liminality is running on your blood and nerves, that is why you're here.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
The thing
the yap and the eyes
the eyes and the lips
the lips and the eyebrows
the eyebrows and the hand
the hand and the eyelashes
the eyelashes and the theeth
the teeth and the sound
the sound and the laugh
the laugh and the coversation
Canberra, April 2025
1 note
·
View note
Text
If Only the Land Were a Mat
If only the land were a mat,
I would call you my mat—
the place where I was born,
where I work,
where I sleep,
and where I will rest in death.
My mat, you have watched me grow:
when I stumbled over a rock in your southern corner,
when I swung from the branches in your eastern shade,
when I quarreled with my brother in the west,
and in every inch where life unfolded.
So if strangers ever come to take my mat,
I will fold you carefully, tuck you in my bag,
rolling you gently with my hands—
along with the trees,
the ants,
the butterflies,
and the flowers.
Along with every plant I have nurtured,
and the wild ones that grew on their own.
And I will wander, searching,
for a corner of this world
where my mat and I can belong.
Malang, February 2025
0 notes
Text

just finished cycling around my village, the former great-kingdom in the nation hihi
1 note
·
View note
Text

i was the person who have so much attached feeling and habbit with instagram application, but the thos kind of feeling vividly disappear when instagram choose to add more dynamic fitures such as story and reels. seems they want to make image-oriented method on their newest feature. actually, a curate’s egg, when ig can provide easiest communication that human needs through their other newest feature like link, donate, taggs, etc - but in the other hand it makes you overwhelmed following the fast changes.
so here i am, try to refunction my tumblr as a space for throw my rent or cuteness things. ok tumblr, be tame.
0 notes
Photo

Siang itu matahari terasa dekat sekali, sampai-sampai dia menempel di kulit dengan membawa serta aroma garam dari laut yang ada di bawah kapal. Sambil menunggu Mas Tiyok yang kailnya belum kena juga, aku ngobrol dengan Ayah Pak Syarif mengenai berbagai hal. Orang Bajo adalah komunitas dengan pola matapencaharian mencari ikan di laut. Jauh sebelum adanya negara seperti sekarang ataupun bangsa kolonial, mereka sudah memiliki kebiasaan berlayar dengan melihat peluang lokasi ikan yang baik atau melihat kondisi iklim. Biasanya mereka berlayar di sekitar Teluk-teluk di Filipina, Semenanjung Sulawesi, Perairan Sabah, atau mana saja. Kabarnya asal nama Labuan Bajo yang ada di NTT itu juga dari kelompok penakhluk laut ini yang saat itu melakukan perjalanan ke arah selatan. Sebagai masyarakat yang mengembara dari satu wilayah ke wilayah lainnya, mereka menjadi borderless jika dikaitkan dengan konteks teritori negara hukum. Sebagian besar Orang Bajo di Kepulauan Samporna tidak mendaftar sebagai warga sipil, mereka menolak untuk dibuatkan kartu identitas. Mungkin selain dirasa ribet, pada akhirnya mereka juga akan berpindah “negara” ke perairan lain. Namun beberapa lainnya berlabuh dan menetap di daratan, karena alasan pernikahan dengan orang darat misalnya. Ayah Pak Syarif juga bercerita bahwa ia tau karena sering berinteraksi dengan Orang Bajo di pasar. Iya, mereka juga menjual ikan hasil tangkapan di Jeti Umum Semporna (pelabuhan nelayan), uang hasil jualnya biasa mereka gunakan untuk beli perlengkapan melaut atau barang-barang lain di pasar. Mungkin dari kacamata pengaturan negara fenomena ini menjadi sesuatu yang rusuh, sulit untuk diatur, dan sebagainya. Namun aku sendiri jadi teringat satu kelas antropologi globalisasi tentang proses interkonektivitas - dimana kita juga bisa melihat dinamika kehidupan Orang Bajo dan orang-orang Malaysia yang saling berinteraksi dan bertransaksi menunjukkan bahwa kawasan regional asia tenggara bukan sekedar garis-garis teritori semu yang diikat melalui berbagai macam perjanjian, melainkan juga berbagai kegiatan hidup di dalamnya. (lanjut di komen) #30haribercerita #30hbc2115 https://www.instagram.com/p/CKOPfxyMgOg/?igshid=vtz74aqd6nv9
0 notes
Photo

Haloo, ini update #30haribercita-ku yang vacuum selama 5 hari lamanya huhu maapkan ya, min @30hbc (sambil bersihin sarang laba-laba). Beberapa hari ini sibuk dan rungsing, jadilah ga ada mood menulis.. memang tak bakat jadi jurnalis. Beruntungnya, salah satu teman memperingatkan untuk tidak menulis kalau memang belum dapet feel-nya, salah-salah nanti jadi benci nulis. Ya, aku setuju. Jadi dengan menjunjung prinsip woles yang penting menikmati, mari kita coba selesaikan misi ini hehehe. beberapa postingan ke depan mungkin akan kuisi dengan sesi throwback perjalanan selama sebelum pandemi yang terus kulihat-lihat sambil menunggu telpon dari puskesmas buat divaksin #kapanya? #gatau. Foto ini diambil di Bulan Juni tahun 2018, saat itu aku dan Mas Tiyok sedang terombang-ambing di atas kapal nelayan dengan kapasitas 4-5 orang bersama beberapa teman. Kami berada di atas perairan Semporna, tepatnya di wilayah Sabah, Malaysia. Mas Tiyok, Pak Syarif, dan Stenley sedang sibuk memancing ikan, sedang aku sibuk menunggu mereka dapat, saat kemudian aku sadar ada beberapa kapal lain yang bentuknya lebih besar dan lebar, mereka sedang mengapung juga jauh di sana. Namun kapal mereka tampak lebih kompleks dengan segala pernak-pernik barang yang digantung di sisi kanan-kiri, penutup badan kapal yang mirip seperti pelindung mobil, dan juga tali jangkar yang terbentang antara perahu dan pulau terdekat. Aku pikir, kenapa kapal itu tidak berlabuh saja di pantai? Aku berjalan ke ujung kapal untuk melihat lebih jeli, walaupun jarak pandang tetap jauh sekali. Ternyata di pantai itu juga ada beberapa rumah panggung yang terbuat dari batang kayu kecil, jumlah rumah dengan perahu relatif sama, aku segera menyangka itu adalah komunitas nomaden. Setelah aku memastikan ke ayah Pak Syarif sebenarnya mereka itu siapa, ternyata beberapa perahu dan rumah itu adalah milik Orang Bajau/Bajo/Laut yang sedang menetap sementara di pulau itu (ku lupa namanya). Dengan sok-sok memakai logat melayu, aku lantas duduk di dekat beliau dan minta diceritakan tentang seperti apa kehidupan mereka. #30haribercerita #30hbc2114 https://www.instagram.com/p/CKOKPdsMm4-/?igshid=4d3jf5reuigm
0 notes
Photo

Ada beberapa buku yang memberi asupan untuk otak dengan cara memberi pengetahuan-pengetahuan baru dan itu menyegarkan. Ada juga beberapa buku yang memberi asupan untuk hati dengan cara memberi cerita-cerita seru dan itu menghangatkan. Judulnya adalah “Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela” yang kumasukkan dalam kategori menghangatkan dan selalu ingin kubaca ulang. Pertama kali aku membaca karya Tetsuko Kuroyanagi adalah buku dengan judul “Totto-chan’s Children: A Goodwill Journey to the Children of the World” yang menceritakan tentang pengalamannya berkunjung ke negara-negara di Afrika. Saat itu kelas 8 SMP, aku meminjamnya dari Sisin yang selalu punya koleksi buku keren. Setelah membaca tuntas, aku merasa tertarik dengan caranya memandang dunia yang dituturkan dalam bahasa sederhana. Tapi aku juga mudah lupa, seingatku tak ada usaha untuk mencari karya selanjutnya, hingga saat kuliah aku menemukan sampul buku ini di toko buku bekas Barel (balik-rel), Depok. Saat itu aku langsung membeli kemudian membacanya. Secara ringkas, buku ini menceritakan kisah seorang anak yang menjalani pendidikan di sekolah barunya yakni Tomoe Gakuen, setelah sebelumnya ia dikeluarkan dari sekolah lamanya karena dianggap nakal dan mengganggu. Di sana, ia bertemu dengan sang kepala sekolah yang bernama Sosaku Kobayashi - dimana setelah empat bab awal hingga akhir, cerita akan berfokus pada bagaimana cara Kobayashi menerapkan sistem pendidikan yang anti-mainstream. Dengan latar belakang masyarakat Kota Tokyo, sekolah itu memiliki murid yang selalu tak lebih dari 50 orang setiap tahunnya. Kelas terbuat dari gerbong kereta bekas, setiap murid memiliki pohon untuk memanjat di waktu istirahat, dan banyak waktu pelajaran yang dilakukan secara nomaden; entah di kuil, sumber air panas, atau di tenda. Selama membaca, aku selalu ingin menjelma menjadi salah satu murid di sana. Bentuk komunikasi pedagogi yang dilakukan Kobayashi juga sangat menarik, ia tak pernah menahan rasa penasaran yang dimiliki siswa.. (lanjut di kolom komen) #30haribercerita #30hbc2113 #tottochan https://www.instagram.com/p/CJ_N5IzMUzb/?igshid=4axg1bl2vjl
0 notes
Photo

Beberapa hari yang lalu aku ngobrol dengan Kak Anggun via zoom, bercerita banyak hal, salah satunya pengalamanku di rimba. Awalnya bingung mau cerita apa, jadilah kuceritakan perbincanganku dengan salah satu muridku di sana, yang tak akan kulupa seumur hidup. Saat itu adalah siang di awal Bulan November. Aku, Induk Begalai, dan Besili sedang duduk santai sambil berbagi makanan di teras sesundungon milik Merimbun yang saat itu berinduk semang pada rombong Temenggung. Makanan itu entah sarapan entah makan siang, karena itu sudah sekitar jam sebelas. Maklum, di sana tidak ada jam saklek seperti di kota, jadi bangun jam berapapun, asal matahari belum di atas ubun-ubun, masih ditoleransi. Lagipula, proses memasak itu butuh waktu yang lama.. kita harus mengambil air di sungai atau sumur, mencari kayu bakar, menyalakan api menggunakan serpihan plastik atau ban, hingga menanak nasi dalam periuk yang harus dikontrol kadar airnya. Untuk pendamping nasi, kami sudah siap sedia membawa lauk dari bangko yakni orek tempe kering yang dibuat oleh Kak Reza dengan penuh kesabaran di rumah bangko. Tempe orek kering ini berisi potongan tempe, teri, dan kacang yang dicampur kecap dan digoreng hingga kering sekali - agar bisa bertahan beberapa hari ke depan. Saat Induk Begalai sudah membagikan nasi ke dalam tiga piring, aku membagikan orek tempe dua sendok per piring. Besili yang mengamati lauk hari itu, lalu mengambil satu butir kacang dan bertanya, Besili: "Berta, apo nioma namonye?" Aku: “Yoy namonye kacang, kacang tanah” Besili: “Kacang.. Nio nang tumbuhannya segini atau segini? Terus bentuk daunnya mumpomono?” Aku: “Ebun.. mumpo diria biasanya narub.. tapi nye mumpo ubi, adonye di delom.. hmm tapi ake hopi tentu juga bentuk daunnya mumpomono.. todo ake cari tentu” Besili: “Jadi ini bukan kamu yang nanemnya?” Aku: “Hmm.. bukan (lah?!).. ake boli di pasar jadi tinggal masak” Besili: “Lalu kamu ga tau siapa yang menanam ini?” (lanjut kolom komen hehe) #30HariBercerita #30hbc2111 https://www.instagram.com/p/CJ6Vww6sWSU/?igshid=1t30ekj4rj59d
0 notes
Photo

#kilasbalik satu pagi di Kota Manggar, saat aku dan Andi mendapati serakan kertas pada papan pengumuman koperasi pegawai timah. artefak semacam ini selalu menarik, kami bak memakai mesin waktu dengan ruang yang juga disusun ulang.. atau lebih seperti mengikuti tur sudut kota dengan tema “belitung pasca timah: dalam koridor 1998”. Hal dalam pengumuman ini juga mungkin bisa menjadi gambaran, bagaimana dinamika sosial-ekonomi masyarakat setelah pt timah menyatakan hengkang dari pulau tersebut~ note: kalo baca hapenya yg dimiringin ya, jangan kepalanya, pegel ~ #30haribercerita #30hbc2109 #singkatajah (at Manggar, Belitung Timur) https://www.instagram.com/p/CJ1MR_ksrrO/?igshid=93uya56xdu3p
0 notes
Photo

Namaku Lem Baja, nama itu adalah akronim dari beberapa orang tuaku yakni Lemon-Madu-Bawang-Jahe. Dikabarkan aku biasa masuk ke dalam jenis jamu. Akhir-akhir ini orang banyak mencariku untuk diminum. Konon katanya, jika aku masuk ke dalam tubuh manusia, akan baik untuk kesehatan mereka. Terutama di masa menyeruaknya virus jahat seperti sekarang. Huf, untung virus itu tidak menyerang geng tanamanku. Nah, akan kuperkenalkan semua orangtuaku. Lemon adalah ibuku, bisa kalian lihat di slide kedua, ya seperti lemon yang biasa dijual di pasar dengan harga kisaran 25-40 ribu per kilo. Dia didatangkan dari petani lokal yang biasa menanamku di tanah daerah Tumpang, Batu, ataupun Nongkojajar. 🍋 🍋 Ibu keduaku adalah Madu, kampung halamannya ada di Lawang tepatnya di Peternakan Tawon Rimba Raya. Madu dalam tubuhku ini membantu agar orang yang mengonsumsiku nanti merasa aku tidak terlalu pahit, walaupun yang namanya jamu itu sewajarnya pahit.. tapi selain itu madu memang bagus untuk kesehatan. 🍯 🍯 Kukenalkan juga pada ayahku, namanya bawang lanang. Yups, jangan lupa ada “lanang”nya, biar kalo di pasar kamu ga diberi bawang mainstream yang biasa diulek untuk sambel. Ayahku ini punya kekuatan yang lebih dahsyat dalam hal membuat manusia berlinang air mata ketika mengupasnya.. namun khasiatnya tidak main-main kan.. 🧄🧄 Nah, yang terakhir adalah Jahe Merah, bisa kau lihat di slide terakhir. Aku belum menentukan apakah dia ayah atau ibuku, yang pasti dia lebih pedas dari jahe yang bukan merah 🥜🥜 Asal-usulku juga bukan hanya dari orangtuaku saja, namun juga beberapa manusia (atau banyak?) yang bekerja hingga aku tercipta. Ada pak petani, tengkulak, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, atau bapak-bapak pengusaha yang dengan tangannya memindahkanku dari satu tempat ke tempat lainnya. Ada yang menanamku selama berbulan-bulan, ada yang menampungku, kemudian membeli dan jualkanku, juga yang mengolah dan mengonsumsiku. Dan, di sinilah aku, masuk ke dalam sebuah botol kaca sekaligus berpose di sebelah tanaman dalam gelas (mereka sangat aneh, mengapa bisa tumbuh di gelas). Yaudah, segitu aja. Salam kenal ya semua! Dari aku, Si Lem Baja! #30haribercerita #30hbc2108 #rapel https://www.instagram.com/p/CJ0-ORdMG5_/?igshid=o92x9q8xj5qz
0 notes
Photo

Lain lubuk, lain ikan. Kalau di Beitung ada batu satam, kali ini aku mau bercerita tentang besi putih yang banyak dijual di Ternate. Pulau dengan hasil rempah yang melegenda ini ternyata memiliki satu sudut lokasi ekonomi yang dikhususkan untuk para penjual kerajinan besi putih. Penjual kerajinan ini mendapat stok besi putih dari salah satu pulau yang ada di Sulawesi Utara juga, namanya Pulau Morotai. Di sana, besi putih diambil bukan dari hasil bumi, melainkan dari kumpulan bangkai senjata perang dan alat transportasi Sekutu yakni Belanda, US, dan juga Australia, yang pada masa Perang Dunia II menjadikan Morotai sebagai basecamp pasukan pimpinan Douglas McArthur. Setelah Jepang dinyatakan kalah, Sekutu dinyatakan menang, dan Indonesia menyatakan merdeka, para pasukan pulang dengan meninggalkan artefak berupa alat transportasi dan juga senjata perang hingga mangkrak dan tertarik ke dasar laut. Kapal tank dan kawan-kawannya itu lalu dimanfaatkan oleh masyarakat Morotai dengan diambil lapisan titaniumnya dan diolah artisan menjadi bbenda-benda seperti kalung, cincin, gelang, rosario, dan lainnya. Gambar ini aku ambil saat ada tugas penelitian ke sana bulan Agustus lalu. Bersama Sarah dan Sofyan, kami keliling Ternate malam-malam. https://www.instagram.com/p/CJwFXZ1s6SR/?igshid=1div4ef38pxcp
0 notes
Photo

Hubunganku dengan bakso tak pernah begitu istimewa. Sebagai orang Malang, yang identik dengan baksonya, aku merasa tidak sebaik Mas Tiyok jika membicarakan soal bakso. Seingatku, dulu waktu kami masih sekolah di Malang dan tinggal di rumah, dia selalu memanggil tiap ada tukang bakso keliling yang lewat depan rumah. Kira-kira ritualnya akan begini; dia membawa mangkok sendiri - mengambil bakso, mi putih atau kuning, tahu, dan gorengan sendiri - disetor ke abangnya untuk diberi kuah sambil dihitung habis berapa. Terakhir, ia akan menanbahkan sambal dan kecap hingga bakso siap santap. Lalu biasanya, aku yang selanjutnya memilih. Karena pasti udah makan siang di rumah dan bakso banyak keliling sore, jadi pilihanku ga jauh-jauh dari mengambil sunduk untuk menusuk pentol dua biji. Mas Tiyok juga bisa suka segala jenis dan rasa bakso, mulai dari bakso yang berasa dan didominasi daging hingga bakso yang kuahnya hambar dan didominasi tepung.. ada kan bakso seperti itu..? Hubunganku dengan bakso tetap biasa saja, bahkan setelah aku pindah ke Depok untuk kuliah dan mendapati bahwa Bakso Malang itu banyak menjadi favorit teman-teman kampus. Ada Adell, dia biasa mengapresiasi diri dengan bakso malang yang ada di Jalan Margonda, atau ya beli aja karena pengen. Tapi yang aku ingat adalah waktu ngobrol sama Finda di semester pertama, dia bilang “Enak ya ber bakso malang, ada bakwannya”. Hmm, bakwan? gorengan ya maksudnya. Dari situ aku sadar, beda antara bakso malang dengan yang lain adalah gorengannya. Namun hubunganku dengan bakso tidak pernah seepik gambar ini, bakso yang satu paket dengan cuaca dan panorama. Ini adalah bakso yang bisa dinikmati setelah kita melewati jalanan berliku khas punggung sapi (yang sayangnya rawan longsor) dari Tumpang ke TNBTS. Di Bantengan, dengan suhu rata-rata 16 derajat serta kondisi perut yang butuh asupan, niscaya kehangatan bakso urat ini akan memuaskan raga dan jiwa kita! Yuhuu, sekarang aku siap mengumpulkan banyak momen dan rasa dengan bakso! *paragraf terakhir terkesan seperti iklan, biarkan~ #30hbc #30hbc2105 #rapel https://www.instagram.com/p/CJrLazPsOUg/?igshid=3fjwpiwvdk51
0 notes
Photo

Sejak tadi pagi ku banyak menyerap ilmu dari Kak Tuti mengenai metodologi pilot project. Kak Tuti ini adalah seniorku, dia pernah 1,5 tahun di Sokola Rimba dan 4 tahun di Sokola Kaki Gunung. Pagi tadi, aku dan @nalendraamar berangkat dari Malang jam 10, sedang Kak Tuti, Bang Plastik, Bang Lek dari Jember jam 7.30. Lalu jam 11.30 kami bertemu di Ranu Pane untuk selanjutnya ngobrol dengan perangkat desa, kepala sekolah, dan beberapa warga. Kak Tuti juga penggiat isu perempuan, tapi aku belum tanya sih dia feminist spectrum apa 😶 Seharian ini Kak Tuti banyak memperlihatkan bagaimana kelenturan dalam interaksi dengan masyarakat, menyesuaikan diri dengan budaya lokal, sekaligus mengayomi tim ini - dan semua dilakukan dengan sangat natural. Emang ya, jam terbang di lapangan ga bisa bohong ✨ Juga yang terpenting, hari ini bisa kembali ke sini untuk lebih mendalami perspektif kehidupan masyarakat Tengger⛰👨🏻🌾🥔👩🏻🌾🧄 sumber foto: ig story @nalendraamar #30HariBercerita #30hbc2104 (at Ranu Pani) https://www.instagram.com/p/CJoRaviMvlu/?igshid=1m13kuz8pqca6
0 notes
Text
dalam sebuah penelitian ada yg dinamakan metodologi, setauku dia adalah seperangkat paradigma dan cara yang digunakan untuk mengambil data maupun penulisan dalam sebuah penelitian. metodologi yang dilakukan di lapangan tentu tak terlepas dari performa sebuah tim peneliti. hmm bingung ceu mau ceritanya gimana dan mulai darimana~
tapi intinya, aku ga terlalu suka (atau kurang paham) dengan atmosfer penelitian yg melibatkan hubungan personal terlalu dalam hingga menegasikan esensi dari kegiatan tersebut. harusnya energi difokuskan untuk penggalian issue dan informasi, bukan malah ngurus kinerja tim lain. yg akupun sebagai tim peneliti ga bisa tangani. heu.
atau ada juga penelitianku sebelum ini, koordinatornya malah ga kasih kontrol dengan baik tapi pas pelaporan nuntut macem2. ini juga freak sih.
#refleksimetodologi
hiks dr yg kali ini ngerasa sedih euy.. kelemahanku ternyata belom ilang, selalu ga berkapasitas memahami perasaan orang lain ber.. gimanase cara jadi peka, atau pura2 peka at least.. ketumpuk deh kesel, ilfil, ngerasa bersalah, dll. wkeke wht shld i doo
0 notes
Text
soe hok gie tuh bukan keren tau ber, dia curang. dia ngeskip masa-masa tuanya yang dia tau akan jemu dan membosankan. dia mati di lereng semeru bukan karena asap beracun ataupun konspirasi para dewan, itu ya karena dia memang ingin mati muda aja.
iya dia benar curang, siapa yang tau kalau dia masih hidup hingga sekarang, di usianya yang ke-45 misal, dia menjadi lelah dan menyerah pada sistem pasar? pada oligarki? pada keberpihakan yang tak penting?
atau, dia kuanggap curang karena tanpa keberpihakan? bisa jadi. sosialisme tak jadi jawaban kalau kamu melengserkan soekarno dan tak mendukung dewan baru soeharto. jiwa-jiwa yang tak puas dan tak mau menentukan pilihan sepertimu adalah yang kubenci. dalam hidup harus memilih gie, bagaimana ini? memangnya bisa menjadi soliter dan berpikir sendiri, seperti yang kau lakukan selama ini? aku mau juga, tapi butuh bocoran, berapa sisa umurku? aku janji akan merancang strategi yang tepat!
menentang dunia, dengan pertarungan yang tak perlu lama-lama, dan meninggalkannya. ah,
3 notes
·
View notes