Text
draft-recess commotion
Laras, mau makan sama kita?
Tidak, aku mau makan keluar sama orang itu.
Ahaha, take your time, ya. Semoga langgeng terus!
Terima kasih!
Kerumunan kelas itu bubar dikala Laras pergi keluar dari kelas. Beberapa ada yang berbincang mengenai bagaimana tampannya kekasih baru dari Laras. Beberapa ada yang cemburu karena sudah didahului oleh seorang lelaki yang tidak mereka kenal.
Sementara itu, di sudut lain trio anak Asrama Tapal Kuda hanya melihatnya dari kejauhan. Keadaan kelas kembali normal ketika Laras kembali ke mode seperti biasanya sudah lewat seminggu, setelah Laras mengumumkan kalau dia sudah memiliki seorang yang ia suka dan menunjukkan foto Alan ketika tidak memakai kacamata. TIdak ada yang tahu kalau itu adalah Alan selain dua sahabatnya yang terkikik melihat Laras keluar dari kelas.
Kamu tidak mau menyusulnya, Lan? tanya Bobi dengan nada sinis. Katanya dia ingin makan siang bersama orang yang ada di foto itu.
Iya, sana susul saja! Cesar nimbrung dengan menyikut bahu Dani. Betul tidak, Dan?
Sebenarnya ada satu yang tahu kalau Alan adalah orang yang ada di dalam foto Laras, Dani teman sebangku Alan hari ini. Namun dia tidak begitu tertarik dengan hal itu, dan tampaknya malah fokus menonton cuplikan animasi Jepang yang baru saja rilis malam hari tadi.
Dan, Bobi menghampiri Dani. Kamu tidak tertarik dengan pembahasan ini?
Tentu tidak, dia itu suka sama karakter dua dimensi, balas Alan agar menjauhkan Dani ikut-ikutan dari topik tak berguna itu.
Bukan begitu, Lan. Suka menonton anime bukan berarti aku suka karakter dua dimensi, Dani mematikan siaran animasi Jepangnya dan menunjukkan foto seorang wanita asli di depannya. Aku juga suka karakter tiga dimensi, seperti foto ini.
Sama saja, yang kamu tunjukkan itu dari grup idol terkenal! Alan menimpali lagi. Maksudku, memang mungkin bisa diraih, bukan? Tetapi kemungkinannya kecil.
Ya, daripada kamu sendiri. Padahal orangnya sudah ada di dalam kelas, sering dibilang sama Laras kalau dia kesayangannya. Dani berkata dengan nada yang meninggi, sehingga membuat Alan juga ikut naik tensi.
Tapi, kan?
Kenapa selama ini kamu tidak ada inisiatif? tanya Dani pedas, dengan nada yang cukup mengesalkan. Alan yang tadi membela diri kini tidak bisa mengelak pertanyaan Dani, karena Dani kalau sudah pedas perkataannya itu benar-benar menusuk ke dalam hati.
Walaupun aku ini menyukai anime, otaku, ataupun apapun itu setidaknya aku masih memiliki akal sehat. Dani melanjutkan dengan tensi yang lebih rendah. Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyianyiakan kesempatan itu.
Alan tidak menyangka orang yang tidak begitu tertarik perempuan seperti Dani memberikan pernyataan bak seorang ekspertisi dalam asmara. Sepertinya dia salah menilai Dani. Padahal pada awalnya dia mengira dia dan Dani itu cukup sama. Tetapi dia tidak bisa meremehkan penampilan dan hobi orang. Dani sendiri walaupun pintar tapi dia cukup kritis dan berani berkata lantang sesuai apa yang ia inginkan. Berbeda dengan Alan yang masih mencari apa yang ia inginkan: cita-cita, cinta, atau jati dirinya yang masih terombang-ambing di masa lalu.
Sudah… sudah… Bobi berusaha menenangkan ketegangan dua teman sebangku itu. Alan, lebih baik kamu ikuti saja Laras di menara sekolah.
Dengan enggan Alan mengangguk. Dia mengambil makan siangnya kemudian pergi ke tempat yang akan dia tuju demi bertemu Laras.
1 note
·
View note
Text
draft-flashback hero
Jauh jauh ke belakang, Alan mengingat hari-harinya di panti asuhan. Hari-harinya akan dimulai pukul tiga pagi. Pukul tiga pagi sudah dibangunkan oleh ibu asuh untuk ibadah salat malam. Dan karena kebiasaan bangun pukul tiga pagi itu sudah tertanam kini hingga sudah SMA. Setelah salat malam, dia bersama puluhan saudara-saudaranya langsung tadarus hingga datang azan Subuh. Usai subuh mereka kembali ke kamar untuk mandi, sarapan, dan. Inipun kebiasaan yang dibawa sampai ke asrama tapal kuda, dan dia tidak keberatan dengan jadwal yang sama setiap harinya. Sehingga tipe asrama tapal kuda ini membuatnya nyaman.
Yang membedakan dengan kegiatannya kini adalah kegiatan saat sekolah dan sepulang sekolah. Mungkin saat SD dan SMP dia akan sekolah dan pulang pada pukul satu siang. Usai itu dia tidak langsung kembali ke panti, melainkan pergi ke warnet untuk sekadar mencari informasi, mengerjakan pekerjaan rumah, atau setidaknya melihat mas-mas penjaga warnet yang tampak antusias dengan pekerjaannya.
Oi, Alan. Kowe baru pulang, toh? Seorang pria berambut panjang dengan kaos basket LA Lakers menyapa Alan yang baru saja masuk ke warnet dengan senyum. Sendiri wae, biasanya sama teman-teman panti yang lain.
Mas Zaki! sahut Alan kecil yang langsung menghampiri dan menyalami pria itu. Aku baru saja naik SMP, Mas. Teman-teman yang lain masih SD.
Alan kecil bertemu dengan Zaki, seorang pria lulusan salah satu perguruan tinggi yang memiliki warnet dekat panti asuhannya. Dia adalah penjaga warnet yang dia kelola sejak dia menjalani tugas akhir hingga sekarang cukup ramai dengan pemain game FPS, MOBA PC, bahkan ada yang membawa ponsel dari rumah. Dia membuka ini dengan iseng, untuk menguji sistem hub yang dia proyeksikan kepada tugas akhir. Akhirnya keterusan hingga menjadi usaha yang cukup besar. Jika ditanya warnet terbaik di kota ini, Zachnet akan jadi nomor satu.
Tetapi di balik pekerjaannya itu, Zaki adalah seorang programer handal dengan gaji yang cukup besar. Bayarannya bisa sampai enam digit dolar dalam sepekan, kalau sedang ramai. Selain itu, dia juga menjadi guru dari Alan sendiri dalam dunia programer.
Lan. Ayo kesini, Lan! ajak Zaki sambil membuka aplikasi programnya.
Apa lagi, Mas? Jangan-jangan aku disuruh belajar CSS lagi. Mending Python! Canda Alan sambil menertawakan Zaki. Dia duduk di samping Zaki. Zaki sendiri tampaknya sudah menganggap Alan sebagai adiknya, karena Zaki sendiri tidak memiliki adik, anak tunggal. Dengan datangnya adik yang antusias membuatnya bersemangat bekerja dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat kepada Alan.
Alan sudah tertarik dengan dunia programing sejak kelas lima SD. Melihat pekerjaan Zaki yang begitu fantastik, dia langsung kepincut dan meminta mengajarinya. Sebagai akibatnya, Alan diajak Zaki mendaftar lomba dan mendapatkan posisi tiga dengan bimbingan Zaki. Dia mendapatkan uang cukup banyak dari perlombaan. Sampai suatu saat, dia mendapatkan banyak uang dari lomba dan ketahuan oleh ibu asuh uangnya jadi disita, sehingga semua uang-uang itu disimpan Zaki dan sesekali diberikan kepada Alan untuk jajan. Bagi Alan, Zaki bukan hanya seorang programer dan penjaga warnet, melainkan seorang kakak dan orang tua yang mengayominya di luar panti asuhan.
Mas Zaki sedang apa, ya?
Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu Zaki. Kini, di asrama tapal kuda dia duduk di depan selasar dan mencoba untuk menelpon Zaki namun nomornya tidak aktif.
Sepertinya tidak aktif, ya? katanya sambil menghembuskan nafas. Kalau aku balik ke panti akhir semester esok mungkin aku tanyakan Mas Zaki, deh.
1 note
·
View note
Text
draft-cafe encounter
Jadi apakah Anda lihat apa yang saya lakukan?
Ah? Hm Hm! Alan hanya bisa mengangguk melihat apa yang Laras lakukan di menara atas. Dia tidak bisa menolak semua pertanyaannya sekarang. Di dalam pikirannya dia hanya berandai-andai kalau saja dia tidak pergi ke atas itu mungkin dia tidak akan bertemu dengan Laras saat ini di salah satu kafe dekat sekolah.
Begitu, ucap Laras. Apa yang Anda dengar dari perkataan saya di atas menara itu?
Baiklah. Alan mencoba untuk menenangkan diri. Aku mendengar kamu berkata kalau kamu tidak ingin dipanggil oleh tuan putri atau semacam itu. Bukannya itu benar, Laras?
Ah! Wajah Laras memerah, tandanya memang tepat seperti yang dibicarakan oleh Alan. Dengan cepat dia berusaha untuk menutupi wajah merahnya dengan meminum susu kocok coklat yang dia beli. Dia menyelinguk kanan-kiri, memastikan Alan untuk tidak melihatnya malu-malu. Keheningan menyeruak diantara keduanya, hanya menyisakan suara mobil dan motor yang berlalu-lalang di depan kafe yang didesain terbuka ini.
Alan, di sudut yang lain hanya melihat Laras dengan wajah heran. Dia sebenarnya dalam hati merasa greget, dengan tingkah laku Laras yang berbeda dengan apa yang ia lihat tadi pagi.
Kalau begitu, kata Alan memecah keheningan. Kenapa kamu tidak bilang saja, ‘Aku tidak ingin dipanggil tuan putri, cukup Laras saja!’? Kupikir mereka akan mengerti, bukan?
Tapi, nanti aku…
Tapi, apa? Alan bertanya dengan heran. Apakah kamu merasa diancam oleh seseorang?
Ah! Laras merasa tenggorokannya tercekat. Kondisinya sekarang berbalik. Padahal Laras di dalam pikirannya ingin menekan Alan untuk tidak menyebarkan kondisinya sekarang. Tetapi kini dia malah tertekan dengan pertanyaan Alan yang malah lebih mengenai dirinya.
Siapa yang mengancammu? Apakah dia mengirimkan ancaman seperti pembunuhan? Penguntit? Ah, maaf kalau aku terlalu banyak pikiran! kata Alan sambil mencicipi kopi buatan kafe itu. Dia tidak asing dengan kafe ini, karena setiap ada pekerjaan paruh waktu dia akan membeli kopi disini. Apalagi dia memiliki kartu membership, sehingga dia bisa mendapatkan diskon setiap kali membeli makanan dan minuman disini.
Laras menunduk, wajahnya yang tangguh dan penuh wibawa kini menyiratkan wajah sayu. Make-upnya seakan luntur dari wajah, walaupun sebenarnya dia tidak memakai make-up terlalu banyak. Melihat perilaku Laras yang berubah, Alan menarik nafas panjang dan meregangkan punggungnya. Dia mengeluarkan laptop di dalam tasnya.
Oke anggap saja demikian, ya? Alan langsung menyalakan laptopnya. Dia membuka situs web yang sedikit abu-abu. Jadi ancaman macam apa yang didapatkan olehmu?
Lebih ke… hutang taruhan truth or dare dari kawan saya.
Suasana tensi dari keduanya berubah menjadi penuh kebingungan.
Hah? Alan terkejut dan naik dari kursinya. Semua pengunjung bisa mendengar teriakannya. Sehingga dia langsung meminta maaf dan duduk kembali di kursi.
Habisnya, mereka akan memanggil saya tuan putri sampai setidaknya aku memiliki seorang yang bisa dipacari! Dan saya bilang seperti ini karena dare yang belum dilaksanakan.
Jadi selama ini, kau berbicara begitu karena hutang truth of dare? Alan bertanya sambil menjambak rambutnya, kesal. Berapa bulan sudah begitu?
Satu semester, mungkin.
Bagaimana kamu bisa sepolos ini? Padahal bisa saja kamu membatalkan dare itu kalau tidak bisa! pikir Alan. Permainan truth or dare tidak akan sampai selama ini. Kalau ada yang selama ini berarti itu sudah seperti kutukan.
Oke, Alan mencoba untuk menenangkan diri dan menyelesaikan masalah ini. Siapa yang menghutangimu truth or dare?
Bobi dan Cesar.
Ah, betul kamu dulu sekelas dengan Bobi dan Ce-. Oi! Dua orang itu kawan sekamarku, lho!
Tidak menyangka kalau orang yang memberi tantangan itu adalah dua sahabatnya, Alan merasa kesal. Kenapa mereka memberikan tantangan semacam itu kepada perempuan sepolos Laras yang bahkan baru tahu cara main truth or dare beberapa bulan lalu. Seberapa kuno sebenarnya dia, begitu pikir Alan sambil memutar-mutar otaknya.
Maka dari itu, saya mau tidak mau harus memikirkan solusinya. Dan sa-
Apa aku harus menelpon mereka? Soal-
Tidak! Tidak perlu! Saya hanya minta tolong ke Anda! Jangan libatkan dua sahabat Anda!
Alan mencoba untuk menelpon Bobi atau Cesar untuk menjelaskan semua ini. Akan tetapi Laras menyita ponsel Alan dan menaruhnya kembali di atas meja. Alan malah semakin bingung, bagaimana mau menyelesaikan masalah ini kalau tidak dipertemukan antara perundung dengan yang dirundung.
Minta tolong seperti apa yang dimaksud?
Begini?
Laras beranjak dari kursinya, kemudian berbisik di telinga Alan. Dia membisikkan ide pada Alan, dan Alan kaget dengan ide Laras. Sementara Laras tersenyum dan menepuk tangannya meminta tolong.
1 note
·
View note
Text
draft-dormitory intro
Hari ini cukup melelahkan!
Ya, bukannya kalian sendiri yang latihan, balas Alan sambil duduk menghampiri Bobi dan Cesar yang sudah duduk duluan.
Ini penting, Lan. Untuk kualifikasi O2SN. Kalau kalah di babak pertama ini memalukan. Ibarat kamu kalah di OSN Kabupaten, memalukan bukan?
Dalam Asrama Tapal Kuda, Alan, Bobi, dan Cesar sedang makan sore di ruang makan yang didesain bisa menampung tiga puluh siswa penerima beasiswa. Duduklah mereka di salah satu meja yang tersedia untuk tiga orang. Mereka duduk sambil menyantap makanan sembari menceritakan apa yang mereka dapat hari ini. Bobi dan Cesar membicarakan soal seleksi O2SN sedangkan Alan menceritakan tentang pekerjaannya hari ini, tanpa menyebutkan apa yang terjadi antara Alan dengan Laras sebelumnya sehingga pulang terlambat daripada Bobi dan Cesar.
Alan menyantap telur goreng dan sayur kacang yang sudah disediakan di kantin asrama, sementara Bobi dan Cesar masing-masing menyantap seporsi nasi besar beserta rendang dan juga sayur bening. Maklum, mereka adalah atlet sehingga nutrisi dan makanan yang cukup diperlukan untuk menjaga kebugaran tubuh mereka.
Seusai makan sore di kantin asrama, mereka kembali ke kamar mereka. Sedangkan biasanya mereka pasti akan berjalan di halaman atau selasar asrama, mungkin karena mereka lelah setelah latihan.
Mengenai Asrama Tapal Kuda, mengapa dinamakan demikian? Karena bentuk bangunan asramanya melingkar dengan potongan di salah satu sisinya. Mirip seperti huruf U dengan ujung hurufnya diselipkan ke tengah sedikit. Asrama ini sebenarnya bisa menampung tiga kali lipat dari penghuni saat ini yang berjumlah tiga puluh orang. Cukup besar, dengan selasar, bangsal, dan lapangan kecil yang biasa digunakan untuk sparring antar angkatan atau kegiatan khusus penerima beasiswa yang tiap bulan dilangsungkan.
Asrama ini baru saja diresmikan saat angkatan Alan dan kawan-kawan masuk. Sebelumnya, asrama mengambil dua menara sekolah yang kini ditutup. Asrama baru ini dibuat sangat besar mengikuti kebijakan sekolah saat ini akan meningkatkan jumlah penerima beasiswa dari sepuluh siswa dalam satu angkatan ke tiga puluh siswa dalam satu angkatan. Itupun akan berlaku tahun depan, saat Alan dan kawan-kawannya itu sudah masuk kelas tiga SMA. Itu artinya tahun depan asrama ini benar-benar akan terisi lima puluh orang.
Ah, aku benar-benar capek sekali hari ini. Cesar sempoyongan dan langsung terbaring ke dipannya.
Hei, jangan langsung tidur setelah makan! Alan menarik Cesar dan berusaha mendudukannya di kasur. Setidaknya tunggu tiga puluh menit dulu, kek?
Benar, Ces. Setidaknya tunggu beberapa saat saja dulu.
Iya, iya.
Akhirnya mereka menarik Cesar untuk duduk di lantai sambil membuka ponsel mereka satu-satu. Mengecek pesan masuk dari grup kelas yang baru mereka masuki tadi pagi. Seperti biasa, grup baru pasti akan ramai dengan pesan masuk. Mereka mengecek pesan masuk dari grup kelas dan mencoba membalas beberapa pesan mengenai sekolah, candaan, dan masih banyak lagi.
Pip!
Saat sedang mengecek pesan masuk, Alan mendapati kalau Laras mengirimkan banyak pesan kepadanya.
Ah! Ya ampun!
Ada apa, Lan?
Tidak apa-apa, boy! Alan menjawab dengan sedikit ragu-ragu, takut ada sesuatu yang mereka ketahui. Padahal ini rahasia antara Alan dan Laras itu sendiri.
1 note
·
View note
Text
draft-first direct encounter
Kau tidak ada kegiatan lain, Den? tanya Alan kepada salah satu pria berambut keriting yang duduk di depannya.
Iya, kalau kau?
Aku masih ada kerjaan.
Oh, side gig ya? Pria itu membalas dengan tersenyum. Semangat part-timenya, bro!
Terima kasih, Deni!
Alan dengan cepat mengetik baris baris program yang harus ia selesaikan setidaknya dalam beberapa jam ke depan. Ini sudah menjadi hal yang ia makan dalam kesehariannya sebagai programer amatir dengan rate per hour sepuluh dolar dalam satu jam, dengan jam kerjanya yang berawal dari sepulang sekolah sampai setidaknya pukul sepuluh malam.
Sementara itu, pria yang mengajaknya berbincang tadi adalah salah satu teman Alan yang ia kenal saat hari-hari mereka sebagai newcomer di ekskul OSN, Deni. Deni dan Alan sama-sama mengikuti olimpiade, hanya saja kalau Alan mengambil olimpiade komputer sedangkan Deni mengambil olimpiade matematika. Walau begitu, mereka berdua cukup kenal baik karena Alan sering menanyakan basic matematika dari Deni, yang sama-sama satu angkatan.
Sejak pukul empat sore hingga setidaknya sekolah tutup, Alan akan meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas sekolah dan pekerjaannya. Alasannya adalah setelah pulang sekolah Wi-Fi sekolah akan lebih kencang karena tidak ada siswa, mereka semua sudah pulang. Yang tersisa hanya beberapa siswa yang sedang ekskul atau ada yang sedang berbincang sepulang sekolah, yang topiknya tidak begitu menarik di pendengaran Alan. Dengan headset di kepala disertai keyboard mekanik, dia bisa menghabiskan sampai ratusan baris yang ia tulis. Kalau sudah selesai, dia akan memberitahu klien atau atasannya yang memberi tugas, sampai mana progresnya berjalan.
Oh, sudah jam lima ya? Alan menengok kelas dan melihat jam sekolah sudah menunjukkan pukul lima. Bel terakhir sekolah berbunyi, menandakan bahwa sekolah akan dikosongkan dalam setengah jam lagi. Beberapa siswa yang mengikuti ekskul atau kegiatan organisasi juga sudah mulai pulang, terlihat dari gerombolan siswa yang sudah pulang.
Kalau begitu, aku sudahkan saja untuk sesi ini. Nanti lagi setelah sesi Isya aku open to work lagi. Dengan segera dia mengubah profilnya ke offline dan mematikan laptopnya. Setelah itu dia mencoba berkemas sampai.
Anu, permisi.
Oh! Alan terperanjat mendengar suara lembut di sampingnya. Suara itu datang seperti hantu, tetapi Alan tidak takut dan langsung membalikkan badan. Sesosok perempuan berdiri di sebelahnya dengan muka bingung.
Alan mengira bahwa dia adalah orang terakhir di kelas itu. Akan tetapi, dia bukanlah orang terakhir di kelas itu. Dia adalah Laras, orang yang menjadi pusat perhatiannya entah dari pagi, siang, bahkan mungkin menjadi perhatiannya di sore hari ini. Alan kaget, karena dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Laras secara tatap muka.
Eh… Laras bukan?
Iya, saya Laras! Laras menjawab dengan bahasa formal yang sedikit tegas sambil menundukkan badannya. Mohon maaf, kalau saya mengganggu Anda!
T-Tidak usah dipikirkan, dan santai saja. Alan menaikkan tangannya dan meminta Laras untuk menghentikan bungkuknya.
Di dalam hatinya, Alan berpikir apakah mungkin ini karena dia sudah tahu apa yang terjadi siang hari tadi. Jantungnya berdegup kencang. Pikirannya tidak karuan, akankah dia menjadi santapan para fansnya esok hari karena dia dianggap stalker. Kalau begitu, aku harus meminta maaf terlebih dahulu, begitu pikir Alan.
Anu!
Anu!
Eh?
Eh?
Mereka berdua saling bertukar kata yang sama. Saking herannya mereka memandangi satu sama lain.
Kalau begitu, Laras dulu saja, kata Alan dengan ramah dan tersenyum. Padahal di dalam hatinya dia sedikit tegang, takut ketahuan apa yang dia lakukan di menara sekolah tadi siang.
Ini, kunci Anda terjatuh bukan? Laras menyodorkan kunci itu kepada Alan. Itu adalah kunci asrama Alan yang menaungi tiga orang, satu kamar untuk tiga orang. Saya hanya ingin mengembalikannya kepada Alan.
Terima kasih! Alan dengan segera mengambil kuncinya. Kalau tidak ada kamu, aku tidak bisa masuk asrama. Apalagi Bobi dan Cesar.
Sama-sama. Tetapi sebagai gantinya, bisakah Anda jelaskan tentang suara sendok dan kunci yang jatuh di tangga dekat menara itu.
Ah, i-itu?
Laras tersenyum dengan sedikit mengancam. Senyumnya seperti ingin menghilangkan Alan dari dunia ini. Skenario terburuk itu memang terjadi. Namun Alan tahu, dia tidak bisa lari. Dia hanya bisa meminta maaf karena sudah menjadi saksi dari tangisan sang tuan putri angkatannya ini. Dengan pasrah, dia hanya mengangguk ketakutan.
Bagus. Mari kita bicarakan di suatu tempat!
1 note
·
View note
Text
draft-first encounter
Siang hari ini tidak seperti biasanya. Tempat dia makan bersama dengan ketiga temannya di ujung perpustakaan sana sedang direnovasi, sehingga harus menemukan tempat yang baru. Sementara itu, tampaknya Bobi dan Cesar langsung mendapatkan dispensasi di hari ini karena mereka akan langsung masuk ke babak kualifikasi lomba di Makassar sehingga mereka dipulangkan untuk siap-siap. Alan kini sendirian, tidak ada kawan makan di sekolah saat istirahat kini.
Mereka ini benar-benar aneh, ya? Padahal baru saja hari pertama sekolah.
Tujuan makan Alan saat ini adalah salah satu bagian tertinggi dari benteng itu. SMA Benteng Negeri memiliki enam menara yang menjadi ikon dari sekolah ini. Namun, menara yang terbuka kini hanya dua saja, di kedua sisi tengah. Kini dia berjalan menuju tempat makan yang ia tuju. Dia harus melewati beberapa anak tangga untuk makan siang di tempat yang tenang.
Wah, akhirnya sampai juga!
Setelah menjelajahi seisi sekolah, sampailah dia di bagian tertinggi sekolah ini. Begitu melihat keluar dari pintu terakhir menuju menara, tampaklah pemandangan langit biru dengan sebuah bidang lingkaran yang menjadi ciri khas menara ini. Jari-jarinya mungkin sekitar lima meter, sehingga bisa menampung banyak murid. Ini dulu digunakan untuk kelas outdoor, hanya saja karena alasan keamanan kelas outdoor di atas menara benteng akhirnya ditiadakan.
Akhirnya aku menemukan tempat makan siang disi... Eh?
Baru saja Alan tiba di atap menara, dia melihat seorang siswi yang dia kenal sejak pagi ini. Siapa lagi kalau bukan Laras. Dia tampak sedang tertunduk menangis sambil membawa sepotong roti yang menjadi bekal makan siangnya. Dia duduk sambil memeluk lututnya sembari memakan roti itu perlahan-lahan. Roti itu hanyalah roti polos tanpa ada selai atau isian, roti tawar kupas.
Uhu! Laras tampak menangis. Padahal aku ingin menjadi seorang siswa biasa yang bisa bergaul dengan semua orang. Tetapi kenapa orang ingin memanggilku tuan putri! Aku hanya ingin menjadi bahagia sebagai orang biasa.
Alan yang ingin makan di atas menara itu mengurungkan niatnya. Dia hanya bisa melihat Laras menangis seorang diri, seolah-olah tidak ada orang yang tahu. Padahal ada satu orang setelahnya yang melihat kalau dia menangis. Seperti tadi, Alan hanya bisa terdiam. Dia tidak memiliki kuasa untuk membantu karena dia bukan orang yang berkuasa lagi berpunya. Dia memilih untuk diam, menghindari masalah.
Seandainya orang-orang itu tahu penderitaan Laras. Alan hanya bisa bersimpati terus menerus. Akan tetapi waktu istirahat pertama akan berakhir dalam beberapa saat, sehingga Alan harus menyelesaikan makan siangnya di balik pintu. Dengan segera dia membuka bungkusan nasi rames telur yang dia beli dan mengambil sendok yang sudah dia siapkan sebelum berangkat. Dengan buru-buru dia memasukkan separuh nasi itu dalam satu menit, tanpa dikunyah halus.
Aku tidak ingin menjadi seorang tuan putri! Aku hanya ingin dipanggil Laras!
Tring!
Saat sedang menyuap buru-buru, sendok Alan terjatuh dan mengenai teralis besi, sehingga dentingnya membuat kaget entah itu dari Alan sendiri atau dari Laras yang langsung dengan cepat menyadarinya. Sadar ada yang mengikutinya,
Siapa itu?
Gawat!
Sendok sialan, pikir Alan. Sendok Alan terjatuh. Tahu kalau Laras mendengar suara denting sendok dia kembali ke kelas dengan perut yang setengah terisi agar tidak ketahuan Laras. Dia langsung lari turun menyusuri koridor hingga akhirnya sampai ke kelas dengan terengah-engah, tegang karena takut keberadaannya diketahui Laras.
Sementara itu, masih di atas menara. Laras yang tahu sedang dikuntit langsung menghapus air matanya. Dia yang malu berusaha untuk turun secepatnya dan mencari siapa pelaku penguntitannya. Dan dia langsung menemukan siapa pelakunya, dari kunci kamar asrama dan identitas pemiliknya.
Oh, dari Asrama Tapal Kuda? Laras melihat dengan seksama. Bukannya Asrama Tapal Kuda itu satu kunci untuk tiga kamar ya? Ini harus segera dikembalikan
Dia segera membalikkan kunci itu, dan tampak data diri dari si pemilik utama kunci kamar itu. Nama pemilik utamanya adalah Alan Sembada. Seorang pria berkacamata dengan rambut lurus sesuai fotonya. Sepertinya itu adalah kunci asrama Alan yang tidak sengaja terjatuh saat sedang turun.
Oh, Alan ya? Mata Laras berbinar dengan nanar yang sedikit obsesif, garang. Sepertinya ini takdir, dan kau tidak bisa lepas dariku!
1 note
·
View note
Text
draft-hero and 2 supports chara intro
Pria yang bangun sepagi ini hanya untuk salat dan olahraga pagi adalah Alan. Sementara dua pria yang dipannya menghimpitnya dan sedang tertidur ini adalah Bobi dan Cesar. Pukul tiga pagi, usai Alan mengerjakan pekerjaan hariannya sejak pukul dua pagi dia mulai mandi pagi. Banyak yang membayangkan kalau mandi pukul tiga pagi itu cukup dingin. Namun ini berbeda bagi Alan.
Segarnya mandi jam tiga pagi, tetapi kenapa banyak orang yang tidak suka? puji Alan sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Alan percaya dengan salah satu penelitian kalau mandi pukul tiga ini tidak lebih dingin daripada mandi pukul lima atau enam pagi setelah matahari terbit karena saat pukul tiga tidak ada perbedaan signifikan dari rasa suhu tubuh, suhu air, dan suhu kamar mandi.
Setelah itu dia mengaca di depan kaca kamar asramanya yang sudah pecah separuh karena penghuni sebelumnya. Dengan ditemani lampu kecil, dia menyisir rambutnya yang lurus itu sambil berusaha untuk tidak membangunkan teman seasramanya yang tidur pulas dalam kegelapan. Di depan kaca, tampak sekali wajahnya yang biasa ini tampak lebih tampan setelah mandi pagi. Tapi ini belum lengkap, karena dia belum memakai kembali kacamata minusnya yang telah membersamainya selama tiga tahun.
Usai mandi, dia pergi keluar daripada kamar asrama dengan pakaian track suit dan melakukan peregangan dikala masjid dekat asrama sedang mengumandangkan salawat tarhim sebelum subuh. Setelah dirasa cukup dan azan Subuh berkumandang dia pergi ke masjid untuk salat Subuh berjamaah disertai oleh kultum atau kajian yang sering diadakan masjid.
Usai salat subuh, dia kembali ke kamar asrama dan merogoh badan Bobi dan Cesar yang tampak kekar karena mereka berdua adalah atlet badminton andalan sekolah. Dia merogoh mereka agar bangun dan melakukan kegiatan pagi. Dia juga malah seperti ayah daripada Bobi dan Cesar yang berusaha untuk membangunkan anak-anaknya yang tidur sampai siang.
Oi, Bobi! Bangun, salat Subuh. Cesar juga, kalau kamu telat bangun nanti tidak dapat sarapan lho!
Ugh! Sebentar, Lan!
Bobi dan Cesar menggeliat, seakan beradu siapa yang akan bangun lebih duluan dari dipan yang bau dengan badan mereka. Tetapi setelah beberapa saat, Bobilah yang menjadi pemenang. Dia bangun dan duduk di ujung kasur sambil mengucek-ucek matanya. Dilanjutkan dengan Cesar yang langsung bangun dan menapak tanah beberapa saat kemudian.
Pagi, Lan.
Pagi, Bob, Ces.
Padahal ini tahun ajaran baru. Kenapa harus pagi-pagi sekali bangunnya, protes Cesar sambil melihat penanggalan digital di ponselnya. Tidak ada tugas atau pelajaran untuk pagi ini, bukan.
Memang tidak ada pelajaran, kata Alan setengah mengiyakan. Tetapi aku khawatir kalau kamu tidak dapat sarapan pagi kesukaanmu.
Tapi tetap saja…
Dikala Cesar dan Alan berbincang, diam-diam saja Bobi sudah pergi ke kamar mandi untuk buang air, wudu, dan salat Subuh. Setelah itu Alan menyuruh Cesar untuk cuci muka dan mandi sebelum didahului Bobi yang mandinya cukup lama. Inilah kehidupan asrama dari tiga sahabat yang saling mengerti satu sama lain.
1 note
·
View note
Text
draft-heroine intro
Semua mata tertuju kepada seorang wanita anggun yang tampak disambut oleh banyak orang. Termasuk trio Alan, Bobi, dan Cesar yang sejak tadi cengengesan membahas apa yang mereka lakukan selama liburan. Tentu saja satu sekolah tahu siapa dia. Semua orang memanggilnya tuan putri, karena dia adalah seorang anak dari kalangan atas sekolah yang tentu saja kontras dengan yang lain, termasuk Alan sendiri.
Di lanyardnya, tertampil nama dari perempuan ini. Namanya adalah Laras Langkawijaya. Satu sekolah selalu memanggilnya dengan nama Tuan Putri Laras. Rambutnya yang panjang menghiasi wajah kuning langsat bersih dengan pipinya yang cukup tirus. Saat dia dikerubungi oleh banyak siswa-siswi disana, dia sedang memancarkan senyum dengan sedikit dipaksakan karena harus menghadapi orang-orang aneh pagi-pagi begini. Hal ini membuat Alan yang duduk jauh di belakang menjadi kasihan.
Apakah ini jadi hal yang rutin harus dialami dia tiap pagi? Alan bertanya berbisik kepada kedua sahabat asramanya itu, yang secara kelas mereka sempat sekelas bersama Laras. Pertanyaan Alan hanya dibalas mereka dengan heran.
Heh, tumben sekali kau, Lan. Padahal kamu sendiri tidak mau membahas masalah perempuan. Cesar menoleh ke Alan sambil mengernyitkan dahi.
Iya, apakah kamu mulai tertarik? Bobi bertanya sambil menepuk pundak Alan. Apakah jangan-jangan kamu tertarik dengannya?
Tidak, balas Alan tenang. Hanya saja, dia sama-sama manusia dengan kita, lho. Aku yakin Laras tidak mau diberi nama tuan putri itu sendiri. Kalau kalian tanya bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu karena wajahnya yang berkata demikian. Dan juga…
Dan juga? Bobi dan Cesar melirik Alan.
Semua yang bersekolah disini adalah setara dalam keadaan apapun, mau kau kaya, miskin, tinggi, rendah, besar, kecil, apapun sifatnya.
Alan sendiri memegang prinsip kesamaan: artinya siapapun yang bersekolah disini memiliki posisi, pengaruh, dan perlakuan yang sama. Jika dia ingin berteman, maka ajak dia berteman, itulah prinsipnya termasuk ketika bersahabat dengan dua kawan seasramanya itu yang sudah berjalan hampir satu tahun hingga secara tidak sengaja mereka dipertemukan di kelas yang sama di tahun ini.
Alan sendiri merasa kasihan melihat ekspresi yang dipaksakan oleh Laras saat bertemu dengan orang-orang yang membuat kerumunan di luar sana. Walaupun begitu, Alan sendiri tidak memiliki keberanian untuk membubarkan barisan itu dan menolong Laras. Yang ada mungkin Alan akan jadi pusat perhatian dari semua siswa.
Sedang apa kau disini? Sok atur kami saja! Mungkin begitu yang akan mereka katakan jika Alan membubarkannya. Alan juga hanyalah orang yang tidak memiliki power seperti Laras yang serba sempurna, entah itu prestasi akademik ataupun non-akademik. Selain kejeniusannya di bidang pemrograman, dia hanyalah siswa biasa yang nilai olahraganya hanya rata-rata tidak seperti Bobi dan Cesar yang seorang atlet badminton ace sekolah.
Ah!
Ah!
Dari jarak dua puluh meter, matanya dan Laras berhadapan dalam beberapa detik. Alan bisa melihat mata Laras yang tampak cemerlang dengan binarnya setelah Laras melihat Alan. Dan tidak akan ada yang menyangka, bahwa tatapan itu adalah tatapan dimulainya kehidupan mereka berdua.
1 note
·
View note
Text
draft-school
Sekolah tempatnya bersekolah ini bukanlah sekolah main-main. Ini adalah sekolah swasta elit dengan persaingan yang cukup besar di negara ini. Bayangkan, dari sepuluh ribu peminat, hanya dua perratus yang bisa diterima, dengan kata lain dua ratus siswa yang masuk ke sekolah ini tentu bukanlah orang kaleng-kaleng. Jika seseorang seperti Alan ini menganggap dirinya biasa saja, bagaimana dengan yang lain yang mungkin lebih baik dari Alan. Tentu saja bisa jadi lebih jenius darinya.
Alan sendiri adalah penerima beasiswa di sekolah ini. Tentu saja jalur masuk sekolah ini selain dari ujian masuknya yang seperti lubang jarum, juga berasal dari beasiswa. Itupun di jalur beasiswa sendiri, dulu dia harus bersaing dengan dua ratus siswa berprestasi demi mendapatkan sepuluh kursi jalur beasiswa. Dan dalam beasiswanya ini semua keperluan Alan selama sekolah akan ditanggung oleh sekolah, mulai dari seragam, buku pelajaran, makan pagi dan sore, asrama, hingga biaya hidup yang cukup menggiurkan untuknya yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah.
Dan untuk jalur beasiswa ini, walaupun dia mendapatkan beasiswa tetapi dia tidak mendapatkan kebebasan seperti siswa reguler. Dia harus mengikuti ekskul atau klub sesuai dengan prestasinya demi melakukan boost untuk sekolahnya. Karena Alan adalah medalis olimpiade nasional dan internasional di masa SMP, dengan kata lain dia harus mengikuti ekskul olimpiade dan mewakili sekolahnya di beberapa kompetisi. Alan sendiri tidak keberatan, selama ini bisa membantu meringankan beban keuangannya, dimana dia tidak memiliki banyak uang setelah meninggalkan panti asuhan.
Letak asrama dan sekolahnya ini hanya berjarak beberapa langkah saja, sehingga tidak lama dia sudah sampai ke sekolah yang tampak megah layaknya benteng ini. Maklum, nama sekolah ini adalah SMA Benteng Negeri. Kalau dilihat-lihat dari depan nan jauh, sekolah ini berbentuk seperti benteng era medieval dengan dua menara di samping kiri dan kanannya. Kedua menara itu membentuk seperti gerbang, dengan satu jalan besar berbentuk jembatan dan aliran parit buatan yang mengalir di bawahnya. Kesan elit dan megah laksana sebuah benteng kerajaan ini membuat SMA Benteng Negeri menjadi sekolah yang cukup disegani dalam bentuk bangunannya. Dengar-dengar arsitek dari sekolah ini adalah seorang arsitek keturunan Belanda yang lahir dulu setelah kemerdekaan Indonesia.
Alanpun kemudian masuk ke dalam sekolah. Dilihat-lihat, tidak ada siswa SMA Benteng Negeri ini yang memakai seragam padahal ini hari Senin. Ya, sekolah ini diminati karena tidak ada aturan memakai seragam. Akan tetapi mereka tetap harus memakai pakaian sopan, entah itu menggunakan kemeja, kaos polo, atau apapun yang berkerah. Siswipun juga dibebaskan boleh memakai rok atau celana selama tidak ketat. Seperti anak kuliahan saja, begitu komentar Alan setahun lalu sebelum masuk sekolah.
1 note
·
View note
Text
What if... (3)
Nope, nope, nope! I’m just gonna say it: I’m done with daydreaming. The real world is a b*tch, okay? I know I’ve wasted so much of my time and youth. Now I’m a quarter-century old with nothing to show for it except a bunch of social media apps and a serious case of FOMO. I feel like I’ve been poisoned by gadgets and dopamine. It’s time to crack open a book, a novel, anything, and start writing again.
Alright, time to get my fingers moving again. Enough of this laziness, self! It’s time to get back on track, right? Let’s do this together!
1 note
·
View note
Text
Aku pengen balik ke masa kecil lagi
“Aku pengen balik ke masa kecil lagi,”
Kalian yang udah dewasa pernah kepikiran nggak sih, kalo dulu kalian pengen banget jadi dewasa tapi pas dewasa pengen jadi anak-anak lagi? Sama, aku juga kok. Jadi jangan malu-malu aja, ya. Disini aku cuma mau sharing pengalaman aja sih.
Kita dulu sebagai anak-anak liat orang dewasa itu rasanya kok keren banget. Di mata kita, orang dewasa bisa ngelakuin apapun yang diinginkan. Mau beli ini itu bisa, mau punya mainan yang nggak kita punya pas kecil itu enak banget. Akhirnya kita yang masih kecil berusaha mencapai cita-cita besar biar menjadi seorang dewasa yang kayak gitu.
Fast forward, cita-cita kalian itu tercapai. Tapi pas dewasa kalian mulai paham kalo dewasa itu nggak seenak apa yang kalian impikan dulu. Dewasa itu bukan cuma tentang kebebasan dan membeli apa yang nggak bisa kita beli sejak kecil. Karena dewasa itu soal tanggungjawab.
Memang kita bisa beli apa yang nggak bisa kita dapatkan pas kecil. Tapi waktu yang dihabiskan untuk bersenang-senang saat dewasa semakin berkurang. Alih-alih hal yang kalian beli itu malah jadi sia-sia. Kerja dari pagi sampe sore, kadang malam lembur. Semua itu bikin waktu kalian untuk menikmati masa dewasa yang kalian impikan makin berkurang.
Ada yang lebih parah. Sudah dewasa, tapi masih nggak bisa sepenuhnya bahagia karena masih membiayai tanggungan keluarga berupa orang tua dan adik. Setidaknya menanggung pendidikan si adik sampai dia lulus sekolah. Akhirnya dengan ketat dia menyeleksi pengeluaran dan menabung seadanya.
Sampai suatu saat, kalian sering liat anak kecil senang-senang pas pulang kerja tanpa beban dan main dengan mainan sederhana. Kalian pasti kepikiran nyeletuk aja satu kalimat,
“Aku pengen balik ke masa kecil lagi!”
Sebenernya nggak salah, tapi mohon maaf waktu nggak bisa kembali. Masa kecil itu cuma bisa kamu kenang. Makanya, untuk yang masih bocil, tolong hargai waktu kalian sebelum kalian nggak bisa melakukan hal yang kalian inginkan pas dewasa. Apalagi makin canggih jaman, tanggungjawab jadi orang dewasa itu semakin besar.
Untuk orang dewasa, sebagai sesama orang dewasa aku cuma pengen berpesan bahagiakan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, nggak semua kebahagiaan itu diukur dari uang. Kebahagiaan kecil itu bisa kalian dapat dengan murah, di waktu dan tempat yang nggak kalian duga. Itu saja.
1 note
·
View note
Text
Healing tuh ke rumah sakit atau klinik, bukan jalan-jalan! Itu namanya rekreasi.
Gue cuma ngerasa kalo sekarang istilah healing itu banyak banget dipake gen-Z misalnya untuk jalan-jalan kesana kemari. Di kalangan gen-Z konteks healing sendiri tuh mungkin lebih ke refreshing ya setelah berkutat sama pekerjaan atau pelajaran. Cuma gue sendiri sebagai “gen-Z dari goa” ngerasa aneh aja. Istilah kedokteran yang biasa dipake malah disalahkaprahkan menjadi istilah umum dengan arti yang berbeda?
Dalam istilah kedokteran, healing sendiri mengacu ke proses penyembuhan dari penyakit. Atau kosakata lain dari recovery. Sedangkan di kalangan gen-Z healing mengacu kepada proses penyegaran fisik dan mental setelah berkutat dengan hectic-nya dunia kerja atau kegiatan belajar yang mereka jalani.
Terus kalo sama-sama jalan-jalan bedanya apa sih healing sama rekreasi? Toh sama-sama nyari kesenangan kan? Iya itu namanya rekreasi. Gue nggak ngelarang karena emang semua orang butuh rekreasi untuk menyegarkan pikiran, tapi bukan berarti rekreasi bisa memperbaiki kerusakan fisik atau mental. Rekreasi cuma menghilangkan atau meredakan masalah fisik atau mental yang lu derita, nggak menyembuhkan.
Kalo secara bahasa itu healing itu lebih mengacu ke istilah penyembuhan. Dengan kata lain semua hal yang berhubungan dengan penyembuhan diri baik itu mental atau fisik itu disebut healing. Terus kalo gue capek fisik healingnya gimana? Capek fisik ya healingnya istirahat cukup dan makan-makanan bergizi. Bukan malah jalan-jalan. Kalo capek mental? Dateng ke poli psikologi. Jangan takut ke psikolog buat ceritain masalah lu. Barangkali dia punya jalan pintas dari masalah yang lu punya.
Lah psikolog kan buat orang yang sakit jiwa! Nah, disini banyak yang salah kaprah kalo ke psikolog itu tandanya udah gila. Padahal orang yang datang ke poli psikologi kebanyakan orang-orang waras yang emang lagi down dan butuh boosting semangat untuk bangkit dari penyakit mentalnya. Kalo udah gila mah itu bukan tanggungjawab poli psikologi, udah tanggungjawab Rumah Sakit Jiwa itumah.
Dari sini sudah paham?
2 notes
·
View notes
Text
Apa yang kau tulis? Entahlah
Aku menulis cerita berdasarkan apa yang pernah aku sesali karena tidak pernah melakukannya di masa lalu. Petualangan, romansa, aksi, itu adalah hal yang tidak pernah aku lakukan di masa lalu. Maka sebagai pelampiasan dendam aku akan menulis kisah-kisah seperti itu.
1 note
·
View note
Text
What if... (2)
If time could rewind with my past body but my current soul and mind, what would I do? I'd probably make the most of it, you know? I was pretty effective in the past, but being effective isn't enough. I need something more to really make a difference back then. Tapping into my talents! I want to unearth all the talents I've buried by being too focused on academics. Gotta get that mindset that the process is better than instant results. I might delve into artsy stuff like writing, composing music, advanced design, and video editing instead of becoming a theoretical math and physics whiz. Not that I don't want to be a math and physics whiz; both are crucial. But I want to be an all-rounder, a jack of all trades who may not be a master but can handle everything, at least to some extent.
1 note
·
View note
Text
Lima postingan aja ada lencananya, makasih ya!
1 note
·
View note
Text
What if...
If I had superhero powers, perhaps I would want to stop all conflicts and wars once and for all. Sounds idealistic? Yes, you can say that. I desire one power to destroy or create, so that I would be feared by the entire world. I could shape dangerous weapons as I pleased, and I could even destroy a country with the weapons I create, such as a nuclear bomb with power even greater than the Tsar Bomba. With that power, I could enforce the resolution of the Israel-Palestine conflict, compel Russia to cease its annexation of Ukraine, force the People's Liberation Army to withdraw China from Formosa and the South China Sea, and impose the cessation of ongoing conflicts between nations. I would also establish an organization larger than the United Nations, called the Liberation League.
It may seem terrifying, but it's okay if world peace exists with a common enemy. I'd rather be the anti-villain myself than have wars between nations.
However, that's just a fantasy. I know that there is no lasting peace. As peaceful as the world may be, there will always be crime. Eternal world peace only exists after death when all humans are no longer living in this world. I know that I am not as powerful as I imagine, so it is impossible for me to make it happen. What I can do now is to support eternal peace according to the laws of my country, even though I am not sure if my country can achieve it.
2 notes
·
View notes
Text
Normal or Weird?
Jadi normal itu menderita, walau memang diterima masyarakat. Karena ada batasan terikat yang mau tak mau harus diterima, dan itu tidak sesuai dengan jiwaku. Aku merasa lebih hidup normal saat menjadi aneh (seperti dulu), namun apakah masyarakat bisa menerima keanehan orang? Apalagi di era sekarang yang mungkin beda dikit hujat, polarisasi kubu-kubu makin ngeri aja. Entahlah, mau mancing saja. Mancing apa? Mancing ikan paus
1 note
·
View note