Tumgik
hendriyvialli · 6 months
Text
Sri Baduga Maharaja
( Prabu Siliwangi/Raden Pemanah Rasa )
Lahir : Kawali, Ciamis, Jawa Barat 1401 M
Gelar : Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Raja Sunda ke - 35 : 3 Juni 1482 -
Orang Tua : ♂ Rakryan Ningratkancana / Prabu Dewa Niskala / Raja Sunda, ♀ Nay Ratna Mayangsari / Ratu Banawati.
Saudara : ♀ Dewi Retna Pamekas / Ratu Ayu Kirana, ♂ Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu / Raden Palinggih.
Istri : Nyai Subanglarang / Dewi Kumalawangi (Puteri Subang Keranjang), ♀ Kentringmanik Mayang Sunda ? (Nyimas Padmawati), ♀ Ratu Anten, ♀ Ratu Ratnasih / Nyi Rajamatri (Ratu Istri Rajamantri), ♀ Nyai Ambetkasih, ♀ Nyai Aciputih.
Anak : ♂ Prabu Kian Santang / Raja Sangara, ♀Nyai Rara Santang / Hajjah Syarifah Mudaim, ♂ Walangsungsang / / Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana), ♂ Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam), ♂ Dalem Manggu Larang, ♂ Munding Sari / Ratu Bancana, ♂Munding Laya Dikusumah (Munding Sari Ageung / Munding II / Prabu Munding Suria Ageung / Prabu Munding Wangi), ♂ R. Sake Alias Prabu Wastu Dewata, ♀ R. Ne-Eukeun,♂Munding Keleupeung / Munding Kelemu Wilamantri , ♂ Prabu Liman Sanjaya, ♂Jaka Puspa Alias Guru Gantangan, ♀ Dewi Surawati, ♂ Balik Layaran / Sunan Kebo Warna, ♂ Sultan Surosoan, ♂Banyak Ngampar (Silihwarni) / Arya Gagak Ngampar, ♂Prabu Layakusumah, ♀ Nyai Lara Badaya, ♂ Rd. Ceumeut / Raden Meumeut (Raden Ameut), ♂Raden Tenga, ♂ Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka, ♀ Ratna Ayu Kirana.
Wafat : Pakuan Pajajaran, 31 Desember 1521 M
Makam : Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Keterangan :
Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Sunda: ᮞᮢᮤ ᮘᮓᮥᮌ ᮙᮠᮛᮏ atau ᮕᮢᮘᮥ ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ) (Ratu Jayadewata) (1401-1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran di Bogor mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.
Prabu Siliwangi
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
Arti nama Siliwangi Sunting
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
Biografi Sunting
Leluhur Sunting
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Niskala Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Prabu Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Niskala Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu Niskala Wastu Kancana.
Masa muda dan Silsilah Sunting
Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyi Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, Penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (Adik Mahaprabu Niskala Wastu Kancana), (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) dari Kerajaan Sing Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan Permaisuri Subanglarang melahirkan Raden Walangsungsang atau Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan Cirebon I dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan Cirebon II dalam Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M.[1].[2]
Setelah terbuka jati diri Sang Prabu Jayadewata masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu Jayadewata, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.
Prabu Siliwangi juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.[3]
Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) dari senapati Pajajaran sebagai tanda bahwa Kerajaan Sumedang Larang penerus sah Kerajaan Pajajaran.
Kebijakan dalam kehidupan sosial Sunting
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.[1]
Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya Sunting
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan Sunting
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2. Sunting
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:
Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya—Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
Kultus Prabu Siliwangi Sunting
Sunda Wiwitan Sunting
Dalam kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, tokoh Prabu Siliwangi dihormati sebagai gambaran pemimpin ideal masyarakat Sunda. Ia dihormati dan diakui sebagai karuhun atau leluhur para menak atau bangsawan Sunda.
Hindu Dharma Sunting
Dalam kompleks Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, di lereng utara Gunung Salak, terdapat sebuah candi yang dibangun untuk memuliakan tokoh Sunda, Prabu Siliwangi. Pura ini terletak di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Konghucu Sunting
Prabu Siliwangi dipuja dan memiliki altar tersendiri pada Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Simpenan, Sukabumi.[4]
Uga Wangsit Siliwangi Sunting
Prabu Siliwangi memberikan petuah kepada keturunannya dalam bentuk wangsit yang disebut Uga Wangsit Siliwangi
Sc: Elisandra Nur Maharani 28
#history #sunda #sejarah #siliwangi #rajasunda
Tumblr media
0 notes
hendriyvialli · 2 years
Text
MENAWAR TAKDIR: Philosophia vs Misosophia
Dalam perspektif Islam, lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan alam semesta, grand design terhadap apa yang akan terjadi di alam semesta ini sudah dikonsepkan (direncanakan) oleh Allah SWT. Konsep perencanaan tersebut bisa dibagi ke dalam empat bagian utama yaitu ilmu, pencatatan, kehendak, dan penciptaan.
Ilmu
Allah SWT memposisikan ilmu sebagai konsep awal penciptaan, karena akar dari semua yang akan terjadi di dunia ini khususnya manusia segala sesuatu bisa diukur oleh ilmu, oleh karena itu pantas saja jika dalam ajaran Islam bahwa orang yang berilmu derajatnya akan ditinggikan oleh Allah SWT. Walaupun belakangan terjadi dikotomi dalam hal ilmu pengetahuan yaitu antara ilmu Islam dengan ilmu secara umum. Ilmu pengetahuan seolah sudah terjadi pemisahan antara realitas transenden dengan dunia imanen. Memisahkan antara sains dan agama, yang imbasnya sains sudah tidak sakral lagi, ketika berbicara biologi misalnya tidak bermuara pada konsep ketuhanan, begitu juga dengan ilmu pemerintahan, ilmu kimia dan seterusnya. Intinya, menganggap bahwa ilmu pengetahuan sudah bersifat duniawi. Padahal sejatinya semua ilmu pengetahuan muaranya adalah Tuhan, Allah SWT.
Pencatatan
Yang kedua adalah pencatatan. Setiap daun yang jatuh ke tanah, setiap tetesan hujan yang turun, disana berarti konsep Tuhan sedang berjalan, artinya dalam hal ini bahwa apapun yang terjadi di dunia ini sekecil dan sesederhana apapun, pasti sudah dicatat oleh Allah SWT di lauhul mahfudz. Begitu juga dengan apapun yang sudah, sedang dan akan terjadi dengan diri kita masing-masing sudah dicatatkan dalam konsep pencatatan lauhul mahfudz.
Kehendak
Setiap manusia diberikan kehendak bebas untuk berpikir dan bersikap sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Nah, dalam hal ini tentu saja ada hukum kausalitas yang akan berlaku. Jika melakukan kebaikan-kebaikan, akan berkonsekuensi baik, begitu juga sebaliknya. Kebaikan atau ke-tidak baikan yang dilakukan bukan hanya akan berdampak terhadap individu, tetapi juga bisa bisa berdampak sosial, karena manusia selain sebagai individu, juga sebagai sosiogenetis atau makhluk sosial, bagian dari sistem-organisme semesta. Disinilah peran ilmu itu sangat penting untuk menimbang kehendak bebas tersebut yang diberikan oleh Allah SWT, agar setiap segala sesuatu bisa diukur oleh ilmu. Baik atau tidak baik, bermanfaat atau mudorot, selamat atau celaka. Secara sederhana, kehendak bebas adalah soal pilihan, tetapi sekali lagi bahwa jika mempunyai ilmu terhadap apapun yang akan dilakukan, akan diukur oleh ilmu. (akal, panca indera, nurani, value, naluri, etik dan intuisi).
Penciptaan
Tiga hal di atas sudah dikonsepkan oleh Allah SWT dengan sangat sempurna, kemudian masuk pada bagian eksekusi atau penciptaan. Manusia diciptakan tidak dengan sia-sia, sudah pasti ada tujuan tertentu yang hanya Allah SWT yang mengetahui. Sejauh mana peran kita masing-masing sebagai manusia bisa berupaya menjadi manusia yang paripurna, relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan lingkungan, dan manusia dengan Tuhannya.
Menawar Takdir
Kecemasan terhadap masa depan, beriringan sejak manusia diciptakan, walaupun naskahnya (takdirnya) sudah dicatat oleh Allah SWT akan jadi apa, dengan siapa, sebagai apa, matinya bagaimana, bahkan endingnya apakah akan masuk surga atau neraka.
Secara sederhana, philosphia adalah cinta akan kebijaksanaan, dan misoshopia adalah kebalikannya, anti kebijaksanaan. Dua definisi tersebut bisa panjang lebar jika dibahas, tapi jika merujuk pada Sayyed Hossein Nasr dengan konsep scientia sacra-nya, manusia harus memposisikan ilmu sebagai sebuah tradisi kebijaksanaan dalam setiap geraknya, menjalankan sunnah sebagai jalan hidup, karena ilmu (kebaikan-kebaikan) bersifat universal. Ibadah tidak untuk pahala, memberi tidak berharap menerima, mencari ilmu tidak untuk meninggikan ego, berpengetahuan tidak selalu dengan menggunakan pola subjek-objek, dan seterusnya. Jadi, maksud saya menggunakan istilah “menawar takdir” adalah upaya manusia untuk mendapatkan hidayah Allah SWT, kita mungkin mengerti tentang tasawuf tapi belum tentu jadi seorang sufi, kita mungkin mengerti tentang akhlakul karimah tapi belum tentu terinternalisasi dalam dirinya sehingga menjadi habit-habitus, kita mungkin mengerti tentang etika lingkungan tapi belum tentu memperlakukan alam dengan baik, kita mungkin mengerti tentang demokrasi tapi belum tentu bersikap equal, atau sederhananya masih adanya jarak antara ilmu yang diketahui-dengan dirinya.
Alam semesta ini sudah berjalan sesuai dengan grand design Allah SWT, dan manusia sebagai bagian dari sistem-organisme tersebut tentu sebaiknya menjadi manusia yang sebenarnya manusia, sesuai dengan kehendak penciptanya yaitu khalifah fil ardhi, manusia paripurna. Mengetahui kebenaran yang hakiki dan mengiringinya dengan doa dan perbuatan-perbuatan baik adalah jembatan untuk menawar takdir supaya mendapat hidayah dan bimbingan dari Allah SWT, jalan untuk menjalani takdir dengan kebaikan dan kebenaran yang hakiki.
Wallahu ‘alam bishowab
6 notes · View notes
hendriyvialli · 2 years
Text
REPUBLIKANISME DAN PROBLEM SOSIAL
Pada awal kemerdekaan Negara Indonesia didirikan, hanya dilakukan melalui voting bagaimana bentuk Negara ini akan dijalankan, dan pada akhirnya dalam forum tersebut dietapkan bentuk Negara Indonesia adalah Republik. Tidak ada perdebatan akademis dalam memilih bentuk Negara, hanya dilakukan melalui voting.
Dalam perjalanannya, konsep republik sudah dijalankan dengan berbagai konsep yang sudah relatif jauh dari makna yang sebenarnya. Bahwa yang namanya Republik kalau sesuai dengan DNA-nya adalah berbicara tentang kebebasan dan kesetaraan, non dominasi dan kebebasan, memisahkan dari yang public dan yang private. Revolusi Perancis dengan semangat liberalisme dan sosialisme misalnya, Republikanisme adalah yang menjadi dasarnya.
Dalam konteks hari ini, perkembangan konsep republik menjadi agak bias jika dilihat dari awal berdirinya paham republik. Sebagai contoh, kita cenderung standar ganda dalam memilih kebebasan. Mungkin ada yang kontra terhadap gerakan liberalisme di satu sisi, dan ada yang kontra dengan fundamentalisme di sisi lain. Padahal, dalam konsep Negara republik, kelompok-kelompok tersebut harus dirangkul oleh Negara yang menganut paham republik, seorang penganut paham republik disebut republikan. Sederhananya, dalam konsep Negara republik (dalam konsep yang sebenarnya), seorang pejabat publik misalnya tidak boleh membawa preverensi-preverensi identitas individu atau kelompoknya.
Konsep Negara Republik, intoleransi tidak boleh hidup, bahkan simbol-simbol yang menyangkut preverensi individu maupun kelompok-kelompok tertentu juga tidak boleh dipertontonkan di ranah publik. Bagi kelompok yang mengusung paham liberalisme adalah merumuskan apa yang baik, warga Negara yang memperjuangkan kebebasan, atau yang mempertahankan otonomi individu jika menurut Habermas. Nah, dalam konsep republik warga Negara yang baik adalah warga yang bertindak (wahana tindakan), tidak dikonstruksi oleh konsep kebebasan itu sendiri. Liberalisme cenderung pada standar metafisika, sementara republik ada pada tindakan kebebasan.
Jika ada pertarungan ideologis antara kelompok fundamentalis dengan kelompok liberalis misalnya, maka kedua kelompok tersebut sudah keluar dari konsep masing-masing yang mereka perdebatkan soal liberalisme itu. Di satu sisi, mengusung soal liberalisme, sementara di sisi lain anti atau bahkan melakukan perlawanan terhadap liberalisme itu sendiri. Dalam konsep Negara republik klasik, hal demikian tidak bisa diterima, karena ada liberte sebelum liberalisme.
Menutip dari Profesor Ignatius ada pihak-pihak tertentu yang memonopoli dalam aspek ekonomi bahkan ideologi sebagai akar dari problem identitas, selain penyebab lainnya seperti dignity, kebutuhan akan martabat diri agar martabatnya dihargai menurut Plato. Sementara menurut Fukuyuma mengistilahkannya dengan megalothymia dan isothymia yaitu kebutuhan untuk mengungguli semua yang lain dengan kebutuhan untuk diperlakukan setara sebagai martabat yang sama. Dari situlah akar dari tegangnya problem identitas dalam ranah sosial yang kemudian bisa memunculkan menjadi gerakan terorisme atau heroisme monumental.
Dalam kategori formal, status sosial seseorang sebagai apa dan agama apa mungkin penting, tetapi ketika berbicara dalam konteks kesetaraan kultural menjadi tidak penting. Karena identitas yang berkualitas adalah dilihat dari aspek kualitas berpikir dan bersikap dalam lingkup sosio kulturalnya. Intinya adalah, di level yang lebih mendalam, identitas bukan soal kuantitas tetapi tidak saling menghegemoni di level sosial, ras, suku bahkan agama sekalipun, tetapi identitas selalu bersifat plural.
Identitas selalu bertumbuh dari sejak lahir, pubertas dan dari pengalaman hidup keseharian seseorang. Sunda di jaman dulu mungkin berbeda dengan Sunda di jaman sekarang, ajaran agama yang kita yakini sewaktu kecil mungkin akan berbeda dengan agama yang kita yakini sekarang, selalu bertumbuh. Contoh sederhana, sewaktu kecil mungkin kita mempunyai perasaan memiliki yang sangat kuat pada mainan atau apapun yang dimiliki, sehingga orang lain tidak boleh meminjam. Tetapi seiring dengan kedewasaan seseorang, akan mengerti artinya berbagi. Yang tadinya mementingkan kepentingan pribadi, mementingkan kepentingan kelompok bergeser pada kepentingan bersama, universal compassion, atau mentalitas non dual.
Oleh karena itu, pluralitas adalah sebuah keniscayaan. Dan jawaban dari problem sosial tersebut di atas adalah toleransi.
Maka saya mengapresiasi pada teman-teman di organisasi kepemudaan yang menginisiasi pembahasan soal toleransi ini.
Selamat bercengkrama!
5 notes · View notes
hendriyvialli · 2 years
Text
Banalitas Nalar di Era Post-Truth
Perjalanan ummat manusia sejak dilahirkan pasti butuh aktualisasi diri dalam ruang-ruang sosial, kebutuhan tersebut diuraikan oleh Maslow dalam teori kebutuhan dasar manusia yaitu mencakup kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi. Seiring dengan menguatnya digitalisasi di semua aspek, maka realitas tersebut seolah menjadi bias, samarnya antara dunia nyata dengan dunia maya, atau dunia simulatif. Bahkan untuk menilai kebenaran sekalipun seolah menjadi bias. Kebenaran menjadi pemilik otoritas dalam struktur sosial dan atau dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu.
Banal, istilah yang populer digunakan oleh Hannah Arendt seorang filsuf asal Jerman dalam membaca realitas sosial. Menurut Hannah, terjadinya tindak kejahatan karena pelaku banalitas kejahatan tidak memiliki kesadaran dan mengalami ketumpulan nurani. Ia hanya bersandar pada otoritas di luar dirinya, ia tidak melakukan pengujian dalam dirinya, pengujian antara aku dan diriku, tidak berani bertatapan dengan “kediriannya”. Hal ini yang menyebabkan manusia yang bersangkutan tak lagi mampu membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang jahat dan seterusnya.
Ada hal menarik lainnya jika kita peka membaca pemikiran Hannah Arendt tersebut mengenai banalitas yaitu, banalitas terjadi karena ia bersandar pada otoritas di luar dirinya, katanya. Jika dilihat dalam konteks hari ini, nalar manusia sudah cenderung diukur dan dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh pemegang atau pemilik otoritas. Nalar (akal budi, dan akal sehat) seolah sudah bukan lagi otoritas si empunya nalar, tetapi sekali lagi sudah dikuasai oleh pemegang otoritas itu sendiri. Dalam ranah sosial media misalnya, pemilik otoritas berita benar atau berita yang salah (hoax) sudah dihegemoni oleh institusi atau lembaga tertentu (diukur dari kepentingannya). Termasuk dalam soal kesehatan misalnya, pemegang otoritas suatu virus berbahaya atau tidaknya tergantung pada pemegang otoritasnya yaitu world health organization (who). Kasus kopit19 misalnya, jika kita masih ingat pada awal kemunculan kopit di tahun 2019 di media-media (social media) ditampilkan dengan sangat menakutkan, banyak orang berjatuhan di jalan-jalan umum, rumah sakit penuh, banyak orang mati mendadak, para tenaga kesehatan menjadi sangat sibuk, yang terkena virus langsung dijemput ke rumahnya, serta kehebohan-kehebohan lainnya.
Semua pemegang otoritas tersebut kompak mengkampanyekan bahayanya kopit19, informasi-informasi yang tidak sejalan dan bersebrangan dengan yang mempunyai kepentingan tersebut akan di filter, bahkan di-banned walaupun informasi tersebut datanya berasal dari para expert atau para ahli kesehatan di dunia misalnya (public opinion atau data pembanding).
Di pihak lain berpendapat bahwa kopit19 endingnya hanyalah soal bisnis faksin yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan dan kepentingan-kepentingan lainnya, tidak bisa membedakan antara teori konspirasi dengan fakta konspirasi, serta pendapat lainnya yang muncul di tengah masyarakat. Sekarang ini, para pemain bola di liga-liga Eropa misalnya, pemain yang terkena kopit19 tidak bisa ikut bermain untuk membantu teamnya, cukup dikarantina atau dengan melakukan isolasi mandiri di rumah, atau dengan menunda pertandingan tertentu. Intinya adalah, ada respon dan perlakuan yang berbeda pada saat sekarang jika dibandingkan pada saat awal kemunculannya di tahun 2019, apakah virusnya pilih-pilih situasi dan kondisi, atau apakah karena vaksinnya sudah laku terjual, entahlah. Lalu dimanakah posisi nalar kita pada saat dihadapkan dengan pemegang otoritas (who) tersebut, apakah dalam hal ini who sudah pasti benar? Soal ini akan sangat menarik jika kita menganalisa lebih mendalam hubungan antara GAVI, the Bill & Melinda Gates Foundation, FaceBook, WHO dan Mark Zuckerberg.
Menurut Hannah, sikap banal bukan sesuatu yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan modernitas, dan kekuasaan. Sistem yang tidak menerapkan aksi komunikatif dalam kekuasaan membuat pikiran masyarakat menjadi dangkal.
Istilah banalitas, banyak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan seperti di dunia pendidikan, kesehatan, media massa, politik, akademik. Bahkan dalam konteks intelektual sekalipun muncul istilah banalitas intelektual.
Pada saat Hannah Arendt mengikuti sidang kejahatan seorang Nazi Jerman, Jenderal Nazi bernama Eichmann disidang atas kejahatan yang sudah dilakukannya. Namun ironinya, Eichmann ini tidak merasa bersalah sedikitpun karena pembantaian tersebut dilakukan atas perintah atasannya. Itu yang oleh Hannah Arendt disebut banalitas kejahatan. Banyak orang yang melakukan kejahatan, tetapi tidak merasa bahwa itu kejahatan, dianggap wajar dan mengalir begitu saja (sad of truth). Contoh lain yang sederhana misalnya mencontek dianggap wajar dan hal biasa bagi sebagian orang, kalau ditinjau dari sudut pandang nalar, itu adalah banal. Bukan problem karena masyarakatnya yang bodoh, bukan problem karena tidak terdidik. Problemnya karena nalarnya tidak difungsikan, sehingga jadilah banalitas.
Kalau pemegang otoritas itu sudah menyatakan sesuatu, maka sesuatu itu sudah dianggap pasti kebenarannya, itulah post-truth.
Wallahu ‘alam bishowab
1 note · View note
hendriyvialli · 2 years
Text
JOMBLO ‘TILL the END; PERJALANAN HIDUP TAN MALAKA dan RAA. WIRANATAKUSUMAH V (Bupati Cianjur 1912-1920)
Mungkin semua orang tahu nama Tan Malaka yang memiliki nama asli Sutan Ibrahim, seorang pejuang kemerdekaan yang memilih “jalan sunyi” dalam melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Dibalik nama besarnya yang barangkali bagi sebagian orang dianggap sebagai seorang yang pro “gerakan kiri” dan seorang tokoh pejuang kemerdekaan atau bahkan sebagai pahlawan kemerdekaan yang dilupakan bagi sebagian lainnya. Ide, gagasan dan pikiran-pikirannya masih relevan dan masih menjadi rujukan sampai hari ini.
Terlepas dari itu semua, dalam buku “Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah” (Masykur Arif Rahman, 2013), diakui Tan Malaka pernah beberapa kali mengirim surat kepada tambatan hati di satu sekolahnya di Bukittinggi yaitu Syarifah Nawawi. Namun cintanya itu hanya bertepuk sebelah tangan karena surat-surat cinta yang dikirimkannya itu tidak pernah dibalas oleh Syarifah Nawawi. Singkat cerita, Syarifah Nawawi justru dinikahi oleh seorang Raja Sunda terakhir di Negara Pasundan pada era Republik Indonesia Serikat (RIS) juga Bupati Cianjur periode 1912-1920 yaitu RAA. Wiranatakusumah V, walaupun usia perkawinan antara RAA. Wiranatakusumah V dengan Syarifah Nawawi tidak berlangsung lama, Syarifah Nawawi diceraikan RAA. Wiranatakusumah V melalui telegram ketika istrinya itu sedang liburan di kampung halamannya.
Nampaknya, kekecewaan karena cintanya yang tidak berbalas itu yang secara psikologis menjadi turning point dalam perjalanan hidup Tan Malaka. Diketahui, Tan Malaka sepanjang hidupnya hanya menyukai tiga orang perempuan dari tiga Negara yang berbeda yaitu Syarifah Nawawi, Paramitha “Jo” Abdurrachman, dan Carmen yang semuanya tidak pernah menjadi jodohnya.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka sampai hari ini masih menginspirasi dalam berbagai diskursus dan gerakan. Jika kita membaca karya-karyanya memang cenderung provokatif-revolusioner karena kondisi pada saat itu juga barangkali menginspirasi sekaligus memengaruhi tulisan-tulisannya, seperti “Masa Aksi”, “Madilog”, “Gerpolek”, “Menuju Merdeka 100 Persen”, “Komunisme dan Pan Islamisme", “Hukum Revolusi”, “Muslihat”, “Menuju Republik Indonesia��, “Islam dalam Tinjauan Madilog”, dan judul-judul lainnya yang menarik untuk dibaca.
Pasca ditolak cintanya Tan Malaka kepada Syarifah Nawawi, dan setelah RAA. Wiranatakusumah menceraikannya, tiga tokoh tersebut menjalani kehidupannya masing-masing sebagai pejuang kemerdekaan bagi Tan Malaka, sebagai tokoh pendidikan dan kesetaraan perempuan bagi seorang Syarifah Nawawi dan sebagai pengabdi dengan caranya sendiri bagi seorang RAA. Wiranatakusumah V.
RAA. Wiranatakusumah, seorang raja terakhir di Negara Pasundan pada era Republik Indonesia Serikat (RIS) menarik untuk dikupas lebih lanjut atau diteladani. Bagi seorang RAA. Wiranatakusumah V, tiga simbol identitas disematkan sekaligus kepada beliau nampaknya tidaklah berlebihan. Pertama, karena faktanya, dalam konteks budaya beliau yang senantiasa melestarikan budaya Sunda Cianjuran, pencak silat, wayang golek, dan orang yang membawa untuk pertama kalinya musik Cianjuran masuk ke Bandung, juga sebagai seorang raja Sunda pada saat itu. Kedua, RAA. Wiranatakusumah V adalah seorang yang agamis dan kuat akan nilai-nilai religiusitas, perilaku akhlakul karimahnya tidak sebatas jargon dan formalistik an sich, tetapi dipraktekan dalam ruang lingkup keseharian dan dalam kebijakan-kebijakannya. Bahkan ada satu naskah buku, buah dari karyanya sendiri yang mengandung syair-syair keagamaan yaitu Kidung Kinanti yang di dalamnya adalah esensi dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah. Ketiga, sebagai simbol negarawan. Pendopo, pada masa RAA. Wiranatakusumah V dijadikan semacam miniatur pusat peradaban dari tiga aspek kehidupan, yaitu aspek budaya, aspek agama dan aspek Negara atau Pemerintahan. Yang menarik juga adalah, beliau yang menginisiasi berdirinya Koperasi Tani pertama di Indonesia, beliau juga mampu menggerakan warga di sekitaran Rawa Cihea Kecamatan Haur Wangi untuk dijadikan kawasan persawahan dengan luas sekira 1500 hektar yang bisa dikelola oleh masyarakat sekitar , yang kemudian proyek besarnya itu diabadikan dalam Prasasti Cihea. Dari prestasi tersebut pemerintah pusat Hindia Belanda memberikan otonomi daerah untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia. Dan tentu masih banyak lagi prestasi monumental RAA. Wiranatakusumah V lainnya yang bisa dijadikan tauladan untuk kita semua. Semoga kita semua bisa meneladani akhlak baik para pendahulu kita, sebagai apapun kita saat ini.
Tan Malaka adalah seorang jomblo sampai akhir hayatnya. Tapi disisi lain, kenapa para pejabat tempo dulu banyak yang mempunyai istri lebih dari satu orang?
Wallahu ‘alam bishowab & Selamat Tahun Baru 2022
1 note · View note
hendriyvialli · 2 years
Text
DUALISM of MORALITY; Antara Moralitas Beragama vs Moralitas Bernegara
(Sekilas Telaah tentang Konsep Dasar Teori Dominasi Max Weber)
Secara signifikan, penyimpangan mendasar dari gagasan Marx bahwa sejarah dapat ditelusuri dari model ekonomi dan produksinya, sementara Weber membantahnya bahwa sejarah adalah karakteristik dari model otoritas yang berbeda. Pemimpin menumbuhkan otoritas melalui dominasi, kombinasi dari kekuasaan dan legitimasi. Weber membagi beberapa tipe tindakan sosial yakni rasionalitas alat-tujuan (legal-rational), atau sebuah tindakan “ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi mengenai perilaku objek-objek di dalam lingkungan dan perilaku manusia lainnya; ekspektasi-ekspektasi digunakan sebagai “kondisi-kondisi” atau “alat-alat” untuk tercapainya tujuan yang dikejar sendiri dan diperhitungkan secara rasional oleh aktor. Tipe kedua adalah rasionalitas nilai atau tindakan yang “ditentukan oleh kepercayaan sadar akan nilai tersebut demi perilaku yang etis, estetis, relijius, atau bentuk lainnya terlepas dari prospek-prospek keberhasilannya”. Terakhir, tindakan tradisional ditentukan oleh cara-cara berperilaku aktor yang biasa dan lazim dilakukan. Dalam buku Teori Sosiologi (Ritzer & Stepnisky, 2019) disebutkan bahwa “Weber tidak kehilangan pandangan terhadap tindakan; aktor hanya bergeser sebagai fokus perhatian menjadi suatu variabel dependen yang ditentukan oleh berbagai kekuatan berskala besar”. Kekuatan berskala besar ini adalah struktur otoritas yang mengatur tindakan soal individu. Namun tentunya setiap otoritas mengambil bentuk yang berbeda-beda. Dalam kerangka teoritis, diskusi otoritas dalam dimensi sosiologis selalu merujuk pada Weber. Otoritas dapat dipahami sebagai kekuasaan untuk memengaruhi dan mengontrol orang lain. Sehingga dampaknya menjadi individu yang ter-alienasi.
Diskursus tentang otoritas dan dominasi Negara dan bagaimana Negara yang ideal itu dijalankan serta korelasinya dengan sistem ekonomi, sosial-politik dan Agama sudah dimulai sejak abad klasik. Kompleksitas tersebut menjadi concern dibahas para filsuf, sosiolog seperti Max Weber, Karl Marx, Albert Camus, dan lain-lain. Dari kompleksitas hubungan antara Agama, sosial-politik, Negara dan ekonomi atau ranah sosial lainnya tersebut juga akhirnya berdampak pada manusia itu sendiri yang seolah teralienasi dari dunianya sendiri. Prof. Iván Szélenyi dari Universitas Yale misalnya berpendapat, “the common feature is that they are all concerned about modernity and people’s sense of being lost and being without control in modernity. And the problem of modernity: that we are to much controlled, and the control is increasingly inside us, rather than outside, and coercive”.
Persoalan antara Modernity dan modern morality korelasinya dengan dominasi-otoritas menimbulkan dualisme attitude aktor, antara aktor sebagai warga Negara dan aktor sebagai manusia beragama. Dalam konteks praksis kadang hal demikian bisa menimbulkan persoalan. Weber menuduh Calvinism-lah yang justru menciptakan lahirnya kapitalisme. Dalam beberapa konteks, Weber sangat mengkritik Karl Marx karena terlalu simplistik dalam melihat keterkaitan antara dunia materi dan dunia non materi (simple-minded economic deterministic). Tapi Marx juga percaya bahwa keadaan alamiah adalah sesuatu yang abstrak, kita terlahir di tengah masyarakat dan dengan alam kita menjadi manusia sosial, hanya kapitalisme yang membuat kita melakukan kompetisi, kompetisi antara borjuis dan proletar, dengan kapitalisme kita menjadi asosial dan egois. We are good, and the problem comes as society makes us alienated.
Teori mendasar dari Weber tentang social action mencakup empat hal utama yaitu instrumentally rational action (zweckrationalitate), value-rational action, affectual orientation, dan traditional orientation. Di tataran praksis, keempat hal di atas saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, jika kita berada dalam posisi dilematis antara mencintai (love) atau membenci (hate) maka pada kondisi tertentu kita “dipaksa” berperan antagonis. Tergantung dari interpretasi apa yang kita gunakan dan sebagai apa posisi kita, apakah menggunakan interpretasi sosial,interpretasi kekuasaan, atau interpretasi sebagai individu yang bebas-berkehendak. Interpretasi sosiologi berasal dari bahasa Jerman, verstehen. Verstehen mengandung makna “understanding” dalam bahasa Inggris. Inti dari ke empat teori Weber tentang social action di atas adalah pada “makna” dan “akhir” konsekuensi dari tindakan sosial tersebut.
Weber membuat perbedaan mendasar antara “power” (macht) yang berada di Jerman pada kondisi saat itu misalnya dengan “dominasi” (herrschaft). “Power is probability that an actor within a social relationship will be In a position to carry his own will despite resistance”. Sementara dominasi (herrshaft) adalah “is the probability that a command will be obeyed”. Dari kedua definisi tersebut terlihat jelas bahwa dominasi adalah kombinasi antara power dan legitimasi.
Untuk memahami moral, sudah dipelajari dalam konsep “trolley problem” yang dikembangkan oleh seorang filsuf Inggris Philippa Foot dalam berbagai kondisi seperti perang, penyiksaan, drone, aborsi dan euthanasia. Bagaimana moral tersebut ditempatkan dalam situasi yang sulit. Studi ini kemudian menjadi sangat penting saat perkembangan Artificial Intelligence (AI), machine learning, dimana mesin diberikan kontrol untuk mengambil keputusan mana yang lebih bermoral pada berbagai kondisi yang terjadi. “The Trolley Problem” membuat kita berpikir lebih jauh tentang konsekuensi dari sebuah pilihan apakah itu berdasarkan nilai moral tertentu atau lebih kepada hasil akhirnya, dan bagaimana kita mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-sehari. Apakah mengorbankan yang lebih sedikit untuk menyelamatkan yang banyak adalah sesuatu yang lebih bermoral atau hanya sebuah pembenaran belaka?
Bahkan sepanjang hidup kita, pelajaran moral seperti ini kerap masuk sebagai sebuah doktrin. Bahwa memang harus selalu ada yang harus dikorbankan demi kepentingan yang lebih besar. Maka tak heran jika kemudian moral sering digunakan sebagai alat oleh penguasa dan segelintir orang untuk membenarkan perang, memberangus etnis tertentu, genocide, rivalitas politik, diskriminasi minoritas, pengrusakan lingkungan, industrialisasi dan lain sebagainya hanya dengan alasan demi perdamaian dunia, demi kepentingan umum, demi kelompok yang lebih besar, demi masa depan yang lebih cerah dan seterusnya. Tak mengapa mengorbankan yang sedikit untuk yang lebih besar, lantas semua itu seolah menjadi benar dan lebih bermoral. Jangan-jangan apa yang kita pahami selama ini tentang moral justru sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu, atau bahkan diri kita sendiri untuk menyakiti orang lain.
Dalam konteks berpikir mengorbankan yang sedikit untuk yang lebih banyak mungkin itu menjadi pilihan yang lebih bermoral. Tapi coba bayangkan jika kita berada di posisi yang berbeda.
Wallahu ‘alam bishowab
2 notes · View notes
hendriyvialli · 2 years
Text
Celoteh Arteria Dahlan dalam Persepektif Critical Discourse Analysis
“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri” – Pramoedya Ananta Toer
Bagi mahasiswa Fikom, istilah critical discourse analysis atau analisis wacana kritis (AWK) tentu bukan barang baru. Salah satu bidang kajian yang berorientasi pada perubahan sosial, wacana, serta korelasinya dengan fenomena atau struktur sosial di masyarakat dan berupaya menciptakan realitas baru yang lebih ideal. Menurut Rahmat Petuguran dari Universitas Negeri Semarang, ada beberapa kriteria penting dalam critical discourse analysis. Yaitu pertama, mengidentifikasi masalah sosial dengan menjelaskan persoalan kebahasaan pada proses dan struktur budaya. Kedua, relasi kekuasan diperebutkan dan dinegosiasikan melalui pewacanaan. Ketiga, wacana tidak hanya merefleksikan sosial dan budaya dalam masyarakat, melainkan bagian pembentukannya. Keempat, ideologi diproduksi melalui pewacanaan dengan menegosiasikan mana yang baik dan buruk, benar dan salah, bagus dan jelek. Kelima, wacana tidak bisa dipisahkan dengan wacana lain yang mendahului atau mengikutinya. Keenam, berusaha menemukan kaitan antara struktur sosial dalam fitur-fitur teks. Ketujuh, bekerja melampaui deskripsi, penjelasan, dan interpretasi dengan mengungkap bagaimana semua itu bekerja. Kedelapan, berusaha membuka niat jahat dari pernyataan-pernyataan yang tampak baik atau mulia. Bahasa bukan hanya merupakan instrument komunikasi, tetapi ia juga merupakan instrument kekuasaan, dan dibalik bahasa ada ideologi. Tokoh-tokoh dibalik Analisis Wacana Kritis seperti Fairclough, van Dijk, R. Wodak dan lain-lain menjelaskan dengan sangat menarik soal kajian AWK ini.
Statement Arteria Dahlan dan korelasinya dengan analisis wacana kritis.
Menurut Fairclough, analisis wacana kritis melihat wacana (pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan) sebagai bentuk dari praktik sosial. Analisis wacana kritis juga bagaimana melalui bahasa, kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Wacana, bukanlah “ruang kosong” yang terbebas dari kepentingan, tetapi ia juga merupakan representasi dari kelompok sosial. Dalam konteks analisis wacana kritis, statement Arteria Dahlan merupakan statement semiotik dalam ranah politik, karena di dalamnya berada pada ruang-ruang kekuasaan dan politik yang memunculkan adanya kesadaran komunal yang ditimbulkan dari statement-nya tersebut, yaitu kesadaran terhadap jati diri pada suku tertentu. Jika ditinjau dari teori hegemoni-nya Gramsci bahwa bahasa bisa dijadikan suatu sarana untuk melahirkan atau melanggengkan kekuasaan, menguasai individu atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Dalam melihat dinamika tersebut, menurut saya adalah hal yang biasa dalam konteks fenomena sosial dan politik. Seorang Bourdieu misalnya berpendapat, bahwa bahasa adalah instrument kekuasaan karena hubungan sosial pada dasarnya adalah hubungan dominasi. Atau Foucault misalnya mengatakan bahwa wacana merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang teknologi sosial dan teknologi memerintah yang merupakan bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern. Wacana dibuat bertujuan ingin menguasai individu atau pihak-pihak lain dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Celoteh Arteria Dahlan adalah fenomena linguistik yang mungkin akan berdampak pada fenomena politik. Hanya dalam konteks politik, semua hal bisa dikompromikan. Kita lihat saja, resistensi terhadap fenomena linguistik ini akan berkepanjangan sampai ke pemilu, atau hanya sekadar angin lalu.
Fenomena Linguistik ini sebetulnya sering terjadi di Indonesia atau di circle kita sehari-hari dengan keluarga atau sahabat-sahabat kita, atau di lingkungan kerja kita. Sebagai contoh, sebut saja misalnya seorang Permadi Arya, Denny Siregar, atau belakangan terjadi pada seorang Ferdinand Hutahaen. Dari nama-nama tersebut sering memunculkan wacana yang berimplikasi pada masyarakat atau kelompok mayoritas tertentu sehingga terjadi resistensi, bahkan berimplikasi pada ranah hukum. Dan dalam sejarah peradaban manusia, fenomena tersebut merupakan hal yang lumrah dan biasa.
Yang paling penting adalah, sebagai manusia tentu harus mempunyai kesadaran kritis. Karena sikap kritis adalah kesadaran kognitif dan itulah sejatinya tanda manusia yang berpikir.
Wallahu ‘alam bishowab
0 notes
hendriyvialli · 3 years
Text
Jika kamu bilang kamu pencemburu, aku lebih dari itu
Melihatmu dengan orang lain saja, aku cemburu
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
1. Tatang Setiadi, salah seorang budayawan yang sudah fasih dan kompeten dalam konteks budaya Cianjur. Beliau mempunyai referensi yang cukup banyak soal budaya Cianjur yang mungkin kita belum ketahui, termasuk isi dari dokumen Pancaniti yang sekarang masih berada di Leiden University Belanda. 2. Luki Muharam, seorang jurnalis dan praktisi pendidikan. Di Cianjur mungkin hanya beliau yang mempunyai 3 dari 6 buah dokumen asli "Pantun Pajajaran". Untuk mendapatkan "Pantun Pajajaran" tersebut tidaklah mudah, harus melalui proses yang panjang dan tidak sembarang orang bisa mendapatkannya, apa saja isi dari "Pantun Pajajaran" tersebut? Simak dan ikuti, bincang budaya yang akan membongkar dan merekonstruksi pemahaman yang (mungkin) selama ini masih kita anut, seperti apakah benar Eyang Suryakancana menikah dengan jin? Dan bagaimana sejarah kuda kosong di Cianjur? Etc. Selamat berbincang! #BudayakanDiskusi #CianjurJago #REPATH with selin, M., Wahyudin, Rangga, Mumu, Radin, verdiana, Ira, Sri, Madam, Fernanda Regi, miftah, Sandho, XOFIA, Nana, Fitri, Bayu, Sandi, Endie Ndot, M Herry, SAEP, irm_institute, IRM, Harry, Deni, Intän, Bayu, Ariffa, Arifin, Ratu, Adang, HMI, Angga, dadang, Dandi, Suci F. Karenina, Yonri, Angga, Tami, Erlang, yeni, Rizki , tubagus, mpoy, Tri, agus, waldi, yuni, Aris NC, Pancaniti, Muhammad, infocianjur, Iwan, Shofi Hamzah , Wenny, Beny, Septhyia, sarah, Rizka, riza, ciwo_, Aries, Alge, Endro, CISCcianjur, Fajar, Andry, angga, Fenty , Dendi, Nusi, Biang, Redi, BEM, Narghis, Ichsan, El_Rosma, Brury, Didin, Rustam_FND, Herru, Firly , Lukman, Nicki, H.Herman, arga, Denas, Ashari, Isty, levi, Muhammad, Harry, Septy, Komisariat, tenty, Dien, Ari, Agung, Danil, Ivan Maulana, NaokiEndah, alz, Intan, R Aji, Damayanthi, Resi, subhan, Lenny_Simplecated.ID, Ridwan, mamet, M Rendi, Ricky Blank, Beni, Deon, fitri, Robi, Firman, Utok, Yanti, Rossa, Yudi, Anna, Riyan, Entin, yrf, Caca Nisa, Moch, Trifany, indra, andre, Sumi, Hendy, Mk, hujan, Rista, Asri, H., Syaepul, Yana, Agung, Eckhy, Risma, Rizal, Helvy, Yadi, Anggara, Unang, Deden, ADiki, neti_nop, tika, and Mussa – View on Path.
1 note · View note
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Display Picture Cianjur Jago – View on Path.
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Bidang OKK MPC Pemuda Pancasila Kabupaten Cianjur. Sekali Layar Terkembang Surut Kita Berpantang. Pancasila Abadi! 💪
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Pemandangan yang menyejukan, sebagai seorang ayah pasti merindukan moment seperti ini #cianjur #irm #cianjurjago #westjava #indonesia #cjr
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Selamat milad Bupati Cianjur yang ke 36 tahun. Dalam memimpin, pasti akan selalu menemukan berbagai dinamika. Dan kami, akan selalu siap mengawal untuk Cianjur kedepan agar lebih maju. Halang-rintang adalah intelijibilitas. Adukan pada Allah lalu kita syukuri.... with IRM – View on Path.
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Selamat milad yang ke 36 tahun Bupati Kab. Cianjur H. Irvan Rivano Muchtar. Semoga diberikan keberkahan dalam mengemban amanah. Aamiin... #CianjurJago #irm #cjr #westjava #indonesia #cianjur
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
OFFICIAL 70.000 detik #cianjurjagofestival
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Coba tebak apa yang Karang Taruna dapat? Piala berlapis emas broo 😜😂😎🤘✌️👏💪☺️ 70.000 detik #cianjurjagofestival🎉
0 notes
hendriyvialli · 8 years
Photo
Tumblr media
Yang melendoy ini banyak yang tidak tahu, Lais Ki Bajing konon kesenian tradisional asli dari Cianjur yang sudah ratusan tahun, harus dilestarikan. Lais Ki Bajing ini dari Desa Cibuluh Kecamatan Cidaun #cianjurjagofestival🎉 #CianjurJago #carnaval #carnaval2016 #travel #culture #cianjur #cjr #visitindonesia
0 notes