Text
“Kita bisa mengendalikan ingatan. Makanya kita kenal dengan proses menghafal. Tapi kenangan sebaliknya: justru kenangan yang mengendalikan kita. Makanya ada istilah “lupa ingatan”, tapi tak pernah ada istilah “lupa kenangan”. Sebab kenangan itu melampaui lupa.”
—
114 notes
·
View notes
Text
PERIHAL TUDUHAN "AKTOR INTELEKTUAL" DAN "DITUNGGANGI"
Istilah “aktor intelektual” dan “ditunggangi” tidak pernah hilang dari kosa politik Indonesia. Bahasa politik itu kembali muncul saat para pejabat menyikapi demonstrasi besar-besaran menentang RUU Cipta Kerja.
Perlu dikatakan bahwa tidak mungkin massa aksi yang begitu besar tidak punya kepentingan dan agenda politik. Mereka turun ke jalanan justru karena punya itu semua. Sudah pasti juga ada plot dari orang yang mencoba memanfaatkan gelombang aksi ini agar bisa inline dengan, syukur-syukur bisa menggolkan, agenda politik mereka.
Kemunculan istilah “aktor intelektual” atau “ditunggangi” justru untuk menegaskan bahwa plot tersembunyi itulah yang menjadi motif utama. Formula maknanya begini: aspirasi yang diusung secara terbuka dalam spanduk-spanduk dan orasi-orasi para demonstran hanya sampul dari plot tersembunyi untuk mendelegitimasi pemerintah dan itu pasti datang dari kelompok politik yang urusannya hanyalah kue kekuasaan.
Asumsinya: (1) warga yang baik tidak mungkin turun ngeyel di jalanan karena negara tidak mungkin melukai (suara) rakyat dan (2) warga yang baik hanya akan menyampaikan aspirasinya melalui jalur-jalur formal. Dua asumsi itu problematis karena (1) negara dan aktor-aktor negara bukanlah malaikat tanpa cela, (2) jalur-jalur formal biasanya sudah tersumbat dan (3) walau pun sudah tersumbat toh jalur formal itu pernah, sedang, dan akan ditempuh, kok.
Masalah utama dari jalan pikiran yang terwakilkan dari istilah “aktor intelektual” dan “ditunggangi” adalah ketidakpercayaan atas kemampuan warga untuk mengartikulasikan pikiran, aspirasi, kekecewaan, kemarahan dan harapan. Makanya, tiap kali ada warga desa, orang-orang kampung, atau mereka yang (dikesankan) tak berpendidikan angkat suara dan melakukan perlawanan, pasti selalu ada yang mengatakan: tak mungkin lulusan SD ngerti urusan politik dan hukum, mereka pasti ditunggangi, oleh makelar-makelar politik berbaju LSM, aktivis, dan/atau (sekarang lagi ngetren istilah) SJW.
Bingkai itulah yang mestinya membuat narasi “sudah baca belum draft RUU-nya?” bisa diletakkan secara tepat. Narasi itu sejalan dengan rumus berpikir bahwa “warga pasti tidak tahu apa-apa, sehingga kalau mereka merasa tahu sudah pasti itu hanya (1) sotoy atau (2) ditunggangi”.
Jika diperas lebih kencang lagi, semua itu hendak bermuara kepada cara berpikir bahwa “warga pada dasarnya tidak pernah bermasalah dengan agenda-agenda negara”. Warga dibayangkan sebagai makhluk-makhluk naif yang secara alami selalu menerima niat baik negara dengan tulus. Sehingga jika ada warga yang berserikat untuk menolak agenda-agenda negara, hal itu sudah pasti bukan tindakan yang alamiah.
Gema "negara organik", atau "negara integralistik" ala Soepomo, pun tercium. Secara singkat bisa dikatakan bahwa negara organik membayangkan bahwa tidak ada ketegangan antara negara dan rakyat. Keduanya adalah manunggal. Rakyat dan pemimpin itu tidak terpisah-pisahkan. Negara-bangsa dibayangkan sebagai sebuah keluarga besar, dengan pemimpin sebagai bapak dan rakyat sebagai anak-anaknya. Tidak pada tempatnya mencurigai sang bapak hendak mencederai anak-anaknya. Segala yang dilakukan sang bapak, jika pun dirasa merugikan, semuanya untuk kebaikan anak-anaknya.
Saya tak hendak berpanjang-panjang menjelaskan apa itu “negara organik” dan “negara integralstik”. Saya persingkat dengan melompat kepada konsep “politik massa mengambang” yang dirumuskan Ali Moertopo pada 1972 lewat tulisan berjudul 'Dasar-Dasar Pemahaman tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun’.
Siasat ini pada dasarnya adalah sebentuk depolitisasi warga, menjauhkan warga dari diskursus politik. Dalam bentuk yang konkrit, politik hanya boleh sampai di tingkat Kabupaten/Kotamadya, tidak boleh masuk hingga level kecamatan apalagi tingkat desa. Jika pun hendak berpolitik, hanya boleh melalui saluran resmi yaitu lewat dua partai (PPP-PDI) dan Golkar.
Mudah ditebak siasat ini hanya menguntungkan Golkar. Dibandingkan PPP dan PDI, hanya Golkar yang infrastruktur politiknya dapat menjangkau hingga pelosok-pelosok desa. Melalui aparat birokrasi dan organisasi-organisasi turunannya (dari PGRI, Korpri, Dharma Wanita, PKK, hingga pemerintah desa yang diawasi oleh Koramil, Polsek dan Babinsa), Golkar akan dengan mudah menancapkan kepentingan politiknya dengan demikian intens.
Moertopo mendasarkan argumentasinya kepada mendesaknya agenda-agenda pembangunan yang tidak boleh diganggu oleh kancah perjuangan politik partai dan golongan. Dalam kalimatnya Moertopo: "...sudah selayaknya bila rakyat, yang sebagian besar terdiri atas rakyat di pedesaan, dialihkan perhatiannya dari masalah sempit dan diarahkan kepada usaha pembangunan nasional, antara lain melalui pembangunan masyarakat desanya masing-masing."
Dari situlah genealogi istilah "provokator" masuk ke dalam kosa kata politik Indonesia. Dibayangkan bahwa orang-orang luar, mereka yang menunggangi, atau aktor intelektual, sebagai biang kerok munculnya inisiatif perlawanan warga. Tanpa orang luar, warga yang dianggap masih bodoh, kurang berpendidikan, tidak rasional, mustahil punya keberanian atau punya inisiatif menentang agenda-agenda negara. Orang-orang luar, entah atas nama advokasi atau pendampingan atau solidaritas atau apa pun, dianggap sebagai intervensi nurture terhadap nature, yang merongrong kedamaian dan ketenteraman.
Para politisi, kepala daerah, para jenderal atau menteri dan presiden yang masih berpikir bahwa penolakan warga terhadap agenda-agenda negara sebagai tindakan yang tidak alamiah, menyimpang, dan mengganggu ketertiban bukan hanya ketinggalan zaman atau gagap membaca perubahan mas(s)a tapi juga masih merasa dirinya sebagai “bapak” yang serba-berhak menilai dan memutuskan apa yang terbaik bagi rakyat yang terus dianggap sebagai (kek)anak-anak(an) dan tidak mengerti apa-apa.
191 notes
·
View notes
Photo

Tempat paling indah adalah tempat di mana kita selalu bersama. Uwuwuuu~ 😚 📷 @saamrach (di Di Pelabuhan Sunda Kelapa Di Atas Kapal)
2 notes
·
View notes
Photo

KAMAR KERJA PRAM Dalam kata-kata kerabat terdekatnya, Pram adalah orang yang tidak pernah berhenti bekerja. Kerja adalah hidupnya dan hidupnya adalah untuk kerja; bagi kemanusiaan, bagi keadilan, bagi negaranya dan bagi masa depan yang lebih baik. Di balik meja kerja dan di hadapan mesin ketik (yang kadang berjumlah lebih dari satu) ia menghabiskan waktu-waktunya, memindahkan gagasan-gagasannya ke lembar-lembar kertas. #NamakuPram #CatatandanArsip #PramoedyaAnantaToer (di Dia.Lo.Gue)
0 notes
Text
Ingatlah, bila Anda berurusan dengan manusia, Anda berurusan dengan makhluk emosi, bukan makhluk logika.
—Dale Carnegie (1888-1955)
0 notes
Text
Bahasa, Sumpah Pemuda dan Agnes Monica
– Esai ini pertama kali tayang di laman Yahoo! Indonesia pada 28 Oktober 2013. Saya unggah sebagai dokumentasi karena naskahnya sudah tidak bisa lagi diakses di laman tersebut.
Di hari Sumpah Pemuda [atau yang lebih tepatnya “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”], saya membaca kicauan Agnes Monica di twitter: “Supaya kalian tau exactly what i said in the press conference. Banyak bgt justru yg the opposite of what i said.”
Bukan niat saya untuk menyebut Agnes tak setia dengan pernyataan “kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia”. Kicauan Agnes itu justru dengan telak mengingatkan saya pada satu fakta penting: para pembicara di Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II menggunakan bahasa Belanda. Semua keputusan [istilah resminya waktu itu “poetoesan”] juga ditulis dalam bahasa Belanda.
Pidato Mohammad Yamin di Kongres Pemuda I [nama resminya “Het eerste Indonesische Jeugdcongres”, sekali lagi namanya pun dalam bahasa Belanda], yang dengan cemerlang membela bahasa Melayu sebagai satu-satunya kemungkinan bahasa nasional di masa datang, toh juga disampaikan dengan bahasa Belanda yang sangat bagus.
Biarlah M. Tabrani, Ketua Kongres Pemuda I yang tak hadir dalam Kongres Pemuda II, menjelaskan duduk perkaranya [saya menggunakan terjemahan Daniel Dhakidae di buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru karena Thabrani lagi-lagi menggunakan bahasa Belanda]:
Keep reading
90 notes
·
View notes
Text
Tidurnya dalam angin yang bertiup setelah hujan baru saja berhenti.
(Malamnya Malam, Jakarta 1982-1983.)
4 notes
·
View notes
Photo

How many times you have repeated the same amputated gesture, the same journey’s that lead nowhere? All you have left to fall back on are your tuppeny-halfpenny boltholes, your idiotic patience, the thousand and one detours that always lead you back unfailingly to your starting point. All that counts is your solitude : whatever you do, whenever you go, nothing that you see has any importance, everything you do, you do in vain, nothing that seek is real. Solitude alone exists, every time you are confronted , every time you face yourself. . .
—The Man Who Sleeps (1974)
0 notes
Text
Sekolah menjadi pihak otoriter dalam membentuk diri kita. Lembaga pendidikan massal ini merupakan representasi suatu kelompok di masyarakat. Diwakili oleh guru dan orangtua, sekolah membentuk murid sesuai dengan keinginan masyarakat, bukan keinginan pribadi murid. Kita, sebagai individu yang berbeda, diseragamkan pakaiannya bahkan otak dan hatinya.
Menyerahkan Anak-Anak kepada Dunia
Saat membaca celoteh Mendikbud Muhadjir Effendy soal perlunya anak-anak sekolah seharian, saya teringat kalimat Neil Postman: ’’Jangan kau cabut anakmu dari dunianya, karena kelak kau akan temukan orang dewasa yang kekanak-kanakan.’’
Postman, sarjana dengan ide-ide tentang pendidikan yang provokatif sekaligus subversif, menuliskan kalimat di atas dalam buku The Disappearance of Childhood. Buku yang terbit kali pertama pada 1982 itu menjelaskan anak-anak adalah konsep yang baru muncul di akhir abad pertengahan, seiring berkembangnya mesin cetak (Guttenberg menciptakan mesin cetak pada 1440).
Penjelasannya kira-kira begini:
Sebelum ditemukan mesin cetak, tingkat buta huruf sangat tinggi. Tak hanya mahal, buku juga sulit diakses karena diproduksi/disalin secara manual. Sulitnya akses tidak hanya karena faktor harga, tapi juga soal ’’kerahasiaan pengetahuan’’.
Pengetahuan sering kali dianggap berstatus kudus karena menyibak berbagai rahasia alam semesta, juga soal-soal ilahiah. Tidak sembarang orang dapat mempelajari pengetahuan, mesti dibimbing orang yang punya kredensial. Dalam kasus Eropa, misalnya, doa-doa dalam ajaran Kristen, juga isi kitab suci, semuanya dalam bahasa Latin –bahasa suci yang hanya dikuasai sedikit orang saja.
Itulah mengapa lahir Protestan. Terjemahan Injil dari Latin ke dalam Jerman oleh Luther adalah upaya subversif membuka ’’pengetahuan rahasia’’ kepada awam. Secara politik, ini membuat elitisme gereja menjadi goyah. Sebab, orang Jerman mana pun (selama dapat membaca, walau tak punya pengetahuan teologi) dapat membacakan isi kitab suci kepada awam sebanyak-banyaknya.
Tak dibutuhkan lagi para padri untuk mengakses kitab suci. Segalanya menjadi sulit dibendung karena terjemahan Luther juga sangat cepat tersebar berkat –apalagi jika bukan– penemuan mesin cetak yang membuat produksi buku dapat dilakukan secara masal sehingga lebih murah.
Keep reading
120 notes
·
View notes
Quote
Kata MAAF itu lebih menenangkan dibanding alasan apapun
kometmerah
0 notes
Quote
Kalau saya bermalas-malasan seperti ini, apakah Tuhan masih akan mengabulkan mimpi-mimpi saya nanti?
Hobingetik (via hobingetik)
131 notes
·
View notes
Quote
sebelum menjahit luka, hal pertama yang harus kau tahu adalah akuilah jika kau memang sedang berdarah-darah
(via bulangerimis)
415 notes
·
View notes
Text
Ibadah sebagai Piknik
Bagi anak-anak, Ramadan menjadi bulan penuh acara bermain. Apalagi di kampung seperti yang saya rasakan dulu, ibadah di bulan Ramadan terasa menyenangkan, nyaris tanpa paksaan, karena dilaksanakan dengan penuh canda. Kadang terasa seperti piknik.
Ada banyak toleransi yang dinikmati anak-anak seperti saya dulu selama Ramadan. Waktu bermain praktis lebih panjang dan bahkan kadang tidak dibatasi. Tidak ada jam malam. Kalau memang tetap harus pulang ke rumah, biasanya saya tetap diizinkan bermain lebih larut dari biasa. Itu pun saya bisa keluar rumah lebih cepat, saat hari masih gelap, dan Subuh masih jauh. Kapan lagi anak-anak bisa ke luar rumah jam 2 dini hari untuk ikut rombongan “obrog-obrog” yang berkeliling membangunkan warga untuk sahur?
Bermain adalah fitur yang melekat selama Ramadan bagi anak-anak. Dari pagi sampai malam, hampir dirayakan dengan bermain. Selepas salat Subuh bisa jalan-jalan. Siangnya bisa pergi memancing. Sorenya bisa ngabuburit dengan naik sepeda, atau bahkan main bola sejam menjelang buka puasa. Selepas Tarawih bisa bermain petak umpet atau bahkan main bola di halaman mesjid.
Segala macam petasan pun seperti “dihalalkan”. Sebelum Ramadan, meriam buatan dari bambu yang diledakkan dengan karbit sudah disiapkan lebih dulu. Mau pagi, siang, sore atau bahkan kadang membangunkan orang untuk sahur pun meriam bambu dapat digunakan.
Keramahan Ramadan saya alami benar saat dilaksanakannya salat Tarawih. Secara istimewa, entah bagaimana ceritanya, salat Tarawih mungkin menjadi satu-satunya salat yang, dalam ingatan masa kecil saya, “diperkenankan” untuk dijadikan sarana bergurau dan bercanda.
Dan itu memang hanya terjadi pada Tarawih, tidak pada salat-salat lain. Ketika salat Isya, anak-anak beribadah dengan sangat khusyuk. Tapi ketika Tarawih, kekhusyukan itu mendadak berkurang bagi anak-anak. Mungkin karena Tarawih bukan salat wajib. Karena sunah itulah, makanya toleransi terhadap anak-anak pun berbeda.
Saya masih ingat salah satu kejadian paling menggelikan yang pernah terjadi hampir 25 tahun silam. Saya punya seorang teman masa kecil. Dalam salah satu sesi salat Tarawih, masih rakaat pertama, dia membuat keisengan yang membuat semua orang tertawa. Kebetulan teman itu ayahnya bernama “Amin”. Saat imam selesai membaca surat Al Fatihah, teman saya itu mendahului jamaah yang lain dengan berteriak: “Bapaaaaaaaak!”
Keep reading
96 notes
·
View notes
Text
Suka dengan 'konsep bunga layu sebelum berkembangnya' nya :)
Kontemplasi Akhir Masa Kampus (Bagian I: Asah Pikiran - Harapan Fana)
Kalaupun Einstein tidak pernah menemukan hukum relativitas, waktu akan berjalan seperti biasa dan sama esensialnya. Dalam hukum relativitas, waktu memang tidak secara langsung dituliskan dalam formula tersebut. Namun, andil waktu dalam substansi formula itu benar-benar penting.
Perjalanan hidup saya selalu paralel dengan berjalannya waktu. Saya mengisi ruang dan waktu yang membawa saya pergi ke tempat lain. Dalam pemikiran sadar saya, tak pernah saya terlalu berpikir terlalu dalam akan mencapai tahap sejauh ini dalam hidup: menentukan arah.
Lepas dari kehidupan kampus mengundang banyak pertanyaan. Ada pertanyaan yang bisa dijawab sekarang juga, ada juga pertanyaan yang hanya mampu dijawab oleh waktu kemudian hari. Kadangkali pertanyaan memang tak perlu jawaban, hanya perlu menelurkan buah pikiran lain.
Mengingat kembali saat saya pertama kali bermimpi menjadi mahasiswa, saya masih terlalu polos. Memasuki salah satu kampus yang menurut banyak orang merupakan kampus paling baik adalah salah satu jalan meraih hidup yang berfaedah bagi saya awalnya. Layaknya seperti anak ingusan yang duduk di akhir masa sekolah, saya pun tak banyak berpikir untuk tidak belajar di tempat ini. Puji syukur, Tuhan punya cara untuk memberi jalan kepada hamba-Nya.
Saya menjalani hari saya di kampus ini praktis tanpa ekspektasi berlebih. Saya tahu kehidupan di sini tak akan semenarik kehidupan di sekolah. Orang-orang dari penjuru negeri berdatangan dengan maksud dan caranya masing-masing. Tingkat penerimaan saya secara sosial tak langsung hangat bagi lingkungan ini.
Kata orang, kampus ini adalah miniatur negeri. Saya percaya itu sebagian. Ini tak bisa dibantah, namun tak ada miniatur negeri jika faktanya kita masih di negeri tersebut. Saya tak mau dibanjiri oleh pikiran yang terlalu mengekang tersebut. Praktis saja: kampus ini adalah tempat berpikir lalu berkarya.
Kampus ini mengajarkan bagaimana menyelesaikan problem. Jalur keprofesian yang saya ambil tahu betul bagaimana menelurkan solusi secara sistematik dan menerapkannya dalam realita. Meskipun bagi saya sulit, ini pembelajaran yang cukup penting.
Bukan, saya bukan tidak menyukai itu. Jauh sebelum saya menyadari hal ini, ketertarikan saya dengan keprofesian ini teramat besar. Namun, tak ada murid yang patah arang bila harapan pribadi tak sesuai dengan apa yang ada. Pada akhirnya, ini bukan jadi masalah.
Saya menyukai berbagai hal soal keprofesian saya. Ada hasrat untuk menekuni lebih dalam tentang apa yang sudah saya pelajari. Namun, ini bukan jalan satu-satunya. Pikiran saya tak boleh kikuk dengan alternatif-alternatif lain yang membentang. Menjaga pemikiran soal masa depan jadi kunci semuanya.
Manusia yang belajar di kampus ini sering dijejali dengan harapan-harapan yang hampa. Kami acapkali diberi ekspektasi tinggi dengan hal-hal yang bahkan jauh dari keadaan yang ada di sini. Konsep bunga yang layu sebelum berkembang memang tidak cocok, namun kami adalah bunga yang menguncup kembali sebelum akan jatuh ke bumi.
Konsep kenegaraan bukan hal yang buruk untuk disisipkan pada kehidupan kampus. Ini adalah cara yang mungkin paling tepat. Namun, tak adil jika dunia ini terlalu diisi oleh negarawan yang terlalu bangga pada almamaternya. Mengisi hidup dengan kesederhanaan seperti membangun keluarga yang baik sama pentingnya.
Negeri ini jelas butuh setumpuk pemimpin yang baik. Namun, salah jika menggantungkan banyak harap pada mahasiswanya yang bahkan masih terlalu sibuk memikirkan ujian esok hari saja. Hari ini akan menjadi penting, namun bukan untuk diisi oleh harapan soal kami. Membangun negeri ini artinya memberi jalan pada semua orang untuk melahirkan karya.
Saya sadar betul saya pun terlalu termakan oleh dogma bahwa kampus ini adalah kampus terbaik. Toh, banyak orang yang terbilang sukses lahir dari sini. Saya ingin sukses, namun pikiran tadi terdengar seperti kaleng kosong. Tak ada yang namanya kampus terbaik tanpa mahasiswa dan mantan mahasiswanya.
Bukan ingin mendiskreditkan kampus ini, melainkan kampus harusnya tidak melestarikan pemikiran fana. Kami harusnya tak pernah bangga dengan kampus ini. Kampus ini lah yang harusnya bangga memiliki kami. Faktanya, kami tetap tenggelam dalam klise-klise kosong saja.
Lebih baik mengesampingkan kebanggaan yang terlalu tinggi. Karya dan kontribusi akan menjadi pembeda pada akhirnya. Biarlah kami menentukan jalan dan beramal di bidang yang dipilih. Jangan bebankan dengan harapan yang terlampau tinggi tak tahu arah.
Setelah saya keluar dari kampus ini, saya berpikir ulang tentang apa yang ingin saya raih. Nampaknya jalur hidup sudah terlalu terbaca dari sini. Bukan masalah, hanya perlu menjalani saja. Semoga itu tidak lahir dari sekadar kebanggaan terhadap almamater saja.
Baiknya hidup ini diisi dengan hal yang baik. Tak perlu berat, ringan saja sudah cukup. Biarlah mengalir tanpa banyak berharap. Begitu kan konsep dari mengisi kehidupan?
“Oh Tuhan, kami mohon restu dan petunjuk-Mu.” - Hymne Kampus
3 notes
·
View notes
Photo

Tadi sore saat menikmati hujan di dalam kamar, tiba-tiba hp berdering. Terlihat nama seseorang yang sudah tak asing lagi. Sempat terbesit dalam hati, ada apa gerangan disaat hujan seperti ini dia menghubungiku? Karena sudah menjadi kebiasaan ketika dia menelponku, pasti ngajak pergi keluar. Tapi kan ini cuaca lagi hujan, pikirku. Dengan penuh tanda tanya, aku menjawab telponnya. Terdengar suara dengan logat yang khas, sembari mengatakan bahwa ia sudah ada didepan pintu rumah. Tanpa pikir panjang, aku langsung keluar kamar menuju pintu depan rumah.
Saat pintu dibuka, tampak sesosok perempuan dengan perawakan besar, namun tak sebesar pintu rumah hehe (maapkan✌) muncul didepanku memakai jas hujan hitam, berkerudung hitam sambil menggegam hp dan headset yang tertutup oleh helm.
Jas hujannya terlihat basah kuyup oleh derasnya hujan. Dan ia berkata, "ieu jibrug kumaha? (Ini basah kuyup gimana?) aku jawab, teu nanaon masuk weh (gapapa, masuk saja). Tapi ternyata setelah ku persilakan dia masuk kerumah, dia tetap enggan masuk, dengan alasan karena basah kuyup. Tapi aku terus memaksanya untuk tetap masuk.
Tiba-tiba dia menyodorkan tangannya sambil memberiku sebuah bingkisan merk minimarket terkenal, dengan berbagai isi makanan ringan dan beberapa botol minuman. Aku langsung kaget, dalam rangka apa ini? Aku kan sedang tidak ulang tahun bisikku dalam hati (Lebay haha)
Aku mencoba untuk memberikannya lagi, namun dia mengelak dan balik badan untuk menghindar. Kemudian langsung pergi sambil mengucapkan, "bisi kangen, eta makan. Sorry teu bisa maturan" (kalau kangen, itu makan. Sorry, ga bisa nemenin), ucapnya sambil pergi. Aku pun langsung speechless melihat tingkah lakunya.
Lalu dia pun pergi, katanya mau langsung pulang kerumahnya. Dan hujan pun belum juga memberikan tanda-tanda untuk berhenti. Ya mungkin dia capek karena pulang kerja, jadi aku bisa mengerti atas kepergiannya itu.
* * *
Hujan sore tadi begitu membuatku terharu, kedatangan seorang teman yang belum begitu lama terjalin kedekatan kita. Namun memberikan banyak makna, bahwa teman yang baik itu bukan hanya ada disaat kondisi tertentu, tapi dalam berbagai kondisi. Dan yang fleksibel diajak main hehe
Jadi ketika dia bilang anter kemana, maka jawab saja 'hayu' tanpa harus banyak bertanya. Terkecuali kalau kita memang sudah punya kegiatan lain. Bukan begitu dut?
Thank you for today, Fazriana Mareta 😀
0 notes
Photo

Untuk mu.. Kapan kita kemana? 😁 #happyweekend #yukpiknik #enjoylife (di Wisata Alam Pangjugjugan, Cilembu.)
0 notes
Photo

Karena kita hidup tidak hanya untuk diri sendiri. Hampir sepanjang waktu kita hidup untuk orang lain, terus meletakkan satu kaki di depan kaki yang lain, kiri dan kanan, kiri dan kanan, sehingga berjalan menjadi kebiasaan, seperti bernafas—Jarak diantara kita.
0 notes