Tumgik
gondrongoblog · 2 years
Text
Membunuh Waktu di Perpustakaan Kampus
Tumblr media
Siang kemarin laptop yang sedang saya pakai mengetik tulisan ini kuantarkan kepada kawan yang memang punya pekerjaan menyerfis laptop. Tepatnya spesialis servise barang elektronik. Untuk urusan laptop yang rewel, sejak dulu saya selalu membawanya kepada kawan saya itu. Meski dalam perjalanan menuju tempat kerjanya saya melewati banyak ruko yang pekerjaannya menawarkan jasa yang sama. Bahkan yang lebih besar pun ada. Tetapi untuk kepuasan hanya kawan itulah yang paling baik. Setidaknya menurut ukuran saya.
Sembari menunggu laptop saya selesai untuk di obati, saya membuang waktu untuk berkunjung pada satu-satunya kampus negeri di kota tempat saya tinggal. Mumpung lokasinya hanya sepelemparan dari tempat saya nyerfis. Kebetulan pula, saya memang pernah nyangkut disana. Meski pada kenyataannya beasiswa hingga kelulusan dan beberapa fasilitas yang diberikan oleh negara kepada saya harus saya tinggalkan begitu saja (bukan karena Drop Out). 
Singkatnya saya jenuh berkuliah dengan metode yang mungkin dari dulu hingga sekarang masih seperti itu. Tepatnya seperti hanya saat di Madrasah Aliyah Negeri atau SMA. Barangkali pembedanya hanyalah di seragam saja.
Maksud saya masuk ke kampus adalah untuk mengenang masa-masa saya berkuliah dulu. Sekaligus menemani teman saya jalan-jalan, meski yang tampak adalah tata ruang kampus sudah banyak yang berubah terutama pohon-pohon dan tanaman semuanya telah berubah menjadi batu. Gedung-gedung semakin bertambah banyak dan bertambah tinggi. Itu pula yang banyak membuat areal kampus kehilangan ruang terbuka hijau. 
Satu-satunya yang saya kunjungi dikampus itu adalah perpustakaan yang kini telah berpindah tempat. Semasa kuliah dulu, perpustakaan di kampus tersebut memang sudah bertingkat dua dengan koleksi buku yang melimpah. Dari kitab gundul hingga yang gondrong, dari judul kapitalisme hingga sosialisme hingga wacana kiri lucu-lucu, kanan lucu-lucu dan sebagian tengah lucu-lucu. Pun jika dibandingkan dengan perpustakaan kota, koleksi dari perpustakaan kampus ini masih jauh melimpah.
Perpustakaan itu telah memiliki ruangan yang semakin besar, dingin oleh hembusan AC dan memiliki beberapa tambahan meja baru, komputer dan staf. Sayangnya setelah saya bertawaf dari lemari yang satu ke lemari yang lain, perpustakaan itu justru koleksinya semakin berkurang. Saya bisa tahu karena dulu saya termasuk pengunjung perpustakaan terbaik. Bukan pembaca yang baik, tentu berbeda bukan?.
Beberapa judul sejak dua dekade lalu masih bertahan tapi jumlahnya yang menyusut. Saya sendiri tidak tahu apa faktor penyebabnya. Mungkin di kunjungan berikutnya akan saya telusuri. Kebetulan kepala perpustakaannya masih mengenali saya. Barangkali karena waktu kuliah dulu kami sering mengundangnya berdiskusi atau cerita dibawah pohon besar yang letaknya tepat tengah kampus. Atau karena kepala perpustakaan tersebut menganggap saya sebagai selebritis (penjelasan soal ini panjang, dan saya tak akan menuliskannnya disini. Tidak penting!).
Saya akan fokus berdasarkan pengamatan sejak siang hingga jam berkantor selesai. Apa yang saya amati ini memang masih sangat subjektif, karena memang baru akan saya cari tahu setelah kunjungan kedua sebagaimana yang telah saya tuliskan diatas.
Untuk besaran gedung dan koleksi buku sangat berbanding terbalik. Jumlah staf yang membengkak justru tidak menambah kualitas layanan dan penataan buku. Padahal sejak dulu aturan yang berlaku adalah buku yang telah dibaca, diletakkan saja diatas meja. Mengapa? Agar memudahkan staf untuk menyusun atau mengembalikan pada lemari yang sama. Saya tidak tahu apakah aturan perpustakaan se Indonesia memang memiliki aturan demikian. Tetapi sudah semestinya demikian bukan?
Saya kesulitan menemukan buku yang saya cari. Apakah karena tata letak, atau memang karena buku itu sudah digudangkan. Sekali lagi saya tak ada waktu untuk menanyakan hal itu pada kunjungan pertama saya. Belum lagi posisinya sudah tidak sesuai dengan keterangan klaster yang tertulis di samping rak buku yang berjejer ibarat tentara lagi apel.
Keramahan staf tidak bertambah kualitasnya, meski secara akademik gelar mereka semakin bertambah. Bayangkan, orang yang berjibaku dengan ribuan judul buku selama bertahun-tahun pola menegurnya masih bar-bar untuk ukuran zaman sekarang. 
Para pembaca diteriaki seperti orang yang berada diseberang sungai. Bukankah pada dinding perpustakaan tersebut telah tertulis di beberapa tempat yang strategis kalimat “DILARANG BERISIK” kalimat itu juga ada yang mulai keminggris seperti “DONT BE NOISE”. Belum lagi kalimat tegurannya bias gender dan toxic relationship. Tentu itu adalah preseden yang buruk.
Untuk hal teknis lainnya saya nyaman-nyaman saja. Seperti lemari penyimpanan barang meski barang berharga seperti emas, handphone dan dompet mesti dibawa dan jadi tanggung jawab pengunjung. Atau ruangan yang ber AC membuat ruangan sejuk meski saya tak tahu apakah punya pengaruh pada kelembaban kertas yang berpotensi merusak atau bagaimana? Termasuk Mushollah yang dari pengamatan singkat saya masih tertulis “KHUSUS AKHWAT” dan ada juga fasilitas kamar mandi yang lumayan bersih dan tidak bau khas.
Sementara dipintu masuk, sepatu mesti dilepas. Nampak berserakan karena memang tak ada rak yang di(ter)sediakan. Untuk saat ini saya bisa memaklumi mengapa pengunjung harus melepas alas kaki, karena memang area sekitar perpus masih berupa timbunan. Jika dikenakan bisa membuat ruangan berdebu dan kotor. Tentu ini akan merepotkan jika musim hujan dan pengunjung ada yang kaos kakinya berbau terasi, hehehe.
Sejauh ini halaman masih belum ada upaya untuk meratakannya apakah dengan rumput atau paving block. Kita bisa makfum, karena ini adalah soal kebijakan dan “politik anggaran” dari para petinggi kampus. Singkatnya proyeknya belum realisasi.
9 notes · View notes
gondrongoblog · 2 years
Text
Lahan Tidur yang Menghibur
Tumblr media
Sebuah lahan tidur terletak pada sudut kompleks perumahan. Tidak luas, namun jika dikelolah, lahan tersebut bisa membantu perdapuran setidaknya tiga rumah tangga yang ada dikompleks tersebut.
Sekelompok muda-mudi yang sedang mengontrak pada salah satu rumah di kompleks tersebut ku minta untuk membersihkannya. Tak sampai satu jam, lahan tersebut langsung gundul seperti hutan yang sedang mengalami pembalakan liar.
Dua hari kemudian, lahan tersebut telah rampung dibedeng dan terpagari. Pertanyaannya apa yang akan ditanam pada lahan tersebut? Ada banyak usul, mulai dari ubi jalar hingga kacang panjang. Dari daftar usulan tentu ada yang rasional ada pula yang penuh bualan dan khayalan.
Hasil rembuk memutuskan, kita menanam yang jangka pendek saja. Daftar jenis tanaman yang diusul disortir, hingga mengkerucut pada jenis Kangkung, Tomat, Bayam, Lombok, Sawi dan Kacang Panjang. Sementara untuk tepi pagar akan disisipi Singkong, dengan maksud hanya memanfaatkan daunnya saja. Kalaupun ada isi, itu hanya bonus.
Pelan tapi pasti lahan sudah mulai terisi, Kangkung dengan umur lima hari berkembang dengan baik dan meyenangkan hati para pemandangnya, Kacang panjang kecambanya telah menyundul tanah dan siap beradu nasib dengan panas dan hujan. Sementara Lombok/Cabe telah mengisi post yang telah ditentukan dan Tomat masih menjadi barang mewah di lahan tersebut.
Secara bergantian, pemuda yang ngontrak sepelemparan batu dari lokasi lahan tersebut bergantian menyiram tanaman itu setiap sore. Rencananya akan membeli selang dan kran semprot, mengingat mereka juga cukup repot mengangkut air setiap hendak menyiram. Sedikitnya, 80-100 liter perharinya. Tapi ada juga yang nyeletuk, ndak apa-apa; anggap saja lagi latihan sholin. Wkwkwkwk
Pengolahan lahan tidur meski tak begitu luas ini dimaksudkan untuk mengedukasi warga sekitar bahwa; lahan yang tidur jika digarap bisa menjadi penopang dapur. Tentu tidak semua bisa terjangkau karena keterbatasan luasan lahan. Tetapi paling tidak orang yang melihatnya mulai berfikir bahwa, pengeluaran rutin dan terbesar dalam setiap bulannya adalah urusan perut, dan sayur-mayur adalah sebagian dari isi perut tersebut.
Bayangkan jika setiap rumah tangga mampu memangkas pengeluaran atas belanja sayur-mayur? Meski tak banyak, katakanlah hanya sepuluh ribu rupiah setiap harinya, bisa dipastikan setiap bulan anggaran yang tak lepas dari dua ratus lima puluh ribu rupiah bisa dialihkan pada subsidi kebutuhan rumah tangga lainnya.
Sangat mudah bukan untuk menceritakannya? Hanya saja sangat sulit untuk merealisasikannya. Mulai saja dulu dengan langkah yang kecil. Selamat menggarap lahan tidur disekitaran anda.
0 notes
gondrongoblog · 2 years
Text
Medsos dan Narsisme
Tumblr media
Hari ini siapa yang tidak mempunyai akun media sosial? Tentu sulit untuk menemukannya bukan? Media sosial telah menjadi gaya hidup, khususnya bagi muda-mudi, tidak hanya di Eropa, Amerika atau negara maju lainnya, tetapi juga sebagian muda-mudi Indonesia termasuk di Kota Palopo.
Media sosial yang saya maksudkan adalah Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, Telegram dan jenis aplikasi lainnya. Pernah saya secara sengaja masuk ke salah satu media sosial teman. Lalu saya lanjutkan lagi masuk ke media sosial temannya teman saya, kemudian ke temannya temanya teman saya, sampai ada tujuh orang lebih yang saya masuki tanpa pernah kenal. Medsos yang saya coba itu adalah semua yang telah saya sebutkan diatas.
Saya kagum terhadap jaringan interaksi yang dibangun oleh media sosial. Benar-benar tanpa batas. Jika kita ibaratkan media sosial itu sebagai perumahan, berarti saya secara bebas masuk ke pintu-pintu rumah orang. Ibaratnya bisa lewat depan belakang, samping kiri kanan. Sekiranya rumah punya pintu atas dan bawah, pastilah sudah saya lalui pula.
Eksperimen itu memberikan saya gambaran bagaimana interaksi pada media sosial terbentuk. Yakni semacam open web, sebuah jaringan interaksi terbuka. Apa yang perlu kita lakukan adalah menentukan titik awal atau pintu yang mana akan kita tempati “berjalan-jalan”, dan saya yakin, kita tidak akan sampai pada pintu terakhir atau titik akhir dari proses tersebut.
Karakter personal dalam media sosial dapat kita baca secara berbeda. Beberapa orang saya lihat di profile-nya, ingin mendapatkan teman ketika mereka bergabung. Kontak personal menurut saya kurang baik. Kita dan mungkin pengguna lain akan miskin makna atau mungkin tidak akan pernah bisa mendalaminya satu persatu. Jean P. Baudrillard benar dengan lontarannya bahwa adagium yang berlaku di dunia maya adalah, “Semakin banyak informasi, semakin sedikit makna”.
Jika mau jujur, sebenarnya apa yang orang cari ketika bergabung dalam jaringan maya? Apakah benar sebuah keinginan untuk berinteraksi, memperoleh teman atau semacamnya? ataukah motif untuk menunjukan diri?
Menurut saya, media sosial oleh sebagian muda-mudi adalah ajang mejeng layaknya di sebuah mall. Hal itu di tandai dengan berbagai macam foto yang di-publis dengan berbagai macam pose, peristiwa dan juga latar. Sebuah bentuk kepuasan ketika mereka mampu “mempertontonkan” apa yang mereka miliki.
Jika demikian, boleh jadi motif sebenarnya yang terkandung pada muda-mudi pengguna media sosial adalah motif narsisme. Sebuah kompleks psikologis di mana mereka akan memperoleh kepuasan tertentu dengan cara menunjukan gaya hidupnya. Kecurigaan semacam ini muncul atas banyaknya akun yang saya masuki dan hanya berisi foto-foto pemiliknya, juga testimoni dari berbagai teman. 
Blog atau web juga ada, sayangnya sangat sedikit muda-mudi kita yang menggunakannya sebagai media sharing secara serius atau mendalam. Bagaimana dengan anda? 
Saya sendiri suka memasuki atau kepo pada akun medsos orang lain. Hasrat semacam ini sebenarnya hampir sama dengan tindakan mengintip atau melihat-lihat tubuh orang lain. Yakni keinginan untuk mengetahui kehidupan orang lain dengan berbagai sisi privatnya. Di sisi yang lain, para pengguna medsos juga punya keinginan untuk mempertontonkan atau memperlihatkan sisi privat nya pada orang lain atau publik.
0 notes
gondrongoblog · 2 years
Text
Ustadz Dadakan
Tumblr media
Begitulah Ramadhan, akan ada banyak ustadz dadakan. Namanya juga bulan latihan, pasti akan ada banyak yang lagi latihan ceramahi jamaah.
Sebenarnya kurang baik, tapi ya ada pembiaran. Selain itu, kita yang kurang mengukur diri, apakah sudah pantas atau tidaknya menceramahi orang lain.
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Tepok Jidad: Sebuah Catatan Lama
Tumblr media
Pagi itu saya di sambangi oleh seorang wartawan Mongabay. Badannya kurus, tinggi, langsing dan berdada rata. Biar ndak belepotan, singkat saja dengan KUTILANG DARAT.
Ia penulis yang cerdik menurutku. Gaya tulisnya barangkali bisa di kategorikan model naratif reporting. Bingungkan apa nggaya corat moret kayak gitu? Saya pun bingung menjelaskannya.
Barangkali, barangkali lho ya? ini mirip dengan dunia pertilawahan. Tak tahu kau apa itu tilwah? Makanya ngaji freng...😄😄
Di dalam dunia pertilawahan anda akan begitu sulit menjelaskan apa itu jenis lagu Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sikar dan Jiharkah. Itu belum termasuk pembagian atau cabang masing-masing jenis lagu tersebut.
Hmmm... mumet kan? Begitu pula dengan model corat-moret atau kebanyakan orang mendistorsi menjadi dunia literasi. Ah, saya tak mau bahas itu. Kedua contoh diatas memang sulit untuk mendefenisikannya. Tetapi kalau baca tulisannya barulah kita tahu. Oooo ini to nggaya tulisan macam itu. Hal demikian juga berlaku bagi dunia pertilawahan. Nanti setelah dipraktekkan, barulah kita berkomentar Oooo ini to model tilawah Bayyati, Ohhh ini to model tilawah yang lainnya.
Kekira begitulah. Saya sendiri masih tepok jidad, jangan-jangan saya salah kaprah menuliskan ini.
Ya... maaf kalau salah! namanya juga meraba-raba. Bukankah meraba-raba itu enak. Saya sih sukanya NGERABAH SUSU. Maksudnya, minum sarabba plus (+) susu. Itu juga jarang-jarang kulakukan. Tapi kalau ada nawari NGERABAH SUSU, ya maulah..,habis enak sih.
Situ mau? Boleh komen, tapi no sex no sara.
Catatan:
Kalau minum kopi disingkat Ngopi
Kalau minum teh disingkat Ngeteh
Kalau minum Sarabba (wedang jahe) + Susu disingkat NGERABA SUSU
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Ketika Aksara Memendam Kuasa dan Liar Berkelana
Tumblr media
Ada ungkapan mengatakan, al-ilmun nur. Ilmu adalah cahaya. Sementara dibelahan yang lain, orang lebih terpikat pada pesona gemerlap duniawi. Dalam hal ini, lebih terpesona pada pemikiran yang stagnan.
Pun, juga ada yang beranggapan bahwa; pemikiran dan pengetahuan yang sifatnya teoritis tidaklah berguna dalam kehidupan sehari-hari. Syooombong amatttt (mengutip bang Mandra dalam serial kolosal Si Doel Anak Betawi).
Alasannya beragam, ada karena tidak suka dengan karakter berfikir dan kritis, lalu menganggapnya sebagai penebar virus subversib. Ada juga yang karena tertular penyakit malas menelusuri alur pemikiran, lalu mencari jalan pintas dengan merampok akal, copas sana sini termasuk asal kutip saja.
Suatu waktu saya diminta oleh salah seorang kawan untuk menemaninya jalan-jalan. Mumpung tak ada kesibukan, ajakan itu saya setujui. Ternyata ajakan ini bukan jalan-jalan, saya justru dijerumuskan dalam kerumunan mahasiswa di kota saya. Di spanduk yang terpampang tertulis: Sekolah Pemikiran Islam. Wah, ini terlalu serius, gumam saya dalam hati.
Sebagai orang yang putus dari bangku perkuliahan, saya lalu mengambil jarak dan memilih duduk di sebuah gasebo sembari menghisap kretek, mendengar sendagurau para panitia, dan tentu saja menikmati segelas kopi yang disuguhkan oleh mereka. Meski demikian, telinga saya banyak mendengar apa yang disampaikan oleh narasumber. Termasuk dialog-dialognya dengan para peserta.
Saya melihat kegiatan ini barangkali sebagai keawasan atas kemunduran berfikir yang melanda komunitas muslim di berbagai penjuru (mohon maaf jika saya salah). Sisi yang lainnya adalah, kegiatan ini bisa menjadi sebuah bentuk penghargaan kepada para pesilat pengetahuan dalam menyusuri jalan terjal yang mereka pilih. Paling tidak, sekedar mengingatkan atau menyegarkan kembali pemikiran umat Islam atas penghargaannya terhadap ilmu serta kekayaan khazanah pengetahuan yang pernah kita miliki di masa lalu.
Lebih jauh, kegiatan ini tak sekedar penyajian biografi dan penalaran sejarah keislaman yang heroik. Tetapi boleh jadi sebagai seni semisal; sabar dan tekunnya peserta dalam membilas noda-noda ketidaktahuan terhadap suatu hal. Juga mengolah bagaimana akal dan hati untuk saling bekerjasama mengurai kerumitan atas realitas. Atau bagaimana membaca teks dan realitas secara kritis.
Terkadang suatu proses berfikir itu mengejutkan orang lain. Tetapi itulah resiko atau tantangannya. Bukankah manusia adalah “hewan” yang berfikir? Para pemikir Islam sendiri jauh hari sebelumnya telah mengingatkan bahwa; kerumitan pengetahuan adalah salah satu fungsi kesempurnaan Tuhan atas kompleksitas ciptaannya.
Sementara kemunculan para kelompok yang mendistorsi Islam dari substansi ajarannya adalah petanda bahwa kemerosotan gerakan pemikiran Islam kian nyata. Belum lagi jika gerakan itu disokong oleh modal dan oligarki kekuasaan. Pada konteks ini, apa yang dilakoni oleh sekelompok mahasiswa ini menemukan konteksnya.
Soal berhasil atau tidaknya, saya fikir masih terlalu dini untuk berbicara demikian. Kecuali jika pertanyaan itu di arahkan pada layak atau tidaknya kegiatan itu dilaksanakan? Maka jawaban paling awam saya adalah kegiatan ini berupaya untuk memproteksi diri dan lembaga dalam kelindan persoalan keummatan yang semakin kompleks.
Wallahu a’lam bish-shawab...
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Zaman Kehancuran
Tumblr media
Saya tidak pesimis dengan tekno-positivisme yang kita punya hari ini. Tapi, saya juga tidak terlalu optimis hanya dengan bekal nalar praktis tersebut bencana yang silih berganti mampir dapat dihadapi dengan baik.
Orang dulu ternyata mempunyai kearifan yang luar biasa. Hanya berbekal kejernihan mata hati, mereka dapat membaca gerak zaman dalam berapa ratus tahun ke depan. Tengok lah ramalan untuk hari ini, bukan lagi zaman Kala Bendu, melainkan zaman Kala Sungsang atau zaman goro-goro alias zaman kehancuran. Itu kalau kita merujuk pada salah satu ramalan dari Prabu Jaya Baya.
Tanda-tanda munculnya Zaman Kehancuran antara lain, musim yang tidak bisa diramal, bencana alam datang beruntun tanpa bisa dicegah atau dideteksi, banyak pemimpin yang terjungkal dari kursi kekuasaan, banyak pemimpin yang mulai dilecehkan oleh rakyat kecil, banyak perempuan ternama terbuka rahasianya, rasa malu sudah tidak dimiliki oleh panutan masyarakat, para tokoh agama mulai diragukan kesalehannya, dan tingkat kejahatan naik secara tajam. Tanda mana yang tidak muncul di tengah-tengah masyarakat kita hari ini? Nyaris tidak ada bukan.
Zaman Kala Sungsang konon katanya ‘sengaja’ diturunkan oleh si-Empunya kehidupan. Mungkin hari ini Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, kata Ebiet. Cobalah merefleksikannya sejak memasuki tahun 2014 banyak daerah yang di salami oleh bencana alam di negeri ini. Membaca media massa hanya menemukan potret buram kehidupan manusia-alam. Tidak ada yang baik.
Kadang saya berpikir, kok bisa Indonesia sedemikian rupa hancurnya? Para saintis membacanya secara ilmiah, sebuah siklus dari alam; bergesernya lempengan bumi bagian bawah. Atau perubahan iklim global. Tapi, banyak penjelasan ilmiah itu yang justru menutupi kemampuan alamiah kita untuk membaca tanda-tanda yang ditunjukkan oleh-Nya.
Sebenarnya saya bukan termasuk orang yang mudah tergiur dengan alasan-alasan teologis. Namun kadang akal saya kok mentok. Stagnan di satu titik, akibat bencana alam yang beruntun. Tragedi kemanusiaan, kejahatan yang merajalela membuat saya berpikir ulang dan berakhir dengan kepasrahan.
Kepasrahan sebagai seorang hamba Tuhan yang lemah. Memang saya bukan termasuk orang yang religius atau soleh menurut definisi ahli syariat. Tapi, sampai titik ini saya masih meyakini ada skenario besar dari Dzat Yang Maha Besar atas hidup serta kehidupan manusia di bumi ini, khususnya di negeri Indonesia.
Dari rentetan peristiwa, bencana dan sebagainya, saya bisa menerimanya secara rasional dengan dalil-dalil ilmiah yang qualivied. Tetapi, secara keseluruhan, yakni rentetan, keberuntutan peristiwa membuat akal saya tidak bisa lagi menerima banyak dalil ilmiah terkait kejadian tersebut.
Sayangnya, hari ini kita terlalu positivistik-rasionalistik. Kita jarang menengok kearifan masa lalu dengan ramalan atau futurologinya. Misal, Ronggowarsito dengan kitab Joyoboyonya. Begitu luar biasa. Meskipun saya tidak pernah membacanya secara langsung. Minimalnya saya pernah dengar dan dan baca dari beberapa buku lain yang menyinggung berbagai cuplikan dari ramalan beliau.
Nalar kita akhirnya mengkerangkeng kita untuk menyelesaikan masalah hanya dengan pendekatan positif yang teknokratis. Satu peristiwa selalu mempunyai penjelasan ilmiah yang mencukupi. Namun, nampaknya kita melupakan penjelasan untuk sedemikian panjang yang pernah mampir di negeri ini.
Bukannya mau kayak bagaimana, tapi tidak ada salahnya kalau saya mengajak yang lain untuk kembali mengingat keharmonisan kita dengan alam. Saya masih meyakini bahwa sepak terjang kita hari ini yang kadang rakus, serakah dengan berbagai gemerlap dunia. Hal ini mungkin perlu kita koreksi. Wallahu a’alam.
1 note · View note
gondrongoblog · 4 years
Text
Warga Desa Meli Tersandra Banjir Bandang dan Covid-19
Tumblr media
Siang itu udara begitu panas, meski semalam camp pengungsian Desa Meli di gasak hujan yang cukup deras. Debu-debu beterbangan, tak terkecuali sampah plastik berukuran kecil turut serta melayang di udara. Kini telah hampir dua bulan lamanya warga desa mengungsi sejak Banjir Bandang meluluh lantakkan Kabupaten Luwu Utara pada senin malam (13/07/2020).
Sekedar diketahui, banjir bandang terjadi akibat meluapnya tiga sungai di yaitu; Sungai Maipi-Masamba, Sungai Meli-Radda, dan Sungai Rongkong. Ketiga aliran sungai itu terletak di DAS Rongkong dan DAS Baliase. Menurut BPBD tercatat, sebanyak 28 orang meninggal dunia dan 40 orang lainnya hilang. Sedikitnya ada 14.438 jiwa dari total 3.627 kepala keluarga (KK) mengungsi.
Banjir bandang yang membawa material kayu, batu, pasir, dan lumpur, selain merusak lahan warga, juga merusak 4.202 rumah akibat endapan lumpur setinggi 2,5 meter. Sebanyak 9 unit sekolah hancur, 13 unit rumah ibadah luluh lantak, 3 unit fasilitas kesehatan tak bisa di fungsikan, dan 8 kantor pemerintah lumpuh total. Sementara fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan, fasilitas air bersih dan yang lainnya mengalami kondisi yang sama.
Bantuan dari para donatur terus mengalir tak terkecuali di Camp Pengungsian Desa Meli. Baik berupa sembako dan kebutuhan penting lainnya termasuk selimut, sarung, perlengkapan ibadah, tikar tidur dan obat-obatan. Desa Meli adalah sebuah desa yang terletak di hulu sungai Meli-Radda. 
Menurut Andas Sanjaya, salah satu pemuda yang juga aktif di Karang Taruna Desa Meli menuturkan “saat banjir terjadi, warga desa pada malam itu panik dan berhamburan. Paling utama yang pemuda selamatkan adalah anak-anak dan lansia. Kita menggendong mereka dan berlari kebukit, lalu menitip mereka untuk berteduh di rumah-rumah kebun milik warga sini”.
Di hari pertama musibah, tampak di lokasi pengungsian telah berdiri 20-an tenda terpal. Salah satunya adalah tenda yang di manfaatkan untuk menampung logisitik dari segenap donatur yang masuk. Di hari kedua tenda terpal mulai bertambah menjadi 53 buah. Terpal-terpal yang di gunakan untuk membangun hunian adalah terpal di peroleh dari para donatur yang di gunakan untuk membungkus logistik saat mengantar logistik ke lokasi pengungsian. Lalu dihari keempat menjadi 74 tenda hunian, dan terus bertambah jumlahnya dari hari kehari, hingga puncaknya sebanyak 334 tenda hunian yang berdiri. Termasuk tenda-tenda komando yang didirikan oleh TNI-Polri, BNPBD, dan para relawan.
Tenda-tenda mulai berdiri dengan rapi, sembako yang masuk dari para donatur masya Allah banyaknya. Tetapi satu hal yang luput adalah, baik aparat desa, warga dan para donatur seakan melupakan bahwa selain banjir, Corona Virus adalah musibah lain yang juga perlu penanganan serius. Corona di camp pengungsian seolah ikut tersapu banjir bandang. Ini dapat kita saksikan dimana setiap orang tak lagi mengindahkan protokol pencegahan Corona Virus yang di himbau oleh pemerintah.
Boleh jadi karena kepanikan warga lebih pada soal hunian di camp pengungsian, bisa juga karena untuk cuci tangan dengan sabun saja air di camp pengungsian memang terbilang langkah, dengan hanya mengandalkan suplay dari Palang Merah Indonesia (PMI). Juga karena Masker dan hand sanitizer memang cukup sedikit yang mendonasikan. Sementara jumlah jiwa yang berada di camp pengungsian desa meli sebanyak 1.872 Jiwa atau 348 kepala keluarga yang tersebar di empat dusun atau telah melebur menjadi 334 tenda di camp pengungsian.
Banjir dan Virus Corona adalah musibah yang sangat serius bagi warga Desa Meli. Banjir menggasak lahan dan harta, sementara Corona menghilangkan tradisi bersalaman yang selama ini hidup di desa. Puncak tertinggi kedua musibah ini adalah penghilangan nyawa bagi orang yang terdampak langsung. Bedanya, banjir bisa menghilangkan nyawa sekali sapu, sementara Corona Virus perlahan tapi pasti jika tak mengikuti protokol kesehatan.
Hidup di tenda saat musim kemarau tentu akan ngos-ngosan. Selain karena udara yang panas, juga karena kerentananan tenda yang sobek. Belum lagi dengan alas yang seadanya, tentu akan menggerogoti fisik seseorang. Hari ini yang dibutuhkan oleh warga Desa Meli adalah hunian yang nyaman dan aman bagi anak-anak dan lansia terutama dimasa pandemi seperti ini. 
Bukankah tinggal secara berkerumun dengan banyak orang akan sangat rentan terjadinya penularan Virus Corona? Bukankah banyak bersentuhan dengan orang asing akan mempercepat laju penularan Virus Corona? Dan bukankah tidur berbulan-bulan di atas lapisan terpal dan tikar seadanya akan melemahkan imun seseorang?
Semoga penanganan pasca bencana cepat dan tepat dalam pengambilan keputusannya serta langkah-langkah penanganannya. Sehingga apa yang menjadi keresahan warga Desa Meli dan kita segera terurai dan terselesaikan.
Wallahu a’alam......
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Ketika Santri Hip Hop Pelesiran Ditengah Keterbatasan
Tumblr media
Pagi tadi saya begitu kaget. Tak biasanya di kontrakan ini penghuninya (di)bangun(kan) di pagi buta. Bahkan untuk urusan sholat subuhpun tak ada yang membangunkan. Mereka bangun sesuai dengan kesadaran masing-masing.
Lha.. Kali ini aku kok tergopo-gopo bangun. Bahkan nafsu untuk beribadah kepada sang pencipta di depan publik tak ada. Air begitu dingin dan kepala saya blank. Rasanya saya ingin seperti Sun Go Kong yang mengobrak-abrik kayangan. 
Tidak! Saya harus sopan, ini kampung orang dan saya di terima dengan baik di tempat ini, tanpa pungut biaya lagi. Selain itu saya ingin katakan ke mereka bahwa tidak semua orang yang dari Sulawesi Selatan itu kasar dan pemarah. Sematan kasar pada Makassar itu salah sasaran dan entah siapa yang memulainya. 
Pukul lima tiga puluh lewat, kami akhirnya bergegas menuju arah barat dari kontrakan. Saya yang di bonceng si krinyol masih mengap-mengap menahan kantuk. Untungnya kesegaran udara pagi mampu menepis kantuk saya yang mencoba mendominasi. 
Sekitar empat puluh menit perjalanan, barulah saya merasa terdecak kagum. Melewati lembah dan beberapa areal persawahan yang menyerupai tangga di bukit-bukit membuat saya teringat dengan Kambo dan Toraja.
Memadukan kedua lokasi di atas merupakan sesuatu yang sejak dulu saya bayangkan. Dan pagi ini saya mendapatkan suasana yang demikian. Oh… betapa bahagianya pagi ini. Sunnah Rosul di malam jum’at pun terlupa sudah. Bagaimana tidak malam jum’at saya hanya dengan bayangan sendiri. Wekewewek…
Lokasi yang bersih membuat kita semakin betah. Tarif masuk pun cukup murah dan terjangkau apalagi untuk mahasiswa dan pelancong kere’ seperti saya. 
Tak ada corat-coret yang ku temui, sampah yang berserakan pun demikian. Mungkin karena telah di bereskan oleh petugas, ataukah ada kolaborasi dari para pengunjung terkait kesadaran penuh akan kebersihan. Suasana kebersihan terlihat seolah siap menjemput ulama kharismatik atau pejabat sok penting kelas penipu.
Beberapa gasebo yang tersedia untuk berleha-leha tertata dengan baik. Tempat duduk dari kayu-kayu bundar dan bambu pun tak ketinggalan. Bahkan untuk urusan bersarapan dan ngopi juga tersedia dan tertata rapi. Top marko top deh pokoknya.
Foto teman-teman di Lolai (negeri diatas awan) Toraja  pun dapat di imbangi di lokasi ini. Bukit berlembah dengan viuw alur sungai besar yang membelah perkampungan dan dipotong oleh jembatan gantung menjadi pemandangan menakjubkan dikala kabut membalut tipis. Belum lagi disisi lainnya ada panorama penataan pemukiman warga yang begitu memanjakan mata.
Ada banyak bule yang kutemui di sini. Tak ketinggalan berbagai wisatawan domestik, sepasang kekasih yang bermesraan (seolah lokasi itu hanya milik mereka), juga macam-macam dialek dan fashion menjadi hal yang membuat saya sesekali pekikikan bahkan tertawa keras. Ini yang yang membuat si kribo berkata “e.. Palopo.. kau kenapa..?” Tertawa terus… Hehehehehe…
Setelah merasa puas menikmati pemandangan dan berswa foto sembari menikmati pentolan, kami lalu memutuskan untuk pulang ke kontrakan. Meski tak sempat ngopi dan sarapan penganan khas. Cukup membeli pentolan yang rasanya enak dan gurih. 
Kasarnya kocek saya hanya mampu menjangkau jajanan itu. Jadi ada kontradiksi bokek dan lafar berselimut kabut dan udara dingin yang berkecamuk pagi itu. Mirip kontradiksi pokok tesis Karl Marx; antara Majikan dan Buruh, Borjuis dan Proletar. 
Semoga dimasa mendatang masih bisa menginjakkan kaki di tempat itu lagi.
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Ngaji Kitab
Tumblr media
Bagi kaum santri, mendengar kata kitab mungkin bukanlah hal yang asing. Bukannya apa, anak pesantren atau kaum santri pastilah belum afdhol menjadi santri jika tak pernah mengucapkan, melihat atau membaca kitab. Terlepas dari kesemuanya, tulisan ini hanyalah keisengan penulis sebagai santri hip hop.
Bukannya tak beralasan, saya yang tak pernah mengenal mondok kok tiba-tiba bisa hadir di pesantren dan sok-sokan mengikuti pengajian kitab. Jika saya timbang-timbang, barangkali tidak penting jenis dan banyaknya kitab yang kamu baca, tapi seberapa hip hop kamu menjalani hidup. 
Sependek pemikiran saya, kitab biasanya adalah hal yang sangat sakral dalam agama, aliran, atau ideology manapun. Kesakralannya tak bisa di ganggu gugat, karena biasanya anda akan di just sebagai kurang ajar, murtad, atau bahkan dilabeli kafir jika memperlakukannya secara tidak selayaknya.
Dalam komunitas beragama, kitab adalah sebuah pedoman utama atau rujukan utama dalam memecah segala persoalan. Entahkah itu persoalan yang bersifat ukhrawi maupun persoalan yang bersifat duniawi. Dalam agama Islam, kitab biasa di sebut Al-Qur’an, di Kristen (Katolik dan Protestan) di sebut Alkitab atau Injil, sementara bagi agama yang lainnya cukup di sebut sebagai kitab saja bahkan ada penambahan semacam Kitab Weda, Kitab Tripitaka, Kitab I Lagaligo dan lain sebagainya.
Sebagai santri hip hop, kitab yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah bacaan kaum santri selain dari al-qur’an tentunya. Entahkah itu kitab kuning atau kitab gundul dan kitab putih. Bahkan ada pula yang nakal menyebutnya sebagai kitab merah atau kitab gondrong. Mungkin karena isi kitabnya mengkaji wacana berhaluan kiri, PKI, atau berbau komunis. Hust, jangan terlalu dibesar-besarkan. Bisa-bisa anda kena sweeping, mampuslah ente.
Dibulan ramadhan bahkan di saat Covid-19 menyerang sekalipun, hampir semua pondok pesantren di Indonesia melakukan pengkajian kitab kuning. Terutama bagi pondok-pondok salaf di dataran pulau jawa. Juga ada yang mengembangkan atau menambahkan pada pengkajian kitab merah. Ini bagi kaum santri progresif, yang jumlahnya tergolong sedikit. Hanya cara ngajinya lebih canggih, sudah mulai (di)online(kan). Metodenya tetap sama yakni bandongan; dilakukan beramai-ramai, guru membaca dan murid mendengarkan.
Dengan begini kitab kuning jadi dikenal oleh semua kalangan, tak hanya santri tok. Cuma kekurangannya, tak semua murid punya kitab yang di bacakan oleh guru. Pun jika telah di share atau download lewat PDF, santri atau pendengar sulit untuk memberi catatan atau coretan seperti pada saat ngaji di pondokan. 
Bagusnya karena transformasi Islam yang ramah toleran dan inklusif dan progresif ala pondok pesantren menjadi semakin massif. Terutama bagi kalangan non santri yang hidup di perkotaan tapi punya semangat ngaji yang meggebu.
Ada banyak tokoh lulusan pesantren yang mengampuh ngaji online. Kitab-kitab yang mereka kaji tersebut mendapat respons yang cukup baik dari berbagai kalangan. Mulai dari para kaum santri yang berlatar kaum petani, pedagang kecil, masyarakat urban, pekerja kantor, pegawai, wiraswasta hingga para aktivis gerakan multi sektor. Bagi kaum pergerakan kitab-kitab tersebut dapat membangun sebuah teori atau konsep gerakan baru. Terutama yang gandrung dengan wacana theology pembebasan dan ingin mengawinkan kajian kiri (kitab merahnya) dengan kitab kuning.
Bukankah Antonio Gramsci telah mengingatkan bahwa tugas kaum intelektual organik adalah memperbaharui dan membuat menjadi kritis masyarakat yang di organisir. 
Senada dengan gagasan tersebut, Ahmad Baso dalam bukunya Pesantren Studies menegaskan bahwa tugas para kaum intelektual organik adalah mengangkat kembali sejumlah prinsip atau menjadi pemecah masalah-masalah yang di hadapi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
J O N E S
Tumblr media
Ya, dialah "Jones" disapa Mr. Jon, atau Mr. Jon yang di sapa Jones. Kucing berwana Orange bergaris-garis. Kehadirannya kadang tak terduga dan tak pernah di ramalkan sebelumnya oleh ahli nujum sekalipun. Hadir secara misterius dan tak perlu di tanggapi secara serius. Umurnya hanya Tuhan yang tahu. Tak dapat baca tulis namun hadir disaat sekumpulan muda-mudi lagi menghabiskan waktu libur dengan agenda baca tulis. Mereka adalah muda-mudi yang mengindari hegemoni mesin hasrat kota. Mereka ini hanya menghindari justifikasi sebagai muda-mudi yang sibuk menebalkan alis, berselfie, keliling mol, killing time di spa atau salon-salon. Meski sesekali pula mereka ku jumpai nongkrong di warung-warung kopi sembari memainkan gadged, lalu di akhiri dengan mengupload hasil jepretan di media-media sosial, baik WA, BBM, Twitter, Facebook, Path, Line, Instagram, Aaarrgghhh pokoknya sejenis itulah. Kita kembali ke Jones saja. Anda mungkin bertanya kok namanya "Jones"?. Bukannya tanpa alasan, nama ini di berikan tepat ketika istilah Jones (jomblo ngeness) lagi booeming di tengah hiruk pikuk kegilaan zaman. Dialah kucing yang Progresip, Militan dan Kesepian tentunya. Kucing (jantan) yang tak memiliki pasangan apalagi selingkuhan. Dari hasil amatan muda-mudi yang bersepakat menamainya "Jones", tak pernah mereka menemui kucing itu tertarik dengan lawan jenisnya terlebih lagi yang sesama jantan. Kadang ada kucing yang berlenggak-lenggok di hadapannya, tapi juga tak di peduli.
Jangan-jangan Jones ini impoten? Wallahu a’alam. Jones hanya tertarik pada ikan. Baik yang digoreng, di rebus/masak, bakar atau pun parede. Meski tak setiap hari ia santap karena terpaksa digantikan oleh tempe dan roti. Sesekali ia pun harus rela berpuasa. Biasa, sang tuan rumah lagi terserang kangker (kantong kering), maklum saja Jones bergaulnya dengan anak koss. Anda juga jangan sekali-kali beranggapan bahwa Jones adalah bagian dari iluminati. Organisasi rahasia yang bersimbol satu mata itu. Bahkan penghuni koss sendiri tak paham apa iluminati itu? untuk urusan nilai tukar rupiah dan US dollar pun meraka tak ambil pusing. Prinsip mereka: meski kadang kita tak makan(nasi) yang penting jangan konsumsi indomie. Pokoknya rokok plus kopi mesti lancar, dan jangan lupa berikan Jones sepotong roti.
Jones juga bukanlah bagian dari golongan berhaluan Wahabi, momok yang seolah-olah me(di)takuti di jagad ini. Jones hanya se-ekor kucing yang tak menggagu penghuni koss saat Sholat. Juga tak menjadi penghalang bagi penghuni yang lain saat berangkat ke Gereja. Tapi bukan berarti Jones juga lebih mulia dari Wahabi. Jones tak mengkafirkan kelompok/golongan yang lain, ya karena semata-mata tak bisa bicara. Toh pada dasarnya Jones hanya seekor kucing jantan yang tak laku-laku. Awalnya kami beranggapan bahwa ia adalah seekor kucing pengembara, meski tak ada gelagat sedang mencari kitab suci ke arah barat. Setelah beberapa hari menginap di koss(an), Jones akhirnya memilih mukim tanpa perlu ada musyawarah dan mufakat dengan tuan rumah. Barangkali saja Jones merasa jenuh atau kelelahan karena mencari jodoh. Hmmm Siapa yang sangka?
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
Dapur, Kasur dan Ostrali
Tumblr media
Namanya Pak Surani, hari-harinya banyak di habiskan di sawah dan mengurus sapi. Belakangan waktunya banyak kusita untuk sekedar ngopi, bercerita, dan selfie. Tentu setelah pekerjaannya beres.
Hal lainnya, ia banyak membantu saya mempersiapkan perlengkapan di rumah warga. Tetapi saya tak mau bercerita soal itu. Ia juga pandai menata peralatan dapur. Semua letak barang di dapur ia hafal betul. Tak sampai disitu, penempatan barang-barang itu pun sangat strategis. Tidak sembrawutan seperti yang banyak terlihat di sekretariat mahasiswa.
Soal bertani, ia terus mendorong dan mempraktikkan proses bertani secara alami. Hasilnya telah banyak saya cicipi. Mulai dari Pepaya, Sawo, Kelapa, Beras, Sayur mayur dan ikan dari kolam miliknya.
Diluar aktifitas bertaninya, Pak Surani memelihara tiga ekor sapi. Tetapi satu ekornya akan ia jual. Bukan karena tak punya uang, tapi karena ia kasihan tak bisa memenuhi kebutuhan pakannya. Mengingat ada beberapa pekerjaan lain yang juga membutuhkan tenaga dan perhatiannya. Sapi yang gemuk itu, ia jual semata-mata karena alasan diatas, bukan karena alasan yang lain. Sementara kolamnya, selalu saya pukat, kadang untuk santap siang ataun santap malam.
Terkait soal sapi, boleh dikata ia sangat ahli. Pokoknya segala urusan dalam per-sapi-an boleh anda tanyakan padanya. Kalau perlu mulai dari A-Z. Bayangkan, ia pernah di minta khusus oleh orang ternama di ibukota negara untuk mencari sapi di Australia. Tahu apa kerja ia di negeri Kanguru itu, hanya naik heli di atas lahan peternakan dan menunjuk sapi mana yang ia sukai.
Setelah semua terkumpul dan mengalami proses seleksi. Sapi-sapi itu ia naikkan keatas kapal, lalu ia kawal menuju endonesa. Mau tahu berapa jumlah sapi ia boyong dari Ostrali..? Seribu tujuh ratus tiga puluh dua (1.732) ekor. Cukup banyak bukan? Saat ku tanyai ada yang mati ndak Pak Sur..?? Oh, ada. Sekitar delapan ekor tuturnya dengan logat jawa. Terus gimana kalau gitu? Ya di ganti sama peternak Ostrali jawabnya sambil terkekeh.
Kalau suka duka mengawal sapi itu sendiri gimana Pak Sur? Ya itu, kelamaan di laut. Pwuuuising saya mas, jawabnya sembari menyeka kepala. Perginya si enak naik pesawat. Tapi kan sapi-sapi ndak bisa naik peswat mas, hahahaha. Bahkan saya juga sering kena tendang sapi mas. Wah parah dong berarti pak? Kalau parah ya waktu dada saya kena tendang itu. Saya sampai di opname, dua hari saya pingsan mas. Ndak sadar-sadar. Kena tendang sapi bagian dada, tobat saya mas…
Sedih ya ceritanya, tapi begitulah kenyataan dari apa yang ia tuturkan. Satu lagi, terkadang Pak Surani mengalami hal yang apes. Suatu ketika belanja makanan siang untuk anaknya di rampas kucing. Saking sibuknya, ia lupa kalau di motor honda revo merahnya tergantung sebungkus makanan. Karena di komplek banyak kucing liar, dalam hitungan menit para kucing menggasak bungkusan itu. Para kucing panen rejeki dari ke apesan Pak Surani.
Mengeluh, tidak. Ia tak mengeluh. Ia malah tertawa sambil mengangkat bungkusan yang sobek-sobek tersebut sambil mengamatinya dengan cara di putar kanan-kiri. Lalu berbalik dan teriak kepada saya. Dimakan kucing mas. Saya hanya tersenyum sambil menghisap kretekku yang sudah tak panjang lagi.
Tak lama, Pak Surani bersahut. Ndak apa-apa mas, mungkin bukan rezeki anak saya. Nanti ia makan nasi yang dimeja saja. Saya ngantuk, mau tidur siang dulu…
Catatan: tulisan ini kubuat sesuai dengan keterangan waktu pada gambar
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
The Word Of The Married
Tumblr media
Bermula dari ditemukannya sehelai rambut bercat merah yang menempel pada sebuah jaket yang di gantungkan oleh Ji Sun Woo di ruang kerjanya. Rambut itu menempel setelah Ji Sun Woo dan Lee Tae Oh bercinta. Sun Woo tak tahu dari mana Tae Oh mendapatkan rambut itu. Sebelumnya Sebuah lipstik bermerk terkenal jatuh ke lantai dari jaket Tae Oh. Lipstik dan Rambut merah adalah dua paket yang mencurikan bagi Sun Woo, apalagi Tae Oh terlambat pulang di malam sebelumnya.
Sun Woo merasa gelisah, ia tak tenang dan terus kefikiran oleh dua barang aneh tersebut. Ia akhirnya melakukan penyelidikan kecil. Saat ia sedang menjemput anaknya Lee Joon Young, ia mendapati sosok perempuan muda berambut merah. Perempuan tersebut tak lain adalah ibu dari teman sekolah anaknya yang telah bercerai. 
Merasa penasaran, ia lalu mengajaknya kongkow sembari melakukan menyelidikan terselubung. Tetapi akhirnya Sun Woo tak lagi menaruh curiga pada perempuan tersebut, setelah memastikan lipstik dan lekukan rambut perempuan itu berbeda. Meski ia juga penasaran, mengapa Tae Oh mengangkat perempuan itu sebagai sekertaris tanpa ada pemeberitahuan padanya.
Belakangan Tae Oh sering terlambat pulang. Biasanya ia telah ada di rumah selepas kerja di pukul lima sore. Tetapi hal itu mulai berubah saat negara apai menyerang. Ia beralibi hahwa ia sering lembur kerja bersama rekan kantornya. Sebagai sutradara tentu untuk berkilah dan menghidar bukanlah hal yang sulit bukan?
Sun Woo masih saja terus di hantui oleh kedua benda itu dan menaruh curiga kalau Tae Oh berselingkuh. Tetapi ia juga tak memilii bukti yang cukup kuat untuk menyimpulkannya. Tanpa putus asa ia terus menyelidiki suaminya tersebut. Usaha memang tak pernah menghianati hasil. Bukti kuat perselingkuhan suaminya ia dapati dari laporan Min Hyeon Seo yang berhasil membuntuti. Tentu semua tidaklah gratis, sebagai direktur rumah sakit dan punya kredibilitas tinggi, uang bukanlah sesuatu yang terlalu sulit demi mendapatkan kepuasan informasi.
Yeo Da Kyeong, sosok yang telah menjadi pelakor dari keharmonisan rumah tangganya. Ia adalah anak dari Yeo Byeong Kyu. Seorang konglomerat yang juga memiliki kekuatan otoritas tinggi di antara para pejabat dan politisi.
Sun Woo terguncang, ia menagis, terpukul dan tak percaya dengan semuanya. Dari sini ia mulai kerajingan minuman. Terutama saat Tae Oh lambat pulang dan Joon Young sudah terlelap dikamarnya. Meski ia adalah seorang dokter kawakan, perlahan-lahan insomnia menghampiri dan kondisi kejiwaannya ikut kurang stabil atas situasi ini. Walau bagaimanapun juga, sebagai manusia biasa pasti akan rapuh jika di rundung sebuah masah yang berat.
Kebiasaan minum, dan fikiran yang berat bertemu dengan momentum seorang hidung belang yang pandai memanfaatkan situasi. Son Je Hyoek yang juga tetangganya mengambil peruntungan pada kondisi tersebut. Ia lalu membujuk Sun Woo untuk minum dan berupaya melepas penat. Pertemuan keduanya berakhir di sebuah kamar hotel mewah. Ya, tau sendirilah apa yang terjadi selanjutnya.
Tae Oh merasa ada yang berubah dari Sun Woo belakangan ini. Ia marah, tetapi Sun Woo yang tahu atas kelakuan suaminya balik menggugat. Sebagai sutradara Tae Oh jelas pandai berkilah dan bersilat lidah. Berkali-kali Sun Woo ingin mencoba meng habisi Tae Oh, tetapi ia tak tega jika mengingat dan melihat Joon Young. Naluri ke ibuannya muncul dan tak sanggup melihat anaknya terbebani secara psikologis atas niat perceraiannya.
Semakin ia pendam, Tae Oh semakin bertingkah. Hingga akhirnya Sun Woo tak tahan lagi dan mengatur siasat. Dengan memanfaatkan Eom Hyo Jung ibu dari Da Kyeong yang tampak bodoh dan sok pamer, Sun Woo kemudian membeberkan semuanya di atas meja makan keluarga Da Kyeong. 
Sembari menenggak sempanye, ia menceritakan semua kebusukan suaminya sendiri. Termasuk kehamilan Da Kyeong. Kedua rumah tangga yang harmonis itu langsung berantakan seketika. Tak lama berselang, perceraian Ji Sun Woo dan Lee Tae Oh sudah ketok palu di meja persidangan.
Persoalan selanjutnya adalah hak asuh anak. Sun Woo berjuang keras hingga darah mengucur dari kepalanya saat terjadi benturan keras pada meja kayu di rumahnya. Hal ini di picu oleh pertengkaran Sun Woo dan Tae Oh. Hingga akhirnya Joon Young melihat apa yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri. Semua yang di takutkan akhirnya terjadi. Jelas ini adalah suatu guncangan psikologis bagi Joon Young dan kedua orang tuanya.
Tae Oh dihukum boleh menginjak kota. Meski begitu Da Kyeong yang terlanjur cinta mati tak membiarkan Tae Oh pergi sendiri. Aku bisa meninggalkan segalanya, selanjutnya terserah kamu, Da Kyeong kepada Tae Oh. Akhirnya keduanya berpindah ke Seoul. Singkat cerita, dua tahun kemudian mereka kembali ke Geosan dengan seorang putri kecil bernama Jenny. Ia tak hanya kembali dengan seorang putri tetapi juga dengan kesuksesan dan dendam kesumat atas Sun Woo.
Kesuksesan Tae Oh menjadi buah bibir. Selain terkenal, Tae Oh juga punya rumah mewah. Tentu kesemuanya tidak lepas dari campur tangan Byeong Kyu. Sebagai konglomerat dan sebagai orang tua, ia tentu tak ingin melihat anak semata wayangnya Da Kyeong menderita. Pun, film garapan Tae Oh bisa sukses besar juga berkat dana gelondongan dari ayah Da Kyeong.
Ditengah popularitas dan kesuksesan yang semakin menanjak, Tae Oh pun menyusun rencana busuk atas dendam kesumatnya terhadap Sun Woo. Tak hanya bekerja sama dengan Seol Myung Sook untuk melengserkan Sun Woo dari direktur rumah sakit. Tae Oh juga menyewa Park In Kyu untuk mengusir Sun Woo dari kota Geosan dengan cara teror. Mulai dari pelemparan batu, pengrusakan CCTV, pemecahan kaca jendela, hingga berujung pada penyerangan fisik.
Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Apakah Ji Sun Woo menyerah begitu saja? Atau ia ikut terlibat dalam ritme permainan yang di susun oleh Tae Oh. Simak saja kelanjutan episodenya. Film ini tak hanya bercerita soal pelakor, tapi juga soal intrik saling menjatuhkan dan bagaimana orang di kontrol oleh money. 
Karl Marx betul dengan statemennya; Uang adalah alasan kita berkelahi.
Hal lainnya, film ini hendak menegaskan bahwa baik pihak istri maupun pihak yang di selingkuhi adalah korban dari kuasa lelaki. Termasuk anak dari keduanya. Jika film ini lanjut di bulan Ramadhan, apakah sang lelaki akan kena azab? Sebagaimana film-film di stasiun televisi swasta Indo(ne)sia(r).
0 notes
gondrongoblog · 4 years
Text
NU PASCA GUS DUR
“Kalau saya keluar Negeri, banyak kalangan non muslim yang menanyakan kabar Gus Dur, bukan kabar Pak Harto, bukan kabar Pak SBY” 
(KH. Hasyim Muzadi)
Sebuah pertanyaan yang kerap hadir di kalangan masyarakat khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU) adalah bagaimana nasib NU pasca Gus Dur?. Kenapa pertanyaan itu selalu hadir? sebab gerakan sosial-politik-keagamaan ala Gus Dur mendapatkan sambutan luar biasa. Karena beliau mampu mengkonkritkan NU pada capaian keberhasilan sebagai ormas Islam yang bersemangat kebangsaan.
Tentunya hal ini ditandai di saat Muktamar 1984 di Situbondo, selain dicatat sebagai tinta emas dalam sejarah perjalanan NU, sebab sejak saat itu NU memutuskan untuk “Kembali ke Khittah”. Di Situbondo juga NU berhasil memilih seorang Rais Tanfidziyyah NU (yang pada perjalannya memimpin NU selama tiga Periode). KH. Abdurrahman Wahid kemudian “mentransformasi“ NU dengan meramu pemikiran-pemikiran mazhab. Dari sebatas mengikuti (qauli) ke arah pengembangan pemikiran yang mengikuti metodologi qauli tadi (manhaji).
NU selalu menempatkan para pemimpin islam dalam watak islam transformatif. Islam dijadikan sumber nilai sebagai landasan etis untuk melakukan transformasi sosial secara menyeluruh. Ditunjang oleh pemahaman yang menyeluruh atas persoalan masyarakat masa kini yang terus diperbaruhi, serta kejelian dan keawasan melihat gerak dan struktur dunia.   
Sumbangan terbesar Gus Dur bagi NU dan ummat Islam adalah kegigihannya dalam membangun ruang-ruang kebebasan. Tentu dengan tetap berpatokan pada ajaran ahlu sunnnah wal jama’ah yang dipertahankan oleh kiai-kiai pesantren. Gus Dur memainkan peranan strategis dalam proses transformasi bangsa dan masyarakat. Gus Dur juga mendinamisasikan pemikiran ulama di satu sisi, dan mendinamisasikan pemikiran kaum muda NU di sisi yang lain.
Menurut Gus Dur; kitab-kitab kuning yang mu’tabarah, justru lebih dapat menjawab tantangan zaman dengan formasi kaedah-kaedah ushulul fiqh. Inilah tradisi keilmuan yang dikonkritkan oleh NU dan Gus Dur.
Saat NU mengahadapi dua tantangan sekaligus: yaitu globalisasi Islam radikal-fundamental dan globalisasi neoliberal. Keduanya akan menggerus nasib NU dan bangsa Indonesia. Sejumlah tokoh NU tampil dengan pemikiran yang toleran dan konsep kebangsaan, termasuk Gus Dur tentunya. 
Gus Dur hadir sebagai ikon intelektualisme Indonesia, pembela demokrasi-pluralisme, sekaligus sebagai aktivis HAM. Lebih dari itu, Gus Dur tak hanya menjaga keutuhan NKRI, beliau juga mengisi dan menerjemahkan secara konkret arti Pancasila sebagai ideologi negara. 
Lalu bagaimana NU pasca Gus Dur?
0 notes