan-akan sedang bermimpi kembali pengalaman pertamanya menerbangkan layangan.
"Airi tidur. Boleh aku gendong ke dalam, Han?" Tanya Fatih sesampainnya di rumah.
Aku berniat untuk membangunkan Airi. Tapi melihat pulasnya ia tertidur aku tak tega. Setelah mendapat izinku, Fatih membawa Airi ke kamarnya.
Seusai menidurkan dan menyelimuti Airi, sambil melihat wajahnya, "Han, Airi bener terdidik jadi anak yang baik."
"Iya? Alhamdulillah, Airi masih bisa tumbuh dengan baik dengan didikan ibu kayak aku."
Sebelum Fatih dan Nami pulang, aku mengucapkan lagi terima kasih kepada mereka.
*****
Alhamdulillah. Festival olahraga terlewati dengan lancar. Walaupun Airi tidak juara, ia tidak merasa kecewa. Karena sekarang ia punya paman.
Semenjak hari itu, Fatih mulai rutin dan lenih sering mengajak Airi bermain. Dari belajar sepeda sampai pergi ke sungai untuk menangkap ikan, kemudian membakar dan memakannya. Bermain layangan juga menjadi aktivitas rutinnya sekarang. Airi semangat menunggu hari-harinya bermain bersama Fatih.
Seharusnya aku senang melihat Airi yang bahagia. Seharusnya aku senang melihat Airi yang semangat mencoba hal-hal baru. Seharusnya aku senang melihat interaksi Airi dan Fatih yang kompak.
Aku senang. Tapi kenapa ada hati kecilku yang merasa sedih?
Bersambung.
3 notes · View notes
Text
MENEMUKANMU PART 1
“saat kami sama-sama sudah merasakan betapa nikmatnya menduduki bangku perkuliahan, dinamika dunia kampus menikmati sebagian anggaran dari pemerintah untuk pendidikan Indonesia yang tidak didapat oleh seluruh anak Indonesia hingga kepolosok negri. Membuat kami merasah resah, dan ingin memberikan kontribusi nyata untuk negri sendiri. Karena sejatinya kami adalah satu sama-sama putra-putri asli Indonesia satu ibu pertiwi yang selayaknya memiliki hak yang sama.
            Kami tergabung dalam satu komunitas yang terdiri dari sekumpulan pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki visi misi yang sama untuk ibu pertiwi terkhusus untuk kota kami sendiri. jauh dilubuk hati kami sendiri yang sudah kupastikan kami sangat ingin ini terlaksana di ibukota-ibukota lainnya kami ingin semua anak Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang sama rata tanpa ada sekat-sekat ekonomi yang akhirnya memberi batasan pada semangat mereka.
Komunitas ini hadir di ibukota yang bertujuan untuk membantu pembangunan pendidikan di indonesia yang merata pada pelosok negri. Yang mungkin insfrastruktur dari pemerintah tidak terjangkau untuk mereka. Tapi kami tidak mau terus-menerus mengkritisi pemerintah dengan  segala sistemnya yang tidak kami mengerti. Jiwa kami tersentil dan terpanggil ingin berbuat aksi untuk mereka adik kakak kami seibu pertiwi.
            Cuaca hari itu seakan begitu manja mengikuti angin yang begitu damai dari surga membelai dedaunan yang tersipu-sipu malu membuat seluruh suasana ikutan syahdu.
Di meja bundar warung kampoeng sudah ada aku, raja, viola, andy, keyra, kawa, dea, dilan. Kami berdelapan hadir bukan semata mata ingin menjadi hero yang kehadirannya ingin disanjung, tapi kami hadir karena kami sadar kami yang diberi kesempatan tuhan untuk belajar menimba ilmu dan menikmati segala yang dipersembahkan tuhan untuk Indonesia ibu pertiwi tapi tidak semua jiwa rakyat ini menikmatinya.
Jiwa kami terpatri untuk berbagi. Berbagi segala pengalaman, harta ilmu, dan tenaga yang kami miliki. Karena bagi kami itu adalah hak mereka dari kami saudaranya seibu pertiwi.
            Gagasan ini tercetus dari dilan yang baru saja menyelesaikan sarjana sosialnya di fakultas ilmu sosial dan politik di universitas ibukota. Lalu dia menghubungi kawa teman seorganisasinya yang satu fakultas denganku dan terjadilah perekrutan secara LSM diantara kami dan terkumpul lah kami berdelapan yang sebelumnya belum saling mengenal tapi karena kami sevisi dan semisi yang akhirnya mempertemukan dan menyatukan kami.
Dan kami baru menyadari ternyata benar kata orang-orang terdahulu atau kata siapalah itu dunia itu ternyata sempit ya karena sebenarnya kami dulu pernah saling ketemu disalah satu event tapi tidak begitu mengenal, mungkin karena kami masih gengsi-gengsi maunya disapa duluan dan malu menyapa untuk yang pertama kalinya. Entah itu efek karakter pemuda zaman now atau apalah kami sama-sama tak mengerti.
            Dan ternyata aku satu team dengan raja, sosok yang disukai dira, sosok yang suka buat dira baper-baper gak jelas. Dan keyra adalah teman smanya teman aku dan kawa dijurusan, aku saat itu rasanya sedang dibercandain oleh semesta. Membuatku tersimpul senyum,-senyum sendiri. kalau dilan dan raja ternyata sama sama pernah menjadi finalis mawapres universitas setahun lalu. Hanya dea dan andy yang tidak seinstansi dengan kami tapi itu tidak menjadi sekat-sekat yang begitu kongkrit buat kami, karena sejati kami bukanlah aku ataupun kamu tapi kita. Setanah air seibu pertiwi.
Suasana saat itu mulai dengan pembahasan yang serius, tapi tidak terlalu menegangkan buat kami dan tetap dalam keadaan santai menikmati alunan music yang diputar di warung kampoeng yang sedikit agak remix. Baru kali itu aku nongkrong di café yang diputar lagu bertema nasional, rayuan pulau kelapa, kolaborasi para penyanyi kondang tanah air. Membuat kami yang berkumpul saat itu ikutan membara ingin bersatu bersama kedamaian tanah air.
"masing-masing diantara kami menawarkan berbagai tempat yang terletak di desa- desa kota. ada banyak opsi diantara kami. Tapi kami berusaha mensortirnya terlebih dahulu karena kami tau ini project perdana kami. Menampung segala ide dan membahasnya satu persatu. Sebisa mungkin kami meredam ego kami masing-masing untuk tidak selalu ingin didengar tapi mendengarkan. Belajar untuk mendahulukan menghargai orang lain tanpa harus memaksa selalu ingin dihargai. Karena kami beroptimis kami akan melebar kami nantinya tidak hanya berdelapan tapi berdepalan puluh atau berdelapan ratus maka dari itu kami sebisa mungkin harus belajar sedini mungkin perihal itu.
            kami bersatu dari berbeda kota tapi dipertemukan dalam satu cita yaitu Indonesia. Dan kini kami memutuskan untuk memulai di salah satu kota dekat pelabuhan.
“kita tentuin dulu kapan waktu untuk kesana nya sahut vio,
Kami satu sama lain, saling memandang antusias menyebutkan satu persatu tawaran waktu. Sebelum menyepakati waktu keberangkatan kami untuk eksekusi tempat, raja mengeluarkan pendapatnya “ sebaiknya kita survei ke daerah itu dulu gimana? Kita gak bisa gerak tanpa data, aku ingin kita benar-benar hadir buat mereka bukan hanya sekedar datang lalu pergi tanpa memperhatikan mereka kedepannya.
Kami satu sama lain saling mengangguk menandakan kesetujuan atas pendapat raja
“ia jangan kayak tempat persinggahan datang lalu pergi, dikiranya hati awak halte apa hanya dijadiin tempat persinggahan celetuk keyra.
Kami serentak saling tertawa mendengar celetukannya keyra membuat suasana seketika cair kembali dari keseriusan yang dari tadi membentuk meja bundar kami.
“hush kok jadi baperan ra sahutku.
“gengs fokus-fokus dilan mulai membantu mengkondusifkan kami dimeja bundar café.
Okee siap komandan sahut kami serentak,  dan melanjutkan pembahasan.
Oke lanjut ketua sahutku yang tertuju pada raja dan dia senyum mengangguk mendengarnya
“okey lanjut ya semua”
“pertama kita harus surve ini tawaran waktunya kapan?
“Lusa aja gimana? Dea menanggapi.
Oke lanjut aja ketua sahut andi menanggapi waktu kita kondisional kan dulu kalau konsep kita sudah matang tegasnya.
“gak ada yang mau jadi notulen ini, biar pertemuan kita hari ini gak hanya cuap-cuap semata. Mata nya liar memandang keliling kami satu persatu, masih dengan style yang tetap cool dengan penuh kewibawannya itu berefek banget untuk kami dan jiwa kepemimpinannya itu yang seakan menghipnotis. kami untuk berfikir luas terhadap sesuatu. Gak sia-sia aku bantu Follow dia untuk mawapres universitas kemarin walaupunn terpilih dalam katagori favorite batinku.
“aku saja ketua sahut kawa sambil mengeluarkan buku dan penanya dan mencatat ulang apa yang dikatakan raja sebelumnya.
bersambung
2 notes · View notes
ariekdimas · 1 year
Text
Penerbang No.1 - Bagian 4.
Tumblr media
Pagi yang cerah di Akademi Avisnidum. Hari ini para siswa kelas 1C sudah berbaris di Training Ground. Pak Psittacus sudah bersiap untuk memberikan instruksi. Para siswa akan diminta melakukan latihan terbang untuk melihat seberapa jauh kemampuan yang mereka miliki.
“Baik anak-anak. Hari ini kalian akan melakukan serangkaian tes terbang.”
“Tes ini bertujuan untuk menguji seberapa baik kalian dalam terbang.”
“Ada beberapa tes yang diujikan yakni ketangkasan dan durabilitas.”
“Untuk tes yang pertama kalian akan diminta untuk terbang pada Flying Track sejauh 4,8 km. Artinya kalian akan mengelilingi lapangan 800 m sebanyak 6 kali putaran. Disini kecepatan waktu akan diukur dan semakin cepat kalian maka menunjukkan bahwa daya tahan jantung dan paru-paru kalian baik.”
“Kemudian untuk tes durabilitas, kalian akan terbang sambil memakai rompi pemberat seberat 10kg. Pada tes ini akan diukur seberapa lama kalian tahan terbang memutari lapangan dengan rompi tersebut.”
“Sampai sini paham?” “Paham Pak!”sahut anak-anak
“Baik. Sebelum mulai tes pertama, silakan lakukan pemanasan terlebih dahulu”
Sebagai gambaran, Flying Track pada Akademi Avisnidum di desain khusus untuk terbang. Terdapat cincin checkpoint yang harus diikuti oleh penerbang. Penghitung waktu otomatis sudah terpasang pada flying track. Jika cincin tidak dilewati walaupun satu saja maka waktu terbang tidak akan terhitung.
Para siswa sudah melakukan pemanasan untuk  bersiap mengikuti tes. Tes pertama pun dimulai. Masing-masing menunggu gilirannya, termasuk Caleum yang mendapat giliran ditengah-tengah.
Giliran pertama Accel, salah satu teman sekelas Caleum. Ia melesat dengan cepat dan mampu menyelesaikan  6 kali putaran dalam waktu 5 menit
“Gila memang si rambut merah itu, cepat banget” ujar siswa-siswa lain
“Aku nggak nyangka dia bisa secepat itu” kata Caleum
Rata-rata mereka mampu menyelesaikan tes ketangkasan dalam waktu 10 menit. Bahkan Kappo dapat menyelesaikan nya dalam waktu kurang dari 10 menit.
Kini saatnya giliran Caleum. Pada awal permulaan ia mampu melesat cepat. Ia mampu terbang melewati cincin checkpoint dengan baik. Namun ketika sudah masuk putaran ketiga kecepatannya menurun. Ia mulai merasa lelah.
“Aneh, baru sampai setengah jalan mengapa aku sudah capek? Nggak, aku bisa mempertahankan kecepatanku sampai finish.” batin Cal
Akhirnya Caleum sampai ke garis finish dengan penuh keringat dan kecapekan. Penghitung waktu menunjukkan waktu yang ditempuh oleh Cal. 12 menit. Ternyata Cal menempuh waktu lebih lama dibanding teman-temannya yang lain.
“Hah..hah..hah.. Ada apa ini? Kenapa aku selambat ini?” kata Cal dalam hati sambil terengah-engah.
Caleum masih belum menyadari kalau sayapnya memiliki gangguan. Pak Psittacus yang melihatnya kelelahan ditepi lapangan tidak memberi komentar apa-apa. Beliau sebenarnya sudah tahu ketika Caleum maju kedepan kelas. Saat itu Pak Psittacus merasa ada yang ganjal dari sayap Cal.
Semua siswa 1C sudah selesai menjalani tes pertama. Tes kedua akan dilanjutkan esok harinya.
***
Hari kedua, tes durabilitas akan segera dimulai. Para siswa kelas 1C  sudah berkumpul di lapangan dan bersiap untuk melakukan tes berikutnya. Sebelum Pak Psittacus memberi arahan untuk memulai, ia mendatangi Cal untuk menanyakan terkait kondisinya.
“Cal, kemari sebentar.”
“Aku memperhatikan kejadian kemarin. Apa kamu tidak apa-apa?”
“Gapapa Pak, hanya sedikit lelah saja”
“Untuk tes selanjutnya akan lebih berat. Apa kamu yakin ingin tetap melanjutkannya?”
“Pagi ini aku dalam kondisi fit. Tentu aku tetap lanjut pak”
“Baiklah kalau begitu. Ingat batasmu Oke”
Prittt… dan tes durabilitas pun dimulai. Kali ini para siswa diminta untuk terbang menggunakan rompi pemberat mengelilingi lapangan.
Pada tes kali ini Kappo unggul, ia dapat bertahan terbang 10 putaran lapangan dengan rompi seberat 10 kg tersebut. Walaupun ia memiliki tubuh yang gemuk namun fisik dan stamina terbang Kappo ternyata cukup kuat.
“Hebat juga kamu Kappo” kata Cal.
“Iya nih, cadangan makanan di perut jadi energi kayaknya nih hihi” sahut Amanda.
“Hahaha kalian bisa aja. Udah sekarang siap-siap gih. Sekarang giliran kamu Caleum.”
“Semangat Caleum!” kata Amanda menyemangati.
Caleum mulai memakai rompi pemberatnya. Begitu pluit dibunyikan ia segera mengepakkan sayapnya ke langit. Ia pun bisa melewati satu putaran tanpa masalah. Saat di putaran kedua, terbangnya mulai tertatih-tatih. Namun Caleum masih berusahaa untuk melanjutkan.   
Ketika masuk putaran keempat, Cal mulai terlihat sangat lelah. Napasnya sudah mulai berat, detak jantungnya semakin cepat, dan terbangnya naik turun tidak stabil. Dari jauh Pak Psittacus sudah memberikan kode Cal untuk berhenti. Teman-temannya pun sudah meneriakinya namun ia mengabaikannya. Cal ingin membuktikan bahwa ia mampu sampai lebih dari 5 putaran.
Hingga akhirnya, diputaran kelima penglihatan Cal mulai terlihat kabur. Napasnya semakin terengah-engah dan “Bruuk!!!” ia terjatuh tiba-tiba.
Pak Psiccatus pun segera menghampiri Cal dan memanggil tenaga medis untuk membawa Cal ke UKS sekolah.
Cal tidak sadarkan diri karena kelelahan.
[Bersambung...]
3 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
-MAYA-
Tumblr media
Rumah papa tampak begitu sepi. Lampu teras depan sudah menyala, meskipun sekarang masih pukul dua. Aku berdiri tepat di depan pintu. Masih ragu untuk mengetuk dulu ataukah boleh langsung kubuka pintunya. Aku merasa asing dirumah orang tuaku sendiri, saking lamanya tempat ini tidak kukunjungi.
Klek.. Gagang pintu bergerak, dan perlahan terbuka. Tampak wanita tua, jauh di atas papa usainya, menyapaku.
"Nduk, Diani sudah pulang to. Kenapa nggak langsung masuk saja? Ayo ayo sini, masuk, papamu ada di dalam sedang istirahat." Bude Rida menyambutku, mempersilakanku masuk kedalam rumahku sendiri. Selama aku tidak ada, Bude Rida lah yang kerap menemani dan merawat papa, karena kediaman Bude Rida memang tak jauh dari situ.
Aku mengikuti Bude Rida yang memanduku menuju kamar papa. Sembari berjalan, aku mengamati tiap ruang yang ada. Tidak ada yang berubah dari tatanan interior rumah ini, hanya saja sedikit kurang terawat. Maklum, hanya seorang lelaki paruh baya yang meninggali rumah ini, dengan asisten rumah tangga yang hanya datang sesekali untuk bersih-bersih.
"Papamu ada di kamar Di, mungkin lagi tidur. Baru saja selesai makan siang dan minum obat. Kamu masuk saja, Bude mau pulang sebentar,"jelas Bude Rida yang kuikuti dengan anggukan kepala, pertanda aku mengerti pesan yang disampaikannya.
Ku ketuk pintu pelan, tak ada sahutan dari dalam. Kuputuskan untuk membuka pintu itu, perlahan. Suasana hening terpancar dari ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu. Ku lihat papa terbaring di ranjang besinya dengan mata terpejam. "Papa masih tidur,"gumamku lirih. Setelah masuk kedalam, kututup pintu itu dengan sangat pelan, supaya tak menimbulkan suara yang mengganggu tidurnya papa.
Aku duduk ditepi ranjang dengan pandangan tak beralih kepada lelaki yang tengah terlelap itu. Garis keriput di wajahnya tak lagi dapat disembunyikan, pertanda makin menua usianya. Kugenggam tangannya yang tidak tertutupi selimut. Kerutan demi kerutan pun tampak pula disana.
"Diani pulang pa,"ucapku lirih sambil mengelus telapak tangan itu.
***
Hari-hari berikutnya, kondisi papa semakin membaik. Aku mengambil cuti sepekan untuk merawat papa dan menemaninya pergi kontrol ke dokter. Beruntungnya Bu Dewi memberiku izin.
"Untuk pekerjaanmu yang belum selesai serahkan ke Ariana, sementara biar dia dulu yang handle,"begitu ucap Bu Dewi setelah menyetujui perizinanku.
"Na, aku minta tolong handle dulu kerjaanku ya. Aku harus ambil cuti dulu sementara sampai kondisi papa benar-benar membaik,"ujarku pada Ariana sesaat setelah kami tersambung via telepon.
"Siap laksanakan komandan,"timpalnya yang sama sekali tanpa beban.
Aku begitu bersyukur memiliki lingkungan kerja yang humanis, setidaknya itulah alasanku masih bertahan disana, dengan pekerjaan yang sebetulnya tidak begitu aku suka.
***
"Kamu tidak ingin kembali ke rumah ini, nak?,"tanya papa saat kami tengah sarapan bersama. Ada Bude Rida dan Pakde Agung yang kebetulan ada disana ikut menyimak, serta mbak Rima, anak bungsu mereka.
"Diani belum tau, sejauh ini, jarak tempat tinggal yang sekarang dengan kantor tidak terlalu jauh. Itu jelas membantu." Kulirik papa hanya mengangguk pelan sambil terus menyuapkan makanan ke mulutnya.
Entah apa yang membuatku berani berbicara seperti itu, biasanya aku hampir tak pernah bisa menyusun kalimat dengan benar jika berbicara dengan papa.
"Mungkin Diani juga harus mulai memikirkan kondisi papa. Kalian kan hanya berdua, kalau tidak saling menjaga dan mengandalkan satu sama lain, akan bergantung kepada siapa lagi? Maaf jika Pakde ikut campur, tapi mungkin ucapan pakde bisa menjadi pertimbanganmu, nak."
"Iya Pakde. Sebelumnya terima kasih Pakde dan Bude sudah berkenan menjaga papa selagi Diani tidak tinggal di rumah ini. Tapi, situasi sekarang masih belum memungkinkan kalau Diani kembali kesini. Kantor Diani sedang akan melakukan ekspansi dan pembukaan beberapa cabang baru, sehingga beban pekerjaan sekarang jauh lebih banyak." Aku menghela nafas sebelum melanjutkan,"Tidak jarang Diani harus lembur dan pulang larut. Jarak rumah ini ke kantor hampir memakan waktu satu setengah jam perjalanan, dan harus oper beberapa kali jika Diani naik bis kota. Bagi Diani, itu kurang efisien dan jauh lebih mahal untuk ongkos akomodasinya,"ucapku berusaha memberi penjelasan sediplomatis mungkin, berharap dapat dimengerti tapi tidak menyakiti.
Papa masih terdiam tak berusaha memberi komentar apapun. Barangkali, jawaban yang kuberikan sangat masuk akal, setidaknya asumsiku begitu. Sejujurnya, aku lebih suka hidup sendiri, mengatur inginku yang begitu dan begini. Aku belum siap jika bebasku kini terenggut lagi.
"Oh ya Di, kamu masih ingat nggak dengan teman sekolahmu yang dulu tinggal di Blok D no 4, sebelum sekarang ditempati keluarga Pak Parmono ? Fachri atau siapa itu namanya,"celetuk mbak Rima setelah perbincangan tentang perpindahan rumah usai.
Kali ini aku yang terdiam. Sejenak aku menerka-nerka, apakah yang dimaksud Mbak Rima adalah Fahmi.
"Fahmi?,"tanyaku memastikan.
"Ah iya, Fahmi." "Kenapa mba?,"tanyaku antusias. Aku penasaran kenapa Mbak Rima tiba-tiba berbicara soal Fahmi. Mungkinkah Mbak Rima tau kabar tentang Fahmi?Tapi, belum sempat Mbak Rima menjelaskann, telepon genggamnya berdering nyaring. Ada seseorang yang tengah memanggilnya. Beberapa saat, Mbak Rima mohon izin dari meja makan untuk menerima panggilan itu. Tak lama berselang, dia berucap,"Bapak, Ibu, Om dan juga Diani, maaf aku harus undur diri dulu, ada keperluan mendadak di kantor. Terima kasih untuk makan paginya,"kata Mba Rima seusai membereskan sisa makan paginya. Urusan yang mendadak itu membuatnya sedikit tergesa-gesa meninggalkan kami yang masih setia duduk ditempat semula.
Aku melongo. Cerita tentang Fahmi tak dilanjutkannya, sedang aku sudah dibuat penasaran olehnya. "Sialan,"hardikku dalam hati.
***
2 notes · View notes
akhmads · 1 year
Text
Antara Pilihan, Kesempatan, dan Keinginan Orang Tua - Part 4
Pilihan yang Sulit
Tumblr media
"Pilihan yang sulit adalah pilihan antara apa yang benar dan apa yang mudah." - Rio
Rio duduk di teras rumahnya, menatap ke arah jalan raya yang sibuk. Ia merenungkan tentang pilihan yang sulit yang harus ia hadapi dalam karirnya.
Sejak bergabung dengan perusahaan startup tersebut, Rio telah membangun keterampilan dan pengalaman yang luar biasa. Ia merasa sangat bangga dengan pekerjaannya dan senang dengan lingkungan kerjanya.
Namun, baru-baru ini, Rio menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan multinasional terkenal yang menawarkan gaji yang lebih tinggi dan lebih banyak kesempatan untuk berkembang.
Rio merasa bingung dan tidak tahu harus memilih yang mana. Ia merasa bahwa jika ia menerima tawaran tersebut, ia akan meninggalkan lingkungan kerjanya yang sekarang dan memulai dari awal lagi. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa tawaran tersebut adalah kesempatan besar untuk meningkatkan karirnya dan mencapai impian barunya.
Rio berbicara dengan beberapa teman dan rekan kerjanya tentang pilihan yang sulit ini. Mereka memberikan pendapat dan masukan yang berbeda-beda, tetapi pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Rio.
Rio merenungkan kembali pilihan-pilihan yang ada di hadapannya. Ia tahu bahwa ia harus memilih antara apa yang benar dan apa yang mudah.
"Apa yang benar adalah mencari kesempatan yang terbaik untuk diriku sendiri dan masa depanku, tetapi apa yang mudah adalah bertahan dengan yang sudah ada," kata Rio pada dirinya sendiri.
Setelah berpikir matang-matang, Rio memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan multinasional tersebut. Ia menyadari bahwa pilihan itu tidak mudah, tetapi ia yakin bahwa itu adalah pilihan yang benar untuk karir dan masa depannya.
Rio memutuskan untuk mengucapkan terima kasih pada perusahaan startup tempat ia bekerja sekarang. Ia memberikan penghormatan dan mengucapkan terima kasih atas pengalaman yang telah ia peroleh dan kesempatan yang telah diberikan.
Perusahaan startup tersebut mengerti keputusan Rio dan merasa bangga dengan prestasi dan pengembangan yang ia capai di sana. Mereka memberikan penghargaan dan mengucapkan selamat atas kesuksesannya.
Rio bergabung dengan perusahaan multinasional tersebut dan merasa senang dengan keputusannya. Ia merasa bahwa ia telah memilih pilihan yang sulit tetapi benar untuk karir dan masa depannya.
Rio bekerja keras dan berkembang dengan baik di perusahaan multinasional tersebut. Ia merasa senang dengan pekerjaannya dan merasa bahwa ia telah menemukan lingkungan kerja yang cocok untuk dirinya.
Suatu hari, ketika Rio sedang bekerja di kantornya, ia mendengar kabar buruk tentang rekan kerjanya, Rani. Rani baru saja diberhentikan dari pekerjaannya di perusahaan multinasional tersebut.
Rio merasa sedih dan terkejut dengan kabar itu. Ia tahu betapa sulitnya kehilangan pekerjaan dan merasa khawatir dengan masa depan Rani.
Rio memutuskan untuk mengunjungi Rani di apartemennya untuk memberikan dukungan dan membicarakan masa depannya. Ketika ia tiba di apartemen Rani, ia melihat bahwa Rani sedang duduk termenung di sofa.
"Hai Rani, apa kabar?" tanya Rio sambil duduk di sebelahnya.
Rani mengangkat kepalanya dan tersenyum, "Hai Rio, terima kasih sudah datang. Aku sedikit kesulitan menghadapi situasi ini."
Rio merasa simpati pada Rani dan berusaha memberikan semangat dan motivasi. Ia bertanya tentang rencana Rani untuk masa depannya dan mencoba memberikan saran dan bantuan untuk mencari pekerjaan baru.
"Jangan khawatir, Rani. Aku yakin bahwa kamu akan menemukan pekerjaan baru yang lebih baik dan lebih cocok untukmu," kata Rio dengan tegas.
Rani merasa tersentuh dengan dukungan dan semangat yang diberikan oleh Rio. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian dalam situasi sulit ini dan bahwa ia memiliki teman yang selalu ada untuknya.
Rio dan Rani berbicara selama beberapa jam tentang masa depan mereka dan mencari solusi untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Mereka berbicara tentang impian dan tujuan mereka dan berusaha untuk menginspirasi dan mendukung satu sama lain.
Namun, ketika Rio pulang ke rumahnya, ia merasa bahwa ada konflik dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus membantu Rani, tetapi ia juga menyadari bahwa ia harus berfokus pada pekerjaannya dan mencapai tujuan karirnya sendiri.
Rio merenungkan kembali pilihan yang sulit yang harus ia hadapi. Ia tahu bahwa ia harus memilih antara membantu Rani dan fokus pada karirnya sendiri.
"Apa yang benar adalah membantu teman yang membutuhkan, tetapi apa yang mudah adalah fokus pada karirku sendiri," kata Rio pada dirinya sendiri.
Rio merasa bimbang dan tidak tahu harus memilih yang mana. Ia memutuskan untuk menghubungi beberapa teman dan rekan kerjanya untuk mendapatkan masukan dan saran.
Setelah berbicara dengan beberapa orang, Rio memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Ia akan membantu Rani dengan mencari informasi pekerjaan dan memberikan dukungan, tetapi ia juga akan tetap fokus pada karirnya dan mencapai tujuan-tujuannya.
Rio dan Rani berbicara lagi dan Rio memberikan bantuan dan informasi tentang pekerjaan yang mungkin cocok untuk Rani. Ia memberikan dukungan dan semangat untuk Rani untuk mencari pekerjaan baru dan mengejar impian barunya.
Beberapa minggu kemudian, Rani berhasil mendapatkan pekerjaan baru yang cocok untuknya. Ia merasa sangat senang dan berterima kasih pada Rio atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Perusahaan multinasional tempat Rio bekerja mengalami masalah keuangan dan harus melakukan pemotongan biaya, termasuk melakukan PHK pada beberapa karyawan termasuk Rio.
Rio merasa sedih dan terkejut dengan kabar tersebut. Ia merasa bahwa ia telah bekerja keras dan memberikan kontribusi yang besar pada perusahaan tersebut.
Rio bertemu dengan atasan dan rekan kerjanya untuk membicarakan situasi ini. Mereka memberikan penjelasan tentang situasi keuangan perusahaan dan berusaha memberikan solusi untuk menghindari PHK. Namun, pada akhirnya, Rio tetap harus di-PHK.
Rio merasa kecewa dan khawatir dengan masa depannya. Ia merasa bahwa ia harus mencari pekerjaan baru dan memulai dari awal lagi.
Rani, yang sudah mendapatkan pekerjaan baru, berusaha memberikan dukungan dan bantuan untuk Rio. Ia membicarakan pengalamannya mencari pekerjaan baru dan memberikan saran dan tips untuk mencari pekerjaan baru.
Rio merasa senang dengan dukungan dan bantuan yang diberikan oleh Rani. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian dalam situasi sulit ini dan bahwa ia memiliki teman yang selalu ada untuknya.
Rio berusaha mencari pekerjaan baru dan berbicara dengan teman dan rekan kerjanya tentang kesempatan kerja yang tersedia. Ia merasa bahwa ia harus mencari pekerjaan baru yang cocok untuknya dan membantu dirinya untuk mencapai impian barunya.
Setelah beberapa minggu mencari pekerjaan, Rio berhasil mendapatkan tawaran pekerjaan dari perusahaan startup baru yang menarik. Ia merasa senang dan berterima kasih atas kesempatan baru ini.
Rio bertemu dengan Rani dan mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan yang diberikan. Ia merasa bahwa ia telah belajar banyak dari pengalamannya dan bahwa ia tidak akan pernah menyerah untuk mencari kesempatan baru.
"Kita harus menciptakan kesempatan itu sendiri," kata Rio pada Rani.
Rani tersenyum dan berkata, "Ya, percayalah. Kesempatan tidak datang dua kali. Tapi, kita harus siap menghadapi tantangan dan keputusan yang sulit untuk mencapai impian kita."
Rio dan Rani tertawa bersama dan berjanji untuk saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam perjuangan mereka untuk mencapai impian dan tujuan karir mereka.
3 notes · View notes
diarimiraa · 1 year
Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 4
Wangi aroma melati kini menggerakkan hidung Rumi dari tidurnya. Sepertinya tidaklah asing dia membau aroma sari melati beserta kehangatan wanginya. Teh melati khas buatan Bunda yang selalu menemani pagi sebangin ia tidur. Guling yang dipeluknyapun terjatuh ke lantai. Muka bantal dan selimut yang tersingkap serta pijakan kaki ke lantai. Pelan-pelan Rumi mengambil secangkir the dan menyeruputnya penuh khidmat.
“Glek-Glek-Glek” suara Rumi menelan teh hangat buatan BUnda dalam tiga tegukan
Serasa kehausan sehabis berlari keliling lapangan. Memang sekangen itu Rumi menikmati teh buatan Bunda.
Rumi pun teringat surat yang dia berikan kepada kak Zen. Apakah kak Zen benar-benar kaget dengan jawabannya. Atau kak Zen mengabaikannya begitu saja.
Dilain sisi dia masih dalam kebimbangan, sembari mengingat-ingat nasihat dari abah dan bunda.
Saat sedang duduk di meja belajarnya, Rumi teringat dia pernah menuliskan banyak sekali kegelisahannya yang saat ini dia rasakan. Perlahan dia mengambil buku bersampul cokelat dengan daun kering didepannya. Perlahan dia membuka dan membaca dengan penuh rasa penasaran.
Rumi pun terlarut dalam ingatan masa lalu, perlahan membaca dan tenggelam dalam catatannya.
Catatan Rumi.
“Hai kak, maafkan Rumi yang tidak berani mengatakan hal-hal ini Ketika kaka dulu menemui Abah. Namun Rumi akan menuliskaannya dibuku ini sebagai pengingat Rumi pernah memikirkan apa yang Rumi inginkan.”
0 notes
nqamariah · 1 year
Text
[ZENIT - NADIR]
BAB IV
Malam semakin pekat menghampiri, ditemani cahaya dari lampu-lampu pemukiman yang dilewati. Sebuah pemandangan monoton dari balik jendela kereta. Di kaki langit sang planet merah Mars terlihat menampakkan dirinya dan disusul oleh sang raksasa Jupiter. Keduanya masih akan betah menyusuri lingkaran langit hingga fajar menyingsing.
Terlihat masih ada seorang anak manusia yang tidak bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Sudah berbagai macam cara dilakukan agar tertidur tapi sepertinya memang tubuhnya yang menolak dengan keras. Tanpa pikir panjang Naya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan memutuskan untuk menyusuri lorong kereta.
Seperti biasa aktivitas mengamati sekitar adalah salah satu yang paling menarik menurut bagi Naya. Bagi Naya menganalisis orang lain adalah pekerjaan yang asik. Bagaimana menerka orang lain, walaupun hampir semua hasil pikirannya itu hanya akan mendekam di satu bagian di dalam kepalanya. Sayup-sayup terdengar suara penumpang yang masih ingin mengobrol namun tidak ingin menganggu orang-orang yang sedang beristirahat. Nampak cahaya dari lampu-lampu pemukiman yang dilewati menjadi pemandangan monoton dari balik jendela.”
Setelah merapikan barangnya, Naya pun beranjak untuk memulai penjelajahan kecilnya. Walaupun hanya sekadar melihat-lihat. Walaupun sudah sangat sering menaiki kereta, Naya masih sering saja takjub. Bisa dibilang kereta menjadi salah satu transportasi yang menyimpan sejarah panjang, digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menjajah dan menopang segala kebutuhan hidup masyarakatnya terutama masalah akomodasi. Kereta yang juga ikut ambil peran dalam peperangan. Turut mengantarkan serdadu Belanda, mengangkut hasil bumi atau ternak, dan sebagainya. Bisa dibilang kereta adalah salah satu hal baik yang ditinggalkan para penjajah di Bumi Nusantara.
Naya memutuskan berhenti di gerbong terakhir kemudian memilih duduk sebentar di salah satu kursi yang kosong lalu berdiam diri untuk waktu yang lama menikmati keheningan yang menyusupi sekitarnya. Kemudian, tiba-tiba …
“Permisi mbak, ada yang bisa saya bantu?” tegur seorang laki-laki paruh baya yang menghampiri Naya dari belakang dengan nada ramah.
“Eh, nggak ada kok pak. Ini saya cuman mau jalan-jalan.”
“Walah, saya kira mbaknya ada masalah. Kalau misal mbak ada masalah atau butuh sesuatu bisa  langsung datang ke petugas terdekat ya mbak”
“Ohiya pak, terima kasih banyak.” ucap Naya guna meyakinkan. Dari seragamnya Naya tahu bahwa yang sedang ia ajak bicara adalah seorang kondektur kereta.
Sudah cukup puas dengan aktivitas mengkhayalnya Naya mencari jalan agar tidak bosan dan terbesitlah ide untuk berbincang dengan sang kondektur. Berdasarkan pengamatannya di gerbong ini hanya sang kondekturlah yang bisa diajak bicara.
“Ohiya pak, ini baru selesai kerja ya?” ujar Naya untuk memulai pembicaraan baru dengan sag kondektur.
“Iya nih mbak, baru selesai keliling. Sekarang sudah ganti shift sama yang lain.”
“Ohiya, kalau boleh tahu bapak Namanya siapa?” tanya Naya yang sedikit tidak memberi kesempatan sang kondektur jeda. Berbanding terbalik saat berbincang dengan pak Gugun dimana pak Gugun yang lebih aktif dalam pembicaraan.
“Kalau saya Abhinaya pak, bisa dipanggil Naya.”
“Panggil pak Djalal saja. Bapak aslinya dari dari Padang Pariaman.” pak Djalal turut menyebutkan asalnya dengan tujuan agar bisa diingat.
“Waah, jauh ya pak. Kerjanya malah disini.” balas Naya yang cukup terkejut sebab gaya bicara pak Djalal yang tidak menunjukkan gaya Minang sama sekali. Dugaan Naya mungkin saja pak Djalal sudah lama merantau dan mudah untuk menyesuaikan bahasa serta logat lokal.
“Iya mbak Naya, maklum bapak sudah dari dulu pengen kerja di bagian perkeretaan.”
“Memangnya kenapa pak?”, ucap Naya sembari memperbaiki duduknya untuk menghadap pak Djalal yang ternyata juga sudah ikut duduk.
“Ini mbak Naya serius mau dengar? Jarang-jarang loh ada anak muda baru kenal tapi mau dengar cerita orang tua kayak pak Djalal ini. Persis sekali sama anak bungsu bapak, selalu pengen tahu dan kayaknya sepantaran sama mbak Naya usianya.”, pak Djalal pun terheran dengan manusia yang baru saja ia tahu Namanya beberapa menit lalu tetapi tetap meladeni Naya sebab teringat putri bungsunya yang sedang berada di Tanah Minang sana.
“Iya pak serius mau dengar.”
Mungkin bila pak Gugun melihat kepribadian Naya yang ini tentu akan kaget sebab sangat berbanding terbalik. Inilah salah satu sisi diri seorang Abhinaya Judistia yang jarang ia tunjukkan ke orang lain. Ajaib, pak Djalal seperti memaggil kepribadian itu untuk muncul. Apa mungkin karena jiwa dan perawakan pak Djalal yang betul-betul kebapakan.
“Waktu kecil bapak sering main di dekat rel bekas pembagunan pemerintah kolonial Belanda, terus juga Apak pak Djalal sering cerita apalagi dulu beliau sering ke bolak balik Jawa dan Padang Pariaman karena urusan tugas. Sepulang dari Jawa Apak pasti cerita tentang perjalannya naik kereta api. Bisa dibilang awalnya dari situ, karena di Sumatera kereta tidak sebanyak di Jawa akhirnya pak Djalal memutuskan untuk merantau ke Jawa.”
“Sebenarnya dulu pak Djalal niatnya bukan mau jadi kondektur tapi ternyata arah hidup pak Djalal yaa kesini. Hidup memang tidak bisa diduga mbak Naya, terlalu kompleks untuk dijabarkan.”
Seketika Naya pun tersadar bahwa keputusannya untuk menahan pak Djalal agar berbincang dengannya adalah perihal yang tepat.
“Bapak punya satu cerita mbak Naya, mau dengar?”
“Wah, boleh sekali pak.”
“Belasan tahun…”
0 notes
Text
Menuju 40 (Part IV)
bulan Oktober, hari Minggu sore, Skype Video Call
"I don't see marriage as a necessity," muka Alex menunjukkan tanda tanya ketika Menik menanyakannya mengenai konsep pernikahan. Di usianya yang hanya berbeda 3 tahun lebih muda dari Menik, Alex juga masih juga belum menikah hingga saat ini. Alex pribadi unik, memiliki jiwa hippie. Seorang yang bebas, lepas, dan tidak mau dipusingkan dengan konsep masa depan. Hidupnya hanya untuk hari ini. Meskipun Alex adalah seorang yang bertanggung jawab dan tak pernah mau menyakiti orang lain.
"And marriage certificate is more like a certificate of ownership. The man feels like owning the woman, and vice versa," lanjut Alex. "Then what's the purpose of marriage if you just want to own one another? That's why many marriages fail in the first five years. People forgot two people together doesn't mean becoming one people. No, never it would happen." lanjut Alex.
Menik sesungguhnya memiliki jiwa serupa dengan Alex, jiwa yang bebas, tidak mau diatur, hanya mau bertumbuh. Itulah mengapa Menik hingga saat ini sulit menemukan seseorang yang memahami dirinya dan dapat membiarkannya tumbuh menjadi pribadi lebih baik setiap harinya. Menik ingin eksplorasi hidup, bukan hidup dengan kerutinan yang monoton.
"But what about compromising and adjusting?" tanya Menik kepada Alex yang selalu terlihat ganteng di layar Skype dan sering membuat Menik tersipu - sipu malu sendiri. "Compromising of what and adjusting for what?", tanya Alex. "To change one another? Becoming a person they shouldn't be?" lanjut Alex.
"A true relationship comes with acceptance and understanding the fact that you are you and I'm what I'm, and both have to accept each other happily. That's when both grow within n with each other. We should accept each other the way we are." ujar Alex panjang lebar.
"and what about the concept of loyalty?" Menik membalas penjelasan Alex.
"well, loyalty will be always there in a true relationship.. if both are in love and trust and respect each other, then I don't care if she's meeting guys who are friends or colleagues," Alex menjelaskan kembali kepada Menik.
Menik membatin dalam hati menyetujui konsep Alex. Mereka berdua memiliki konsep yang sama satu sama lain. Dan memang sudah lama, sebenarnya Menik menyukai Alex, namun karena jarak memisahkan mereka, Menik memutuskan untuk memendam perasaan dan mencintai Alex hanya secara sepihak. Lagipula [cinta yang sesungguhnya tak harus memiliki dan Menik senang hanya mencintai tanpa harus memiliki] karena Menik sadar bahwa untuk memiliki suatu hubungan, ia harus dapat memastikan perasaannya dan pihak yang lain merupakan benar - benar pilihannya.
(bersambung)
0 notes
inesyafr-blog · 1 year
Text
JIKA KOMA MASIH MENDAHULUI TITIK (4)
“Hai Kak, baru kelar praktikum ya, kok lemes gitu?”
“Iya nih, tadi riweh banget di lab”, jawab Alea dengan lemas.
“Yaudah kita ngobrolin proposalnya di kantin aja kak. Sahut Lia, anggota sie acara yang lain”
“Boleh deh. Yuk sekalian makan bareng” kalian uda pada makan belum?”
“Belum Kak, tadi Lia sama Rani juga baru selesai kelas”
Sambil berjalan dari lantai 2 ke kantin fakultas, Alea begitu asyik mengobrol dengan Lia dan Rani. Pembicaraan mereka begitu akrab. Lia dan Rani langsung merasakan kehangatan Alea. Zafri yang diam tapi penuh pengamatan terhadap Alea. Alea yang mencuri perhatiaannya sedari hari pertama masuk dunia universitas. Tapi perhatian Zafri tidak masuk kedalam radar Alea. Alea bahkan lupa kalo Zafri masih ada di muka bumi berjalan bersamanya menuju kantin.
Zafri. Dua tahun lebih mudah dari Alea. Zafri pun punya kenangan buruk terhadap cinta. Dia pernah mencintai teman sebayanya. Zafri pun merasakan penghianatan yang serupa dengan Aleya. Yang berbeda hanya cinta Zafri tidak sedalam Alea. Zafri tertarik dengan Alea. Dan ketertarikan itu Zafri tuangkan kedalam duplikasi. Ya Zafri membawa rasa semangat yang ia serap dari Alea dalam bentuk keaktifan mahasiswa yang sama dengan Alea. Zafri begitu bersemangat ketika Alea memberikan arahan terkait susunan acara kunjungan industri. Cara Alea yang sederhana, lugas dan jelas membuat Zafri begitu antusias pada hal-hal yang diutarakan Alea.
Zafri pun secara tanpa sadar berusaha masuk ke orbit Alea. Dia berusaha mencari tahu makanan favorit Alea, mencari tahu tempat favorit Alea. Warna favorit Alea, kapan Alea keluar kelas. Hampir semua hal-hal terkait Alea Zafri cari tau.
Sampai saat Zafri mengetahui bahwa Alea begitu dingin kepada laki-laki. Zafri pun mula bergerilya mencari tahu siapa teman dekat perempuan atau pun teman dekat laki – laki dari Alea. Zafri begitu yakin bahwa tak ada laki-laki yang dekat dengan Alea. Zafri pun merasa bahwa dia berpeluang besar untuk masuk kedalam hidup Alea lebih dalam.
Rara pun memberikan signal kepada Zafri bahwa Alea tidak sedang dekat dengan siapa pun. Rara memberikan dukungan penuh pada Zafri. Namun Rara tak bisa memberikan informasi bahwa saat ini hati Alea sedang terpaut kepada sosok laki-laki tinggi berkacamata yang tak lain adalah kaka tingkat Alea sekaligus asdos paling populer di fakultas mereka.
Rara tidak ingin hal itu membuat Zafri mundur sehingga dia merahasiakan itu. Sekaligus Rara berharap Zafri mampu menggeser tempat laki – laki itu di hati Alea. Zafri pun paham bukan hal yang mudah untuk bisa masuk ke hidup Alea lebih dari sekedar hubungan kepanitiaan kunjungan industri. Zafri pun mencoba masuk ke sisi akademis. Zafri mencoba membangun interaksi dengan Alea dari jalan mata kuliah. Banyak hal-hal yang dia tanyakan ke Alea terkait mata kuliah di kampus.
Alea menanggapi gerakan Zafri dengan reaksi datar. Seperti reaksi Alea pada laki – laki yang lain. Tapi itu terasa lebih menantang bagi Zafri. Zafri yakin bahwa akan menjadi hal yang luar biasa jika dia lebih dekat dengan Alea.
Sampai di mana, ternyata Alea tidak dapat ikut serta dalam kunjungan industri dikarenakan Alea harus ikut pelatihan lomba debat di salah satu Universitas. Dengan sigap Zafri, menawarkan diri untuk menghandle posisi ketua kegiatan kunjungan industri. Zafri mampu meyakinkan Alea bahwa semua akan baik-baik saja. Alea pun tidak meragukan Zafri. Dia percaya bahwa Zafri mampu mengontrol semua acara kunjungan industri pada hari lusa.
Rara pun dengan cepat menghibur Alea.
“Udah, Le, gak apa-apa. Zafri bisa kok handle semua. Kamu fokus aja sama pelatihan debatmu, ya.”
“Iya Ra. gue yakin sama Zafri, cuma gue gak enak sama dia.”
“dia seneng kali bisa bantuin lu.”
Hari pelaksanaan kunjungan industri pun datang. Alea melepas kepergian rombongan setelah berbicara banyak dengan Zafri. Banyak hal-hal yang Alea titipkan ke Zafri. Zafri pun dengan seksama mendengarkan arahan Alea. Zafri dengan sigap menangkap segala arahan itu dengan sigap. Tanpa banyak pertanyaan, Zafri dapat meyakinkan Alea bahwa semua akan berjalan baik sesuai rencana.
Setelah kepergian rombongan itu, dinding dingin Alea kepada Zafri mulai melebur. Alea mendapat laporan bahwa Zafri mampu menghandle acara kunjungan industri dengan luar biasa. Semua terurus dengan sempurna. Bahkan laporan pertanggung jawaban diselesaikan Zafri dalam waktu kurang dari tiga hari.
Alea dan Zafri menjadi lebih dekat. Mereka sering bertemu untuk mendiskusikan beberapa hal terkait perkuliahan. Alea mulai lebih hangat. Lebih antusias. Rara yang melihat kedekatan mereka merasa senang. Merasa bahagia karena Alea seperti menemukan dunia baru yang lebih berwarna.
Zafri pun begitu, tak banyak hal yang dia inginkan dari Alea. Perbincangan hangat yang dia lalui bersama sudah cukup bagi Zafri untuk saat ini. Berada pada orbit Alea yang tidak pernah orang lain jangkau ternyata adalah pencapaian terbesar Zafri. Zafri merasa beruntung. Tapi ternyata Alea tidak sejauh itu. Dia merasa Zafri masih sama seperti laki-laki lain. Belum istimewa. Ternyata hati Alea belum membiarka Zafri masuk lebih dalam. Tidak secepat itu. Alea masih merasa Zafri adalah manusia asing. Manusia baru kemarin sore yang baru iya kenal kemarin sore. Perbincangan hangat yang dia lalui dengan Zafri hanya seperti perbincangan biasa. Perbincangan yang lumrah dilakukan antar mahasiswa yang saling berbagi keruwetan dunia perkuliahan. Zafri belum seistimewa kaka tingkat sang asdos paling populer sefakultas. Rasa kagum Alea belum berpindah sedikit pun. Antusias Alea masih bermuara pada Kaka asdos itu. Zafri sama sekali tidak mengetahui ini. Zafri teru mengorbit pada orbitnya, berusaha masuk lebih dalam ke dunia Alea.
Bersambung.
#5CC#5CC19#bentangpustaka#writingcareerclass#cerpencareerclass
0 notes
farishasafrina · 1 year
Text
Aku Dewasa Tanpa Ingin #4
“Kami ngerasa aneh, karena biasanya kan kalian selalu tepat waktu, terus tadi kok tumben telat” Ibad menjawab duluan.
Aku, Yasmin, Seril dan Delphine tertawa hampir bersamaan mendengar jawaban Ibad.
“Itulah uniknya kami” Yasmin berkata sambil nyengir.
***
            Mobil kami tiba di Taman Bizari sesuai dengan perkiraan Raffan. Kami semua takjub dengan keindahan kawasan Taman Bizari. Banyak sekali bangunan indah dan bercahaya, sistem penataan kotanya sangat menarik, membuat siapun yang berkunjung bisa sangat betah memandangi kota ini dalam waktu lama. Bahkan kami saja hampir lupa untuk segera mencari Istana Dewi Kretiva. Kemudian kami bertanya pada penduduk disekitar tempat kami mendarat.
“Permisi Buk, kami dari pelajar boarding class semester 2. Kami ingin bertanya alamat istana Dewi Kretiva arah mana ya buk?” Raffan mencoba bertanya dengan salah satu penduduk Taman Bizari.
            Ibu tersebut hanya melihat Raffan sekilas, kemudian ia bersikap acuh dengan pertanyaan yang diajukan. Hal ini membuat kami sedikit terkejut dan heran dengan sika si ibu. Tanpa ingin berdebat, kami akhirnya saling berpencar bertanya dengan penduduk yang lain dan kembali ke titik awal setelah 10 menit berpisah.
“Kalian udah dapat alamatnya?” Ahkaf bertanya kearahku dan Delphine. Kami berdua hanya bisa menggeleng.
“Aneh sekali, aku kok kesel ya dengan penduduk disini, kenapa sikap mereka seperti itu?” Yasmin dan Ibad datang dari arah yang berlawanan.
“Ra, awas!!” kudengar Roger berteriak kearahku. Teriakannya mengejutkan kami berempat yang berjarak 600 meter dari posisinya. Raffan yang berdiri disebelahnya langsung menoleh bingung kearahnya, ia tidak bisa melihat dengan jelas posisi kami berdiri dan alasan mengapa Roger berteriak menyebut namaku.
0 notes
nurannisafauziyah · 1 year
Text
Menjadi apaun yang kamu inginkan
Tumblr media
Bisakah membayangkan menginginkan sesuatu yang entah bagaimana caranya untuk terwujud? hanya air mata yang tumpah membasahi pipi, hati yang rasanya entah bagaimana harus digambarkan, rasanya seperti mengambang dalam angan. Hidup yang sebenarnya sedang tidak benar-benar hidup, hanya sedang menjalani apa yang mesti dijalankan, menapaki apa yang semestinya dipijahkan. Entah harus memelihara keinginan ini atau pura-pura melupakannya. Mau mengejar pun tak tau harus berlari kemana, sepertinya sedang lelah untuk berusaha keras. mungkin sedang ada di fase mencoba menikmati, menikmati yang entah dengan cara tepat atau tidak. Sepertinya kurang tepat jika kata indah menikmati itu untuk membungkus tubuh yang sedang bermalas-malasan. Ah rasanya ingin tertidur lebih lama terlebih dahulu sampai rasa yang tidak bisa digambarkan ini pergi. 
Sebenarnya ini bukan sekali dua kali aku merasakan rasa yang aku sulit menggambarkan apa yang dirasakan. Tetapi tetap setiap rasa ini berkunjung, aku ingin hibernasi lama sampai dia beranjak pergi. Siklusnya seperti itu biasanya tak dipungkiri Aku meyakini ada faktor hormon yang fluktuatif juga berkontribusi mempengaruhi. 
Apa yang harus aku lakukan dikala ini? kenapa Aku belum cukup piawai mengenai diriku sendiri. Tidak bisa aku terus hibernasi sementara  mata sudah tidak bisa diajak kompromi untuk terus dipejamkan. Mau menyambut dunia yang sudah berganti hari kenapa terasa berat? rasanya tak terasa, hambar jika digambarkan dengan rasa yang dirasakan indra pengecap. Semuanya terasa datar, tubuh lemah, semangat tak ada padahal masih banyak hal yang seharusnya Aku selesaikan, dituntaskan untuk dikerjakan. Draining rasanya. Jika bisa memilih Aku ingin skip moment ini. Hal yang Aku percaya saat momen ini terlewat ada hal bahagia menyapa terbukti dengan siklus yang sering berpola seperti itu Ya kebahagiaan akan datang tapi tetap tidak mudah melewatinya. 
Jika di fikir-fikir sepertinya tidak ada masalah yang berarti tapi kadang tidak ada masalah itu yang sebenarnya masalah, masalah karena sepertinya kita yang tak mampu mengenali dengan baik yang sesungguhnya terjadi. Ah entahlah aku terlalu bingung dengan kehidupan, sampai-sampai Aku pun bingung dengan inginku.
Pernah tidak kalian menginginkan sesuatu tapi disaat bersamaan pikiranmu berkata "pada kenyataannya jika hal itu terjadi belum tentu juga seindah yang kita bayangkan pada akhirnya" Seolah menepis keinginan nya sendiri. Seperti tak mau berharap atau diri ini mencoba untuk menghibur diri, disaat yang bersamaan sepertinya menekan keinget tersebut, dengan halus tak mengizinkan keinginan itu ada. 
—--
Kenapa ya gelap itu menenangkan, sunyi itu surga 
Pernahkah kalian bertanya tanya kenapa ada orang yang terus bekerja, lalu hal yang dilakukan dalam pekerjaannya adalah sama dan seolah baik baik saja tak mengenal kata bosan
Pernahkah kalian membayangkan sesuatu yang memungkinkan terjadi nya itu sangat tidak mungkin? 
Pernahkah kalian menginginkan sesuatu dan itu suka terwujud beberapa tahun lamanya sampai ada titik kesadaran lalu mengatakan pada diri sendiri "ini yang dulu Aku inginkan" dan disatu sisi
Pernahkah kalian membayangkan sesuatu dan apa yang kalian bayangkan itu tidak pernah terjadi sehingga kalian meminta pikiran untuk tidak membayangkan apapun karena menyadari jika itu dibayangkan itu tidak akan pernah terjadi
Pernahkah kalian tak mengetahui yang sebenarnya apa yang diinginkan? 
Pernahkah kalian hanya ingin menumpahkan air mata tanpa sebab apapun 
Pernahkah hati kalian tak merasakan apapun karena memang itu yang diperintahkan oleh pikiran agar tak merasakan kecewa sehingga mengubur dalam dalam kata berharap yang sebenarnya itu tak bisa dikubur dan senantiasa muncul dipermukaan
Pernahkah kalian lelah dengan kehidupan dan tak mengerti harus bagaimana hanya melangkahkan tanpa arah 
Pernahkah kalian merasakan tak bahagia padahal apa yang kalian miliki adalah impian banyak orang? 
Bagaimana kita ingin mewujudkan apa yang kita inginkan jika keinginan yang ada ditepis oleh diri atau parahnya lagi tak mengetahui apa yang diinginkan bukan tak memiliki keinginan tapi... 
Mengapa terlalu banyak tapi
Mengapa terlalu banyak keinginan
Mengapa terlalu banyak bingung tak menentu
Mengapa tak berani untuk meyakini jika yang diinginkan bisa saja menjadi nyata
Mengapa terlalu takut kecewa? 
Mengapa banyak kata menyapa? 
Mengapa diri ini terlalu lemah untuk melawan malas 
Mengapa semangat dalam diri sedang mendapatkan porsi yang sedikit kali ini? 
Mau A tapi harus B
Pernahkah kalian ada di titik titik tertentu seperti itu?
Jika aku rasanya terlalu sering
Itu salah satu yang menekan keinginan sesungguhnya
Kenapa rasanya kali ini Aku tidak mengerahkan seluruh daya untuk melakukan yang terbaik?
Kenapa mood lebih banyak berhasil memperdaya diri dan jadi sering terlena?
Sepertinya Aku lama tidak berdialog dengan diri sendiri, mendengarkan apa yang dirasakannya saat ini, hari berganti dengan sangat cepat sampai-sampai aku lupa bertanya apa kabar Aku? lalu saat merasakan sesuatu, Aku lupa menanyakan dan mengkaji lebih dalam apa yang sesungguhnya aku rasakan dan kiranya apa yang membuat Aku merasakan itu. Memvalidasi rasa, mengenali rasa lalu belajar memanagement rasa. 
Vocabulary terkait rasa sepertinya perlu ditingkatkan
—-
BINGUNG
kadang ada masa diri ini tak mau dipengaruhi oleh rasa karena Aku tau endingnya akan seperti apa, merasakan rindu itu tidak menentu, membuat mood seperti lagi menaiki roller coaster. Ingin seperti itu kadang tapi terlalu banyak hal diluar kontrol lalu hanya bisa terperangkap dalam keterbatasan yang ada. 
Hai apakah kabarmu baik baik saja?
Diri, yuk beranjak untuk mengejar mimpi menjadi nyata
Semakin hari banyak hal yang disadari walau pastinya masih banyak yang belum disadari dan belum dimengerti oleh diri ini
Ternyata sangat lelah berinteraksi dengan yang tidak satu frekuensi, sulit untuk berdiskusi
Ternyata sulit berkomunikasi dengan yang tak mengerti
Ternyata banyak hal yang tidak mudah ditoleransi diri ini
Ternyata tak mudah respect dengan orang 
Ternyata ada syarat dan ketentuan tertentu yang berlaku sepertinya yang mungkin ada list bakunya yang kita tidak sadari
Ternyata sulit untuk berusaha berpura-pura
Ternyata sulit untuk men switch image yang sudah ada di kepala
Ternyata sulit bekerjasama dengan orang yang berbeda
Ternyata aku tak sesabar itu
Aku menyadari tidak ada yang sempurna di kehidupan ini, yang sempurna hanyalah di surgaNya 
Aku sudah berusaha untuk berjalan harmoni, bekerja sama beriringan tapi mengapa mudah sekali menemukan hal yang merusak kepura-puraan itu
0 notes