Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Malam menyelimuti kota seperti jubah hitam yang menutup luka. Lampu jalan berkedip malas, dan suara mesin motor yang meraung menjadi satu-satunya nada kehidupan di tengah kesunyian. Di markas The Enigma’s, sorot lampu bengkel menyala pucat, menyinari wajah-wajah lelah namun siaga.
Di antara tawa dan hiruk-pikuk obrolan antar anggota, ada satu yang tetap diam: Gofler. Ia tak tertawa. Ia hanya memperhatikan. Memetakan pola. Merekam perubahan.
Fransisco, yang biasanya ringan dalam tingkah, kini sering menyendiri. Gerak-geriknya berubah. Ia lebih sering menghilang malam-malam. Datang terakhir. Pulang paling cepat. Tak banyak yang menyadari, tapi Gofler menyimpan setiap detail itu dalam ingatannya.
Suatu malam, Gofler mengikuti Fransisco diam-diam. Roda motor melaju pelan dalam bayang. Fransisco membelok ke arah yang tidak biasa daerah pelabuhan, tempat yang tak pernah masuk rute atau zona aman The Enigma’s. Di sana, dari kejauhan, Gofler melihatnya bertemu seseorang. Sosok asing dalam bayangan. Percakapan singkat. Sebuah amplop berpindah tangan. Lalu gelap menelan pertemuan itu seolah tak pernah terjadi.
Keesokan harinya, di markas, suasana tampak biasa. Tapi Gofler tahu ini hanya ketenangan palsu. Tatapan Fransisco yang tak berani menatap mata siapa pun. Cara ia menghindari Valghart, yang biasa orang paling enggan ia hindari kini paling dihindari oleh Fransisco. Gerak jarinya yang resah. Semua itu bukan tanpa makna.
Sementara itu, Jehovah. mulai merasa ketegangan yang tak terucap ia belum tahu sumbernya. Tapi ia bisa mencium aroma pengkhianatan dari udara yang terlalu sunyi.
Di dinding markas, terpasang peta kota dan rute balapan berikutnya. Satu coretan merah tiba-tiba muncul tanda yang hanya orang dalam bisa tahu.
Dan itulah momen ketika retakan pertama muncul di tubuh The Enigma’s. Retakan yang tak terlihat. tapi cukup dalam untuk menghancurkan segalanya.Malam semakin larut, dan suara mesin-mesin di bengkel perlahan mati satu per satu. Udara terasa berat. Seakan sesuatu di dalam markas The Enigma’s mulai retak dari tempat terdalam bukan karena musuh di luar, melainkan bayangan pengkhianatan dari dalam.
Gofler menyimpan semuanya dalam diam. Ia tak menunjukkan perubahan sikap, tak menuding, tak bersuara. Tapi matanya selalu mengikuti Fransisco, seperti pemburu yang sabar menunggu waktu pasti. Ia mencatat kebiasaan, pergerakan, bahkan detik-detik kecil yang mungkin tak berarti bagi orang lain. Baginya, itu semua adalah bagian dari kebenaran yang sedang dikumpulkan.
Di sisi lain, Fransisco semakin tenggelam. Bukan karena rasa bersalah yang tumbuh, melainkan karena jebakan yang sudah terlalu dalam. Orang asing dari malam itu kembali mengirim pesan. Tekanan bertambah. Ia tahu, jika menolak, rahasianya terbongkar. Tapi jika terus berjalan maka sahabat-sahabatnya akan hancur.
Harvey, diam-diam memperhatikan. Ia ingin memberitahu tetapi timing nya selalu tidak pas. Ia hanya seorang pengamat yang terlalu banyak tahu. Dan kali ini, ia tahu terlalu banyak untuk tetap diam. Ia menyusun potongan-potongan kecil di kepalanya
Markas The Enigma’s terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu bengkel masih menyala, tapi semua suara sudah meredup. Hanya ada suara denting alat dan gumaman samar dari Harvey yang sedang memoles velg motornya.
Gofler masuk pelan, langkahnya tenang, tapi tatapannya waspada.
"Lu tahu dia sering keluar malam, kan?" Gofler mengintimidai
"Kalau lu ngomongin Fransisco, gua juga liat." Jawab Harvay
"Red Coil?"
"Gak pakai warna, tapi jelas bukan orang netral." Sambil mengamati sekitar takut akan obrolan mereka diketahui
Gofler berjalan ke sudut ruang, mengambil selembar kertas lusuh berisi sketsa rute balapan berikutnya.
"Dia minta akses ke rute ini. Dua malam lalu."
"Apa yang dia lakuin itu akses kita?"
"Gak ada alasan masuk akal. Dan sekarang rute itu muncul di forum balap gelap, padahal belum diumumin ke siapa pun kecuali inti."
Harvey menyandarkan diri ke dinding, wajahnya mengeras.
"Kalau lu yakin, lu harus bilang ke Valghart sama Jeho."
"Belum. Kita butuh bukti. Tapi kalau besok malam dia keluar lagi, gua ikutin. Kalau lu bisa dapet log panggilan dari ponsel Frans waktu dia tinggalin di meja, kita bisa cocokkin semuanya."
Sementara itu, di luar markas, Fransisco duduk di atas motor, menatap langit yang mulai mendung. Ponselnya bergetar. Pesan masuk.
"Satu langkah lagi. Rute lengkap atau video nyebar. Lu sendiri yang pilih semua kehidupan anggota lu ada ditangan lu sekarang, jangan gegabah atau semua hancur."
Fransisco mengepalkan tangan, napasnya tidak teratur. Ia tahu, waktunya habis.
Dan kali ini, bukan hanya dia yang mendekat ke tepi jurang tapi seluruh The Enigma’s.
0 notes
Text
Kabut tipis menyelimuti ruas jalan bawah jembatan tua di pinggiran kota. Tempat itu sudah lama jadi arena balapan ilegal liar, berisik, dan penuh taruhan. Tapi malam ini berbeda. Ada bisik-bisik bahwa geng baru akan unjuk gigi. Geng yang belum dikenal siapa pun, tapi sudah menarik rasa waspada dari geng-geng lama.
The Enigma’s datang bukan untuk dikenal. Mereka datang untuk menunjukkan siapa yang paling pantas memegang jalanan ini.
Valghart duduk di atas motornya mesin klasik yang ia rakit sendiri. Jehovah berdiri diam, seperti bayangan. Djorgex tertawa kasar saat mengintip lawan di seberang jalan: pembalap dari geng Black Hounds, terkenal cepat dan brutal. Gofler hanya mengangguk pelan saat melihat kondisi jalur: jalan lurus 2 km, satu tikungan tajam, dan tanjakan kecil di ujung. Berbahaya jika ceroboh. Mematikan jika takut.
Jake tampak gugup. Ini balapan pertamanya. Gilbert menepuk bahunya, tak berkata apa-apa. Dukungan sunyi yang cukup berarti.
Fransisco memasang helmnya dengan ragu. Belum ada yang tahu, malam ini adalah awal retaknya ikatan.
Lorenzo tersenyum setengah, memandangi semua dari jauh. Ia sudah pernah menang balapan sebelumnya. Tapi malam ini, ia hanya ingin tahu. siapa yang layak berdiri di barisan terdepan.
Khalief dan Harvey sibuk cek mesin. Raventhon menghilang beberapa menit sebelum start—seperti biasa. Tapi dia akan muncul di waktu yang tepat.
Tiga... dua... satu...
RAUNG!
Suara mesin pecah di udara. Empat motor melesat dari garis start. Valghart langsung memimpin, diikuti Djorgex dan dua pembalap dari Black Hounds. Jehovah dan Harvey menyusul dari sisi kanan. Di belakang, Lorenzo bergerak lambat, mengamati jalur seperti catur.
Djorgex memaksa lawan keluar jalur di tikungan, menggesekkan knalpotnya ke sisi trotoar. Jehovah mengambil jalur sempit di dalam. Tikungan itu memisahkan yang berani dan yang bodoh. Valghart tetap tenang, memilih jalur bersih dan efektif.
Tanjakan kecil di ujung menjadi penentu. Salah satu pembalap musuh kehilangan kendali dan terpental. Djorgex hampir ikut terlempar, tapi motornya tetap stabil meski berasap.
Garis akhir sudah dekat. Jehovah dan Valghart bersaing ketat, tapi Valghart menarik gas terakhir dengan tenaga yang belum pernah ia keluarkan sebelumnya.
Valghart menang.
Tapi malam itu, kemenangan hanyalah kulit luar.
Yang benar-benar terjadi: jalanan sudah memilih pemilik barunya. Dan The Enigma’s. telah membuka pintu neraka jalanan yang tak akan pernah bisa ditutup lagi. Malam setelah balapan, markas The Enigma’s dipenuhi euforia. Suara tawa bercampur dengan denting kaleng bir dan musik cadas dari speaker tua. Tapi tak semua larut dalam kemenangan.
Jehovah duduk di atap gudang, memandangi langit. Jauh dari keramaian, jauh dari sorakan. Pikirannya kembali pada masa lalu hari ketika kepercayaan terakhir dalam hidupnya runtuh.
Valghart menyusul, membawa dua kaleng. Ia duduk tanpa berkata apa-apa. Di antara mereka, sunyi terasa lebih jujur dari percakapan.
Jehovah akhirnya membuka suara. “lu tau gua pernah percaya sama seseorang kaya keluarga sendiri. Eh dia malah nancepin pisau di punggung gua, saat gua paling butuh dukungan.”
Valghart menatap gelap malam. “Luka modelan itu susah sembuh. Tapi kita belajar sendiri berjalan sambil berdarah darah.”
Jehovah mengangguk pelan. “The Enigma’s. ini mungkin satu-satunya tempat yang bisa buat gua percaya lagi.”
Di bawah, Fransisco mengintip dari balik pintu besi. Mendengar sepenggal percakapan itu membuat dadanya semakin sesak. Ia tahu, kalau pengkhianatan sampai terjadi lagi. Jehovah tak akan memaafkan siapa pun. Termasuk dirinya.
Di sisi lain gudang, Gofler mulai curiga. Ia memperhatikan Fransisco yang makin sering keluar malam sendiri. Pembicaraan rahasia. Sinyal aneh di ponselnya. Dan fakta bahwa Black Hounds tahu rute balapan sebelumnya terlalu detail.
Sementara itu, Raventhon yang selalu seperti bayangan menulis sesuatu di bukunya. Tangan kirinya menggambar simbol, sementara mata kanannya membaca catatan kecil tentang setiap anggota.
Mereka menang malam itu, ya. Tapi bayang-bayang retak sudah muncul. Dan jika retakan itu terus melebar, The Enigma’s bisa hancur. bukan oleh peluru musuh, tapi oleh rahasia dalam tubuh mereka sendiri.
Gofler selalu jadi orang pertama yang menyadari jika ada yang berubah. Ia bukan yang paling keras, bukan juga yang paling cepat, tapi instingnya tajam. Dan akhir-akhir ini, Fransisco mulai terasa berbeda.
Malam itu, Gofler menyusul Fransisco diam-diam. Ia melihat temannya keluar dari markas dengan hoodie hitam dan langkah tergesa, motornya disembunyikan di gang kecil. Fransisco berkendara tanpa suara menuju daerah pelabuhan, tempat yang tak pernah jadi rute The Enigma’s.
Gofler tak ikut terlalu dekat. Ia cukup menjaga jarak untuk melihat Fransisco bertemu seseorang—seorang pria asing dari geng lain. Mereka berbicara cepat. Sebuah amplop berpindah tangan. Lalu Fransisco kembali, seperti tak ada yang terjadi.
Keesokan harinya, di markas, Gofler duduk di bengkel dengan Jake, memasang baut mesin motor yang rusak. Tapi pikirannya tak di situ.
"Lu oke, bro? Lu dari tadi salah pasang baut." tanya jake
"Lu percaya semua orang di sini, Jake?"
"Maksud lu?" jake menjawab dengan tatapan bingung
Gofler tak menjawab. Ia hanya menatap jauh, melihat Fransisco masuk ruangan sambil bercanda dengan Khalief. Semuanya terlihat normal. Terlalu normal.
Jehovah masuk beberapa menit kemudian, diam seperti biasa. Tapi Gofler memperhatikan: Fransisco berhenti bicara sejenak saat melihat Jehovah. Tatapannya berubah.
Malamnya, Gofler menulis pesan anonim di kertas kecil.
“Seseorang bocorkan rute kita malam balapan itu. Periksa lagi siapa yang datang paling akhir. Yang diam-diam tahu terlalu banyak.”
Ia selipkan pesan itu ke meja Valghart. Tanpa nama. Tanpa tanda tangan.
Karena ini bukan tentang tuduhan. Ini tentang kebenaran. Dan kalau Fransisco memang menyimpan rahasia, Gofler bersumpah lebih baik menghadapinya sekarang… sebelum semua jadi terlalu terlambat.
0 notes
Text
Langit malam di kota tua menyisakan kilatan petir jauh di kejauhan. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat—seolah tahu sesuatu besar akan lahir malam itu.
Di sebuah lahan parkir terbengkalai, dua motor besar melaju bersamaan lalu berhenti bersisian. Asap knalpot menggantung di udara ketika Valghart turun lebih dulu. Wajahnya dingin, penuh luka hidup yang tak diceritakan siapa pun.
Dari arah berlawanan, Djorgex datang terlambat lima menit—dan tak peduli. Gaya brutal dan seenaknya membuatnya ditakuti, tapi juga dihormati.
Tak lama, satu per satu mereka muncul.
Jehovah, diam dan penuh kharisma.
Gofler, si perencana. Mata tajam, kepala dingin.
Jake, si bocah berani tapi belum paham kerasnya dunia.
Gilbert, tenang dan loyal.
Alfar, seperti bayangan: tidak banyak bicara, tapi selalu tahu kapan harus muncul.
Harvey, dengan luka lama yang belum sembuh, menyimpan kemarahan dalam senyumnya.
Khalief, keras kepala dan penuh emosi.
Lorenzo, santai, penuh misteri. Tak pernah ketahuan berpihak ke mana.
Fransisco, cerdas, mudah dipercaya... atau justru terlalu mudah.
Raventhon, hadir terakhir, tanpa suara. Tapi semua tahu, jika dia sudah bergerak, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Mereka datang dari jalanan yang berbeda. Anak-anak kota tua yang ditolak dunia. Tapi malam itu, di bawah atap retak dan lampu temaram, mereka menyadari satu hal: mereka tidak perlu tempat di dunia ini. Mereka hanya butuh tempat di antara satu sama lain.
Lalu lahirlah nama itu—The Enigma’s.
Sesuatu yang tak bisa ditebak. Tak bisa dijinakkan. Tak bisa dibubarkan.
Geng yang tidak meminta pengakuan, tapi akan meninggalkan jejak ke mana pun mereka melaju.
Dan malam itu, mereka sepakat.
Ini bukan hanya soal balapan.
Ini soal identitas.
Ini soal bertahan.
Sebelum semua berubah.
Sebelum pengkhianatan.
Sebelum cinta.
0 notes
Text
Mereka datang. Tak bersamaan, tapi terpanggil oleh malam yang sama. Seperti gema dari masa lalu yang tak selesai. Seperti luka yang belum sempat sembuh.
Valghart
Datang pertama. Helmnya polos, hitam legam. Langkahnya presisi, seperti algoritma. Ia bukan hanya pembalap ia arsitek dalam kecepatan. Dingin. Tenang. Mematikan.
Setiap perhitungannya adalah kemenangan. Dan setiap kemenangan adalah pengendalian diri yang sempurna.
Djorgex
Bising. Penuh amarah. Motor custom-nya meraung, menolak ditundukkan. Djorgex tidak datang untuk berkoordinasi—ia datang untuk menghancurkan batas.
Tak ada rambu yang berlaku untuknya. Tak ada rem dalam pikirannya. Ia bernafas dari kekacauan.
Jehovah
Sunyi. Namun saat ia melangkah, waktu melambat. Ia tak butuh kata-kata. Orang-orang membaca arah dari arah tatapannya.
Pemimpin bukan karena ingin. Tapi karena dunia tahu siapa yang selalu berdiri terakhir saat semuanya runtuh.
Alfar
Bayangan yang tak terdeteksi. Ia tiba tanpa suara, memarkir tanpa jejak. Ia bergerak seperti kabut—tak bisa digenggam, tapi bisa mencekik.
ia tak hadir untuk dilihat. Ia hadir untuk menyadarkan: kekuatan sejati bekerja dalam senyap.
Gofler
Tangannya bau bensin, bajunya sobek oli. Ia bukan pembalap terbaik, tapi semua mesin tunduk padanya. Ia membentuk kecepatan dari logam dan keyakinan.
Tiap baut yang ia kencangkan adalah napas hidup di jalanan mati.
Jake
Paling muda. Tatapannya nyala, senyumnya getir. Ia belum pernah jatuh sekeras mereka, tapi ia berlari agar tidak sempat disalip oleh ketakutan.
Ia haus. Bukan akan kemenangan, tapi akan pembuktian
Gilbert
Diam. Tidak karena malu. Tapi karena ia menyimpan terlalu banyak luka untuk dibagi. Ketika ia menatapmu, kau tahu: ia pernah kehilangan hal besar.
Ia tak akan bicara. Tapi setiap tindakannya adalah peringatan.
Lorenzo
Langkahnya santai, seolah balapan hanya bagian dari permainannya. Tapi di balik senyumnya, ada otak yang tak pernah diam. Ia membaca orang seperti buku.
Ia tak mengalahkanmu dengan kecepatan—ia menjatuhkanmu sebelum kau sadar kau sedang dijatuhkan.
Harvey
Berbahaya, seperti korek api dalam gudang bensin. Pendiam tapi intens. Kakaknya sudah tak ada, dan dunia ikut kehilangan bagian dari dirinya.
Ia tidak melaju untuk menang. Ia melaju untuk melupakan.
Khalief
Musik berdentum di telinganya, tapi pikirannya jernih. Ia tidak bicara banyak, karena irama dalam kepalanya lebih keras dari dunia.
Ia bergerak mengikuti dentuman yang tidak dimengerti orang lain. Tapi aspal mengenalnya.
Fransisco
Tertawa pelan, senyum lembut. Tapi setiap informasi bergerak melalui dia. Peta jalan, strategi, titik lemah musuh semua ia genggam.
Jika balapan adalah perang, maka Fransisco adalah mata-matanya.
Raventhon
Tak ada yang tahu kapan ia muncul. Tapi begitu ia berdiri, semua mata terseret ke arahnya. Ia seperti malam: indah, tapi mengancam.
ia tidak akan menyakitimu duluan. Tapi jika kau menyakitinya. dunia bisa meledak.
Janeeltie
Langkahnya ringan, tapi niatnya lebih berat dari semua roda di tempat itu. Ia bukan pengikut. Ia bukan maskot. Ia adalah bagian dari inti.
ia tak datang untuk dicintai. Ia datang untuk menjadi.
0 notes
Text
The streets weren’t built for mercy.
Beneath the rusted bones of the overpass, twelve engines growled in the dark, each one hungry for glory. Smoke blurred the neon lights, and somewhere between the pulse of bass and the screech of tires, a legend was being reborn.
The Enigma’s—twelve racers, twelve stories, one code: ride together, fall together.
Djorgex stood at the front, his gloves tight, eyes colder than the chrome on his ride. Jehovah and Valghart flanked him—silent, calculating, deadly. Behind them, Gofler revved twice, restless. Jarbexez adjusted his visor, the scar across his cheek glowing under the floodlight. Janesh and Jake exchanged a nod, brothers not by blood but by battle.
Alfar lit a cigarette with shaking fingers. Gilbert laughed beside him—he always laughed before a race. Harvey tightened his boots, Volta whispered something no one heard, and Fransisco? He just smiled, the kind of smile that meant trouble.
Tonight wasn’t just a race. It was a message.
And when the countdown hit zero, the city would remember who ruled the underground.
0 notes